Cinta di Ranting Kemarau #4

“Jangan takut pada kemarau, karena sebentar lagi akan berlalu. Takutlah kepada-Ny karena Dia akan hadir selalu.”

Sebuah buku yang sederhana, amat sederhana. Settingnya yang satu tempat, kampung yang kekeringan. Karakter yang sederhana, warganya yang kesulitan air, sebagian besar akhirnya hijrah. Konfliks yang juga sederhana, salah seorang yang memutuskan tinggal, meyakini hujan akan turun, bertahan di kekeringan, dia yang memilih jalan berbeda, merindu kekasihnya yang ikut hijrah, berpindah tempat tersebut. Konfliks minimalis itu, tentang kesetiaan. Apakah kekasihnya yang ikut keluarga dan warga itu tetap setia, badai akan berlalu dan ia berhasil dalam pelukan? Atau dalam perjalanannya ada lelaki lain yang berhasil merebutnya? Dah, hanya itu. Narasinya juga sederhana, tak ndakik-ngakik, tak banyak unsur puitis, ngalir saja, khas buku-buku umum, yang ndelujur nyaman. Sayangnya, endingnya juga sungguh-sungguh sederhana. Ketebak, dan yah ketika berakhir, berujar, “gitu doing”. Buku tipis yang dilahap gegas, jenis novella yang malah mendekati semacam cerita pendek (cerpen) yang sedikit dipanjangkan.

Halamannya hanya 62, sudah termasuk daftar isi dan biografi penulis, seorang pengajar yang sudah beberapa kali menulis buku, lebih banyak untuk buku sekolah, dan beberapa kali menterjemahkan. Ini buku peserta Lomba Penulisan Cerita Keagamaan Tahun 2001, Puslitbang Pendidikan Agaman dan Keagamaan Departemen Agama RI. Hhmmm… pantas, banyak selipan tentang kesadaran akan esksitensi Tuhan, rasa syukur akan anugerah hidup, hingga perjuangan bahwa Tuhan bersama orang-orang yang sabar. Pas, sesuai dengan kriteria yang dilombakan.

Kisahnya di sebuah desa yang gersang, sudah hampir tiga tahun tak turun hujan. Maka setelah rembug desa, diputuskan meninggalkan desa, mereka berbondong-bondong pergi ke Selatan. Adalah pemuda aneh, Tarjo yang bertahan. Ia memiliki keyakinan, hujan akan turun. Padahal kondisi saat itu sudah kritis, air danau mongering, sungai tak mengalir, ladang tak tumbuh sayur atau buah untuk dikonsumsi. Keputusan yang menjadikannya penjaga kampung. Ia bertahan hidup ditemani dua binatang kesayangan Si Belang dan Si Hitam. “Bersama segala pengharapan dan doaku. Rukiah kekasihku semoga baik-baik saja.”

Bumbu konfliks disajikan, kekasihnya Rukiah ikut serta keluarganya hijrah. Mereka sejatinya saling mencintai dan janji setia, tapi waktu adalah pusaka paling keramat sebagai pembuktian. Bukankah harga seorang wanita adalah kesetiaan dan keteguhannya kepada janjinya. Dengan kesetiaan dan keteguhan itulah seorang wanita justru akan terlihat dan tampil lebih cantik dan mempesona. Tarjo diceritakan introvert, tak banyak omong, tak banyak protes, sering melamun, sering memandangi bulan, merasakan angin. “Sang mentari menebar senyum merah merona bercampur tembaga terlihat begitu indah diapit bibir bukit, suasana hening dibauri bebunyian gemerisik daun-daun kering tertiup angin mendesirkan sajian simponi alam yang begitu merdu di telinga Tarjo.” (halaman 4).

Arak-arakan itu dipimpin oleh Pak Parman sebagai kepala desa, di pagi buta di balai desa atau di rumah Pak Parman, mereka berkumpul dan akhirnya berangkat, tak kurang dari enam puluh orang. Membawa apa yang bisa dibawa, apa yang bisa dimakan, apa yang bisa dimanfaatkan. Dari sapi, ayam, sayur, sisa-sisa makanan, peralatan berkebun, dst. Tenda, kambing, pokoknya yang bisa digunakn dalam perjalanan. Tarjo yang tinggal sendirian, kini tinggal milih mau tidur di aman terserah. “Mendapatkan hibah dua puluh dua rumah, hanya tinggal memilih mana-mana yang disukai.”

Tersebutlah satu warga meninggal dunia di tenda darurat, lalu dikuburkan di situ. Melanjutkan perjalanan, ada yang meninggal lagi, dan seterusnya. Siapa yng berhasil bertahan? Di sini kekuatan tubuh dalam adaptasi pada alam dipertaruhkan.

Hingga akhirnya hujan kembali menyapa, maka berbondong-bondong mereka balik. Namun sang kekasih Rukiah tak kelihatan, ada apa? Ternyata rombongan terpecah, Rukiah masuk ke gelombang belakang. Mendekati akhir, terjadi masalah yang malah paling pelik di sini. Jadi kedua orang tua Rukiah dulu menjodohkannya dengan Pemuda kaya, Rustam. Kaya, sebagaimana umumnya, juga dekil dalam perilaku. Ia pemuda jahat, keingingan memiliki Rukiah membuncah, bahkan penolakan yang nyata-nyata disampaikan Rukiah, tak bisa diterima. Rustam lalu merancang rencana jahat memperkosanya sebelum mereka balik ke desa. Sementara sang kekasih Tarjo menanti dengan dag-dig-dug, apakah pujaan hati itu kembali dalam pelukannya? Atau segalanya ambyar?

Konsepnya sebenarnya bagus, selalu ingat pada Gusti Allah. Yang harus kita sembah, kita puja, kita takuti, percaya pada-Nya di mana saja, kapan saja. Ditampilkan dengan mistik membantu masa-masa sulit. Muncul dalam mimpi Tarjo, bertemu orangtuanya. Muncul di masa kritis, ketika warga meninggal, meminta izin dikuburkan di area sepi. Tuhan, penguasa semesta alam itu menjadi pegangan.

Buku pegangan sekolah yang biasanya ditaruh di perpusatakaan sekolah, sulit bersaing di pasar umum. Lomba untuk para pengajar dengan nilai moral dimasukkan ke dalam cerita. Sah saja, memang untuk konsumsi pelajar. Niatnya baik, caranya baik, hanya kisahnya yang kurang Ok. Sederhana, dan mungkin setahun lagi juga terlupakan ksaih heroic Tarjo yang tak melakukan apa-apa, tak ke mana-mana. Diam adalah tindakan bijak.

Cinta di Ranting Kemarau | by T Sulaiman | Penerbit Nuansa Cendekia | Ilustrasi Suparman | Layout Muis | Cetakan pertama, Agustus 2002 | ISBN 979-9481-52-x | Skor: 2.5/5

Karawang, 040623 – Linkin Park – In the End

Thx to Ade Buku, Bdg

#30HariMenulis #ReviewBukus

RIP Mbah Las, 040623. 80 Tahun.

Menua dengan Gembira #3

“Saat-saat jualan online itu gue bisa ngobrol dan ketemu orang dewasa lain, sesederhana itu aja rasanya udah bikin waras lagi ngurus rumah.” – Sebungkus Cireng di Status WhatsApp

Menyesuaikan zaman, kreativitas juga dituntut dalam dunia penerbitan. Dengan bujet minimalis, buku ini sejatinya sudah memberi banyak ‘bonus’. Surat, stiker, pembatas, bahkan kalau jeli, daftar isi dicetak dengan pola tak lazim. Tak seperti umumnya yang berderet bab lalu titik-titik, halaman. Di sini halaman ditaruh di atas, baru dibawahnya nama bab. Oiya, jangan lupa tanda tangan asli sang penulis, ‘Selamat membaca 23.03.23’ tertera pula di halaman depan. Hebat kan, makanya mending minimalis cetak tapi kreatif seperti ini ketimbang, misal cover blink-blik yang membuat harga buku ikut mahal sampai kertas hvs yang memang cerah, tapi tetap isi yang utama. Saya punya buku, cover-nya dicetak gemerlap, isinya meh.

Sebagian besar buku yang disebut di sini sudah kubaca. Sebagian besar kejadian di sini mengalami sendiri. Sebagian besarnya lagi bahkan sama persis. Jadi kalau mau dibilang relate, bisa jadi, tapi saking relate-nya bukankah malah jadi umum? Untungnya dibawakan dengan fun, dan bagus. Kita ambil contoh beberapa kejadian. Juned yang masih lajang mengeluhkan Work From Home (WFH) yang tak mengenal waktu, sampai-sampai dibulang WTF. Curhat hingga jelang tengah malam itu ditutup dengan kejutan, si Jun ini salah kirim makiannya ke bosnya. Ya, saya pernah mengalaminya, tapi doeloe zaman SMS, dan masih muda. Semakin tua, kita jadi bijak dan bisa merekam amarah nan emosi, jadi ya wajar sekali.

Atau, kejadian numpang parkir. Semua orang, atau jangan bilang semua deh, mayoritas pasti mengalami warga perumahan. Di mana, ada saja warga yang suka parkir mobil sembarangan yang bikin marah tuan rumah, ya, kalau sesekali sih wajar, tapi kalau rutin mengganggu, jelas ada yang tak wajar. Bikin jengkel. See, mau zaman batu atau smartphone kelakuan manusia aneh selalu ada.

Atau, buku-buku self-help. Poinnya sama, kita pernah mengalami era di mana membaca buku non fiksi berisi nasihat, walaupun sempat membuatkua muak juga, mudah diomong, sulit dilakukan. Kalau Mbak Andina menyebut bukunya Sean Covey sebagai permulaan, saya menyebut Bicara Dapat Mengubah Hidup Anda karya Dorothy Sornoff, buku lungsuran dari kakak. Rasanya memang ada aura positif yang ditebar saat membacanya, tapi kalau dipikr ulang memang, itu hanya panduan, semua kembali kepada pribadi masing-masing, dan utamanya niat yang kuat. Well, sampai sekarang saya masih membacainya kok. Termasuk tulisan blogger: Mark Manson yang booming lima enam tahun terakhir.

Atau, pemainan anak kecil yang unik di mana logika dasar orang dewasa belum masuk. Semisal kejar-kejaran dengan berperan polisi-maling, atau kalau saya dulu menyebutnya polisi-bandit. Yang ekstrem, pindah agamapun sangat lazim. Bahkan di usia dewasa ini, di kantor masih jadi ‘joke’, dengan menyebut dua kalimat sakral itu, sampai jodoh di tangan comblang teman dengan pindah agama. Dan selama itu di lingkungan sekitar, akrab, dan saling memahami, sah saja. Akan jadi ledakan kalau di-sher ke sosmed, yang kini rasanya sensitive menjurus ke memuakkan.

Atau, ini yang sedikit ga enak. F4, di zaman itu penyewaan VCD menjamur, dan jadi hit rambut bonding. Banyak (sekali) temanku yang utama, pertama kali kerja di tanah rantau, punya uang melimpah (bagi lajang gaji UMR pun) pada meluruskan rambut. Lebaran mudik, penuh gaya, wajah baru. Saya sendiri sekadar tahu waktu itu, saya tak sampai ikut-ikutan, sudah sejak sekolah, eman-eman uang, mending beli buku. Nah, detail sinetron-nya yang saya lupa. Sampai-sampai adegan tampar, dan memojokkan yang kini tampak negative itu. Saya lupa, mungkin karena hanya sesekali saja ikut nontonnya, atau tak fanatik. Justru saya fanatiknya musik Westlife yang di puncak ketenaran.

Atau, anak kecil dapat ‘fitrah’. Lucu juga Nina, nanti tiga empat tahun lagi, Mbak Andina bakal merasakan, anak kecil yang tumbuh sudah pintar nyimpan uang. ‘Nitip’ ke Bundanya, lalu mengingatkan itu uangnya. Untuk beli ini itu, untuk ditabung belanja ini itu. Hermione, di masa itu. Di mana, uang fitrahnya, bahkan sudah menyentuh dua digit, ditabung bertahun-tahun sejak lebaran kapan tahun. Walau sejujurnya, sering kali ‘dipinjam’ untuk kebutuhan sehari-hari, anak akan selalu ingat berapa tabungannya.

Atau, yang ini. Baru kutahu bahwa penulis Sherman Alexie (favoritnya Yusi Avianto Pareanom) ternyata pernah melakukan pelecehan seksual. Saya suka banget buku Adu Jotos Lone Ranger, polanya aneh dan acak, dan saya tentu saja menyelesiakan baca sebab sudah kuulas di blog ini juga. Tidak, saya tidak akan menyoroti kasus pelecehannya, saya justru tertarik kehidupan artis atau seniman, atau di sini berarti penulis. Mungkin kerena saya membatasi berita, termasuk banjir informasi di sosmed baik yang berbobot hingga yang receh, jadi tindakan kriminal Sherman ini baru kutahu. Saya lebih suka sama buku fisik, menjauhkan HP saat membacainya, paling HP dijadikan player Mp3, dengan speaker Bluetooth. Jadi kabar ini sungguh mengejutkanku. Saya lebih menyukai baca biografi, makin snob makin bagus. Ada setumpuk buku biografi yang antri, yang bahkan kalau saya sebut separonya, pembaca blog ini pasti tak kenal. Yah, sortir diri dari berita di era banjir informasi itu perlu. Sebab, sampah berita macam wanita hamil akibat renang itu benar-benar dibahas dan kupas. Akan jadi catatan sejarah, hal-hal sejenis itu. Namun, saya akan tenggelam dalam kesenyapan.

Atau, sebuah obituari bagus untuk mahasiswanya. Sebuah dedikasi tulisan sederhana yang mengingatkan kita, kematian begitu dekat, dan tak mengenal waktu. Saya suka kalimat, “Saya tidak ingin menjadikan catatan ini sebagai pengingat bahwa kita semua akan mati. Truism usang semacam itu tidak ada gunanya untuk ditulis…” (hal 114). Betul sekali, saya sampai muak membacai cerita amatir sejenis itu, sudah ratusan buku filsafat kulahap, dan tiap muncul kalimat sejenis itu, rasanya gmana ya. Tampak annoy saja mencerita keniscayaan. Makanya, pembuka bab ini kurasa sangat pas. Dan karena saya sudah membaca Filosofi Teras (sudah dapat separo lebih, tak kutuntaskan), sang penulis sekadar mencopy filsafat Stoisisme. Di sini, lebih nyaman sebab hanya dinulis. RIP Roykhan.

Atau, fakta bahwa istriku May yang jualan barang dan makanan di status WA. Alamak, tampak annoying kalau dilihat dasarnya saja, tapi begitulah fakta bu-ibu komplek. Yang mengherankanku, jualannya laku saja. Setahuku, sistemnya saling jual-beli. Artinya, istriku reseller baju dan panci, maka May gantian beli cireng ke ibu yang beli panci, atau beli ayam geprek ke yang membeli baju anak. Jadi diputar dan saling silang, itu sungguh-sungguh mengesalkan, awalnya sampai ku bisukan status WA. Lalu pandemic datang, dan malah jadi kewajaran, lalu keharusan, dan akhirnya malah jadi bisnis menguntungkan. Ampun deh, dunia berputar dengan anehnya. May jualan buat iseng, malah kini menemukan sirkel bu ibu pengajian, arisan, sampai bisnis makanan. Yo wes, lah yang berjalan biarlah berjalan.

Mulai kubaca bulan April sebelum lebaran, terjadi jeda lama sebab setelah lebaran kucari bukunya tak ketemu. Ternyata nyelip di rak bukunya Hermione, dan baru ketemu kemarin. Langsung kutuntaskan kemarin libur Pancasila 01.06.23, di sore yang panas. Sebagian sudah kubaca di Kumparan +. Makanya klik dan cepat saja. Sejujurnya, menulis non fiksi itu lebih bagus memakai keakuan. Di mana penulis terlibat, mengambil sudut pandang orang pertama, menyatakan ‘saya gini’, ‘saya rasa’, dst. Dengan begitu, apa yang diceritakan adalah pengalaman sendiri. Seperti Cak Mahfud, hampir semua tulisan non fiksinya memakai pola nyaman ini. Seperti misal, final AFF vs Malaysia yang didramatisir, nonton sama temannya Darmanto Simaepa itu. Itu malah jadi keistimewaan, pengalaman pribadi dengan latar sejarah. Nah, Menua juga sama, latar sejarah yang disaji, tentu lebih banyak wabah korona, zaman Twitter, keluh kesah warga di era WA, sampai ehemmm… timbunan penumpang KRL, yang dua puluh tahun lalu belum ada. Dan mungkin dua puluh tahun lagi saat dibaca generasi anak cucu kita bakalan lucu. Oiya, saya sedang membaca bukunya Myra Sidharta yang berjudul Seribu Senyum dan Setetes Air Mata yang disinggung di sini sebagai rujukan nulis. Di buku tersebut, tampak lucu (cenderung aneh), tak ada HP, semua permasalahan diselesaikan tatap muka! Itulah yang terjadi zaman dulu, yakinlah, nantinya generasi setelah kita akan mengerutkan kening melihat polah kita yang memusingkan balasan WA, kenapa centang biru dimatikan bikin ribut, atau war twitter yang menguras emosi. Zaman bergerak dengan anehnya.

Begitulah, saya tutup saja catatan ini. Kalau tak gegas kututup, bisa curhat lima ribu kata. Ada meeting malam ini via zoom juga, bayangkan. Pulang kerja, sampai rumah, buka laptop lagi, zoom! Emang WTF sih teknologi, ada benarnya di Juned tuh.

Menua dengan Gembira | by Andina Dwifatma | Copyright 2023 | Penyunting Ipank Pamungkas | Penyelaras akhir Dipa Samaran | Tata letak S. Makruf | Ilustrasi Sampul Nadya Noor | Cetakan I, 2023 | ISBN 978-602-7760-70-7 | x + 142 hlm.; 13 x 19 cm | Penerbit Shira Media | Skor: 4/5

Karawang, 030623 – Linkin Park – 06 Plc 4 Mie Head

Thx to Shira Media, Yogya

#30HariMenulis #ReviewBuku

Rectoverso #2

“Hari ini pas setahun aku gabung di sana, Bu. Aku ingin bawa kue untuk konsumsi. Hitung-hitung merayakan.”

Waktu memang mendewasakan. Waktu memang membuat orang berubah. Ini adalah buku dengan 11 kisah dalam karya gabungan antara buku dan musik. Sebelum kubaca, saya sudah mendengarkannya lagu-lagunya. Lalu menjadi teman baca, lalu sekadar musik pengiring. Liriknya memiliki kekuatan naratif hingga bisa dibentuk menjadi cerita pendek. Idenya sih ok. Lirik lagu dicetak setelah judul-judul tiap bab. Sebagai panduan nyanyi, di zaman itu tak semudah sekarang memang mencari lirik.

Judulnya eksotik. Rectoverso, pengistilahan untuk dua citra yang seolah terpisah tapi sesungguhnya satu kesatuan. Pemilihan jumlah judul juga filosofis. 11:11 dikenal sebagai angka yang mewakili kehadiran alam spiritual yang bersandingan dengan alam material. Sungguh mencoba nyeni, nyastra, sehingga mencipta takjub, bagi mereka yang haus hiburan. Musiknya juga tak umum, tak seperti dangdut misalkan, yang gegap dan memeluk masyarakat urban, di sini orchestra. Sah-sah saja, yang utama tetap saja kualitas, mau jenis apapun. Maka nasihatnya sungguh bijak, “Dengarkan kisahnya, baca musiknya. Selami ilustrasinya.”

#1. Curhat buat Sahabat

Sahabat itu ada kelasnya, ada tingkatannya. Ada yang sekadar teman ngobrol ngalor ngidul, ada yang intens ngumpul ngopi (di sini lebih berkelas, atau bisa disebut orang-orang kaya di kafe/bar dengan anggur putih), sampai tingkatan yang luar biasa erat, siap datang kapan saja, terutama saat sakit.

“Demi penantian yang baru! Yang tidak muluku-muluk! Cheers!”

#2. Malaikat Juga Tahu

Ini lebih terkenal lagunya, mungkin karena jadi hit single sehingga sudah melekat jauh hari. Tentang persaingan sulung dan bungu, tentang cinta kepada bunda, single parent dalam membesarkan. Saat si sulung mengalami keterbelakangan mental, si bungsu harus memaklumi bahwa cintanya terbagi.

Tidak perlu ada kompetisi di sini. ia, dan juga malaikat, tahu siapa juaranya.3. Selamat Ulang Tahun

#3. Selamat Ulang Tahun

Sederhana, hanya dua halaman, itupun tak penuh. 14 Februari jam 00:00 obsesi ucapan ulang tahun sampai di akurasi menitnya. Dan kemalangan apa yang menimpa sehingga tak bisa mengucapkannya.

Aku sedang menebak-neka, kira-kira prosesi apa yang tengah kamu siapakan.4. Aku Ada

#4. Aku Ada

Narasinya mencoba puitis, dengan debur ombak menerjang kata-kata. Pasir pantai bertaburan, dan pelukan erat suasana sejuk laut yang dibalut senja.

“Kirana”5. Hanya Isyarat

#5. Hanya Isyarat

Kisah-kisah dalam pusaran curhat, siapa yang terbaik? Penyampaian truth, masa lalu fakta disampaikan. Perkumpulan di kafe dengan bir membuncah. Emang beda kelas saja kalian, ngumpul di warung dengan kopi sachet lima ribu. Ini kelas elit, sampai telaah bagian ayam mana yang paling enak? Punggung? Pernahkah kalian beli ayam di kentaki kw dengan bilang, bagian punggung? Oh tidak pernah, tentu saja. Umumnya, dada, paha atas, paha bawah, sayap. Ini punggung? Alamak.

“Sahabat saya itu adalah irang yang berbahagia. ia menikmati punggung ayam tanoa tahu ada bagian lain…”6. Peluk

#6. Peluk

Hati adalah air, aku lantas menyimpulkan. Bisakah manusia berjaka dengan dirinya sendiri? Pasangan yang sudah bertahun-tahun menikah saja masih bisa berjarak kemudian saat waktu melahapnya. Enam tahun yang sia-sia? Dan akhirnya pelukan.

“… kamu sendirian, aku sendirian. Buat apa? Kenapa kita tidak berdua lagi saja?”#7. Grow a Day Older

#7. Grow a Day Older

#8. Cicak di Dinding

Ini lukisan, dan seni menciptanya dalam kesunyian. Cicak di dinding menjadi saksi. Dan sosok perempuan yang ada, mematung, lalu ditinggalkan sendiri di ruangan, lelakinya pegi. Ah, seni.

“Kutitipkan mereka untuk menjaga kamu… mengagumi kamu.”9. Firasat

#9. Firasat

Ini yang terbaik. Klub firasat, sebuah perkumpulan orang-orang yang punya indera keenam. Si Aku bergabung, dan lebih sering menjadi pendengar. Sementara sang ketua menjadi pemandu diskusi. Kalau kita sudah tahu, atau setidaknya punya firasat masa depan, lantas ngapain? Toh tetap tak bisa mencegahnya. Maka sang aku yang tahu bakal terjadi sesuatu yang buruk, dan diutarkan. Tetap tak bisa mencegah, relakan, seperti angin yang berhembus, biarkan tetap berlalu apa adanya.

“Untuk apa seseorang tahu sesuatu kalau memang tidak ada yang bisa diubah?”10. Tidur

#10. Tidur

Perjalanan, pulang, dan keterasingan. Ini jelas orang penting dengan jadwal kerja padat. Dua tahun pergi, kini kembali. Taksi dari bandara dengan entengnya dibayar uang segenggam penuh, disewa untuk jalan-jalan entah ke mana, asal melihat pantai, baru deh pulang. Gelap, semua terlelap.

“Kamu yakin bakal baik-baik saja?”#11. Back to Heaven’s Light

#11. Back to Heaven’s Light

Mari kita kupas sesingktanya. Dulu pernah baca, pinjam teman di tahun 2008. Rasanya masih terasa Ok, beberapa bahkan tetap menancap di pikiran, firasat salah satunya. Maka pengen kuulas dan baca lagi. Sempat kubaca cepat awal tahun, kok tidak menemukan feel-nya lalu tergeletak di rak. Kubaca ulang keseluruhan kemarin, 28.05.23 dalam sekali duduk. Pulang kerja, dari 18:15 – 19:15 di Perpus kecil keluarga, dan ternyata tetap tak menemukan feel-nya.

Ya, ini buku untuk orang kaya. Atau minimal kalangan menengah ke atas. Tak bisa ‘in’ bagi jelata. Masalah ngumpul saja, sudah beda. Orang awam ngopi murah di warung, atau ngumpul di rumah sesederhana mungkin. Di sini bar, dengan alcohol melimpah. Termasuk keuangan, dengan mudah karakter ‘buang’ uang, sementara jelata menggenggam erat. Atau dengan gaya, enggres. Ada dua cerpen dengan penulisan full English.

Sebenarnya sah saja bikin cerita kaya, muda, hedon, tapi tetap harus relevan. Nyaman. Rectoverso, kubaca ulang dan gagal. Dan ini untuk kesekian kalinya Dee mengecewakan. Kesatria, Kopi, dan ini. Hufh… koleksi di rak komplit nih. Agak pesimis melahapnya.

Rectoverso | by Dee / Dewi Lestari | 2008 | Editor HErmawan Aksan, Daniel Ziv | Foto Dee M. Bayu Nasrullah, @eyesonly | Konsep desain dan Eksekusi NGL Studio | Foto & riset foto Dadan Hidayat, Deni Rahadian, Santana AWP “Sansan”, Fahmi Ilmansyah | Drawing Jajang Jino | Dsign Director Fahmi Ilmansyah | Digital Imaging Mh Adi “Benjo” Rustiadi, Komay | Kontributor Mufti “Amenk” Priyanka, Handono Chen, Wahyu Permana, Ivandra Witnardo, Wildan “Umed” Kamal | Penerbit Goodfaith | September 2008 | Cetakan II: Oktober 2008 | ISBN 978-979-96257-4-8 | Skor: 2.5/5

Karawang. 020623 – Linkin Park – 04 Frgt 10

Thx to Saut, Jkt0HariMenulis #ReviewBuku

#30HariMenulis #ReviewBuku

Reckless #1

Reckless #1

“Aku akan menemukan Goyl Giok itu tanpa ngengat-ngengatmu. Kalau orang itu benar-benar ada dan bukan hanya mimpi.” – Hentzau

Buku Funke lagi, dan kali ini kusikat cepat. Novel fantasi takkan pernah hilang dari peredaranku. Akan selalu ada di hati, tak hanya sesekali, tapi akan selalu ada, bisa dua tiga bukan muncul dalam ulasan. Kali ini sebagai pembuka.

Dikisahkan seorang remaja kehilangan ayahnya (ingat Ink heart!), ia merindukannya. Hilang di balik cermin. Jacob Reckless yang pernah memasukinya dulu waktu masih kecil, kini berencana kembali masuk, setelah adiknya Will yang terluka akibat digigit makhluk berbatu bernama Goyl. Will akan menjadi sepenuhnya batu giok kalau tak segera diselamatkan. Padahal selama ini tak pernah ada yang bisa. “Ia benar-benar membutuhkan tidur, tapi bahkan Rubah pun tidak mampu meyakinkannya untuk istirahat lebih lama, dan Clara harus mengakui bahwa ia gembira bisa meninggalkan kastel tempat orang-orang mati itu tidur.”

Jacob masuk bersama adiknya, dan kekasih adiknya Clara yang begitu mencinta. Bersama pula makhluk bisa berwujud rubah, dan bisa menjadi manusia batu. Menemani petualangan ke kerajaan goik. Yang saat ini akan melakukan perayaan penikahan. Pernikahan kekaisaran tetap menjadi alasan yang tepat untuk bersorak-sorai dan memimpikan masa depan yang lebih baik. Dinarasikan dengan ciamik, “Tak lama kemudian Jacob berbalik memunggungi danau. Kuda-kuda menyusup menembus ranting-ranting semak dan tenaman pakis-lakisan. Di atas kepala mereka, dedaunan mulai berubah warna lagi menjadi kuning. Angin sejuk berembus di sela-sela dahan pohon, dan di balik pepohonan, Clara bisa melihat lembah tempat para Unicorn merumput.”

Jacob meminta bantuan sahabat lamanya, pedagang yang selalu menghitung segalanya dengan uang dan keuntungan, Si Kerdil Valiant. Semacam sidekick, cerewet, unik, sangat membantu sekaligus mengesalkan. Bukankah kita semua membutuhkan karakter sejnis ini? Petualangan perjalanan ini, nantinya malah jadi semacam nostalgia juga, sebab Jacob menemui kekasihnya yang seorang Peri dan juga musuhnya ternayat adalah saudara pacarnya! “…Dengar-dengar, para Peri memang kadang-kadang membawa kekasih mereka kembali dari kematian, tapi ternyata mereka juga melakukan itu pada orang-orang yang meninggalkan mereka…”

Bertemu kawan-kawan lama, dan bahkan menemukan pesawat buatan ayahnya. Konsekuensinya berat, janji yang harus ditepati, dan penyelamatan itu waktunya sungguh terbatas. Jacob harus bersusah payah menekan rasa takut bahwa jangan-jangan ia sudah kalah cepat berlomba dengan waktu. Berhasilkah?

Konsep cerita fantasi memang seperti ini, selalu ada menit-menit dramatis penyelamatan. Selalu ada happy-happy dalam perjalanan, hingga keputusan akhir yang begitu ketebak. Ini jelas bukan buku Funke terakhir yang kubaca, sebab di rak ada lagi beberapa, hanya butuh waktu dan kesiapan mental saja masuk ke dimensi ajaib, dunia lain, dunia antahnya Funke. Selalu seru, dan sangat amat imajinatif. “Akar-akar, duri, dan semak saling membelit menjadi satu. Pohon-pohon raksasa, dan pohon-pohon muda menjulurkan dahan-dahannya ke secercah cahaya yang menyusup di sela-sela kanopi tebal.”

Judul buku Reckless sendiri adalah nama belakang sang karakter utama, yang juga bisa berarti sembrono, sebuah joke diutarkan teman-temannya sebab Jacob berulang kali ceroboh. Dan cinta, ah di buku manapun, kata ini selalu ada. Cinta. Racun terparah dari semua racun.

Selama ini Jacob selalu mengira cerita tentang bangsa Goyl yang menghormati para pahlawan mereka dengan memenggal kepala mereka dan memajangnya di dalam tembok kota hanyalah isapan jempol. Tapi, sepertu halnya semua cerita semacam itu, cerita satu ini jelas bersumber pada kebenaran yang sangat mengerikan… Tapi ia menyingkirkan pikiran itu dari kepalanya. Ia tidak mau memikirkan ayahnya. Ia bahkan tidak mau memikirkan Will. Yang ia inginkan sekarang hanya kembali ke pulau dan melupakannya semuanya…

Rubah melayangkan pandangan lega kepada Jacob begitu melihat bukit dengan reruntuhan di sebelah kiri mereka. Dunia di dalam maupun di luar cermin ternyata sama saja, sama-sama memiliki obsesi pada kata-kata muluk tak bermakna. “Ia tak sehebat yang disangkanya.”

Mulai dibaca 17.05.23 pukul 19:40 malam bersama Hemione dengan music keras Blackpink. Selesai baca 20.05.23 pukul 09:12 pagi-pagi libur, dengan kopi mengepul berasap. Ini buku kedua Funke yang kubaca setelah Ink Heart yang imajinatif itu. Terasa sama, fantasinya aman. Artinya, keterdesakan masalah selalu dapat dipecahkan dengan halus, tak ada adegan berdarah-darah, tak ada sesuatu yang perlu sensor berlebih. Aman buat remaja. Sejatinya di era sekarang, fantasi sudah lebih berat.

Akhirnya Juni lagi, seperti biasa, ini event tiap tahun. Tahun ini taka da target muluk, tetap 30 hari menulis review buku dengan pembagian 15 lokal, 15 terjemahan. Mari kita nikmati, mari kita gas…

Reckless | by Cornelia Funke dan Lionel Wigram | Ilustrasi by Cornelia Funke | Copyright 2010 | Alih bahasa Monica Dwi Chresnayani | Editor Barokah Ruziati | GM 106 01 12 0002 | Desain sampul Martin Dima (martin_twenty1@yahoo.co.id) | Jakarta, Februari 2012 | 376 hlm; 20 cm | ISBN 978-979-22-8008-1 | Skor: 4/5

Untuk Lionel,

Untuk Oliver

Karawang, 010623 – Sherina Munaf – Primadona

Thx to Ade Buku, Bdg

#30HariMenuli #ReviewBuku

#April2023 Baca

“Aku mencintaimu dengan cara yang tak pernah kau ketahui.”

April dengan mayoritas hari puasa, terhambat rutinitas bacanya? Oh tentu tidak, tinggal menyiasatinya lebih. Baca setelah subuh? Tidak. Setelah subuh masih ada waktu sejaman, justru buat istirahat. Berangkat kerja, rutinitas kerja. Istirakat kerja satu jam buat baca buku/Quran? Oh tidak juga. Tidur di mushola lebih nyaman. Kembali kerja, pulang tepat waktu agar bisa buka puasa di rumah, habis magrib bisa santuy sama keluarga. Baca Quran, camilan, haha hihi persiapan Isya. Setelah taraweh delapan rekaat, baru baca buku? Tidak juga. Sudah lelah, setelah bercengkerama dengan keluarga, gegas tidur sebelum jam 10. Lantas, di mana waktu bacanya? Di sini.

Set alarm jam 2, bikin kopi, setel music pelan dan damai, jazz lebih disukai. Dan lahaplah bukunya. kurang lebih hanya dua jam setiap hari, dan itu bisa dapat banyak. Terutama Sejarah Tuhan yang tebal itu, selesai selama bulan Ramadan. Dan juga Mata Naga yang kusikat cepat. Yang lainnya, variatif. Yang jelas, baca buku perut kosong itu tak nyaman, baca buku tanpa kopi itu ada yang kurang. Jadi sebenarnya hanya masalah manajemen dan niat aja.

Oiya, tiga buku yang kubawa mudik, duanya selesai, satunya memang novel tebal Grisman dapat separo.

#1. The Kitchen God’s Wife by Amy Tan

Setelah agak kurang di novel The Hundred Secret Sense, akhirnya Amy Tan kembali mengguncangku. Ini jelas sebagus The Joy Luck Club yang fonemenal itu. Kisahnya sangat panjang, seperti biasa, tapi yang ini begitu mengharu, megah, dan enak. Polanya bisa jadi mirip-mirip, kehidupan warga keturunan China di Amerika. Alurnya juga mirip, dengan pola mundur. Setelah kumpul keluarga, ada yang sakit, lalu rahasia-rahasia dibuka. Sang anak menjadi pendengar, masa lalu ibunya yang kelam. Kehidupan susah di China, masa perang melawan Jepang, dan bagaimana seorang istri pilot bermasalah ini mencoba melawan takdir.

“Ini kita panggil Dewa Dapur. Menurut pemikiranku, dia tidak terlalu penting. Tidak sama seperti Buddha, Kwan Im, Dewi Kemurahan – tidak setaraf itu, bahkan tidak setaraf Dewa Harta. Mungkin dia ini seperti seorang manajer gudang, penting, tapi masih banyak atasan di atasnya.”

#2. Sejarah Tuhan by Karen Amstrong

Buku lama, yang akhirnya berhasil kutuntaskan cepat selama Ramadan. Awalnya mau menuntaskan Sejarah Nabi yang juga tebal, tapi ternyata berbelok ini sebab di twitter ada yang pos, dan tiba-tiba saja ingin membaca bersama. Hasilnya, sejarah Tuhan yang panjang dari zaman sebelum Masehi, hingga kini. Runut dan benar-benar bagus. Entah saya pernah membaca sejarah sejenis ini belum, yang ini tampak personal saja. Apalagi saat agama kita dibahas, dikulik dalam. Dan ikut terenyuh, ditulis indah. Walaupun, akhirnya di ending semua agama disentil keras, sebab adegan di kamp konsentrasi itu mencipta kesedihan akut, hingga muncul kata-kata, di mana tuhan?

“Firmannya sangat krusial di dalam ketiga agama besar itu. Firman Tuhan telah membentuk sejarah kebudayaan kita. Kita harus memutuskan apakah kata “Tuhan” masih tetap memiliki makna bagi kita pada masa sekarang.”3. Matahari Senjakala by Karsono H. Saputra

#3. Matahari Senjakala by Karsono H. Saputra

Tanpa tahu ini tentang apa, saya menelusur novel sejarah. Kerajaan Kediri yang dipimpin oleh Raja Kertajaya diserang Tumampel yang dipimpin oleh Ken Arok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa adalah sejarah kerajaan yang kita tahu. Nah novella ini menelusup karakter di balik serangan. Adalah Mahisa Randi, pemuda yang kecewa berat akan nasib buruknya. Ayahnya Kejo Ijo jadi korban konspirasi pembunuhan Ken Arok. Dikambinghitamkan, sehingga ia kini memiliki dendam. Dendam itu dipupuk rutin oleh Tadah, yang merupakan orang lingkar pertemanan orangtuanya.

“Hidup tidak semata-mata terdiri atas hal-hal wadag. Tetapi juga hal-hal yang tak kasat mata. Hidup dibingkai oleh akal dan perasaan yang melahirkan kemauan dan tindakan.”4. Nomor Nol by Umberto Eco

#4. Nomor Nol by Umberto Eco

Dunia jurnalistik yang unik. Bayang-bayang, seorang penulis gagal disewa untuk menulis tentang seseorang dengan bayaran menggiurkan. Sudah paruh baya, mau gmana lagi? Mumpung ada peluang, disikat saja. Lantas, dunia bergerak dengan anehnya. Yang menyewanya, bukan sembarang orang, melalui penghubung, tapi bos mereka adalah politikus militer yang bisa melakukan apa saja di Italia. Lalu malah menjadi semacam konspirasi, dengan setting tahun 1992, kita diajak melalangbuana ke masa Perang Dunia Kedua, di mana sang dictator tumbang, lantas muncul spekulasi, bahwa itu bukan mayat Mussolini, ada yang mengecoh, ada scenario lain. Lantas, sang penulis bayangan ini, malah terjerat cinta, sama teman nulisnya, sama sahabatnya yang ambisius, dan juga kere. Dan, pembunuhan. Novel detektif, tak lengkap tanpa ditemukan korban pembunuhan.

“Aku juga sudah menebaknya, meski kuharap aku keliru.”5. Bocah Lelaki yang Menulis Puisi by Yukio Mishima

#5. Bocah Lelaki yang Menulis Puisi by Yukio Mishima

Bagus banget. Sampai heran, kok bisa ada cerita sebagus ini, gmana bikinnya? Temanya keras, harusnya ada label 18+ terutama cerpen Patriotisme, detailnya mengerikan. Memberi efek gidik, sebuah horror maksimal. Bagi orang awam, bukan militer, tentu keputusan itu sangat mengerikan. Kesetiaan, sebuah kata sakti untuk memberi bukti cinta. Kumpulan cerpen dibuat begitu puitis. Diterjemahkan oleh Nurul Hanafi, penulis Makan siang Okta. Jadi paham, dan tahu bagaimana buku-buku beliau terinspirasi dari mana. beberapa hal mirip, penyampaian narasi bahkan nyerempet-nyerempet. Begitulah, kita adalah apa yang kita baca.

“Si bocah tahu dirinya sendiri seorang perasa, namun sensitivitasnya ada di arah yang berbeda dengan mereka semua.”6. Bulan di Atas Lovina by Yvonne De Fretes

#6. Bulan di Atas Lovina by Yvonne De Fretes

Kubaca sepanjang libur Lebaran lalu, sejatinya terlalu monoton tema yang diangkat. Berkutat di Bali, curhatan pribadi sebagai jurnalis dan penulis. Hubungan dengan orang lain yang tampak special, padahal sudah menikah, atau dunia literasi yang berkutat di Ubud. Mungkin bagi perempuan akan lebih mengena, tapi bagiku monoton. Kurang jauh cakupan kisahnya, dan konfliks yang disodorkan kurang berat. Tak ukuran kuintal, apalagi ton, hanya beberapa puluh kilogram saja.

“Betapa pun itu, itu kan untuk mencapai tujuan yang luhur. Keutuhan, yang pada waktu itu sangat dibutuhkan.”7. The Nanny Diaries by Emma McLaughlin & Nicola Kraus

#7. The Nanny Diaries by Emma McLaughlin & Nicola Kraus

Diluardugaku, bagus. Saya sudah memperkira, ini bakalan jadi drama pengalaman mahasiswi yang menjadi pengasuh anak, dengan akhir ia pergi dengan sendu. Mirip-mirip cerita The Devil Wears Prada, endingnya bakalan pergi. Dan itu benar. Prediksiku, akan jadi keterikatan batin antara pengasuh dan yang diasuh, dan itu benar. Perkiraanku, ini bakal mellow, mengedepankan sisi humanis hubungan bos dan pekerja, dan itu lagi-lagi benar. Lantas, mengapa tetap memukauku kalau nyaris semua itu terprediksi? Adalah cara menulisnya yang utama. Ditulis dengan sangat apik. Jelas, ini pengalaman pribadi penulis, sehingga apa yang dialami Nanny terasa nyata. Tak semua orang bisa merasakan geletar menjadi pengasuh, dan kalau kamu pernah mengasuh, dengan detail-detail itu terasa mengagumkan, jelas itu pengalaman.

“Aku berdoa untukmu setiap pagi, Sayang.” Ujar Grandma.8. Kiat-kiat Menyembuhkan Lara by Niskala & Asef Saeful Anwar

#8. Kiat-kiat Menyembuhkan Lara by Niskala & Asef Saeful Anwar

Kumpulan puisi yang begitulah. Tampak indah saat dibaca, tapi susah melekat lama di kepala. Begitulah, jenis ini memang tak mudah melekat permanen. Kudu special pakai telur. Tak beda dengan yang ini. Ditulis oleh pasangan, suami istri. Tampak personal dengan tema-tema kehidupan sehari-hari. Seperti curhatan bagaimana hubungan mereka lebih intim, lebih dekat lagi dengan cara mereka. Tips mengikat erat pasangan.

“Namun aku tak ingin menjadi / apa yang selalu kau ingat / sebab jika kau selalu mengingatku / aku sudah tidak lagi denganmu.”9. The Eyes of the Dragon by Stephen King

#9. The Eyes of the Dragon by Stephen King

Separo pertama luar biasa, proses bagaimana sang calon raja tumbang, dan haknya diberikan kepada adiknya. Prosesnya memang jadi daya tarik, detail-detail sang penyihir jahat menempatkan kroco-nya di tampuk pimpinan. Pembunuhan raja dengan racuk, difitnahkan ke si sulung, sampai akhirnya terpenjara. Separo lagi, lebih banyak perenungan. Bagaimana proses perebutan takhta, dilema boring menyusun strategi, menyentuh lima tahun! Dan endingnya ketebak. Sayang sekali…

“Baiklah! Sekarang, beritahu aku. Apa anjing menggunakan serbet?”

Karawang, 030523 – 110523 – Sherina Munaf – Mimpi dan Tantangan

Konspirasi, Mafia, Cinta, Korupsi, Cinta, dan Pembunuhan

Nomor Nol by Umberto Eco

“Tapi surat kabarlah yang menyebut Yohannes XXIII sebagai Paus yang baik, dan orang-orang mengikuti apa yang dikatakan suratkabar.” / “Betul. Suratkabar-suratkabar itu mengajari orang-orang bagaimana cara berpikir.” Kata Simei / “Tapi apakah suratkabar mengikuti tren atau menciptakan tren?”

Buku dibuka dengan kutipan, “Semata-mata koneksi!” – E.M. Forster

Dunia jurnalistik yang unik. Bayang-bayang, seorang penulis gagal disewa untuk menulis tentang seseorang dengan bayaran menggiurkan. Sudah paruh baya, mau gmana lagi? Mumpung ada peluang, disikat saja. Lantas, dunia bergerak dengan anehnya. Yang menyewanya, bukan sembarang orang, melalui penghubung, tapi bos mereka adalah politikus militer yang bisa melakukan apa saja di Italia. Lalu malah menjadi semacam konspirasi, dengan setting tahun 1992, kita diajak melalangbuana ke masa Perang Dunia Kedua, di mana sang dictator tumbang, lantas muncul spekulasi, bahwa itu bukan mayat Mussolini, ada yang mengecoh, ada scenario lain. Lantas, sang penulis bayangan ini, malah terjerat cinta, sama teman nulisnya, sama sahabatnya yang ambisius, dan juga kere. Dan, pembunuhan. Novel detektif, tak lengkap tanpa ditemukan korban pembunuhan. “Aku juga sudah menebaknya, meski kuharap aku keliru.”

Colonna, menerima tawaran itu. Mereka disewa Simei untuk surat kabar Domina (Besok) yang memang takkan terbit. Mereka didanai oleh penguasa jaringan berita dan berbagai bisnis, Commendator Vimercate. Namun, tentu saja bayaran besar itu tak selurus yang dikira. Mereka lalu dibayangi sebuah rencana lain. Memang, curiga di zaman kita itu perlu. “Kecurigaan tidak pernah terlalu jauh. Curiga, selalu curiga, itulah satu-satunya cara agar kau mencapai kebenaran, bukankah itu yang dikatakan sains?”

Colonna berpartner dengan editor nyeleh, eks editor majalah skandal What They Never Tell Us Cambria, Braggadocio. Lalu ada ada Lucidi yang bekerja di dinas rahasia. Palatino yang pernah mengasuh majalah teka teki silang. Costanza yang sudah pengalaman sebagai editor sehingga cuek, dan melenggang santai. Dan Maia Fresia, yang pernah di majalah gosip selebriti. Mereka bersatu untuk Domina. “Aku sudah mendapat berita pertama yang akan membuat Domani terjual seratus ribu kopi, kalau saja itu terjual.”

Braggadocio yang mengingin mobil untuk modal investigasinya, “Maaf, kau bilang kau ingin menghasilkan uang dari investigasimu untuk membeli mobil, tapi kau perlu mobil itu untuk melakukan investigasmu.” Ngajak ngopi, tapi malah kita yang bayari. Ngomong ngelantur ke mana-mana, ujungnya kita dibawa di area abu-abu. Dasar orang yang suka teori konspirasi. “Baiklah, melihat bahwa kita berdua adalah orang-orang tanpa kualitas – jika kau memaafkan sindiran itu – aku menerima persyarakat itu.”

Dia sendiri, yang awalnya pesimis hubungan cinta, malah menjalin dengan Maia. Dan berlangsung romantis, hubungan yang ditimbulkan kedekatan kerja itu malah membawa ke pengalaman baru, ia di tengah-tengah. Sahabatnya Brag mencurigai, Maia menderita delusi yang mengatakan otak kekasihnya, menganggap semua orang berpikiran sama. Tapi begitulah Maia, dia tidak bisa melihat sudut pandang orang lain, dia pikir semua orang berpikir seperti dirinya. Sementara Maia menganggap Brag orang aneh, siapa pun yang punya pengalaman mengerikan cenderung akan melebih-lebihkan ketika menggambarkannya? “Kecurigaan tidak pernah terlalu jauh. Curiga, selalu curiga, itulah satu-satunya cara agar kau mencapai kebenaran, bukankah itu yang dikatakan sains?”

Mereka disatukan dari berbagai dasar berbeda. Memandang berita dengan beda pula. Tapi kenapa harus melaporkan kecelakaan di North sini, di Bergamo, dan mengabaikan kecelakaan lain yang terjadi di selatan, di Messina? Bukan berita yang membuat suratkabar, melainkan suratkabar yang membuat berita. Dan jika kau tahu cara menyatukan empat artikel berita berbeda, maka kau bisa memberikan yang kelima kepada pembaca. “Baiklah, dia itu orang aneh, dia melihat konspirasi di mana-mana, tapi masalahnya tetap sama.”

Begitu juga saat memandang karya tulis. Wawancara dengan seorang penulis itu menghibur: tidak ada penulis yang akan bicara buruk tentang buku-buku mereka, sehingga pembaca tidak terkena serangan dendam atau angkuh. “Bahkan seorang ibu rumah tangga pun akan mengerti, dengan begitu dia takkan menyesal jika tidak membacanya, lagipula siapa yang membaca buku-buku yang diulas suratkabar? Secara umum bahkan tidak oleh di pengulas. Kita harus bersyukur sekiranya buku itu dibaca oleh si penulis.”

Saling sindir, salah satunya perbintangan. Simei setuju, Kami di sini mengerjakan jurnalisme, bukan kesusastraan. Haha, “Apa yang kukerjakan? Horoskop, memanfaatkan orang-orang tolol, bukankah itu suatu kegagalan?”; “Mereka yang bermain-main dengan peramal, pasti gila. Mungkin dia keturunan Cumaean Sybil.”

Maia yang cantik dan muda mengisi hati sang protagonist yang berusia paruh baya. Namun saat dibilang Maia muda, muncul sindiran lain yang tak kalah keras. “Tiga puluh? Di zaman Balzac, wanita berusia tiga puluh tahun sudah tua dan keriput.” Ah, dunia kerja. Selalu saja ada drama roman, saling silang bersinggungan.

Simei mungkin bukan jurnalis yang hebat, pikirku, tapi dia jenius dalam jenisnya sendiri. Suratkabar itu memang tak pernah terbit, tapi hubungan para jurnalis, editor, dan ruang berita itu tentu menerbutkan hubungan sosial. Dramanya menjadi panas, dan pada akhirnya ada korban yang jatuh.

“Menulis cerita detektif untuk orang lain itu mudah, yang harus kau lakukan hanya meniru gaya Chandler atau paling banter, Mickey Spillane. Tapi ketika menulis bukuku sendiri, kusadari bahwa dalam menggambarkan seseorang atau sesuatu, aku akan selalu membuat alusi budaya.”

Buku ini kubaca dalam sehari selesai, pada Sabtu, 15 April 2023. Panas-panas bulan puasa, selepas Subuh 05:00 sampai selepas Asar 15:40. Di rumah, di teras, di perpus keluarga, dan terutama di taman fasum Greenvil.
Saya sedang on progress membaca The Name of the Rose yang tebal itu. Sudah kubaca sejak awal tahun, bersamaan dengan Doctor-nya Erich Segal yang juga tebal. Keduanya belum selesai, justru yang tipis-tipis seperti ini yang tak direncana, dilahap instan langsung selesai. Ini adalah novel pertama Eco yang selesai kubaca, sebelumnya pernah baca Buku, Bahasa, dan Kegilaan terbitan Circa yang tipis itu.

Nomor Nol pada dasarnya novel sindiran terhadap jurnalisme. Jadi berita yang membentuk peristiwa, atau sebaliknya? “Berita tidak perlu diciptakan, yang harus kau lakukan adalah mendaur-ulangnya.”

Nomor Nol | by Umberto Eco | Terjemahan dari Numero Zero | Terbitan Houghton Mifflin Harcourt: 2015 | Penerjemah Vicki Yuni Anggraini | Editor Reza Nufa | Pemeriksa aksara Daruz Armedian | Tata sampul Hoo.k studio | Tata isi Vitrya | Pracetak Kiki | Cetakan pertama, Desember 2021 | Penerbit Basabasi | 216 hlm; 14 x 20 cm | ISBN 978-623-305-256-6 | Skor: 4.5/5

Untuk Anita

Karawang, 090523 – Sherina Munaf – Kembali ke Sekolah

Thx to Basabasi Store

Kisah Mereka yang Berdiam di Tengah-tengah

Bocah Lelaki yang Menulis Puisi by Yukio Mishima

“Puisi itu tak ubahnya seperti sisi kaca transparan warna kebiruan, tempat matamu yang cemerlang menyembunyikan sebentuk cinta.”

Bagus banget. Sampai heran, kok bisa ada cerita sebagus ini, gmana bikinnya? Temanya keras, harusnya ada label 18+ terutama cerpen Patriotisme, detailnya mengerikan. Memberi efek gidik, sebuah horror maksimal. Bagi orang awam, bukan militer, tentu keputusan itu sangat mengerikan. Kesetiaan, sebuah kata sakti untuk memberi bukti cinta. Kumpulan cerpen dibuat begitu puitis. Diterjemahkan oleh Nurul Hanafi, penulis Makan siang Okta. Jadi paham, dan tahu bagaimana buku-buku beliau terinspirasi dari mana. beberapa hal mirip, penyampaian narasi bahkan nyerempet-nyerempet. Begitulah, kita adalah apa yang kita baca.

Temanya variatif, semuanya bagus. Sangat bagus. Beruntung mendapatkan buku ini. seperti yang disampaikan Cep Subhan, sang editor, kisah yang direka dalam buku ini merupakan kisah-kisah mereka yang terjebak di tengah-tengah. Kabar terbaru sih, diterbitkan ulang penerbit lain, tapi jelas edisi EA ini bakalan cult, dan sepuluh tahun lagi bakalan langka dan mahal. Semoga…

#1. Bocah Lelaki yang Menulis Puisi

Siswa yang idealis menatap hidup, menulis puisi dengan indah dan mendapat pengakuan. Selintas lalu, jelas ia memiliki kecerdasan di atas rata-rata, tapi kelebihan itu dibarengi dengan sifat sombong, dan introvert keraguan.

“Si bocah tahu dirinya sendiri seorang perasa, namun sensitivitasnya ada di arah yang berbeda dengan mereka semua.”2. Mutiara

#2. Mutiara

Dinarasikan bak sebuah cerita detektif, sebuah mutiara disajikan dengan tanya. Para nyonya yang merayakan ulang tahun, tapi perayaan itu menjadi janggal sebab setiap individu, para tamu yang menghormati sekaligus menafikan persahabatan. Pengakuan, di mana amutiara itu diputar bikin pusing. Pada dasarnya memang sisi dalam manusia, apalagi perempuan, tak bisa ditebak. Lima nyonya berkumpul: Ny. Sasaki yang sedang ulang tahun, dirayakan dengan sahabatnya: Ny. Yamamoto, Matsumura, Azuma dan Kasuga. Terkumpul dalam Paguyupan Rahasia Umur Kita. Lalu sang tuan rumah memperlihatkan mutiara dalam cincin. Warna mutiara kali ini nampak lebih elok, karena bersepadan dengan gaun yang sedang ia kenakan. Misteripun diapunglan.

“Ini seperti sebuah firasat buruk di tengah suasana gembira, namun tidak akan kalah memalukan jika semua orang sampai tahu.”3. Sang Pendeta Kuil Shiga dan Kekasihnya

#3. Sang Pendeta Kuil Shiga dan Kekasihnya

Pendeta suci seorang pendeta agung dari kuil Shiga yang tak terburu nafsu, di usia senjanya malah penasaran bagaimana rasanya bercinta. Seorang selir istana yang sudah muak bersetubuh, di masa tuanya mengingin pertobatan, ingin mengakhiri perzinaan. Dan dalam perjalanannya, mereka dipertemu dalam lanskap takdir. Dunia ini memang sudah bebas dari segala emosi sehingga nampak tak lebih dari sebuah lukisan di atas sehelai kertas atau sebuh peta negeri asing.

“Namun wajah wanita yang mengangkat tirai kereta dan menatapnya dari seberang danau itu terlalu selaras, terlalu cemerlang untuk disebut sekadar segugus daging, dan sang pendeta tak tahu harus menyebut dengan nama apa.”4. Rokok

#4. Rokok

Kembali ke karakter remaja, bocah baik-baik yang tak mau nakal, tak mau merokok, apes dihadang para senior begundal yang memaksanya mencicipi rokok. Terbatuk, wajar. Lalu dalam keterdesakan, sifat alami manusia yang terdalam muncul. Rokok jadi patik, tapi tetap membumi. Ini seperti berlawanan dengan Bocah penulis puisi. Keduanya berada di Klub Sastra.

“Aku tak bisa malam itu, memikirkan hal-hal terjauh yang masih mungkin dicapai oleh pikiran seorang remaja seusiaku.”5. Air Mancur di Tengah Hutan

#5. Air Mancur di Tengah Hutan

Ini lucu, sangat amat lucu. Bagaimana pemuda yang gugup, mau memutuskan pacarnya setelah lama berhubungan, dan akhirnya menemukan titik jenuh. Di masa menegangkan, takut salah ucap, takut salah tangkap maksud. Dan menurutku wajar saja, kita semua pernah ada di masa itu. Gugup memutuskan pacar, satu kalimat keramat, “Sudah saatnya kita berpisah.” Kata-kata itu cukup diucapkan saja, dan langit akan terbelah menjadi dua.

Aiko berkata-kata, Masako menerimanya. Lega, mulanya. Namun ending-nya malaha bikin senyum pembaca. Oh, tak semudah itu fergusso. Riaknya belum tenang, ada hantaman lain yang memusingkan.

“Jika tidak sungguh-sungguh menyimaknya kau seperti terkepung kesunyian.”6. Tiga Juta Yen

#6. Tiga Juta Yen

Ini yang terbaik. Pasangan miskin Kenzo dan Kiyoko menghabiskan malam panjang untuk pertunjukan. Ia disewa para konglomerat, diminta tampil dengan bayaran besar. Bagi jiwa-jiwa miskin, tampil sebentar dengan uang tiga juta yen tentu menggiurkan. Menuju waktunya, mereka berdua menghabiskan masa dengan bermain-main di pasar malam, festival membuang uang untuk kesenangan. Setiap harga, diperhatikan, Diperdebat. Ah, sampai akhirnya mereka bertemu dengan para penyewa. Emang tampil apa?

“Di lantai empat ada taman hiburan indoor. Kita bisa bunuh waktu di sana.”7. Laut dan Mentari yang Terbenam

#7. Laut dan Mentari yang Terbenam

Ini ironis nan aneh nian. Seorang anak mendapati mimpi, dan ditafsir sebagai wahyu, untuk menyeberangi lautan. Mulanya begitu banyak pengikutnya, meminta untuk terus melanjutkan pelayaran. Namun tak dinyana, nasib malah mengubah haluan. Tak semua bisikan, firasat, kata-kata samar di mimpi itu dari Tuhan. Lereng yang didaki Anrik dan di bocah, masih terbasuh sinar mentari, dan kawanan jangkrik di hutan sekitar mereka telah mulai ribu mengerik.

“Berurai air mata demi membujukku agar mengurungkan rencana liar itu.”8. Patriotisme

#8. Patriotisme

Satu kata untuk menggambarkan cerpen ini, “sadis”. Kalian harus baca sendiri.

“Kepedihan tumbuh meninggi, menjulang ke atas.”9. Kain Bedungan

#9. Kain Bedungan

Ini luar biasa, seorang istri muak sama suaminya. Muak pada dokter yang menangani persalinan perempuan miskin. Mereka memperlakukan kaum papa dengan kurang layak, bayi yang terlahir itu ditangani dengan buruk, hanya dengan kain bedungan. Dan sang istri membayangkan, nantinya si bayi dewasa bagaimana perasaannya tahu, ia terlahir dengan respons seperti itu. Maka malam itu, di tengah rengekan orchestra music jazz ia duduk terdiam memikirkan kejadian itu, sementara suaminya bercanda tawa dengan semua teman. Setelah suaminya menanggil taksi, ia kabur ke Chidotogafuchi, nama taman ini, Lembah Ribuan Burung. Menemukan kejutan di kota kumuh. Toshiko terlalu sensitif sejak masih gadis kecil. Itu sudah sifatnya.

“Malam sudah jauh di atas jam sepuluh dan sebagian besar pengunjung telah pulang.”10. Telur

#10. Telur

Lima anak kuliah yang berpesta pora, menyikat telur. Chukichi, Jataro, Mosuke, Satsuko, dan Ingoro. Mereka adalah aggota tim kayuh. Namun kali ini, kita dijungkirbalikan sama keadaan. Seolah, tukar nasib. Dunia menjadi sebulat telur. Selicin kulitnya, serapuh mereka yang kena pukul langsung ambyar. Suara ribut macam ritual orang tak kenal adat ini bergema bermil-mil jaraknya ke segala penjuru. Ah, jiwa-jiwa pemuda yang bebas. Rasakan!

“Dan ideologi, apapun bentuknya, mengandung elemen kekerasan.”

Kubaca selama libur Lebaran di kampung halaman. Selama tiga hari 22, 23, 24 April 2023 di Palur. Selesai baca di sungai etan dekat Bandran pukul 08:30. Sebuah pos kampling Badran RT 04/01, Triagan. Buku ini sudah lama ada di rak, entah kemarin kenapa kuambil kubaca mudik, memang paling enak baca buku di perjalanan tuh, kumpulan cerpen atau kumpulan esai. Dan beruntung, benar-benar beruntung saya membaca buku ini. Kebangetan bagusnya.

Catatan terakhir, mungkin hanya feelingku. Penulis yang menuangkan cerita fiksi, dengan deburan kata ‘bunuh diri’, beberapa benar-benar menimpa nasib aslinya. Daftarnya panjang, Mishima hanya salah satunya di buku ini ia dengan gamblang berkata-kata, bunuh diri adalah jalan hidup, bahkan di cerpen Patriotisme, prosesnya ditulis dengan detail yang mengagumkan, sekaligus sadis.

Yang paling kuingat, salah duanya lagi adalah Virginia Woolf, berulang kali membahas tindakan ini. Dan tentu penulis ikonik Ernest Hemingway yang berulang kali mencoba, lalu benar-benar terjadi.

Hati-hati atas apa yang ada di pikiran, dan lebih hati-hati terhadap apa yang kalian tulis.
Bocah Lelaki yang Menulis Puisi | by Yukio Mishima | EA Books, 2016 | Diterjemahkan dari: Japan, The Beauty; and Myself and Others Stories (kompilasi) | Cetakan pertama, Desember 2015 | 12 x 18 cm | ISBN 978-602-1318-39-3 | Penerjemah Nurul Hanafi | Editor Cep Subhan KM | Perancang sampul Eka PoCer | Gambar sampul Syaipul Bahri | Lay out MS Lubis | Skor: 5/5

Karawang, 020523 – 070523 – Jisoo Blackpink – Flowers

Thx to Ramones, Jkt

Bulan di Atas Lovina

“Kadang-kadang, bila kita menoleh ke belakang, ada jalan-jalan yang sama sekali tidak kita kenal, yang asing bagi kita.”

Kubaca sepanjang libur Lebaran lalu, sejatinya terlalu monoton tema yang diangkat. Berkutat di Bali, curhatan pribadi sebagai jurnalis dan penulis. Hubungan dengan orang lain yang tampak special, padahal sudah menikah, atau dunia literasi yang berkutat di Ubud, Lombok, Jakarta, Sumatra, dan itu-itu saja. Mungkin bagi perempuan akan lebih mengena, tapi bagiku monoton. Kurang jauh cakupan kisahnya, dan konfliks yang disodorkan kurang berat. Tak ukuran kuintal, apalagi ton, hanya beberapa puluh kilogram saja.

Mulai kusikat saat perjalanan mudik tanggal 19 April 2023 di kereta api Jaka Tingkir, Senen ke Porwosari. Dan selama libur, di sela silaturahmi dan jalan-jalan, kuselesaikan pada 26 April 2023 di sebuah pos kampling di Badran, Karanganyar, pagi 08.30.

#1. Rumah di Tikungan Itu

Tentang seorang istri yang menyaksi rumah bagus saat naik bus. Rumah megah di tikungan yang tampak asri itu ternyata milik teman sekolahnya dulu. Awalnya iri, hidup di rumah sederhana, saat itu bulan puasa, makan berbuka dengan keluarga yang juga sederhana. Namun saat akhirnya mereka bertemu, dengan teman lamanya. Tahulah, sisi buruk rumah asri itu. Rasa irinya seketika lenyap.

“Tidak semua yang tampak indah itu, indah pula isinya. Dalam hal ini yang namanya materi lalu tak berarti apa-apa.”

#2. Sepasang Giwang untuk Ibu

Ini mungkin yang paling klise, kebaikan yang membuncah dibalas instan sama Tuhan. Perawat yang baik, melayani pasien kaya raya. Lalu setelah pasien selamat, mendapat pelayanan ekstra, baik dan plus-plus + donor dan mencarikan pendonor. Bapaknya kasih uang, bisa dibilang tips, tapi orang umum bisa juga bilang gratifikasi, sogokan. Apapun itu, tenaga profesional dilarang menerimanya. Yerinah bimbang, ia ingin membelikan ibunya sepasang giwang, tak punya uang, dengan uang tips itu, keinginannya terkabul, tapi nurasinya berkata tidak. Well, jalan pintas itu mungkin sedikit memutar.

“Maaf, saya tidak bisa menerimanya. Tidak boleh.”

#3. Menapak Hari-hari Senja

Semacam nostalgia, tapi tak biasa. Seorang ibu memenuhi undangan anaknya untuk acara wisuda. Anaknya yang kini lulus kuliah di Jakarta, mengirim kabar dan undangan. Kini sang anak tinggal sama papa-nya dan ibu tirinya. Hati siapa yang tak gentar menerima kabar baik itu, dan sekaligus pahit karena ketemu dengan mantan suami? Ah, waktulah yang mengobati semuanya.

“Mama harus datang, Hani harap dan rinduuu sekali.”

#4. Bulan di Atas Lovina

Ini semacam curhat special, tapi bukan dengan pasangan, tapi sama orang asing yang tak asing. Maksudnya, orang luar yang seprofesi, teman kerja, curhatannya masalah hati. Ah, dilemma dong. Bayangkan saja, ngobrol romantis dengan debur ombak sebagai backsound, bulan terang menjadi saksi, seorang pria menghabiskan malam dengan seorang gadis. Tentu bukan ngobrolin saham. Dan endingnya, sang pria penasaran apakah istrinya nun jauh di sana juga memandang bulan yang sama di atas Lovina?

“Aku ingin sendiri Mas, aku butuh itu.”

#5. Puisi untuk Kunti

Sungguh tampak nyeni, atau bolehlah dibilang ideal. Menulis puisi, menggambar, dengan orang terkasih, dengan teman lagu-lagu klasik yang nyaman, Beethoven? Mozart? Tentu selera tinggi. Dunia seolah tersenyum.

“Aku lebih suka melihatmu belepotan begitu sedang menikmati kegemaranmu melukis.”

#6. Gerimis Malam di Ubud

Kumpulan artis di Ubud, tentu bukan membahas cara bercocok tanam yang baik, atau cara ternak lele yang menguntungkan. Ini kumpulan orang berbakat, ngobrolin sastra, lukis, seni, dst. Dari berbagai dunia, dan jadi pemasukan warga lokal secara wisatawan jadi devisa.

“Selamat pagi camarku. Terima kasih. Nanti malam di kafe sudut jalan?”

#7. Sepucuk Surat dan Sebuah Rumah

Ini surat untuk Nur. Mencerita detail Bali dan keadaan kepada sahabatnya di Maluku. Pantai, irama ombak, desir angin. Pasir putih, ah negeri yang romantis. Dan rumah. Ya, rumah sesungguhnya, bukan rumah singgah.

“…di suatu waktu kelak saya kira saya dapat menerima kedua negeri ini sebagai rumah saya.”

#8. Sang Putri

Lombok Selatan yang sekarang adalah daerah yang subur, tak seperti lima enam tahun sebelumnya. Dan begitulah, kita diajak menelusur legenda sang Putri. Putri Mandalika di zaman dulu mendapat pinangan dari banyak pangeran, dan karena tak mau membuat kerajaan pecah, melakukan tindakan ekstrem. Dan zaman sekarang kita mendapati kisah yang mirip, Putri Maenah. Tindakan yang dipilih tak ekstrem, tapi dianggap lebih berani.

“Betapa pun itu, itu kan untuk mencapai tujuan yang luhur. Keutuhan, yang pada waktu itu sangat dibutuhkan.”

#9. Lukisan Rindu dan Seorang Wanita

Pelukis yang merindu masa lalu. Lama tak jumpa dengan Yuni, ia kini berkesempatan bertatap muka. Dan apa yang membuatnya tak bisa lupa? Matanya yang istimewa, sama seperti bilang yang tak suka bentuk hidungnya. Itu tak terlupa.

“The sea, the sunset, and you.”

#10. Sesudah Petunjukan Usai

Pertunjukan tari di Bali, dan kejadian setelahnya. Pertemuan laki-laki dan perempuan, dan obrolan di kafe dengan hujan rintik di luar. Ah, dicipta romantis, dengan tema cinta dan debat eksistensi.

“Cinta dan benci itu Cuma dipisahkan oleh sesuatu yang jauh lebih tipis dari seutas rambut dibelah tujuh, kata orang bijak.”

#11. Tuhan Memberkati

Sebuah lagu klasik dari Bengkulu didedah dan dijadikan pijakan cerita. Dan bagaimana dibawa melintasi pulau sampai Bali. Obrolan cewek-cewek, dan doa tulus untuk kesehatan semuanya.

“Selamat jalan Tuhan memberkati.”

#12. Senja di Desa Petulu

Ubud lagi. di waktu senja, dengan sepeda melintasi perkampungan, menikmati alam, sekalian olahraga.

“Juga aku sudah kangen akan kepak-kepak sayap bangau.”

#13. Mendung di Malam Tabot

Sebuah acara keagamaan di Bali dan liputan yang akan disajikan. Hujan di malam, cerah menimpali di pagi.

“Kita memang bersandar pada apa yang mungkin kekal, mungkin pula tidak kekal. Kita memang bersandar pada mungkin.” (puisi Gunawan Mohamad, “Pada sebuah pantai”)

#14. Sebuah Jendela Menghadap Taman

Hubungan kami bisa langgeng bila tidak dimasukkan unsur lainnya.

“Kamu jangan terlalu lama menghilang, aku bisa kesepian.”

#15. Malam Liburan yang Berbeda

Mengenang kenangan di Bali, setelah pernikahan enam belas tahun berlibur ke Pantai di Bali. Lalu dengan kesendiriannya menelusur kota. Berkenalan dengan pria, dan berdansa. Tentu saja muncul godaan, ia menerjunkan diri pada resiko hubungan baru. Beranikah?

“Orang memang mudah tergoda bila sedang dilanda kemelut, barangkali saja.”

Secara keseluruhan bagus, tapi tak istimewa. Temanya mellow, wanita paruh baya yang kesepian walaupun statusnya tak sendiri. Pertemuan-pertemuan komunitas yang mencipta hubungan intens, sampai pada kerapuhan hati, padahal di mata awam ia begitu tegar. Begitulah hidup, kita tak pernah tahu hati seseorang. Hanya lapis luarnya saja, dan itu sah-sah saja. Buku pertama Bu Yvonne yang kubaca, kalau ada karya lain dipertemukan tentu saja siap kunikmati dan ulas lagi, tapi tak masuk daftar kejar juga.

Ngalir sahaja. Overall, tak mengecewakan, apalagi kata pengantarnya sastrawan besar Sapardi djoko Damono.

Bulan di Atas Lovina | by Yvonne De Fretes | Kumpulan Cerita Pendek | Copyright Yvonne De Fretes, Juni 1995 | Cetakan kedua, Oktober 2013 | ISBN 978-602-8966-43-6 | Desain sampul Yoku Ds (revisi) | Penata letak Cyprianus Naipun | Supervisi Kurniawan Junaedhie | Penerbit Kosa Kata Kita, Jakarta | Skor: 3.5/5

Karawang, 040523 – Jet – Look What You’ve Done

Happy Birthday May, 1985-2023 (38 tahun)

Thx to Mas Daniels, Yogyakarta

Buku Harian Nanny

“Grayer suka segala benda yang ada hubungannya dengan The Lion King, Aladdin, Winnie The Pooh. Dia baru berusia empat tahun.”

Diluardugaku, bagus. Saya sudah memperkira, ini bakalan jadi drama pengalaman mahasiswi yang menjadi pengasuh anak, dengan akhir ia pergi dengan sendu. Mirip-mirip cerita The Devil Wears Prada, endingnya bakalan pergi. Dan itu benar. Prediksiku, akan jadi keterikatan batin antara pengasuh dan yang diasuh, dan itu benar. Perkiraanku, ini bakal mellow, mengedepankan sisi humanis hubungan bos dan pekerja, dan itu lagi-lagi benar. Lantas, mengapa tetap memukauku kalau nyaris semua itu terprediksi? Adalah cara menulisnya yang utama. Ditulis dengan sangat apik. Jelas, ini pengalaman pribadi penulis, sehingga apa yang dialami Nanny terasa nyata. Tak semua orang bisa merasakan geletar menjadi pengasuh, dan kalau kamu pernah mengasuh, dengan detail-detail itu terasa mengagumkan, jelas itu pengalaman.

Kedua, bagian ketika Miss Chicago merusak hubungan bosnya, Nanny menempatkan diri dalam keraguan di tengah-tengah. Ia jelas kesal bosnya dicurangi, ia juga kesal sama bosnya yang semena-mena. Gaji kecil, waktu kerja flesible, tuntutan kerja yang kurang manusiawi. Lantas, saat kamu di posisi itu apa yang harus dilakukan? Profesional? Ah, itu kiasan saja. Kamu benci bosmu, tapi sekaligus kamu senang tahu bosmu dicurangi. Apa yang kamu lakukan? Konfliks yang menarik bukan?

Ketiga, endingnya. Sungguh melegakan. Seperti yang kubilang, ini bakalan melow dengan kepergian Nanny. Namun ternyata dibuat dengan sungguh manis. Rekaman, amarah, anjing! Dan rekaman, amarah mereda, anjing! Tinggal pilih, kedamaian macam apa yang ingin kamu tapaki. Nanny ternyata jauh lebih bijak dari usianya. Dan itu sungguh mengasyikkan. Grace!

Keempat, ini agak menggelikan. Grayer yang berusia empat tahun, malah dididik oleh pengasuhnya. Dimanja sama mamanya, dipuja teman-temannya, sebab dia anak orang kaya. Nanny menjadi sebijak filsuf, ingin menempatkan diri sebagai pemberi pengaruh baik. Luar bias mulia. Namun, yang lucu. Bosnya (mama Grayer), malah memiliki misi lain, ia tahu ia dicurangi, ia malah mencipta Grayer lain. Dan saat tahu masa lalu suami sang bos, tahulah kita, orang-orang kaya ini sejatinya rapuh. Uang memang mengelilingi mereka, tapi hubungan keluarga mereka rengang, dan rapuh.

Kelima, nama-nama karakternya seolah malas. Nanny sebagai nanny? Mrs. X sebagai bos. H.H. sebagai kekasihnya? Alamak. Kenapa tak memakai nama umum saja. Mungkin untuk mencari aman, agar taka da yang tersinggung. Namun rasanya malas saja. Ini kisah fiksi, berdasar pengalaman, jelas penjelasan itu sudah sangat aman.

Keenam, setiap bab dibuka kutipan. Boleh kuketik ulang.

Jadi The Nanny Diaries berkisah tentang mahasiswi bernama Nanny (nama karakter) yang menjadi pengasuh Grayer. Anak keluarga kaya Manhattan. Ia menggantikan pengasuh sebelumnya, Caitlin yang cabut karena kasus. Kasusnya apa, tentu karena keegoisan bos. Mrs. X (nama karakter). Mana mungkin karena kesalahan pengasuh. Dan begitulah, nantinya dunia berputar. Menjadi pengasuh Grayer bukan yang pertama, “Jadi setiap pertemuan wawancara menjadi begitu repetitif seperti ritual keagamaan, dan sesaat sebelum daun pintu itu terayun membuka, aku selalu tergoda untuk berlutuk atau mengatakan, “Ayo!””

Yang menarik, Nanny dikelilingi orang-orang baik. Sahabat, teman kuliah, pacar bernama H.H (nama karakter). Dan terutama neneknya. Kunjungan rutin, curhat, makan malam, minum teh. Jelas, Nanny ada dalam keluarga yang hangat. “Aku berdoa untukmu setiap pagi, Sayang.” Ujar Grandma.

Nah, cerita dibuat dalam sudut orang pertama. Nanny bercerita, kesehariannya. Kesibukan sebagai mahasiswi NYU, dan seperti kebanyakan mahasiswa ekonomi menengah ke bawah, ia butuh uang untuk menyelesaikan kuliahnya. Menjadi pengasuh, setidaknya sampai lulus. Bagaimana, akhirnya, kalian harus baca! Merawat anaknya bukan hanya suatu kehormatan – tetapi juga petualangan.

Kurasa kutipan setiap ganti bab itu model buku yang bagus, maka saya ketik ulang Catatan tiap bab:1. Kemudian, dengan dengusan panjang dank eras, yang sepertinya menandakan bahwa ia telah mengambil keputusan, ia berkata, “Aku akan mengambil pekerjaan itu.” / “Astaga,” begitu kata Mrs. Banks kepada suaminya kemudian, “seolah-olah ia mendapat kehormatan.” – Mary Poppins

#1. Kemudian, dengan dengusan panjang dank eras, yang sepertinya menandakan bahwa ia telah mengambil keputusan, ia berkata, “Aku akan mengambil pekerjaan itu.” / “Astaga,” begitu kata Mrs. Banks kepada suaminya kemudian, “seolah-olah ia mendapat kehormatan.” – Mary Poppins

#2. Oh Tuhan, sakitnya kepalaku! Kepalaku! Punggungku di sisi yang lain – oh, punggungku, punggungku! Terkututlah hatimu karena membawaku kemari. Menjemput ajalku sambil melompat naik-turun! – Sang Perawat, Romeo And Juliet

#3. Nana juga membuat bingung Mr. Darling dalam hal lain. Kadang-kadang ia merasa Nana tidak terlalu menyukainya. – Peter Pan

#4. “Uuuuuuh, aku sangat sayang pada Nanny, sungguh… Dia adalah teman baikku.” – Eloise

#5. Mammy merasa keluarga O’Hara adalah miliknya, sepenuhnya. Rahasia mereka adalah rahasianya, dan jika ada sedikit saja tanda-tanda suatu rahasia, ia akan terus melacaknya tanpa kenal lelah, seperti seekor anjing pelacak. – Gone With The Wind

#6. Perawat tua itu naik ke atas dengan gembira walau lututnya kepayahan, dan langkah kakinya berkeletak, untuk memberitahu nyonya rumah bahwa tuannya sudah kembali. – Odyssey

#7. Mereka merasa tidak ada gunanya mereka tinggal bersama, dan bahwa orang-orang yang berjumpa tanpa sengaja di sebuah penginapan memiliki lebih banyak kesamaan daripada mereka, anggota keluarga Oblonsky dan pelayan-pelayan mereka. Sang istri tidak pernah meninggalkan kamarnya dan sang suami menjauhi rumah sepanjang hari. Anak-anak berkeliaran di seluruh rumah, tidak tahu harus berbuat apa. – Anna Karenina

#8. Mammy memiliki cara tersendiri untuk menunjukkan pendapatnya tentang segala hal pada majikannya. Ia tahu, orang-orang kulit putih yang terhormat menganggap sangat tidak pantas memedulikan apa yang dikatakan oleh pelayan kulit hitam yang sedang mengomel sendirian. Untuk menjaga wivawa, mereka tidak boleh mengacuhkan apa yang dikatakannya, walau ia mengatakannya dengan berteriak di ruang sebelah. – Gone With the Wind

#9. Pengasuh yang memiliki seperempat darag Negro dianggap sebagai beban, hanya bisa disuruh mengancingkan korset dan celana serta menyikat dan membuat belahan rambut; karena sepertinya sudah menjadi ketentuan dalam masyarakat itu untuk memiliki rambut yang diikat dan dibelah, – The Awakening

#10. Baiklah. Aku tumbuh dewasa dan kemudian menjadi governes (jeda) Aku inginsekali bisa memulai percakapan, tapi tidak ada orang yang bisa kuajak bicara… aku tidak punya siapa-siapa. –Governess Keluarga Andryeevich, The Cherry Orchard

#11. Ia bersikap ingin menunjukkan siapa yang berkuasa di rumah itu, dan ketika perintah-perintahnya tidak berhasil mengeluarkan Nana dari kandang anjing, ia membujuk Nana dengan kata-kata semanis madu, dan menyambarnya dengan kasar, menyeretnya dari kamar bayi. Ia malu, tapi tetap melakukannya. – Peter Pan

#12. Tapi taka da yang tahu apa yang dirasakan Mary Poppins, karena Mary Poppins tidak pernah mengatakan apa pun pada siapa pun. – Mary Poppins

Ini bukan buku duet pertama yang selesai kubaca, dan memuaskan. Beberapa buku duet menghasilkan karya berkualitas di era modern ini sudah lazim. Dan buatku tak masalah, selama mutunya baik. Yang jadi pertanyaan, apakah duet ini kembali menghasilkan karya tulis? Emma dan Nicola, dua nama asing ini. andai ada, jelas patut dinanti.

Buku Harian Nanny | by Emma McLaughlin & Nicola Kraus | Copyright 2002 | Judul asli The Nanny Diaries | Alih bahasa Siska Yuanita | GM 402 08.027 | Desain sampul maryna.roesdy@plasa.com | Sampul dikerjakan oleh Marcel AW | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | April 2003 | Cetakan kelima: April 2008 | 408 hlm.; 18 cm | ISBN-10: 979-22-3719-4 | ISBN-13: 978-979-22-3719-1 | Skor: 4/5

Karawang, 020523 – Sherina Munaf – Lari Dari Realita

Thx to Ade Buku, Bandung

Matahari Senjakala

“Cinta merupakan perasaan paling suci bagi setiap insan. Perasaan itu datang tidak dapat diduga, juga tidak dapat ditolak…”

Tanpa tahu ini tentang apa, saya menelusur novel sejarah. Kerajaan Kediri yang dipimpin oleh Raja Kertajaya diserang Tumampel yang dipimpin oleh Ken Arok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa adalah sejarah kerajaan yang kita tahu. Nah novella ini menelusup karakter di balik serangan. Adalah Mahisa Randi, pemuda yang kecewa berat akan nasib buruknya. Ayahnya Kejo Ijo jadi korban konspirasi pembunuhan Ken Arok. Dikambinghitamkan, sehingga ia kini memiliki dendam. Dendam itu dipupuk rutin oleh Tadah, yang merupakan orang lingkar pertemanan orangtuanya. Begitulah, pembukanya dibuat nyastra, di mana Randi terbangun dini hari, merenung kalut. Lalu keluar rumah, menatap bintang, diskusi terjadi. Keheningan kembali menyeruak. Sementara malam makin melambung. “Yang harus kamu lakukan adalah mencari ketenangan. Kau harus mengendapkan gejolak batinmu. Kau harus menghayati bahwa hidup ini tidak semata-mata dengan akal dan perasaan saja.”

Randi menautkan hati pada gadis bunga desa Ken Murti. Sebenarnya cintanya bersambut, tapi nasib berkata lain, ia dijodohkan dengan pemuda lain. Tentu saja teriakan itu tidak pernah keluar dari mulutnya, teriakan itu hanya menggema di relung hatinya. Makin remuklah hatinya. Nantinya, Randi kembali ke kampung halaman, menemukannya dalam proses akan menikah, dan dalam kegalauan akut, ia disakiti takdir.

Rencana pembunuhan Ken Arok, yang kini menjadi Sri Rajasa gagal. Orang orang utusan itu hanya mencapai kata dekat. Kedua orang itu bernama Klabangkara dan Karawelang, mencapai bilik Sri Rajasa, dan gagal dalam prosesnya. Dihukum mati, Randi yang ketakutan kabur, mengembara, keluar dari kampung halaman Lemah Teles.

Padahal ia sebenarnya diampuni, Sri Rajasa berjanji akan memberinya karier di kerajaan. Namun ia tetap berpetualang seorang diri. Tersebutlah di lereng gunung, ia diterima di padepokan yang diajar oleh Mpu Kudung, dan jatuh hati sama pendekar lokal Sedah Mirah. Waktu berjalan dengan cepat. Dua bulan Mahisa Randi tinggal di Padepokan itu, telah merubahnya. Ia bukan Mahisa Randi dari Lemah Teles yang ketakutan dikeroyok. Ia bukan Mahisa Randi yang hanya mengenal kuda.

Di sinilah, muncul pemuda lokal yang sudah mencintainya lebih dulu. Sedah Mirah, Paningset, dan Madangkungan, tiga murid terkemuka Mpu Kudung melawan Paningset. Pertama kali lihat Randi, Paningset langsung memiliki feeling, bakalan jadi pesaing, maka ditantang duel. Padahal Sedah tak suka, ia mengobati Randi karena sebagai teman murid padepokan. Namun Paningset yang gelap mata tak peduli, ia lalu menantang duel sampai mati di malam purnama. Malam menjadi lebih seram ketika kemudian ditingkah suara burung kedasih. Randi yang kini sudah jadi hebat, menyanggupi. Duel di bukit itu berakhir anti klimaks.

Para pendekar senior tiba-tiba bergabung, Sedah Mirah dan Madangkungan juga ikut. Khas cerita silat, yang kalah akan dieksekusi, tiba-tiba muncul penyelamat. Mpu Kudung yang juga dikenal bernama Kijarak Japlak senantisas menekankan semangat kebersamaan. Ki Tambir ternyata memiliki masa lalu keras sama guru mereka Mpu Tulung. Dan dendam lama itu tentang perempuan. Ki Tambir menyusupkan ponakannya Paningset ke padepokan lawan. Seperti Sedah yang kini memiliki pesona meluluhkan hati pemuda, ada bunga desa yang diperebut keduanya. Sahabat jadi musuh. Kecantikan yang dimiliki Sedah Mirah mempu mengguncang keimbangan nalar seorang Paningset.

Maka dendam itu harus dituntaskan. Sementara mereka mencari sekutu agar serangan makin kuat. Begitulah, kerajaan Kediri berdiri di sisi lain. Sementara Sri Rajasa yang pernah menjanjikan karier kepada Randi memenuhi janjinya, menjadikannya panglima perang. Ujungnya adalah epic sejarah serangan ke Kediri yang kala itu kerajaan besar. Dijelaskan dalam satu bab pendek, untuk ukuran perang akbar. “Dan bagi seorang kesatria, mati di medan laga merupakan suatu kehormatan besar, pintu surga akan terbuka lebar.”

Judul buku diambil dari ritual kerajaan. Sebuah upacara melaksanakan sesaji senjakala saat matahari terbenam. Kebiasaan itu telah lama dilakukannya sejak lama. Matahari senjakala merengkuh Pundak Sategal dalam keheningan.

Banyak kalimat filsafat diselipkan. “Dan ketika manusia lahir ke mayapada, manusia telanjang bulat, tanpa embel-embel sesuatu apa pun.”

Atau kata-kata renungan, “Hidup tidak semata-mata terdiri atas hal-hal wadag. Tetapi juga hal-hal yang tak kasat mata. Hidup dibingkai oleh akal dan perasaan yang melahirkan kemauan dan tindakan.”
Kita perlu membaca sejarah, dan buku kecil ini perlu. Terima kasih.

Diantara desaunya angin pegunungan serta riak suara orang dagang, Jarakjaplak mendengar tempat persembunyian Tambir. Ingatlah, orang yang berjiwa besar akan menganggap persoalan besar menjadi kecil dan sebaliknya orang yang berjiwa kecil akan menganggap persoalan kecil menjadi besar.

Matahari Senjakala | by Karsono H Saputra | WWS 2003.20.01 | Penerbit Wedatama Widya Sastra | Rancangan sampul Eko A.P. | Cetakan pertama | Jakarta, Agustus 2003 | Rancangan sampul Eko A.P. | iv + 237 hlm.; 11 x 17.7 cm | Bibliografi | ISBN 979-3258-11-X | Skor: 3.5/5

Karawang, 170423 – Red Hot Chili Peppers – Scar Tissue

Thx to Pak Saut, Jakarta