Selalu ada Tradisi Makanan yang tak Diketahui Orang

Aruna dan Lidahnya by Laksmi Pamuntjak

“Kuah babat karena memberi bodi dan aroma, kacang kedelai karena membuat ekstra renyah, timun karena menambah asam dan segar.”

Karena saya sudah melihat filmnya, apa yang dilakukan dan diucapkan Aruna sudah tercetak wajah Dian Sastrowardoyo. Apalagi gerak-geriknya mirip, atau perasaanku saja yang mengikuti? Entahlah. Ini novel dengan citarasa makanan melimpah, pemakaian kata lezat pada tempatnya. Perhatikan, “Sebuah dunia yang telah terbentuk lama sekali, sebelum musik, sajak, dan gambar, dan yang pagi malam mengisi penuh kepalanya, mengisi dan menaungi.”

Secara cerita mungkin agak kurang, kalangan atas sedang kerja dan makan-makan, motif dan pengembangannya yang kurang relate sama kebanyakan kita, atau kurang pas sama jelata. Pejabat pemerintah, dan lingkarannya melakukan kejahatan, Aruna terseret pusaran, dan begitulah ia mengikuti decak kenikmatan makanan dari kota ke kota. Keistimewaan buku ini jelas, cara penyampaiannya yang luar biasa. Lezat di tiap lembarnya. Memang ini hidangan istimewa, nikmatnya berlapis-lapis. “Selalu ada tradisi makanan yang tak diketahui orang.”

Aruna Rai adalah ahli wabah dengan spesialisasi Flu unggas, diperbantu dalam kasus flu burung yang melanda Indonesia. Bekerja sebagai konsultan epidemiologi, menyebut diri sebagai ‘Ahli Wabah.’ Ada delapan kota yang akan dikunjunginya, kota-kota yang mendapati positif pasien flu burung, dicek dan analisis untuk kemudian dilaporkan ke bosnya. Apakah perlu mendirikan pabrik vaksin? Apakah perlu mencegah penularan dengan proteksi lebih tinggi. Dan tentu saja semua itu perlu biaya. Satu kasus di delapan kota, terjadi secara serentak. Bahaya wabah masih jauh di bawah tingkat siaga? “Sebuah virus akan akan pernah takluk, ia kecil, ia sabar, ia mengganda dalam diam. Tak ada yang menghitung umurnya, tapi ia tak pernah lupa. Suatu hari ia akan datang, menyerang, dan kita tak berdaya menangkalnya.”

Dalam tim Aruna sama lelaki yang sejatinya nyebelin, tapi akrab dan mencoba masuk lingkaran pertemanan. Farish mungkin bukan cowok idealnya Aruna, tapi mereka satu tim dan kebersamaan mencipta hubungan lebih lanjut.

Sejatinya dua sobat kental Aruna-lah penggerak cerita: Bono yang seorang chef lulusan luar negeri yang obsesif sama makanan. Ia begitu hebat menganalisis kualitas makanan, hapal sama kota-kota dengan kekhasan sajian. Manusia yang hidup untuk optimism, harapan, sihir resep yang mengejutkam, retoran yang tak terlupakan, kisah yang tak selesai, kata-kata yang tak terucapkan, malam yang membuka alam setengah mimpi. Bono a.k.a. Johannes Bonafide Natalegawa, chef muda berbakat internasional. “Tak hentinya mengumpulkan fakta remeh temeh tentang makanan tapi yang jika dilontarkan sesekali dalam sebuah pembicaraan membuat sang pembicara semakin menarik dan misterius.”

Satu lagi, si cantik Nadezhda Azhari. Penulis kuliner yang tak mau menikah. Memiliki hubungan dengan lelaki bersuami dari Eropa. Dan karena seorang penulis, hubungan gelap itu sama penulis juga. Suka sama prinsipnya, “Dia tidak pernah menonjolkan kelebihannya terhadap orang-orang yang tak dikenal baik.”

Keduanya turut serta tim Aruna, sekaligus jalan-jalan ke tempat makan. Kuliner ke delapan kota, dari Surabaya, Pamekasan, Singkawang, hingga Pontianak. Dengan dalih menemukan resep makanan lokal yang otentik. Dalam pelaksanaannya, banyak hal meragu, tampak sesuatu yang salah, konspirasi macam apa ini? Dan pada akhirnya Aruna harus mengambil tindakan, dalam keragu-raguan, ketetapan hati harus diambil.

Ada beberapa kalimat panjang yang bagus untuk di-sher. Salah satunya: “Yang melihat poster Macedonia dan bukan membayangkan kemiskinan dan musim kemarau berkepanjangan melainkan sepiring salad dengan mentimun dan tomat termontok di jagat raya, yang melihat poster Venezia dan membayangkan bukan air yang menyapu kaki dan dengkul, melainkan aneka hasil laut yang berlimpah-limpah di Pasar Rialto, manusia yang tahu bahwa mereka bahagia saat lidah mereka bersentuhan dengan pandan dan gula Jawa, saat hidung mereka menghirup gulai yang lekat.”

Atau kesimpulan yang bagus, bagaimana setiap resep kuliner selalu ada yang hilang tak tercatat. Pahlawan lokal. “Akan sekian banyak pahlawan kuliner yang tak tercatat, yang tak mungkin tercatat karena begitulah budaya rakyat, yang namanya tertelan oleh roda waktu dan perputaran zaman, yang resepnya entah bagaimana kekal dalam tafsir beratus beribu tangan.”

Kesamaan para karakter selain obsesi makanan adalah, di usia matang 30-an semuanya memilih lajang. Aruna yang galau di angka 35, merasa gendut dan tak pede. Bono yang kalau dilihat kaca mata umum, sudah mapan, ia terlalu fokus sama karier dan bisnis makanannya. Dan Nadez yang berpendidikan luar, menikmati hidup sampai keblabasan sehingga memilih tak menikah.

Ada satu lagi, bagian yang mengingatkanku pada novel-novel John Grisham. Di mana seorang pekerja, muak sama kehidupan, kesal sama rutinitas sehingga ingin kabur dari segalanya. Nah, di sini Aruna sempat terbesit. “Mungkin bisa aku minggat saja setelah investigasi ini selesai, ke Lima, ke Luanda, ke Lesotho, pokoknya ke kota yang tak akan pernah terlintas dalam benak siapa pun, dan suatu saat, lima tahun lagi, baru pulang ke Jakarta untuk menata ulang hidupku.” Wajar sih, kita semua bosan. Dan impian liar sejenis itu selalu ada.

Hingga tercipta tragedi. Kucatat ada tiga masalah pelik di akhir. Pertama tentang Leon sang mantan yang tragic, bagaimana menanggapi seorang yang kini bukan seseorang lagi di hatinya? Sedih sekali, lenyap jadi debu dan tak bisa menziarahi secara langsung. Kedua, keputusan bosnya yang berdiri di tengah-tengah. Kasus ini pelik, korupsi tak boleh dimaafkan. Dan rasanya berat saat tahu, temanmu, sekaligus bosmu terjerat. Kamu ada di tengah-tengah dan bimbang. Ketiga, keputusan akhir Aruna menambatkan hati. Ia malah mengalah, ia menyerah pada jiwa lelaki yang sejatinya tak klop 100%. Namun lelaki ini siap mendampingi, bahkan saat ke pulau Nusa, bisa menyediakan waktu dan tempat untuk bernaung. Terkadang memang kita harus mengalah pada keadaan. “Hal-hal yang kita lakukan dan hal-hal yang kita impikan. Aku masih ingin hidup di dalam keduanya.”

Novel pertama Laksmi Pamuntjak yang kubaca, keren banget. Pemilihan kata, nyaman dan puitik. Salah satu novel lokal dengan liukan kata terkeren yang kubaca. Cerita mungkin agak kurang, sebab memainkan orang-orang kalangan atas yang tak relate sama jelata. Pilihan dengan makanan sebagai tunggangan utama, baru pilihan bagus. Berapa banyak sih novel dengan citarasa makanan sebagai tema dicipta di Indonesia? Tak banyak. Apalagi dibuat dengan gemuruh diksi sekeren ini. Pengalaman pertama yang akan mematik karya-karya berikutnya untuk dilahap. Next, Amba?

Aruna dan Lidahnya | by Laksmi Pamuntjak | GM 201 01 14 0032 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Desain sampul SOSJ Design Bureau & Consultancy | Ilustrasi sampul Barata Dwiputra | Foto Pengarang Bona Soetirto | ISBN 978-602-03-0852-4 | Skor: 4.5/5

Buat D.S.K. (1968-2013)

Karawang, 210822 – 070922 – Miles Davis – Once Upon a Summertime

Thx to Derson S, Jkt

Mati, Truk, Menggeliat Keluar, Lompat, Lari, Seseorang, Pesan, Polisi, Obor Las

Room by Emma Donoghue

“Dan tempat-tempat itu juga nyata, seperti ladang dan hutan dan pesawat dan kota-kota…” “…” | “Tak mungkin. Mana mungkin semua itu muat?” | “Di sana, di luar.” | “Di luar dinding tempat tidur?” | “Di luar kamar.”

Buku dibuka dengan kutipan bagus yang mewakili sudut pandang Jack, sang anak.

Anakku: Kesukaran yang kumiliki. | Sementara kau tertidur, hatimu tenteram; | Kau bermimpi dalam rimba kesedihan; | Dalam malam berselimut merah tua; | Dalam biru kelam kau berbaring geming dan bersinar. Simonides (abad 556-468 SM), “Danae” (terj. Richmond Lattimore)

Lima tahun untuk selamanya. Mengubah segala hal yang selama ini ditempa. Buku ini, bisa jadi renungan ilmu psikologi. Lingkungan membentuk seseorang. Kita dicipta oleh keadaan sekitar, pendidikan sekitar. Makanya, yang kaya makin kaya sebab diolah oleh pendidikan dan pergaulan orang kaya, begitu juga yang miskin, pola pikirnya tetap miskin. Ya, pahit, tapi nyatanya seperti itu.

Novel dan film (baca di sini ulasannya) sama saja, bagus semua. Dibuat dalam dua babak utama, di dalam kamar dan adaptasi di kehidupan sesungguhnya. Dengan cerdas mengambil sudut pandang seorang anak lima tahun yang polos dan menggemaskan. Pendidikan itu penting, tapi lingkungan jauh lebih penting. Bagaimana sifat dan karakter dibangun di ruang sekecil itu. Dari lahir dan pada akhirnya kabur, bagaimana Jack beradaptasi sama hidup baru. Polos dan tampak sangat menyentuh. Seperti filmnya, menurutku bagian pertama luar biasa. Keren abnget, ide memenjara dan dengan segala keterbatasannya. Bagian kedua menurut drastis. Itulah mengapa orang suka drama pahit, sebab cerita pahit selalu mematik penasaran. Nah, untungnya, ending buku ini bagus banget. Pamit itu menampar teori-teori sosiologi, mengukuhkan betapa sempit dan lega itu sangat subjektif.

Kisahnya tentang Ma yang dikurung di kamar. Ia adalah korban penculikan, sang pelaku kita sebut saja namanya Nick Tua. Diculik sejak masa sekolah, dan kini ia sudah tujuh tahun berlalu. Diculik dijadikan budak seks, hingga melahirkan anak. Anak pertama meninggal dunia, dan dikuburkan di kebun belakang. Anak kedua, kini berulang tahun kelima. Jack, yang polos dan sangat menginspirasi.

Mengambil sudut pandang anak lima tahun, semua tampak penuh tanya. Bagaimana mendidik anak, itu sangat berpengaruh. Ma, dikurung di ruangan dengan kunci digital di bekalang rumah. Berbagai percobaan kabur sudah dibuat. Sedih sekali, menempatkan diri sebagai korban kekerasan seksual. Nick Tua, tiap beberapa malam mendatangi, bercinta dan Jack diminta sembunyi di almari.

Setiap minggu, ada traktiran. Artinya Ma dan Jack meminta barang, dan akan dicarikan. Dari obat, mainan, makanan, hingga kebutuhan mendesak lainnya. Dan begitulah, pola pikir Jack dibentuk. Sempit, dan sangat terbatas.

Tv menjadi hiburan utama, maka dirinya dibentuk oleh film-film kartun. Dora adalah yang paling sering disebut, maka ia suka menirunya, mengidolainya. Semua karakter kartun yang disaksi menjadi panutan. Kehidupannya benar-benar dibentuk dari kartun TV. “TV tidak menyala, aku rindu teman-temanku.”

Bacaan buku-buku klasik juga jadi hiburan, pengantar kehidupan Jack. Alice yang terjebak di negeri ajaib menjadi metafora kehidupannya. Kita seperti orang-orang di buku, dan dia tidak akan membiarkan orang lain membacanya. Maka Ma dengan sedih bilang, “Nah, aku seperti Alice.”

Segalanya dikira fiksi, dan Ma berulang kali menjelaskan di Luar banyak hal fakta. Tak hanya khayal, hal-hal yang tak bisa dipahami Jack. “Di luar ada segalanya. Setiap kali aku memikirkan sesuatu sekarang seperti ski atau kembang api atau pulau atau elevator atau yoyo, aku harus mengingat kalau semua itu nyata, mereka semua benar-benar terjadi di Luar bersamaan.”

Maka di ulang tahunnya kelima, sebuah misi penyelamatan disusun. Awalnya dibuat dengan scenario, Jack sakit keras dan minta Nick untuk mengantarnya ke rumah sakit. Demam, mual, dan tampak kritis. Nick diomeli, dan dibuat panik, tapi tak boleh menyentuhnya. Namun, berjalannya waktu, Ma mengubah rencana. Malam berikutnya, saat Nick datang, Ma memberitahunya Jack meinggal dunia. Digulung bungkus tikar, dan dengan akting sesenggukan, kesedihan kehilangan anak kesayangan, meminta Jack menguburnya jauh-jauh dari rumah, tak boleh dilihat. Permohonan terakhir yang jadi kunci utama misi.

Saat pertama kali di Luar, Jack ketakutan. Menghitung tikungan, dan mencoba kabur dari truk. Bertemu orang asing dengan anjingnya, menjadi penyelamat. Nick yang baru sadar ditipu, panik. Sempat mau menangkap Jack, tapi mendapat perlawanan si Bapak. Dan gegas telelpon polisi. Misi itu sukses besar, dan segalanya lalu berputar cepat. Impian Ma kembali menghirup udara bebas kesampaian, berkah aksi heroik Jack.

Lucu, bagaimana Jack menghadapi ketakutan dengan menghitung gigi, bolak-balik. Ada 20 pcs, tapi kadang terlewatkan. Kepolosannya saat mengambil lima mainan, bukan empat malah tampak betapa anak ini tak gegas paham dunia barunya. “Aku tidak mau menghitung deritan tapi aku melakukannya.”

Nah, kehidupan sesungguhnya dimulai di sini. mendadak terkenal. Beerapa hari dirawat di rumah sakit, mendatangkan psikiater, melakukan visum, perawatan intensif. Hubungan sama ibunya kembali tersambung, ibunya yang memanggilnya Gadis Kecil-nya kini sudah menikah lagi, ayahnya kini tinggal di Australia dengan kehidupan barunya. Begitu pula, dengan sang kakak, Palu yang kini sudah menikah dengan Deana dan punya anak Bronwyn. Yeay, Jack punya saudara.

Segalanya kembali terhubung. Jack berpikir keras sampai kepalanya sakit. “Aku tidak di dalam kamar. Apakah aku masih aku?”

Bagian ini, di film terasa boring. Sebab cekam kengerian sudah lewat, hanya bagian saat minum pil over itu yang bikin panik. Di buku sama saja. Separuh buku ini, melelahkan. Dari satu pengobatan ke pengobatan lain, dari pengenalan dunia baru Jack ke pengalaman lainnya, segalanya tampak baru, dan membingungkan. “Hanya ide yang sama yang berputar-putar seperti tikus di roda.”

Namun di buku, tampak lebih bagus. Terutama bagian saat Jack memaksa kembali ke Kamar. Ia memaksa Ma, yang tentu saja trauma, untuk kembali ke sana. Setidaknya mengucapkan selamat tinggal. Dan begitunya, novel ini terselamatkan ending yang luar biasa mengintimidasi. Lebih bagus bukunya, kalau yang ini. feel-nya beda.

Kubaca santuy bulan Agustus, dari tanggal 4 di malam selepas Isya sampai tanggal 21 lewat tengah malam. Buku pertama Emma yang kubaca, dan aku suka. Catatan saya tutup dengan kalimat filosofis ini, “Hanya karena kau belum pernah bertemu mereka, tidak berarti mereka tidak nyata. Ada lebih banyak hal di dunia daripada yang pernah kau bayangkan.” Bukankah begitu juga dengan Tuhan?

Room | by Emma Donoghue | Diterjemahkan dari Room | Terbitan Little, Brown and Company, Hachette Book Group, New York | Copyright 2010 | Penerjemah Rina Wulandari | Penyunting Jie Effendie | Cetakan ke-1, Agustus 2016 | 420 hlm; 14×21 cm | ISBN 978-602-385-136-2 | Penerbit Noura (PT. Mizan Publika) | Skor: 4.5/5

Room dipersembahkan untuk Finn dan Una, karya terbaikku

Karawang, 050922 – Tasya – Ketupat Lebaran

Thx to Andryan, Bekasi

Dan Apakah yang Membangun Pengalaman Manusia jika Bukan Ingatan?

Larung by Ayu Utami

“Kalau kamu bersama orang yang kamu suka dan kamu tahu cara menikmatinya, maka seks akan menyenangkan. Tapi kalau kamu tahu cara menikmatinya, seks juga menyenangkan tanpa orang yang kamu suka.” – Shakuntala

Sekuel yang biasa. Bab-bab awal sungguh cantik Larung Lanang mau membunuh neneknya yang seolah abadi, sudah berusia seabad lebih, dan memiliki jimat yang kudu dilepas agar bisa ke alam seberang. Benar-benar ciamik bagian ini. Sampai sempat membuang jauh-jauh ‘teguran’ temanku bahwa kamu akan kecewa. Sayangnya saat masuk ke dunia Saman, melanjutkan kisah sejatinya, malah down. Mbulet-mbulet sampai lelah cuma mau membenarkan main seks sama pasangan orang lain. Ya, selingkuh itu malah diudal-udal panjang. Dan bagaimana mengatasinya, benar-benar tak bagus ditiru. Seolah kewajaran, teman-temannya yang hedon ke New York turut membantu para perempuan ini untuk bertemu lelaki beristri. Dan Yasmin yang sudah bersuami, dibantu bertemu lelaki lain. Gerombolan si berat, mau maksiat, mau bagaimanapun disampaikan tetap saja itu zina dan dilarang agama, tak bagus untuk norma. Dibuat dengan bahasa se-sastra apapun, tata kelola selingkuh tetaplah busuk.

Larung Lanang dalam perjalanan kereta api ke luar kota. Ia memiliki misi untuk melepas jimat neneknya Anjani yang sudah lebih seabad. Ada yang mengganjal kehidupannya sehingga ia tak mati-mati, maka dari satu kota ke kota lain Larung mencari kunci kematian. Dari hutan ke pantai, dari remang kota sampai ke kegelapan gua. Semua dijabani demi misi itu. Sejatinya bukan hanya ia yang menginginkan kematian neneknya, ibunya dan sebuah kepentingan mendesaklah yang juga mengganduli tindakannya. Ketika orang menjadi tua maka keindahan pergi ke luar dirinya.

Setelah hampir setengah buku, lalu kita diajak ke New York bertemu gerombolan wanita sukses secara material. Laila Gagarinam sang fotografer yang mengingin Sihar yang sudah beristri. Yasmin Moningka, yang tampak sempurna: cantik dan baik, istri solehan tampaknya, tapi tentu saja tidak. Ia adalah Pengacara yang sudah surat-suratan dengan Saman, janji temu kangen. Cokorda Gita Mageresa, pengusaha hotel yang hedon keluar negeri. Dipanggil Cok Gita. Dan Shakuntala sang penampil yang biseksual. ACDC Ok, tersentuhlah sama Laila yang kangen Sihar.

Mereka memang ada perlu pameran, ada bisnis di sana, tapi dibaliknya terjadi misi perselingkuhan. Atas nama cinta dan kebebasan kehendak! Melawan nurani? Oh tidak bisa. “Kamu bukan nggak bisa, kamu nggak mau.”

Lalu sebuah misi penyelamatan diemban. Para aktivis di era 1997-1998, masa akhir Orde Baru itu diburu. Maka Saman yang pernah dibantu kabur, kini memiliki tugas mulia membantu para aktivis yang tersudut di pulau Sumatra menuju Singapura, yang lantas ke luar negeri lebih jauh. Togog, Bilung, dan Koba. Potret aktivis Solidarlit, dibantu Larung Lanang sebagai penghubung.

Misinya tak semulus yang dikira, sebab ada kecurigaan di antara mereka. Ada kekhawatiran akan keluarga yang ditinggalkan. Hanya melihat orang berseragam tentara jalan di pantai saja mereka saling tunjuk, adakah penghianat? Larangan komunikasi pakai pager atau telepon malah dilanggar. Dan di tengah ketegangan itu, tindakan genting harus dilakukan. Berhasilkah Saman meloloskan mereka?

Banyak bagian yang disajikan dengan diksi bagus. Dipilih dan diolah secara estetik. Seperti kalimat, “Janganlah kau tertawa dan menganggapnya sebagai kedunguan yang puitis. Tak banyak orang mendengar cerita ini.” Atau, “Akan mengalami yang takterkatakan: semacam gangguan jiwa bahkan alam tak punya tujuan.” Atau, “Lalu tiba saatnya ketika bunga-bunga api itu semakin tak beraturan. Bertubrukan satu sama lain dalam imaji-imaji yang aneh.” Atau, “Seperti tunas yang baru mengayu.” Dst. Sejujurnya buku-buku dengan pola seperti ini benar-benar mengasyikkan. Enak ditelaah, enak dilahap.

Kepercayaan akan klenik juga banyak disaji. Terutama bagian pertama, sebab memang misinya melawan malaikat maut. “Tetapi burung dadang-haus tetap berkitar-kitar meski fajar akan segera menelanjangi segala yang muncul dari permukaan bumi ke dalam cahayanya yang conak. Orang menyebut kehadirannya tanda buruk.” Atau, “Sayup-sayup kudengar orang membaca lontar di kebun belakang. Sebuah kisah tua tentang rangda yang menghirup darah.” Atau, “Tetapi alangkah ganjil jika segala hal diputuskan oleh akal.” Dst. Sama, membaurkan realita itu menarik, novel mistik dengan tata cara membumi. Masuk akal, dan tampak masuk logika. Sebuah kontradiksi yang mengejutkan? Atau kelumrahan?

Novel kedua Ayu Utami yang kubaca setelah Saman. Sebuah penurunan, sayang sekali. Endingnya bagus sebenarnya, saya suka ending yang menghentak seperti itu. Awal bagus, tengah lemah, akhir biasa, tapi ujung akhir-nya luar biasa. Dua lembar akhir yang sangat layak diberi aplaus. Jelas, Ayu Utami masuk daftar penulis lokal favorit, di rak sudah beberapa bukunya tersedia. Next, Bilangan Fu yang legendaris itu. Mari kita buktikan…

Larung | by Ayu Utami | KPG 901 13 0663 | Gambar sampul Lukisan kaca oleh Ayu Utami | Desain sampul Wendie Artwenda | Cetakan ke-1 November 2001 | Cetakan ke-4 Mei 2013 | viii + 295; 13.5 cm x 20 cm | ISBN 978-979-91-0569-1 | Skor: 3.5/5

Karawang, 290822 – Avril Lavigne – My Happy Ending

Untuk G.M. & Putri

Thx to Lifian, Jakarta

Dan Benar saja, Cantik itu Luka

Cantik itu Luka by Eka Kurniawan

Menanti Pangeranku datang, untuk membebaskanku dari kutukan wajah buruk rupa.” – Si Cantik

Riwayat Halimunda. Kalau saya memulai tulisan ulas novel-nya Jorge Amado: Gabriela, Cengkih, dan Kayu Manis dengan kalimat: “The Chronicles of Ilheus,” maka saya membuka ulasan Cantik Itu Luka dengan kalimat itu. Di kota fiksi inilah, kita diajak bersafari dari sebelum, saat, dan setelah Indonesia merdeka. Memiliki tanggal cantik sendiri untuk dirayakan sendiri, 23 September sebab informasi proklamasi terlambat sampai, kebusukan moral polisi penjahat di setiap sudutnya, hingga tokoh fiksi yang sejajar Jenderal Sudirman. Fakta dikaburkan imaji, dibubuhi segala penyedap kegemparan masa itu, dan taa-daa… jadilah novel liar.

Dibuka dengan kutipan berikut, “Dan kini, setelah baju zirahnya dibersihkan, bagian kepalanya diperbaiki jadi sebuah topi baja, kuda dan dirinya sendiri punya nama baru, ia berpikir tak ada lagi yang ia inginkan kecuali seorang nyonya, pada siapa ia anugerahkan kekaisaran hatinya; sebab ia sadar bahwa seorang ksatria tanpa seorang istri adalah sebatang pohon tanpa buah dan daun, dan sebongkah tubuh tanpa jiwa.” – Miguel de Cervantes, Don Quixote

Kisahnya merentang jauh sebelum Indonesia merdeka. Semuanya tentang manusia-manusia patah hati, hampir semuanya ding karena ada satu dua orang yang begitu nyamannya menjalani hidup ini, mengalir saja. Yang jelas, ketika cinta membuncah, apapun akan dilakukan, apapun akan dikorbankan. Dan ini terus berulang, tata cara bercerita bagus, di mana kita dibocori sedikit kejadian akhir, baru dijelaskan kronologinya. Maka polanya campur, beberapa dilakukan flashback per bab. Dan karena ini novel tebal, banyak karakter yang memiliki riwayatnya sendiri dengan rentangan panjang. Titik hidup tiap tokoh diolah sedemikian rupa sehingga pembaca diseret serta emosinya. Tak ada tanda tanya, semua nasibnya jelas. Hanya beberapa yang samar, saat melibatkan dunia mistik. Dan itu, kembali lagi ke basic absurditas: tafsir bebas.

Pusat cerita sejatinya ada di Dewi Ayu, tapi kita disuguhi pondasi yang sama kuatnya pada masa orang-orang sekelilingnya. Terlahir dari orang Belanda yang menjajah kita. Dengan drama memilukan sebab pasangan wong cilik Ma Iyang yang dipaksa keadaan jadi gundik dan terpisah sama kekasihnya Ma Gendik. Sejarah dua bukit yang dibangun dengan pondasi bunuh diri. Saat Dewi usia remaja, Indonesia diduduki Jepang, dan kehidupan mewahnya mendadak longsor. Para gadis keturunan kala itu adalah tawanan, dan dijadikan pelacur oleh Mama Kalong.

Tak seperti para gadis lainnya yang khawatir dan ketakutan, Dewi Ayu menghadapi kenyataan dengan tegar dan lantang. Entah ide dari mana, menyimpan emas di kubangan kotoran? Penjajahan Jepang yang secara tahun hanya berhitung jari, mencipta kegetiran hingga masa kemerdekaan menjulang. Di Halimunda, karena informasi proklamasi terlambat maka diperingati RI-nya tiap 23 September. Perang kemerdekaan pecah, setiap warga memiliki kewajiban melawan Belanda yang kembali ke Indonesia. Begitu juga Halimunda, tersebutlah para karakter unik yang mengelilinginya.

Dewi Ayu memiliki tiga anak: Alamanda, Adinda, dan Maya Dewi. Dan ketiganya saling silang membelit rumit.

Maman Gendeng seorang jagoan yang mengingin menikahi wanita tercantik di Halimunda yang ternyata sudah jadi mitos. Ia tetap tinggal di sana dengan menantang kepala preman, manusia kuat yang berhari-hari tarung di pantai menjadikan Maman penguasa. Ia lantas menikah dengan Maya Dewi, anak paling baik, yang polos dan baik hati. Menikah tak seserhana itu, di usia 12 tahun dan harus menunggu balig untuk malam pertama!

Shodanco adalah pejuang kemerdekaan. Turut serta mengusir penjajah, ia setara Jenderal Sudirman. Namun keputusannya bertahan di Halimunda membuatnya hanya sekelas kepala Rayon, maka ialah pihak berwajib tertinggi di sana. Mengatur kota yang busuk. Menikah dengan Alamda dengan drama menjijikkan. Shodanco tahu Alamanda punya kekasih yang sedang kuliah di Jakarta, Kliwon. Maka saat lengah ia melakukan perbuatan bejat di hutan. Pasangan yang tampak ideal ini memiliki noda di dalam rumah tangga. Hubungan suami istri tak bisa serta merta senormal pasangan lain, sebab Alamanda melakukan protes. Bahkan saat lengah, dan akhirnya ia hamil, terjadi kegemparan sebab jabang bayi di perutnya secara misterius raib.

Shodanco dan Maman malah berteman, mereka sering main dadu di pasar. Keduanya memiliki kekuasaan, yang satu polisi yang lain preman. Keduanya memiliki mertua palacur kondang. Saling silang saling mengisi hari-hari pasca merdeka.

Sementara manusia cerdas Kliwon yang patah hati melengkapi kepahitan. Kliwon digambarkan idealis, tokoh komunis yang tegar dan cerdas. Hanya keadaan yang memaksanya terpuruk.  Menikah dengan Adinda. Kliwon adalah kepala Serikat Nelayan. Bayangkan, ketiga saudari ini memiliki pasangan yang tak lazim. Polisi, ketua serikat, kepala preman. Gmana rasanya pas ngumpul arisan keluarga, apa tak riuh dan jotos-jotosan?

Namun drama sejatinya dicipta di ujung. Para cucu Dewi Ayu yang membuat onar, cucu pertama Nur Aini dari Alamanda digambarkan begitu mengayomi saudara-saudaranya. Cucu kedua Krisan dari Adinda yang seperti ayahnya, begitu lantang isi kepalanya, imajinatif. Cucu ketiga dari Maya Dewi, Rengganis yang paling cantik dari semua yang tercantik. Dan benar saja, cantik itu luka.

Di suatu siang terjadi kehebohan di sekolah sebab Rengganis masuk ke kelas dalam kondisi telanjang dan mengaku diperkosa anjing di toilet kumuh sekolah. Inilah mula malapetaka keluarga ini. Carut marut kehidupan fana dengan pijakan hikayat kota Halimunda. Kalian mungkin bisa menebak siapa pelakunya, tapi yakinlah kalian pasti turut terluka akan tragedi bertubi ini.

Oiya, Dewi Ayu pada akhirnya memiliki anak keempat, yang lain daripada yang lain: Si Cantik. Mantra jahat dilempar, adu kekuatan gaib dilakukan. Hanya yang terkuat yang berhasil berdiri kokoh di ujung cerita.

Sudah memilikinya sejak Februari 2018, waktu itu sampul baru warna merah, tersebab ingin koleksi saya ambil yang hard cover, baru kubuka segelnya awal Juli 2022 sebab lihat edisi anniversary 20 tahun dengan sampul biru, dan gegas kubaca. Target selesai bulan Juli bisa terealisasi di akhir bulan. Dibaca santai sehari per bab, atau saat jeda dari bacaan lain.

Novel ini dengan cerdas memainkan sisi psikologi semua karakter. Saat jatuh cinta, sejatuh-jatuhnya seolah cewek incaran itu seolah segala-galanya. Sekalipun esok berubah pikiran, dan bercinta dengan cewek lain dengan dalih tanpa rasa cinta. Dan juga mengisi kepahitan di setiap generasi, kesedihan ditabur di segala keadaan. Tak ada manis-manisnya. Kliwon dan Adinda misalnya, pasangan ideal yang dipaksa pisah karena memang tak dijodohkan oleh penulis.

Sebagai novel paling unggul Eka Kurniawan, jelas ini paling kompleks permasalahannya, dan yang paling keren. Ini adalah buku kelima yang kubaca setelah: Lelaki Harimau, yang terkamannya menghebat itu. Seperti Dendam, yang penuh makian. O, si monyet dangdut. Kumpulan Budak Setan, yang terinspirasi Abdullah Harahap. Dan cerpen Sumur yang dicetak mungil. Polanya menurutku: dua novel pertama ditulis dengan semangat pemuda membara sehingga Cantik dan Lelaki memakai pola bab panjang yang nyaman dan detail mengagumkan, sangat mengagumkan. Novel ketiga, Seperti Dendam malah penurunan sebab memakai pola penggalan kalimat-kalimat seolah fiksi mini yang dirajut acak. Begitu pula novel keempat, O. Kenyamanan itu terdistorsi. Dan itulah kurasa, jelas tak sebombastis duo pertama. Kesamaannya, semua adalah fiksi dewasa dengan makian bebas, adegan percintaan bebas, serta kebebasan meneriakan hal tabu. Untuk itulah fiksi jadi menarik.

Novel berikutnya kuharap kembali memakai pola duo mula, sabar, telaten mencipta alur, sehingga panjang meliuk-liuk. Kutunggu dengan tak sabar.

Cantik itu Luka | by Eka Kurniawan | GM 617202031 | Copyright 2002 | Penyelia naskah Mirna Yulistianti | Pemeriksa aksara Sasa Galih, Arasy | Desain sampul Orkha | Setter Fitri Yuniar | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Pertama kali diterbitkan oleh AKYPress dan Penerbit Jendela, Desember 2002 | Cetakan pertama, Mei 2004 | Cetakan ketiga belas (Hard Cover) Desember 2017 | ISBN 978-602-03-6651-7 | Skor: 5/5

Karawang, 030822 – 090822 – 240822 – Billie Holiday – God Bless the Child

Thx to Gramedia World Karawang & Widi Satiti

Cerpen dengan Judul Protagonist

Tuan Gendrik by Pamusuk Eneste

“Bila membagi derita dengan orang lain pun, sudah merupakan suatu obat.” – Kitti

Semua cerpen memakai judul karakter utama. Semuanya pendek, belum ‘in’ sama cerita sudah selesai. Namun hebatnya, semua ending menggantung. Keputusan akhir diserahkan ke pembaca. Dari kepala media yang diminta ceramah kepahlawanan, tak tahu ngomong apa. Karyawan yang diancam, diperas duit sebab istrinya diculik, dan kita tak tahu apakah ia melapor polisi atau memenuhi tuntutan dengan uang pinjaman. Lalu Tuan Gendrik, bos kantor yang baik hati dan tak sombong, yang suatu hari kehilangan semua karyawannya, misterius. Hingga warga baik-baik yang dituntut untuk menikahi perempuan yang tiba-tiba mampir ke apartemennya, lalu menyatakan hamil anaknya. Semua diramu dengan tanda tanya di akhir. Begitulah, sederhana nan memikat. Tak sampai meledak-ledak, tapi sungguh efektif meluluhkan hati pembaca.

Hampir semua bersetting di Jerman, terutama di Anustadt, ibukota Anuland. Kecuali nomor 2 mantan kekasih yang diajak ke Jakarta tak mau, pilih tinggal di Yogya, lalu nomor 7 yang ingin pulang ke rumah ibu di Jakarta, dan nomor 10 yang di pinggiran Jakarta seolah diteror istri.

#1. Barero

Barero yang apes, entah kenapa ia yang dipilih sebagai korban. Sebuah telepon tak dikenal mengancamnya, istrinya diculik, ia tak boleh lapor polisi, dan diminta menyiapkan sejumlah uang. Istrinya yang hamil, sampai malam belum pulang juga. Dan saat menit-menit menuju waktu yang ditentukan ia masih saja lemas.

“Jangan coba-coba menelepon siapapun juga dalam urusan ini.”

#2. Bugatti

“Terus terang, aku tak tahu harus menyapamu dengan apa. Mas, dengan kau, dengan kamu, atau dengan Anda. Tapi itu tak penting bagiku, yang terlebih penting adalah persoalan yang akan kubeberkan di bawah ini.”

Bugatti, seorang istri yang mengeluhkan suaminya yang bergaji kecil. Ia bercerita pada aku, mantannya yang kini sudah di ibu kota. Melalui surat penuh cerita pahit, bagaimana rumah tangga Bugatti begitu hampa. Meminta saran pada mantan? Alamak!

#3. Mekeba

Makeba, istri yang kesal dan menyesal. Menanti suaminya pulang kerja, memasakkan istrimewa, dan siap menyambut di teras. Namun sampai waktu yang biasa pulang, tak kunjung terlihat. Ternyata mereka habis bertengkar semalam. Perkara anak yang tak kunjung hadir, sudah coba berbagai cara, dari memungut anak angkat, ke dokter spesialis, konsul ke manapun, nihil. Dan dalam suasana panas, sebuah saran kemarahan yang terlontar di keluarga kecil ini.

“Apa pun kemauan suami saat berhubungan, turuti saja.”

#4. Tuan Gendrik

Bos Gendrik yang kebingungan. Ia heran, bagaimana bis asuatu pagi semua karyawannya lenyap. Entah apa yang terjadi. Apakah secara massal mereka ngambek, cari kerja di tempat lain? Ataukah terjadi sesuatu yang luar biasa yang membuat serentak kabur? Atau entah apa. Padahal ia adalah bos yang ideal, baik, wibawa, ramah.

“Hari ini agaknya mendung, Pak.”

#5. Molli

Molli, sang sekretaris yang ‘sakit’ dan mencoba membolos. Ia penasaran, bagaimana sebuah mesin tik di kosnya hilang. Mesin tik pinjaman kantor itu, benar-benar tak ada di kamarnya. Mau lapor polisi, takut tanggung. Lapor pak RT, belum kenal sama beliau, mau lapor kantor, nanti dikira tak tanggungjawab, malah disangka pencuri. Dan bekerja di lingkungan seperti ini, bukankah neraka?

“Sungguh mati, saya tak mendengar sesuatu yang aneh tadi malam. Padahal, bunyi tikus lari di loteng saja, biasanya sudah membikin saya bangun.”

#6. Benino

Benino besok pagi jam 10 diundang ke balai kota untuk menerima penghargaan. Padahal ia tak tahu jadi pahlawan macam apa dia. Istrinya mendesak datang, siapa tahu selain sertifikat ada uangnya. Padahal ia di kantor sering bolos, tak kompeten, tak berintegritas tinggi. Makanya heran, apa yang menyebabkannya jadi pahlawan sejak jam 24 malam nanti.

“Jangan khawatir, majalah kami cukup makmur kok. Tak mungkin kami menipu Saudara.”

#7. Kitti

Kitti, cantik, jual malah. Ia adalah istri yang teraniaya. Di usia semuda itu, 22 tahun sudah punya segala materi yang memadai. Rumah, mobil, vila, perhiasan. Cuma, tekanan batin dari suaminya yang tak menafkasi batiniahnya. Ia nikah karena materi, dalam keterangan di media, ia siap menikahi pria manapun yang siap kasih materi. Kariernya yang bagus seolah mendadak lenyap, sebab jadi istri di rumah saja, me time melimpah. Ada penyesalan, kenapa dulu tak menuruti kata ibunya. Dan di puncak kesadarannya, ia memutuskan pulang menemui ibunda terkasih, kasih ibu memang sepanjang masa. Tak terhingga.

“Kamu toh bukan anak kecil lagi, dan sudah bisa mencari pemecahan sendiri.”

#8. Bruno Paparici

Seorang teman lama, teman sekolah yang dulu bodohnya minta ampun kini menjadi terkenal dan kaya raya. Suatu hari Bruno Paparici meneleponnya, “Apa betul ini kantor koran Anuzeitung?” dijawab ya, dan mereka pun nostalgia. Bruno lantas memintaku menjadikannya pahlawan. Ia sudah melakukan apa pun sebagai syarat orang baik, dan meminta menulis profilnya dengan ‘baik’. Permintaan aneh, dan janggal. Hingga suatu hari, aku diberitahu Bruno meninggal dunia, di mana surat wasiatnya memintaku jadi pembicara salam terakhir sebelum jasadnya dikebumikan. Pahlawan macam apa ini?

#9. Harlem

Margot, perempuan nakal yang menuntut Harlem untuk menikahinya. Harlem tak paham, ia hanya sekali saja bercinta, suatu malam Margot menghubunginya, ingin cerita, lalu main ke apartemennya, menginap, dan terjadilah. Hingga beberapa bulan kemudian, Margot datang, bilang hamil anaknya. Aneh sekali. Bagaimana memberitahu kabar ini ke istrinya di tanah air? Bagaimana menghindari masalah ini?

Frua Muller: “Katanya, anak yang dia kandung itu anakmu.”

#10. Panderos

Panderos, si istri galau. Ia selalu meminta suaminya lebih. Masose yang punya pendidikan baik, diminta lulus kuliah menikah saja, toh kalau berdua berjuang akan lebih baik. Awalnya, tinggal sama orangtua, lalu Panderos gerah, meminta kos saja, lalu beli rumah mencicil, berisik sebab perumahan yang padat, tetangga begitu bising. Lalu meminta beli rumah di luar kota yang asri dan jauh dari kantor, sepi, malah kangen suasana ramai, dan begitulah, ia menuntut lebih dan tak pernah puas. Ia lalu cerita padaku.

“Tolonglah aku, aku betul-betul tak tahu harus bagaimana lgai. Semua telah aku lakukan demi istriku, tapi tak pernah puas.”

Buku pertama Pamusuk Eneste yang kubaca, ia sudah terkenal. Salah satu pentolan sastrawan lokal kita. Buku-bukunya sudah ada di rak, baru kali ini kuselesaikan baca. Lumayan bagus, tapi kurang panjang. Terlampau sederhana. Keistimewaannya jelas, ending yang terpotong. Indah lho, cara seperti ini. Tafsirnya liar, dan bebas. Saya suka.

Tuan Gendrik | by Pamusuk Eneste | Seri Sastra Pembangunan | No. 93002 | Kumpulan Cerita Pilihan | Pewajah Gatot B.W. | Penerbit Puspa Suara; Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara | Editor seri Eka Budianta | Percetakan Pr. Penebar Swadaya, Jakarta | Cetakan pertama, 1993 | vi+ 104 hlm; 18 cm | ISBN 979-9312-20-I | Skor: 4/5

Karawang, 160822 – Noah – Di Atas Normal

Thx to Sri Purnawati

Sisipan Cerita lain Sejarah

Bagaimana Madelijn Mempertahankan Redoute Hollandia by Miguel Angelo Jonathan

“Kakek, kami tak mungkin membakar rumah! Kami bermain untuk senang-senang, dan membakar rumah tidaklah menyenangkan!”

Sehimpuna cerita yang rerata menyinggung sejarah. Dari penelitian ke Indonesia Timur sampai serangan benteng di Batavia. Dari legenda ular yang merupakan jelmaan putri, sampai sejarah kata mangkrak. Dari serangan yang berhasil meluluhlantakkan kota akibat kesalahan gerbang yang dibuka kecil, sampai bagaimana ikan lele berkembang biak. Semuanya diramu bebas merdeka. Sah-sah saja, tapi sayangnya rerata cerita pendek yang benar-benar pendek, jadinya belum panas, sudah keburu selesai.

#1. Hainuwele

Peneliti dari Jerman memasuki hutan di Kepulauan Maluku, dan mendengar mitos Hainuwele. Bahwa legenda itu bilang Hainuwele adalah gadis yang berasal dari buah kelapa, ia memiliki kekuatan bisa mengeluarkan barang-barang berharga saat sedang buang hajat, dan dianggap merupakan ilmu hitam. Maka iapun dibunuh dan tubuhnya dipotong-potong dikubur di sekeliling pulau Seram, dan bagian-bagian tubuh itu menjelma tanaman baru.

Keputusan aneh justru diambil, sebab saat ia mendapati fakta ketemu gadis telanjang buang hajat mengeluarkan permata, sang gadis diboyongnya pulang ke kampung halaman, dan dinikahi resmi. Namun kejengkelan tak hanya sampai di situ. Awalnya dikira, rejeki jangan ditolak, ujungnya tak nyaman.

“… Aku rasa aku benar-benar mencintainya, tidak akan kubiarkan orang lain menyakitintya. Rahasianyya aman bersamaku.”

#2. Bagaimana Madelijn Mempertahankan Redoute Hollandia

Benteng Batavia diserbu pasukan Mataram. Dan saat para bos keluar kota, Jan Pieterszoon Coen menyerahkan kepadanya, benteng itu rasanya hanya menunggu waktu buat dikuasai. Serbuan maut, sudah habis-habisan Madelijn yang orang Jerman kesal, ia bukan orang Belanda woy. Namun karena mendapat tugas itu, ia mencoba memimpin bertahan dengan pasukannya. Hingga muncullah ide gila, saat ia sedang buang air besar, terlintas pikiran setan. Tata cara melawan balik, apakah pasukan bantuan bisa hadir terpat waktu atau ide gila itu berhasil?

“Mundur semua! Mundur! Lupakan benteng bajingan itu!”

#3. Siluman Ular dari Rawa Atarja

Legenda ular yang dihormati, bahkan barangsiapa yang dipatok dipersalahkan. Di kota Atarja, ular itu jelmaan sang putri yang menyepi, pada tak berani buang air besar di rawa-rawa Atarja. Harus perjalanan jauh demi buang hajat. Namun saat era berganti, kini jadi kota besar, dan para pengembang mencipta modernitas, kepercayaan adanya siluman ular terkikis. Hingga suatu hari ada orang buang hajat di kakus umum dan dipatok. Suparman yang kaget dan marah, kemudian mati dengan luka gigitan di pantat. Lantas kepercayaan lama diapungkan. Namun saat toilet itu diledakkan, hujan lelelah yang terjadi. Ada apa gerangan?

“Siluman ular bangkit kembali! Dia bangkit kembali! Siluman ular tengah murka!

#4. Raja Mangkarak

Raja yang arif meninggal dunia, mewariskan takhta Kerajaan Palapa kepada si sulung Mangkarak. Kebetulan adiknya Jayawidata tak berminat politik, lebih suka bermain seni dan mencipta karya. Raja Mangkarak hobinya bikin bangunan demi pengakuan publik. Punya proyek besar mencipta candi, bangunan kerajaan yang elok. Padahal bujetnya kurang, tapi tetap dipaksakan. Ia lantas memaksakan kehendak, memungut pajak lebih besar, mencari uang dengan segala cara agar proyeknya terealisasi. Ia kena batunya.

Maka mulailah pembangunan candi raksasa itu.

#5. Kontradiksi Zangi dan Bagaimana Akhirnya Mati

Imanuddin Zangi yang memiliki sifat kontradiksi. Ia atabeg (gubernur) kota Mosul dan Aleppo kebangsaan Turki. Seorang jenderal perang yang berpengalaman, sudah banyak menaklukkan kota, dan ia begitu kejam, kasar, brutal.

Seorang pemabuk berat, boros di kedai tapi sekaligus sangat sederhana. Namun kontradiksi sifat itu suatu ketika membawa petaka, sebotol anggur mahal, dan ironi efek berikutnya.

Hidungnya lebih tajam dari penciuman seribu anjing digabungkan. Tentu hanya dalam kasus aroma anggur saja.

#6. Hanya Gerbang Kecil

Ini kisah Sultan Mehmet II di Turki yang terkenal itu. Sang Penakluk Kontatinopel dan bagaimana pengepungan itu berhasil meruntuhkan kota. Sebuah gerbang kecil yang disepelekan, terkadang terlupa untuk ditutup, dan menjadi titik lemah serangan lawan. Adalah Raynor yang kena tegur Jenderal Loukas untuk tak melalaikannya. Pastikan terkunci.

“Boom!”

#7. Aul

Di Pasundan lampau, tersebutlah petarung hebat dengan julukan Serigala Sunda bernama Aul. Ia bisa menyembuhkan luka seketika bak Wolverine. Bahkan kalau anggota badannya ada yang terlepas, bisa disatukan kembali. Ia asli Purbalingga, dan datang ke tanah Sunda untuk menantang sang jawara Asep Sunandar. Dan tarik ulur kekuasaan terjadi. Sampai akhirnya sebuah kekonyolan dilakukan asisten Aul.

“Grrrrr!”

#8. Membakar Monyet demi Sang Naga

Dua ribu tahun yang lalu, Xiang Yu komandan perang Chu dan lawan bebuyutannya Liu Bang melakukan tindakan heorik. Dan turun temurun hikayat membakar petasan sebagai kegiatan bersenang-senang, ketimbang membakar rumah. Menyerang musuh dengan monyet dipasangi kembang api, bagaimana kalau diganti dengan bom?

“Hei, ada apa ini? mengapa para monyet bisa meledak? Jelaskan.”

#9. Hou Yi dan Pembunuhan Sembilan Saudara

Manusia adalah perusak, melakukan hal buruk pula dengan sesamanya. Bahkan matahari di langit pun turut dirusak. Dulu, ada sepuluh sebelum Nuwa mencipta ras manusia, dan seorang pemuda dengan busurnya membidik matahari.

“Setelah sekian lama! Kini seseorang tersenyum memandang siang, bukan karena ada bulan di langit, tetapi karena ada matahari.”

Mencipta cerpen kudu lebih panjang. Standar cerpen bagus bagiku sudah tersemat pada karya-karya Haruki Murakami, atau Alice Munro. Atau kalau lokal ada Triyanto Triwikromo atau A.S. Laksana. Baik lokal maupun terjemahan, cerita yang bagus memang kudu ‘in’ sama plot, dan kebetulan nama-nama yang kusebut rerata cerpennya panjang dan meliuk-liuk. Beberapa menipu plot, ada twist, atau kalaupun biasa, pembaca berhasil ditautkan emosinya setelah diajak jalan-jalan panjang. Tak bisa sekadar seribu kata. Di buku ini rerata cerpen disajikan pendek, terlepas dari tema sejarahnya, apapun itu hampir semuanya belum panas dan sudah diakhiri.

Ini adalah buku pertama Bung Miguel yang kubaca. Buku kedua setelah novel Si Pembunuh Elemen (2019). Memiliki minat pada sejarah, dan beberapa kali kulihat menerjemahkan cerpen. Rusa Merah adalah toko buku beliau, baru dua atau tiga kali berbelanja di sana. Rekomendasi, buku-buku bagus dengan harga diskon. Terima kasih.

Bagaimana Madelijn Mempertahankan Redoute Hollandia | by Miguel Angelo Jonathan | Sehimpunan cerita | Copyright 2020 | 12.5 x 18.5 cm, viii + 130 halaman | Cetakan pertama, Mei 2020 | ISBN 978-623-7258-59-9 | Tata letak dan desain Gans, Ativ Yola | Desain sampul Fariddudin | Penyunting Ganjar Sudibyo | Pemeriksa aksara Marcel | Penerbit Rua Aksara | Skor: 3.5/5

Karawang, 200722 – 100822 – Clark Terry – Mumbles

Happy Birthday Calista Yumna 8 tahun

Thx to Rusa Merah, Jakarta

Mencipta Surga yang Memenjara

Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children by Ransom Riggs

“Aku memberitahukan semua ini padamu karena kau berhak tahu.”

Mengejutkanku, foto-foto yang ditampilkan adalah asli. Sedari mula, kukira ini menjadi penunjang cerita, khas buku-buku lain. Ternyata, kita lebih cocoknya menyebut: foto-foto itulah yang menjadi dasar cerita. Kata-kata dicipta untuk menunjangnya. Penggambaran cerita, jelas dikembangkan dari sebaran frame. Dengan terang sang penulis bilang, ada ribuan foto lain yang tak bisa masuk, kudu selektif. Dan dengan ending menggantung, foto-foto yang tak ditampilkan kemungkinan muncul di Hollow City.

Ide mencipta surga yang terpenjara, tampak menarik. Memerangkap ruang dan waktu, melakukan kegiatan di saat yang sama, dengan suasana sama. Unik, sangat menarik. Rasanya seolah-olah ada yang memencet tombol ‘reset’ pada seisi kota, dan esoknya diulang. “Kenapa orang-orang sanggup menjalani hari yang sama berulang kali selama berpuluh-puluh tahun tanpa menjadi gila. Ya di sini memang indah dan kehidupan pun terasa nyaman, tapi kalau setiap hari selalu persis sama dan anak-anak ini tak bisa pergi, berati tempat ini bukan sekadar surga, tetapi juga semacam penjara.”

Kisahnya tentang Jacob Portman, yang di sela sekolahnya menjalankan magang di toko milik orangtuanya. Ayahnya sedang menulis buku tentang fauna burung, “Mengungkit-ungkit tentang proyek-proyek bukunya yang baru setengah jadi adalah masalah sensitif.” Dan ibunya yang sibuk berbisnis sering mengesampingkannya. Hanya kakek Abe Portman yang begitu dekat, kakeknya yang sudah pikun sering merancau tentang fantasi masa lalu. Lolos dari kamp konsentrasi NAZI, lalu hidup tenteram di Wales. Hingga akhirnya terbang ke Amerika. Rancauannya sama, sebuah periode hidup di sebuah pulau di Britania. Yang ukurannya tak lebih dari sebutir pasir di peta, terlindung pegunungan-pegunungan berkabut. Bagaimana masa remajanya berwarna. Cairn, semacam piramida dari batu-batu kasar, salah satu makam Neolithik yang menjadi asal muasal Cairnholm.

Suatu sore, kakeknya telepon Jacob di toko, ia dalam ancaman dan meminta tolong. Keadaan darurat ini, memaksanya pulang cepat untuk memastikan kondisinya. Dan benar saja, ada makhluk mengerikan membunuh kakeknya di hutan. “Aku ingin pura-pura tak peduli tentang ucapan terakhir kakekku, tapi kenyataannya aku peduli.” Sang kakek meninggalkan barang-barang warisan yang aneh, salah satunya perintah ditaruh di buku puisi Ralph Waldo Emerson. Perintah aneh untuk ke pulau masa lalunya. “Temukan burung itu. Dalam loop. Pada sisi lain makam pria tua, 3 September 1940.”

Dengan dalih untuk mengobati sakitnya, setelah konsul ke psikolog Dr. Golan. Akhirnya Jacob dianjurkan menghabiskan masa liburnya untuk menjelajah kastil di pulau tersebut. Bersosialisasi bisa membantu penyembuhannya. Ditemani sang ayah untuk meneliti burung, mereka ke pulau terpencil dengan akses luar terbatas. Listrik sudah padam saat jam sepuluh, sinyal HP tidak ada, dan segala keterbatasannya. Jalanan-jalanan dengan pondok-pondok kusam artistik yang berjajar hingga ke kejauhan sana, bersambung dengan padang-padang hijau yang dijahit jadi satu oleh tembok-tembok karang berliku-liku, sementara awan-awan berarak-arak.

Dan misi ke kastil itupun dilakukan. Awalnya, Jacob kecewa sebab kastil itu kotor dan tak banyak yang bisa diharapkan untuk diteliti. Tidak terlalu sulit membayangkan tempat ini mengandung sihir. Namun di hari kedua, segalanya berubah. Jacob masuk ke lantai atas, membuka dokumen-dokumen, menemukan hal-hal jadul di dalamnya, lalu sebuah peti yang sudah dibuka, diputuskan buka paksa dengan dijatuhkan, tembus ke lantai basement. Di sinilah segala kegilaan fantasi dimulai. “Aku tahu kedengarannya gila, namun banyak hal yang lebih gila ternyata benar.”

Ada remaja yang melihatnya, saat meneliti di dasar. Ia kejar, dan wuuuzzz… melewati rawa hutan. Rawa-rawa merupakan jalan masuk ke dunia dewa-dewa, tempat yang sempurna untuk memberikan persembahan paling berharga: diri mereka sendiri. Keluar darinya, dunia tak sama lagi. Ia nantinya tahu, ia ada di tahun 1940. Dan dari gadis yang dikejar bernama Emma Bloom, lalu malah menahannya itulah, ia tahu ia terjebak di ruang dan waktu. Ia dikira makhluk wight. Dibawa ke kastil, diperkenalkan dengan teman-teman lainnya. Dan terutama Miss Peregrine, dang pengasuh panti.

Mereka mencipta dunia tertahan di tanggal 3 September 1940. Akan berulang setiap hari, dan seolah abadi. Dulu kakeknya memutuskan pergi, maka ia menua dan mati. Mereka adalah manusia istimewa, memiliki keunikan/keanehan masing-masing, di sini disebut peculiar. Dan tahulah, Jacob ternyata diwarisi kekuatan kakeknya, bisa melihat monster. Hingga akhirnya, para monster itu menyerang kastil.

Dulu pas nonton filmnya di Pasific Place Mal, penasaran sekali sama buku ini. butuh waktu lima tahun untuk memenuhi hasrat. Kutonton berdua sama Topan, teman kerja PPIC yang sekarang sudah pindah kerja. Salah satu yang mencipta penasaran adalah lagu Orchestra Flight of the Bumblebees. Di sini ada, baik, esok kucari lagunya.

Foto-foto yang ditampilkan menarik. Tampak editan, yang nyatanya asli seolah sihir. Dari perempuan melayang, gadis karet yang bisa menekuk badan, kilat besar, santaklaus tatapan kosong di pesta natal, sopir bus sekolah yang seram, hingga si kembar berbaju putih berangkulan. Ini menjadi dasar untuk mencipta nama-nama karakter. Berikut beberapa anak istimewa: Emma dengan tangan yang mengeluarkan api, Millard yang tak terlihat, Horace bisa meramal masa depan, Olive mengambang di udara sehingga perlu diikat, Claire makan dengan mulut di belakang kepala, Enoch bisa mencipta makhluk dari benda mati, Bronwyn punya kekuatan besar, hingga Fiona bisa menumbuhkan flora dalam waktu singkat. Jangan lupakan juga Jacob, sang protagonist bisa melihat monster. Dan sang pengasuh panti Miss Alma Lefay Peregrine yang bisa memerangkap waktu. Bisa mengubah diri jadi burung elang. Variant hebat ini juga ada di daerah lain, dan mereka saling mengirim kabar. Jadi di tempat lain, ada juga kehidupan yang diabadikan.

Nah, antagonisnya adalah para pemburu peculiar. Mereka memangsa, menangkapinya. Membunuh. Monster yang dilihat Jacob, yang membunuh kakeknya adalah wight. Mereka melacak anak-anak istimewa ini. Maka saat menemukan loop, mereka menghancurkan kastil, menangkap Alma, dan endingnya menggantung. Bagus sekali, dengan latar laut perahu berlayar, siap membalas ke kota Hollow.

Kuselesaikan baca hanya dalam sehari, kurang dari 24 jam. Dari 15.07.22 jam 20:00 di malam Sabtu yang gerimis sampai kutuntaskan esoknya sebab libur, dan tak ada acara ke manapun. Di taman Perumahan, hujan berlindung di gazebo sampai tengah hari, dilanjutkan ke gazebo taman kota Galuh Mas sampai selepas duhur, lantas ke Masjid belakang Festive Walk hingga sore. Sebelum adzan Magrib, jam 16:30 saya tuntaskan di halte Galuh Mas saat perjalanan pulang jalan kaki. Hebat, 500 halaman tuntas seketika. Memang buku bagus, awalnya tak kuniatkan usai di bulan ini, icip saja. Sempat lama mengendap di rak meja kerja, 2020. Akhirnya malah gegas beres. Buku yang ok, selalu mencipta penasaran tiap lembarnya. Buku ringan dan menarik. Selalu tertarik sama buku fantasi anak, apalagi seliar dan seimajinatif ini. Dan sebuah kebetulan, hari ini saya dapat edisi sekuel Hollow City. Asyik… bisa langsung kulanjutkan Agustus ini.

Rumah Miss Peregrine untuk Anak-anak Aneh | by Ransom Riggs | Diterjemahkan dari Miss Peregrine’s Home For Peculiar Children | Copyright 2011 | First Published in English by Quirk Books, Philadelphia, Pennsylvania, USA | GM 616185023 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Alih bahasa Tanti Lesmana | Desain sampul Eduard Iwan Mangopang | Jakarta, 2016 | 544 hlm; 20 cm | ISBN 978-602-03-3388-5 | Skor: 5/5

Karawang, 280722 – Stan Getz – The Girl From Ipanema

Thx to Ora Danta, Jakarta

Pertobatan

Kubah by Ahmad Tohari

“Ketika kau merasa berada dalam pikiran yang amat gelap, ketika kau merasa benar-benar tak berdaya, sesungguhnya ada tangan-tangan terjulur kepadamu…”

Novel pertama Ahmad Tohari yang kubaca. Lurus-lurus saja, dalam artian tokoh utama keluar dari penjara, menemukan jalan terang, lantas menikmati hari tua dalam ibadat. Hitam putih-nya jelas. Pemerintah sebagai badan yang memerangi PKI, menyapu semua hal yang bersinggungan, sang tokoh salah satu yang kena sapuan, selepas dibersihkan, ia kembali ke masyarakat, sempat bimbang dan galau, tapi nyatanya, ia disucikan. Segalanya terang benderang.

Kisahnya tentang Karman, yang dipenjara selama 12 tahun di Pulau Buru karena bersinggungan dengan partai Komunis. Ia kini bebas, menemukan dunia merdeka, dunia yang telah lama ditinggalkannya. Pada hari pertama dinyatakan menjadi orang bebas, Karman malah merasa dirinya tak berarti apa-apa, hina-dina. Ia tak serta merta bisa beradaptasi. Keluarganya kini memiliki kehidupan keluarga sendiri. Istrinya Marni telah menikah lagi. Maka ia di tengah kebimbangan. Saat sampai di kampung halaman Pagetan, ia ragu apakah bisa kembali diterima? “Sangat jelas terasakan ada garis pemisah yang tajam antara dirinya dan alam sekitar. Ia merasa tidak menjadi bagian dari bumi dan lingkungan yang sedang dipijaknya.”

Kisah lalu flashback ke masa lalunya, di masa kecil sebagai  anak dari keluarga miskin. Sekolah hanya sampai SMP dan bekerja sebagai pembantu di keluarga kaya Haji Bakir. Di sinilah ia bergolak, Pak Haji punya anak cantik sekali, Rifah. Ia jatuh hati, tapi kemiskinan mencipta ragu, apakah pantas, apakah bisa? “Sungguh dunia, seluruhnya, telah membelakangiku.”

Petaka tiba saat ia berkenalan dengan Partai Komunis lewat agennya, Kawan Margo. Pelan nan pasti ideology merah merasukinya, meyakinkannya. Karman memang didorong untuk membuang jauh semua kepercayaan atas segala sesuatu yang tidak membenda. Ajaran partainya mengatakan, apa yang tidak membenda sama dengan omong kosong. Bagaimana kaum miskin tertindas, bagaimana para jutawan semena-mena. Hal ini tentu juga disangkutkan dengan nasibnya sendiri. Cintanya yang kandas, memandang materi sebagai pertimbangan utama. Ia sesat, dan mendalami PKI, yang jua meninggalkan ibadah salatnya. Karman menjadi sekretaris dan mendedikasikan hidupnya untuk partai. Hingga akhirnya, sesuai sejarah tahun 1965, komunis digulung.

Kenapa saya bilang ini novel hitam putih, sebab jelas yang baik selalu diselamatkan, yang jahat terlunta-lunta. Baik-buruk juga dilihat dari sudut umum. Artinya, komunis itu jahat, makanya saat mereka dihilangkan, pemerintah seolah melakukan hal yang benar. Makanya, setelah Karman tobat, ia mendapat hidayah. Termasuk setelah berbagai kegalauan, ia mendapatkan hal-hal yang diharapkan. Istri, pertobatan, hingga kesempatan kedua. Sangat jelas, dan begitu memihak sisi malaikat.

Lihat bagian ini, “Kini satu-satunya taruhan yang menyebabkan dia masih ingin hidup, yakni harapan bisa hidup kembali bersama istri dan anak-anaknya, telah runtuh. Karman merasa dirinya benar-benar sudah selesai, tamat, hilang.” Bagian yang menjadikan sungguh segala kebaikan akan menuai kebaikan, sungguh pertobatan akan diterima dan segalanya akan indah pada masanya. Dan yang pasti, sikap putus asa tidak pernah menjadi jawaban yang benar.

Termasuk saat sakit, bagaimana setelah terpuruk dan lalu terlihat tanda sembuh. Ia meminta rokok. Bila orang sakit sudah ingin merokok itulah pertanda baik. Dan seperti semua harapan manusia, pada dasarnya manusia sebelum datang kematian, setiap orang akan mengalami satu di antara tiga cobaan: sulit mendapat rezeki, kesehatan yang buruk, dan hilangnya orang-orang terdekat. “… Untuk mendasari upaya penyembuhan jiwamu, kau harus memulai dari kepercayaan. Ya kepercayaan.”

Tuhan semesta alam, selalu memberi kesempatan bagi mereka yang mau bertobat. Bahwa ia mengatur segalanya, ada kekuatan besar yang berkuasa atas dirimu. Kekuatan itu mengatasi apa saja yang ada padamu. Pokoknya kau hanya memiliki kekuasaan yang kecil atas dirimu sendiri. “… Rasanya saya sudah kehilangan tujuan. Kehilangan segala-galanya. Hidup saya terasa sangat enteng. Dan kosong.”

Novel ini juara tahun 1981 dari Yayasan Buku Utama Kementerian P & K. Jelas, di masa itu hal-hal yang terasa mendukung program pemerintah, didukung. Era tak seterbuka sekarang, maka provokasi dari satra dirasa juga efektif. Ini termasuk buku-buku mula yang berani membahas tragedi 1965. Dan karena terasa sekali memihak pemerintah, partai yang terpinggirkan seolah isinya buruk semua.

Setelah Kubah, saya baca Di Kaki Bukit Cibalak. Malah terasa feel-nya. Bagaimana politik di desa memberi dampak serta pemecahannya yang bagus. Berikutnya, di rak saya ada Lingkar Tanah Lingkar Luar. Total punya tiga buku itu. Mungkin tak sampai membuatku jadi fans Ahmad Tohari, tapi jelas buku-bukunya laik dikoleksi. Termasuk yang fenomenal, Sang Penari.

Kubah | by Ahmad Tohari | GM 40101120067 | Penerbit Gramedia | Desain sampul Eduard Iwan Mangopang | Jakarta, 1995 | ISBN 9789792287745 | 216 hlm; 20 cm | Cetakan keenam, September 2017 | Skor: 4/5

Karawang, 150722 – 260722 – John Coltrane – Ruby my Dear

Thx to Gramedia World Karawang

Dua Drama Mendebarkan di Atas Kapal

“Aku memahami pokok-pokok, bahaya dan kerasnya serangan dan pertahanan, teknik berpikir bergerak ke depan, perencanaan, dan serangan balik. Dan aku mampu mengenali kepribadian dan gaya masing-masing…”

Menakjubkan. Bagaimana bisa dua buah cerita pendek, tapi tak terlalu pendek, bernarasi di atas kapal. Polanya sama, bertemu orang asing, lalu bercerita. Dua drama yang menakjubkan. Untuk buku ini, kekuatan cerita yang utama. Menegangkan, bahkan hanya dari dua orang duduk ngobrol kita turut khawatir dan ketakutan. Yang pertama, curhat dokter yang ketakutan sebab menyimpan rahasia gelap. Kedua, curhat mantan tahanan Nazi yang jenius aneh, sebab dalam penjara secara tak sengaja menanamkan buku catur di otaknya. Keduanya sungguh brilian cara penyampaiannya, cara menyelesaikan masalahnya, cara mengakhiri cerita.

Amok secara hebat menelusur masa lalu sang dokter yang terasing, bagaimana masa lalu menciptanya jadi segila saat ini. The Royal Game juga sama, secara hebat menelusur sang dojter yang terasing, bagaimana masa lalu menciptanya jadi sejenius saat ini. Keduanya ditempa kesepian, keterasingan, dipaksa keadaan. Dan keduanya menjadi tokoh sentral yang bercerita pada sang aku, sang aku menjadi pendengar yang sangat baik, lantas menjadi penulis kisah yang brilian.

#1. Amok

Dinarasikan oleh penumpang tak bernama, sang penulis yang naik kapal dari India. Tiket sudah habis, tapi kalau ada kapal dari Hindia Timur nanti dikabari. Dan benar saja, ada tiket murah menuju Eropa, seadanya. Ga masalah, sebab ia memang ingin gegas mudik. Selama perjalanan kapal India ke Eropa itulah ia berkenalan dengan orang aneh di dek gelap.

Setiap tengah malam, ia ngopi menikmati kesunyian, memandang cakrawala. Lalu secara tak sengaja bersinggungan dengan orang aneh, yang mabuk dan waspada. Kesamaan sepi dan nasib menyatukan mereka, lalu ia pun menjadi pendengar kisah menakjubkan tentang cinta yang kandas dan rahasia besar.

Seorang dokter Belanda yang ditugaskan di Pulau Jawa, keterasingan dan beban hidup yang ditimpakan membuatnya kesepian. “Dalam keterasingan yang bagai neraka ini. Ah, hutan, keterasingan, ketenangan, saya bermimpi!” Keseharian melayani masyarakat, pernah membantu anak walikota yang kakinya terluka, terkenal baik hati dan suka menolong. Hingga pada suatu hari muncullah tamu agung, seorang istri pejabat Belanda yang galau. Awalnya ngaku sakit kecil, “Bukan hal serius, hanya hal-hal kecil, masalah perempuan… pusing-pusing, pingsan.”

Keluhan sakitnya, tak secara langsung disampaikan. Secara tersirat meminta tolong, tapi sang dokter memberi bayaran berat, yang ditolak, tarik ulur itu menghasilkan putusan memalukan. “Ada percikan hasrat dalam diriku mengatakan: jangan terlalu cepat! Ciptakan kesulitan. Buatlah dia mengemis!”

Sang dokter yang kesepian, hasrat seks-nya yang selama ini tersalur dengan penduduk lokal yang pasrah dan dingin, kini mengingin perlawanan. Dan cintanya terhalang tembok besar. “Saya sangat lemah terhadap wanita dengan sikap dingin dan angkuh.”

Suami pejabat itu akan turun dari kapal hari Sabtu, maka mereka yang kembali bertemu di pesta jamuan malam tampak canggung, dan sayangnya takdir yang menyentuh mereka adalah putusan hitam. “Bila Anda telah kehilangan segalanya, Anda berjuang mati-matian untuk yang terakhir yang tersisa, dan yang terakhir adalah warisannya kepada saya, kewajiban saya untuk menjaga rahasianya.”

Dan di sinilah, di atas kapal perjalanan jauh ini sang dokter memiliki misi menjaga warisan rahasia itu. Di Napoli, segalanyanya ditutup. Pilu, sedih, tragis.

#2. The Royal Game

Bertema catur, duo jenius beradu di atas kapal. Yang pertama adalah juara dunia yang ditemukan secara tak sengaja oleh bapak pendeta di Yugoslavia. Anak yatim piatu bernama Mirko Czentovic yang tinggal di gereja menjadi anak asuh. Tumbuh buta huruf, tak mengenal sekolah, seolah tanpa harapan. Namun suatu malam saat sang pendeta main catur melawan si polisi, ada panggilan tugas mendadak yang memaksa permainan dihentikan. Pak polisi yang mengamati bocah yang penasaran melihat papan catur, mengajaknya melanjutkan main, dan si bocah menang. Menantang berulang, menang terus, besoknya bapak angkatnya penasaran dan saat bertanding si bocah menang berulang kali. Hingga akhirnya mencipta kegemparan, jenius catur ditemukan. Hingga ia mendapat gelar juara dunia. Yang kedua adalah penumpang asing, yang secara tak sengaja turut serta pusaran permainan.

Nah, dalam perjalanan kapal uap dari New York ke Buenos Aires. Si aku (lagi-lagi mengambil sudut pandang penulis) penasaran, sebab di kapal ada juara catur, ia coba memancingnya. Menantang main catur sama sobatnya McConnor di area merokok, lalu menggoda temannya untuk menantang sang juara dunia. Promotornya memiliki banyak syarat, salah satunya ada uang yang dipertaruhkan, dua ratus lima puluh dollar dalam satu permainan. Tak masalah, Czentovic melawan semua penonton, artinya boleh membantu memberi saran, dan pertandingan dilakukan jam 3 sore.

Seperti dugaan, McConnor kalah. Dan menantang tanding ulang, dan saat di tengah permainan, McConnor diberi nasehat orang asing. Penonton di belakangnya nyeletuk, kasih nasehat, beri saran tiap langkah, dan hasil seri sepertinya sudah cukup. Benar saja, semua intruksi diikuti, sampai membuat jenius kita kewalahan, hingga meminta seri. Pikirannya yang cepat harus menghitung semua pergerakan lawannya mungkin terlebih dahulu.

Besok, juara dunia yang penasaran malah gantian meminta tanding lagi. Di jam yang sama, dan kali ini sang aku meminta bantuan orang asing tersebut, dan tahulah kita semua masa lalu Dr. B. Bagaimana ia mendapat ilham catur, di penjara, introgasi, frustasi, dan dalam keterasingan, ia mendapat ilham. “Dan dengan empat atau lima benda-benda yang bisu: meja, tempat tidur, jendela, wastafel. Kauhidup seperti penyelam di lautan hitam dalam keheningan… ketiadaan di mana-mana.”

Buku yang diambilnya, diselundupkannya adalah buku catur, dank arena dalam penjara tak bisa ngapa-ngapain, ia lalu memelajari catur dengan luar biasa intens, menciptanya jadi manusia super. “Aku bermain ‘buta’ menggunakan istilah teknis. Catur memiliki efek mengagumkan karena energi intelektual yang dikumpulkan dalam bidang sempit yang dibatasi. Aku memikirkan kemustahilan yang aneh: ingin bermain catur melawan diriku sendiri.”

Singkat cerita, besoknya ia maju dan meminta jangan terlalu berharap banyak, ia mengingatkan sang aku untuk menegurnya, bila meminta tanding ulang, ingat ini hanya satu laga. Duo jenius berhadapan, siapa menang?

“’Kau bermimpi’, aku berkata pada diriku sendiri. ‘Kau bermimpi’ apapun yang kau lakukan, jangan buka matamu! Membiarkannya pergi, mimpi ini. atau kau akan melihat kamar yang terkutuk di sekitarmu lagi: kursi, wastafel, meja, dan wallpaper dengan pola selalu sama. Kau bermimpi, pergilah dari mimpi!”

Ini adalah buku Stefan Zweig pertama yang kubaca. Bagus banget, dua cerpen (atau bisa disebut juga novela) yang kusikat dalam dua kali kesempatan duduk. Malam Minggu (09/07/22) dan Minggu paginya di suasana Adha. Ada biografi singkat sang penulis di halaman belakang, perjalanan hidupnya yang membenci Nazi, dan bagaimana ia mengungsi ke Inggris lantas ke benua Amerika dan memutuskan bunuh diri, bergitu juga istrinya. The Royal Game adalah karya terakhirnya, dan malah menjadi buku perdananya yang kulahap. Di rak ada buku satu lagi karya beliau. Tak sabar rasanya, apa kekejar bulan Juli ini juga?

The Royal Game and other stories | by Stefan Zweig | Penerjemah Maria Vregina & Aprilla Rizqi Parwidanti | Editor Wayan Darmaputra | Penyelaras akhir Naufil Istikhari KR & Wahyudi Kaha | Perancang sampul dan lukisan Anzi Matta | Penata letak Mawaidi D. Mas | Penebit Papyrus, 2017 | Cetakan pertama, 2017 | vii + 239 hal; 13 x 19 cm | ISBN 979-602-19513-9-2 | Skor: 5/5

Karawang, 110722 – Caro Emerald – Back it Up

Thx to Warung Sastra

Tiga Cinta, Ibu

“Di Lembah ini, Buyung, sejak keturunan pertama sampai saat ini, kaum kita adalah orang-prang panutan. Kesetiaan kita kepada adat senantiasa menjadi ukuran bagi orang lain untuk memberikan penghargaan! Penghormatan!”

Sederhana, dan menarik. Pusat cerita sejatinya bukan sang ibu, tapi cinta yang kandas dengan berbagai sebab. Pertama di Padang, dengan kegalauan akut mudik untuk meminta restu dan kelonggaran adat demi sang kekasih. Kedua, mahasiswa galau mencinta perempuan aneh yang di persimpang jalan. Ketiga, kali ini bukan rentang asmara kekasih, tapi kegalauan pasangan yang mendamba anak tapi belum siap program punya anak. Ribet ya? Enggak juga, manusia memang pusatnya kegalauan. Atas nama eksistensi, ketiganya dibaur samar. Padang, Banjarmasin, dan kembali ke Padang. Secara ketiganya memang tak berhubung langsung, tapi cinta ibu menentukan langkah antisipasi untuk diambil di kemudian hari.

#1. Cinta 1, Lembah Berkabut

Jun mudik ke Padang, ia membawa misi berat. Berkenalan dan lantas bepacaran dengan gadis perantau juga di Jakarta, Yani ternyata adalah saudaranya. Dan hubungan kasih ini menurut adat dilarang dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Jun yang galau, menatap nanar lembar tempatnya lahir, tempatnya berasal. Pertentangan hati itu dibawa pulang untuk didiskusikan, saudara-saudaranya dimintai pendapat, terutama tetuanya. Walaupun sudah tahu jawabannya, walaupun bakalan ke arah mana izin ini, ia tetap ingin memastikan. Mereka sama diwisuda, merencana menikah, dan petir menggelegar.

Pertentangan batin antara maju terus demi cinta atau mengikuti adat menjai bumbu pahit yang selalu menarik. Pemikiran modern melawan tradisional, kita turut bingung dan merasakan pula kekhawatiran, maju mundur kena soalnya. Dan pikiran positif yang disampaikan Yani, jika kita mampu menyesuaikan diri dengan masa dan kondisi, kesenangan memang akan terdapat di mana-mana. Ada benarnya, bahagia itu sekarang, tak perlu menanti esok. Maka apapun keputusannya, itu adalah jalan hidup. Dan begitulah, betapa banyak manusia yang baru memikirkan sesuatu apabila ia telah berkepentingan dengannya.

“Hanya di Lembah inilah segala omong kosong masih mendapat tempat!”

#2. Cinta2, Riu

Hasbi menelusur masa lalu Riu, teman kuliahnya yang tiba-tiba menghilang. Kekasihnya itu dirudung kegalauan, telusur Hasbi menghasilkan informasi bahwa Riu yang piatu, ‘dijual’ ayahnya, Pak Sumau yang tukang mabuk dan judi. Demi materi dan kelangsungan hidup, ia menikah dengan bos kaya Kanyu. Riu lantas mencari dana untuk mengadakan upacara penghormatan arwah ibunya, menurut adat hanya dengan upcara Ijambe itulah arwah ibunya akan sampai di surga. Sekalipun Riu sudah mualaf, ia tetap menghormati kepercayaan orang terkasih. Dekat, namun sekaligus jauh.

Dalam perjalanannya, saat menghadiri upacara Ijambe 14 mayat. Ia berkenalan dengan turis lokal yang juga mencari jawab. Ternyata Victor bukan sembarang turis, ia memiliki misi dan akhirnya berbenturan dengan niat Hasbi, dengan segala kelimbungan hati, banyak hal perlu dibenahi.

Di bagian kedua mirip, atau bisa dibilang sama saja. Cinta kandas, yang kali ini terbentur masa lalu pasangan, dan seberapa layak cinta itu diperjuang. Perjalanan waktu mengikis apa saja, senantiasa. Perjalanan waktu juga menyodorkan yang baru, selalu begitu. Bukankah setiap perubahan selalu mengandung konsekuensi? Kalau yang ini semua jelas, keputusan bulat sudah diambil. Hasbi, tak perlu meminta petunjuk Ibunya, segalanya sudah diputuskan, waktu yang akan mengobati lukanya.

“Beberapa kali kami berbaku tatap, namun seperti ada sesuatu yang kaku menandingi.”

#3. Cinta 3, Masih Bagai Butir

Pasangan suami istri Jap dan Ina menunda memiliki anak, sang istri yang lebih tua mengingin usia 30 adalah masa yang tepat, itu berarti mereka harus lebih sabar. Jap yang seorang penulis berita, lebih jarang di rumah. Lalu muncul ide, menadopsi anak. Uni Sasmi saudara mereka, memiliki anak enam tahun Budi yang belum sekolah, lalu diajaklah Budi tinggal di sana, menemani Ina dan pembantunya Rukma.

Kebahagiaan ada anak di rumah ternyata tak berlangsung lama. Budi yang memang anak kampung, susah diatur. Suka main tanah dan kotor-kotor, baju bagus yang dibelikan tak mau dipakai, lebih dekat sama Rukma ketimbang padanya, memilih pakai baju lusuh dari ibunya, hingga kahirnya merengek kangen ibu. Hufh…

Menurutku, ini yang paling lemah. Konfliks dicipta sendiri, dengan penyelesaian sendiri, mudah dan sederhana sekali. Kita tahu semua orang adalah pembelajar, tak peduli berusia berapapun. Kalau sudah memutuskan menunda punya anak, ikuti konsekuensi itu. Kalau sudah memutuskan mengadopsi anak, ikuti pula konsekuensi itu. Makanya, cerita ini seolah tampak meriah atau malah turut murung, tentu saja bergantung kepada suasana hati mereka yang menatapnya. Perempuan yang mengikuti mood yang berayun.

“Betapa sekejap usia kebahagiaan.”

Kubaca cepat dalam tiga hari, satu cerita per hari. Jumat, 1 Juli hingga Minggu kemarin. Tipis, sehingga bisa gegas. Nama Gustafrizal Busra atau lebih terkenal dengan Gus TF Sakai adalah sastrawan pemenang Kusala Satra Khatulistiwa dengan bukunya Perantau. Belum kubaca, ini adalah buku beliau pertama yang kutuntaskan. Kemarin pas memutuskan beli, karena nama beliau saja yang sudah kukenal, minimal perkenalan satu buku dulu sebelum melahap Perantau. Secara keseluruhan, lumayan enak. Bahasanya nyastra, tapi inti cerita masih nyaman, dan poin utama: cerita, bagus. Mengusung tema cinta, dengan pijakan seorang ibu, kita diajak sepintas lalu menelusur cinta-cinta yang kandas. Yang paling kusuka, jelas cerita pertama. Endingnya yang gantung, cinta yang terhalang adat dan norma, hingga dibawakan dengan puitik. Konfliks yang takkan lekang, cinta tak sampai.

Cerita dengan pilihan diksi yang meliuk-liuk itu tak salah, dinarasikan dengan indah melalangbuana, membumbung tinggi dengan gegap gempita indah, kata-kata mutiara melimpah ruah di setiap lembarnya, tak mengapa. Namun balik lagi, intinya adalah cerita yang bagus. Cerita dengan konfliks berat, makin berat dna rumit bakalan makin meriah. Makin aduhai, apalagi penyelesaiannya juga hebat, makin menambah jempol.

Tiga Cinta, ibu memenuhi itu. Hanya sayangnya terlampau tipis, ibarat bercinta yang nikmat, durasinya kurang lama. Mungkin di buku berikutnya yang lebih tebal, penguat itu ada. Semoga…

Tiga Cinta, Ibu | by Gus TF Sakai | GM 201 02.004 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Jakarta, 2002 | Pewajahan Sofnir ali | Ilustrasi sampul Mirna Yulistianti | Setting Fransiska Aries Dian Lestari | 108 hlm.; 14 x 21 cm | ISBN 979-686-604-8 | Skor: 4/5

Mak dan Cul, Cinta yang tak henti mengalir

Karawang, 040722 – Blink 182 – First Date

Thx to Kang Asep, Bandung