
Catatan perjalanan pendakian ke gunung Sanggabuana, Karawang.
“Luar biasa nih, Sanggabuana puncaknya Karawang. Harus cobain ke sini.” – Herry
“Kalian harus coba, kalian wajib coba. Apalagi orang Karawang. Mantab” – Leni
“Aku senang.” – Ajay
“Sampai puncak juga sih ya, tadi (perasaan) hampir tak yakin sih. Tapi akhirnya bisa.” – Widoyo
“Bangga. Dah itu saja.” – Iqbal
“Tadi sempat meragukan juga, beberapa teman-teman, tapi saat mendekati garis finish gantian aku yang meragukan. Luar biasa, ya luar biasa. Estimasinya tiga sampai empat jam, tapi ternyata lebih dari itu. Terima kasih. Kalian harus coba. Ke Puncak Sanggabuana Karawang.” – Budy
Kenangan-kenangan terpintal bagaikan jaring dalam kehampaan, membelit kita semua yang terlibat. Masa lalu terlahir dari masa depan, sama seperti masa depan terlahir dari masa lalu. Masa depan, seperti yang telah diputuskan oleh masa lalu, semua hal itu tersembunyi dalam lipatan waktu. Masa depan hanya bisa diketahui lewat mimpi. Dan yakinlah, mimpi petualangan-petualangan seru seperti ini harus diwujudkan. Lima sepuluh tahun lagi bakal jadi kenangan tak terlupakan. Nanti kita cerita tentang petualangan hari ini.

Alhamdulillah, niat pendakian ke gunung lokal Karawang ini terlaksana sesuai perencanaan. Terakhir tour ke Curug di Loji, kita sudah sepakati ini, tempat dan waktunya pas. Bahkan kita buat rundown, start dan finish sesuai. Berangkat jam 6 pagi, sampai rumah jam enam, tapi jam enam sampai titik parkir.

Sejak Selasa, 9 Mei 2023 kita teman satu kantor. Susunan acara sudah sangat meyakinkan, awalnya berlima: Saya, Leni, Iqbal, Ajay, dan Herry. Namun saat saya mampir ke Finance, ditanya acara hari Minggu ada karyawan kondangan, saya jawab tak bisa hadir, nitip saja, HR dijadikan satu amplop, sebab mau naik gunung. Serta merta, Pak Widoyo bilang ikut. Wah, beneran? Mobilku cuma muat lima orang, beliau dengan meyakinkan bilang pakai mobilku. Yo wes, besoknya jadilah dalam grup WA kita berenam.
Karena tak satupun pernah ke puncak Sanggabuana, kita googling cari info. Ternyata membuat gentar juga, dari sebuah video Youtube, bakalan nemu kuburan, banyak. Dari sebuah tulisan blog kita jadi tahu, tiket masuknya berapa, parkir, hingga biaya ojeg. Akhirnya diputuskan urunan 100k per orang. 50k untuk bensin, 50k untuk biaya-biaya. Karena Leni, satu-satunya perempuan, bendahara diserahkan ke dia.
Mendekati hari H, saling sher informasi persiapan apa saja. Seperti bawa makanan, jas hujan sekali pakai, HP full cas + powerbank bagi yang punya, pakai sepatu, disarankan pakai baju yang mudah serap keringat (jersey bola nyaman tuh), bawa baju ganti, topi, kacamata, masker/buff, bensin full, bawa plastik kecil buat amankan HP bila hujan menempa, hingga obat pribadi. Ternyata, semua yang disebut ini penting gaes, kudu disiapkan benar-benar, terutama obat pribadi. Untung sekali saya bawa counterpain + safe care, sangat berguna. Termasuk koyo, obat luka, air minum 1 Liter masing-masing, hingga cokelat! Ya, bawa cokelat, sangat membantu menambah energi darurat.

Diingatkan sebelum berangkat sudah sarapan semua, kumpul di rumahku di Grenvil, Karawang Barat jam 05:30, jam enam pas berangkat. Kumpul di rumahku sebab, parkir luas, aman, dan yang utama searah ke gunung. Hari H, saya benar-benar fit. Tidur sebelum jam 10, walau terbangun dini hari (kebiasaan bangun baca buku), tapi berhasil tidur lagi, bangun subuh.
Saya bawa bekal Abi Food, sambel goreng ati dan sarapan telur dadar yang praktis saja. Pukul 05: 40 Widoyo dan Iqbal (semobil) datang, mereka beli sarapan di jalan, sarapan dulu. Kemudian muncul Herry dan Ajay (semotor), sudah sarapan. Saya buatkan kopi 4 gelas, sembari nunggu Leni. Yang hadir hanya beberapa menit sebelum pukul 6.
Benar saja, jam 6 lebih dikit kita foto-foto, lalu gaaass… berangkat.

Sebenarnya saya tak mau jadi pemandu jalan samping sopir sebab kacamataku sudah tak sesuai minusnya, jarak pandang tak jauh. Namun karena sudah pada duduk di belakang, terpaksa saya yang buka Maps. Dari Maps diperkira sampai titik parkir jam 07:30. Sempat mampir Hisana buat beli bekal, dan Alfa buat belanja kekurangan bekal. Saya, Herry, Ajay sih sudah komplit semua, sudah disiapkan dari malam.

Sempat nyasar jalan 3x. Pertama sebelum pasar, yang harusnya belok kanan, malah bablas, kedua setelah pasar dari Maps info ada belokan ke kanan, harusnya belokan kedua, ini belokan pertama sudah banting setir, dan terakhir pas di titik parkir. Seharusnya sudah sampai, tapi tetap nanjak, ternyata itu arah ke Curug Cigentis, sehingga cari putaran balik. Hufh, inilah petualangan. Nyasar adalah bagian dari petualangan.

Saat tiba di parkir pukul 07:51, halaman rumah warga. Banyak mobil pendaki lain. Kunci mobil diserahkan ke tuan rumah, kita foto serah terimanya. Trust saja. Sebab memang banyak mobil lain, untuk mobil yang parkir awal, nanti ‘kan pulang, sehingga mobil kami yang menghalangi jalan, akan dimajukan.
Begitulah, semenit kemudian kita foto-foto di titik berangkat jalur pendakian. Sempat celingak celinguk cari ojeg (yang kata youtuber ada di situ), tapi kok sepi ga ada ya? Lihat Maps (di sini masih ada sinyal untuk beberapa provider, saya pakai 3), hanya 14 menit sampai di titik pendaftaran. Yo wes-lah kita jalan kaki saja. Tak berapa lama, beberap motor yang sudah dimodifikasi lewat, wahhh… gmana nih? Namun sudah tanggung, jalan terus saja. Sinyal mulai timbul tenggelam.

Ternyata lumayan berat pembuka hiking kali ini, jalurnya memang sudah disemen, tapi lumayan menukik. Dan benar saja, Widoyo sudah kelelahan mandi keringat bahkan belum sampai titik pendaftaran. Sempat tepar di sebuah gubuk pos, mau menyerah saja. Ya ga bisa, ini solidaritas, kita naik semua atau turun semua. Namun lihat wajahnya pucat, dan benar-benar tiduran saking lelahnya, khawatir juga. Kita tunggu beberapa menit sampai tenaganya pulih. Dengan kata-kata semangat, dengan air mineral, dengan waktu cukup memulihkan, kita lanjut lagi. kata penduduk lokal, titik daftar hanya 200 meter lagi kok. Langsung deh kita gegas lagi. dan memang, lima menitan kita sampai gerbang mula pendakian. Waktu itu pukul 08:32. Lagi-lagi Widoyo mau menyerah saja, nunggu di titik daftar. Dan lagi-lagi kita semangatin.

Tiketnya 10k, berenam 60k. Termasuk murah. Setelah mengisi formulir (Leni saja yang isi), foto-foto, mulailah petualangan yang sesungguhnya. Kata penjaganya, paling 3 jam sampai puncak, itupun santai. Makin membuat kita semangat, tak lama itu sih.

Pemandangan masih asri. Banyak sawah, pohon-pohon rindang, lewati sungai, ada musholanya (saya buang air kecil dulu), dan airnya bersih, toilet bersih, mushola enak (tersedia mukena, sajadah), hingga jalurnya yang sudah sebagian disemen. Ini memang masih jalur mula, biasanya nanti titik akhirnya adalah ketemu hutan. Susunan jalan mula: Saya, Iqbal, Leni, Widoyo, Ajay, Herry. Dua orang yang berpengalaman naik gunung ditaruh di belakang dan di depan.
Widoyo beberapa kali istirahat, tiap berapa meter, duduk tiap menemukan batu besar. Belum juga setengah jam, tasnya dibawakan Iqbal. Kita santai saja, tetap ditunggu, tetap dimotivasi. Setelah sejam, barulah kita break lama. Kita duduk santai di pos, sebuah warung makan abah, warungnya tutup. Banyak ayam di situ, ada rombongan pendaki lain dari Jakarta yang juga istirahat. Saya buka snack pertama, Taro besar. Awalnya mau makan separo saja, tapi ternyata istirahatnya lumayan lama, yo wes dihabiskan. Beberapa kali makanan kulempar ke ayam. Pos ini terawat, ada tanaman bunga banyak, salah satunya bunga sepatu. Sayangnya, agak bau.
Dan ternyata setelah tenaga pulih kita berangkat lagi, tepat di depan kita adalah area makam. Jadi selama istirahat tadi, kita duduk di pos dekat makam.
Makamnya dipagar, namanya ditutup kain, dikelilingi pohon besar (kemungkinan beringin), dan jalannya disusuni batu bata, rapi. Di depannya lagi ternyata adalah perkampungan warga. Banyak penduduk lokal santai di teras, sepeda motor dimodif ada, ada yang menjemur kopi, ada yang telanjang dada ngobrol saja sesama warga, ada yang nyapu. Wah, berarti ini warga yang menjaga makam. Ada jalur ke kiri, tapi kita pastikan jalurnya tetap lurus. Setelah menyapa dan mengucap permisi, kita melewati aliran sungai kecil. Nah di sinilah, kita benar-benar pamit sama sawah.

Pukul 09:45 kita sampai di area Perhutani, dengan spanduk bertulisan “Rawan pohon tumbang dan longsor”. Area Gamping Ground, Pancuran Kejayaan. Terlihat ini adalah area kemping. Beberapa tanah rata, bekas api unggun, ada bendera Indonesia, hingga fasilitasnya yang banyak: mushola, toilet, pos istirahat. Di kanan adalah aliran sungai, tempat ideal buat membuat tenda. Bisa kubayangkan, siang-siang beku, malam-malam dingin. Meringkuk di tenda dan baju basah.

Setelah foto-foto, kita melanjutkan perjalanan. Ini jalur hutan, pohon-pohon tinggi, semak-semak rapat. Di sinilah salah kita, harusnya mumpung banyak orang, kita tanya arah. Sebab ada tiga jalur, ke kanan, ke kanak lalu nyeberang sungai lalu kiri, atau lurus. Kita lanjut saja ke depan, dan jalurnya langsung ekstrem. Setelah naik kemiringan, ada anjing di pojok pohon, saling bantu naik, ada ibu-ibu dan anak turun pas di persimpang jalur. Basah kuyup habis mandi, kita iseng tanya, ke puncak lewat ini? Dijawab bukan. Lurus terus ke Curug, belok kiri memang ke puncak tapi jalurnya berbahaya. Waduh, lalu gmana. Harusnya di pos tadi kita ke kanan, jalurnya lebih landai, dan umum dilewati pendaki. Setelah diskusi lagi, mending kita balik lagi saja. Hufh, setelah naik susah payah kita turun lagi, susah payah. makin ragu, ketemu dua pendaki yang mau ke puncak, mereka bilang, jalurnya benar kenapa turun? Kita tetap putar balik saja, ikuti kata bu ibu. Dan sayangnya, salah jalur ini bukan yang terakhir.
Setelah ketemu pos, dan ada dua warga lain duduk-duduk yang malah tambah bikin ragu. Sebab mereka bilang jalur pendakian sudah benar lurus, tapi si ibu bilang, amannya karena ada cewek, ke kanan saja. Kita semua yang mendengar saling silang pandang, berdiskusi tanpa kata. Lalu langsung kuputuskan, kita ke kanan saja sesuai saran ibu.
Ke kanan, kita langsung ditemui sungai yang lumayan deras, tapi dangkal. Ini kesalahan lagi. karena tadi ibu bilang, ikuti sungai, saya ikuti tuh sungainya ke hulu, belok kiri. Sebuah suara mengalun melintasi air. Baru beberapa langkah, jalurnya lebih ekstrem dan gila. Memang ada banyak batu besar, tapi licin. Setelah beberapa menit, ketemu jalur buntu. Ajay dan Herry ke atas dulu memastikan, benar, jalurnya buntu. Saling silang pendapat, “harusnya kita ikut saja pendaki tadi.” Sampai menyalahkan bu-ibu. Setelah putar balik yang berat, tangan kiriku tergores ranting, jari tertusuk jarum tanaman, duh sakit banget. Kita menemukan titik yang benar. Hufh, inilah petualangan. Tersesat adalah bagian dari petualangan.

Sebuah pos lain di sebelah kanan, dan tanda yang melegakan. “Tanjakan 2 Jam”. Waktu itu pukul 10:16. Perhitungan kasarnya target sampai puncak tengah hari atau beberapa menit setelah itu, masih realistis untuk digapai. Hahaha, tak semudah itu fergusso. Justru ini awal mula pendakian berat yang sesungguhnya. Ajay memimpin, mungkin khawatir saya salah jalur lagi. Namun tidak, kali ini jalurnya tak bercabang sama sekali, dan sepanjang jalan ketemu pendaki lain, baik yang turun atau naik.

Kata bu ibu yang katanya rute landai tak nyata. Justru jalurnya nanjak terus. Bisa-bisa 45 derajat, dan itu seolah tanpa henti! Sungguh-sungguh melelahkan. Kanan kiri pohon, tenggoret bernyanyi tanpa henti. Lembah dipenuhi ringkikan melengking, bunyi burung kuk kuk, dan pohon usia ribuan tahun. Akar-akar, duri, dan semak saling membelit menjadi satu. Pohon-pohon raksasa, dan pohon-pohon muda menjulurkan dahan-dahannya ke secercah cahaya yang menyusup di sela-sela hijaunya hutan. Air minum dilahap terus menerus, tiap berapa menit duduk, tiap berapa meter, istirahat. Tiap saat, kaki rasanya sakit. Ini benar-benar berat. Berdenyut.
Sejujurnya, sempat terbesit ragu, apakah bisa? Saya harus bersusah payah menekan rasa takut bahwa jangan-jangan kita sudah kalah cepat berlomba dengan waktu. Target tak boleh kemalaman, sementara progress kita lambat. Widoyo, sudah tampak sangat kelelahan. Namun ternyata bukan hanya dia. Setelah sejam pendakian, giliran Iqbal yang meminta obat, kakinya sakit. Safe care dipakai. Ajay mengeluarkan cokelatnya, dan efektif sekali. Tak berapa lama, Herry yang merasakan sakit kakinya. Tak berapa lama, giliran saya yang merasakan paha panas.

Tak masalah, kita solidaritas saling menguatkan. Di sinilah obat pribadi memainkan perannya. Koyo cabe diberikan ke Widoyo, dan seolah menemukan power up instan, beliau langsut fit dan paling bersemangat. Counterpainku turut banyak membantu. Bergiliran menggunakannya. Setelah paha, giliran lutut yang sakit. Saya olesin saja yang banyak. Tiap berapa meter, kita duduk, se-menemukan titik duduk nyaman saja. Memanfaatkan waktu duduk untuk mengatur napas. Keringat benar-benar bercucuran.

Ada bagian harus naik dengan bantuan tali. Ada bagian harus menunduk pohon di bawah pohon tumbang. Ada bagian melompati pohon besar tumbang. Ada pula bagian harus saling tarik bantu daki sebab rutenya curam. Motivasinya, nanti pulang kita mampir makan bakso panas dan es campur dingin.
Ada sebuah pos sepi, di sisi kiri. Karena saya yang paling depan dan sungguh kelelahan, langsung saja saya duduk di beranda rumah itu, sebenarnya sempat curiga juga kok baunya lain. Yang lain satu per satu muncul, mulanya Widoyo cek, melongok ke dalam rumah via pintu yang sedikit terbuka. “Ada yang tidur”, saya bilang biarin saja mungkin kecapekan. Lalu yang lain turut duduk-duduk, sampai akhirnya Ajay turut melongok, dan spontan bilang, “Ini kuburan”. Langsung deh, pada berdiri lanjutkan perjalanan. Begidik juga, tadi duduk lama di situ. Ada kelambunya di dalam, iya, kuburan ditutupi. Dikira tempat tidur, tapi tak salah juga sih Widoyo, memang ada yang tidur di sini, tidur abadi. Hiks,…
Berpapasan dengan beberapa pendaki turun, beberapa bilang masih jauh. Yang bikin down, tapi beberapa bilang sudah dekat, bikin semangat. Canpur-canpur deh rasanya. Saat mendekati pos lain, bertemu rombongan expat Jepang, mereka bilang sekitar 20 menit lagi kok puncak. Nah, di sinilah peran teman-teman untuk saling support. Terlihat Ajay berulang kali, bentar lagi. Tak lama lagi, ah dua puluh menit lagi, dst.
Saat di pos yang sudah reot, atap sebagian runtuh, tempat istirahat miring, tempt duduk rapuh. Bertemu dengan pendaki lain, yang naik via jalur lain. Ya, jalur kita putar balik tadi. Mereka berangkat lebih lama, berarti memang benar lebih cepat, tapi rutenya ekstrem, sekali lagi katanya. Mereka heran sebab ketemu kita yang juga naik, dan baru tahu ada jalur lain. Hehe, begitulah sama-sama pertama naik gunung ini. Mulanya kita bareng naik, tapi itu tak lama, sebab lagi-lagi kita kelelahan dan tercecer istirahat.
Beberapa meter akhirnya memang ketemu rute landai, sayangnya itu tak lama. Angin sejuk langsung berembus di sela-sela dahan pohon, dan di balik pepohonan. Saat itu sudah lewat tengah hari, artinya target sudah di puncak gagal. Setelah dengan sisa-sisa tenaga, kita menemukan pohon tumbang, kita istirahat lagi. Serangga merayap keluar retakan dan lubang, kaki seribu, laba-laba, kecoa, ngengat, nyamuk, dan capung beterbangan di sekeliling kita. Capung berwarna yang cantik. Roti dibuka, snack dikeluarkan. Air minumku 1 Liter + bolot Taperware sudah habis, baju udah basah semua, muncul pendaki turun, kita tanya berapa jauh lagi, “Paling dua belokan lagi”. Wah, langsung sumringah. Saat itu pukul 12:58.
Sejujurnya, dengkulku sudah sakit banget. Paha, lutut, dan kini dengkul. Ternyata bukan dua belokan, tapi tiga. Dengan sisa tenaga yang ada, akhirnya kita sampai di puncak. Rasanya sangat bersyukur. Waktu itu menunjukkan pukul 13:14. Berarti 4,5 jam waktu yang dibutuhkan dari titik pendaftaran hingga area foto 1291 Mdpl. Betapa leganya.
Hal pertama yang kulakukan adalah tepar. Setelah disepakati tempat istirahat (ada spanduk GMBI), saya langsung ambil counterpain, olesin yang banyak, tepar. Yang lain pada foto-foto, menyiapkan makan, saya dah ga kuat. Tapi itu tak lama, sebab tujuan utama makan siang di puncak gegas dilakukan. Setelah cuci tangan pakai air minum, dan antis. Akhirnya makan siang tersaji. Nikmat banget rasanya. Sungguh-sungguh lezat. Lapar, lelah, puncak.
Disepakati pukul 14:30 nanti turun, masih ada setengah jam saya gunakan untuk tidur. Saya putuskan ganti baju, yang basah kujemur.

Ajay sempat muterin puncak, isinya beberapa bangunan biru itu adalah makam. Ada warung. Harga Aqua 1 Liter 17,5k (beli dua plus roti). Ada aula istirahat. Ada toilet (tak ada air). Ada mushola (tak ada air). Mau kencing diminta ke kebun kopi, bawa air mineral untuk bersihkan. Dan beberapa bangunan lain, paling banyak emang makam. Bahkan saat itu ada acara yaa siinan. Suaranya kencang, lantang, dan bergema. Ini puncak bro.

Baru setelah pulih benar, saya ikut foto-foto. Di bawah tulisan ikonik puncak itu, ada prasasti kecil bertuliskan: “Ratu Galuh Kemala. 14 Safar 1444H/10 Sep 2022M.” di bawahnya ada empat Ratu Galuh: Kawali, Purba, Kalingga, Shindula. Pemandangan ke arah kota bagus banget. Indah dan cerah. Seantero kota terhampar di bawah sana seolah-seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal kita sedang ada di atap Karawang. Siang begitu jernih. Beludru putih awan bertabur sepanjang mata memandang. Pohon-pohon serta perbukitan tampak bagai siluet. Ini puncak, ini sebuah keberhasilan.

Saat orang-orang masih yaasiinan, pukul 14:40 kita putuskan turun. Kali ini sungguh bersemangat. Bahkan Herry memprediksi hanya dua jam. Iqbal terdepan, Leni, Herry, Widoyo, Ajay, saya paling belakang. Benar saja, kali ini sungguh ekspres. Memang beda sih, turunan lebih semangat, lebih mudah, dan seolah tanpa rem.
Singkat kata, turunan kali ini semua ceria. Walau mandi keringat juga. Jaketku sempat dipakai, tapi tak lama kumasukkan ke tas lagi. benar-benar tak dianjurkan bawa jaket kalau muncak tik tok. Kita sampai di titik “Tanjakan 2 jam” pukul 16:05, artinya tak perlu dua jam. Semuanya lancar? Tidak juga.
Sampai di kanan kiri sawah, kali ini giliran Leni kesakitan. Kakinya kram, pegal semua. Beberapa kali berhenti, oleskan counterpain. Sebenarnya dengkulku juga sakit, tapi kutahan. Turun tuh memang kudu menahan beban, tiap langkah harus diperhitungkan, tak gas terus tanpa rem. Mana Iqbal, Herry, Widoyo sudah jauh di depan. Kita bertiga pelan-pelan saja. Memang sepakat, kita Asar jamak Duhur di mushola dekat titik pendaftaran. Sempat khawatir juga, Leni cedera. Tertatih, pelan sekali kecepatannya. Dan senangnya saat mendengar raungan mesin sepeda motor di sisi kiri, berisik nan membuat telinga sakit, tapi sekaligus itu melegakan. Artinya sudah dekat. Makanya sungguh tenang saat sampai mushola pukul 17:00, saat yang lain selesai salat, kita gantian salat, Leni istirahat oleskan lagi obat.
Kita sampai di titik pendaftaran pukul 17:10. Berarti total waktu turun adalah 2,5 jam. Kali ini tak banyak sesi foto-foto, semua sudah berpikiran gmana caranya cepat sampai parkiran. Anehnya, sungguh aneh. Widoyo memimpin jauh sekali di depan. Ia seolah mendapat tenaga tambahan, padahal ia yang paling mula kelelahan, justru paling strong saat kembali. Kalau dari parkiran ke titik daftar membutuhkan lebih dari 30 menit, saat turun tak lebih dari itu.
Betapa leganya kita sampai di parkiran, Widoyo dan Iqbal sudah duluan, bahkan sudah minum pocari sampai habis. Kita berempat barulah bergabung. Mobil kita sudah berpindah di seberang jalan, berarti mobil depan kita yang parkir sudah pulang. Sinyal sudah kembali penuh. Biaya parkir tanpa nginep juga bagi kita lumayan murah, hanya 15k. Jadi biaya di luar makan dan minum, total 75k saja.
Saat adzan Magrib berkumandang, kita turun. Estimasi Maps hanya 58 menit. Namun kita sudah berencana cari bakso dengan kuah melimpah, dan es campur dengan lelehan es. Mampir bentar cari durian. Sayangnya lumayan mahal. Harga satuan 80k, kalau beli dua 150k. Ditawar Iqbal, 100k dapat 3, tak dikasih, kasih saran beli di kang buah pinggir jalan di Kota saja. Leni memberi gesture balik ke dalam mobil. Tinggal saya dan Widoyo. Tawar 100k dapat dua dikabulkan, tapi tak mau dipilihkan yang manis mana, milihnya dibiarkan sendiri, tanpa dibuka, tanpa dicoba.
Kita sebenarnya sempat kesal juga, penjual kok judes, dan saya paling benci kalau ada pedagang bilang, “Itu harga kulakan, kita jual habisin stok saja, tak ambil untung.” Ya tak mungkin to, mbok dilogika. Memang tampak kurang ramah, tapi karena kita ingin praktis saja, Widoyo ambil dua, saya ambil satu. Dan setelah mobil kembali melaju, barulah Leni bercerita, pernah beli seperti itu, ternyata isinya busuk, tak manis pula. Polanya sama. Waduh, langsung lemes, hopeless deh.
Via Maps, kita ikuti terus sembari mata waspada cari warung bakso. Sampai di pasar tak nemu juga, ada sih satu dua tapi sepi. Setelah pasar baru deh nemu warung bakso kiri jalan. Waktu itu pukul 18:30. Kali ini tak ada es campur. Tak apa, minuman dingin yang penting. Saya sampai pesan es batu dalam gelas, saya guyur air putih penuh. Habis 120an, diminta bayar 120k saja.

Setelah mobil kembali berjalan, ada yang langsung pules, ada yang ngorok, ada pula yang turut nyanyi dari lagu-lagu i Radio. Kali ini memang lebih tenang. Balik via jalur KIIC. Sampai di Perumnas mampir Kebun Buah. Alamak, menemukan durian kemasan hanya 55k, isinya dua biji besar-besar, jaminan enak pula. Karena tadi sudah kena bocoran bakal kurang Ok, saya ambil satu. Plus pepaya 15k per kilo.
Sampai rumah pukul 20:10. Rencana mula mau ngopi dulu. Namun semua lelah. Leni yang cedera yang pertama pulang. Widoyo ke kamar mandi, saat ditanya mau ngopi dulu engga? Enggak. Yo wes, semuapun ikut bubar. Usai sudah tour de Sanggabuana. Tinggal lelahnya, sesuk Senin.

Benar, beli durian pinggir jalan di Loji kurang rekomendasi. Kecil buahnya, tak manis. Jauh sama yang di Kebun Buah (atau syawalan), mantab sekali. Benar, kecuali Ajay, semua cedera, butuh persiapan matang. Perlu rutin olahraga buat jaga kebugaran. Benar, ketika mendaki, mending sering-sering bertanya. Sekalipun rutenya yakin, saat berpapasan dengan pendaki lain, selain sapa mending tanya saja benar tidaknya rute. Benar, HP harus berisi full baterai. Banyakin video, foto. Ini momen bagus, tak setiap hari kita dikelilingi hijau daun dan suara tenggoret tanpa henti. Benar, persiapkan bekal. Obat, makanan, minuman (wajib 1 Liter per orang), pakaian, dll. Penting sekali.
Benar, kita lelah, tapi serius ini benar-benar fun. Kalian harus coba, kalian harus naik gunung!
Karawang, 190523 – Diana Krall – Cry me a River
Next tour trip bulan Agustus 2023: Puncak gunung Purwakarta/Naik paralayang Majalengka. Ini akan menjadi perjalanan tour yang panjang, dan setiap kenangannya akan mengingatkan persahabatan.