A Room of One’s Own #4

“Buku catatanku sendiri berisi coret-coretan liar yang kontradiktif. Catatan itu menyedihkan, membingungkan, memalukan. Kebenaran telah mengalir di jari-jariku. Setiap tetes alirannya telah lenyap.”

Luar biasa. Buku yang (rasanya) sulit dipahami, terutama saat awal mula. Namun setelah berhalaman-halaman yang melelahkan, kita akhirnya diajak memasuki maksud utama sang penulis. Lima bab awal, seolah esai ini berputar-putar tak keruan, curhat panjang lebar kehidupan, mengelilingi dunia pustaka di London, sulit dicerna mau ke arah mana. Dan bab penutup, bab Enam menjelaskan segalanya. Gamblang, bahwa untuk menjadi penulis, Virginia Woolf mensyaratkan dua: Jika kau ingin menulis fiksi atau puisi perlu memiliki uang lima ratus pound per tahun dan kamar beserta kuncinya tergantung di pintu. Lima ratus pound setahun berarti kekuatan untuk merenung bahwa kunci yang tergantung di pintu berarti kekuatan untuk berpikir mandiri, tetap saja kau dapat mengatakan bahwa pikiran harus naik di atas hal-hal seperti itu; dan bahwa penyair yang hebat seringkali adalah orang-orang miskin.

Buku melelahkan sekali, tapi puas. Kok bisa? Ya, melelahkan dan puas. Bukankah bercinta juga begitu?

Mari kita kupas satu per satu intinya.

#Satu

Catatan ini ditulis tahun 1928, masa pasca Perang Dunia Pertama, perempuan dengan segala keterbatasannya. Ini tentang fiksi dan perempuan. Di British Museum, kita diajak berkelana dalam rimba kata-kata.

Membaca, kenikmatan luar biasa itu. Apa yang didapat dari buku? Pengetahuan. Lantas buku itu memberimu kebenaran murni setelah satu jam bicara lalu merangkumnya di antara pagina buku catatanmu dan setelah itu berakhir di atas rak selamanya. Berdebu, tak tersentuh.

Seorang perempuan harus memiliki uang dan ruang sendiri jika ia ingin menulis fiksi. Banyak jalan melakukan perjuangan. Semua relatif. “Kebodohan akan mengalir dari bibirku, tetapi mungkin ada beberapa kebenaran tercampur dengannya; tugasmu mencari kebenaran ini dan memutuskan apakah ada bagian yang layak disimpan.”

Kata-kata dipilih dengan bagus, menggambarkan perempuan-perempuan penulis di masa sebelumnya. Dan bagaimana perang mengubah banyak hal. “Dan Fiksi di sini sepertinya mengandung lebih banyak kebenaran daripada fakta. Fiksi harus tetap berpegang teguh pada fakta, dan semakin bernar fakta maka semakin baik pula fiksi.”

#Dua

London dengan penggambaran apa adanya. Lantas bagaimana Woolf mengutip para laki-laki tentang perempuan? Sedikit di antaranya: Samuel Butler berkata, “Laki-laki bijak tak pernah mengatakan apa yang mereka pikirkan terhadap perempuan.” Pope bilang, “kebanyakan perempuan tidak memiliki karakter sama sekali.”

Sosok laki-laki berkuasa, di banyak jajaran profesi. Kita (laki-laki) menjalankan dunia. Kecuali urusan cuaca berkabut, kita mengendalikan semuanya. Seorang laki-laki yang memiliki semua kekuatan ini harus marah. Kepentingan besar bagi seorang patriarki adalah harus menaklukkan, harus memerintah, merasa sejumlah besra manusia, separuh dari ras manusia, pada dasarnya lebih rendah daripada dirinya sendiri.

Namun begitulah, faktanya banyak hal dilakukan dengan tak rela. Melakukan pekerjaan yang tak ingin dikerjakan, melakukannya seperti budak, menyanjung dan menjilat, kadang memang tak perlu, tetapi tampaknya perlu dan taruhannya terlalu besar untuk menanggung resiko.

#Tiga

Bab ini banyak mempertanya fakta/fiksi. Apakah kebenaran? Dan perlu digarisbawahi, fiksi itu karya imajinatif, tak dijatuhkan seperti kerikil di atas tanah, seperti mungkin demikianlah sains, fiksi seperti jaring laba-laba, melekat sangat ringan, tetapi masih terkait pada kehidupan di keempat sudutnya.

Woolf menggambarkannya sebagai, “perempuan tak eksis kecuali dalam fiksi yang ditulis oleh laki-laki, orang akan membayangkan bahwa perempuan adalah sosok yang sangat penting; sangat beragam, heroik sekaligus kejam, megah sekaligus kotor, indah tiada tara sekaligus seram, sehebat seorang laki-laki, sebagian orang bahkan memandangnya lebih hebat dari laki-laki.

Maka dia dengan meyakinkan bahwa, “Aku berani menebak bahwa Anom yang menulis begitu banyak puisi tanpa membubuhkan namanya, adalah seorang perempuan. Aku pikir Edward Fitzgelard juga seorang perempuan, ia membuat balada dan lagu-lagu rakyat, menyanyi bersama anak-anaknya, berjoget bersama mereka, sepanjang malam musim dingin.”

#Empat

“Bahwa orang akan bertemu perempuan dalam keadaan pikiran seperti Shakespeare pada abad keenam belas jelas mustahil.” Pembuka yang menohok, perempuan di zaman dulu tak ‘kan mencuat dengan karya, di masa itu laki-laki lebih dominan dan bahkan William Shakespeare yang misterius. Kenapa? Sebab karya besar tak pernah lahir sendiri dan soliter, mereka hasil dari pemikiran bertahun-tahun bersama yang lain, pemikiran dalam tubuh orang banyak, menjadikan pengalaman orang banyak itu berada di belakang suara tunggal.

Novel lahir dari segala macam emosi yang bertentangan dalam diri kita.

#Lima

“Ia tak memiliki cinta akan Semesta, imajinasi berapi-api, puisi liar, kecerdasan cemerlang, kebijaksanaan yang bersumber dari ketidakbahagiaan pikiran mendalam yang dimiliki para pendahulunya yang hebat: Nyonya Besar Winchilsea, Charlotte Bronte, Emily Bronte, Jane Austen, dan George Elliot.”

Kepada perempuan-perempuan itulah Woolf dan generasinya berterima kasih. Sehingga bisa kita simpulkan, zaman sekarang, perempuan-perempuan penulis bisa dengan lantang berterima kasih kepada Woolf.

#Enam

Penggambaran dua manusia laki dan perempuan yang bertemu lantas naik taksi menjadi pembuka, bahwa dunia ini berjalan dengan banyak cara. Kalau diamati, banyak spekulasi sedang apa mereka dan mau ke mana. itu bersumber dari pikiran, penasaran. Pikiran tentu saja merupakan organ yang sangat misterius, sesuatu yang tak kita ketahui meskipun kita bergantung padanya. Coleridge mengatakan pikiran yang heba titu androgini. Ketika fusi terjadi, pikiran sepenuhnya terbuahi dan mampu menggunakan semua daya pikirnya.

Nasihat bagus tentang menulis, “… Karena itu aku akan memintamu untuk menulis semua jenis buku, soal subjek sepele atau berat. Kau menulis buku-buku perjalanan dan petualangan, penelitian dan ilmu pengetahuan, sejarah, biografi, kritik, filsafat, dan sains. Dengan melakukan itu kau tentu akan menguntungkan seni fiksi. Sebab buku saling memengaruhi. Fiksi akan jauh lebih baik jika berdiri tegak bersebelahan dengan puisi dan filsafat.”

Saya suka membaca, saya suka membaca buku dalam jumlah besar. Fiksi, non fiksi semua saya lahap. Semua genre, segala bacaan. Termasuk sedikit mengulasnya. Walaupun sejatinya tulisan ulasan di blog ini lebih seperti rangkuman dan uneg-ueng singkat, tapi sebenarnya lebih pas sebagai penyimpan memori. Untuk menulis kritik dan tulisan detail kudu ditelaah lebih dalam. Tidakkah tinjauan sastra saat ini merupakan ilustrasi abadi dari kesulitan memberi penilaian?

“Selama kau menulis apa yang ingin kau tulis, itu yang terpenting. Apakah tulisan itu akan berguna untuk selamanya atau hanya selama berjam-jam, tak ada yang bisa tahu. Kebebasan intelektual tergantung pada hal-hal materi. Puisi tergantung pada kebebasan intelektual. Dan perempuan selalu miskin, bukan hanya selama dua ratus tahun, tetapi sejak awal waktu dunia mulai berputar.”

Virginia Woolf tentu salah satu penulis besar yang pernah ada, baru satu buku yang kubaca, dan luar biasa membingungkan. Mrs Dalloway dibuat dengan membuat pembaca tak nyaman, tak ada bab, semuanya ndelujur saja. Namun kualitas tak bohong, cara menyampaikannya luar biasa indah. Temanya jelas tentang perempuan, yang kecewa, yang lelah akan perkawinan. Bulan ini akan saya ulas juga. Jadi buku ini buku kedua beliau yang kubaca, dan jelas ini salah satu tulisan esai terbaik. Cocok bagi kalian yang ingin menjadi penulis, sekalipun nasihat ini bukan hanya untuk perempuan.

Ruang Milik Sendiri | by Virginia Woolf | Diterjemahkan dari A Room of One’s Own | London, Grafiton Books, 1977 | Penerjemah Khoiril Maqin | Editor Cep Subhan KM | Penata letak @dazdsgn | Perancang sampul @sukutangan | ISBN 978-623-90739-8-5 | xiv + 136 hlm. | 13 x 20 cm | Cetakan pertama, Desember 2020 | Penerbit CV Jalan Baru | Skor: 4.5/5

Karawang, 040622 – Lady Gaga – Pokerface

Thx to Haritson, Yogyakarta

#30HariMenulis #ReviewBuku #4 #Juni2022

Asal Muasal Pelukan #2

“Hidup hanya demi menulis mantra. Agar aksara tak sekadar menjadi kata, melainkan juga menjelma makna, mewujud daya, dan pada akhirnya menjadi upaya.” – Delapan Penjuru Taksu

Dan lagi, saya menikmati kumpulan puisi, dan sama saja. Sulit untuk dinikmati, sulit untuk direview. Tahun lalu saya paksakan membaca 12 buku puisi, ini salah satu dari dua buku akhir tahun yang terlalu lama kutunda ulas. Ini saya ketik ulasan dengan agak rancu, seadanya. Atau dalam satu kalimat, “kalian sangat boleh meragukan ulasan buku puisi di blog ini.” Namun, izinkan saya menyampaikan pandangan saya sebagai penikmat prosa ini, uneg-uneg bagaimana bait-bait yang antah coba kucerna.

Buku dibuka dengan pengantar penyair kenamaan Hasan Aspahani Di sampul ada endorsm penyair besar Joko Pinurbo. Tak cukup dengan itu, halaman pembuka ada empat endorm lagi, nama-nama tak sembarangan, sumbang suara dari Sapardi Djoko Damono, Acep Zamzam Noor, Umbu Landu Paranggui, dan Remy Sylado! Luar biasa.

Karena saya tak terlalu bisa mereview buku kumpulan puisi, maka saya ketik saja sebagian yang menurutku bagus. Kok nekad? Ya, fungsi blog ini selain untuk memberi informasi ke pembaca, juga sebagai rekap dan kesan dan hal-hal yang kudapat dari melahap buku. Jadi semua buku saya ulas, sekalipun apa adanya.

“Malkana, lama sudah ia tinggal. Di sini, di dunianya yang baru, tak ada yang ia kenal. Seluruhnya kawanan banal, selebihnya kerumunan binal. Anjing itu menua sia-sia dan gagal.” – Dari Malkana

“Mendengar pendengaran mendengar. Melihat pengelihatan melihat. Hening mengucapkan kekosongan. Telingaku berdenging, malam melafalkan sunyi paling sepi. Dini hari telah tiba. Surya menata subuh yang sebentar lagi.” – Sudut paling riskan

“Cinta dan Rindu, kau dan aku: dua yang telah menjadi satu. Cinta dan Rindu, kau dan aku: bukan bara yang menjadi abu.” – Cinta yang Tenang

“Aku mengendus relungmu perlajan, melacak jejak kita saat bersentuhan, di setiap gurtamu ada aroma pelukan, yang terasa dekat meski berjauhan.” – Dekat Meski Berjauhan

“Hal-hal yang bernama khawatir, adalah hal-hal yang kau namai sendiri.” – Kunamai Kau

“Dan, yang paling nyata dari hidupmu di dunia adalah dirimu sendiri: yang telah kau khianati.” – Paling Nyata

“Jika untuk pulang saja aku harus menunggu tua, betapa lama penantian, betapa renta kerinduan.” – Usia

“Kesedihan apakah yang kau miliki? Bolehkah untukku? Segala darimu jika kau beri, niscaya aku mau.” – Segala Darimu

“Gulita dan Cahaya hanyalah roman belaka. Ketika asyik bercinta, kita tak memerlukannya.” – Tak Perlu Nyata

“Setiap bibirku bertemu takdirmu, serta merta kusebut nama kita: dua yang sesungguhnya satu. Walau gulita telah memburamkan segala terang, pelita dari segaris senyummu cukup mengantarku pada kelegaan.” – Terima Kasih

“Jika ada kata yang lebih hakikat, dari ikrar menyatu sepanjang usia, akan kuucapkan sekalipun terlambat: akad untuk mengabadikan kita.” – Akad Abadi

Kebetulan pagi tadi saya ikut inspirasi pagi, acara mendengarkan berbagai informasi bebas, termasuk melihat video di youtube. Yang membawakan, Icha memilih sebuah video dari Narasi dengan Najwa Shihab berdeklamasi. Isinya tentang 2050, prediksi mengerikan tentang pemanasan global yang akan terjadi. Daratan ada yang tenggelam, suhu bisa mencapai 60 derajat celcius, hingga kekurangan air melanda. Intinya bukan di warning, saya melihat Mbak Nana sangat bagus menyampaikan informasi itu dengan gegap gempita, seolah pembacaan syair. Nah, seperti itulah cara yang menurutku tepat menikmati puisi. Bukan dibaca santuy di kamar dengan lirih. Menikmati puisi mencapai titik maksimal dengan mendengarkan. Via audio, bukan visual teks. Saya menikmtai Asal Muasal Pelukan dengan berbagai pose. Di perjalanan ke Jakarta saat ada tugas luar, di ruang perpus keluarga, di meja kerja, hingga saat menjadi sopir keluarga menepi di sebuah masjid. Semuanya lirih, dan dalam senyap, rasanya kurang. Feel-nya beda, dengan mendengarkan Mbak Nana menyampaikan pesan. Itu bukan syair, itu edukasi pentingnya menjaga lingkungan, bayangkan bila yang dibacakan bait-bait cinta. “Tanpa perempuan di sisinya, laki-laki hanya memeluk udara. Padahal pun bagi perempuan, lelaku itu asal muasal pelukan….” Bukankah makin jleb?!

 Untuk tahun ini saya tak ada target berapa banyak buku puisi yang akan kulahap. Sampai Juni ini, tak ada satupun malah. Setiap tahun memang berbeda targetnya, 2022 so far lima buku Terbitan Atria, dan akan jadi 12. Mungkin tahun depan lagi, baru saya kejari lagi buku-buku puisi. Seperti janjiku, saya lahap semua jenis bacaan. Entah paham, entah pusing, entah melayang, selama mendapati kenikmatan membaca, saya akn lakukan.

Asal Muasal Pelukan, mungkin salah satu buku puisi yang terbaik yang kubaca. Karena memang belum banyak, butuh bimbingan menyelami bait-baitnya. Dan buku puisi menurutku layak dikoleksi, sebab setiap saat bila ingin menikmati kembali tinggal tengok di rak. Jadi, buku-buku penyair Candra Malik laik kejar? Dengan menyakinkan saya bilang, Ya!

Asal Muasal Pelukan | by Candra Malik | Cetakan pertama, Juni 2016 | Penyunting Adham T. Fusama | Perancang sampul Fahmi Ilmansyah | Ilustrasi isi Ayu Hapsari | Pemeriksa aksara Achmad Muchtar | Penata aksara Rio | Penerbit Bentang | xvi + 152 hlm., 20.5 cm | ISBN 978-602-291-231-6 | Skor: 4/5

Karawang, 020522 – Blink 182 – All the Small Things

Thx to Rusa Merah, Jakarta

#30HariMenulis #ReviewBuku #2 #Juni2022

The Dinner #3

The Dinner #3

“… Hidangan utamanya baru saja datang…”

Buku pertama yang kubaca pasca menyusun Best 100 Novels. Mereview-nya ketunda mulu, sampai tiga kali kesempatan duduk depan laptop guna menuntaskannya. Memang butuh perjuangan lebih keras untuk melakukan sesuatu sekalipun kita mencintainya. Semakin ke sini, dunia digital makin rumit dan menggeser segala yang manual. Saya merasakan semakin canggih HP yang kupunya malah makin menjauhi intelektual waktu berharga. Aneh sekali. Nah The Dinner ini jua absurd, bagaimana teknologi menjadi pengungkap semua kasus pembunuhan yang tak terencana yang meneror banyak aspek. Bagaimana kehidupan orang terkasih justru bisa menjadi mata pisau tajam yang mengancam. Novel psokologis yang sejatinya bagus sekali sedari awal sampai pertengahan. Sayangnya tensinya tak terjaga aman, setelah makan malam usai kisah malah menuai anti-klimak. Dengan label lingkaran merah ‘SEGERA Difilmkan’ saya yakin sekali ini bakal jadi film indi ataulah masuk film-film festival yang gaungnya hanya terdengar antar movie freak nan snob, tak akan sampai blockbuster. Hanya kejutan besar yang akan menjadikannya jadi perbincangan banyak khalayak.

Buku ini saya baca tahun lalu saat santai, awalnya mau kejar kandidat untuk 100 novel terbaik tapi ga sampai, dan memang pada akhirnya tak masuk. Kisahnya tentang keluarga calon Perdana Menteri Belanda yang makan malam keluarga. Awalnya memang tenang, makan bersama antar kakak adik terpandang bersama para istri. Berempat, menikmati restoran mahal. Aku ingin melakukan ini semua sebagai keluarga. Jika aku harus memberikan definisi kebahagiaan, akan kukatakan, kebahagiaan tidak membutuhkan apa pun kecuali kebahagiaan itu sendiri, kebahagiaan tidak membutuhkan pembenaran. Saat akhirnya sebuah kasus dibuka, kasus pembunuhan yang melibat anak mereka, segalanya bak angin ribut yang menodongkan belati tajam ke arah mereka.
Aku akan mengendalikan diriku seperti dirimu menahan nafas di dalam air, dan aku akan bersikap seolah-olah tidak ada yang aneh sama sekali dengan tangan orang asing yang melambai ke makanan di atas piringku. Tentu aku menyadari, di restoran yang lebih mahal, kualitas dianggap lebih penting ketimbang kuantitas, tetapi akan ada ruang kosong dan kehampaan. Pilihan makin sulit, saat fakta demi fakta dibuka. Melalui rekaman cctv mesin ATM bagaimana suatu malam seorang gelandangan terbunuh tak sengaja oleh dua anak remaja.

Seperti sepucuk pistol di atas panggung pementasan, ketika seseorang mengacung-acungkan pistol selama babak pertama, kau bisa memastikan bahwa akan ada yang ditembak dengan pistol itu sebelum tirai diturunkan. Itu adalah aturan drama pertunjukkan. Aturannya menyebutkan bahwa pistol tidak akan muncul di panggung bila tidak ada yang menembaknya. Sang calon perdana menteri makin kalut, bagaiman jika terus maju dan menang karena elektabilitas memang tinggi, dan mengetahu anak mereka adalah pembunuh. Apakah berani menjatuhi hukuman berat itu?
Itulah sebabnya ia memilih berlari.

Katanya kau dapat melakukannya sendiri di tengah udara segar dan dia bertingkah seolah gagasan itu datang dari dirinya sendiri. Dia sudah lupa bahwa aku sudha mulai berlari beberapa tahu lalu dan tak sekalipun melewatkan kesempatan melayangkan komentar sinis tentang ‘adiknya yang berlari-lari kecil.’ Karena di Belanda yang maju, masyarakatnya yang modern di mana setiap orang dewasa katanya jaminan makmur secara ekonomi maka kasus ini tergolong riskan.

Seperti ketika kau tidak membuang buku buruk ketika sudah membacanya setengah bagia, kau akan tetap menyelesaikannya dnegan enggan, begitulah ia bertahan hidup bersama Serge – mungkin bagian akhirnya akan memperbaiki sebagian hubungannya. Daddy dan mommy ingin berbicara denganku. Daddy dan mommy mencintaiku lebih dari apa pun di dunia. Ya, keluarga menjadi tumpuan. Keluarga adalah segalanya. Sepakat. Jabatan bisa jadi sebuah jaminan karir, tapi keluarga adalah kata istimewa yang tak boleh goyah oleh apapun.

Ya, bersikap polos adalah cara terbaik melakukannya, pasti tak terlalu sulit bagiku memainkan ayah polos. Lagi pula, seperti itulah diriku, naif. Kau tidak berbuat salah, kau hanya menendang bola ke jendela. Itu hanya sebuah kecelakaan. Kecelakaan bisa terjadi kapan saja, tetapi itu tidka bisa menjadi alasan untuk mengataimu seperti itu. menenangkan sang anak, termasuk anak angkat yang mulai terkuak menyimpang? Sungguh mulia. Bila kau merusak sesuatu meskipun tak disengaja, kau harus membayar kerusakannya.

Memperbaiki segalanya harus dengan konsekuen bersama. Pengorbanan demi orang terkasih, lebih mulia ketimbang takhta yang menjanji.

Di Belanda kau memiliki jaringan keselamatan sosial. Seharusnya tidak ada yang terpaksa menggelandang dan tidur di bilik ATM. “Kau tahu apa yang sebaiknya dalam hal ini? Lupakan sejenak, selama tidak ada yang terjadi maka tidak akan ada yang terjadi.” Satu sepatu tenis dapat merujuk pada puluhan ribu pemakai sepatu tenis, tetapi sebaliknya puluhan ribu sepatu tenis sulit untuk ditelusuri ke astu pemilik yang spesifik.

Perang sebaiknya meletus di luar sana, atau serangan teroris akan lebih baik dengan banyak korban jiwa warga sipil yang akan membuat orang-orang menggeleng-geleng khawatir. Ambulan datang dan pergi, kereta api atau kereta bawah tanah yang terguling, bagian depan gedung berlantai sepuluh yang terbakar – hanya itu cara agar wanita tunawisma di bilik ATM dapat menghilang di belakang layar, menjadi peristiwa kecil di antara peristiwa-peristiwa besar. Benar luka itu akan tetap ada, tetapi sebuah luka tidka harus menghalangi kebahagiaan. Selama waktu berjalan, aku akan bersikap senormal mungkin.

Ini bukan sekadar tentang pesta, ini tentang masa depanmu…” Salah satu istilah abstrak, masa depan. Masa depan anak tercinta, setiap pengorbanannya sangat pantas. Abad pertengahan, kalau kau renungkan lagi, adalah zaman yang membosankan, kecuali beberapa pemberontakan keji, sangat sedikit yang terjadi pada saat itu.

Aku juga akan menangis jika sebodoh itu.”

Kau mengatakan sesuatu yang setajam pisau kepada seseorang agar dia terus mengingatnya seumur hidup. Terkadang pembicaraan menemui jalan buntu. Demi Michel. Demi Michel. Aku akan menahan diriku bertindak. Tentu saja itu mengerikan, kita semua telah diajarkan untuk mengatakan bahwa itu mengerikan, tetapi dunia tanpa bencana dan kekerasan – bencana alam maupun kekerasan otot dan darah – akan sangat membosankan.

Aku memikirkan tentang waktu, waktu yang berlalu tepatnya, betapa satu jam dapat terasa sangat lama, tiada akhir juga terasa gelap, panjang, dan kosong. Siapapun akan berfikir seperti itu, tidak perlu memikirkan tentang ruang dan waktu yang btidka terbatas.

Bila itu yang terjadi maka situasiku menjadi lebih menyedihkan daripada yang kukira.

Tetapi kita harus tetap objektif, ini sebuah kecelakaan. Kecelakaan yang dapat memberikan dampak sangat besar pada kehidupan anak-anak kita, pada masa depan mereka. “Demi kepentingan terbaik anakku, dan juga demi negeri ini, aku akan menarik pencalonanku.

Masa depan itu akan hancur jika kau berhenti mengikuti keinginanmu untuk memerankan politisi mulia. Hanya karena kau tak sanggup menjalani hidup dengan menanggung sesuatu, kau menganggap bahwa hal ini juga berlaku pada anakku.

Apakah aku perlu mengetahui ini? Apakah aku ingin mengetahui soal ini? Apakah ini akan membuat kami lebih bahagia sebagai keluarga?

The Dinner | by Herman Koch | diterjemahkan dari The Dinner | terbitan Ambo | Anthos Uitgevers, Amsterdam, 2009 | original published Het Diner | copyright 2009 | Penerbit Bentang | penerjemah Yunita Chandra | penyunting Ade Kumalasari | perancang sampul Fahmi Ilmansyah | pemeriksa aksara Intan Puspa | penata aksara Martin Buczer | cetakan pertama, April 2017 | vi + 350 hlm.; 20.5 cm | ISBN 978-602-291-240-8 | Skor: 3,5/5

Nice Guy Eddie: Ayolah, beri saja satu dolar. | Mr Pink: hm-mh. Aku tidak memberi tip. | Nice Guy Eddie: Apa maksudmu, kau tidak memberi tip? | Mr Pink: Aku tidak setuju soal tip. – Quentin Tarantino, Reservoir Dogs

Karawang, 02-171217 030618 – Angela – Yesterday Once More # Sevendust – Forever Dead

#3 #Juni2018 #30HariMenulis #ReviewBuku

Ontologi: Sebuah Penuturan Sederhana #2

Ontologi: Sebuah Penuturan Sederhana #2

Ontologi adalah keheningan sekaligus permainan bahasa itu. – Sartre

Pada masa cahaya bintang | Belum disalin ke dalam bahasa | Ilmu dan puisi belum membanjiri dunia | Cukup mengikuti hukum alam | Manusia bisa menjadi bijak dan bahagia | Sebagaimana burung-burung terbang | Dan ikan-ikan berenang – Faisal Kamandobat, Kisah Kemurungan Adam

Karena beli daring, kukira ini adalah buku terjemahan filsafat. Eh ternyata lokal, ini seperti kumpulan pelajaran dasar seri filsafat. Berhubung saya masih awam untuk hal ini wajar buku Ontologi lumayan bervitamin, apa yang disampaikan memang sangat dasar. Banyak mengambil referensi lain, banyak menguntip dan menulis ulang dari era sebelum Masehi, abad pertengahan sampai yang tergres. Ga masalah, mending memberi sumber dan mencantumkan itu kata dan tulisan siapa ketimbang ke gap, suatu ketika. Saya mengira akan jadi sebuah penuturan boring, eh enggak jua. Dilahap cepat dalam stabilo warna untuk hal-hal yang bagus. Sayangnya banyak typo, untuk buku yang berhalaman tak lebih dari seratus, tim Quarks Book harus punya proof reader mumpuni guna mengantisipasi kesalahan ketik di kemudian hari.

Filsafat muncul karena manusia merasa heran (thaumasia) dan sangsi (skeptis) atas segala hal baik di dalam maupun di luar dirinya, juga merasa diri terbatas di hadapan ketidakhinggaan di sekeliling.
Metafisika sering disalahartikan dengan cara dipaksakan oleh para penggunanya. Kesalahan tersebut kira-kira sama seperti istilah politik diartikan sebagai kekuasaan dan ekonomi sebagai uang dan keuntungan yang sebesar-besarnya. Padahal politik dan ekonomi sesungguhnya adalah moralitas yaitu kebiasan baik (phronesis) yang didasarkan pada keutamaan (arete) untuk mendukung terciptanya kehidupan yang sejahtera, penuh dan utuh (eudaimonial well being) secara bersama-sama dalam sebuah komunitas.

Protagoras (480 – 411 SM) menyatakan bahwa manusia adalah ukuran segala-galanya, baik yang ada maupun yang tidak ada. Bagi Aristoteles, kenyataan atau benda konkret adalah benar-benar ada dan tidak ada kaitannya dengan ide-ide yang ada di atasnya.

Epikuros (341-271 SM) menyatakan bahwa alam semesta ada dan berjalan karena gerak atom-atom. Para dewa tidak menciptakannya dan tidak ikut campur tangan dalam urusan dunia. Manusia bertanggung jawab sendiri atas diri dan dunianya. Oleh sebab itu tidak perlu takut pada dewa.
Kaum Neophytogorean yang memegang teguh dualisme Plato yang menentangkan antara yang rohani dengan bendawi. Mereka percaya tidak ada hubungan antara yang Ilahi dengan dunia ini. Yang Ilahi adalah yang ada, tak bergerak, realitas sempurna, subtansi yang bukan benda. Yang Ilahi itu terlalu tinggi dan terlalu jauh untuk dijangkau umat manusia. Ia tak terhampiri sehingga tak dapat dipujasembah. Bagi mereka alam semesta ini tidak diciptakan oleh Yang Ilahi melainkan dibuat oleh perantara, yaitu demiurgos. Dinatara Ilahi dan manusia ada dunia demon dan manusia setengah dewa.

Plotinos (204-269 SM) dari Lykopolis, Mesir bahwa Yang Satu (to Hen) merupakan asas pertama dan terdalam dari pikiran serta segala sesuatu yang ada. Yang Satu bukanlah pikiran, bukan Ada dan bukan juga sesuatu yang ada, melainkan Adi-Ada, Yang Tak Terhingga, dan Absolut.
Hakikat sejati dunia materi adalah bersifat rohani. Posisi jiwa sama dengan demiurgos, dengan dunia material sebagai taraf terendah emanasi dan Yang Satu. Adapun tujuan dunia material adalah remanasi, yaitu kembali ke Yang Satu. Ada tiga cara remanasi, Kembali ke Yang Satu: Manusia harus menyucikan diri dengan melepaskan diri dari dunia materi; Mendapat penerangan dari Nous tentang Yang Satu; dan menyatukan diri dengan yang Satu dalam ekstasi.

Konsep adalah suatu tanda alami (signum naturale) yang diungkapkan dalam suatu sebutan atau nama (nomen) atau dalam suatu istilah khusus tertentu (terminus) melalui bahasa yang bersifat konvensional. Tidak ada hubungan antara kenyataan dengan penamaannya; kalaupun ada hanya dugaan saja.

Tujuan Kung Sung-Lung adalah berusaha mengubah dunia ini dengan cara membenahi pemahaman manusia mengenai hubungan anatar nama dan pemahaman manusia mengenai hubungan nama dan kenyataan. Baginya terdapat kesalahan pemahaman terkait ini. Misalnya, manusia ingin damai di negaranya, namun tak jarang mereka melakukan perang demi kedamaian itu. Maka sebuah kekeliruan, harus diperbaiki sebagai langkah pertama dengan mengubah keadaan tersebut.

“Wacana tentang Kuda Putih” dia membuat penyataan utama bahwa ‘Kuda putih adalah bukan seekor kuda’. Alasan pertama bahwa kata kuda menunjuk pada suatu bentuk, kata putih menunjuk pada suatu warna. Apa yang menunjuk warna tidak dapat menunjuk pada benda. Maka kuda putih bukanlah seekor kuda. Alasan kedua, bahwa seekor kuda akan selalu memerlukan sebuah warna, bukan memerlukan seekor kuda berwarna putih. Alasan ketiga, kuda pastinya memiliki warna, tidak ada kuda yang tanpa warna. Oleh sebab itu menurut Kung-sun Lung, kuda putih adalah bukan seekor kuda (yang tanpa warna).

Filsafat identitas berusaha mendamaikan antara subjek dan objek, yang tidak terbatas dengan yang terbatas, pada zaman itu menjadi problem dan skandal dalam filsafat. Dengan filsafat identitasnya, Spinoza berhasil melebur-hilangkan perbedaan subjek-objek. Realitas kemudian dipahami sebagai satu keseluruhan yang utuh, di mana subjek sekaligus merupakan objek.
Manusia dengan tubuh (extensio) dan pemikirannya (cogitato) merupakan ciri hakiki dari subtansi Allah. Dalam filsafat identitas ini Spinoza, Allah yang tiada batasnya dipahami sebagai aktivitas yang tak terhingga, meliputi pemikiran murni, dan menghendaki yang murni. Allah adalah pikiran yang sedang memilikirkan dan menyadari pikiran dan diri-Nya sendiri.

Bagi Schelling, Yang Mutlak tidak memiliki prioritas atau lebih utama daripada yang tidak mutlak. Atau sebaliknya, yang tidak mutlak tidak lebih unggul dibandingkan dengan Yang Mutlak, karena keduanya bersumber yang sama dan bersifat sama sekali netral, yang oleh Schelling diberi nama sebagai Identitas Mutlak atau Indiferensi Mutlak Murni.

Pyrrho of Elis (365-270 SM) menyatakan bahwa sikap hidup yang skeptis akan membawa seseorang kepada kedamaian jiwa dan ketenangan batin (ataraxia) yang membuat seseorang tak tergoyahkan dalam segala kekacauan situasi kehidupan. Orang yang hidup tenteram adalah orang yang hidup mandiri dan swasembada (autarkia) karena bermental dan bertekad kuat.

Materi adalah data indrawi dan bentuk adalah a priori yang ada dalam pikiran. Bentuk a priori ini oleh Kant disebut sebagai ‘kategori’. Ada 12 kategori Kant: Kuantitas (kesatuan, kejamakan, dan keutuhan); kualitas (realitas, negasi dan perbatasan); modalitas (kemungkinan, keniscayaan, peneguhan); hubungan (subtansi-aksidensi, kaulitas dan resiprositas); setelah itu barulah akal budi mengatur pengetahuan rasional ke dalam kesatuan dan kesempurnaan, yaitu menarik kesimpulan dan membuat argumentasi-argumentasi tentangnya. Inilah yang disebut sebagai putusan sintetis a priori.

Pengetahuan manusia terbatas pada realitas dunia alami. Oleh karena itu Allah ‘berada’ diluar jangkauan pengalaman manusia, maka tidak mungkin kita mengetahui secara teoritis tentang Allah. Namun Kant juga menegaskan bahwa penyangkalan kemungkinan pengetahuan teoritis tentang Allah sekaligus berarti keberadaan Allah juga tidak dapat dibantah.

Menurut Hegel, sejarah manusia kemudian hanyalah mengulang bentuk dan tahapan lama, tidak ada lagi peristiwa yang sungguh-sungguh baru akan terjadi.

Heidegger melihat Ada bukan sesuatu yang terisolasi pada dirinya dan lepas dari manusia. Manusia tidak terisolasi pada dirinya dan lepas dari Ada. Hakikat Ada dan hakikat manusia berkaitan satu sama lain. Untuk menyingkap Ada membutuhkan manusia. Manusia adalah ruang tempat Ada mengambil tempat untuk berada. Manusia adalah tempat (statte) Ada menjelma, tempat Ada mengambil tempat. Hanya melalui perantara manusia, Ada yang tersirat pada berbagai adaan, dapat memberita.

Tetapi Ada bukan produk sama sekali hasil pikiran manusia. Pikiran adalah pemberian, rahmat Ada (Gnade des Seins). Berfikir adalah membantu Ada tampil sebagaimana mestinya. Karena itu berfikir adalah bentuk terima kasih dan berbicara adalah mendengarkan. Tugas pemikiran adalah menjaga terjadinya peristiwa Ada dengan penuh rasa kasih.
Menurut Jacques Derrida, manusia adalah teks yaitu tanda sekaligus sekedar pengganti yang untuk sementara menunda hadirnya Ada, bahkan mempertegas ketidakhadiran Ada.

Penyataan tertinggi Wittgenstein adalah bahwa mempertanyakan atau meragukan kenyataan pun harus didasari keyakinan/keyakinan bahwa kenyataan itu harus diragukan atau keraguan itu adalah suatu hal yang harus meyakinkan dan pasti.

Waktu sebagai sebuah entitas adalah sebuah momen yang memiliki ciri khusus tersendiri. Namun sebagai sebuah bukan-entitas, waktu merupakan bagian dari sebuah kesatuan rangkaian, di mana ketika seseorang mengatakan ‘sekarang’ namun pada saat waktu yang sama ‘sekarang’ itu sendiri telah berlalu.
Inti pemikiran Nagarjuna (150-250 M) adalah bahwa hakikat keberadaan realitas adalah kekosongan (emptiness/sunyata). Bahwa tidak ada sesuatu di atas sana, bahwa seseorang tidak dapat lagi pergi ke sana dan tidak dapat lagi yang digapai.

Lao Tzu (604 M) bahwa jalan yang dapat dijalani bukanlah jalan. Nama yang dapat disebut adalah bukan nama. Jika diungkapkan dengan kalimat lain, “Yang tahu tidak bicara, Yang bicara tidak tahu.” Wittgenstein juga mengulangnya bahwa, “Apa yang seseorang tidak dapat katakan, harus dibiarkan dalam diam.”

Secara langsung Budha berhadapan dengan variasi logika Jainisme, atau juga boleh disebut sebagai variasi logika catuskoti Madyamika. Pandangan ini dikenal dengan nama teori ‘Belut Berkelit’ (amaravikkhepavada, ‘theory of eel-wrigglers’). Mereka berdebat apakah ada kehidupan setelah kematian? Sanjaya Belattputta (6-5 SM) yang hidup pada tahun yang sama dengan Budha dan Mahavira menjawab: Tetapi saya kira itu tidak ada. (1). Saya tidak mengatakan bahwa itu tidak ada, dan (2) Saya tidak mengatakan sebaliknya. (3) Saya tidak mengatakan itu tidak ada, dan (4). Saya tidak tidak mengatakan itu tidak ada.

Kaon adalah permainan kata-kata di mana bahasa dibolak-balik untuk menggoncangkan pemahaman subjek tentang sesuatu. Kaon berusaha menyadarkan seseorang terhadap keterbatasan bahasa dan sifat ilusif bahasa dengan cara mengejek dan mengolok-olok sifat dan hakikat bahasa. Ada dua jenis kaon: (1) Tidak ada jawaban atas suatu pertanyaan yang sesungguhnya kosong. (2). Jawaban pertanyaan itu harus ditemukan dengan meditasi yang mendalam. Singkatnya menurut Zen bahasa dapat dan selalu menjadi penghalang terhadap pengalaman langsung. Bahasa adalah simbol, lambang, tanda atau jari menunjuk, namun tidak pernah membawa seseorang kepada apa yang ditunjukkannya.

Jika seseorang sudah mengenal dirinya sendiri maka dia sudah tidak jauh mengenal Tuhannya. Manusia selalu terkecoh dengan keinginannya sendiri.

Ontologi: Sebuah Penuturan Sederhana | oleh Tony Doludea | cetakan pertama, September 2017 | Penyelaran bahasa Faisal Kamandobat | Perancang sampul dan tata letak Faisal Kamandobat | gambar sampul Melanncholy (1891) karya Edvard Munch | Penerbit Quark Book | bekerja sama dengan Cak Tarno Institute (CTI) | ISBN 978-602-61928-1-3 | Skor: 3/5

Karawang, 020618 – Nikita Willy – Maafkan

#2 #Juni2018 #30HariMenulis #ReviewBuku

Dekut Burung Kukut #1

Dekut Burung Kukuk #1

Event 30 hari menulis kembali datang, artinya selamat datang kembali bulan Juni. Bulannya review buku, bulannya Sherina, bulan keenam yang selalu istimewa. Dalam 30 hari ke depan saya akan ulas 15 buku lokal 15 buku terjemahan. Mungkin tak akan sehari satu buku, karena bulan ini bertepatan Lebaran yang artinya akan kepangkas seminggu mudik yang artinya pula intensitas di depan laptop akan tergerus demi kumpul keluarga dan saudara, yang pasti tetap 30 buku akan saya pilih pilah acak untuk dapat ulas.

Buku pertama tahun ini adalah dari Penulis favorit JK Rowling, kali ini dengan nama lain.

Partikelir. Terdengar rancu, terdengar agak aneh. Mungkin karena saya terbiasa mendapat terjemahan kata ‘swasta’ untuk lanjutan kata ‘detektif’. Partikelir (/par-ti-ke-lir/), berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya adalah bukan untuk umum; bukan kepunyaan Pemerintah; bukan (milik) dinas; swasta.

Robin: “Ya, memang. Padahal banyak orang datang kemari dan mencerocos tentang apa saja yang mereka suka. Mau tidak mau, kau mendengar banyak hal dari balik ini.”

Informasi. Di era serba instan, modern, dan mudah didapat ini, informasi bukan masalah bagaimana mendapatkannya, tapi lebih mau memilah atau memilih informasi apa yang akan kita serap. Dekut Burung Kukuk menyajikan sebuah kisah di mana informasi masih sangatlah sebuah komoditi berharga, demi harga diri, nama baik dan sebuah pengakuan.

Kisahnya tentang detektif partikelir yang harus menyelidiki kasus pembunuhan seorang model. Cormoran Strike adalah detektif sewa, seorang veteran perang Afganistan yang tinggal di hiruk pikuk kota London. Ia punya masalah kompleks. Terluka batin akan identitasnya, kematian ibunya yang tak wajar (potensial untuk kisah berikutnya), frustasi drop out kuliah yang sebenarnya sangat menjanjikan hingga banting stir masuk militer. Tragedi di medan perang yang membuat luka fisik sehingga kini ia menjadi warga negara yang menyepi, otaknya yang pintar analis dan deduksi mengarahkannya jadi seorang penyelidik sewa. Kisah cintanya juga tak mulus, kekasih kuliahnya dan sampai cerita ini disajikan akhirnya putus. Charlotte yang cantik menjauh, memaksa Strike tinggal di kantor sewanya. Makin parah, tak butuh waktu lama, mantannya tunangan. Banyak jenius di luar sana dicipta nasib sial oleh tangan Tuhan yang kejam. Strike hanya salah satunya, gambaran luar yang masih bisa diselamatkan.

Seorang model ternama Lula Landry mati, diperkira bunuh diri. Setelah tiga bulan sang kakak angkat John Bristow melaporkan kasus ini ke detektif Strike untuk menyelidiki ulang karena tak puas dengan hasil investigasi kepolisian. Sang detektif yang tegap dan sedang murung keuangan dengan senang hati menerima tawaran itu. Di hari saat tawaran datang, sekretaris baru dari outsource datang. Robin yang lulusan psikologi awalnya dipandang sebelah mata, ya karena gaji kecil dan hanya disewa part-time dari Temporery Solution tapi tak dinyana perannya di buku ini justru sangat penting. Bisa jadi buku berikutnya Robin akan jadi seperti ‘Robin’ nya Batman, jadi partner bukan sekedar pembantu di balik meja receptionist.

Lula Landry adalah anak adopsi Sir Alec dan Lady Yvette Bristow. Ia dibesarkan dengan nama Lula Bristow tapi memakai nama Landry saat bergelut di bidang modeling. Kakak Lula, John sendiri adalah pengacara, nah anehnya pengacara ini tampak tak wajar saat meminta tolong ke Strike. Seakan menantang nalar, ‘bisa ga lu pecahkan kasus ini?’

Kasus ditelusur dengan logika pas, menyesuaikan era sekarang tapi tetap dengan hati dan seluk beluk penelitian wajar tanpa gadget wow ala Mission Imposible. Bagaimana Strike harus berlari dengan susah payah, bagaimana kehidupan glamour seleb Inggris dengan segala kemunafikan, bagaimana jua sebuah sapaan dan diskusi selidik dilakukan dengan standar alami dan benar-benar enak diikuti. Tak ada sesuatu yang mistis tak ada sesuatu yang memerlukan sihir, berbanding balik dengan segala Potter itu.

Novel pertama JK Rowling dengan nama pura-pura disamarkan Robert Galbraith, atau novel kedua pasca final hit Potter setelah The Casual Vacancy ini terbilang sukses. Sukses, memuaskan pembaca. Saya berhasil menebak siapa pembunuhnya bahkan sebelum ke bagian dua. Rowling terlalu banyak memberi klu, memberi banyak celah untuk menebak, terlalu mengerucut ke satu pihak. Kalau kita sudah sering menikmati cerita detektif, kita pasti makin hari makin familiar arah dan tujuan para kriminal. Dan alur serta alibi penjahat Dekut Burung Kukuk ini pernah ada dalam serial Agatha Christie. Klu yang disodorkan Rowling terlampau berlimpah di awal sehingga simpanan rapat yang seharusnya jadi esensi utama sudah pudar. Tapi justru hal-hal kecil selain tebak pembunuh yang menyenangkan diikuti. Alangkah baiknya kalian sudah membaca bukunya dulu, baru membaca ulasan ini, tapi ga papa, saya tetap mencoba tak memberi bocoran penting. Hal-hal kecil yang menggelitik itu diantaranya: kita baru tahu bahwa detektif Strike ternyata cacat fisik parah setelah mengarungi seperempat bagian. Walau back cover bilang: ‘… veteran perang yang memiliki luka fisik dan luka batin...’ tapi tak dijelaskan sakitnya apa. Lalu trivia menarik bagaimana Lula memilih nama Landry sebagai nama tenar alih-alih nama belakang keluarga juga bagus sekali, dijelaskan sederhana di tengah cerita dalam penyelidikan. Satu lagi, kematian Charlie. Entah kenapa saya ga kepikiran kematiannya yang jaaaauh hari itu ternyata menyeret sang pembunuh dalam psikologi miring. Jelas, novel detektif ini sukses banget ketimbang Casual yang adem.

Buku ini hanya tinggal tunggu waktu untuk diadaptasi ke layar lebar. Apalagi novel lanjutannya sudah tersedia pula, sangat menggiurkan produser Hollywood. Casual sendiri sudah diadaptasi ke mini seri TV, namun gaungnya redup. Mending ke layar lebar sih. Karena memang, kualitas Casual terjerebab pasca Potter. Pemilihan kisah detektif kurasa sudah sangat pas untuk keluar pakem sihir, hanya aneh saja kenapa pakai nama lain. Kalau niat disamarkan, harusnya rapat. Absurd-lah, Penulis besar mencipta kisah penyelidikan, memilih nama lain sebagai Penulis namun identitasnya terbuka. Kalau benar-benar berniat berjudi untuk respon jual, harusnya memang ditutup. Tapi kalau niat laku, Rowling menintakan kata apapun juga pasti diburu. Ahh andai identitas Robert baru diumumkan di kemudian hari, novel ini akan jadi begitu menarik sekali 20, 30, 100 tahun lagi.

Semoga seri-seri berikutnya lebih keren dan saya diberi kesempatan menikmati segalanya. #PotterFreak

Prolog – “Kenapa kau lahir saat salju membuat langit bungkuk? Andai saja kau tiba ketika dekut burung kukuk, atau saat buah-buah anggur di tandan meranum hijau, atau, setidaknya saat kawanan burung camar berkicau, sehabis menempuh perjalanan jauh yang ganas menyelamatkan diri dari serangan musim panas.

Kenapa kau mati saat bulu-bulu domba dipangkas? Andai saja kau pergi ketika buah-buah apel ranggas, atau saat gerombolan belalang berubah jadi masalah, dan lahan gandum semata hamparan jerami basah, dan napas angin berembun sangat berat sebab semua hal indah tiba-tiba sekarat.” – Christina G. Rossetti, A Dirge – Sebuah Ratapan.

1-Sungguh celaka orang yang cacat celanya menjadi ikut terkenal karena ketenarannya. – Lucius Accius, Telephus.

2-Tak asing dengan berbagai kemalangan, aku belajar meringangankan penderitaan orang lain. – Virgil, Buku 1.

3-Barangkali akan membantu kalau mengingat kembali hal-hal yang akan lampau. – Virgil, Buku 1

4-Dan yang oaling baik, sebagaimana kata pepatah adalah mengambil untung dari kegilaan orang lain. – Pliny Tua, Naturalis

5-Berbahagialah orang yang memahami sebab musabab segala sesuatu. – Virgil Georgics, Buku 2

Epilog – Tak ada sesuatu yang sempurna dalam segala-galanya. – Horace Odes, Buku 2

Dekut Burung Kukuk| by Robert Galbraith | copyright 2013, first published in Great Britain by Sphere | cover images: street scene and design by LBBG – Sian wilson | diterjemahkan dari The Cuckoo’s Calling | GM 402 01 14 0002 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | alih bahasa Siska Yuanita | alih bahasa puisi hlm 7 & 517: M. Aan Mansyur | design sampul Marcel A.W. | cetakan keempat, Agustus 2016 | ISBN 978-602-03-0062-7 | 520 halaman; 20|Skor: 4/5

Untuk Deeby yang sesungguhnya dengan ucapan terima kasih.

Karawang, 241217-010618 – Sherina Munaf – Singing Pixie
#1 #Juni2018 #30HariMenulis #ReviewBuku

Thx to Widy Satiti untuk pinjamannya. #Laz4-0Cro

My Sweet Heart #30

My Sweet Heart #30

Huray! Akhirnya catatan ke 30 dari 30 sampai juga. Sesuai target 15 buku lokal dan 15 buku terjemahan selama bulan Juni dalam event #30HariMenulis #ReviewBuku dengan berbagai kendala dan keseruan yang menyelingkupi. Dengan segala kelelahan dan berbagai kenekadan, inilah catatan akhir itu. Tulisan di mulai tepat tanggal 1 Juni di Karawang dalam laptop Meyka dan diakhiri di Palur dalam laptop Wildan. Dipost antara perjalanan mudik dan arus balik yang macet. Ditulis dalam kekhusukan Ramadhan penuh berkah. Di sela-sela usaha tetap berlomba cari pahala. Dengan optimisme ala optimis prime, bisa tepat berakhir di akhir bulan. Sampai jumpa bulan Juni 2018.

Sekali lagi dari KKPK – Kecil Kecil Punya Karya punya ponakan Winda LI. Dibeli kemarin saat ke Gramedia Solo, saat Wildan cari buku psikotest untuk persiapan tes masuk Angkatan Laut, dibeli saat saya cari novel Jack London, The Call Of Wild. Winda membeli tiga buku KKPK. Buku setipis ini dengan kecepatan santaipun seharusnya bisa diselesaikan sekali duduk. Tapi tidak, tadi pagi saya baca di Jatipuro ketika antar ibu ke Pasar Jatipuro dapat dua bab, sisanya saya baca siang ini di Palur. Draft sudah saya siapkan untuk perjalanan arus balik esok ke kota Karawang.

Untuk sebuah buku KKPK sejauh ini My Sweet Heart adalah salah satu yang terbaik. Pantaslah masuk Gold Edition: Best Seller. Kisahnya mungkin sederhana tapi untuk buku anak-anak jelas plotnya lucu. Apalagi ending-nya yang menggantung menggemaskan. Saya sendiri tersenyum menggerutu. Kata Winda, ada buku KKPK lain yang juga menarik. Sayangnya program ini sudah berakhir hari ini. Mungkin tahun depan?

Ceritanya ya tentang keseharian sang Penulis dibumbui daya khayal anak SD – Sekolah Dasar. Tiras adalah si Salim – sok alim karena dalam keseharian sekolah mengenakan hijab. Padahal ia tomboi suka main game battle dan play station. Nah hari itu Tiras ditinggal sendirian di rumah, membaca komik Detective Conan menunggu mang Kiki tapi via telpon ia ga jadi datang. Adegan mengunci pintu dua kali klik dan adegan angkat telpon yang wajarnya biasa bisa dibuat lucu. Hebat dik! Berteman akrab dengan Sarry yang di hari pertama sekolah naik angkot, turun bersama dan berlomba lari.

Nah, kisah sesungguhnya ada di di sini. Dari Kang Ginanjar, Amira tahu ada tiga orang di dunia in berwajah mirip dengan pribadi kita. Dia berujar bahwa ia tahu ada seorang anak yang mirip dengan Tiras, via rekaman HP sedang bermain bulu tangkis. Anak itu bernama Mei Ling. Dari namanya jelas keturunan Cina. Tiras lalu diajak bertemu langsung saat turnamen bulu tangkis. Keluarga ini datang terlambat, untungnya pertandingan Mei ada di akhir jadi aman. Mereka mendukung di tribun penonton, “Ayooo Mei Ling, sikat! Smash!”

Sayangnya menjelang akhir laga, Mei cidera. Wasit memberi waktu untuk pemulihan, saat itulah Tiras kebelet pipis. Tak disangka mereka bertemu langsung, saling terkejut. Dan terbesitlah ide untuk melanjutkan pertandingan, Tiras yang maju. Kesepakatan diraih, mereka bergegas bertukar kostum. Tiras yang hanya tahu pengetahuan dasar bulu tangkis mencoba melawan. Tapi karena Mei sudah leading jauh, dan sang lawan mulai mengejar akhirnya mereka ada di skor dramatis 14-14. Dengan sistem lama di mana sang pemenang adalah yang pertama cetak skor 15, pertandingan dibuat dramatis dan yak! Betul Tiras palsu menyudahi perlawanan Erwin dengan jurus crazy ball.

Kesepakatan bertukar tempat ternyata tak sampai di sini. Mereka setuju, sampai hari Minggu mereka akan menjalani kehidupan baru. Tiras di rumah Mei bersama bunda Fu Jin Siao dalam kehidupan kelas atas yang gemerlap. Rumah bak istana, mobil Mercedez Benz dengan sopir pribadi, sekolah elite di mana ketika masuk dengan sidik jari, dan kehidupan orang kaya lain di mana koneksi internet bisa diakses setiap saat. All hail game online!

Sementara Mei hidup dalam keseharian sederhana di mana setiap hari adalah keseruan. Pulang sekolah main lumpur, membaur dengan teman-teman tanpa tekanan berlebih dari orang tua. Konflik baru muncul saat di sekolah Tiras sangat kurang dalam aljabar, sementara Mei kurang dalam pelajaran bahasa. Mei Ling sampai dapat julukan Ratu Buta Bahasa dari bu guru Esti, sementara Tiras dengan julukan salim. Penyesuaian diri itu awalnya sulit, tapi dengan segala keseruan khas anak-anak tentu saja dapat teratasi. Tapi tak sampai di sana saja, karena akan ada masalah lain yang akan menghadang mereka. Bisakah kali ini diatasi? Kisah ditutup dengan sebuah informasi dari Mang Ginanjar, sesuatu yang unik. Renang?

Sampulnya unik. Ilustrasi cantik Mei Ling. Bak sebuah gambar kartun, cantik sekali Mei yang mengacungkan dua jari ‘peace’ sementara Tiras memberi kode telunjuk di depan mulut yang berarti ‘sssttt…’ dengan kombinasi cerita bagus, ilustrasi oke jelas ini termasuk KKPK yang sukses. Ayoo Winda cari lagi buku Amira dan saya numpang baca lagi. Lho. Hehehe…

My Sweet Heart | oleh Amira Budi Mutiara | ilustrasi isi Agus Willy | ilustrasi sampul Nur Cililia | penyunting naskah Dadan Ramadhan | penyunting ilustrasi Iwan Yuswandi | design isi dan sampul tumes | pengarah design Anfevi | layout dan setting isi Tim Pracetak | Penerbat DAR! Mizan | Cetakan III, Maret 2017 | 116 hlm.; illust.; 21 cm | ISBN 978-602-420-170-8 | Skor: 3,5/5

Palur, 290617 – Pink – Just Give Me A Reason – Subuh dan diposting di Gemuh kota Kendal

#HBDSherinaMunafKu #27Tahun

#30HariMenulis #ReviewBuku​

Heroes Of The Valley #2

Gara-gara keseruan trilogi Bartimaeus, saya memburu buku-buku Jonathan. Sang Pahlawan adalah buku pertama yang saya baca setelah petualang sang jin. Hasilnya adalah ketakjuban yang semakin menjadi. Jonathan jelas telah menjadi salah satu penulis besar dekade ini. Dengan detail yang mengagumkan, sang Pahlawan membuat negeri imajinasi-nya sendiri. Sebuah genre favorit saya.
Halli sangat suka mendengarkan kisah-kisah pertempuran lama, ketika lembah masih merupakan tempat liar, dikepung monster-monster Trow yang haus darah. Halli kecewa sekarang semua orang hanya sibuk bertani. Tapi ketika perseteruan lama kembali berkobar, ia melihat kesempatan untuk beraksi bagai sang Pahlawan pujaannya. Bersama Aud, gadis ceroboh dan keras kepala seperti Halli yang ternyata malah menemukan kebenaran legenda, lembah dan diri mereka sendiri.
Dunia imajinasi milik Jonathan bernama Valley (lembah) yang dihuni oleh 12 klan. Mengingatkanku pada kisah Game of Thrones dengan skala kecil. Di sang Pahlawan nantinya memang ada pertempuran perebutan kedaulatan. Namum memang skala macam berkelahi antar kampung. 12 klan dengan segala petanya dibuat dengan bagus sehingga ada tuntunan dalam membayangkan arah cerita. Dengan sudut pandang Halli Sveinsson yang begitu memuja Pahlawan penetap Svein bersama 11 ketua klan lainnya dahulu kala berhasil mengusir monster Trow keluar dari lembah. Halli begitu memujanya, cerita turun-temurun itu ternyata banyak modifkasi karena setiap klan berkisah ketua klan merekalah yang memimpin pertempuran. Awalnya, biarlah kesalahpahaman masa lalu disingkirkan dan dikubur bersama nenek moyang di bukit.
Konflik dimulai saat seluruh klan berkumpul untuk mengajakan jamuan, Svein menjadi tuan rumah. Paman Halli, Brodir Sveinsson terbunuh. Halli yang menyaksikan kejadian tersebut murka, terlebih ia sangat mengagumi pamannya yang sangat imajinatif. Olaf Hakonsson kabur, jamuan tersebut menjadi tragedi yang bisa jadi akan membuat peperangan. Arnkel Sveinsson, ayah Halli tak bisa berbuat banyak. Pembunuhan itu dalam pengadilan hanya menghukun klan Hakonsson memberikan tanah kepada klan Svein. “Tanah bukan hal tak bisa diremehkan Nak, dari situlah kekayaanmu bersumber.” Halli tak terima, nyawa harus dibalas dengan nyawa. Halli yang bertubuh kecil, suka berkhayal, dan sangat ingin menjadi seperti Svein the Great bertekad membalas. Ia berangkat untuk membunuh keluarga Hakonsson di barat seorang diri.
Perjalanan panjang nan berliku. Dari peta kita tahu, klan Hakonsson ada di ujung barat dekat klan Orm dan Arne dan berbatasan langsung dengan laut. Perjalanan yang akan dikenang di masa depan atas keberanian untuk menegakkan kebenaran. Saya sendiri takjub atas tekad dan semangat pemuda kerdil tersebut. Sebuah misi mustahil tersebut menemui titik-titik keberuntungan yang membuat Halli terus selamat dan ternyata bisa menjungkirkan klan Hakon, membakar rumah mereka dan lalu kabur dengan senyum kemenangan. Tentu saja, klan Hakon murka sehingga tak peduli bagaimana caranya akan membalas Svein. Halli yang kabur, secara tak sengaja ketemu Aud temannya dari klan Orm. Berdua mereka menyusun strategi bertahan sampai akhirnya perang besar tak dihindarkan. Pertarungan besar antara klan Svein dan Hakon tersebut menyeret klan lainnya untuk menentukan pilihan kemana mereka berpihak. Pertempuran dahsyat yang membuka luka lama.
Heroes Of The Valley | Sang Pahlawan | By Jonathan Stroud | Copyright 2009 | Alih bahasa Popy Damayanti Chusfani | GM 322 01 11 0007 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Cetakan I, April 2011 | 488 hlm; 20 cm | ISBN 978-979-22-6959-9 | Untuk Jill dan John, dengan penuh cinta | Skor: 4/5
Karawang, 020915 – Pening never ending
#30HariMenulis #ReviewBuku #September2015

Pulau Dokter Moreau #1

image

Dari orang yang memukau kita lewat Jurasic Park, H.G Wells kembali membuatku terpesona. Sesaat setelah selesai membaca Pulau, saya tertidur dan mimpi buruk. Manusia-Binatang tersebut mengacaukan pikiran teman-teman kerja. Di kantor rusuh, kelakuannya mirip yang digambarkan Wells. Meja dilempar, kursi dibanting, kertas berhamburan, saling pukul, saling hujat, seram. Semua terlihat di CCTV, saat diintrogasi sebuah nama disebut dan dirinya seakan linglung di hadapan petugas.  Seperti Manusia-Binatang yang malu-malu mengucapkan hukum, terdakwa terbata-bata mengakui tindakannya. Saat terbangun saya begidik ngeri, membayangkan pikiran Prendick yang diombang-ambing nasib sendiri di sebuah kapal di tengah samudra. Aneh bin ajaib, nama seseorang yang dipanggil di mimpi tersebut, hari itu dipanggil HRD lalu dikeluarkan dari Perusahaan karena sebuah kasus. Wells effect…
Cerita dibuka dengan sebuah pengantar yang menyebutkan pengakuan Charles Edward Prendick melalui surat. Sang keponakan membeberkan narasi panjang tentang pamannya yang hilang selama 11 bulan di laut. Menumpang kapal Lady Vine yang hancur berkeping karena bertabrakan dengan kapal tak berawak. Setelah terombang-ambing di laut lepas tanpa harapan, Predick diselamatkan kapal Ipecacuanha yang membawa dua dokter ahli bedah anatomi dan manusia-manusia aneh mengerikan. Lalu kapal tersebut menurunkannya di sebuah pulau tak bernama, di sanalah kisah ini bermula. Dua dokter gila ekperimen mencipta monster-monster untuk dididik.
Prendick bersama dokter Moreau dan dokter Montgomery hidup bersama Manusia-Binatang. Mahkluk yang dicipta melalui penggabungan berbagai jenis binatang. Mereka dilatih dan diajarkan layaknya manusia. Moreau sendiri adalah ‘Tuhan’ bagi Manusia-Binatang. Mereka harus berjalan dengan dua kaki. Dilarang makan daging mentah, dilarang minum langsung ke sumber air, dan dididik ritus-ritus agama. Membayangkannya saja sudah mengerikan. Namun seperti yang kuduga, bencana terjadi. Insting buas kebinatangan itu kembali. Pemberontakan muncul sampai ada yang meninggal. Lalu mereka kembali mempertanyakan hukum kebenaran manusia. Predick terjepit di dua pilihan sulit. Bertahan di pulau itu dengan konsekuensi gila dan terbunuh atau nekat kembali ke lautan lepas dengan bekal sekedarnya?
Pulau Dokter Moreau | by H.G Wells | Penerjemah Aryo Swastika | Penerbit Quills Book Publisher Indonesia | cetakan 1, Agustus 2005 | ISBN 979-999-850-6 | 264; 120 x 180 mm | Skor: 5/5
Karawang, 010915 – Cuci baju yang banyak
#30HariMenulis #ReviewBuku #September2015

The Catcher In The Rye #30

Featured image

‘Mengapa buku ini disukai para pembunuh?’ adalah kalimat yang ada di back-cover. Entah apa maksud sesungguhnya, biasanya sampul belakang isinya sinopsis cerita yang akan dijual, namun di novel bersampul putih ini hanya berisi satu kalimat yang membuat penasaran. Inilah catatan ke 30 dari 30 review buku yang saya sajikan di bulan Juni 2015 ini. Tak terasa, 30 buku rasanya sangat kecil, ratusan masih ngantri. Dan kebetulan buku ke 30 ini baru saja saya baca, fresh from the oven! Bukunya cetakan ketiga bulan Juni dibacanya bulan Juni 2015. Cepat betul. Sungguh!

Apa yang bisa saya sampaikan tentang Holden Vitamin Coulfield? Kalian harus membaca sendiri untuk menyelami isi kepala si orang aneh ini. Cerita dibuka dengan sedih, si Holden ini dikeluarkan dari sekolah untuk ketiga kalinya. Untuk orang normal, tentunya itu nasib malang, namun bagi Holden itu biasa saja. Kisah digulirkan tanpa bab, hanya dipecah per Angka. Tanpa daftar isi, tanpa pengantar. Membuktikan bahwa JD Salinger memang tak mau pusing-pusing aturan baku. Sepanjang nyaris 300 halaman kita akan mengikuti perjalanan Holden menjelang Natal di hari Rabu. Dari sudut pandang orang pertama, kita akan dijejali Ke-AKU-an-ku. Menganggap semua orang di kota sinting, kecuali dirinya. Stress betul. Sungguh.

Di sekolah Spencer Holden menganggap, “semakin mahal uang bayaran satu sekolah semakin penuh pula sekolah itu dengan maling – serius aku tidak bercanda.” Ini jelas hanya pemikiran Holden yang memandang sinis dunia. Memang seakan Holden ini pembawa petaka. Tim anggar Spencer gagal bertanding karena peralatannya ketinggalan. Dari 5 mata pelajaran, Holden hanya lulus satu di Bahasa Inggris. Sisanya busuk, dia juga ga niat remidi. Seenak udele dewe. Sebelum pergi dari sekolah terkutuk itu, Holden ingin pamit ke guru Sejarahnya yang sudah tua. Lalu bermasalah dengan teman sekamarnya. Pergi dengan luka. Selanjutnya dari malam Minggu sampai menjelang Natal itu dia menggelandang dari satu hotel ke klab malam, ke gedung broadway untuk nge-date dengan Sally, ke kedai roti, ke stasiun, ke kebun binatang, ke museum, ke mana saja termasuk pulang untuk menemui si bungsu Phoebe.

Buku aneh betul ini ya. Sungguh. Menakutkan sekaligus mencengangkan. Segala luka berdarah dan sebagainya membuat aku kelihatan jantan. Semua orang tolol benci dipanggil tolol. Holden baru enam belas tahun, coba pesan minuman keras. – aku mengucapkan pesananku secepat-cepatnya, karena kalau kita terbata-bata dan salah-salah kata, mereka langsung berfikir bahwa kita masih di bawah dua puluh satu tahun.

Kisahnya sendiri tak tuntas, apa yang terjadi berikutnya masih tanda tanya. Holden ini tipikal orang yang suka complain, suka ngeluh, suka marah (dalam kepala) namun ternyata pecundang sejati. Satu lagi, dia cinta anak kecil. Allie adiknya yang sudah meninggal selalu diagung-agungkan sebagi satu-satunya orang normal. Lalu cintanya pada si Phoebe sungguh besar. Adegan saat dia menangis ketika menerima uang itu salah satu adegan paling menyentuh sepanjang hari. Walaupun begitu tetap saja Holden iki hanya lantang di kepala. Seperti pas adegan dia ingin keluar dari kamar lalu turun dari lift ketemu sang penjaga lalu menembaki sampai mampus. Cih, hanya angan kosong seorang pecundang. Ada lagi bagian yang bikin kesal, saat dia tanya kemana perginya bebek-bebek di kolam taman saat danau membeku. Dimana ikannya kalau air di sana menjadi es. Itu bagian yang bikin gregetan. Setuju sekali sama supir taksinya. Holden memang perlu dilabrak.

Novel ini menawarkan nihilitas. Lagi-lagi nihilitas yang berkualitas. Catat teman-teman ya, sebuah novel kosong tanpa menggurui ternyata banyak yang bagus. Intinya disajikan dengan renyah sehingga pembaca dipaksa terpaku melahap terus. The Catcher sendiri saya baca sehari kelar, menabrak jam malam saat liburan akhir pekan. Namun saat selesai saya masih bertanya juga, kenapa buku ini disukai pembunuh? Apa karena isi kepala Holden yang melalangbuana ga jelas itu? Apa karena rebel with a cause nya? Ngajak berfikir out of the box? Entahlah.

Satu lagi catatan menarik, editor novel terjemahan ini adalah bung Yusi Avianto Pareanom, orang yang menelurkan kumpulan cerpen yang unik yang beberapa bulan lalu kubaca. Setelah kuamati gaya bahasanya mirip JD Salinger. Edan betul. Sungguh!

The Catcher In The Rye | by J.D Salinger | copyright 1945, 1946, 1951 renewed 1973, 1974, 1979 | Penerbit Banana | alih Bahasa Gita Widya Laksmini | Cetakan ke 3, Juni 2015 | 14 x 21 cm, iv + 296 hlm | ISBN 979-99986-0-3 | Skor: 5/5

Karawang, 300615 – SIM day

#30 #Juni2015 #30HariMenulis #ReviewBuku

A Game Of Thrones: Perebutan Takhta #29

image

“Atas nama Raja Robert dan dewa-dewa yang kalian sembah, aku meminta kalian menangkap lelaki ini dan membantuku mengembalikannya ke Winterfell untuk menunggu hukuman raja”
Sampai dengan akhir bulan Juni, dialog tersebut adalah yang terbaik dari semua buku yang saya baca tahun 2015. Sepertinya sederhana, namun dibalik itu semua. Segalanya (mulai) menjadi kacau. Karena setelahnya, tertulis, ‘Catelyn tak tahu mana yang lebih memuaskan: bunyi puluhan pedang yang dihunus bersamaan atau ekspresi di wajah Tyrion Lannister’.
Saya menerima novel tebal ini pada hari Jumat, 13 Maret 2015 saat pulang kerja. Terkejut, novelnya datang lebih cepat dari yang saya kira. Targetnya seminggu setelah terima akan saya review, namun sayang aktualnya tak sesuai. Sabtu – Minggu lembur, persiapan audit, pulang malam, lalu closing payroll membuatku sedikit susah mengatur jadwal baca. Semua buku saya singkirkan dulu, Jungle Book, 1984, The Screwtape Letters sampai The Sound and the Fury. Semua saya sisihkan demi buku ini. Saat akhirnya saya selesai baca saya malah sakit kemudian buku ini terletak begitu saja di rak. Satu hal yang pasti, kecepatan baca saya sudah ga seperti saat lajang. Sekarang saya tiap hari pastinya disibukkan Hermione yang kini sudah berumur 10 bulan. Saya hanya menikmati kesendirian dengan buku saat dia terlelap dan itu pastinya di tengah malam sampai subuh. Saat anak-istri sudah tidau dan tengah malam saya sendirian dengan buku adalah waktu yang sangat berharga. Dengan segala persiapan untuk mendapatkan kepuasan maksimal dalam membaca ‘GoT’ saya rasa setimpal yang saya dapat. Sebelumnya perlu diketahui, saya menutup segala informasi GoT dari segala sumber agar tak ada bocoran yang hinggap di kepala, ini sungguh sangat menyiksa. Saya hanya tahu GoT sukses besar di HBO. Dengan kesabaran tingkat tinggi, akhirnya penasaran itu terbayar sudah dengan terjemahan ini. Yah, walau tentu saja belum lunas karena bersambung. Berikut review saya:
A Game of Thrones (GoT): A Song of Ice and Fire #1, Perebutan Takhta. Cerita diambil dari sudut pandang beberapa karakter. Cerita dibuka dengan sebuah prolog, sebuah pengejaran Garda Malam terhadap orang-orang wilding. Tragedi terjadi, pengejaran gagal dan berujung petaka. Petaka yang disimpan sampai akhir cerita buku #1 ini. Karena setelahnya kita akan fokus pada konflik antar klan. Ada 5 klan utama yang memainkan peran:
1. Klan Baratheon, simbol: Rusa jantan, latar: emas. Semboyan: “Yang kami miliki adalah amarah”
2. Klan Stark, simbol: direwolf, latar: putis es. Semboyan: “Musim dingin akan datang”
3. Klan Lannister, simbol: singa emas, latar: merah tua. Semboyan: “Dengar Raunganku”
4. Klan Tully, simbol: ikan trout melompat, latar: perak. Semboyan: “Keluarga, Kewajiban, Kehormatan yang dijunjung tinggi”
5. Klan Targaryen, simbol: naga kepala tiga, latar: hitam. semboyan: “api dan darah”
Buku pertama ini menggunakan simbol kepala direwolf yang terpenggal. Dengan warna latar merah menyala dan tulisan putih khas salju. Bukan gambar sembarangan. Entah kalian memihak siapa, ‘Perebutan Takhta’ kurasa lebih condong ke klan Stark. Memberi daya kejut yang luar biasa di akhir yang pilu. Buku dimulai dengan sudut pandang Bran Stark, bersama saudara-saudaranya diajak melihat hukuman mati. “Kalau hendak mencabut nyawa orang, kita memiliki kewajiban moral untuk menatap matanya dan mendengar kata-kata terakhirnya. Dan kalau kita tak sanggup, barangkali orang itu tak pantas mati.” Sepulang dari eksekusi, mereka menemukan sukumpulan anak direwolf yang terlantar di dekat jembatan. Hewan yang awalnya dikira mitos tersebut diambil dan dipelihara oleh masing-masing anak Stark.
Lalu cerita fokus ke keluarga Stark. Eddard sang ayah adalah karakter berwibawa yang memimpin klan dengan bijak. Catelyn adalah istri yang selalu menyeimbangkan kebijakan klan. Anak-anak Stark: Bran yang pemberani yang hobi manjat. Jon Snow si anak haram. Robb si sulung yang mulai diajarkan berperang, Arya yang juga pemberani dan the lady Sansa. Semuanya memberikan kontribusi cerita yang pas. Saat sepertinya ini adalah keluarga yang sempurna, tragedi dimulai.
Raja Robert meminta Ned ke selatan untuk menjadi Tangan Kanan raja. Tentu saja Ed menolak ajakan teman lama tersebut, namun karena ini perintah raja mau ga mau Ed harus berangkat. Sebelum berangkat nasib sial menghampiri, Bran yang tak pernah jatuh dari hobi manjatnya malah ‘jatuh’. Kita tahu sebab jatuhnya karena saat kejadian diceritakan dari sudut pandang Bran. Namun siapa yang mendorong-nya disimpan rapat sampai pertengahan. Sebagai ibu, Catelyn larut dalam duka yang mendalam. Setelah Ed berangkat ke selatan, Jon bergabung dengan Garda Malam ke benteng utara, klan Stark dipimpin Robb yang masih sangat muda.
Keseruan dimulai. Raja Robert pamit. Takhta goyah. Seluruh klan berlomba merebutnya. Kepada siapa jabatan tertinggi tersebut dipegang tak akan kalian temukan. Karena buku setebal nyaris seribu ini hanya permulaan. Bayangkan, tulisan kecil-kecil, tebal ini hanya permulaan kisah. Hebat sekali Sir George RR Martin ini. Salah satu penulis besar abad ini!
“aku berani bersumpah, menduduki takhta ternyata seribu kali lebih berat daripada merebutnya” – Raja Robert. (halaman 40)
“kematian adalah akhir dari segalanya, sementara kehidupan penuh dengan kemungkinan”  – Tyrion Lannister (halaman 90)
“kebanyakan orang lebih suka menyangkal kebenaran yang menyakitkan daripada menghadapinya” – Tyrion Lannister. (halaman 129)
“Kenapa kau ingin menunggang kuda tua yang bau sampai badanmu sakit dan bersimbah keringat, padahal kau bisa duduk santai beralas bantal-bantal bulu dan makan kue bersama Ratu” – Sansa Stark (halaman 148)
“Perkataanmu melukaiku. Aku pribadi sejak dulu menganggap keluarga Star menjemukan, tapi Cat sepertinya sudah terpikat padamu, untuk alasan yang tak dapat kupahami. Aku akan mencoba menjagamu tetap hidup demi dia. Tugas yang konyol, terus terang saja, tapi aku tak pernah menolak permintaan istrimu. – Littlefinger (halaman 214)
“Rakyat bedoa untuk hujan, anak-anak yang sehat dan musim panas yang tak pernah berakhir. Mereka tidak peduli jika para bangsawan sibuk berebut takhta, selama mereka dibiarkan hidup tenang” – Ser Jorah (halaman 252)
“Cerita bisa menunggu tuan muda, kapan pun kau kembali kepada mereka, mereka selalu ada di sana. Tamu tak sesabar itu, dan kerap kali mereka membawa cerita mereka sendiri.” – Nan Tua (halaman 262)
“Kau belum juga paham, Lord Eddard. Tidak mempercayaiku adalah hal yang paling bijaksana yang kau lakukan sejak turun dari kuda” – Littlefinger (halaman 280)
“Para septon berkhotbah tentang tujuh neraka. Mereka tahu apa? Hanya orang yang pernah terbakar yang tahu seperti apa rasanya neraka” – Gregor (halaman 331)
“Mereka bilang keindahan malam memudar saat fajar, dan pikiran kala mabuk sering kali terlupakan ketika pagi datang.” – Ser Barristan (halaman 335)
“Semua lorong mengarah ke suatu tempat. Jika ada jalan masuk pasti ada jalan keluar. Rasa takut mengiris lebih dalam ketimbang pedang” – Arya stark (halaman 377)
Dan setelah kau mengetahuinya, lalu apa? Beberapa rahasia lebih aman jika tetap tersembunyi. Beberapa rahasia terlalu berbahaya untuk dibagi, bahkan dengan orang-orang yang kau cintai dan kau percaya – Ned Stark (halamana 394)
“Kebodohan dan keputusasaan sering kali sulit dibedakan” – Maester Luwin (halaman 453)
“Sebagian orang buta huruf meremehkan tulisan, sebagian lagi punya keyakinan takhayul terhadap kata yang tertulis seakan-akan itu semacam sihir” – Mord (halaman 464)
“Semakin tua kebutuhan tidurku semakin sedikit, dan aku sudah sangat tua. Aku sering melewatkan setengah malam bersama hantu-hantu, mengenang masa 50 tahun yang lalu seakan-akan baru terjadi kemarin.” – Maester Aemon (halaman 501)
“saat memainkan perebutan takhta pilihannya adalah menang atau mati, tak bisa setengah-setengah.” Cersei (halaman 545)
Dia berpura-pura sedang mengejar kucing hanya saja dia kucingnya sekarang. Dan jika tertangkap mereka akn membunuhnya. – Arya Stark (halaman 600)
Saat tidur dia bermimpi: mimpi gelap dan meresahkan tentang darah dan janji yang tak ditepati. Saat terjaga tak ada yang dapat dilakukannya selain berfikir. Dan pikirannya saat terjaga lebih mengerikan dibanding mimpi buruk. – Eddard stark (halamn 705)
Lelaki ini membawakun ke bawah bintang-bintang dan memberi nyawa pada anak di dalam tubuhku. Aku tak akan emninggalkannya.” – Dany (halaman 801)
“Hodor!” – Hodor (Amazing Tale all of time)
A Game of Thrones: Perebutan Takhta | by George RR Martin | copyright 1996 | Penerbit Fantasious | penerjemah Barokah Ruziati | cetakan pertama, Maret 2015 | XVI + 948 hlm; 13×20,5 cm | ISBN 978-602-0900-29-2 | yang satu ini untuk Melinda | Skor: 5/5
Karawang, 300615 – bukber NICI di KB
#29 #Juni2015 #30HariMenulis #ReviewBuku