Yang Berjanji di Jembatan Kayu Kala Hari Beranjak Senja

Bunga Kayu Manis oleh Nurul Hanafi

“Tentu saja aku tahu. aku tahu bermacam-macam jenis bunga, dan itu wajar. Aku ‘kan perempuan.”

Pada dasarnya manusia menyukai hal-hal bagus, hal-hal indah bagi kita sungguh nyaman dirasa mata atau telinga. Seni memberinya banyak jenis kenikmatan. Dan dari hal-hal yang dicecap itulah kita lari sementara dari kejenuhan rutinitas. Bunga Kayu Manis menawarkan jenis keindahan kata-kata (atau di sini berarti tulisan), dipilih dan dipilah dengan mujarab oleh Bung Nurul Hanafi. Beberapa bagian mungkin tampak terlampau lebai, atau ngapain melihat senja dari jembatan saja meloankolis, itukan hal yang lumrah taka da yang istimewa dari matahari jelang terbenam, umpamanya. Namun memang itulah keunggulan kata-kata, banyak hal dicipta berlebihan, dan terasa sentimental. Memang sulit kalau kita sudah bicara kenangan, angan dalam kepala tentang masa lalu, setiap orang beda-beda, dan semakian mendayu, semakin terasa feel-nya.

Kunikmati dalam dua hari, di pagi kerja 19 Oktober 2021 (tanggal merah yang ditukar), dan esoknya sampai siang seusai jalan-jalan ke Cikarang (ban mobil kempes). Semuanya mencoba menyentuh hati, kejadian-kejadian biasa yang coba dituturkan dengan keindahan syair terpilih. Aku kupas satu per satu, biar bisa kuingat hingga masa depan gambarannya tanpa perlu membuka buku.

#1. Aku tak bisa Mengatakannya

Pembuka yang ciamik. Pasangan tua yang saling silang pendapat nama bunga. Jelas cerpen ini yang diambil sebagai cover buku. Si Suami bukannya menghina istrinya, melainkan sebaliknya, yaitu menghina dirinya sendiri. Oh bukan, lebih tepatnya: menghina masa lalunya sendiri. Memang mirip ya, bunga kulit bawang dan bunga nawangsari? Aku belum pernah lihat atau sudah melihat tapi belum tahu namanya. Hanya dari penggambarannya saja kita tersentuh, betapa bijaknya suami.

#2. Duduk dalam Senja

Aku tahu, kau juga sedang membayangkan aku berkhayal selayak prajurit muda. Pohon, domba-domba dan segala kecamuk pikiran di senja hari. Udara lemas memelukku. Dingin. Tak terasa tentu.

#3. Kenangan tentang Kebiasaan Merawat Bunga

Kenangan orang terkasih yang telah meninggal dunia, kebiasaanya merawat bunga krisan. Maka saat istrinya pergi, bunga-bunga itu tak terawatt. Ia selalu ragu-ragu. Ia selalu bimbang.

#4. Musik Kamar

Aku menanggung rindu, dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Lihat, tampak mellow bukan? Kenangan it uterus menggerogoti hari-hariku… kemudian aku menikmati indahnya berharap pada suatu ketidakpastian.
Ini curhat kepada Ran tentang masa yang sudah lewat, dan betapa sahabatnya Yusuf masuk dan meminangnya. Dijawab ya ataukah menanti Ran?

#5. Pinangan

Pintar juga, sebuah lagu yang benar-benar ada seolah tak diketahui identitasnya, hanya kenal nada dan liriknya di radio, lantas dicari dan ketemu. Di sini lagunya Kau Seputih Melati oelh Dian Pramana Putra. Pernah juga mengalami, terutama era 90-an dimana internet belum begitu akrab.

#6. Kancing Baju

Ini bagus banget. Kancing baju berburu, penembak jitu, dan adegan menginap di pondok berisi ibu dan anak kecil. Kicau burung dan perumpamaan yang absurd. Merasuk dalam rumpun mimpi.

#7. Rambut

Terselip nada murung dalam pujiannya. “Seperti apapun penampilanmu, kau tetap cantik.” Si Nona dan pelayannya Tamar yang sibuk menata rambut, lama dalam berdandan. Dan segala keributan penampilan cantik perempuan.

#8. Bunga Kayu Manis

Ini hanya adegan pemuda memberi kuntum bunga kayu manis kepada gadis. Dah itu saja, tapi merentang 4 halaman. Apakah yang membuat beda satu perasaan, antara terjalin bersama kenangan bunga flamboyan dengan bunag kayu manis? Lalu sang gadis menemukan bunga lain. “Hai, tunggu aku.”

#9. Bernyayilah

Nyanyi. Kalau yang benyanyi orang yang disayangi, apapun bentuk dan lagunya akan disukai. “Bernyanyilah, seluruh tubuhmu penuh nyanyian.”

#10. Impian Sarang Burung

Narasi utuh tentang gadis yang bermimpi tentang sarang burung, dan anak-anak burung yang berisik memanggil paruh induknya.

#11. Hari ke Tiga Ratus

Ini cerita lintas masa, disatukan dalam kenang dan fakta-fakta tentang bocah penggembala domba yang beristirahat di tepi sumur. Dengan pohon akasia yang menaungi.

#12. Jejak Duri

Warih dan seruan kepada gadis yang berlalu. Gadis itu memendam rasa kesal padanya. Ia tak tahu mengapa. Berlalu, lantas mengaduh sebab kaki sang gadis tertusuk duri. Semakin dekat Warih, sang gadis malah cabut dengan keranjang yang ditinggalkan. Apakah gadis itu meninggalkan keranjangnya seperti seorang kekasih yang melepaskan pelukan?

#13. Yang Berjanji di Jembatan Kayu Kala Hari Beranjak Senja

Lebih tepatnya berjudul, seorang istri menanti kekasih gelapnya di jembatan. Hehe… janji temu itu gagal terwujud sesuai kesepakatan tersebab hal-hal yang dijelaskan dengan ringan seolah wajar. Padahal ada bogem yang melayang, dan kemarahan yang terselubung. Sadriyya dengan senyum melamun.

#14. Gadis Pencari Sarang Burung dan Bocah Pemain Layang-layang

Mimpi dan bangun, bangun dan ia bermimpi. Bocah dan gadis kecil saling silang. Bagaimana ciap burung-burung kecil di sarang, layang-layang yang dipegang, dan perjalanan pulang di hari gelap.

#15. Payung

Udara dingin dan putih. Paying Alin yang ketinggalan di bawah pohon. Sani dan temannya yang ngobrol, mengapa ada musim rontok? “Karena semakin banyak orang yang kehilangan sesuatu.”

#16. Trayek Pegunungan

Ini salah satu yang terbaik. Perjalanan di kendaraan umum, menyaksi seorang istimewa yang dalam hati muncul kecamuk untuk menyapa, betapa sulitnya memulai. Perjalanan gunung yang naik turun turut serta mencipta hati yang bergolak. Dan tetap geming saat finish?

#17. Seekor Kumbang

Kumbang dan belalang. Satu ditangkap yang lain. Betapa ringannya udara.

#18. Surat dalam Hujan

“Kesepian lebih dekat pada hujan namun menyukai ledakan.” – Acep Zamzam Noor.
Surat yang hilang. Surat hanya jejak kaki di hamparan salju dan ia begitu tak kenal pada hujan yang menguburnya. Semua lenyap.

#19. Burung-burung dan Perawan

Perawan-perawan seperti juga burung-burung, seperti juga bunga-bunga, seperti juga kupu-kupu. Mereka mau dan mendamba dikirim salam. Rumah perawan penuh kicau burung yang menyampaikan salam. Apa isi pesannya?

#20. Selimut

Tidur tanpa selimut dan drama menciptanya. Ah, dalam hawa sedingin ini memang hanya selimutlah barang yang paling kubutuhkan. Dengan perasaan diri telah menjadi seseorang yang dicintai, kurebahkan kepalaku kembali dan mengeratkan diri dalam pelukannya yang hangat dan menyeluruh.

20 cerita yang sebagian besarnya (kalau tak mau disebut semuanya) bermetafora, dijelaskan dengan tak gamblang, dimainkan kata-katanya secantik mungkin. Dipoles dengan diksi pilihan, dan sesantun mungkin. Buku kedua Bung Nurul Hanafi setelah Makan Siang Okta, keduanya masuk 10 besar KSK dan tak masuk daftar pendek. Saat buku masih kubaca, pengumuman sudah muncul, tapi tetap tak mengurangi penilaianku bahwa karya yang cantik selalu memuaskan pembaca. Tak biasa, tak lazim, tapi tak sampai membuat kerut kening berlipat-lipat. Seolah membacai puisi dalam bentuk narasi panjang.

“Hujan terlalu larut dan luka.” Satu kalimat pembuka paragraph dalam Surat dalam Selimut misalnya. Hanya menyampaikan cuaca dalam penyampaian makna dibentuk bagus. Semua terkubur, semua tak menyambut kerinduan.

Dengan keberhasilannya memukauku, jelas buku-buku lainnya akan kubaca dan kukoleksi lengkap. Termasuk karya-karya berikutnya, dengan antusias kunanti. Tq.

Bunga Kayu Manis dan cerita-cerita lainnya | oleh Nurul Hanafi | Penyunting Indrian Koto | Lukisan smapul “Opera Figures” by Gao Made (1917-2007) | Ink and color on paper, hanging scroll | Repro oleh Alfiyan Harfi | Desain dan tata letak Kaverboi | Penerbit Jualan Buku Sastra (JBS) | ISBN 978-623-2872022 | Cetakan pertama, April 2021 | 131 hlm.; 13 x 19 cm | Skor: 4/5

Karawang, 211021 – Billie Holiday – Me My Self and I

Delapan sudah, dua sedang berlangsung.

Thx to Jalan Literasi, Bandung. Thx to Titus, Karawang

Orang-orang di Masa Lalu yang Telah Meninggalkan Cerita ke Masa Mendatang


Segala yang Diisap Langit oleh Pinto Anugrah

“Tatapanmu, tatapan pesimis dan penuh amarah! Tidak baik memelihara tatapan seperti itu! Setan-setan akan senang di dalamnya, mereka akan berpesta pora di matamu!”

Ringkas nan memikat. Hanya seratusan halaman, kubaca sekali duduk selama satu setengah jam pada Sabtu, 16 Oktober 2021 selepas Subuh. Langsung ke poin-poin apa yang hendak dituturkan. Tentang Islamisasi di tanah Sumatra di masa Tuanku Imam Bonjol. Mengambil sudut pandang sebuah keluarga lokal yang kalah dan tersingkir. Segalanya jelas, tapi akan mencipta keberpihakan abu-abu.

Kisahnya di daerah Batang Ka, negeri di tenggara Gunung Marapi, Sumatra. Dibuka dengan pasangan suami istri yang absurd. Bungi Rabiah mendamba anak perempuan sebagai penerus sebagai pelanjut lambang kebesaran dari Rumah Gadang Rangkayo, suaminya Tuanku Tan Amo yang gila perempuan sudah punya banyak istri, Bungo Rabiah sebagai istri kelima. Memang ingin dimadu sama bangsawan. Terjadi kesepakatan di antara mereka, bagaimana masa depan generasi ini harus diselamatkan.

Rabiah memiliki hubungan gelap dengan saudara kandungnya Magek Takangkang/Datuk Raja Malik, satu ibu beda bapak. Dorongan yang begitu besar dari dirinya untuk tetap menjaga kemurnian darah keturunan Rangkayo. Ia tak mau darah keturunan Rangkayo ternoda dengan darah-darah yang lain. Mereka memiliki anak Karengkang Gadang yang bandelnya minta ampun, sejak tahu hamil, Rabiah langsung mencari suami, seolah asal ambil, ia menikah dengan pekerja kasar saat Magek Takangkang sedang dalam perjalanan bisnisnya. Pilihan langsung jatuh kepada Gaek Binga, bujang lapuk yang bekerja sebagai pemecah bukit pada tambang-tambang emas di tanahnya. Sudah bisa ditebak, pernikahan ini kandas dengan mudah, memang hanya untuk status sahaja. Rabiah lalu menikah lagi dengan Tan Amo, seperti yang terlihat di adegan pembuka.

Karengkang Gadang tukang mabuk dan judi. Hidupnya kacau, sakaw karena narkoba dan nyaris mati. Tan Amo mabuk perempuan, menggoda sana-sini walau sudah punya banyak istri. Kesamaan keduanya adalah judi, ia sering kali memertaruhkan banyak harta, termasuk perkebunan. Suatu hari desa mereka kena serang. Seranganya yang memporakporandakan wilayah sekitar itu kini menyambangi mereka. Satu lagi, Jintan Itam yang merupakan anak pungut yang dibesarkan seolah anak sendiri, mengabdi tanpa pamrih. Ia mewarnai kekacauan keadaan dengan pelayanan memuaskan.

Pasukan putih, tanpa menyebut secara terbuka ini adalah pasukan Tuanku Imam Bonjol yang terkenal itu, kita tahu ini adalah Jihad penyebaran agama Islam. Mereka juga memakai sebutan Tuanku untuk orang-orang terhormat bagi mereka. Nah, di sinilah dilema muncul. Magek kini jadi bagian dari pasukan ini, Magek Takangkang, Datuk Raja Malik yang mengganti nama Kasim Raja Malik, ia menjadi panglima yang paling depan mengangkat pedang dan menderap kuda. Pilihan bagi yang kalah perang hanya dua: mengikuti ajaran baru, atau mati. Ia tak pandang bulu meratakan daerah manapun.

Sebagian warga yang sudah tahu, memilih kabur. Yang bertahan luluh lantak, adegan keluarga Bungo ini ditaruh di ujung kisah. Drama memilukan, tak perlu kita tanya apakah Sang Kasim tega membinasakan keluarganya demi agama baru ini? Ataukah hatinya tetap tersentuh. Jangankan keluarganya, pusaka pribadinya yang mencipta dosa sahaja ia siap musnahkan. Dunia memang seperti itu, penuh dengan makhluk serba unik dan aneh. Kalau sudah ngomongin prinsip hidup, segalanya memang bisa diterjang, segalanya diisap langit!

Tanpa perlu turut mendukung pihak manapun, pembunuhan adalah salah. Apalagi pembunuhan dengan membabi buta, dengan bengis dan amarah memuncak. “Kau! Kelompokmu! Tuanku-tuanku kau itu! Hanya orang-orang kalah pada kehidupan, lalu melarikan diri kepada Tuhan!”

Tanpa bermaksud mendukung atau menhujat pihak manapun, selingkuh adalah salah, hubungan incen juga salah, judi, mabuk, narkoba jelas salah. Lantas bagaimana kita menempatkan diri? Dunia memang seperti itu, mau zaman dulu dan sekarang sama saja, hanya teknologinya saja yang berubah. Kalau mau objektif, semua karakter ini pendosa, dan saat bertaubat, ia memilih jalan yang keras, dan yah, salah juga mengangkat pedang. Kalau zaman sekarang, menyandang bom untuk menegakkan bendera agama dengan meledakkan diskotik misalkan, tetap saja salah. “Atas nama agama, katanya!”

Perjuangan melawan semacam kutukan juga terlihat di sini. Rabiah! Ingat, kau adalah keturunan ketujuh dan kutukan kepunahan pada keturunan ketujuh akan menghantuimu. Munculnya karakter minor yang ternyata memiliki peran penting dirasa pas. “Apakah orang-orang mencatat apa-apa yang pernah terjadi pada masa lampau kita, Jintan?” Maka akhir yang manis dengan api berkobar sudah sungguh pas.

Overall ceritanya bagus, tak njelimet, jadi sungguh enak dilahap. Benar-benar clir semuanya, apa yang mau disampaikan juga jelas, silsilah di halaman depan mungkin agak membantu, tapi untuk kisah seratusan halaman, rasanya tak diperlukan. Mungkin salah satu saran, jangan terlalu sering menggunakan tanda perintah (!) terutama untuk kalimat langsung. Mungkin maksudnya marah, atau meminta, atau memerintah, tapi tetap kubaca jadi kurang nyaman. Atau semuanya berakhiran dengan tanda itu dan tanda tanya (?)? contoh kalimat-kalimat langsung yang sebenarnya bisa dengan tanda titik (.), atau ada yang salah dengan tanda ini. (1) “Memang kita tidak akan mengerti, jika mengerti berarti kita selamat di ambang zaman ini!”; (2) “Sebentar lagi kita akan punah! Semuanya akan habis! Saya lebih peduli akan hal itu. Saya dan Rumah Gadang ini, tidak ingin hilang begitu saja, makanya perlu ada yang mencacat! Perlu dicatat!” (3) “Saya telah memilih jalan ini, Tuanku! Maka, saya pun akan berjuang sampai titik darah penghabisan, Tuanku!”; dst…

Prediksiku, buku ini laik masuk lima besar. Kisahnya sudah sangat pas, tak perlu bertele-tele, langsung ‘masuk’ ke intinya. Kursi goyang yang mewarnai kenyamanan hidup hanya selingan bab mula, masa kolonial yang keras bahkan tak disebut dan tak dikhawatirkan. Pasukan Padri, pasukan lokal yang perkasa malah justru yang mencipta khawatir. Rasanya banyak hal yang disampaikan, dan memang sepantasnya tak disampaikan sebab bersisian sejarah. Lihat, cerita bagus tak harus njelimet dan melingkar mumet bikin pusing pembaca, inti cerita yang utama.

Aku tutup catatan ini dengan kutipan dari Matthew Pearl, penulis The Dante Club ketika diwawancarai terkait cerita fiksinya yang bersetting sejarah Amerika, ia menjawab; “Saat Anda menulis fiksi sejarah, Anda harus tahu detail-detail tokohnya: makanan apa yang mereka santap ketika sarapan, apa jenis topi yang mereka kenakan, bagaimana cara mereka beruluk salam ketika saling bertemu di jalan.”

Segala yang Diisap Langit sukses menerjemahkannya.

Segala yang Diisap Langit | oleh Pinto Anugrah | Cetakan pertama, Agustus 2021 | Penyunting Dhewiberta Hardjono | Perancang sampul Bella Ansori | Pemeriksa aksara Yusnida, Nurani | Penata aksara Labusian | Penerbit Bentang | vi + 138 hlm.; 20.5 cm | ISBN 978-602-291-842-4 | ISBN 978-602-291-843-1 (EPUB) | ISBN 978-602-291-844-8 (PDF) | Skor: 4/5

Terima kasih untuk istri tercinta, Welly Zein

Karawang, 181021 – Fourplay (feat. El Debarge) – After the Dance

*Enam sudah, empat gegas.

**Thx to Titus, Karawang. Thx to Stanbuku, Yogyakarta.

***Judul catatan kuambil dari ucapan terima kasih penulis di halaman awal berbunyi: “Dan, terima kasih untuk orang-orang di masa lalu yang telah meninggalkan cerita ke masa mendatang.”

Pet Sematary: Kematian Orang Terkasih dan Kandungan Duka di Dalamnya

In the woods today, Ellie discovered a charming little landmark.” – Rachel

Cerita horror memang pada umumnya melibatkan kedukaan anggota keluarga, Pet Sematary dimula hewan peliharaan, menyeret anak lalu segala-galanya ambyar. Seperti kata Jud, kadang mati lebih baik. Merelakan, melepaskan, mengiklaskan. Semua upaya mempertahankan kedukaan, apalagi tak mau beranjak melepas duka berakibat buruk. Di sini, sangat buruk karena malah menarik anggota keluarga lain dan booom! Salah satu ending paling menyayat hati film 2019 saya sematkan.

Kisahnya tentang horror di rumah baru, pemakaman binatang yang mistis meneror keluarga. Dimula dengan kepindahan Louis Creed (Jason Clarke) bersama istrinya Rachel (Amy Seimetz), serta dua anak Ellie (Jet Laurence) dan Gage (Hugo/Lucas Lavoie) ke Ludlow, Maine. Perhatikan, banyak sekali novel Stephen King dimulai dengan kepindahan. Menempati rumah baru memberi opsi banyak hal baru sehingga banyak pula yang bisa dicerita. Ellie melihat ada pemakaman binatang di hutan dekat rumah, Pet Sematary (salah ketik, seharusnya ‘Cemetery’). Ada kekumpulan anak mengenakan topeng, membawa alat makam, beriringan mencipta keseraman. Keluarga ini berkenalan dengan tetangga baru Jud Randall (John Lighgow) yang aneh.

Lalu kita mengenal lebih dekat semua anggota keluarga. Di kampus Louis sebagai dokter pengajar mengalami kejadian aneh, saat seorang siswa Victor Pascow (Obssa Ahmed) yang tertabrak mobil mengalami kritis bilang untuk menjauh dari hutan, ‘the barrier must not be broken’, semacam penampakan karena ternyata ia audah tewas. Jadi itu tadi jiwanya? Sementara istrinya mengalami trauma sebab kematian sudarinya Zelda sewaktu masih muda. Cara matinya menjadi klu cerita, perlahan diungkap penyebabnya. Yang pasti, tragis dan Rachel merasa ada yang salah.

Church adalah kucing kesayangan Ellie, suatu ketika tertabrak truk. Ayah dan Jud yang menemukannya merasa sedih sekali, ga tahu bagaimana reaksi putrinya nanti. Mereka menguburkannya di Pet Sematary. Bukan yang umum, tapi lokasi yang lebih tinggi melintas batas, area mistis misterius. Betapa terkejutnya Louis esoknya menemukan Church bangkit dari kubur, hidup tampak kotor, jorok membawa tikus mati, bermain dengan Ellie. Terkuat sebuah misteri, bahwa area pemakaman itu bisa membangkitkan yang tewas, tapi dengan jiwa yang tak utuh. Wendigo.

Ulang tahun Ellie yang meriah berakhir bencana ketika sedang main petak umpet, Ellie mengejar Church Palsu di jalanan dan mengakibatkan kematiannya karena sebuah truk melaju kencang, yang hampir juga menabrak Gage. Sebuah kedukaan besar, kehilangan anak. Masa berkabung, setelah pemakaman ibu dna Gage pergi ke neneknya, dan Louis yang tak kuasa menahan kesedihan bertaruh dengan takdir. Membongkar makam anaknya, membawa mayatnya ke Pet Sematary, untuk dikubur ulang. Apakah cara ini juga bisa bekerja untuk manusia?

Ternyata bisa. Ellie bangkit keesokan harinya, mendatangi keluarga dengan wajah pucat tanpa ekspresi. Inilah masalah utama di sini, seorang ayah yang tak bisa merelakan kepergian orang terkasih. Dan tentu saja, Ellie yang ini bukanlah Ellie yang ia besarkan. Teror datang, saat istri dan Gage balik, makin runyamlah keadaan. Film ini menemui titik akhir yang luar biasa menyedihkan, sangat menyedihkan. Kejutan dan sebuah frasa, ‘suram adalah koentji’ menjelma nyata. Pemakaman binatang menjadi wahana baru seluruh yang melanggarnya, tanpa kecuali.

Tanpa ada bintang besar, ditangani sutradara yang tak terkenal, kisah ini lebih menjual nama sang Penulis yang sudah kadung terkenal. Mungkin yang sudah akrab cerita hantu menganggap biasa, mungkin yang sudah baca novelnya sudah tahu, mungkin pula yang suka menebak plot horror tahu. Namun bagiku ada sesuatu yang laik dipuji. Pertama kisahnya, tragis saja tak cukup untuk menggambarkan kehilangan orang terkasih, di sini malah menyeret yang lain, atas nama cinta tak mau dipisahkan. Bayangkan, kamu hidup, dan diajak memasuki dunia antah setelah kematian, tapi ini jenis kematian yang tak lazim. Jelas tak nyaman, jelas seram sekali. Kedua, saya tak menyangka ini membawa serta semuanya. Dengan berani, Pet Sematary memberi ending kejut. Sedih kuadrat.

Sudah sangat banyak novel King yang diadaptasi ke layar lebar, hasil suskes sama banyaknya dengan hasil busuk, baik box office atau kritikan. Yang jelas bagiku, film ini masuk best film 2019, walaupun ada di urutan buncit. Ini adalah kisah memberi kesedihan maksimal.

Pet Sematary | Year 2019 | Directed by Kevin Kolsch, Dennis Widmyer | Screenplay Jeff Buhler | Based on movel Stephen King | Screen story Matt Greenberg | Cast: Jason Clarke, Amy Seimetz, John Lighgow, Jet Laurence, Hugo Lavoie, Lucas Lavoie, Obssa Ahmed | Skor: 4/5

Karawang, 080520 – Bill Withers – I’ll Be With You

HBD Meiga Ria Rahayu

Portrait of a Lady on Fire: Barisan Puisi di Atas Kanvas

When you asked if I know love. I could tell the answer was yes. And that it was now.” – Marianne

Art and sisterhood. Pelukis mencipta seni, melakukan seni, dan memamerkannya. Ruang dan waktu bukanlah konstanta universal, semakin kita mendekati kecepatan cahaya, semakin ‘melambat’ gerak waktu, dan ruang pun semakin mengerut. Di abad 18 Prancis masih melarang perempuan melukis tubuh laki-laki secara terbuka. Larangan itu bukan karena moral atau kepatutan, tetapi lebih mencegah agar perempuan tidak menjadi hebat, anatomi tubuh lelaki adalah subjek besar yang tak terjangkau perempuan. Ini adalah film feminis yang mempresentasikan persamaan gender.

Berkat film ini saya jadi parno-noid sama buku halaman 28, mewanti-wanti ada ga gambar telanjang gadis cantik di sana. Beberapa novel beneran saya buka dan cek, yah memang saat ini belum ada. Nantinya siapa tahu muncul. Atau kita munculkan saja, kita gambar saja wajah sang mantan di sana? Eh…

Filmnya minimalis, dengan setting utama sebuah pulau yang sunyi, plot digulirkan dengan nyaman dan tenang, setenang ayunan kuas lukis. Alurnya slow, terlampau slow malah tapi dari alur yang lambat itulah potongan adegan menjadi frame-frame lukis indah. Pengambilan gambar yang menyorot jauh nan lama dengan tampilan ciamik deburan ombak. Deburan ombak, keretak api, angin malah menjelma skoring alamiah. Banyak adegan terlihat murni dan nyata. Tamparan ombak di karang itu menjadi saksi ciuman panas yang seolah melepas belenggu. Inilah kisah cinta terlarang pelukis dan sang putri, lesbian dengan pusat pusaran Vivaldi.

Di sebuah pulau Britania, Prancis tahun 1760an. Seorang putri aristrokrat Prancis, Heloise (Adele Haenel) akan menikah dengan lelaki bangsawan Milan, menyepi di pulau terpencil berencana membuat potret pernikahan. Sang pelukis muda Marianne (Noemie Merlant) yang disewa datang dengan kepolosan gadis lugu. Permulaan perkenalan sang model dan pelukisnya memang tak langsung klik, terlihat sekali sang Lady tak nyaman dan malesi ga mau dilukis sebab ia sejatinya tak mau menikah. Dibujuk untuk berpose dan dalam bujuk itu ada hasrat lain yang tersimpan. Bayangkan, gadis pencipta seni bergulat dengan gadis yang mencari jati diri, telanjang. Ini seolah perwujudan visual rangkaian sajak berima. Setiap detail tubuh, entah itu mata, telinga, hidung meletupkan tekstur baris-baris indah penuh kekaguman. Interpersonal sepenuhnya adalah tentang kelekatan emosional. Dan cara terbaik untuk membangun kelekatan tersebut, adalah dengan saling menyentuh, memikat.

Karena waktu juga mereka yang sering bertemu dan saling mengenal akan saling mengisi. Rada absurd membayangkan dua perempuan muda ini tersenyum saling tatap. Lukisan yang sudah jadi malah dihancurkan karena tak sesuai gambaran ideal, ibunya marah kemudian pergi ke Italia, memberi waktu tambah untuk mencipta ulang. Di sinilah ikatan Marianne dan Heloise perlahan menguat. Suatu malam mereka membaca cerita Orpheus and Eurydice, mendebat alasan kenapa Orpheus kembali ke istrinya. Kemudian membantu Sophie (Luana Bajrami), seorang pelayan melakukan aborsi dengan manual, di sini gambaran perempuan yang kesakitan ditampilkan implisit, termasuk tamu bulanan yang datang rutin dan bagaimana mengatasinya.

Dalam adegan renung, para perempuan ini benyanyi dan menari, ketika pakaian pengantin Heloise terbakar. Syairnya adalah bahasa latin ‘fugere non possum’ yang artinya datang untuk terbang. Menurut Nietzsche, ‘semakin tinggi kami terbang semakin kecil kami terlihat bagi mereka yang tak bisa terbang.’ Sebuah pesan anarkisme terselubung, para perempuan yang berkumpul digambarkan mampu menggapai cita kemerdekaan dan kebebasan berkehendak.

Dengan keterbatasan akses, sepi menjadikan bahan bakar asmara. Api pemanas meluapkan gairah. Dan bagaimana pertanggungjawaban sang pelukis ketika produksi lukis ini usai? Marianne bisa memandang potret Heloise untuk melepaskan kerinduan, setidaknya sedikit mengobati rindu. Bagaimana dengan Sang Lady? Baiklah saya ciptakan saja, potret diriku untuk kau simpan. Dan muncullah adegan paling berkesan tahun ini, wanita telanjang di atas kasur dengan cermin yang ditaruh tepat di depan kemaluan, mengambil buku, dan Marianne lalu mencipta sketsa Marianne. Barisan puisi ini untuk kau simpan dank au kenang. Saya lebih suka menyebutnya ‘Obsesi Halaman 28’ dengan pulasan pualam.

Kebanyakan kita mengenal meditasi sebagai buah teknik relaksasi diri. Senandung Potret mengiringi goresan dasar atas kesadaran kisah, ini adalah film dengan plot gambar yang bercerita, dan sketsanya lebih keras berteriak ketimbang suara. Kalian bisa lihat, dengan apa yang harus kalian tahu. Kalian diminta untuk terus merenung sampai bosan. Terimalah kebosanan itu. Peluklah kebosanan itu, cintailah kebosanan itu. Bagaimana Heloise melepaskan beban terasa sekali, seolah inilah tujuan hidup, inilah yang ia tunggu-tunggu. Rebel with a cause.

Menurut Kant, nilai tertinggi dalam semesta adalah sesuatu yang dipandang sebagai nilai itu sendiri. Satu-satunya hal terpenting adalah suatu hal yang menentukan kepentingannya. Tanpa rasionalitas, semesta akan menjadi sia-sia, hampa, dan tidak memiliki tujuan. Tanggung jawab moral yang paling fundamental adalah kelestarian dan kemajuan kesadaran, baik untuk diri sendiri atau orang lain.

Endingnya mirip dengan Call Me by Your Name, lagu Concerto No. 2 for violin in G minor, Op. 8, Rv 315 L’Estate gubahan Antonio Vivaldi yang dimainkan La Serenissima, Adrian Chandler berkumandang dengan lembut menjelang tutup layar. Yang membedakan Call Me berkonsep MvM, yang ini FvF.

Dan ini jauh lebih jleb.. dengan lelehan air mata pula, karena orkestranya sempurna. Ayooo kita bikin gif-nya. Film yang berhasil membakar hasrat. Tak diragukan lagi, Portrait of a Lady on Fire adalah salah satu film terbaik dekade ini. Sinematografi keren. Akting keren. Cerita keren. Minimalis terkesan. Masterpiece, emotions and artistically running high!

Portrait of a Lady on Fire | France | Judul Asli Portrait de la Jeune Fille en Feu | Year 2019 | Directed by Celine Sciamma | Screenplay Celine Sciamma | Cast Noemie Merlant, Adele Haenel, Luana Bajrami, Valeria Golino, Amanda Boulanger | Skor: 5/5

Karawang, 210420 – 290420 – Bill Withers – Heartbreak Road

Thx to rekomendasi William Loew

Sleepless In Seattle: Kopi Darat Aneh di Puncak Gedung

She wants to meet me at the top of the Empire State Building. On Valentine’s Day.”

===tulisan ini mungkin mengandung spoiler===

Di era jayanya Radio bisa mencipta banyak hal menyenangkan untuk khalayak umum. Buat kirim lagu, buat teman belajar, buat teman perjalanan, buat curhat, buat konsultasi sampai mencari jodoh. Pernah diprediksi radio akan redup ketika invasi televisi, nyatanya enggak. Begitu juga seterusnya, televisi akan tergeser dengan kemunculan platform tayangan daring. Sampai sekarang radio tetap eksis, hanya peminatnya turun saja. Saling mengisi, saling memikat para penikmatnya. Tahun 1990an ketika Radio masih banyak pendengar dan jadi pokok yang menjadi pusat perhatian, banyak hal mungkin terjadi, termasuk asmara. Di era handphone belum semenjamur ini, era Whats Up belum jadi embrio platform komunikasi, romantisme klasik menyelubungi umat manusia.

Kisahnya tampak klise kalau kita yang tonton, terprediksi sekali. Mungkin generasi mbahku turut berdebar kala di puncak gedung itu. sering kali kita mengesampingkan masa muda, terutama remaja, semakin kita tua kita akan jadi semakin sinis dan keras. Ketika fokus pada dua karakter film romantis, maka otomatis tebakan akhir mereka akan bersama. Benar sih, tapi untuk film ini bahkan kebersamaan mereka dalam satu frame hanya sekitar dua menit. Happy ending? Ya. Manis? Sangat manis, bahwa cinta bisa menemukan jalannya sendiri. Melalui radio, melalui anak yang merengek, melalui tanda-tanda alam.

Sam Baldwin (Tom Hanks) adalah arsitek yang berduka, istrinya meninggal karena kanker. Bersama anaknya Jonah (Ross Malinger) yang baru berusia delapan tahun, memutuskan pindah ke Seattle, Washington untuk menjernihkan pikiran. Enam belas bulan kemudian, Jonah di malam Natal menelpon radio yang menyiarkan acara langsung kunsultasi dengan dokter Marcia Fieldstone, yang seorang psikolog. Jonah bercerita, “… betapa ayahnya mendamba kasih sayang. Tolong dong cariin istri. Tolong dong saya butuh pelukan ibu.” Well, di era umat manusia belum menundukkan pandangan ke layar HP pendengar radio masih sangat banyak. Maka tak heran, ada ribuan wanita meminta kontaknya, meminta alamatnya untuk mengenal lebih dekat. Sensasi kayak gini kalau zaman sekarang mirip trending topic twitter. Bikin riuh perjagatan social. Dibicarakan di kafe-kafe, diobrolin di kantor, jadi bahan ghibah kala waktu senggang. Seorang duda nyentrik sedang butuh belaian, ayoo drop cv cantik Anda. Kita tahu dengan situasi ini film akan berakhir bahagia.

Salah satu pendengar radio itu adalah Annie Reed (Meg Ryan) yang bertunangan dengan Walter (Bill Pullman) yang alergi akut, berlebihan sih sampai kamar tidurnya harus berudara steril, makan harus jauh dari bau-bau yang ga bikin ia sakit. Logikanya, akan sulit menjadi pasangan ideal bagi jiwa bebas Annie. Duh! Annie lalu turut menulis surat, bersaing dengan perempuan lain. Bedanya, surat tersebut sempat ga mau dikirim, tapi justru sobatnya yang mengirim ke Sam. Sampai di sini, tebakan happy ending itu turut terjaga. Bahkan dalam adegan yang nyeleneh, Annie terbang ke Seattle untuk semacam menyelidiki, memantau si orang tua tunggal dalam keseharian.

Jonah lalu menyarankan ayahnya untuk memenuhi undangan Annie di hari Valentine di puncak gedung Empire State, New York. Tentu saja Sam menolak, kota itu ada di ujung Timur jauh. Sementara Annie malah ke Seattle untuk menemui mereka, tapi di sebuah jalan yang lengang sambil saling tatap pertemuan itu tak berakhir manis. Dan adegan puncak saat Jonah memutuskan terbang ke New York sendirian, disusul ayahnya, lalu Annie makan malam romantis dengan lanskap Empire State dengan pertanda cinta, tiba-tiba memutuskan pertunangan guna ke puncak gedung, sesuai yang dijanjikan. Walau tawaran adegan klise, Annie ke atas dan Sam serta Jonah turun yang seharusnya berakhir bagus, justru film ini menemui titik senyum puas. Sayang sekali…

Cerita manis gini menurutku keterlaluan. Sulit menemukan kenyataan bahwa dua orang asing, memutuskan kopi darat di puncak gedung dengan perantara anak kecil, aneh. Dramatis, bagaimana bisa mereka ga ngobrol dulu dalam telpon karena dalam surat mereka sejatinya, minimal janjian telponan. Mungkin pemilihan calon ibu, untuk Jonah atau calon istri untuk Sam adalah ngacak dari ribuan surat. Saya membayangkan seandainya yang kepilih sosok lain, apakah bisa sedrama ini? Well, dunia fiksi memang membebaskan sang kreator dalam lanskap romannya, tapi sebuah rangsel bisa mencipta kebahagian penonton bisa jadi hanya di Sleepless, bahkan Dora pun saat akhirnya kembali menemukan rangsel ajaibnya hilang ga selega ini.

Tom Hanks sampai era sekarang masih sangat berjaya. Pasca Sleepless kita malah menyaksikan banyak filmnya menuai pujian, banyak filmnya meledak tak terkira. Salah satu yang ikonik jelas menjadi Profesor Langdon dalam kontraversi. Kariernya tampak belum akan terhenti. Sementara Meg Ryan, aktris yang kita kenal sebagai seorang romantis era 1990an ini sudah redup. Pasca Sleepless, ada beberap yang mencuat seperti French Kiss, City of Angels, sampai You’ve Got Mail. Happy Birthday 58 tahun Mbah Ryan. Semuanya berciri, drama romantis maka saat usia menua, order untuk peran itu menurun drastis. Tuntutan penonton (laki) jelas selalu sama: muda dan cantik, cara berpikiran revolusioner semacam ngajak kopi darat aneh di tempat tinggi hanyalah sekadar bonus. Kata kopi darat bersalah dari ‘copy’ yang dalam istilah perbincangan artinya ‘mengerti’. Dahulu kala, saat platform percakapan hanya satu arah dan bergantian, saat lawan bicara selesai, yang satunya akan jawab ‘copy’. Komunikasi di udara, kalau ada yang nyapa pakai ‘halo’ atau ‘break’, ‘over’ sampai ‘roger’. Nah, saat akhirnya mereka sepakat ngumpul langsung (di darat), pakemlah istilah kopi darat. Makin mesra Sleepless mengenakan tiga item sempurna untuk memikat kaum pemuja romansa: radio, surat dan gaya LDR (Long Distance Rahasia) yang berlebihan. Kesepakatan mencari pasangan ideal dengan memikat macam gini rasanya sudah melebihi imajinasi.

Kadang dalam hidup kita memang harus meletakkan keyakinan dalam altar yang aneh. Annie, bertunangan, makan malam romantis di resto mahal, muncul pertanda lalu berjudi. Tanpa harapan kita sudah mati secara moral, dan dengan bantaun harapan kita mungkin bisa mendapat pasangan ideal. Atau paling apesnya, ini juga tak membuktikan apapun untuk tertawa mengejek untuk menahan kita dari keputusasaan, lakukan atau tidak sama sekali.

Orang asing, oh orang asing. Kenapa engkau begitu rupawan. Beruntungnya. Siapa? Semua pihak: tiga orang di puncak, sutradara, cast dan crew, penonton pemuja roman dan kalian!

Sleepless In Seattle | Year 1993 | Directed by Nora Ephron | Screenplay Nora Ephron, David S. Ward, Jeff Arch | Cast Tom Hanks, Ross Malinger, Rita Wilson, Victor Garber, Carey Lowell, Meg Ryan, Frances Conroy | Skor: 3.5/5

Karawang, 211119 – Bee Gees – Massachusetts

Rekomendari Bank Movie keempat dari tujuh belas ini, thanks dan dipersembahkan oleh Bung Joze.

Kekuatan Ngobrol

Seribu Kunang-Kunang Di Manhattan – Umar Kayam

Tapi Marno, bukankah aku harus berbicara? Apalagi yang bisa kukerjakan kalau aku berhenti bicara? Aku kira Manhattan tinggal lagi kau dan aku yang punya. Apalah jadinya kalau sudah salah seorang pemilik pulau ini jadi capek berbicara? Kalau dua orang terdampar satu pulau, mereka akan terus berbicara sampai kapal tiba, bukan?”

Saya langsung teringat buku self improvement yang kubaca tahun 2000an karya Dorothy Sarnoff berjudul: ‘Bicara Dapat Mengubah Hidup Anda’. Salah satu paragraf favoritku adalah ini: “Anda berkewajiban bicara dengan orang lain sedemikian rupa sehingga Anda tidak hanya menarik perhatian namun juga merangsang mereka untuk berpartisipasi. Apakah Anda seperti mendempul kepercayaan diri atau menenggelamkan mereka? Apakah Anda menawarkan pembukaan untuk membuat sesuatu dengan cara pandang mereka sendiri atau mengunci mereka? Di atas itu semua, apakah Anda memperlihatkan minat pada mereka atau hanya pada diri sendiri. Percakapan, seperti permainan lempar-tangkap, tidak dapat hanya satu pihak. Jika seseorang melambungkan, ada satu kesunyian yang mendebarkan sampai bola tadi ditangkap dan dilemparkan kembali.” Ya, percakapan alias ngobrol bisa menjadi seru atau menjemukan, seolah permainan lempar tangkap bola. Umar Kayam mencipta komunikasi itu dengan menakjubkan.

Makanlah ketika lapar, berhentilah makan sebelum kenyang’. Hal awal yang terlintas setelah baca buku ini selain kekuatan ngobrol adalah kutipan dari Nabi. Buku ini sungguh minimalis. Saya pernah menanyakan beberapa kali ke teman-teman penjual daring buku-buku Umar Kayam setelah terpesona Para Priyayi. Semua bilang kosong, terbitan Grafiti jelas sudah jadi cult sekarang. Masuk edisi kolektor. Maka keinginan itu terpendam lama. Sampai akhirnya diterbitkan lagi sama Pojok Cerpen. Maka saat kesempatan itu datang, saya bener-bener melepas dahaga lapar. Sayangnya buku ini sungguh tipis, saya baca hanya dalam tempo sesingkat-singkatnya, sekali duduk dengan kopi mengepul yang bahkan belum tandas sepenuhnya. Well, saya belum kenyang. Saya masih ingin menikmati karya-karya Kayam… waduh. Hanya dengan percakapan. Dengan berbicara! Dengan membicarakan satu kejadian tertentu, atau satu orang tertentu, atau satu hari tertentu, berulang kali, hal-hal yang amat detail pasti timbul.

#Kata Pengantar: Eka Kurniawan
Kebanyakan kata ‘bahkan’ dan ‘bahwa’ (saya hitung ada 13 bahkan, 7 bahwa), bahkan kata pengantarnya lebih panjang dari cerpen yang terpanjang sekalipun dari buku ini. Sempat memboring diputer-puter, poin utama sih sebenarnya sepakat bahwa Umar Kayam jago banget menciptakan nuansa obrolan yang sungguh mengasyikkan. Kekuatan ngerumpi, hal-hal yang tampak sederhana di mata umum, di Indonesia yang lumrah kita jumpai di sekitar kita tentang aktivitas komunikasi itu di sebuah gedung apartemen New York, aktivitas itu menjelma barang mahal. Menjadi komoditas utama cerpen-cerpen Umar Kayam. Kalau mau dipadatkan lagi dalam satu kalimat, ‘buku ini sukses karena karakternya hidup!’ “Kata kata, Mademoiselle, hanyalah kulit luar sebuah gagasan.” Kata Hercule Poirot dalam novel Pembunuhan ABC

#1. Seribu Kunang-Kunang Di Manhattan
Pembuka yang keren. Minimalis adegan banyakin ngoceh, minimalis setting tempat, minimal karakter. Hanya dalam beberapa menit, dalam ruangan terjadi percakapan sepasang kekasih. Jane adalah janda yang butuh perhatian, Marno adalah suami selingkuh, orang Indonesia yang menatap keluar kaca gedung, memperhatikan kunang-kunang. Mereka cuma ngobrol dari awal sampai akhir, ditemani minuman martini dicampur gin dan vermouth atau bourbon, Pembaca dibiarkan mengimajikannya, dibuat gemas sendiri. Cerita dalam satu ruang ini jelas sangat elok untuk diadaptasi dalam sandiwara atau sekedar teater mini. Kekuatan ada di dialog, mengingatkanku pada naskah film-film Quentin Tarantino.

Sudahkah aku ceritakan hal ini padamu?”

#2. Istriku, Madame Schlitz, & Sang Raksasa
New York adalah satu raksasa pemakan manusia. Mulutnya terus menganga dan terus menelan manusia tanpa pilih-pilih. Cerita pendek kedua juga mengedepankan kekuatan ngobrol. Temanya adalah kesepian. Kalau yang pertama seorang wanita kesepian yang pengen ngerumpi dengan kekasih, kali ini seorang istri yang kesepian siang harinya sang suami kuliah, dan bersama anaknya yang masih bayi terkurung dalam ruang. Tetangga yang cuek khas kota besar, tapi akhirnya ia pun memberanikan diri memperkenalkan diri ke semua tetangga, salah satu yang ‘terjerat’ adalah Madame Schlitz. Terdengar seperti seorang bangsawan Jerman atau Austria? Ya, kemudian hal-hal aneh terjadi.

Dan aku, aku salah satu yang tertelan itu. Bukankah itu mengerikan?”

#3. Sybil
Pinternya mengolah plot. Kasus orang cuek dengan latar tak biasa. Sybil adalah gadis yang kesepian di liburan musim panas, ibunya yang single parent sering mengajak Tuan Robertson, lelaki asing untuk tidur di tempat mereka. Sybil yang bosan diberi uang satu dollar untuk kelayapan, ketemu tetangga yang akan pergi keluar rumah dengan entengnya menitipkan anaknya berusia 6 tahun, Susan kepadanya sampai sore ini. Sybil belum mengiyakan, tapi uang diterima. Maka mereka naik bus ke park, menikmati suasana pantai. Susan yang ceriwis, mengajak Mr. Todd boneka kesayangan. Ada tindakan tak terduga Sybil pada akhirnya. Dan dengan aneh, kisah ditutup wow.

Kau memang suka kalau aku pening kepala pagi-pagi gini.”

#4. Secangkir Kopi & Sepotong Donat
Ini tentang pelayan kafe yang diperlakukan istimewa sama pelanggan, sama beberapa pelanggan, sama salah seorang pelanggan. Narasinya berkutat terus dalam suasana tempat makan. Salah satu pelanggan Pemuda kakaktua memainkan kertas tisu untuk saling bertukar pesan sama Peggy. Kenapa ajakan kemarin ga datang? Kenapa kamu berbeda? Deretan kecemasan ala kadar itu memang tak sampai membuat kursi baca terjungkal, tapi jelas ini jenis ngobrol yang tak lazim.
Lagi-lagi komunikasi adalah kunci, kali ini lewat secarik kertas dan memang benar, kuncinya adalah timing. Cring cring cring, thank you.

Bapak mabuk lagi semalam, ibu dipukuli. Now get out get out!”

#5. Chief Sitting Bull
Unik, aneh, dan manakjubkan. Sederhana, tapi justru dari hal sederhana inilah kekuatan kisah ini. Seorang kakek Charlie yang menjalani rutinitas di hari tuanya, agak terganggu dengan ulah menantunya Mary. Ia biasa naik kuda hitam atau putih dalam carousel, siang itu ia terlambat sehingga kuda itu sudah dinaiki seorang anak. Tak mau menunda sampai putaran berikutnya, Charlie membujuk anak kecil itu dengan santun dan penuh gaya. Berperan sebagai Buffalo Bill dan Chief Sitting Bull. Dah yah, berhasil. Kegiatan rutin sampai sore pun terlihat wajar, dengan sekumpualn burung dara, dan pertemuan dengan lansia lain, dst.

Namaku bukan Bill.”

#6. There Goes Tatum
Ketika usai baca cerpen ini dan juga sekaligus buku ini. Saya langsung berujar, wah pengalaman pribadi? Tampak nyata, senyata ancaman belati si bocah negro. Dua tokohnya hidup. Cerpen penutupnya juga sederhana, sekilas lewat, sekilas wuuzzz… seperti judulnya. Namun sangat mengena, tampak santai tapi mengintimidasi. Di Riverside Park yang tampak lengang, seorang anak negro mengemis 50 sen. Dengan rintik gerimis, sesaat ada pencopetan, sekilas lalu dan sebuah aksesoris tangan pun berpindah tangan.

Made in Switzerland.”

Ini adalah buku kedua Umar Kayam yang saya nikmati setelah Para Priyayi yang keren itu. Masuk ke dalam best novels sepanjang masa versiku. Seribu Kunang adalah buku debut yang pertama terbit tahun 1972, menyabet cerpen terbaik Majalah Horison tahun 1968. Kelihatan sekali beliau memahami lanskap tempat bercerita. Beliau memang lulusan M.A. dari Universitas New York tahun 1963 dan meraih gelar Ph. D tahun 165 di Universitas Cornell. Saya sudah ngefan beliau sejak baca Priyayi, jadi buku ini dan berikutnya hanya penegasan. Ia tidak ingin menaklukkan apa pun, melainkan hanyalah menjelajah kemungkinan-kemungkinan.

Bukunya mungil, ga nyampai seratus halaman. Dulu pas baca Para Priyayi, setahuku terbitan Pustaka Utama Graviti, sekarang ternyata diterbitkan lagi oleh Pojok Cerpen. Dan baru tahu juga, ini penerbit baru, Seribu Kunang adalah debut mereka! Wow, good luck. Ditunggu kumpulan cerpen berikutnya, kalau boleh usul terjemahkan buku Kate Chopin, saya terpesona sama Kisah Dalam Satu Jam dan menjadi penasaran dengan cerita lain beliau. Tapi sebelum yang lain, rasanya Pojok Cerpen berkewajiban untuk menuntaskan untuk menerbitkan kumpulan cerpen Umar Kayam lainnya, karena cerpen yang harusnya sepuluh kini hanya muncul enam. Why?

Nonton tv bersama Mr. Todd.”

Seribu Kunang-Kunang Di Manhattan | Oleh Umar Kayam | Cetakan pertama, Agustus 2018 | Pernah diterbitkan oleh Pustaka Jaya (1972) dan Pustaka Utama Grafiti (2003) | xxvii + 92 hlm., 12 x 18 cm | ISBN 978-602-52260-6-9 | Ilustrasi sampul Nurari Pertiwi | Perancang sampul Antonius Riva Setiawan | Penata letak isi Aziz Dharma | Pemeriksa aksara Isma Swastiningrum | Penerbit Pojok Cerpen | Skor: 4/5

Karawang, 141218 – Sherina Munaf – Sebelum Selamanya

Thx to Iyul, pas satu minggu kelar baca ulasnya.

Surga Kecil Di Atas Awan – Kirana Kejora

image

“Akan tersaji keelokan istana dengan taman agungnya di langit kuasa bagi mereka yang meniti hidup tanpa keputusan.”

Buku kedua terbitan Euthenia yang kubaca. Hasilnya sama saja, datar. Isinya hanya berputar tentang seorang anak cerdas kelas 3 SMP dengan pelbagai probematikanya. Dituturkan dengan monoton, tanpa konflik, tanpa membuat penasaran Pembaca. Benar-benar cerita sederhana.

Jamus, sebuah nama bukit. Memiliki arti yang tersirat penuh ‘kawruh’ atau pengertian suci akan makna hidup, untuk dibaca setiap hamba dengan baik agar tak ‘kemeruh’ atau tidak merasa tahu.

Awan adalah anak tunggal, asli Ngawi, Jawa Timur. Ayahnya pekerja buruh dengan penghasilan pas-pasan. Ibunya seorang guru yang kakinya sakit sampai harus beberapa kali operasi. Mereka dari keluarga sederhana. Awan diceritakan sangat cerdas, dapat rangking satu terus. Berotak encer. Yanu, teman akrabnya berkebalikan. Ia selalu dapat nilai rendah dalam akademik. Ayahnya minggat. Ibunya mengadu nasib jadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) ke Malaysia. Ia tinggal sama neneknya. Dengan kesederhanaan wong ndeso, kita diajak mengenal seluk beluk Ngawi, sebuah lereng Selatan Gunung Lawu yang legendaris itu.

Seperti yang saya sampaikan di awal, ceritanya datar. Sangat monoton, mungkin karena penututurannya yang biasa jadi pembaca tidak diajak terlibat. Kita hanya seperti baca selebaran iklan kota Ngawi dengan keramahannya. Padahal ini kan sebuah buku cerita, tertulisnya novel lho bukan pamflet.

Seperti asal mula nama kota Ngawi. Itu entah karena penuturannya yang ga bagus atau memang susunan sajinya ga oke? Padahal itu jadi potensi tambahan vitamin ilmu buat pembaca. Saya sendiri baru tahu. Yah walaupun ketika kita googling akan dengan mudah menemukan banyak jawab.

Ngawi, berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu awi yang berarti bambu lalu mendapat tambahan huruf sengau, yaitu ‘ng’ sehingga jadi Ngawi. Bambu yang banyak tumbuh di sekitar sungai Bengawan Solo. Bambu bagi masyarakat desa mempunyai peranan penting, apalagi dalam masa sekarang. Banyak orang butuh bambu.

Ada juga yang bilang Ngawi dari kata ‘ngawiwiti’ artinya memulai. Semua hal memang selalu ada permulaan, disitulah awal semua perjuangan kehidupan. Ada juga yang bilang ‘ngawiyat’ yang berarti tempat yang tinggi. Kita berada di tempat yang tinggi, bahkan ditinggikan pada saatnya nanti sama Gusti Allah.

Pada suatu Minggu pagi, duo ini Awan dan Yanu ingin ke Museum Trinil dengan nebeng paklik Darmo. Setelah di-drop di jalan mereka melanjutkan perjalan dengan jalan kaki. 3 Km bro. Dibuatlah skenario itu, Yanu diserempet mobil VW (Volks Wagen) Beetle. Namanya juga cerita, mereka berdua pun diajak sekalian naik itu mobil mewah karena ternyata dua bule Londo itu juga mau ke museum. Arga yang mengendari, Berg dan Alva duo bule. Setelah dari museum Trinil mereka lanjut ke Benteng Pendem dan kebetulan lagi Awan dan Yanu juga ingin ke sana. Udah gitu ditraktir pecel, dikasih uang transport buat pulang. Boleh sih bercerita tentang keberuntung yang terus menghampiri gitu, asal dituturkan dengan seru. Sayang sekali di sini tidak.

Sesampai di rumah, mereka dapat kabar duka. Sang ayah kecelakaan sampai akhirnya meninggal dunia. Kronologinya, beliau ingin membeli gitar KW 2 untuk kado prestasi Awan dapat rangking kelas. Dengan menggadaikan motor bututnya, ia pun beli alat musik itu. Sayang sekali, terjadi insiden. Kehilangan orang yang dicinta tentu saja penuh duka. Seminggu penuh mereka terpuruk. Kehidupan harus terus berjalan. Kini ibu-anak itu mengarungi kerasnya hidup. Dengan penghasilan yang pas-pasan sebagai guru berhasilkah Awan Rojo Panemu menyelesaikan pendidikannya?

Mendaki bukit selalu berawal dari lereng sini untuk bisa mencapai puncaknya. Buku itu bukan hanya jadi jendela dunia, namun juga akan jadi sayapmu untuk terbang mengangkasa, menjelajah dunia.

Buku seperti dengan cepat akan terlupakan. Sekali cetak, menghilang. Lebih layak disebut novelet karena tipis. Sekali baca, lupakan. Nyaris semua pengetahuan (yang mungkin jadi tujuan ditulisnya buku ini) yang disampaikan dengan mudah ditemukan di internet. Asal usul kota Ngawi. Sejarah museum Trinil, Sangiran, Benteng Pendem, arti lambang kota Ngawi. Wait, arti lambang kota Ngawi dituturkan juga? Yup, kalian sedang belajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) bukan?

Ojo gumunan, ojo getunan, ojo kagetan, ojo aleman. Urip iku urup.

 

Surga Kecil Di atas Awan | oleh Kirana Kejora | editor Cahyaning | Penerbit Euthenia | Cetakan I, 2015 | III, 184 hlm | 13×19 cm | ISBN 978-602-1010-45-7 | Skor: 1,5/5
Karawang, 200416 # TheAdams – Gelisah

Alice Di Negeri Ajaib #14

image

Kisah klasik lagi. Kisah yang sudah familiar tentunya bagi pecinta dongeng anak-anak. Di tahun 2007 saat tumpukan buku belum sebanyak sekarang, rasanya kisah Alice adalah yang terbaik. Awalnya kukira ini cerita untuk anak-anak, seperti yang kalian tahu juga kan. Namun setelah selesai baca, coba renungkan. Saya malah kurang setuju. Cerita yang dijabarkan Sir Lewis ga lazim. Anak-anak ga akan langsung paham petualangan yang dijalani Alice. Maaf, orang dewasa juga belum tentu tahu maksudnya. Penafsirannya terlampau luas, terlalu banyak. Dan sepertinya tak akan ada habisnya diperdebatkan sampai 7 generasi ke depan. Alice In Wonderland tentu saja salah satu buku paling berpengaruh di dunia. Lupakan nihilitas, ini kisah abadi.
Alice bosan saat menemani kakaknya yang sedang membaca buku tanpa gambar di bawah pohon. Alice lalu melihat seekor kelinci putih memakai mantel dan membawa jam. “Aku sudah terlambat”, tuturnya lalu masuk ke lubang tanah. Alice yang penasaran mengikuti, dia terjatuh ke lubang yang seakan tanpa dasar. Rasanya sudah lama sekali dia jatuh, berkilo-kilo. Jatuhnya lalu melambat, membuat Alice bisa berifikir, bagaimana dasar sumur ini? Sempat pula dia mengkhawatirkan Dinah, kucingnya di rumah. Semoga tak ada yang lupa memberinya susu di acara minum teh nanti.
Sampai akhirnya Alice terhenti dari gravitasi. Dia bertemu lagi dengan Kelinci Putih, yang berujar “Oh demi telinga dan janggutku. Aku sudah sangat terlambat.” Diikutinya kelinci itu di kelokan demi kelokan sampai pada ruangan yang banyak pintu, semuanya terkunci. Ada meja berkaki tiga dengan kunci emas. Namun saat kunci tersebut berhasil membuka salah satu pintu, alice tak bisa masuk. Terlalu kecil, kemudian dia-pun kembali ke meja tadi dan menemukan sebotol minuman dengan tulisan: “MINUMLAH”  dan Alice pun mengecil sayangnya dia lupa sama kunci yang di atas meja sehingga saat inci demi inci tubuhnya menyusut dia ga bisa masuk ke pintunya. Dia menangis di bawah meja, saat menangis itulah ada kue kecil dalam bok dengan tulisan “MAKANLAH AKU” dengan huruf besar dan indah. Tubuh Alice membesar dan kembali menangis sampai airnya menganak sungai. Lalu sayup-sayup terdengar suara kelinci berjalan mendekat dan berkata, “Oh Permaisuri, permaisuri! Oh pasti dia akan marah karena menungguku terlalu lama.” Namun air mata kini sudah memenuhi ruangan. Banjir melanda, Alice lalu berenang. Ditemukannya tikus, bebek, merpati, elang, angsa serta binatang aneh lainnya. Bersama-sama mereka berenang ke tepian.
Sesampainya di tempat kering mereka bicara seolah adalah teman lama, sudah akrab. Mereka saling cerita, ngelantur ke mana-mana sampai menunggu tubuh kering. Namun ada yang mengusulkan, “cara terbaik untuk mengeringkan tubuh adalah dengan balapan antar peserta pertemuan.”
“Ah, cara terbaik untuk menjelaskan adalah dengan melakukannya.” Balapan pun digelar. Kalau ada lomba harus ada hadiahnya. Jadi siapa yang akan memberi hadiah? Kisah ini akan terus berputar membingungkan. Setelah rapat dengan binatang-binatang Alice dihadapkan dengan banyak hal aneh lainnya. Bertemu kadal, ulat yang bijak, babi, Dormouse, kucing Chesire, dan tentu saja March Hare yang terkenal itu. Semua petualangan memberi pelajaran baru buat Alice (dan pembaca). Dan kisah ini menghantarnya pada Ratu kejam yang gemar berteriak, “penggal kepalanya!”
Dari semua petualangan aneh itu, akankah Alice bisa kembali ke rumah? Bisakan dia keluar dari negeri ajaib tersebut? Semuanya tersaji dengan seru sekaligus membingungkan. Dulu di forum buku sempat ada yang mendebat, “harusnya Alice curiga saat melihat kelinci bicara, apalagi kemudian dia bicara dengan binatang-binatang lain” Dijawab, “dunia ajaib ini tak bisa dilogika. Sama seperti saat kita mimpi. Apakah kita bisa dengan sengaja keluar dari mimpi aneh? Dalam mimpi kita bisa melakukan apa saja, bisa menjadi apa saja, bisa berubah jadi siapa saja.” Lalu didebat lagi, “jadi cerita Alice ini dunia mimpi?”. Nah ini yang jadi inti segala kisah. Imajinasi Sir Lewis memang luar biasa, ada yang bilang iya. Ada yang bilang tidak. Ada juga yang keukeh bahwa dalam fiksi sekalipun, logika harus tetap ada. Well, semuanya mungkin. Yang pasti, ini kisah tak biasa yang ditulis di abad 19, waktu yang jauh ke belakang dari sekarang. Waktu yang dengan segala keterbatasannya bisa menyajikan cerita seperti ini tentu saja istimewa. Dan abadi. Serta tak ternilai. Jelas sebagai pecinta fabel, saya memasukkan dalam buku-buku terbaik sepanjang masa.
Alice Di Negeri Ajaib | by Lewis Carol | ilustrasi oleh Sir John Tanniel | first published 1865 | alih bahasa Isnadi | Penerbit Liliput | cetakan pertama, Juni 2005 | 170 hlm; 19 cm | ISBN 979-38131-5-6 | Skor: 5/5
Karawang, 140615 – wonderful tonight
#14 #Juni2015 #30HariMenulis #ReviewBuku

Menanti Lawan Madrid di Final UCL 2014

Gambar
Mengejutkan, secara mengejutkan Bayern Muenchen sang juara bertahan Liga Champions 2013 tersingkir dengan skor agg. telak 5-0 di tangan Real Madrid. Setelah bermain 1-0 di stadion Bernabeu seminggu lalu, pagi dini hari tadi Madrid dengan perkasa mendepak juara Bundesliga 2014 tersebut. Laga sudah panas saat 15 menit berjalan Ramos sudah mencetak gol melalui sundulan kepala. Lima menit berselang Ramos lagi-lagi menambah golnya melalui kepala, kali ini mendapat umpan matang Di Maria lewat tending bebas.
Bayern makin terbenam saat melalui serangan balik cepat Modric, Bale, Benzema, dan terakhir CR7 menceploskan bola menjadikan skor turun minum 3 gol tanpa balas. Butuh 5 gol untuk lolos, harapan Bayern makin menipis dengan ditariknya Mario Marjuki diganti Martinez. Sebuah indikasi bahwa Pep sudah menyerah dengan mengurangi seorang striker. Walau usaha menahan serangan Madrid memang berhasil, namun saat menit terakhir mereka kembali dibobol Ronaldo menjadikan skor agg. 5-0. Langkah luar biasa dari Don Carlo guna mewujudkan La Decima Madrid.
Ronaldo memecahkan rekor dalam semusim bisa mencetak 16 gol di Liga Champions. Rekor hebat yang mungkin butuh 5-10 tahun lagi untuk kembali dipecahkan. Setelah se-dekade, Madrid kembali ke final dan selangkah lagi meraih gelar La Decima mereka. Tinggal menunggu lawannya Antara Chelsea atau Atletico yang akan bertanding malam ini. Jangan lewatkan di SCTV jam 2, sehari ini kerja dipastikan bakal ga konsen kerja karena menantinya. KtBFFH!
Karawang, 300414

(review) Negeri Para Bedebah: Manusia Di Atas Perahu Bocor

Gambar
Kemarin saat nonton film The Raid 2: Berandal bersama May dan teman kuliahnya, saya mampir sebentar di toko buku Salemba di Mal Lippo Cikarang. Baru kali ini saya masuk toko buku dengan kondisi AC mati, siang yang gerah. Karena cuaca di luar saat ini panas, maka kunjungan lihat-lihat buku tak senyaman seperti biasanya. Paling 10 menit saya langsung ke rak novel dan mencari buku, yang siapa tahu ada yang diincar. Di rak novel baru ternyata dipenuhi buku remaja, gila dua rak panjang isinya mayoritas novel teenlit lokal. Beneran, dunia literasi kita makin bergairah. Perkembangan yang menarik, walau saya tak tertarik membelinya. Akhirnya teman-teman yang kepanasan menyerah keluar toko duluan menunggu di kursi mal di luar. Saya yang ga enak berlama-lama segera menyusul, tapi saat akan melewati pintu keluar ada tumpukan cetakan baru novel best seller. Iseng lihat bentar, dan ternyata ada novel karya Tere-Liye bejibun. Semua cetakan baru dengan design sampul baru. Incaran lama saya, Negeri Para Bedebah dan Negeri Di Ujung Tanduk ada di sana. Tanpa pikir panjang saya comot keduanya. Namun saat konfirm ke istri untuk belfi dua buku, dia malah manyun yang itu berarti berkata, ‘hemat, beib hemat!’. Apalagi saat ini saya jobless sehingga rasanya egois sekali kalau langsung beli dua buku tebal. Akhirnya mengalah mengambil yang seri pertama, 60 ribu rupiah. Masuk ke antrian kasir yang panjang, yang ternyata gara-gara komputernya mati sehingga belanjaan ditulis manual dengan nota, macam kuitansi pasar loak.
Malamnya saat lelah karena perjalanan Cikarang-Karawang, si May bahkan sudah tidur sebelum Isya’ saya sempatkan baca Negeri Para Bedebah. Ini buku sudah saya incar lama setelah baca review dari teman-teman yang rata-rata bilang buku bagus. Buku yang saya pegang adalah cetakan ke-6 di Desember 2013. 3-4 bulan sekali ini buku cetak ulang, betapa hebatnya sang Penulis selain produktif bukunya banyak yang cetak ulang. Yang pertama kubaca jelas, backcover-nya: Di Negeri Para Bedebah, kisah fiksi kalah seru disbanding kisah nyata. Di Negeri para bedebah, musang berbulu domba berkeliaran di halaman rumah. Tetapi setidaknya kawan, di Negeri para bedebah petarung sejati tidak akan berhianat. Kalimat-kalimat yang bagus yang akan membuat calon pembeli tertarik.
Sebelum masuk ke daftar isi, kita sudah diperingatkan bahwa cerita yang akan saya baca ini hanya fiktif jadi apabila ada kesamaan nama tokoh atau kisah itu hanya kebetulan belaka. Sepertinya Tere akan bermain api dengan cerita yang akan tersaji. Bab pertama, di sini ditulisnya episode 1 berjudul ‘krisis dunia’ pun saya lahap dengan cepat. Kisah dibuka dengan sebuah wawancara seorang konsultan keuangan bernama Thomas bersama wartawan majalah ekonomi mingguan bernama Julia. Wawancara terpaksa dilakukan di atas pesawat karena kesibukan Thom yang luar biasa, bahkan kesibukannya mengalahkan sang presiden. Sindiran ini akan terbukti dalam rentang tiga hari ke depan dia akan luar biasa sibuk. Perjalanan dari London ke Singapura ini menjadi pengalaman yang pertama buat Julia wawancara di atas pesawat kelas eksekutif: “Anda tahu, terus terang saya sedikit gugup. Bukan untuk wawancaranya tapi saya begitu antusias. Ya Tuhan, saya baru pertama kali menumpang pesawat besar. Ini mengagumkan, ini lebih besar dibanding dengan foto-foto rilis pertamanya. Berapa ukurannya? Paling besar di dunia? Tiga kali lebih pesawat biasa, dan saya menumpang di kelas eksekutif. Teman-teman wartawan pasti iri kalau tahu redaksi kami menghabiskan banyak uang untuk membelikan selembar tiket agar saya satu pesawat dengan Anda.”
Permulaan wawancara yang buruk, permulaan perkenalan yang kurang bagus antara dua karakter yang nantinya akan terus bersinggungan. Lalu saat Thomas sampai di Jakarta di akhir pekan, dia disibukkan dengan jadwal yang padat. Jumat malam ini, dia yang seorang petarung di klub petarung. Semacam klub berkelahi di buku ‘Fight Club’ nya Chuck Palahniuk. Premisnya sama, di mana mereka professional berkelahi hanya untuk kesenangan. Lupakan pangkat, lupakan derajat di rutinitas. Siapa saja yang bergabung di klub akan berkelahi di atas lingkarang merah, selesai tanding semua lupakan, tak ada dendam tak ada kemarahan. Benar, aturannya sama dengan fight club, rekrutnya rahasia hanya teman-teman dekat. Bedanya tak ada twist, dua karakter satu tubuh di sini. Saya jadi bertanya, apakah Tere harus meminta izin kepada Chuck untuk mencantumkan sebagian aturan kisahnya ke dalam buku ini.
Dari klub petarung, Thomas berkenalan dengan Rudi sang polisi, Randy sang petugas imigrasi, dan Erik seorang perekayasa data yang ulung. Tiga karakter yang akan sangat membantu menggerakkan cerita. Lalu ada kadek yatch Pasifik, kapal milik keluarga yang cerdas dan setia. Ada Ram, orang kepercayaan keluarga yang mengurus bermacam bisnis. Ada sektetaris cantik yang selalu jadi andalan, Maggie. Antagonisnya, dua orang yang mempunyai dendam masa lalu. Sang jaksa dan seorang polisi bintang tiga. Sementara karakter dalam keluarga ada om Liem yang memimpin bank Semesta di ambang pailit. Opa, yang di usia senjanya menjadi penasehat bijak dengan cerita masa lalunya tentang perjalanan dari Cina daratan menuju tanah yang dijanjikan, Indonesia. Perjalanan laut di atas perahu bocor yang dituturkan berulang kali bagai kaset rusak. Ada sahabat lama dalam bisnis keluarga tuan Shinpei, orang yang dulu bersama saat berjuang di zaman susah dalam memasok bisnis tepung terigu. Semua dirajut dalam cerita tentang kebobrokan Negara ini, plot utamanya adalah penyelamatan bank Semesta dari lukuidasi dengan dana talangan bail out dari pemerintah. Intrik itulah yang membuat Thomas selama tiga hari harus tunggang-langgang dari kebisingan ibu kota sampai ke Yogya dan Bali.
Kisah panjang 48 episode ini dimulai dengan dering telepon tengah malam, Sabtu dini hari di bab 4. Saat itu Thomas sedang istirahat di hotel, pasca bertarung dengan Rudi. Telepon yang menggangu itu, rasanya ingin tak diangkatnya. Namun ternyata telepon sedini ini datang dari keluarganya. Ram, sang pengurus bisnis keluarga memberitahu bahwa tantenya sakit keras, karena om Liem tersangkut kasus. Terpaksa dia bangun dan bergegas ke rumah om-nya yang tak pernah dijumpainya selama 20 tahun. Dari adegan ini sampai dengan titik kalimat terakhir, kalian akan disuguhkan adegan action non-stop. Pelarian ke bandara, lalu ke tempat persembunyian, tertangkap namun bisa kabur lagi. Berlayar tak tentu arah, meeting dengan orang-orang penting di pesawat. Adegan baku tembak, kabur lagi. Suap kepada sipir penjara, tipu-menipu demi kepentingan pribadi. Berlagak jadi kader partai berwarna lembayung, sandera yang berharga sampai akhirnya sebuah ending yang mengapung di atas laut haru-biru. Bak mimpi yang terlihat samar namun terasa nyata, dalam tiga hari itu Thomas terus berlari bagai dikejar monster tak berwujud. Ketika akhirnya dalang dan penghianat ditemukan, ternyata itu hanya ikan teri. Penghianat kelas kakapnya terlepas dari tangkapan, dan buku ini ditutup dengan dendam menuju target utama.
Manarik? Jelas, sungguh bagus ada buku karya anak bangsa sedinamis ini. Walaupun yah harus diakui, Tere tak menyajikan cerita original. Harus diakui pula di dunia ini tak ada yang original, semua pakai teori ATM-Amati, Tiru, Modifikasi. Coba tonton film Fight Club, 21, The Beautiful Mind, The Wallstreet, The Coruptor sampai Crash. Semua dinukil dan dirajut dengan cerita panas korupsi bank nasional yang bail out –nya mewarnai berita selama 5 tahun terakhir. Bahkan terang-terangan Tere menyebut ibu menteri, orang yang ditemuinya bersama Julia yang akan mengubah keputusannya. Juga angka talangannya 7T, walau akhirnya angka itu dimodifikasi Erik jadi hanya 1,5T. Tere bermain-main dengan fakta, dan di sinilah hebatnya dia. Luar biasa, salute bro!
Secara keseluruhan saya sepakat dengan beberapa review bahwa buku ini recommended buat dilahap. Saya membacanya dengan perseneling penuh, cepat sekali. Hanya dua hari di sela kesibukan semu di rumah. Saya bahkan meletakkan sejenak buku The Man Who Loved Book Too Much yang sudah kebaca separo, demi kenikmatannya. Dan sepertinya menyenangkan sekali mempunyai seorang kakek pencerita yang hebat, walau kisah yang dituturkan berulang kali sama layaknya kaset rusak. Di situ selalu ada hikmah. Seperti Opa yang terombang-ambing di atas perahu bocor dengan ketidakpastian, kita semua kini hidup di negeri para bedebah. Kita semua berjudi dengan masa depan. Tahun pemilu dengan segala janji manisnya? Bah!
Karawang, 020414