Yang Tersisa Usai Bercinta #18

“Pandu Dewana tak akan mati sepanjang dia tidak melanggar larangan bersetubuh dengan Dewi Madri.”

Kesannya malah terjatuh. Seolah-olah bilang, “saya keren”, “saya gaul”, atau “begitu nyastra”. Jatuh. Kembali saya teringat catatan lama saya, dengan menyebut nama-nama keren, kamu tak otomatis keren. Dengan menyebut Gabriel’s Palace: Jewish Mystical Tales, Lo-shu, Montase Retrofilis, Venus in Furs, Hannibal Lecter, The Golden Bough, Dante’s Dream, Sappho’s Lyre, hingga Septem Sermones of the Dead, tak serta merta kamu wow. Malah janggal, novel mengutip para orang hebat sebelumnya terlampau sering, atau terlalu banyak. malah memuakkan dan pengen muntah. Mungkin maksudnya biar terlihat cool, “gue udah baca ini nih”, “gue paham soal yang feminisme gan”, atau “bacaan gue beda lho nih daftarnya, teenlit mah ga level”. Hal seperti ini mungkin cocok untuk mencipta jejerit para remaja, atau mahasiswa semester awal macam Yuda atau cewek bego macam Tantri, atau penggemar Tere Liye yang labil, sayangnya untuk genre yang bisa disebut sastra, pola seperti ini tak cukup.

Saya buka catatan ini dengan dua kutipan yang disertakan di awal buku. Mewakili, dan kebetulan sudah baca salah satunya.

“… kami setia sepanjang kami cinta, tetapi kalian kaum laki-laki menuntut kaum perempuan untuk setia tanpa cinta dan menyerahkan diri kami tanpa keriangan. Siapakah pihak yang kejam di sini? Perempuan atau laki-laki? Umumnya kalian orang-orang dari Utara memerlakukan cinta dengan terlalu sungguh-sungguh, terlalu serius. Kalian berbicara tentang pelbagai kewajiban ketika satu-satunya hal yang mesti diperhitungkan adalah kesenangan.” Leopold von Sacher-Masoch, Venus Bermantel Bulu

Mengapa tak kubiarkan mereka menatapku? Mungkin memang aku indah? Mungkin mereka jadi bergairah lagi di rumah? Menggauli istrinya sambil membayangkan diriku. Bukankah itu amal baik?Ramayda Akmal, Jatisaba

Kisahnya tentang Pandu Dewana yang aneh, atau pengen terlihat cool, tapi malah freak. Ga bisa ngaceng kecuali sama istrinya, Anjani. Nama satu kata. Seorang penulis terkenal, punya ruang baca (dinamai Tartarus) dengan deretan buku keren-keren. Tartarus, tentu saja diambil dari legenda Yunani. Sebuah lubang penderitaan untuk orang jahat, penjara Titan. Perpus pribadi yang bisa juga dijadikan ruang tulis, dan buat ML. “Mereka bedua suka kerapian dan di rumah tempat para pemuja kerapian selalu saja ada hal yang harus dirapikan.”

Istrinya lulusan sastra pula, kakak kelas yang kala kenalan sudah punya pacar bernama Jamal. Kenal, sang mantan jadi ustaz terkenal. Pandu merebut Anjani dengan pola menjatuhkan lawan. “Ada dua pilihan cara untuk menang dari rival cinta: pertama, tunjukkan bahwa diri kita adalah opsi lebih baik dari si rival, kedua, tunjukkan bahwa diri si rival lebih buruk dari kita.” Opsi kedualah yang digempur, dan berhasil.

Pasangan berpikir bebas merdeka. Karena pasangan tak menyembunyikan apa pun sebaluknya kamu pun harus membuatnya percaya dengan melakukan hal yang sama. Pandu percaya mata adalah gerbang ke dunia halus sebagaimana vagina adalah gerbang manusia ke dunia kasar. Ia punya ilmu mistik, dan memiliki pantangan. “Ini hari wetonnya, masa paling rentan yang biasanya dia lalui dengan melakukan ritual sesuai petunjuk dalam manuskrip warisan kakeknya. Ritual apa pun harus dilakukan dalam kondisi tubuh suci dan sanggama merusak kesucian itu.” Maka tak sembarangan hari bisa bercinta, ilmu yang diturunkan dari kakeknya.

Mereka tinggal seatap dengan cewek seksoy berdada besar Wanda. Sahabat Anjani, yang di usia matang belum juga menikah. Kaya, bebas, matang. Logika orang awam, ini sungguh riskan. Memasukkan teman wanita ke rumah tangga. Namun memang, ini bukan cerita tentang orang awam. Ini kisah mistik, di mana burung hanya berdiri pada orang special. Prabu terlihat mapan dari menulis, punya banyak fans. Salah satunya penulis pemula Tantri, yang walau berjilbab seringkali berdandan seksi. Tampak ia begitu memuja Pandu, atau sebenarnya punya niat menggoda demi menaikkan popularitas, sebagai penulis pemula, bergaul dengan senior adalah jalan pintas, apalagi bermodal kecantikan, dan kemudaan. Dan melalui penjelasan panjang lebar, kita tahu Pandu memang pria tak biasa.

Memang banyak gunjingan, bagaimana bisa semua berjalan lancar bila godaan sering kali muncul. “Menimpali perkataan orang tua itu tabu, bisa-bisa dia dikutuk menghabiskan sisa hidup sebagai ulat keket.” Saya sudah wanti-wantu, bakalan amburadul, sepercaya apapun. Menyingkirkan potensi tak baik itu perlu, apalagi itu dalam kuasamu.

Kita lantas diperkenalkan dengan karakter aneh lainnya, Zen yang memiliki ilmu kanuragan. Berteman dengan Wanda, dan hanya sekali bertemu Pandu, karena keduanya punya ilmu, terjadi kontradiksi kehebatan. Sebuah malam, saling lempar tuah, dan bagaimana malam minggu menjadi ritual mengerikan.

Sebuah reuni menjadi eksekusi kunci, Anjani ketemu sang mantan yang kini jadi ustaz kondang, yang ternyata memiliki kelainan, atau alter ego buruk. Lalu Pandu melakukan sebuah kesalahan, atau bisa dibilang pilihan tak lazim, mengambil resiko. Dunia dan takdirnya bekerja dengan seadil-adilnya, sebaik-baiknya.

Saya baca hanya dalam satu setengah jam di pergantian hari jam 00:30 sd. 02:05 dini hari, malam Jumat (17.06.22) kebangun dan tak bisa tidur lagi, gegas baca puisi dan prosa, keduanya kelar! Padahal ini hari kerja. Setelah dua jam nekad, akhirnya coba kupejamkan istirahat. Dini hari adalah masa yang sangat tenang, dengan kondisi pikiran fresh, tetap tak berhasil mengesankanku.

Terakhir, buku ini malah condong ke seperti karya Abdullah Harahap. Tak sekeren itu sih, hanya mirip. Dunia mistik Abdullah Harahap lebih vulgar dan menakutkan, sisipan ilmu hitamnya menghantui, dunia gelapnya mencipta ketegangan maksimal, hingga membuat pembaca takut tidur sendirian. Yang Tersisa masih jauh dari itu, tapi percobaannya patut diapresiasi. Hanya bagian penyebutan nyastranya yang buruk, meluap hingga muak. Bro, bikin karakter aneh tak kudu sampai hanya ngaceng sama satu dua wanita, yang tak lazim belum tentu keren. Mending Ajo Kawir sekalian, mengganas trengginas. Atau penggambaran uthy naugty yang melimpah, boleh saja, tapi membuat pembaca mudah menebak itu tak bagus. Terlalu umum, terlalu klise. Dunia twitter yang liar itu dicerita, apa menariknya?

Hanya orang yang tak banyak tahu dan terlalu banyak khawatir yang banyak bertanya dan bawel. Benarkah?

Yang Tersisa Usai Bercinta | by Cep Subhan KM | Copyright 2020 | Penerbit Odise | Cetakan pertama, November 2020 | ISBN 978-623-95462-2-9 | Penyunting Hamzah Muhammad | Tata letak The Naked! Lab | Ilustrasi sampul Mada Satyagraha | Skor: 3/5

Karawang, 180622 – Tasya – Apakah Arti Puasa

Thx to Sentaro Book, Bekasi

#30HariMenulis #ReviewBuku #18 #Juni2022

2 komentar di “Yang Tersisa Usai Bercinta #18

  1. Ping balik: #Mei2022 dan #Juni2022 Baca | Lazione Budy

  2. Ping balik: Setahun Membaca 121 Buku | Lazione Budy

Tinggalkan komentar