
“Jangan takut pada kemarau, karena sebentar lagi akan berlalu. Takutlah kepada-Ny karena Dia akan hadir selalu.”
Sebuah buku yang sederhana, amat sederhana. Settingnya yang satu tempat, kampung yang kekeringan. Karakter yang sederhana, warganya yang kesulitan air, sebagian besar akhirnya hijrah. Konfliks yang juga sederhana, salah seorang yang memutuskan tinggal, meyakini hujan akan turun, bertahan di kekeringan, dia yang memilih jalan berbeda, merindu kekasihnya yang ikut hijrah, berpindah tempat tersebut. Konfliks minimalis itu, tentang kesetiaan. Apakah kekasihnya yang ikut keluarga dan warga itu tetap setia, badai akan berlalu dan ia berhasil dalam pelukan? Atau dalam perjalanannya ada lelaki lain yang berhasil merebutnya? Dah, hanya itu. Narasinya juga sederhana, tak ndakik-ngakik, tak banyak unsur puitis, ngalir saja, khas buku-buku umum, yang ndelujur nyaman. Sayangnya, endingnya juga sungguh-sungguh sederhana. Ketebak, dan yah ketika berakhir, berujar, “gitu doing”. Buku tipis yang dilahap gegas, jenis novella yang malah mendekati semacam cerita pendek (cerpen) yang sedikit dipanjangkan.
Halamannya hanya 62, sudah termasuk daftar isi dan biografi penulis, seorang pengajar yang sudah beberapa kali menulis buku, lebih banyak untuk buku sekolah, dan beberapa kali menterjemahkan. Ini buku peserta Lomba Penulisan Cerita Keagamaan Tahun 2001, Puslitbang Pendidikan Agaman dan Keagamaan Departemen Agama RI. Hhmmm… pantas, banyak selipan tentang kesadaran akan esksitensi Tuhan, rasa syukur akan anugerah hidup, hingga perjuangan bahwa Tuhan bersama orang-orang yang sabar. Pas, sesuai dengan kriteria yang dilombakan.
Kisahnya di sebuah desa yang gersang, sudah hampir tiga tahun tak turun hujan. Maka setelah rembug desa, diputuskan meninggalkan desa, mereka berbondong-bondong pergi ke Selatan. Adalah pemuda aneh, Tarjo yang bertahan. Ia memiliki keyakinan, hujan akan turun. Padahal kondisi saat itu sudah kritis, air danau mongering, sungai tak mengalir, ladang tak tumbuh sayur atau buah untuk dikonsumsi. Keputusan yang menjadikannya penjaga kampung. Ia bertahan hidup ditemani dua binatang kesayangan Si Belang dan Si Hitam. “Bersama segala pengharapan dan doaku. Rukiah kekasihku semoga baik-baik saja.”
Bumbu konfliks disajikan, kekasihnya Rukiah ikut serta keluarganya hijrah. Mereka sejatinya saling mencintai dan janji setia, tapi waktu adalah pusaka paling keramat sebagai pembuktian. Bukankah harga seorang wanita adalah kesetiaan dan keteguhannya kepada janjinya. Dengan kesetiaan dan keteguhan itulah seorang wanita justru akan terlihat dan tampil lebih cantik dan mempesona. Tarjo diceritakan introvert, tak banyak omong, tak banyak protes, sering melamun, sering memandangi bulan, merasakan angin. “Sang mentari menebar senyum merah merona bercampur tembaga terlihat begitu indah diapit bibir bukit, suasana hening dibauri bebunyian gemerisik daun-daun kering tertiup angin mendesirkan sajian simponi alam yang begitu merdu di telinga Tarjo.” (halaman 4).
Arak-arakan itu dipimpin oleh Pak Parman sebagai kepala desa, di pagi buta di balai desa atau di rumah Pak Parman, mereka berkumpul dan akhirnya berangkat, tak kurang dari enam puluh orang. Membawa apa yang bisa dibawa, apa yang bisa dimakan, apa yang bisa dimanfaatkan. Dari sapi, ayam, sayur, sisa-sisa makanan, peralatan berkebun, dst. Tenda, kambing, pokoknya yang bisa digunakn dalam perjalanan. Tarjo yang tinggal sendirian, kini tinggal milih mau tidur di aman terserah. “Mendapatkan hibah dua puluh dua rumah, hanya tinggal memilih mana-mana yang disukai.”
Tersebutlah satu warga meninggal dunia di tenda darurat, lalu dikuburkan di situ. Melanjutkan perjalanan, ada yang meninggal lagi, dan seterusnya. Siapa yng berhasil bertahan? Di sini kekuatan tubuh dalam adaptasi pada alam dipertaruhkan.
Hingga akhirnya hujan kembali menyapa, maka berbondong-bondong mereka balik. Namun sang kekasih Rukiah tak kelihatan, ada apa? Ternyata rombongan terpecah, Rukiah masuk ke gelombang belakang. Mendekati akhir, terjadi masalah yang malah paling pelik di sini. Jadi kedua orang tua Rukiah dulu menjodohkannya dengan Pemuda kaya, Rustam. Kaya, sebagaimana umumnya, juga dekil dalam perilaku. Ia pemuda jahat, keingingan memiliki Rukiah membuncah, bahkan penolakan yang nyata-nyata disampaikan Rukiah, tak bisa diterima. Rustam lalu merancang rencana jahat memperkosanya sebelum mereka balik ke desa. Sementara sang kekasih Tarjo menanti dengan dag-dig-dug, apakah pujaan hati itu kembali dalam pelukannya? Atau segalanya ambyar?
Konsepnya sebenarnya bagus, selalu ingat pada Gusti Allah. Yang harus kita sembah, kita puja, kita takuti, percaya pada-Nya di mana saja, kapan saja. Ditampilkan dengan mistik membantu masa-masa sulit. Muncul dalam mimpi Tarjo, bertemu orangtuanya. Muncul di masa kritis, ketika warga meninggal, meminta izin dikuburkan di area sepi. Tuhan, penguasa semesta alam itu menjadi pegangan.
Buku pegangan sekolah yang biasanya ditaruh di perpusatakaan sekolah, sulit bersaing di pasar umum. Lomba untuk para pengajar dengan nilai moral dimasukkan ke dalam cerita. Sah saja, memang untuk konsumsi pelajar. Niatnya baik, caranya baik, hanya kisahnya yang kurang Ok. Sederhana, dan mungkin setahun lagi juga terlupakan ksaih heroic Tarjo yang tak melakukan apa-apa, tak ke mana-mana. Diam adalah tindakan bijak.
Cinta di Ranting Kemarau | by T Sulaiman | Penerbit Nuansa Cendekia | Ilustrasi Suparman | Layout Muis | Cetakan pertama, Agustus 2002 | ISBN 979-9481-52-x | Skor: 2.5/5
Karawang, 040623 – Linkin Park – In the End
Thx to Ade Buku, Bdg
#30HariMenulis #ReviewBukus
RIP Mbah Las, 040623. 80 Tahun.