Tour de Sanggabuana

Catatan perjalanan pendakian ke gunung Sanggabuana, Karawang.

Luar biasa nih, Sanggabuana puncaknya Karawang. Harus cobain ke sini.” – Herry

“Kalian harus coba, kalian wajib coba. Apalagi orang Karawang. Mantab” – Leni

“Aku senang.” – Ajay

“Sampai puncak juga sih ya, tadi (perasaan) hampir tak yakin sih. Tapi akhirnya bisa.” – Widoyo

“Bangga. Dah itu saja.” – Iqbal

“Tadi sempat meragukan juga, beberapa teman-teman, tapi saat mendekati garis finish gantian aku yang meragukan. Luar biasa, ya luar biasa. Estimasinya tiga sampai empat jam, tapi ternyata lebih dari itu. Terima kasih. Kalian harus coba. Ke Puncak Sanggabuana Karawang.” – Budy

Kenangan-kenangan terpintal bagaikan jaring dalam kehampaan, membelit kita semua yang terlibat. Masa lalu terlahir dari masa depan, sama seperti masa depan terlahir dari masa lalu. Masa depan, seperti yang telah diputuskan oleh masa lalu, semua hal itu tersembunyi dalam lipatan waktu. Masa depan hanya bisa diketahui lewat mimpi. Dan yakinlah, mimpi petualangan-petualangan seru seperti ini harus diwujudkan. Lima sepuluh tahun lagi bakal jadi kenangan tak terlupakan. Nanti kita cerita tentang petualangan hari ini.

Alhamdulillah, niat pendakian ke gunung lokal Karawang ini terlaksana sesuai perencanaan. Terakhir tour ke Curug di Loji, kita sudah sepakati ini, tempat dan waktunya pas. Bahkan kita buat rundown, start dan finish sesuai. Berangkat jam 6 pagi, sampai rumah jam enam, tapi jam enam sampai titik parkir.

Sejak Selasa, 9 Mei 2023 kita teman satu kantor. Susunan acara sudah sangat meyakinkan, awalnya berlima: Saya, Leni, Iqbal, Ajay, dan Herry. Namun saat saya mampir ke Finance, ditanya acara hari Minggu ada karyawan kondangan, saya jawab tak bisa hadir, nitip saja, HR dijadikan satu amplop, sebab mau naik gunung. Serta merta, Pak Widoyo bilang ikut. Wah, beneran? Mobilku cuma muat lima orang, beliau dengan meyakinkan bilang pakai mobilku. Yo wes, besoknya jadilah dalam grup WA kita berenam.

Karena tak satupun pernah ke puncak Sanggabuana, kita googling cari info. Ternyata membuat gentar juga, dari sebuah video Youtube, bakalan nemu kuburan, banyak. Dari sebuah tulisan blog kita jadi tahu, tiket masuknya berapa, parkir, hingga biaya ojeg. Akhirnya diputuskan urunan 100k per orang. 50k untuk bensin, 50k untuk biaya-biaya. Karena Leni, satu-satunya perempuan, bendahara diserahkan ke dia.

Mendekati hari H, saling sher informasi persiapan apa saja. Seperti bawa makanan, jas hujan sekali pakai, HP full cas + powerbank bagi yang punya, pakai sepatu, disarankan pakai baju yang mudah serap keringat (jersey bola nyaman tuh), bawa baju ganti, topi, kacamata, masker/buff, bensin full, bawa plastik kecil buat amankan HP bila hujan menempa, hingga obat pribadi. Ternyata, semua yang disebut ini penting gaes, kudu disiapkan benar-benar, terutama obat pribadi. Untung sekali saya bawa counterpain + safe care, sangat berguna. Termasuk koyo, obat luka, air minum 1 Liter masing-masing, hingga cokelat! Ya, bawa cokelat, sangat membantu menambah energi darurat.

Diingatkan sebelum berangkat sudah sarapan semua, kumpul di rumahku di Grenvil, Karawang Barat jam 05:30, jam enam pas berangkat. Kumpul di rumahku sebab, parkir luas, aman, dan yang utama searah ke gunung. Hari H, saya benar-benar fit. Tidur sebelum jam 10, walau terbangun dini hari (kebiasaan bangun baca buku), tapi berhasil tidur lagi, bangun subuh.

Saya bawa bekal Abi Food, sambel goreng ati dan sarapan telur dadar yang praktis saja. Pukul 05: 40 Widoyo dan Iqbal (semobil) datang, mereka beli sarapan di jalan, sarapan dulu. Kemudian muncul Herry dan Ajay (semotor), sudah sarapan. Saya buatkan kopi 4 gelas, sembari nunggu Leni. Yang hadir hanya beberapa menit sebelum pukul 6.

Benar saja, jam 6 lebih dikit kita foto-foto, lalu gaaass… berangkat.

Sebenarnya saya tak mau jadi pemandu jalan samping sopir sebab kacamataku sudah tak sesuai minusnya, jarak pandang tak jauh. Namun karena sudah pada duduk di belakang, terpaksa saya yang buka Maps. Dari Maps diperkira sampai titik parkir jam 07:30. Sempat mampir Hisana buat beli bekal, dan Alfa buat belanja kekurangan bekal. Saya, Herry, Ajay sih sudah komplit semua, sudah disiapkan dari malam.

Sempat nyasar jalan 3x. Pertama sebelum pasar, yang harusnya belok kanan, malah bablas, kedua setelah pasar dari Maps info ada belokan ke kanan, harusnya belokan kedua, ini belokan pertama sudah banting setir, dan terakhir pas di titik parkir. Seharusnya sudah sampai, tapi tetap nanjak, ternyata itu arah ke Curug Cigentis, sehingga cari putaran balik. Hufh, inilah petualangan. Nyasar adalah bagian dari petualangan.

Saat tiba di parkir pukul 07:51, halaman rumah warga. Banyak mobil pendaki lain. Kunci mobil diserahkan ke tuan rumah, kita foto serah terimanya. Trust saja. Sebab memang banyak mobil lain, untuk mobil yang parkir awal, nanti ‘kan pulang, sehingga mobil kami yang menghalangi jalan, akan dimajukan.

Begitulah, semenit kemudian kita foto-foto di titik berangkat jalur pendakian. Sempat celingak celinguk cari ojeg (yang kata youtuber ada di situ), tapi kok sepi ga ada ya? Lihat Maps (di sini masih ada sinyal untuk beberapa provider, saya pakai 3), hanya 14 menit sampai di titik pendaftaran. Yo wes-lah kita jalan kaki saja. Tak berapa lama, beberap motor yang sudah dimodifikasi lewat, wahhh… gmana nih? Namun sudah tanggung, jalan terus saja. Sinyal mulai timbul tenggelam.

Ternyata lumayan berat pembuka hiking kali ini, jalurnya memang sudah disemen, tapi lumayan menukik. Dan benar saja, Widoyo sudah kelelahan mandi keringat bahkan belum sampai titik pendaftaran. Sempat tepar di sebuah gubuk pos, mau menyerah saja. Ya ga bisa, ini solidaritas, kita naik semua atau turun semua. Namun lihat wajahnya pucat, dan benar-benar tiduran saking lelahnya, khawatir juga. Kita tunggu beberapa menit sampai tenaganya pulih. Dengan kata-kata semangat, dengan air mineral, dengan waktu cukup memulihkan, kita lanjut lagi. kata penduduk lokal, titik daftar hanya 200 meter lagi kok. Langsung deh kita gegas lagi. dan memang, lima menitan kita sampai gerbang mula pendakian. Waktu itu pukul 08:32. Lagi-lagi Widoyo mau menyerah saja, nunggu di titik daftar. Dan lagi-lagi kita semangatin.

Tiketnya 10k, berenam 60k. Termasuk murah. Setelah mengisi formulir (Leni saja yang isi), foto-foto, mulailah petualangan yang sesungguhnya. Kata penjaganya, paling 3 jam sampai puncak, itupun santai. Makin membuat kita semangat, tak lama itu sih.

Pemandangan masih asri. Banyak sawah, pohon-pohon rindang, lewati sungai, ada musholanya (saya buang air kecil dulu), dan airnya bersih, toilet bersih, mushola enak (tersedia mukena, sajadah), hingga jalurnya yang sudah sebagian disemen. Ini memang masih jalur mula, biasanya nanti titik akhirnya adalah ketemu hutan. Susunan jalan mula: Saya, Iqbal, Leni, Widoyo, Ajay, Herry. Dua orang yang berpengalaman naik gunung ditaruh di belakang dan di depan.

Widoyo beberapa kali istirahat, tiap berapa meter, duduk tiap menemukan batu besar. Belum juga setengah jam, tasnya dibawakan Iqbal. Kita santai saja, tetap ditunggu, tetap dimotivasi. Setelah sejam, barulah kita break lama. Kita duduk santai di pos, sebuah warung makan abah, warungnya tutup. Banyak ayam di situ, ada rombongan pendaki lain dari Jakarta yang juga istirahat. Saya buka snack pertama, Taro besar. Awalnya mau makan separo saja, tapi ternyata istirahatnya lumayan lama, yo wes dihabiskan. Beberapa kali makanan kulempar ke ayam. Pos ini terawat, ada tanaman bunga banyak, salah satunya bunga sepatu. Sayangnya, agak bau.

Dan ternyata setelah tenaga pulih kita berangkat lagi, tepat di depan kita adalah area makam. Jadi selama istirahat tadi, kita duduk di pos dekat makam.

Makamnya dipagar, namanya ditutup kain, dikelilingi pohon besar (kemungkinan beringin), dan jalannya disusuni batu bata, rapi. Di depannya lagi ternyata adalah perkampungan warga. Banyak penduduk lokal santai di teras, sepeda motor dimodif ada, ada yang menjemur kopi, ada yang telanjang dada ngobrol saja sesama warga, ada yang nyapu. Wah, berarti ini warga yang menjaga makam. Ada jalur ke kiri, tapi kita pastikan jalurnya tetap lurus. Setelah menyapa dan mengucap permisi, kita melewati aliran sungai kecil. Nah di sinilah, kita benar-benar pamit sama sawah.

Pukul 09:45 kita sampai di area Perhutani, dengan spanduk bertulisan “Rawan pohon tumbang dan longsor”. Area Gamping Ground, Pancuran Kejayaan. Terlihat ini adalah area kemping. Beberapa tanah rata, bekas api unggun, ada bendera Indonesia, hingga fasilitasnya yang banyak: mushola, toilet, pos istirahat. Di kanan adalah aliran sungai, tempat ideal buat membuat tenda. Bisa kubayangkan, siang-siang beku, malam-malam dingin. Meringkuk di tenda dan baju basah.

Setelah foto-foto, kita melanjutkan perjalanan. Ini jalur hutan, pohon-pohon tinggi, semak-semak rapat. Di sinilah salah kita, harusnya mumpung banyak orang, kita tanya arah. Sebab ada tiga jalur, ke kanan, ke kanak lalu nyeberang sungai lalu kiri, atau lurus. Kita lanjut saja ke depan, dan jalurnya langsung ekstrem. Setelah naik kemiringan, ada anjing di pojok pohon, saling bantu naik, ada ibu-ibu dan anak turun pas di persimpang jalur. Basah kuyup habis mandi, kita iseng tanya, ke puncak lewat ini? Dijawab bukan. Lurus terus ke Curug, belok kiri memang ke puncak tapi jalurnya berbahaya. Waduh, lalu gmana. Harusnya di pos tadi kita ke kanan, jalurnya lebih landai, dan umum dilewati pendaki. Setelah diskusi lagi, mending kita balik lagi saja. Hufh, setelah naik susah payah kita turun lagi, susah payah. makin ragu, ketemu dua pendaki yang mau ke puncak, mereka bilang, jalurnya benar kenapa turun? Kita tetap putar balik saja, ikuti kata bu ibu. Dan sayangnya, salah jalur ini bukan yang terakhir.

Setelah ketemu pos, dan ada dua warga lain duduk-duduk yang malah tambah bikin ragu. Sebab mereka bilang jalur pendakian sudah benar lurus, tapi si ibu bilang, amannya karena ada cewek, ke kanan saja. Kita semua yang mendengar saling silang pandang, berdiskusi tanpa kata. Lalu langsung kuputuskan, kita ke kanan saja sesuai saran ibu.

Ke kanan, kita langsung ditemui sungai yang lumayan deras, tapi dangkal. Ini kesalahan lagi. karena tadi ibu bilang, ikuti sungai, saya ikuti tuh sungainya ke hulu, belok kiri. Sebuah suara mengalun melintasi air. Baru beberapa langkah, jalurnya lebih ekstrem dan gila. Memang ada banyak batu besar, tapi licin. Setelah beberapa menit, ketemu jalur buntu. Ajay dan Herry ke atas dulu memastikan, benar, jalurnya buntu. Saling silang pendapat, “harusnya kita ikut saja pendaki tadi.” Sampai menyalahkan bu-ibu. Setelah putar balik yang berat, tangan kiriku tergores ranting, jari tertusuk jarum tanaman, duh sakit banget. Kita menemukan titik yang benar. Hufh, inilah petualangan. Tersesat adalah bagian dari petualangan.

Sebuah pos lain di sebelah kanan, dan tanda yang melegakan. “Tanjakan 2 Jam”. Waktu itu pukul 10:16. Perhitungan kasarnya target sampai puncak tengah hari atau beberapa menit setelah itu, masih realistis untuk digapai. Hahaha, tak semudah itu fergusso. Justru ini awal mula pendakian berat yang sesungguhnya. Ajay memimpin, mungkin khawatir saya salah jalur lagi. Namun tidak, kali ini jalurnya tak bercabang sama sekali, dan sepanjang jalan ketemu pendaki lain, baik yang turun atau naik.

Kata bu ibu yang katanya rute landai tak nyata. Justru jalurnya nanjak terus. Bisa-bisa 45 derajat, dan itu seolah tanpa henti! Sungguh-sungguh melelahkan. Kanan kiri pohon, tenggoret bernyanyi tanpa henti. Lembah dipenuhi ringkikan melengking, bunyi burung kuk kuk, dan pohon usia ribuan tahun. Akar-akar, duri, dan semak saling membelit menjadi satu. Pohon-pohon raksasa, dan pohon-pohon muda menjulurkan dahan-dahannya ke secercah cahaya yang menyusup di sela-sela hijaunya hutan. Air minum dilahap terus menerus, tiap berapa menit duduk, tiap berapa meter, istirahat. Tiap saat, kaki rasanya sakit. Ini benar-benar berat. Berdenyut.

Sejujurnya, sempat terbesit ragu, apakah bisa? Saya harus bersusah payah menekan rasa takut bahwa jangan-jangan kita sudah kalah cepat berlomba dengan waktu. Target tak boleh kemalaman, sementara progress kita lambat. Widoyo, sudah tampak sangat kelelahan. Namun ternyata bukan hanya dia. Setelah sejam pendakian, giliran Iqbal yang meminta obat, kakinya sakit. Safe care dipakai. Ajay mengeluarkan cokelatnya, dan efektif sekali. Tak berapa lama, Herry yang merasakan sakit kakinya. Tak berapa lama, giliran saya yang merasakan paha panas.

Tak masalah, kita solidaritas saling menguatkan. Di sinilah obat pribadi memainkan perannya. Koyo cabe diberikan ke Widoyo, dan seolah menemukan power up instan, beliau langsut fit dan paling bersemangat. Counterpainku turut banyak membantu. Bergiliran menggunakannya. Setelah paha, giliran lutut yang sakit. Saya olesin saja yang banyak. Tiap berapa meter, kita duduk, se-menemukan titik duduk nyaman saja. Memanfaatkan waktu duduk untuk mengatur napas. Keringat benar-benar bercucuran.

Ada bagian harus naik dengan bantuan tali. Ada bagian harus menunduk pohon di bawah pohon tumbang. Ada bagian melompati pohon besar tumbang. Ada pula bagian harus saling tarik bantu daki sebab rutenya curam. Motivasinya, nanti pulang kita mampir makan bakso panas dan es campur dingin.

Ada sebuah pos sepi, di sisi kiri. Karena saya yang paling depan dan sungguh kelelahan, langsung saja saya duduk di beranda rumah itu, sebenarnya sempat curiga juga kok baunya lain. Yang lain satu per satu muncul, mulanya Widoyo cek, melongok ke dalam rumah via pintu yang sedikit terbuka. “Ada yang tidur”, saya bilang biarin saja mungkin kecapekan. Lalu yang lain turut duduk-duduk, sampai akhirnya Ajay turut melongok, dan spontan bilang, “Ini kuburan”. Langsung deh, pada berdiri lanjutkan perjalanan. Begidik juga, tadi duduk lama di situ. Ada kelambunya di dalam, iya, kuburan ditutupi. Dikira tempat tidur, tapi tak salah juga sih Widoyo, memang ada yang tidur di sini, tidur abadi. Hiks,…

Berpapasan dengan beberapa pendaki turun, beberapa bilang masih jauh. Yang bikin down, tapi beberapa bilang sudah dekat, bikin semangat. Canpur-canpur deh rasanya. Saat mendekati pos lain, bertemu rombongan expat Jepang, mereka bilang sekitar 20 menit lagi kok puncak. Nah, di sinilah peran teman-teman untuk saling support. Terlihat Ajay berulang kali, bentar lagi. Tak lama lagi, ah dua puluh menit lagi, dst.

Saat di pos yang sudah reot, atap sebagian runtuh, tempat istirahat miring, tempt duduk rapuh. Bertemu dengan pendaki lain, yang naik via jalur lain. Ya, jalur kita putar balik tadi. Mereka berangkat lebih lama, berarti memang benar lebih cepat, tapi rutenya ekstrem, sekali lagi katanya. Mereka heran sebab ketemu kita yang juga naik, dan baru tahu ada jalur lain. Hehe, begitulah sama-sama pertama naik gunung ini. Mulanya kita bareng naik, tapi itu tak lama, sebab lagi-lagi kita kelelahan dan tercecer istirahat.

Beberapa meter akhirnya memang ketemu rute landai, sayangnya itu tak lama. Angin sejuk langsung berembus di sela-sela dahan pohon, dan di balik pepohonan. Saat itu sudah lewat tengah hari, artinya target sudah di puncak gagal. Setelah dengan sisa-sisa tenaga, kita menemukan pohon tumbang, kita istirahat lagi. Serangga merayap keluar retakan dan lubang, kaki seribu, laba-laba, kecoa, ngengat, nyamuk, dan capung beterbangan di sekeliling kita. Capung berwarna yang cantik. Roti dibuka, snack dikeluarkan. Air minumku 1 Liter + bolot Taperware sudah habis, baju udah basah semua, muncul pendaki turun, kita tanya berapa jauh lagi, “Paling dua belokan lagi”. Wah, langsung sumringah. Saat itu pukul 12:58.

Sejujurnya, dengkulku sudah sakit banget. Paha, lutut, dan kini dengkul. Ternyata bukan dua belokan, tapi tiga. Dengan sisa tenaga yang ada, akhirnya kita sampai di puncak. Rasanya sangat bersyukur. Waktu itu menunjukkan pukul 13:14. Berarti 4,5 jam waktu yang dibutuhkan dari titik pendaftaran hingga area foto 1291 Mdpl. Betapa leganya.

Hal pertama yang kulakukan adalah tepar. Setelah disepakati tempat istirahat (ada spanduk GMBI), saya langsung ambil counterpain, olesin yang banyak, tepar. Yang lain pada foto-foto, menyiapkan makan, saya dah ga kuat. Tapi itu tak lama, sebab tujuan utama makan siang di puncak gegas dilakukan. Setelah cuci tangan pakai air minum, dan antis. Akhirnya makan siang tersaji. Nikmat banget rasanya. Sungguh-sungguh lezat. Lapar, lelah, puncak.

Disepakati pukul 14:30 nanti turun, masih ada setengah jam saya gunakan untuk tidur. Saya putuskan ganti baju, yang basah kujemur.

Ajay sempat muterin puncak, isinya beberapa bangunan biru itu adalah makam. Ada warung. Harga Aqua 1 Liter 17,5k (beli dua plus roti). Ada aula istirahat. Ada toilet (tak ada air). Ada mushola (tak ada air). Mau kencing diminta ke kebun kopi, bawa air mineral untuk bersihkan. Dan beberapa bangunan lain, paling banyak emang makam. Bahkan saat itu ada acara yaa siinan. Suaranya kencang, lantang, dan bergema. Ini puncak bro.

Baru setelah pulih benar, saya ikut foto-foto. Di bawah tulisan ikonik puncak itu, ada prasasti kecil bertuliskan: “Ratu Galuh Kemala. 14 Safar 1444H/10 Sep 2022M.” di bawahnya ada empat Ratu Galuh: Kawali, Purba, Kalingga, Shindula. Pemandangan ke arah kota bagus banget. Indah dan cerah. Seantero kota terhampar di bawah sana seolah-seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal kita sedang ada di atap Karawang. Siang begitu jernih. Beludru putih awan bertabur sepanjang mata memandang. Pohon-pohon serta perbukitan tampak bagai siluet. Ini puncak, ini sebuah keberhasilan.

Saat orang-orang masih yaasiinan, pukul 14:40 kita putuskan turun. Kali ini sungguh bersemangat. Bahkan Herry memprediksi hanya dua jam. Iqbal terdepan, Leni, Herry, Widoyo, Ajay, saya paling belakang. Benar saja, kali ini sungguh ekspres. Memang beda sih, turunan lebih semangat, lebih mudah, dan seolah tanpa rem.

Singkat kata, turunan kali ini semua ceria. Walau mandi keringat juga. Jaketku sempat dipakai, tapi tak lama kumasukkan ke tas lagi. benar-benar tak dianjurkan bawa jaket kalau muncak tik tok. Kita sampai di titik “Tanjakan 2 jam” pukul 16:05, artinya tak perlu dua jam. Semuanya lancar? Tidak juga.

Sampai di kanan kiri sawah, kali ini giliran Leni kesakitan. Kakinya kram, pegal semua. Beberapa kali berhenti, oleskan counterpain. Sebenarnya dengkulku juga sakit, tapi kutahan. Turun tuh memang kudu menahan beban, tiap langkah harus diperhitungkan, tak gas terus tanpa rem. Mana Iqbal, Herry, Widoyo sudah jauh di depan. Kita bertiga pelan-pelan saja. Memang sepakat, kita Asar jamak Duhur di mushola dekat titik pendaftaran. Sempat khawatir juga, Leni cedera. Tertatih, pelan sekali kecepatannya. Dan senangnya saat mendengar raungan mesin sepeda motor di sisi kiri, berisik nan membuat telinga sakit, tapi sekaligus itu melegakan. Artinya sudah dekat. Makanya sungguh tenang saat sampai mushola pukul 17:00, saat yang lain selesai salat, kita gantian salat, Leni istirahat oleskan lagi obat.

Kita sampai di titik pendaftaran pukul 17:10. Berarti total waktu turun adalah 2,5 jam. Kali ini tak banyak sesi foto-foto, semua sudah berpikiran gmana caranya cepat sampai parkiran. Anehnya, sungguh aneh. Widoyo memimpin jauh sekali di depan. Ia seolah mendapat tenaga tambahan, padahal ia yang paling mula kelelahan, justru paling strong saat kembali. Kalau dari parkiran ke titik daftar membutuhkan lebih dari 30 menit, saat turun tak lebih dari itu.

Betapa leganya kita sampai di parkiran, Widoyo dan Iqbal sudah duluan, bahkan sudah minum pocari sampai habis. Kita berempat barulah bergabung. Mobil kita sudah berpindah di seberang jalan, berarti mobil depan kita yang parkir sudah pulang. Sinyal sudah kembali penuh. Biaya parkir tanpa nginep juga bagi kita lumayan murah, hanya 15k. Jadi biaya di luar makan dan minum, total 75k saja.

Saat adzan Magrib berkumandang, kita turun. Estimasi Maps hanya 58 menit. Namun kita sudah berencana cari bakso dengan kuah melimpah, dan es campur dengan lelehan es. Mampir bentar cari durian. Sayangnya lumayan mahal. Harga satuan 80k, kalau beli dua 150k. Ditawar Iqbal, 100k dapat 3, tak dikasih, kasih saran beli di kang buah pinggir jalan di Kota saja. Leni memberi gesture balik ke dalam mobil. Tinggal saya dan Widoyo. Tawar 100k dapat dua dikabulkan, tapi tak mau dipilihkan yang manis mana, milihnya dibiarkan sendiri, tanpa dibuka, tanpa dicoba.

Kita sebenarnya sempat kesal juga, penjual kok judes, dan saya paling benci kalau ada pedagang bilang, “Itu harga kulakan, kita jual habisin stok saja, tak ambil untung.” Ya tak mungkin to, mbok dilogika. Memang tampak kurang ramah, tapi karena kita ingin praktis saja, Widoyo ambil dua, saya ambil satu. Dan setelah mobil kembali melaju, barulah Leni bercerita, pernah beli seperti itu, ternyata isinya busuk, tak manis pula. Polanya sama. Waduh, langsung lemes, hopeless deh.

Via Maps, kita ikuti terus sembari mata waspada cari warung bakso. Sampai di pasar tak nemu juga, ada sih satu dua tapi sepi. Setelah pasar baru deh nemu warung bakso kiri jalan. Waktu itu pukul 18:30. Kali ini tak ada es campur. Tak apa, minuman dingin yang penting. Saya sampai pesan es batu dalam gelas, saya guyur air putih penuh. Habis 120an, diminta bayar 120k saja.

Setelah mobil kembali berjalan, ada yang langsung pules, ada yang ngorok, ada pula yang turut nyanyi dari lagu-lagu i Radio. Kali ini memang lebih tenang. Balik via jalur KIIC. Sampai di Perumnas mampir Kebun Buah. Alamak, menemukan durian kemasan hanya 55k, isinya dua biji besar-besar, jaminan enak pula. Karena tadi sudah kena bocoran bakal kurang Ok, saya ambil satu. Plus pepaya 15k per kilo.

Sampai rumah pukul 20:10. Rencana mula mau ngopi dulu. Namun semua lelah. Leni yang cedera yang pertama pulang. Widoyo ke kamar mandi, saat ditanya mau ngopi dulu engga? Enggak. Yo wes, semuapun ikut bubar. Usai sudah tour de Sanggabuana. Tinggal lelahnya, sesuk Senin.

Benar, beli durian pinggir jalan di Loji kurang rekomendasi. Kecil buahnya, tak manis. Jauh sama yang di Kebun Buah (atau syawalan), mantab sekali. Benar, kecuali Ajay, semua cedera, butuh persiapan matang. Perlu rutin olahraga buat jaga kebugaran. Benar, ketika mendaki, mending sering-sering bertanya. Sekalipun rutenya yakin, saat berpapasan dengan pendaki lain, selain sapa mending tanya saja benar tidaknya rute. Benar, HP harus berisi full baterai. Banyakin video, foto. Ini momen bagus, tak setiap hari kita dikelilingi hijau daun dan suara tenggoret tanpa henti. Benar, persiapkan bekal. Obat, makanan, minuman (wajib 1 Liter per orang), pakaian, dll. Penting sekali.

Benar, kita lelah, tapi serius ini benar-benar fun. Kalian harus coba, kalian harus naik gunung!

Karawang, 190523 – Diana Krall – Cry me a River

Next tour trip bulan Agustus 2023: Puncak gunung Purwakarta/Naik paralayang Majalengka. Ini akan menjadi perjalanan tour yang panjang, dan setiap kenangannya akan mengingatkan persahabatan.

Indonesia Juara

“Dua kata lucu, Polisi Kamboja.” – Gangan Januar

Kita semua bisa dianggap berbentuk memori. Kepribadian kita dibentuk dari memori, memori mengatur kehidupan kita, kejadian penting dunia ditangkap memori, kebudayaan kita dibangun di atas fondasi memori bersama yang kita sebut sejarah dan ilmu pengetahuan. Sepakbola adalah memori, dan karena ini langka dan penting. Saya harus mencatatnya. Emas sepakbola di Sea Games, adalah memori.

Apa yang bisa kamu gunakan selama 30 menit? Kamu bisa salto berkali-kali sampai pusing, atau makan malam, dengan main HP menjelajah sosmed, ketawa-ketiwi lihat postingan lucu. Kamu bisa membersihkan mobil di depan rumah, dengan modal sabun dan air saja, lumayan menghemat uang ketimbang ke kang cuci steam, atau lari keliling komplek sampai mandi keringat. Kamu juga bisa main tebak kata dengan anak, sompyong dari A sampai Z. atau kamu bisa bercinta, setengah jam cukup membuat lututmu pegal dan napasmu tersenggal. Namun, apa yang bisa kamu lakukan 30 menit saat masa krusial penentuan juara. Gelar yang sudah tiga puluh tahun lebih belum direngkuh lagi? Ini adalah waktu paling mendebarkan sebagai fans Timnas Indonesia. Mari bercerita.

Indonesia untuk kesekian kalinya masuk final sepak bola pria Sea Games, turnamen yunior yang memiliki antusiasme begitu tinggi, dan selama saya menjadi fans bola, saya belum pernah merasakan kemenangan. Tahun ini, kita mendapat Thailand yang memang sudah sombong dari sononya. Saya malah tak mengikuti sama sekali perjalanannya, pertandingannya. Tak sapu-pun kutonton, sampai kabar takjub Indonesia menang dramatis menit injury time di semifinal, dengan sepuluh pemain menghembaskan Vietnam. Tak satupun pertandingan kuikuti, tak ada pertandingan yang kutonton sama sekali, tau-tau final. Ini pertama kalinya pula, Timnas kucuekin. Sudah lelah hatiku, isinya kegagalan mulu. Maka Selasa malam (16/05/23), saya coba pasrah, tak muluk. Namun satu partai ini, rasanya sulit untuk dilewatkan. Mana di jam utama pula, selepas waktu Isya. Rasanya, fans bola manapun takkan men-skip-nya. Kecuali lagi sekarat. Sikap tak mengenal diri sendiri merupakan salah satu dogma psikologis.

Dan ini kesalahan.

Seharusnya memang tak kutonton saja. Padahal saya nonton tuh ingin memastikan mereka tak akan ambruk di bawah tekanan mental, kasih dukungan. Sudah diwanti-wanti, seolah kutukan. Setiap Indonesia main, di partai puncak, setiap kutonton kalah. Konyol, malah nekad. Masih sangat ingat, saat Tim Thomas yang sudah lama tak juara, tahu-tahu di Final melawan tim kuat China tahun 2020. Karena desakan teman-teman, untuk tak nonton biar juara, saya lakukan. waktu itu di rumah orangtua, saat pertandingan Thomas saya tinggal baca buku di lantai atas. Hasilnya? Menang telak 3-0!

Maka, semalam itu kesalahan. Kok ya tak belajar untuk cuek saja. Persiapan matang pula, setelah masak Sarimi Duo, siapkan kopi pahit, dan berbagai makanan sisa Lebaran kemarin, persiapan perang dan dukungan itu di posisi nyaman. Saya sudah duduk manis.

Pertandingan baru dimulai, wah bagus, mainnya meyakinkan sekali. Tak ada Arham Pratama (kena kartu merah), Rory Delap pun jadi. Skema gol dengan lemparan ke dalam seolah sudah kadi trendmark Timnas, 1-0 oleh sundulan Ramadhan Sanata. Tensi langsung naik. Indonesia selalu Spartan di mula pertandingan, lebih umum, bersemangat di babak pertama. Kartu-kartu mulai muncul. Dan keunggulan berhasil digandakan lewat gol hibah. Menit akhir, bola itu sejatinya bola buangan, bola fair play yang sejatinya bola ditendang jauh dikasih ke pemain Thailand. Namun antisipasinya lain, bola itu tak gegas disambut untuk digunakan dengan bijak, malah miss-com, terjepit dua pemain lawan Sanata melakukan tendangan jauh melambung, tanpa melihat berhasil masuk melewati kiper, 2-0.

Kopi gegas dihabiskan. Buka-buka sosmed, haha hihi sama Ciprut yang sedang main stiker. Ia sudah merengek minta dimainkan lagu-lagu Blackpink. Biasanya memang selepas waktu Isya, kami mendengarkan lagu bersama. Lebih dominan BlackPink ketimbang Jazz. Saya sudah minta malam ini, khusus ada bola. Jadi dua jam saja, jangan diganggu. “Kenapa tak nonton di kamar, bunda juga nonton bola.” Ah, malesi. Makanya jeda babak, ia minta lagi. sabar, tunggu setengah sepuluh. Roti sudah habis, mie sudah tandas lama, mau Isya kok ya mager. Tahu-tahu babak kedua mulai. Walau unggul dua gol, saya diliputi ketegangan, jenis ketegangan tidak mengenakkan yang kita alami saat kita merasa menang, tapi belum menang. Unggul tapi masih abu-abu.

Wajar sih, Thailand mengambil inisiatif serangan, tertinggal. Aura juara sudah menyelubungi, mainnya bagus. Terbesit dalam benak, akhirnya kutukan kutonton ga juara menuju terpatahkan. Hahaha, tapi nanti dulu fergusso. Tak dinyana, lawan dapat gol mudah skema bola mati, dari sepak pojok, disundul santai, 2-1. Duh, debar makin kencang. Mana masih lama pula. Sisa pertandingan terasa pelan.

Saat akan masuk injury time, drama pemain jatuh dan cedera dilakukan, walau beberapa memang beneran pelanggaran. Add 7 menit. Jarak Emas tak jauh. Bahkan saat tinggal semenit, ada pemain kita dilanggar berat sampai kudu diangkut keluar, kita masih yakin ini bakalan emas. Drama yang sesungguhnya dimulai di sini, sebuah serangan gagal Thailand menghasilkan lemparan ke dalam, waktu 7 sudah lewat, peluit panjang terdengar. Selebrasi dilakukan, Coach Indra Sjafri masuk ke lapangan menengadahkan kedua tangan merayakan pesta. Namun, itu bukan peluit panjang yang itu, itu peluit panjang yang ini. Sisa detik-detik saja ini sih, tahan. Coach keluar lapangan lagi, permainan dilanjutkan. Bagaimana menjelaskan kejadian “lucu”? Apakah lucu itu sebenarnya? Lucu adalah situasi yang membuat orang tertawa, tapi bisa juga menyakitkan, kalau pihak kita yang menjadi korban lelucon. Asem!

Duuuerrr…, dari sisi kiri pertahanan Indonesia, serangan mendadak itu menjelma 2-2. Bayangkan, tinggal hitungan detik! Caci maki berbagai kata hewat keluar, pisuhan berbagai level muncul. Duh, saya tak kuat. Setelah itu, saya lepaskan laga ini. “Bangsat. Nyesel nonton. Sat sat”. Kini sudah setengah sepuluh, saya pura-pura cuek saja sama pertandingan tambahan waktu. Ga kuat jantung. Matiin streaming deh. Kita buktikan aja. Ga kutonton juara engga. Dah capek gue.

Apa yang saya lakukan?

Setengah jam itu waktu yang relatif. Terasa lama bagi seorang kekasih menanti pasangannya. Terasa lama pula, bagi penonton film action boring. Terasa cepat, bagi pekerja sibuk kejar deadline. Terasa cepat pula, saat waktu libur. Relatif. Jadi setengah lebih itu, di masa krusial penentuan Timnas Indonesia, agar tidak stress saya memilih melakukan hal-hal pengalih konsentrasi.

Blackpink sesuai permintaan Ciprut, kunyalakan kencang. Sebagai teman untuk mengupas durian dan pepaya. Dua buah oleh-oleh pendakian ke Gunung Sanggabuana. Mengupas durian susah sekali kalau tak matang hingga retak otomatis. Untungnya, sama penjual sudah dibantu dibuat retakan, tinggal ditekan buka. Wah, rasanya tak manis. Sial, beli buah di pinggir jalan tuh memang gambling, satu buahnya 50 ribu. Separo kusikat langsung, masih separo kumasukkan kulkas. Pepaya ini kubeli di Kebun Buah, sekilonya 15 ribu. Jaminan kualitas emang kalau beli di swalayan, dan pepaya ini manis. Oiya, saya juga beli durian yang sudah dikupas, dimasukkan ke boks transparan. Satu boks 55 ribu, terdapat dua biji besar-besar. Manis dan enak. Kesimpulannya, dah mending beli di swalayan saja. Praktis, enak, tak ditipu.

Lalu cuci baju, celana kotor yang kupakai mendaki, setelah kurendam 24 jam, saya cuci sampai tanah yang menempel hilang, setelah itu saya masukkan ke mesin cuci. Air kran kunyalakan. Sembari menanti penuh, saya cuci piring. Belum banyak perabot kotor, piring baru lima, gelas tiga, dua pisau (salah satunya yang kugunakan mengupas pepaya), sendok tak lebih dari sepuluh, satu wajan, satu panci, dua gelas panjang putterware, tapi tak apa. Mencuci piring bagiku tak berat, selama ada musik pengiring. Malam itu panas, walau dengan kipas angin menderu, keringat menyergap. Lagu Blackpink album lawas sudah sangat nempel di kepala karena Ciprut, sekarang lagu-lagu Solo menyerang. Dan Flowers-nya Jisoo sungguh aduhai melayang dalam kepala. On the Groud-nya Rose, Solo-nya Jennie, sampai Money-nya Lisa.

Kran air cuci penuh, kuputar nyala 45 menit. Karena baju basah, sekalian ganti. Ternyata di kamar depan, istri anak masih nonton bola. Berarti setengah jam belum terlewati, mending ambil buku. Ah, benar. Buku adalah pengalih konsentrasi terbaik sepanjang masa. Kuambil yang terdekat, kumpulan cerpen Seno Gumira Ajidarma: Senja dan Cinta yang Berdarah. Di pembatas saya di halaman 90-an, langsung kumulai saja cerpen: ‘Khayalan dari Dalam Bis yang Meluncur.’ Sambil makan pepaya, satu cerpen itu tuntas, tentang wajah-wajah suram kaum urban, kesedihan sedang musim, banyak warga berwajah muram. Tak terasa separo pepaya habis, yo wes, apa lagi ya? Dan saya teringat belum Isya. Gegas ambil air wudlu.

Saat itulah, saya mendengar teriakan kemenangan dari kamar. Alhamdulillah, momennya pas, menengadah berdoa bakda Isya. Akhirnya, saya merasakan Timnas Indonesia juara. Berkumandang Lagu Indonesia Raya, HP sudah terlanjur cas. Dan saat lagu belum usai dinyanyikan, saya sudah mapan turu di kamar belakang. Jelang tengah malam, saya merasa berada di tengah keindahan dan kedamaian. Tenang sekali di tempat tidur. Sejuta kenangan bangkit ketika saya memandang langit-langit. Dalam bayang saya melihat Gunawan Dwi Cahyo membuat kita unggul cepat, tapi di sesi pinalti gagal bersama Ferdinand Sinaga. Dalam bayang saya melihat gol tunggal Sarawut tak bisa dikejar. Dalam bayang saya melihat pembantaian 3 gol. Dalam bayang saya melihat pinanti Bejo Sugiantoro gagal. Dalam bayang saya melihat Mahyadi bikin gol pengurang gap, dan Ellie hanya sedikit memberi harap. Dalam bayang saya melihat blunder Hamka Hamzah. Bayangan-bayangan itu tumpang tindih menghampiri. Tetapi itu hanya kenangan. Dan saya khawatir kenangan itu menghajar kenyataan. Oh kali ini nyata, kita bisa juara, dan sayangnya saya tak menjadi saksi langsung prosesnya.

Begini to rasanya juara, tak kutonton, tak kudukung langsung. Ibarat cinta, mencinta dalam diam. Pura-pura cuek, padahal sayang sekali. Kalau udah gini, apakah AFF nanti tak perlu kusaksikan juga?

Mendukung idola pada tekanan tinggi merupakan racun, sangat berbahaya.

Karawang, 170523 – Karin Allyson – All or Nothing at All

Indonesia 5-2 Thailand

(Ramadhan Sanata 20’, 45+’, Irfan Jauhari’ 92’, Fajar Fathurrahman 106’, Beckham Putra 119’; Anan Yodsangwal 63’, Yotsakon Burapha 90+’)

Susunan Pemain:

Indonesia XI: Ernando Ari; Rizky Ridho, Bagas Kaffa, Komang Teguh; Alfeandra Dewangga, Marselino Ferdinan, Muhammad Taufany, Fajar Fathur Rachman Ramadhan Sananta, Witan Sulaeman

Thailand XI (4-4-2): Soponwit Rakyart; Bukkoree Lemdee, Chatmongkol Rueangthanarot, Jonathan Khemdee, Songchai Thongcham; Airfan Doloh, Channarong Promsrikaew, Settasit Suvannaseat, Chayapipat Supunpasuch; Teerasak Poeiphimai, Achitpol Keereerom

Pengalaman Pertama Kali Ikut Mudik Gratis dengan Kereta Api Bersama Angkasa Pura

“Enak mudik naik kereta api, tidak capek. Bisa jalan-jalan, tidur pulas. Makannya enak.” – Hermione

Tahun ini kami pertama kalinya ikut mudik gratis, dengan kereta api. Mulanya ragu, mau naik apa? Kalau keputusan mudik tidaknya, jelas. Hanya armadanya saja yang abu-abu. Mobil Sibiru sebenarnya sudah servis, siap gas. Namun saat puasa mencapai seminggu, anak-istri meragu ikut tidaknya. Adik ipar fix ga mudik Solo, mau ikut suaminya ke Cirebon. Mertua sempat kutanya, tapi tak segera memberi jawab. Dan saya pun teringat, dulu sempat terbesit, Hermione ingin naik kereta api, maka opsi ini mengapung pertama. Semesta mendukung. Cek aplikasi KAI access tentu saja sudah sold out. Ide mendapat tiket gratis sendiri baru muncul sekitar dua minggu Ramadan berjalan. Dan mulailah cek sana-sini.
Di Karawang ada mudik gratis naik bus, kumpul di Galuh Mas, dekat rumah.

Sayangnya rute terjauh hanya Semarang, dan untuk ke Solo tentu masih jauh sekali. Beberapa opsi, mudik gratis kucek di web, rerata habis atau titik akhir tak di tujuan kampung halaman. Masih dalam pencarian, sampai akhirnya pada Minggu pagi 8 April 2023 saat tengah malam bangun tidur, baca buku Sejarah Tuhan (by Karen Armstrong), sampai sekitar pukul 1 saya dapat WA dari Widada (teman kerja) yang menginformasikan bahwa BUMN bagi tiket kereta api gratis. Info dari Instagram itu dia ss, sher, lalu diminta isi tautan.

Begitulah, saat santap sahur saya cari KTP dan KK, serta syarat tambahan vaksin booster. Gegas gegas cari, isi tautan Google form, saat akhirnya selesai isi, langsung dapat email balasan bahwa saya terdaftar. Diminta verifikasi data diri pada 11 April 2023 (tidak bisa diwakilkan). Wah hari kerja, harus ke Angkasa Pura, di Kemayoran pukul 09:00. Artinya harus cuti tahunan untuk ke sana. Saat itu saya daftar hanya satu, sebab anak istri belum kasih kepastian ikut tidaknya.
Saat besoknya dia bilang mau ikut, tautan sudah ditutup sebab sudah penuh. Huhu…, mudik gratis memang kudu cepat-cepatan. Makanya jangan ragu. Saya sempat WA admin, kalau ada tiket cancel-an mau dua. Dibalas langsung, kuota penuh.

Selasa, 11 April selepas sahur, janjian sama Widada di by pass Karawang. Saya titip motor Sikusi di penitipan, kita berdua naik motor ke Stasiun Cikarang (motornya butut sering mogok), mau naik KRL. Ini pertama kalinya saya naik KRL, sudah siapkan kartu e-money. Pukul 07:10 berangkat, kondisi kereta masih tak penuh, masih dapat tempat duduk. Memasuki Jakarta barulah, saya mengalah berdiri. Kereta tepat waktu, sehingga saat sampai di Stasiun Kemayoran belum juga jam 9. Dari Maps, bisa naik Grab 15 ribu, sekitar 1.2 kilometer. Setelah diskusi, mending jalan kaki saja, lewat jalan kampung, dan hanya 14 menit. Yo wes, jadilah siang itu, puasa-puasa jalan kaki berdua menyusuri jalan. Ternyata tak sejauh yang dikira, ada jalan pintas nyeberang naik jembatan penyeberangan, sehingga kami sampai di kantor Angkasa Pura dari target pukul 9, sudah di sana pukul 08:30. Ambil antrian, dapat angka 34-35. Sementara temanku, Agus Ef, yang datang langsung dari Yogya, turun Senen malam itu, langsung ke situ, jam 08:00 dapat antrian 28.

Sembari menunggu dibuka jam 9, sembari nunggu dipanggil, santuy main HP dan kenalan dengan calon penumpang lain, nunggu di depan gedung. Proses verifikasi sendiri tergolong cepat, ada 4-5 meja verifikasi. Calon penumpang per 15-20 orang, diminta masuk ruangan, ada teman duduknya. Lalu satu per satu maju, identifikasi data. Dan sekali lagi, saat giliran saya maju, saya tanya apakah masih bisa daftar anak istri, saya butuh dua kursi lagi. Oleh petugas registrasi atas nama Bu Pamela Raetara (Bu Amel), dimasukkan ke antrian. Ditanya anak istri sudah vaksin, saya jawab semua Ok. Data dan vaksin siap kirim. Tempat duduk terpisah tak apa? Saya jawab tak apa. Kalau saya yang sendiri, yang penting anak istri jejer. Begitulah, penantian dimulai.

Tak butuh waktu lama, saat kembali jalan kaki ke stasiun bertiga, dapat verifikasi data fix berangkat via email. Diminta ambil kode booking di Stasiun Gambir Senin, 17 April 2023 (boleh diwakilkan, tapi data KTP harus ditunjukkan asli). Kali ini rentang waktunya lebih panjang, bisa sampai malam. Makanya saya tak cuti, izin pulang tengah hari saja.
Dari tanggal 11-17 itu panitia melakukan penataan ulang calon penumpang, berdebar juga apakah dua kursi dapat. Jawaban muncul tak butuh waktu lama, esoknya dapat WA untuk mengirim data diri anak istri. Langsung kukirim, sebab memang sudah kusiapkan semua di HP. Tapi foto KK memang agak blur, diminta ditulis saja NIK Hermione. Ok, masuk waiting list.

Sehari dua hari belum juga dikabari, barulah tanggal 15 dapat kabar kita bertiga fix dapat tiket. Dramatis. Diminta bawa data asli ke Gambir Senin nanti. Di sini terlihat panitia menyatukan data semua calon penumpang dalam satu kertas, kemungkinan tiket-tiket cancel-an. Sekitar seratus (saya lupa tepatnya), pantas saja panitia pusing. Sebanyak itu, ditata ulang. Dari Selasa sampai Jumat, baru Sabtunya dapat kabar. Salut sama panitia. Mengurus orang itu emang tak mudah. Kudu sabar, ekstra tahan diri dari amarah. Saya sebagai peserta saja ikut kzl bagi orang yang tak komit. Kita mengisi data dengan sadar, tinggal ikuti prosedur. Tiket memang gratis, komitmen itu penting.

Widada dan Agus Ef karena kena shif, bisa pagi ke Gambir. Saya sendirian, karena sudah pernah naik KRL dan paham jadwal, semuanya berjalan smooth. Setelah Duhur izin pulang kantor, naik motor (pinjam punya ibu, Sikusi tak ada lampunya, takut kemalaman) ke Stasiun Cikarang. Tap kartu, naik kereta, walaupun yakin, titik titik turunya, untuk memastikan tanya petugas juga, ke Stasiun Gondangdia kudu oper ke Manggarai, oh tak masalah, pengalaman baru lagi.

Siang itu, panas-panas, berdesakan di KRL, puasa. Sampai di Manggarai jam 14-an, oper ke Jakarta Kota, naik ke sisi atas. Sebenarnya KRL lewati Gambir, tapi tak berhenti, jadi opsinya berenti di Gondangdia, jalan kaki. Kasusnya sama, mau naik Grab atau jalan kaki? Saya cek Maps, hanya 15 menit jalan kaki. Yo wes, idep-idep olahraga. Ternyata dekat, nyaman saja jalan kaki di tengah kota.

Sampai di Stasiun Gambir, walau sudah dikasih arahan pintu Utara dekat Costumer Center, masih kebinguangn. Stasiun sebesar itu, maklum pertama. Mana jalur pejalan kaki dan kendaraan dipisah pintu masuknya. Dan begitulah, saya ketemu dengan petugas Angkasa Pura Bapak Dika, masuk ke ruangan ber-AC, duduk santuy, kasih data diri. Dan tak lebih dari lima menit selesai. Diberi kaos gratis tiga pcs sebab saya daftar tiga dengan tas goodybag. Kaosnya bagus. Bahannya tebal. Enak dipakai buat jalan.

Karena ini pertama kalinya mau naik kereta api, muncul pertanyaan konyol. Nanti waktu salat gmana ya? Berhenti di stasiun berapa lama? Hehe, termasuk setelah dapat kode booking, mau cetak tiketnya gmana? Disarankan cetak di hari H di stasiun Senen, tapi biar praktis kucetak hari itu juga. Ada dua siswi magang stand by di depan mesin tiket, saya mintain tolong cetakin tiga tiketnya.
Selepas itu, balik jalan kaki ke Stasiun Gondangdia, ini lebih santai. Tak ada yang dikejar, waktu Asar baru saja masuk. Dan karena ini puasa, maka hawa panasnya makin melecut. Di depan stasiun, ada dua orang mahasiswa sedang menggalang dana, tentang pengunsi Rohingnya yang butuh bantuan. Saya dukung, saya mau bantu sumbang, tapi tak terima tunai, diminta transfer pakai mastercard atau kartu kredit? Tak punya keduanya, tak paham gituan. Yo wes, diminta ttd aja untuk support kegiatan. Saya sebagai pengurus LDS (Lembaga Dana Sosial) melihat perjuangan penggalangan dana, tentu terketuk hati. Manusia adalah makhluk sosial.

Setelah salat Asar di atas, beli minuman dingin buat persiapan buka. Bersiaplah pulang. Sempat dapat telepon dari bos, ada meeting mendadak, posisi layout duduk selepas Lebaran akan dirubah karena struktural. Ok bos. Lalu kereta ke Bogor transit Manggarai pun datang, bejubel. Masuknya berdesakan, terhimpit. Untungnya dekat, di Manggarai sama saja. Setelah turun stasiun, KRL penuh, memang jam pulang kerja, jam sibuk. Perjalanan sejam ke Cikarang full berdiri, tempat duduk baru tersedia saat di Cibitung, hufh…

Tak ada foto-foto, isinya lelah. Setelah bayar tiket motor 8 ribu, perjalanan ke Karawang berlanjut. Sampai di perbatasan, adzan Magrib, berhenti sejenak berbuka puasa dengan sebotol Ichi Ocha yang sudah tak dingin. Sampai rumah masih kekejar Taraweh ke masjid, alhamdulillah.

Tanggal 18 sudah tak fokus kerja, sudah pikiran mudik. Tanggal 19 April akhirnya tiba. Diantar oleh security Pabrik, Pak Rizal dari Karawang ke Stasiun Cikarang. Berangkat pukul 8, hanya sejam. KRL berangkat 9: 15, dan inilah pertama kalinya Hermione dan May naik KRL. Karena agak siang, tempat duduknya lengang. Jam 10an sudah sampai Senen. Masih dua jam-an. Info dari panitia sejam sebelum berangkat untuk sudah di titik berangkat, ada seremoni. Janji temu Widada, dia berangkat pagi sekali. Dan Agus Ef, dia dramatis sampai Senen Duhur. Di peron menanti, dapat snack gratis.

Sebelum pukul dua belas, masuk ke area kereta api Jaka Tingkir. Cek tiket dan KTP, cari tempat duduk, taruh tas. Tinggal nunggu acara, saat santai depan banner dapat kabar, anak kecil dapat buku mewarnai dan alat tulis warna. Hermione antusias, langsung diwarnai saat itu juga gambar-gambar alat transpotasinya. Thx.


Karena tempat duduk beda, saya di gerbong 3, anak istri di gerbong 9. Sempat cari penumpang lain untuk tukar tempat duduk, dan benar saja. Secara instan dapat. Ada bapak-bapak punya dua tiket di gerbong 3 atas nama saudari dan anaknya, ia bersedia tukar duduk. Kok bisa pas banget. Akhirnya anak istriku bisa gabung ke gerbong 3. Bersama pula teman-temanku. Sejatinya tukar tempat duduk seperti ini tak bisa, ini kasus khusus saja. Lagi-lagi, mestakung.

Pukul 12an, salat Duhur jamak Asar. Lalu seremoni, ada beberapa pejabat BUMN datang. Saya ikutan foto-foto. Pada akhirnya kereta api Jaka Tingkir tepat pukul 12:50 berangkat meninggalkan Senen, disertai salam hormat petugas, dan dadah-dadah panitia. Thx berat bapak/ibu semuanya. Ini pengalaman pertama kami; Saya, anak, istri pertama kali mudik naik kereta api. Duduk nyaman, berkenalan dengan penumpang lain, Pak Nurkhalim yang mau turun di Kutoajo, sampai Pak Sugiarto ke Ngawi.

Kereta sempat berhenti di stasiun Karawang, tak ada penumpang naik/turun. Lanjut. Hermione ceria, lari-larian, memandang jendela, menyaksi para pengendara di luar, kota-kota, pohon, bangunan, dan utamanya sawah. Siang itu panas, banyak penumpang terlelap sebab lapar, sebagian lagi main HP. Saya sendiri coba baca buku, kumpulan cerpen. Baru cerpen kedua, sudah susah konsentrasi. Lapar dan ngantuk, pada akhirnya sisa puasa siang sampai Magrib itu tertidur juga. HP di-cas. Saat buka puasa, dapat makan, ayam pedas.

Beberapa stasiun perhentian, beberapa penumpang turun. Agus Ef dan Widada, dua temanku turun di Yogya. Kami masih bertahan di perhentian akhir, saat sampai Klaten selepas Isya. WA kakak untuk siap-siap jemput. Dan akhirnya pukul 21:20 sampai Purwasari. Benar-benar tepat waktu sampai ke menit-menitnya.

Di Purwasari, sempat mau ke Alfamart beli minuman dingin. Pas tutup. Huhu, yo wes, sembari nunggu jemputan. Foto-foto. Dengan demikian, berakhir sudah perjalanan mudik pertama kali naik kereta api gratis bersama Angkasa Pura. Terima kasih. Puas, nyaman, free. Sangat mambantu. Bagaimana tahun depan? Ah, dipikir nanti saja. Namun kalau dapat tiket free Kereta api lagi, tentu dengan senang hati antusias. Apalagi saat diceritakan ke orangtua dan adik, mereka tergoda, dan pada minat. Ingin merasakan naik kereta api juga. See, kebahagiaan dan senyum itu menular.

Karawang, 110523 – Aretha Franklin – Bill Bailey, Won’t You Please Come Home

Spesial Thx to thx Bu Amel

Pengalaman Ikut Arus Balik Kerja Gratis Bersama BPKH

“Terima kasih BPKH, sudah memfasilitasi kami untuk arus balik kerja. Bagus, the best. Mudah-mudahan tahun depan ada lagi.”

Pengalaman pertama ikut arus balik kerja gratis, dan jadi pengalaman menyenangkan. Selain tiket gratis, peserta mendapat kaos, makan siang satu kali, dan dua kali snack pagi sore. Beberapa peserta mendapat survenir, saya perhatikan berupa payung. Namun peserta terpilih saja. Untuk memastikan keberangkatan tak semudah itu, butuh perjuangan dan paling penting komitmen. Kok bisa? Dan bagaimana saya bisa mendapatkan kursinya? Kita tarik mundur jauh sebelum Hari Raya.

Selama Perusahaan tempatku bekerja tak melarang mudik, saya selalu mudik, kesempatan sungkem sama orangtua. Tahun ini tak terkecuali. Karena ingin pengalaman berbeda, kami sekeluarga, May (istri) dan Hermione (anak) memutuskan naik umum. Mendapat tiket kereta api tanggal 19 April 2023. Setelah fix dapat tiket, saya googling apakah ada tiket gratis arus balik. Saya temukan dua item, pertama diadakan BUMN dengan motor pemudik naik kapal, pemudik baru dapat tiket gratis. Karena Sikusi kutinggal, tentu saja tak masuk kriteria. Kedua, ini, program dari BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji) berkolaborasi dengan Baitul Maal Muamalat (BMM), dan Daarul Tauhid Peduli (DT Peduli) dengan tajuk, “Balik Kerja Bareng BPKH”. Waktu itu, tautan Google Form yang saya klik menjawab kuota habis. Mau dari Surabaya, Semarang, atau Yogyakarta, sudah tidak ada lagi.

Ya sudah, saya WA nomor narahubungnya. Atas nama Dessy, dibalas bot. Lalu esoknya diinformasikan kuota sudah habis. Setelah itu, terlupa. Fokus persiapan mudik.

Perjalanan kereta siang di bulan puasa, benar-benar mencipta kantuk. Kenyamanan AC, kondisi lapar, tak banyak yang bisa dilakukan, selain memandang jendela, menyaksi pohon-pohon bekejaran, ya main HP. Baca buku, sesekali, tapi konsentrasi tak fokus. Lapar, tanpa kopi dan musik. Hufh… jelang buka puasa, persiapan makanan, ada WA masuk, dari BPKH! Adminnya Mbak Reni. Wow, mendapatkan kesempatan menjadi peserta Balik Kerja Bareng BPKH 2023 dengan titik keberangkatan Yogya dan Semarang. Tak perlu waktu lama, tautan yang diberikan meminta data unggah KTP dan kartu KK, langsung ku isi setelah santap buka. Awalnya ragu, ini diminta isi satu saja sebagai Kepala Keluarga untuk tiga tiket, atau ketiganya kuisikan. Amannya, ketiganya saya isikan. Begitulah, mudik malam itu ada senyum, setidaknya tak perlu gegas cari tiket sesampainya di Solo. Kalau sudah rejeki, tak akan ke mana.

Namun tak semudah itu fergusso. Tanggal 20, tidak ada balasan. Tanggal 21 Hari Raya memang tak berharap balasan, sedang libur menikmati ketupat. Tanggal 22, sedang jalan-jalan sekeluarga, ditanya bagaimana tiketnya? Belum ada respons. Tanggal 23, di hari Minggu, Mbakku tanya lagi. Yo wes, saya WA apakah kami masuk kuota? Balasannya muncul tak lama, “Masih dalam proses update seat kosong”. Alhamdulillah, kubalas, “Baik, ditunggu kabar baiknya.”

Tanggal 24 saat keliling ke rumah saudara-saudara, saat sore selepas Asar ada WA masuk yang meminta konfirmasi. Keberangkatan Sabtu pukul 07:00 di Balaikota Yogyakarta. Alhamdulillah, saat itu juga langsung kuisi tautan Google Form. Saking semangatnya, di tulisan paling bawah “Konfirmasi Cukup Perwakilan” tidak kubaca, isi sekeluarga. Setelah konfirmasi, baru kubaca detail, dan minta maaf. Dengan demikian, aman sudah tiga kursi ke Jakarta.

Keesokan harinya, diundang grup WA. Dan jadilah saya mengenal lebih dekat para calon teman seperjalanan untuk tanggal 29 April start di Balai kota. Saling sapa, saling tanya, saling bantu. Karena memang rumah calon penumpang dari berbagai daerah. Banyak pertanyaan lucu, banyak pertanyaan aneh, menjurus ngeselin malah, beberapa tak baca WA sehingga pertanyaan sama, tapi tetap kudu berlapang dada, saling silang bantu jawab.
Permasalahan tak berhenti di situ. Panitia, dengan sabar mem-plot kursi agar tak ada yang terbuang sia bila ada penumpang cancel. Dari grup, saya tahu semua anggota dihubungi telepon untuk memastikan tidak batal. Saya sendiri baru dihubungi, H-1 memastikan lagi, dan tentu saja saya komitmen. Saya sudah izin formulir maka saya bertanggung jawab atas tiket tersebut. Penentuan nomor kursi baru bisa rilis ya H-1 itu.

Salut sama panitia, sabar dan bekerja keras. Sampai memberi kabar:

“… mohon izin bapak/ibu, untuk tidak membatalkan tiket secara mendadak. Karena batas pembatalan tiket harusnya tgl 23 April. Pembatalan tiket mengurangi kesempatan lain yang ingin balik kerja bareng BPKH. Saya sangat mengapresiasi bapak/ibu yang sampai saat ini tetap istiqomah untuk hadir dan mengikuti program tgl 29 April nanti. Semoga sehat selalu bapak/ibu.”

Saya paham maksud panitia, karena saya berkali-kali jadi panitia kegiatan, mengurusi manusia itu tak mudah, mengakomodir orang banyak itu sulit, ada saja keinginan ini itu, ada saja kepentingan lain, dst. Makanya, harus ekstra sabar. Makanya, saat saya jadi peserta/anggota, saya dengan berbesar hati madep manteb sama arahan, komitmen, jaga janji, ikuti prosedur. Jangan menambah beban mereka yang sudah membantu kita, sudah mengusahakan sedemikian rupa.

Dan menurutku, adanya grup WA sangat tepat, ada dua grup. Grup utama untuk seluruh bus, satu lagi grup bus, dipandu leader. Total ada 10 bus (11, satunya lagi add). Saya ada di bus 9. Komunikasi berjalan dengan lancar, terarah, dan zaman digital yang cepat. Menghormati orang lain, menghormati diri sendiri. Diskusi selanjutnaya jelang keberangkatan lebih ke teknisnya, ke titik kumpul bagaimana. Ada yang dari Pacitan, gmana caranya sampai balai kota jam 7 pagi? Ada yang dari Gunung Kidul, ada yang dari Karanganyar, Wonogiri, Klaten, termasuk saya yang dari Solo. Ada yang menyarankan menginap di penginapan murah sekitar balai kota, ada yang searah nebeng, patungan sewa mobil, ada yang naik KRL dari Kutoarjo, ada yang menyarankan kereta antar kota, ada yang bilang dari Solo ada KRL Palur/Balapan, turun Stasiun Lempuyangan, lanjut grab/ojek. Ada yang memberi usul, menginap di rumah calon penumpang yang dekat, ada yang menawarkan jasa pengantar, ada pula yang mengajak bareng, saya dijapri yang dari Karanganyar, ditanyain mau naik apa besok, saya diantar kakak bermobil, sebab sekalian mau vakansi ke Parangtritis. Poinnya, bagaimana caranya sampai titik kumpul pukul 07:00-08:30 untuk registrasi ulang. e-tiket kuprint, KTP asli disiapkan. Barang-barang dikemas, Jumat malam, duduk di teras ngerumpi malam terakhir sama keluarga. Ditemani hujan, kopi pahit, suara jangkrik, hembusan angin desa.

Sabtu Subuh, setelah kerumitan persiapan, siapa mandi duluan, atau makan paginya gmana? Kami sekeluarga berangkat pukul 05:00, diantar kakak, kakak ipar, ponakan, dan ibu. Estimasi dua jam, menurut Maps. Melalui rute Jembatan Mojo, Solo Baru, lalu jalur utama Solo-Yogya, pagi itu perjalanan sangat lancar. Karena masih pagi, tak terkena macet. Pemilihan lagu dalam perjalanan-pun khas rebutan lagu favorit siapa yang mau dinyalakan. Hermione dengan Blackpink-nya, Mas Amin dengan campur sarinya. Saya dengan Sherina, dst. Tak perlu Maps ternyata untuk sampai, karena balai kota di pusat kota, ikuti jalur utama, saat sampai tujuan masih ada waktu sepuluh menit.

Registrasi dipecah per bus, hanya butuh sekitar lima belas menit. Dapat kaos dan minuman (dibagikan di bus). Kaos ukuran L, langsung kami pakai. Beberapa dapat payung. Setelah kepastian registrasi, kita makan pagi dulu di parkiran. Sekeluarga, gelar tikar, buka bekal. Foto-foto. Setelah itu masuk bus. Waktu masih menunjuk angka 8. Ada seremoni, ada foto-foto. Kukira, peserta ikut seremoni, ternyata tidak. Peserta sudah duduk di bus, seremoni dilakukan oleh panitia dan pejabat. Dan begitulah, setelah segala penyampaian. Pukul 09:20 bus berjajar keluar kantor Balaikota, dikawal polisi, diiringi dadah-dadah keluarga dan panitia, kita melaju.

Dalam bus kita disuguhi rekaman video promo dari BPKH, yang mayoritas wawancara Habib Husein bin Ja’far a Hadar dengan pimpinan BPKH di gedung barunya di Jakarta. Karena nama Sang Habib sedang naik daun, berhasil merangkul semua kalangan, kurasa ini sudah pas. Nyaman-nyaman saja. Malah, mencipta rasa untuk ikut nabung Haji.

Rutenya ke Pintu Tol Colomadu, ke Semarang, ke Cipali, lanjut Cikampek, turun di terminal tujuan. Ada empat titik berhenti, Terminal Kampung Rambutan, Poris, Baranangsiang, Pulo Gebang, kami yang terakhir disebut. Dapat tempat duduk paling belakang, jejer dengan keluarga Bu Pairin. Saling tukar makanan, bersapa turun di mana, kerja apa, tinggal dimana, dst. Busnya sendiri nyaman, ada tolokan cas HP, ada tempat minum, dapat snack pagi (snack sore dibagikan setelah makan siang), dan perjalanan sungguh lancar. Sampai di Gringsing keluar tol untuk makan siang pukul 2. Salat duhur, dijamak Asar.
Setelah istirahat sekali lagi waktu Magrib di rest area Cipali, kita gas terus sampai tujuan. Saya iseng bertanya apakah bisa turun di Karawang? Seorang ibu, ikut nimbrung mau turun Cikampek. Diskusi dengan sopir, kenek, dan leader bus, kita sepakati semua turun di Terminal. Langsung kuhubungi Adik, buat jemput.

Sampai di Terminal Pulo Gebang pukul 21:00. Gegas cari titik penjemputan di lantai dasar. Terminalnya gede banget, seperti bandara saja, rapi dan terstruktur. Perjalanan ‘kembali ke Timur’ satu jam, dan semuanya lancar, Alhamdulillah.

Sebelum istirahat, makan mie godog Jawa, buat video testimoni, kasih kabar di grup sudah sampai rumah. Dengan demikian acara Balik Kerja bareng BPKH usai sudah. Esoknya isi form evaluasi. Komentarnya? Puas. Kita ucapkan terima kasih banyak, moga berkah.

Libur telah usai. Ayo, semangat kembali kerja para Haji Muda!

Karawang, 050523 – Sherina Munaf – Mimpi dan Tantangan

Spesial thx to Mbak Reni

Best Films 2022

Dari pahlawan merenung sampai renungan dua orang di atas tanah gundukan. Dari perempuan pemenang lotere jatuh miskin sampai penyanyi kaya tewas muda. Dari dagis pendiam sampai remaja riang pembuat film. Kisah absurd di pulau asing sampai di negeri asing yang melakukan pembunuhan atas nama tuhan. Dari pria terjebak tinggal di kamar sampai polisi yang memutuskan tak tinggal sebab perselingkuhan. Gegap gempita perang sampai pria pencari kesunyian. Dari para perempuan ngobrol sampai ngobolnya ayah anak.

Ini adalah tahun ketujuh saya buat daftar 14 film terbaik. Masih nyaman dan konsisten. Total film rilisan 2022 yang kutonton adalah 36. Inilah film-film terbaik 2022 versi LBP (Lazione Budy Poncowirejo):

#14. The Batman by Matt Reeves

Di sebuah kota yang selalu ditempa hujan… Darah dan kata-kata pasti meluap bersamaan. Gotham yang basah dalam berkah limpahan kata-kata sang superhero seolah penyair pelamun, ia murung dan lelah. Apakah perlu kita menghitung air hujan yang diguyur langit, yang umlahnya tak terhingga, seperti penderitaan yang harus Batman pikul. Jalan yang harus ditapaki seorang pahlawan tidaklah semulus yang kita bayangkan: berliku-liku dan melewati kerasnya gunung pengorbanan.

“Ketakutan adalah alat. Saat cahaya itu menerpa langit, itu bukan sekadar panggilan. Itu peringatan.”

#13. Gold by Anthony Hayes

Minimalis fantastis. Drama antara Bagong, Petruk, dan Hawkeye. Saya suka. Keterasingan bisa mencipta halusinasi dan pemikiran liar. Temanya bisa jadi tamaknya manusia, tapi sejatinya ini masalah moral. Sejatinya dia orang baik, dia bertanggungjawab atas tugas yang diemban, potensi kabur ada, kemungkinan legowo ada, tapi sayangnya ia orang baik yang dimanfaatkan. Lihat bagian awal, saat di kereta ia memberi makanan sebagian kepada gelandangan dalam gerbong, itu saja sudah memberi gambaran betapa ia orang baik, dan sungguh apes, ia dimanfaatkan. Emas berhasil membutakan hati manusia di dunia fana ini. Manusia cenderung melakukan hal-hal yang tidak baik saat terkucil.

“Tidak ada api tanpa asap.”

#12. To Leslie by Michael Morris

Permulaan film Indonesia banget. Menang lotere besar, foya-foya, traktir sana-sini, alkoholik akut, dan dalam sekejap jatuh miskin hingga jadi gelandang. Kegilaan dari tindakan yang tanpa berpikir. To Leslie mengambil potret itu, gelandangan bertahan hitup dari satu emperen toko ke penampungan, dari satu rumah teman ke rumah anak, begitulah, akibat salah kelola keuangan. Kesempatan satu seumur hidup, mendapat durian runtuh, bukannya mewujudkan mimpi memiliki kedai makanan buat menunjang hidup, malah dihambur-hamburkan. Untungnya, Tuhan selalu bersama hambanya yang berusaha. Dan begitulah, selalu, selalu ada manusia baik di sekitar kita yang ikut mengangkat dari kubangan. Dalam film ini, malaikat kebaikan itu sungguh luar biasa. Tak pamrih, serta kebal akan cemooh. Endingnya hangat, dan terlalu manis untuk menjadi nyata.

“Tidak ada yang akan memberimu kesempatan kedua kalinya, mengerti?”

#11. Elvis by Baz Luhrmann

Rock n roll. Takdir telah memilihnya sebagai tokoh protagonis dalam tragedi ini dan bahwa dia tidak punya pilihan selain menggenggam pedang dan menghunusnya. Pil-pil itu hanya sarana, konser melelahkan itu hanya panggung sandiwara, dan alur emosi yang timbul tenggelam, bagai roda pedati yang konstan. Sang megabintang tutup usia tersebab apa? Kebenaran sejati adalah sejarah seharusnya hanya berisi anekdot-anekdot berita yang terperangkap di dalamnya. Elvis belajar untuk lebih kesepian daripada yang bisa dirasakan manusia. Di Graceland malam datang tanpa diselingi senja, dan sebelum hujan turun, cahaya matahari bagai cahaya mutiara.

“Saat aku tiada… saat aku tiada. Terpujilah Tuhan terus menerus. Aku terbang menjauh…”

#10. The Quiet Girl by Colm Bairéad

Gadis cantik yang tumbuh dalam keluarga besar, lalu dalam libur musim panasnya dititipkan ke rumah saudara jauhnya. Di desa yang sepi daerah Rinn Gaeltacht, County Waterford, sebuah rumah peternakan sapi mengelingkupi sifat pendiamnya. Ia lalu menyatu sama rutinitas keluarga ini. Setelah bermenit-menit tanpa melihat anak lain, barulah kita tahu bahwa satu-satunya anak paman bibinya itu meninggal dunia karena tenggelam, gara-gara berkejaran dengan anjing. Dan ia menjadi pelipur lara. Endingnya war-biasa… dipulangkan, dipergikan, dipelukan erat ayah.

“Hal-hal aneh kadang terjadi, bukan? Sesuatu yang enh terjadi padamu malam ini.”

#9. The Fabelmans by Steven Spielberg

“Segala hal terjadi untuk suatu alasan.”

Kisahnya tentang hikayat kaum pencipta film, merentang dari masa kecil Sammy Fabelman, remaja sampai ia sukses mencipta film yang patut dibanggakan keluarga. Lebih banyak konfliks internal bagaimana keluarga ini coba bertahan, malah sungguh dominan ibunya, Mitzi (Michelle Williams) yang sakit. Ia memiliki kesalahan, dan coba dipendam dan diurai, yang sayangnya malah makin berat. Dan begitulah, keluarga adalah kalimat, bukan kata, sehingga satu anggota luka, maka kata lainnya turut sedih.

#8. The Triangle of Sadness by Ruben Östlund

Perbincangan jelang akhir bilang, “ini tak masuk akal.” Dan dijawab ya. Seolah merangkup isi cerita film. Aneh dan unik, rasanya sang sineas bergurau saat situasi gawat. Film aneh yang mengejutkanku. Sempat mengira ini film art, di mana dominasi adegan meja dan perbincangan di atas mendominasi. Lalu berubah haluan di atas kapal mewah, dengan keaneragaman perilaku orang kaya, hingga akhirnya berubah jadi film komedi saat terdampar di pulau asing. Daya tarik film ini (ingat endingnya jadi komedi ya) terletak pada penggambarannya yang jernih dan begitu hidup. Kaget, sungguh mengagetkan Oscars menunjuknya di nominasi tertinggi. Namun, twist dan geregetnya sungguh menyenangkan, melegakan lebih tepat. Siapa sangka, dominasi orang kaya itu runtuh seketika? Hanya di sini Babu berusaha mempertahankan supremasinya. Dan tentu saja, poin ending-nya ada dua: keledai sebagai piala kepahlawanan dan penjelajahan hutan yang berakhir dengan tawa histeris. Aduhai, tak tertebak. Sebuah pulau dengan robekan realita, ketidaksesuaian, dan antiklimaks.

“Tak masuk akal, ‘kan?”. The Holy Spider by Ali Abbasi

#7. The Holy Spider by Ali Abbasi

Luar biasa. Menyeramkan. Film ini banyak membahas iman dan prahara, dan efek salah langkah memilih jalan keimanan. Serial killer berdasarkan kisah nyata tahun 2000 s.d. 2001. Apapun alasannya, bagiku membunuh orang lain adalah salah. Apalagi ini di era millennium, di mana era keterbukaan, ada hukum yang mengatur, yang sejatinya manusia juga harus bisa berpikir terbuka, tidak berpandangan sempit. Keyakinan moral dapat menulikan orang dari kebenaran selain kebenarannya sendiri. Melakukan tindak kejahatan, sekalipun massa mendukung, sekalipun lingkungan meneriakan semangat, tetap saja salah, dan penjahat harus dihukum. Jihad bisa dilakukan dengan cara tak seperti itu. Kamu bukan Tuhan, kamu tidak bisa menentukan hasil suatu kejadian. Yang penting jalan itu bukan cara melenyapkan nyawa seseorang. Masih banyak ladang pahala yang bisa dilakukan. Ketika membunuh sebagai pembenaran untuk menghilangkan perilaku amoral masyarakat, jelas ada lubang dalam argumen ini.

“Setiap orang akan bertemu dengan apa yang ingin ia hindari.”

#6. The Whale by Darren Aronofsky

Best actor locked. Film dengan setting minim. Hanya dalam satu ruangan, menampilkan pria gemuk, over gemuk duduk, hampir sepanjang film. Kenapa ada orang sanggup menjalani hari yang sama berulang kali selama bertahun-tahun tanpa menjadi gila? Lantas para tamu bergantian hadir, atau beberapa adegan bersamaan, mengunjunginya. Kekuatan film memang di cerita, jiwa-jiwa frustasi. Membedah pengalaman masa lalu, yang indah dikenang untuk menyatukan senyum, yang buruk dijadikan pemicu perbaikan kualitas hidup. The Whale hanya seminggu, dan selama seminggu yang ganjil, si pria gemuk dalam posisi di titik pengambilan keputusan terpenting dalam hidup. Sekarat, dan bisa jadi hidupnya tak kan lama lagi. Lantas saat tahu, hidupmu tinggal hitungan hari, apa yang akan kau lakukan?

“Saya perlu tahu bahwa saya telah melakukan satu hal yang benar dalam hidupku.”

#5. Decision to Leave by Park Chan-wook

Kalau saya membuka ulasan The Batman dengan kalimat, “Di sebuah kota yang selalu ditempat hujan…” Maka Decision to Leave kubuka dengan kalimat yang hampir serupa. Sesedikit mungkin tahu alurnya, semakin aduhai. Sedikitnya ada sepuluh kali saya bilang, “anjir keren keren, anjir keren keren, anjir keren keren.” Diolah berulang seolah mantra. Rumit, benangnya membelit hati.
Di sebuah kota yang selalu diselimuti kabut…4. All Quiet on the Western Front by Edward Berger

#4. All Quiet on the Western Front by Edward Berger

Epic war. Luar biasa. Salah satu film perang terbaik yang pernah kutonton. Gambaran perang yang mengerikan. Dengan setting Perang Dunia Pertama, pihak Jerman dan Prancis dalam masa menegangkan. Di tanah La Malmasion utara Prancis yang diperebutkan, drama penuh ledakan terjadi. Dengan sudut pandang pihak Jerman, kita diajak bersafari hal-hal yang terjadi di baliknya. Tata kelola perekrutan yang mengerikan, bayangkan saja, mereka anak baru lulus sekolah, tanpa pelatihan militer yang memadahi, seolah mengejar kuantiti. Dikirim untuk perang, di front terdepan pula. Maka wajar, penggambaran mula film sungguh-sungguh menegangkan. Rekrutan itu kocar-kacir, dan hingga akhir film kita turut merasakan betapa kasihan sekali jiwa-jiwa muda ini, yang seharusnya menikmati masa indah malah berperang.

“Ketika Anda kelaparan, Anda akan melakukan apapun.”

#3. The Banshees of Inisherin by Martin McDonagh

Mengerikan, tapi tampak rasional. Lima puluh tahun lagi saat kita sudah diganti generasi berikutnya, apa yang kita tinggalkan? Teman-teman yang baik? Oh itu hanya lingkar dalam lingkungan. Beberapa abad yang akan datang, kita tak akan dikenang jika hanya jadi manusia biasa. Di sini, kita mengambil contoh musisi. Abad 17 kita mengenal Mozart, dan itu akibat karyanya yang abadi. Maka pemikiran liar inilah yang menjadi picu perpecahan persahabatan dua orang. Jati diri kehidupan, apakah warisan karya yang monumental atau sekadar gelak tawa dengan teman dan keluarga terkasih? Di pulau terpencil tahun 1923, dengan minimalis dan sederhana lelaku keseharian, kita menjadi saksi remuk redam kebimbangan. Warga dan kesunyian yang tertinggal. Kejam, sunyi, mengerikan. Apakah sepadan, meninggalkan teman karib demi mengejar impian yang tersisa? Mengggapai impian tidaklah sungguh-sungguh manusiawi karena memilih impian dengan tepat tergantung pada suatu pendapat tepat mengenai keselarasan hakiki antara impian-impian tersebut. Ah, Colm yang malang, memikirkan hakikat kesunyian, kesunyian yang lebih pekat dari hutan, kesunyian tak tertembus.

“Satu lagi pria pendiam di Inisherin, astaga!”

#2. Women Talking by Sarah Polley

Luar biasa, dan ini berdasarkan kisah nyata, diinspirasi kejadian sebenarnya di sebuah koloni Manitoba, Bolivia, diadaptasi dari novel karya Miriam Toews. Setiap menitnya menegangkan, lebih dari sekadar ngobrol. Main stage-nya adalah ruang pertemuan di rumah peternakan, dengan jerami mendominasi, dengan kursi-kursi kayu seadanya. Tatanan kisah sangat kuat, sebab menentukan nasib banyak orang, nasib anak-anak generasi berikutnya. Jadi ini bukan tentang ibu-ibu ngerumpi di arisan, bukan pula ngobrol di atas meja makan, ini tentang perempuan berbicara misi penyelamatan, untuk itulah terasa sungguh menegangkan di tiap ucapannya. Turut pula ketakutan, hasil voting akan memecah belah, mereka adalah orang-orang buta huruf, dan begitulah, menit-menit mencekam di koloni asri, hamparan hijau daun sepanjang mata memandang.

“Apakah permintaan maaf yang dipaksakan itu benar?”

#1. Aftersun by Charlotte Wells

Apakah arti semua itu? Apakah perjalanan film berakhir dalam paradoks? Tak terjelaskan makna berikutnya, setelah Calum berbalik, keluar dari pintu itu. Biar penonton sendiri yang menerka apa yang terjadi. Kemungkinan-kemungkinan apa sajakah yang dimiliki manusia ketika terjebak dalam dunia yang telah ada ini?

Ya ampun cantik sekali Aftersun. Salah satu terfavorit tahun ini. Hubungan ayah anak yang hangat. Liburan berdua bersama ayah, manjadikan mereka makin dekat. Ayah yang frustasi, mempelajari Tai Chi, mencoba refreshing dengan anaknya. Ayah depresi yang tak menyangka menyentuh usia 30 tahun. Anak, yang cerdas, kritis, mencoba menikmati hari, sementara waktu jauh dari ibunya. Ini adalah momen indah di ulang tahun ayahnya, jadi harus dimanfaatkan dengan baik. Jadikan kesenangan adalah motor serta norma dari seluruh acara ini, itulah kehidupan kita. Liburannya jauh, mencapai Turki di sebuah resort sederhana. Dan begitulah, hubungan hangat anak-ayah ini dikupas mendalam. Indah, dan seperti kenangan indah lainnya, akan mengulik otak kita di kemudian hari.

“Saat kamu berusia 11 tahun, menurutmu apa yang akan kamu lakukan sekarang”

Karawang, 310323 –Arctic Monkeys – Dancing Shoes

Happy Birthday Winda Luthfi Isnaini 17 tahun.

Tour de Loji


“Pergilah kasih, kejarlah keinginanmuuuuu. Selagi masih ada waktuuuu…”

Luar biasa. Menyenangkan, melelahkan, tapi seru. Seru sekali. Inilah pertama kalinya saya melakukan pendakian gunung setelah menikah. Mungkin hanya ke Loji, sebuah lereng gunung Sangga Buana, Karawang. Namun berjalan atau hiking selama dua jam tetaplah menantang. Loji hanya 2 jam bersepeda motor dari rumah, tapi rasanya jauh. Dan inilah petualangan kita, berempat pada Sabtu, 18 Februari 2023 bertepatan dengan perayaan Isra’ Mi’raj selama delapan jam yang tak terlupakan.

Dimulai dengan usulan M Iqbal, peserta pertama, ia pernah dua kali ke Curug Penganten mengajak beberapa teman kerja yang mau ikut hiking. Mulanya ada lima orang yang bersedia, tapi saat hari H hanya tiga yang siap berangkat, satu orang secara dramatis menyusul, yang membuat keberangkatan mundur hampir dua jam. Iqbal, yang optimis jadi, awalnya mengusulkan berangkat Jumat sore sepulang kerja, menginap semalam, lalu Sabtu siang turun. Namun karena ini pertama, kita berangkat Sabtu pagi saja. Dan itupun tak selancar yang diperkira. Lalu grup WA dibuat untuk komunikasi.

Saya, peserta kedua, harus antar anak les renang jam 8, artinya rencana mula pagi start point pupus. Jam 8:30 kumpul di rumahku, Iqbal tepat waktu, dank arena saya belum mandi, saya buatkan Indomie buat waktu meunggu. Leni Marlina, peserta ketiga pun datang jam 9. Nah, saat siap-siap berangkat, tiba-tiba muncul pemberitahuan Babeh Boy, peserta keempat, bahwa acara antar mamihnya ke Telaga Sari sudah selesai, mau menyusul. Makanya kita tunggu saja. Sambil ngopi dan ngobrol haha hihi. Ternyata persiapannya pun tak matang. Topi misalnya, hanya Iqbal yang bawa. Leni tidak, saya yang lupa taruh mencari sampai njelimet, dan akhirnya pakai peci saja. Saya baru tahu harus pakai sepatu, oh kenapa? Rutenya terjal, kalau sandal bakal jebol. Lalu makanan, juga tak disiapkan. Saya masih belum nggeh, kenapa persiapannya banyak? Ternyata saya salah tangkap, kukira dua jam perjalanan itu, hanya rumah dekat Galuh Mas ke Loji, lalu dari tempat parkir ke curug jalan bentar. Mana malamnya main futsal dua jam, cedera pula. Tidak, dari titik mula ke curug itu dua jam! Artinya 4 jam total awal, 4 jam total akhir. Yang artinya lagi, acara ulang tahun teman Calista sore itu bakalan ke skip. Bahkan nantinya, malam yang harusnya ada pengajian di Masjid kompleks, saya tak hadir. Badan sakit semua, gegas istirahat.

Jam 09:50 akhirnya Babeh kabari sudah di depan gerbang perumahan. Dan begitulah, perjalanan Tour de Loji dimulai.

Bersepeda motor, saya dan Iqbal, Leni dan Babeh. Mengambil rute tikus, masuk ke gerbang kawasan industry KIIC, lalu sampai mentok kawasan baru, lupa namanya, yang jelas mentok saja jalan baru itu, ada PT Softex-nya. Belok ke kanan, tembus di jalur arah Loji. Menyingkat banyak waktu, dari yang seharusnya via jalur biasa. Memutar kali malang. Perjalanannya sendiri begitu lancar, mungkin karena Iqbal dan Babeh yang nge-gas dan pernah ke sana. Sempat mampir Indomart untuk beli perbekalan: air mineral, kacang, kuaci, kopi, biscuit. Jam 12:00 sampai di tempat wisata Grand Canyon. Titik mula pendakian. Sinyal HP hilang. Dan nantinya, sampai pulang jam 19:15 sinyal baru nyala.

Sempat berpikir untuk Salat Dhuhur dulu, tapi belum wayahnya. Ada mushola dan toilet di area parkir. Mau usul menunggu, tapi akan buang wkatu. Maka langsung saja hiking ke Curug Penganten dilakukan. Harga tiket 15 ribu per orang. Naik dari yang sebelumnya 10 ribu. Permulaannya santuy, haha hihi, rutenya masih mudah, disemen, hanya selokan kecil, dan masih ramai, berpapasan dengan pendaki lain yang turun, berpapasan dengan penduduk lokal yang bawa kayu gede dipanggul, padi diangkat, atau sesama pendaki yang juga berangkat. Saling sapa, dan salam itu perlu. Untuk memecah keheningan, kita mengobrol, bernyanyi, atau sekadar bercanda. Masih segar, cuacanya pun tak panas, padahal tengah hari. Komposisi utamanya adalah: Iqbal, Leni, saya, Babeh. Dua orang pengalaman ditaruh depan belakang.

Mulanya, setiap ada sungai kecil, foto-foto, jaga pakaian agar tak kotor, takut basah sepatunya, cari rute kering, tak mau terjun ke air. Atau saat ketemu, rute naik, dan agak becek, sepatu atau celana diusahakan tak basah atau kotor. Saya sendiri belum mengira seperti apa jalan yang akan ditapaki. Ini seperti Petualangan Marlino (plesetan Petualangan Sherina). “Kesasar ga ya?”

Saat sampai di gubuk pertama yang ditemukan, ada setumpuk kayu dengan ukuran pas buat teman hiking, tiga orang mengambilnya (hanya Babeh yang tak pakai tongkat, padahal yang paling tua). Setelah menyebrang tiga empat sungai, akhirnya kita sampai di gubuk warung pertama. Hufh, rasanya lama sekali. Waktu sudah menunjukkan pukul 13:00 dan bahkan belum separo-nya. Kebanyakan istirahat, kebanyakan ketawa ketiwinya.

Babeh, sok akrab dengan penjualnya, meminta durian. Iqbal dengan santuy ikut minum air putih dari teko. Leni, foto-foto dan mengakrabkan diri. Hanya saya yang kelelahan, minum mulu, ngemil mulu. Sempat selfie, ya ampun wajahnya sudah penuh keringat. Mau pesan kopi, tapi masih terlalu dini, nanti saja pas pulang. Iqbal beli coca-cola 7 ribu.

Dan akhirnya saya keluarkan kaca mata, dan kupakai, biar pemandangan lebih jelas terlihat. Setelah 15 menit istirahat, kita lanjutkan perjalanan. Oiya, Babeh yang sok akrab itu dengan santuy meninggalkan jaketnya di gubuk tersebut, gerah. Sementara kita bertiga memasukkan jaket ke tas masing-masing.

Rute berikutnya ternyata lebih banyak melihat sawah. Banyak petani sedang istirahat, memetik padi (dengan mesin), atau sekadar lewat membawa cangkul. Sementara terdengar deru sepeda motor! Gilax, ada konvoi 4-5 motor mendaki gunung. Motor trail yang menderu untuk rute terjal dan sulit, dan mereka berhasil sampai ke sana. Jos tenan.

Gubuk kedua tak jauh dari gubuk pertama, makanya tak mampir. Malah ada gubuk kosong pinggir aliran kecil air, saya yang hanya makan mie, kelaparan, istirahat lama di situ. Biscuit langsung ludes, kacang atom satu bungkus juga, minuman dalam tumbler juga. Diingatkan Iqbal, jangan boros-boros, ini baru separo perjalanan. Yah, mau gmana lagi, laper berat!

Saat kembali berjalan, komposisi sempat diubah Babeh dan Iqbal, dan benar saja. Kesasar. Babeh dengan pedenya maju terus, ada tikungan, Iqbal sempat teriak salah jalan, tapi jalan terus, sampai beberapa petani yang sedang duduk di gubuk jauh, teriak, “Mau ke mana A?” ke curug, salah jalan. Itu arah bukit x. Dan memang di depan ada bukit tinggi sekali. Putar arah, dan komposisi kembali seperti semula, Iqbal di depan.

Gubuk ketiga, atau terakhir akhirnya ditemukan. Di situ ramai sekali, titik puncak para pemotor, orang mandi, ada mushola dan toilet, ada yang santuy bakar-bakar, atau sekadar ngobrol. Iqbal bilang, ini gubuk terakhir, selanjutnya hanya hutan dan aliran sungai yang ada. Yang jualan ternyata sedang tutup, makanya tidak mampir, hanya kasih salam ke sesama pendaki. Lanjut perjalanan. Menyeberangi sungai, dan begitulah kesunyian menyambut kita.

Memasuki hutan, jalan mulai terjal mendaki. Tak ada sawah lagi, naik turun bukit, sungai berulang kali disebrangi, benar-benar sepi. Desir angin yang menemani, taka da pendaki lain lagi, ini benar-benar rute senyap, kecuali donimasi suara air beriak. Batu-batupun masih berlumut, artinya jarang orang ke situ. Saya dua kali terjatuh, kaki kiri kepentok batu, lecet. Kedua, jempol kanan kesandung, memar, kaca mata jatuh. Sempat kesakitan, duduk dulu di batu besar. Iqbal dan Babeh menyemangati, bentar lagi sampai.

Sempat berpapasan dengan pendaki lain yang mendirikan tenda. Mereka sedang santuy duduk-duduk di atas batu sangat lebar, sepertinya ada yang lagi makan dan juga ngerokok. Handphone Babeh jatuh dari tas, resletingnya rusak. Untung di tanah kering, untuk ketahuan. HP langsung dimasukkan ke tasku, ingat Mamih, nanti pulang kalau tak bawa HP bakalan kena omel.

Jelang garis finish, rute tampak menakutkan. Dimulai dengan temuan ular, diusir Iqbal. Lalu ada tulisan, “awas jurang”, ya ampun, serem sekali, tinggi, tanahnya miring, di bawahnya sungai berisik. Tak lama kemudian, ketemu tulisan lagi, “awas licin”. Nah ini yang serem, batu gede banyak, licin, dan harus agak melompat! Bawahnya aliran sungai. Berpegangan pada dinding bukit, beberapa batang pohon menjulur, atau merangkak dari satu batu ke batu lain, dan ingat sekali lagi batu-batu itu licin!

Akhirnya Curug Penganten itu ditemukan. Sekitar jam 14:15. Jadi total perjalanan 2 jam 15 menit. Hufh… air terjunnya kecil, dibanding Cigentis misalkan. Jangan bandingkan Grojogan Sewu, jauh sekali. Tak ada tulisan penanda ini area Penganten, taka da pula spot-spot selfie. Dan bayanganku bahwa kita akan bertemu dengan pendaki lain, ramai tak terlihat nyata. Hanya kita berempat! Ya ampun, sepi amat. Memang tak banyak yang berwisata ke sini, selain rute agak susah dan jauh, Curugnya sendiri muram. Bukan suara burung yang terdengar, bukan pula desir angin sejuk, tapi benar-benar suara gerojokan yang monoton, dan hanya sesekali suara tenggoret yang memekak-kan telinga. Pantas sepi.

Saya yang pertama terjun mandi. Setelah sepatu dan pakaian tanggal, menyisakan celana pendek, langsung saja byuuur. Wah, batu-batunya licin, bukti sekali lagi, tempat ini jarang dijamah. Iqbal menyusul mandi, selalu mengingatkan, “jangan ke tengah, dalam.” Lalu Babeh turut serta. Begitulah bertiga, di tengah hari, kedinginan. Sementara Leni tak turut serta, lagi dapat. Ia buka HP, foto-foto, makan, dan mengagumi keindahan alam.

Kuaci dibuka, kacang dinikmati, kopi dihabiskan. Tak lama, jam 15 kurang, saya baru teringat belum Dhuhur, segera mentas. Cari batu besar, menjalankan ibadah. Jam 15:00 sudah siap-siap semua balik, dan saya lagi-lagi teringat, saya bawa dua buku: novel anak Mission Monster dan buku puisi Tagore: Burung-burung Nyasar. Karena waktu tipis, saya baca puisi saja. Sekitar sepuluh halaman, kubacakan lantang. Tentang cinta yang patah, tentang kemahaluasan semesta, tentang kunang-kunang yang mengejek cahaya bintang, tentang angin yang membelai rambut, dan yang paling kuingat, “Bunga malam yang terlambat bangun ketika pagi menciumnya. Dia menggigil lalu mendesah dan jatuh ke tanah”- 269.

Pengen lebih lama, pengen lebih khusuk, pengen memeluk kesunyian ini. sayang realitas kembali menyapa. Ada rintik air, tipis tapi mengkhawatirkan. Iqbal berulang kali bilang Ayo. Dan kalau cuaca buruk, sungai akan meluap, dan kita akan terjebak! Jam 15:10 kita beranjak turun.

Seperti saat akan sampai tadi, permulaan turun buruk. Susah sekali di batu-batu terjal nan licin. Nah, kali ini giliran Iqbal yang salah rute. Ketika di persimpang sungai, yang seharunya menyeberang, ia malah mandaki. Sebuah bukit curam dengan kemiringan signifikan, untungnya langsung tersadar. Ini bukan hutan yang sama. Setelah bermenit-menit terjal, kita kembali turun, dan menyesuaikan rute kembali. Hutan yang sama, sebenarnya spot foto malahan bagus-bagus, tapi karena gerimis menyapa, pada takut keluarkan HP. Setelah hutan, tak terasa akan sampai gubuk tiga. Saya ambil video, tebak lagu-lagu, sampai tawa-tawa merdeka. Anehnya, saya lagi-da-lagi menyanyikan lirik yang sama: “Pergilah kasih, kejarlah keinginanmu. Selagi masih ada waktu… jangan hiraukan diriku, aku rela berpisah demi untuk dirimu… ”

Dan benar saja, kekhawatiran itu terjadi. Di gubuk tiga, hujan tiba-tiba menghajar. Babeh yang lagi di toilet diteriakin gegas, Iqbal dan Leni langsung membungkus HP dan didorong ke dalam tas. Saya langsung memakai jaket, mengencangkan resleting. Wah gmana ini? jalan terus, kita harus sampai gubuk satu sebelum gelap.

Mulai dari sinilah ketegangan merambati. Hujannya lebaaaat sekali. Sawah-sawah tergenang, jalan yang seharusnya jadi penanda perjalanan, malah dipenuhi air, sehingga mirip jalan kaki di selokan. Guntur juga berulang kali memekik, dan kilat menyapa dulu yang mencipta iqtigfar. Iqbal sebagai leader gerak cepat, dan bahkan berulang kali menambah gap waktu dengan kita, tapi setiap nemu tempat sulit, ia menunggu. Begitu terus. Saat akhirnya sampai di gubuk 1, hujan makin menggila.

Babeh mengambil kembali jaketnya, Leni membeli Aqua (5 ribu). Saya kembali meyakinkan bahwa HP dibungkus plastik. Saya bungkus dobel, saya masukkan ke bungkus kacang, saya masukkan kembali ke plastic besar. Buku-buku sudah basah, uang, pensil, tiket, semuanya basah. Namun tetap saja jejalkan semua ke satu plastik.

Waktu menunjukkan pukul 16:30, masih sangat jauh dari kata selesai. Kalau merujuk waktu berangkat, masih butuh 1,5 jam untuk sampai Grand Canyon, artinya Magrib, itupun kalau lancar. Diskusi kembali terjadi, gmana ini? Air mata langit lagi gila-gilanya, kalau tak gegas, dan air meluap sungai, dipastikan tak bisa pulang, harus menginap. Bapak penjaga gubuk 1 membantu kita, memberikan jaket plastik, untuk perempuan saja. Leni gegas pakai, dan dengan mengucap doa, kita lanjutkan perjalanan kembali.

Dari sini tak banyak yang bicara, benar-benar terdiam semua, fokus pada jalan. Tampak di belakang, Bapak penjaga gubuk pun pulang. Alhamdullah ada warga lokal. Lalu tampak lagi, orang lain dengan memakai daun pisang juga seperjalanan. Sungai sudah sampai sepaha, berulang kali kita menyeberangi dengan was-was. Dan benar kata Pak Endang, saat sulit seperti ini ada seekor burung (kalau tak salah prenjak/burung cit) yang memandu. Burung-burung itu ngoceh menjadi pemandu kita, terbang dari satu pohon ke pohon lain mendahului, aneh juga kalau dipikir-pikir. Hujan lagi gila-gilanya, ada burung yang ikut, ini burung untuk cuaca cerah lho. Tapi saat itu memang tak terpikir sampai ke situ.

Hanya sesekali saja bilang, masih lama ga? Sudah dekat. Bisa jadi diucap sepuluh menit sekali. Babeh pakai acar kepleset, baju Leni sempat terjatuh. Dan yang utama sekali, air sungai meluap tinggi. Saat di persimpang sungai, warga lokal 1 menyeberangi, air sudah sepinggang, kita berempat hanya berdiri menatap air yang bergolak, gmana ini? “Bal, ini serius harus menyeberang?” Warga lokal 2 yang ada di belakang kita memberi opsi lain, ke atas saja, tak perlu menyebrang, aliran deras. Ok, si Bapak akhirnya yang nge-lead jalan. Rutenya memutar, naik bukit dulu, lalu turun lagi, dan tetap di pinggir sungai. Saat akhirnya kembali lagi di persimpang, kita tetap harus menyeberang sungai, ini jalan satu-satunya, kecuali kembali naik bukit lagi (dan itu tampak menakutkan sebab bukitnya tinggi sekali). Akhirnya kita paksa turun ke sungai. Air sudah setinggi perutku. Huhu, pengen nangis. Golak air tampak menyeramkan, kita harus menginjak batu-batu besar yang tak kelihatan, dan hati-hati sama batang pohon yang hanyut.

Semua berpegangan tangan. Dua kali kepleset, sebab batu yang kuinjak di hulu, tak pas. Ditarik Babeh, “Pak injak batunya, ke kiri (hilir)”. Sempat pula si Bapak teriak, “Awas kayu”, untungnya tahu, pegangan tangan sempat kulepas, membiarkan kayu hanyut dulu. Lalu setelah beberapa detik yang menegangkan, kita semua berhasil melewatinya.

Apakah akan ada penyeberangan lagi? kalau dari rute sebelumnya, satu lagi! “Ya ampun Bal, tak mungkin bisa.” Bisa jadi beberapa menit lagi air sudah setinggi dada. Dan itu menakutkan! Saat akhirnya ketemu rute itu saya geleng-geleng kepala. Riaknya menyeramkan. Dan untungnya, si Bapak warga lokal menunjuk bukit lagi. Ada jalan lain, yang walaupun sekali lagi naik turun tinggi, rasanya lebih aman. Bapak yang nge-lead sisa petualangan. Rutenya licin, memang jalannya sempit, dan bukan jalur utama. Leni, yang jalan kedua, lebih banyak diam. Tak bercanda, tak bicara, bahkan sekalipun ditanya, ia tetap diam fokus jalan.

Setelah beberapa kali kepleset, setelah mengerahkan sisa-sisa tenaga, setelah gigil yang menerpa, kulit jari tangan mengerut, Alhamdulillah terdengar suara motor di bawah. Artinya sudah dekat sama Grand Canyon. Betapa leganya, saat kaki menginjak garis finish. Ada penjual di sana, menyapa, cuaca buruk berani sekali mendaki. Hufh… ya mana kita tahu cuaca bakal segila ini. Begitulah, kita berhasil duduk santuy di tikar parkiran jam 17:30. Hal pertama yang kulakukan adalah sujud syukur, salat Asar.

Total perjalanan balik dua jam, 15 menit.

Sementara menunggu pop mie dihidangkan kita saling bercerita. Kali ini nadanya sungguh-sungguh ceria. “Kalau kita terlampat sedikit saja turun, kita bakal menginap, tak tahu deh, apa yang terjadi.” – Iqbal. “Aku tuh pengen ketawa mulu tadi sebenarnya. Pak Tebe nyanyi lagu sama. Hahaha, aku tak banyak bicara untuk menghemat energi.” – Leni. “Aku sih bukan mengkhawatirkan Leni, apalagi Babeh. Aku tuh mengkhawatirkan Pak Tebe.” – Leni lagi. “Aku membayangkan Mamih (Rani Skom) ikut, bakalan tak bisa turun. Baru gih gubuk 1 minta pulang.” – Babeh.

Saat pop mie tersaji, hujan sudah berkurang intensitasnya, hanya gerimis. Dan saya dengan malu-malu bilang, “Aku mengkhawatirkan aku sendiri.” Haha…

Sinyal HP masih belum ketemu. Jam 18:00 kita pulang. Parkir dua motor 10 ribu. Dan perjalanan pulang tampak lebih tergesa. Ingin segera rebahan. Sempat khawatir karena setelah nengok belakang, Motor Leni tak tampak lama. Kita putar bali, ternyata mereka pakai jas hujan.

Beberapa titik banjir, menggenangi jalanan. Bukti bahwa hujantadi sungguh lebat. Dan sembari jalan bersisian, kiat bersekapat, langsung pulang, tanpa titik kumpul lagi. Rencana nge-bakso batal. Kapan-kapan saja. Di perjalanan balik ini ada sisi menarik. Jalan yang sempit, ada Fortuner yang menjengkelkan. Tak mau mengalah pada kita pengendara motor. Jalannya kencang, di tengah pula, hanya minggir kiri, saat ada kendaraan lawan arah datang. Begitu terus, bikin jengkel. Kuamati plat B, nomor cantik. Hufh, akhirnya punya pengalaman jelek sama pengendara Fortuner.

Sampai di rumah jam 19:15. Beli es teh dingin, melepaskan dahaga. Rasanya sungguh nikmat. Iqbal sendiri masih bermotor sejam lagi ke Telaga Sari. Leni dan Babeh hanya berselang 15 menit memberi kabar di grup WA sudah sampai rumah. Sebelum kaki menginjak rumah, ada 6 misscol dari May, mengkawatirkanku. WA marah, tak ada kabar dan sinyal. Ya gmana mau bisa jawab telepon, sinyal saja tak ditemukan.

Ia sedang pengajian di masjid, di rumah sepi. Saya hanya menjawab, saya tak ikut pengajian, lelah sekali. Mau langsung istirahat. Dan entah sampai jam berapa acaranya, saya tak melihat anak-istri pulang, saya tertidur pulas saat streaming Liga Inggris bahkan belum separo babak.

Karawang, 210223 – Skeeter Davis – Here’s the Answer (ditulis jam 17:45 sd 18:45. Dua ribu depalan ratus kata).

*) Thx to Muhammad Iqbal, Leni Marlina, Babeh Boy. Petualangan berikutnya, setelah Lebaran. Loji lagi dengan rute lain? Atau yang lebih jauh? Yang jelas nabung dulu.

**) Tiket masuk 15k, parkir 5k, bensin +/- 30k. Makan minum + snack menyesuaikan. Liburan murah nan seru. Ayoo hiking lagi.

14 Best Books 2021 – Fiksi/Lokal


“Aduh, Nak kau masih muda, masih belum matang mengenyam hidup di dunia ini. Bagimu, atau bagi orang-orang muda seperti kau, apa yang tampak itu sajalah yang ada. Apa yang tersirat tak pernah kau baca…” – Menentang Sejuta Matahari, Abdullah Harahap.

Tidak ada Kusala Sastra (KSK) 2022 membuat daftar bacaan fiksi lokal-ku terjerebab. Menurun drastis, makanya Desember kemarin kukejar bagian itu. Dari yang hanya 20-an menjadi 34 totalnya. Minimal cukup untuk mencipta daftar ini, 50%+1. Let’s go.

Dari drama cinta muda-mudi yang ditentang keluarga sampai perjalanan antar kota icip-icip kuliner di tengah kerja. Dari pendekar menua dan terkulai sampai hikayat kota fiktif. Dari diskusi kontraversi kehidupan modern sampai sejarah bengkoang di sebuah desa Jawa Timur. Dari konspirasi di Jerman sampai ungkapan syair dalam celana. Dari tukar penghuni penjara sampai pertentangan adat di Minangkabau. Dari memoar penulis luka hingga cinta bergolak di tanah pesisir. Setelah diperas dengan ikatan keras, inilah dia.

Berikut daftar buku fiksi lokal terbaik yang kubaca tahun 2022 versi LBP – Lazione Budy Poncowirejo:

#14. Menentang Sejuta Matahari by Abdullah Harahap (Sinar Pelangi) – 1980-an

Mungkin tampak klise. Namun ternyata tak seklise itu. Pengelolaan cerita mengalir nyaman, cerita para remaja tentang kasih tak sampai, cinta segitiga mencipta bencana, karena status sosial, si miskin yang merindukan damba pasangan kaya. Orang tampan yang mengingin cinta gadis cantik. Hingga berantem marah akibat cemburu. Sebuah tusukan maut, mengacaukan tatanan kehidupan para muda-mudi ini. Liar, penuh amarah, jantan.

“Namaku, Siska? Bramandita. Panggil saja Bram…”

#13. Rumah Kawin by Zen Hae (Katakita) – 2004

Bagus. Kumpulan cerita yang menyenangkan. Memainkan kata-kata dengan indah, plotnya berjalan dengan sangat rapi nyaman sehingga tak terasa selesai. Ini buku pertama Zen H?ae yang kubaca, dikumpulkan dari cerpen-cerpen yang sudah terbit di Koran Nasional. Dan seperti biasa, kalau sudah muncul di Koran Nasional, seolah jaminan. Sudah melalui kurasi, sudah dipilah dan dipilih orang-orang kmpeten, maka Rumah Kawin benar-benar mengalir bebas, asyik, dan berkelok-kelok syahdu.

“Pertanyananya tentang perempuan itu terus bergulung. Memintal-mintal hasratnya menjadi benang yang tak putus-putus. Makin panjang makin kuat.”

#12. Logika Falus by Tomy F Awuy (Metafor) – 2001

Kumpulan cerpen dari penebit Metafor yang legendaris. Temanya lebih banyak menelusup di area psikologi. Dari hubungan lesbi, pemikiran liar para lelaki, hingga kehidupan malam para Jakartan. Sebagai cerpen yang diambil judul, Logika Falus justru malah yang paling biasa, di mana dua pria mendebat seorang penyanyi kafe yang elok. Lalu berjudi, dan bagaimana diakhiri dengan antiklimaks.

“Tidak ada alasan yang tepat bagi aku untuk menikah. Untuk punya anak? Aku tak mau. Untuk seks? Aku tak butuh. Untuk kasih sayang? Aku tak butuh. Pendek kata aku tak mau menikah. Titik.”

#11. Desis Kata Kata by Heni Hendrayani (Komunitas SLS) – 2013

Menyentil banyak profesi dari pelacur, pemain film, hingga pelayan klub malam. Ingatlah selalu perjuangan para pahlawan eahai kaum hawa. Dibawakan dengan banyak simbolis. Jelas, ini lebih baik dari Jari Tengah yang kemarin saya tuntaskan. Enak dibaca, tak vulgar sekalipun beberapa yang dikupas adalah nafsu.

Celanamu: “Maaf sayang, terpaksa aku rogoh / saku celanamu, biarkan tanganku menari / di dalamnya, sebab tak ada beras / untuk ditanak. Tak ada ongkos sekolah anak. / bah! Tak ada pula uang di sana. Bagaimana / kalau aku gadaikan saja isi celanamu?” – 2011

#10. Tuan Gendrik by Pamusuk Eneste (Puspa Swara) – 1993

Semua cerpen memakai judul karakter utama. Semuanya pendek, belum ‘in’ sama cerita sudah selesai. Namun hebatnya, semua ending menggantung. Keputusan akhir diserahkan ke pembaca. Dari kepala media yang diminta ceramah kepahlawanan, tak tahu ngomong apa. Karyawan yang diancam, diperas duit sebab istrinya diculik, dan kita tak tahu apakah ia melapor polisi atau memenuhi tuntutan dengan uang pinjaman. Lalu Tuan Gendrik, bos kantor yang baik hati dan tak sombong, yang suatu hari kehilangan semua karyawannya, misterius. Hingga warga baik-baik yang dituntut untuk menikahi perempuan yang tiba-tiba mampir ke apartemennya, lalu menyatakan hamil anaknya. Semua diramu dengan tanda tanya di akhir. Begitulah, sederhana nan memikat. Tak sampai meledak-ledak, tapi sungguh efektif meluluhkan hati pembaca.

“Jangan coba-coba menelepon siapapun juga dalam urusan ini.”

#9. Ketika Lampu Berwarna Merah by Hamsad Rangkuti (GPU) – 2003

Transmigrasi jadi tempelan cerita. Waduk Gajah Mungkur di Desa Karanglo, Wonogiri, bagaimana terbentuknya. Di tempat pertemuan kedua sungai itu akan dibangun waduk raksasa Gajah Mungkur. Air akan melenyapkan semua kenangan mereka. Jelas ini sejarah, diselipkan dalam kisah kepiluan warga Jakarta yang terpinggirkan di gubuk-gubuk kumuh sepanjang rel kereta api. Lalu dikemas drama keluarga. Jadilah Ketika Lampu Berwarna Merah. Saat mobil berhenti, mungkin membuat kesal karena perjalanan tertunda. Tetapi bagi anak-anak, ketika lampu berwarna merah satu harapan baru telah tiba. Dengan bekal kasihan, pengemis melakukan pekerjaannya. Meminta-minta di sepanjang jalan saat warna rambu lalu lintas berwarna merah. Dengan pusat kasihan anak lelaki berkaki buntung. Menggendongnya, mengetuk hati para sopir. minta-minta

“Itu sekolah yang dapat dari kebiasaan kita. Kita tidak akan bisa pergi dari situ. Dunia kita adalah dunia orang minta-minta.”

#8. Sepotong Hati di Sudut Kamar by Pipiet Senja (Sinar Harapan) – 1981

Buku harian yang jadi buku. Luar biasa. Kita tahu kehidupan pribadi Pipiet Senja yang menderita leukemia. Namun detail bagaimana kehidupannya dari kecil, remaja, hingga awal mula meraih impian membuat buku, jelas tak banyak yang tahu, kecuali lingkar pertemanan/saudaranya. Nah, dari buku inilah kalian akan menemukan banyak hal pribadi beliau. Kehidupan keluarga, percintaan awal, hingga perkenalan dalam dunia teater, sandiwara nulis novel, dst. Di era Orde Baru yang minimalis, konvesional, di mana karya ditulis tangan atau diketik di mesin ketik, perjuangan seorang penderita leukemia menjadi penulis sungguh sangat inspiratif.

“Hujan sudah reda. Kita jalan lagi? ya, hujan sudah reda. Betapapun hujan akan datang lagi, hujan yang baru…”

#7. Projo & Brojo by Arswendo Atmowiloto (GPU) – 1994

Novel unik. Tukar orang yang dipenjara, dan katanya buku ini merupakan terinspirasi dari pengalaman Arswendo selama dipenjara? Apakah beliau pernah melakukan tukar posisi seperti ini? Ataukah ini pure imajinasi, seandainya punya jabatan penting, bisa seenaknya saja kabur secara tersirat dari jeruji besi? Menarik, walau ditemukan beberapa kejanggalan. Seperti, bagaimana bisa istri tak mengenali suami yang menyamar? Atau perubahan sifat karakter secara tiba-tiba akibat kepergok, seolah materi tak penting? Seakan di otaknya dipasangi rem yang kelewat pakem. Atau bagian, kepolosan perempuan desa yang luar biasa sederhana, polos. apa adanya, dan begitu sabar. Mungkin ada orang-orang seperti itu, di sini diumbar dengan pesonanya sendiri.

“Aku bahkan curiga dengan bayanganku sendiri.”

#6. Aliansi Monyet Putih by Ramadya Akmal (GPU) – 2002

Bagus. Cerpen yang bagus itu, memberi efek kejut di akhir. dengan keterbatasan kata-kata, prosedur cerita kudu dicipta. Karena saya sudah membaca buku Franz Kafka hingga Jack Kerouac, standar cerpen naik. Dan sebagian cerpen di sini memenuhi, saya bilang sebagian sebab hanya beberapa saja yang laik disandingkan. Cerita Tuan yang Paling Mulia misalkan, kita baru tahu motif Pak Joachim dengan anjingnya pada halaman terakhir, setelah diajak berputar panjang kali lebar, ternyata itu to maksudnya. Cerita utama, Aliansi Monnyet Putih juga menyimpan kejutnya, bagaimana kekecewaan dan harapan disandingkan, lalu mengapa seorang WNI yang migrasi itu berada di sana, bagus.

“Tetapi Natalie pendiam itu tampak selalu mengamati, lho. Matanya seperti rubah yang menelisik ayam-ayam.”

#5. Aruna dan Lidahnya by Laksmi Pamuntjak (GPU) – 2014

Secara cerita mungkin agak kurang, kalangan atas sedang kerja dan makan-makan, motif dan pengembangannya yang kurang relate sama kebanyakan kita, atau kurang pas sama jelata. Pejabat pemerintah, dan lingkarannya melakukan kejahatan, Aruna terseret pusaran, dan begitulah ia mengikuti decak kenikmatan makanan dari kota ke kota. Keistimewaan buku ini jelas, cara penyampaiannya yang luar biasa. Lezat di tiap lembarnya. Memang ini hidangan istimewa, nikmatnya berlapis-lapis.

“Selalu ada tradisi makanan yang tak diketahui orang.”

#4. Persiden by Wisran Hadi (Bentang Pustaka) – 2010

Luar biasa. Menggetarkan. Butuh waktu lama untuk loading masuk ke cerita sebab awal mulanya agak boring. Mencerita keadaan Persiden dan sekitar. Pengantar yang nyaris membuat pesimis. Untuk kubaca cepat, tiga hari 3, 4, 5 Dec 2022 selesai. Jadi mood untuk terus berada di pusaran kisah terjaga. Konfliks keluarga, sebuah keluarga ternama menemui titik kehancuran sebab antar saudara terjadi gap. Empat lelaki dan satu perempuan, saat salah satunya punya anak, semuanya seharusnya memiliki rasa kuat saudara, saling mengingatkan, saling melindungi, sebab otomatis keempatnya jadi paman. Namun sayang, keponakan tersayang terlahir dari perbuatan zina. Malati, anak solehan yang jadi juara pertama mengaji itu hamil di luar nikah, kasih terlarang dengan guru ngajinya. Melahirkan tersembunyi, lalu keluarga ini ribut. Persoalan Malati telah melanggar dua hal penting, adat dan agama.
“Globalisasi hanya boleh berlaku dalam dunia ekonomi dan politik, tapi tidak dalam budaya dan agama.”

#3. Wasripin & Satinah by Kuntowijoyo (Kompas) – 2003

Tak menyangka arah buku ini akan ke sana. Ini adalah novel kedua Kuntowijoyo yang kubaca, setelah Pasar yang fenomenal itu. Yang ini tampak lebih kompleks dengan ending yang lebih berani. Kritik politik dari arus bawah hingga pusaran pusat yang njelimet. Pasangan yang saling mencinta, dengan segala kekurangan dan segala kehebatan masing-masing, di puncak ketenaran dan kegemilangan, segalanya berbalik. Wasripin yang bak nabi, dan Satinah yang secantik merak, akhir yang tak terduga. Benar-benar dibawakan dengan sangat bagus, mengalir dengan sangat nyaman dan begitu rapinya. Ah, rasa itu, kenapa terlambat disampaikan, dalam lamaran aneh dengan hasil pancing di pantai sepi ikan, dan jelmaan indah, lantas dihempaskan.perahu

“Ah, pasti kura-kura dalam perahu.”

#2. Cantik itu Luka by Eka Kurniawan (GPU) – 2002

Riwayat Halimunda. Kalau saya menulis ulasan novel-nya Jorge AmadoGabriela, Cengkih, dna Kayu Manis dengan kalimat: “The Chronicles of Ilheus,” maka saya membuka ulasan Cantik Itu Luka dengan kalimat itu. Di kota fiksi inilah, kita diajak bersafari dari sebelum, saat, dan setelah Indonesia merdeka. Memiliki tanggal cantik sendiri untuk dirayakan sendiri, 23 September sebab informasi proklamasi terlambat sampai, kebusukan moral polisi penjahat di setiap sudutnya, hingga tokoh fiksi yang sejajar Jenderal Sudirman. Fakta dikaburkan imaji, dibubuhi segala penyedap kegemparan masa itu, dan taa-daa… jadilah novel liar.

“Menanti Pangeranku datang, untuk membebaskanku dari kutukan wajah buruk rupa.”

#1. Ulid, Tak Mau Ke Malaysia by Mahfud Ikhwan (JBS) – 2009

Menyenangkan menikmati perjalanan seseorang yang realistis. Megedepankan sisi humanis. Terlahir di desa yang sederhana, dengan kepentingan sederhana, lantas keinginan sederhana: tak ingin ke Malaysia. Kerasnya hidup, di tengah kekurangan materi. Dan begitulah, semuanya akan kena arus. Siapa yang bisa bertahan dari gerusan air gelombang itu? Daya tariknya banyak. Sangat banyak. Dari teknologi masuk desa, dikupas perlahan-lahan seolah mengupas bengkoang. Mulai dari kepemilikan radio, teman nongkrong dengar sandiwara, tv-tv tetangga yang menyatukan tetangga, hingga akhirnya kedewasaan memaksa kita menginjak bumi. Realitas, seorang lelaki (apalagi sulung) harus kerja. Begitulah, sederhana dan sangaaat nyaman. Menjadikannya buku terbaik 2022 lokal fiksi yang kubaca. Amat layak.

“Kamu juga pingin sepeda, Lid?” / “Ah, nanti sajalah.” / “Kalau kambing bagaimana?” / “Kambing?”

Karawang, 030123 – Christina Bjordal – Blame the World

Menanamkan Keikhlasan dalam Ibadah


Jejak Sufi Modern by Abu Jafar Alqalami

“Jika orang sudah mempercayakan nasibnya kepada Allah, yakin kalau Allah mengurusi hidupnya dan yakin Allah akan menerima amal perbuatannya, maka itulah yang disebut tawakaltu alallah.” – Kiai Badrun

Lucu. Mungkin tak seberat buku-buku sufi kebanyakan, mungkin pula dan sak-klek sama aturan Islam yang kaku. Ini malah jadi sejenis diskusi, seorang awam agama, bertanya kepada pendiri pondok pesantren. Rasanya tepat, sebab biar ahlinya yang menjawab. Maka kiai Badrun memberi petuah-petuah hidup, yang mungkin bagi kita sudah umum (atau malah usang). Dasar agama, tuntunannya, hingga rasa syukur. Yang menarik, diskusi itu mengalir nyaman, dan apa adanya. “Hujan sudah reda, kita jalan lagi.”

Lasirun merasakan kehampaan hidup, dan melalui Kiai salaf, kiai Badrun mereka berdiskusi masalah kehidupan. Panjang kali lebar. Menemukan kedamaian, menemukan banyak jawaban. Dan Lasirun lantas memutuskan ingin jadi sufi.

Sayangnya, salah kaprah sebab menolak duniawi. Istrinya sampai frustasi, sebab Lasirun tak mau bekerja. Tak mau menghidupi keluarga. Isinya hanya ibadah saja. Bahkan, setelah menelantarkan keluarga, dapat pengembalian utang dari teman, dibelikan kambing lantas ia sumbangkan demi umat. Bayangkan, keluarga berhari-hari tak dikasih makan, saat ada rejeki mendadak, disumbangkan semuanya. Istrinya yang gedek, lalu melaporkan pada sang kiai.

Terjadilah diskusi lagi, Lasirun yang memang madep manteb ikut kata kiai akhirnya bisa dicerahkan. Namun beberapa hari kemudian, salah gaul lagi. Temannya yang juga suka ngaji, mengajak Sandrimo dan nantinya beberapa teman lain untuk diskusi dengan Kiai. Polanya berulang, galau, bimbang, lantas mencari jawab sama ahlinya.

Dan begitulah, buku ini akan terus berkutat dalam dialog-dialog sederhana tapi begitu jitu mengena. Dibawakan dengan santai, sehingga nyaman untuk kalangan umum. Catatan di bawah ini adalah kutipan langsung, sebagian besar dari buku. Karena bagus dan laik dibagikan, saya ketik ulang. Semoga bermanfaat.

Banyak aliran sufi, tapi tetap harus mengacu pada dua hal. Apapun itu. Contoh tarikat Syaziliyah, Samaniyah, dan tarikat Haji Paloppo dari Bugis. Sebenarnya tasawuf itu tidak mempunyai aturan tertentu selain ibadah berdasarkan al Quran dan Hadis. Sekali lagi saya katakan bahwa tasawuf itu semacam filsafat Islam. “…tarikat itu merupakan jalan untuk mengalamkan ilmu syariat…”

Ilmu hakikat berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu kebenaran. Hakikat adalah suasana kejiwaan seorang saalik (sufi) ketika mencapai suatu tujuan hatinya. Salat secara tak langsung adalah dialog dengan Tuhan, tapi jangan disalah-artikan. Yang dimaksud adalah dialog batin, seolah-oalh hati kita berdialog denganNya.

Ia bagaikan orang haus yang minum air laut, semakin banyak kitab salaf dibaca, ia merasa semakin kerdil dan semakin dungu. Ia baru menyadari, betapa ilmu itu tiada habisnya jika dipelajari. Apalagi ilmu agama, terus digali, sekain dalam, semakin tak ada habis-habisnya. Zuhud adalah sikap menjauhi kemewahan duniawi. “Kalau semua orang membenci dunia, apa jadinya Islam. Nabi dulu tidak begitu. Tidak benci harta, tetapi juga tidak tergila. Sekadar secukupnya saja. Nabi tidak meninggalkan perkawinan, tidak membenci wanita, tidak mengabaikan kewajiban sebagai suami.”

Menjadi sufi yang modern artinya menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan akhirat. Jika saat rejeki sempit tidak mengeluh, jika dalam keadaan kaya tidak lupa diri. Uang bagaikan madu lebah, segala macam semut dan kumbang datang menghirup manisnya. “Semua anak Adam memang mendambakan bahagia, Cak.”

Dalam sebuah kisah, seseorang bertanya kepada Yahya bin Khalid al Barmaksy tentang bahagia. Bahwa bahagia itu adalah sentosa perangainya, kuat ingatan, bijaksana akal, tenang dan sabar dalam menempuh cita-cita, maksud dan tujuan. Kalau menurut Ibnu Khaldun, bahagia itu tunduk dan patuh mengikuti garis ketentuan Allah dan perikemanusiaan. Menurut imam Ghazali bahagia dan kenikmati sejati adalah jika bisa mengingat Allah.

Allah membagi akal dalam tiga bagian, pertama ialah ma’rifatnya dengan Allah, kedua taatnya bagi Allah dan ketiga baik pula kesabarannya dalam menghadapi dan menerima takdir Allah. Sebab mengingat Allah itu mencakup keseluruhan kepentingan. Sebab mengingat Allah itu mencakup keseluruhan kepentingan.

Hawa nafsu cenderung memerintahkan kita untuk melamun dan panjang angan-angan. Sedangkan akal memerintahkan kita untuk berpikir dan mempertimbangkan. “Nafsu itu jangan kau bunuh, sebab jika dibunuh, ya kita tidak punya iradah. Tidak punya kemauan beribadah. Hanya saja, nafsu itu harus dijinakkan. Jangan dibiarkan.

Cara yang dapat dipaksa untuk menjinakkan hawa nafsu ada tiga. Pertama, mengekang keinginan. Kuda Binal akan menjadi lemah jika dikurangi makanannya. Kedua dibebani dengan beribadah. Sebab kuda pun jika ditambah bebannya dan dikurangi makannya akan tunduk dan menurut. Lalu ketiga, berdoa dan memohon pertolongan Allah.

Karena wasiat Allah hanya diberikan kepada orang-orang takwa. Takwa out merupakan tujuan akhir.

Takwa mengandung tiga pengertian:

#1. Dan hanya kepada Allah kamu harus bertakwa. (QS. Al Baqarah 41).

#2. Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari saat itu kamu sekalian dikembalikan kepada Allah (QS Al Baqarah 281).

#3. Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepadaNya… (QS Ali Imron 103).

Takwa juga mengandung makna taat dan takut. Menurut al Ghazali, takwa adalah menjauhi segala yang halal secara berlebihan. Bertakwa kepada Allah hendaknya mampu menjaga lima anggota tubuh, mata, telinga, hati, lidah, dan perut. Agar anggota tubuh tidak melakukan perbuatan mudharat. Agar tidak selalu ingin berbuat maksiat.

Yang dikhawatirkan mendatangkan mudharat agama itu dua macam. Pertama, perbuatan maksiat dan seuatu yang nyata haram. Kedua sesuatu yang dihalalkan tetapi melampaui batas. Berlebih-lebihan. Perbuatan yang seperti ini akan menyeret seseorang kepada sesuatu yang haram dan maksiat. Sebab ada dorongan nafsu yang kuat. “… Jika kalian mendengar orang misuh, lalu kok asyik didengarkan, maka kalian juga dianggap berbuat misuh.” Pilihlah jalan tengah di antara jalan-jalan yang ada, dan jauhi simpangan-simpangan meragukan.

Dari sekian anggota tubuh yang paling usil dan paling banyak menimbulkan kerusakan adalah mulut. Tapi, bagiku sangat sulit meninggalkan sepatah kata yang tidak perlu. “Wahai lisan, jika engkau berbuat baik, maka kami pun menjadi baik. Jika engkau berbuat jahat, kamipun terpaksa berbuat jahat pula…”

Syair Ibnu Mubarak Ra. Berbunti demikian, “Ingatlah! Jaga mulutmu, sesungguhnya mulut itu mempercepat kematian. Dan lisan merupakan cermin hati seseorang yang bisa menunjukkan kadar akalnya.”

Seseorang tidak dapat terlepas dari dua hal dalam berbicara, ucapan yang diharamkan dan yang mubah, keduanya mengandung keburukan. Hati dan kalbu itu pusat segala-galanya. Sabda Nabi, Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan kulitmu, melainkan melihat batinmu.” Bukan pusat perhatian, tapi pusat penilaian.

Sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya dalam jasad manusia terdapat segumpal darah yang jika keadaannya baik, maka baik pula seluruh anggotanya. Jika keadaannya rusak, maka rusak pula seluruh anggota badannya.”

Hati merupakan objek bisikan dan desas-desus yang sukar ditahan. Sukar pula dijaga. Setiap detik hati berjalan dengan segala rencananya. Sedangkan hawa nafsu cepat sekali menyambut dan menurutinya.

Malaikat mendorong untuk berbuat baik, sedang setan selalu menghalang-halanginya dan mengajak keburukan. Mereka saling membisikkan kepentingan masing-masing.

Perut itu ibarat mata air dan merupakan sumber tenaga bagi seluruh tubuh. Allah tidak akan menerima ibadah salat seseorang yang di dalam perutnya penuh makanan haram.

Dampak buruk dari makanan dan minuman secara berlebihan ialah dapat menimbulkan kebimbangan. Daruquthni berkata, “Jika engkau menginginkan di antara kebutuhan dunia dan akhirat, jangan makan dulu sebelum tercapai maksud itu. Sebab, makan menjadi pikiran lesu.”

Ada empat keburukan yang berpangkal dari hati: khayalan, seakan-akan panjang usia. Kedua, serba terburu-buru tanpa pertimbangan. Ketiga iri dan dengki pada orang lain, keempat, tekabur atau sombong.

Serendah-rendahnya penyakit hati, seremeh-remehnya penyakit hati ialah hati yang keras, yaitu yang tidak mau menerima nasihat. Sedangkan penyakit hati yang besar dan buruk adalah kufur. Ingat, iblis dilaknat Allah karena takabut, enggan menghormati Adam AS.

Pokok dari ibadah itu wara’ yang artinya teliti dan hati-hati dalam segala sesuatu, setiap kepentingan dilakukan dengan secukupnya: tidak berkurang dan tak berlebih-lebihan. Hadis Qudsi tentang kebesaran dan keagungan adalah kain Allah. Artinya kebesaran dan keagungan merupakan sifat tertentu yang hanya dimiliki Allah. Tidak brhak manusia memilikinya. Artinya, manusia tidak berhak untuk sombong.

Rejeki ada empat macam: rejeki yang dijamin, rejeki yang dibagi, rejeki yang dimiliki, dan rejeki yang dijanjikan Allah. Memang manusia tidak ada jalan (asal) yang tetap dalam mencari rejeki. Karena manusia tidak tahu jalan atau asal rejekinya, manusia hanya mampu melaksanakan ikhtiar (usaha), manusia tak tahu bentuk rejeki yang didapatkan.

Tawakal berarti percaya kepada Allah, dan hanya kepadaNya kita mengharap sesuatu. Tawakal memelihara hati nyang hanya ditujukan kepada Allah. Karena itu menentukan sesuatu yang buruk dan yang baik hendaknya bergantung padaNya. Bahagia yang langgeng itu ada, tetapi ibarat mutiara. Cara mendapatkan mutiara yang baik harus menyelam ke dasar laut. Kalau sudah mendapatkan kerang, lalu dibuka dan didalamnya mutiara, begitulah mendapat bahagia yang langgeng, dan itu susah.

Iman, Islam, ihsan adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Jadi mengimani saja tanpa berbuat atau mengerjakan amalan-amalan, ya tidak boleh. Kalau begitu untuk apa agama. Lagipula, tak mungkin orang menemukan tuhannya tanpa agama. “Hidup bahagia dan tidak terlalu banyak menanggung bahaya adalah hidup yang mempunyai prasangka baik, artinya mempunyai pengharapan baik, cita-cita baik, angan-angan teguh, jangan memikirkan sesuatu sebelum terjadi…”

Puisi ciptaan Al Kathal, penyair Nasrani di zama Khilafah Bani Umaiyah: “Manusia itu semuanya cinta umur panjang / Padahal tidaklah kulihat umur panjang hanya menambah tolol belaka / Kalau engkau hendak membanggakan harta benda / tidaklah ada harta benda yang melebihi amal shalih.”

Yang dimaksud membaca adalah berpikir, mengkaji, menyelidiki terus-menerus ayat-ayat . adapun ayat Allah bukan hanya Al Quran, tapi juga tanda-tanda di sekitar ini. termasuk diri kita sendiri.

Pada akhirnya, ujung cerita adalah membahas mati. Kematian iradat adalah kematian kemauan dari dunia yang tak berguna. Yaitu mengambil yang perlu saja. Siapa yang takut menghadapi kematian berarti takut menempuh kesempurnaan. Maka banyak kiai salaf bilang, mati adalah kesempurnaan hidup. Dengan mati, orang akan sampai puncak ketinggiannya.

Mengingat kematian menurut ulama salaf justru melapangkan pikiran. Di saat sempit, di saat sedih, jika ingat mati maka hati jadi lapamh. Kehidupan ini hanyalah palsu saja, hakekat hidup yang sebenarnya adalah kematian. Kematian selamanya tetap menjadi suatu misteri.

Ada tiga jenis manusia ketika mati. Pertama, memikirkan bahwa kematian seperti suatu zaman bahagia, hidup ini pelepasan perbudakan, menganggap hidup hanya sejekap. Kedua, mereka yang sempit pandangannya. Perjalanan hidup penuh kedengkian, kotor, yang telah tenggelam duniai. Ketiga, golongan yang di antara keduanya. Orang yang tahu tipu daya duniawi, tapi masih suka duniawi. Tak mampu menahan hawa nafsu.

Kata ‘shufi’ di seluruh buku sudah saya sesuai jadi ‘sufi’ dan ‘tasauf’ menjadi ‘tasawuf’ di catatan ini. Sayangnya, banyak typo. Mungkin karena dicetak indie, tapi tetap saja editor dan prof-reader harus ada. Saking banyaknya, bisa jadi tiap lembar ketemu. Termasuk salah cetak, ada dua halaman penuh isinya dua layer saling timpa sehingga dobel tulisan.

Buku sufi yang santuy, sederhana, tapi dikemas meriah. Saya suka.

Jejak Sufi Modern | by Abu Jafar Alqalami | Editor Drs. Bambang Marhiyanto | Setting dan Lay out Fajar Jaya Mitra Pressindo | Desain sampul Wawan Kurniawan | Pencetak dan Penerbit Jawara Surabaya | Cetakan 1, 2000 | Skor: 4/5

Karawang, 121222 – 231222 – Barry Manilow – Can’t Smile Without You

Thx to Ade Buku, Bandung

Desis Kata Kata

Seekor ular berdesis desis di kepala / Membisikkan sebaris kata kata / PAda sepasang telinga yang terkulai / Dan mata berat terkantuk kantuk / Was wis wus, was wis wus.” – 5 Desember 2012

Salah satu hal yg kusuka adalah membaca karya acak tak kukenal. Dan Paling senang menemukan hal keren tak terduga, ini salah satu buku puisi yg menyenangkan itu.
Nyaman di tiap belitannya.

Buku puisi lagi, beruntun saya ulas buku puisi. Sebuah kebetulan saja. Buku puisi cepat selesai dibaca, sebab tak ada kesinambungan narasi dari awal tengah akhir. Sepenggalan saja sehingga cepat dicerna, cepat pula dilupa. Tema utama sejatinya adalah perjuangan perempuan, bagaimana dahulu kala Kartini, Dewi Sartika, dan pahlawan perempuan lain mengabdikan diri dalam perjuangan persamaan hak. Menyinggung pula cara berpakaian. Zaman berubah tapi kelakuan purba sama. Lantas di zaman millennium ini, banyak perempuan yang menggadaikan kemerdekaannya demi materi.

Menyentil banyak profesi dari pelacur, pemain film, hingga pelayan klub malam. Ingatlah selalu perjuangan para pahlawan eahai kaum hawa. Dibawakan dengan banyak simbolis. Jelas, ini lebih baik dari Jari Tengah yang kemarin saya tuntaskan. Enak dibaca, tak vulgar sekalipun beberapa yang dikupas adalah nafsu.

PSK: “Di taman kota / Dua tubuh berpagut / Berbagi pesing” – 2011

Ditulis rentang waktu dua tahun 2011 – 2012 dan terbit tahun berikutnya. Tahun di mana saya menapaki perjalanan langkah baru kehidupan. Langkah menembuh jenjang perkawinan. Dari penilaian saya yang awam syair, beberapa memang tampak biasa, atau terlampau biasa.

Hujan Pagi Hari: “ SapaMu lembut / lewat hujan yang tercurah / sepagi ini. sejuk menyelusup / dis etiap ruang rumahku / di ruang batinku // Tuhan / terkantuk-kantuk aku / mengeja pesanMu – Februari 2012

Ini yang lumayan Ok.

Bulan di Permukaan Kolam: “BErkaca bersama bayang bulan / Yang jatuh di permukaan kolam / Sebentar goyang / Dimainkan riak air / Lalu diam” – 5 Desember 2012

Susah memang mencipta puisi berkualitas konsisten. Yang hebat, buku 70 halaman ini dibuka dua pengantar, bukan sembarangan orang, dan satu kata penutup. Entah apakah mentor komunitas atau teman, atau mungkin lingkar pertautan sastra, yang jelas tak sembarangan, kumpulan puisi bisa mendatangkan esai pakar.

Kata pengantar oleh dua orang, pertama dari Tandi Skober. Mengupas isi puisi dari sisi feminism dan ingatan yang tertanam abadi. “Saya sependapat dengan diri saya bahwa sajak kudu memberi sesuatu, memetaforaisme dab bersifat heriditas fungsional.” Hani meyakini bahwa kumpulan ingatan adalah harta waktu tak berbentuk.

Kedua dari Maman S Mahayani, tentang suara hati. Mengutip Arminj Pane dan bagaimana Puisi adalah kata hati yang terdalam, suara jiwa dari sukma nun jauh di sana. Semecam ejawantah zaman Romantisme Eropa, “Puisi adalah limpahan perasaan yang meluap yang timbul dari renungan dalam ketenangan…”

Kata penutup oleh Dr. Asep Salahudin, MA tampak menggebu. Sebuah esai yang bernas, saya kutip salah satu paragrafnya, “Bukankah “keasadaran”, sejatinya merupakan tema yang mendominasi risalah kenabian, ilham para penyair, menjadi perhatian utama dalam refelski kaum filsuf dan sesuatu dicari peziarah ruhani (suluk) yang tanpa tepi. Kesadaran yang dijangkarkan dalam haluan ketuhanan (Nabi), akal budi (Descartes), moralitas (Kant), “ada” (Heideger), cinta kasih (Levinas), kuasa (Nietzsche), kebersamaan (Martin Buber), keterlemparan (Sartre), perbuatan nyata (Marx), absurditas (Camus), kemenyatuan Ilahiah (Ibnu Arabi), hulul (al-Hallaj), mabuk asmara (Adawiyah), marifat (Dzun Nur al-Mishri), atau manunggaling Kaulo Gusti (Syekh Siti Jenar).”

Yang jelas, dari pandangan ketiga pakar puisi tersebut, sepakat bahwa puisi pembuka Celanamu adalah yang terbaik. Saya kutip penuh:

Celanamu: “Maaf sayang, terpaksa aku rogoh / saku celanamu, biarkan tanganku menari / di dalamnya, sebab tak ada beras / untuk ditanak. Tak ada ongkos sekolah anak. / bah! Tak ada pula uang di sana. Bagaimana / kalau aku gadaikan saja isi celanamu?” – 2011

Tampak nakal, tampak simbolis. Mencari uang, menemukan ketiadaan, dan karena tak menemukan yang dicari, maka berniat menggadaikan isinya. Ironi, lucu, memikat. Buku kesekian fiksi lokal yang berhasil saya tamatkan di bulan ini demi 14 besar terbaik.

Buku kumpulan puisi memang layak dipajang di rak perpus keluarga, sebab suatu saat bila ingin mengenang bacaan, dengan mudah dibuka dan dinikmati kembali, termasuk Desis Kata Kata. Well, sungguh jarang saya menikmati penyair perempuan. Heni, bisa jadi pembuka kran itu. Moga diberi umur panjang, agar bisa mencipta karya-karya lainnya. Dan moga diberi umur panjang untuk bisa menikmati buku-buku puisi penyair perempuan.

Mendesiskan kata-kata.

Desis Kata Kata, Sepilihan Sajak 2011-2012 | by Heni Hendrayani | Komunitas SLS | Komunitas Sastra Lingkar Selatan, Bandung | Gambar kulit muka Foto Iqlima Diwanti Attarian | Desain sampul dan tata letak Irman Nugraha | Nomor: 02/KSLS-P/2013 | Cetakan pertama: 17 Februari 2013 | Skor: 4/5

Karawang, 16122 – Benny Goodman & His Orchestra – King Porter Stomp

Thx to Ade Buku, Bandung

Pak Janggut

“Akan jadi sarang kutu saja janggut itu, menambah-nambah kerja awak.”

Suka sama kesedehanaannya. Suka sama polanya yang mengalir lancar, beberapa mengundang tawa, beberapa getir. Bagaimana manusia zaman dulu mendapati nama panggilan. Orang berjanggut panjang, Pak Janggut. Orang berbadan kurus, Si Kerempeng. Orang berbadan gemuk, Bu Pan. Orang suka ceramah, Pak Ustadz, dst. Nama-nama yang didapat dari orang-orang sekitar, dari pergaulan, dari dampak sosial. Umum, dan sangat membumi. Untuk itulah, saya suka. Seri satra Nostalgia.

Nama aslinya Pak Daud, perantau sejak muda, dan saat senja ia menepi ke kampung halaman. Awalnya tak memiliki janggut, tapi karena tiap kenduri melihat orang-orang berjanggut diperlakukan istimewa sama tuan rumah, karena dituakan, karena dihormati, ia pun memeliharanya. Malahan jadi ikon, janggutnya lebar dan panjang. Dan begitulah, akhirnya warga memanggilnya Pak Janggut.
Istrinya Nyonya Fatimah menemani di hari tua, dipanggil Bu Rubu, saat makin tua jadi Nek Rubu. Sebab suatu ketika ada gerhana matahari yang menghebohkan warga, semua teriak dan kabur, dan berhamburan keluar rumah. Hanya rumah Pak Janggut gemetar ketakutan di dalam, Bu Fatimah yang panik kabur keluar rumah, berhamburan. Beberapa orang di jalan diseruduk, ia merubu hilir merubu mudik, ke mana ia akan lari, ia tak tahu. Kabar itu menyebar, dan sejak itulah ia dipanggil Bu Rubu.

Kisah sesungguhnya trejadi pada suatu siang, saat keduanya sedang menikmati hari, Pak Janggut yang giginya tinggal sebiji disuguhi sayur petai. Komplainlah ia, sebab gmana makannya. Komplain itu ditanggapi dengan gurau marah, zaman muda ia suka petai. Ih sekarang beda soal Rubu. Pak Janggut lantas pergi ke sawah, dan di sinilah petaka datang.
Ia jalan terus sampai ke tengah sawah, dan mendengar kodok-kodok bernyanyi. Karena masih marah, suara itu dianggap menyinggung. Dianggap mengejek, diambilnya batu, dilemparinya kodok-kodok jahanam itu. Apes, ia malah kena kencing segingga terjerebab sehingga basah sudah pakaiannya. Karena basah dan kena lumpur, ia pun berinisiatif melepas pakaian, hanya tinggal celana dalamnya. Lantas menjemur, sembari menanti kering, ia membakar api. Sejenis api unggun biar selain kena angin juga dipanasi, sekalian menghangatkan badan.

Di dangau-dangau itulah, api yang semula kecil, membesar, janggutnya terbakar. Kesal, dan lapar, ia tetap memutuskan melanjutkan ngambeknya. Lantas ia santuy dekat api, rebahan yang melalaikan. Saat tertidur itulah api menyambar pula ranting dan benda kering lainnya, mencipta api besar, kebakaran. Haha, apes.

Sementara itu dari pusat desa melihat api berkobar di dangau, heboh. Bergegas datang, warga berbondong-bondong memadamkannya. Yang tersisa dari kebakaran itu adalah pakaian Pak Janggut, dan salah satu warga mengetahui identitasnya. Mereka mengira Pak Janggut adalah korban, binasa oleh api, sehingga mereka menuju ke rumahnya, Nek Rubu yang tak tahu apa-apa heran, banyak orang ke rumah, dan setelah mendengar penjelasan kemungkinan Pak Janggut tewas dilalap api.

Padahal Pak Janggut yang terbangun, saat ramai menyaksi warga memadamkan api, sembunyi. Takut di-massa. Ia lantas mengendap-endap pergi, karena hanya memakai cangcut, ia lalu berinisiatif ke rumah saudaranya untuk pinjam baju.
Naas, di situ dikira maling. Gelap-gelap, mengendap. Kentongan segera dipukul bertalu, dan warga kembali mengerumun menangkapnya. Menggelandangnya, dan butuh waktu untuk kembali menjelaskan duduk masalah. Saat semua dijelaskan, tertawalah semuanya. Ini berpangkal dari sayur petai! Hehe…

Ini jelas masuk cerita komedi. Setelah kejadian itu, ada kasus unik lainnya, misal gigi tunggal-nya yang mencoba memecah petai lantas tanggal, sementara ada maling bernama tunggal yang sembunyi di balai, mengira ia ketahuan. Lantas kabur, dan Pak Janggut heran.

Begitulah, cerita rakyat dengan kearifan loka. Diterbitkan di masa Kolonial dengan segala kesederhanaan. Kentongan misalnya, untuk memanggil warga dan memberitahu ada bencana. Atau ketika Pak Janggut memutuskan memelihara janggut agar tampak bijaksana demi makanan, dst. Di zaman now jelas hal-hal itu tak ada, serba instan.

Ini adalah terbitan Balai Pustaka, jadul. Bagus untuk nostalgia, bacaan tipis dan memberi petuah tanpa menggurui. Membumi, dan jenis buku-buku yang dipajang di rak perpustakaan sekolah. Dibaca cepat, diselesaian instan. Tak masalah, saya akan membacai semua jenis buku, dan beberapa bacaan sejenis terbitan BP sudah tersedia. Pak Janggut yang malang, Pak Janggut yang kocak.

Aman Datuk Majoindo lahir di Supayang, Solok, Sumatra Barat. Lulusan Sekolah Raja di Bukittinggi, HIS di Solok dan mendapat diploma Klien Ambtenaar. Tahun 1919 menjadi guru di Padang, dan tahun 1920 – 1932 bekerja di Balai Pustaka. Meninggal di Sirukan, Solok, Sumatra Barat.

Pak Janggut | by Aman Dt. Majoindo | Penerbit Balai Pustaka | BP No. 1310 | Cetakan pertama – 1938 | Cetakan ketujuh – 2007 | viii, 68 hlm., 21 cm: Seri BP No. 1310 | ISBN 979-666-202-7 | Tat letak Sakun | Desain sampul Arditya | Skor: 3.5/5

Karawang, 201222 – Andre Previn, Herb Ellis, Ray Brown, Shelly Manne – I Know Oh So Well

Thx to Ade Buku, Bdg