
Aruna dan Lidahnya by Laksmi Pamuntjak
“Kuah babat karena memberi bodi dan aroma, kacang kedelai karena membuat ekstra renyah, timun karena menambah asam dan segar.”
Karena saya sudah melihat filmnya, apa yang dilakukan dan diucapkan Aruna sudah tercetak wajah Dian Sastrowardoyo. Apalagi gerak-geriknya mirip, atau perasaanku saja yang mengikuti? Entahlah. Ini novel dengan citarasa makanan melimpah, pemakaian kata lezat pada tempatnya. Perhatikan, “Sebuah dunia yang telah terbentuk lama sekali, sebelum musik, sajak, dan gambar, dan yang pagi malam mengisi penuh kepalanya, mengisi dan menaungi.”
Secara cerita mungkin agak kurang, kalangan atas sedang kerja dan makan-makan, motif dan pengembangannya yang kurang relate sama kebanyakan kita, atau kurang pas sama jelata. Pejabat pemerintah, dan lingkarannya melakukan kejahatan, Aruna terseret pusaran, dan begitulah ia mengikuti decak kenikmatan makanan dari kota ke kota. Keistimewaan buku ini jelas, cara penyampaiannya yang luar biasa. Lezat di tiap lembarnya. Memang ini hidangan istimewa, nikmatnya berlapis-lapis. “Selalu ada tradisi makanan yang tak diketahui orang.”
Aruna Rai adalah ahli wabah dengan spesialisasi Flu unggas, diperbantu dalam kasus flu burung yang melanda Indonesia. Bekerja sebagai konsultan epidemiologi, menyebut diri sebagai ‘Ahli Wabah.’ Ada delapan kota yang akan dikunjunginya, kota-kota yang mendapati positif pasien flu burung, dicek dan analisis untuk kemudian dilaporkan ke bosnya. Apakah perlu mendirikan pabrik vaksin? Apakah perlu mencegah penularan dengan proteksi lebih tinggi. Dan tentu saja semua itu perlu biaya. Satu kasus di delapan kota, terjadi secara serentak. Bahaya wabah masih jauh di bawah tingkat siaga? “Sebuah virus akan akan pernah takluk, ia kecil, ia sabar, ia mengganda dalam diam. Tak ada yang menghitung umurnya, tapi ia tak pernah lupa. Suatu hari ia akan datang, menyerang, dan kita tak berdaya menangkalnya.”
Dalam tim Aruna sama lelaki yang sejatinya nyebelin, tapi akrab dan mencoba masuk lingkaran pertemanan. Farish mungkin bukan cowok idealnya Aruna, tapi mereka satu tim dan kebersamaan mencipta hubungan lebih lanjut.
Sejatinya dua sobat kental Aruna-lah penggerak cerita: Bono yang seorang chef lulusan luar negeri yang obsesif sama makanan. Ia begitu hebat menganalisis kualitas makanan, hapal sama kota-kota dengan kekhasan sajian. Manusia yang hidup untuk optimism, harapan, sihir resep yang mengejutkam, retoran yang tak terlupakan, kisah yang tak selesai, kata-kata yang tak terucapkan, malam yang membuka alam setengah mimpi. Bono a.k.a. Johannes Bonafide Natalegawa, chef muda berbakat internasional. “Tak hentinya mengumpulkan fakta remeh temeh tentang makanan tapi yang jika dilontarkan sesekali dalam sebuah pembicaraan membuat sang pembicara semakin menarik dan misterius.”
Satu lagi, si cantik Nadezhda Azhari. Penulis kuliner yang tak mau menikah. Memiliki hubungan dengan lelaki bersuami dari Eropa. Dan karena seorang penulis, hubungan gelap itu sama penulis juga. Suka sama prinsipnya, “Dia tidak pernah menonjolkan kelebihannya terhadap orang-orang yang tak dikenal baik.”
Keduanya turut serta tim Aruna, sekaligus jalan-jalan ke tempat makan. Kuliner ke delapan kota, dari Surabaya, Pamekasan, Singkawang, hingga Pontianak. Dengan dalih menemukan resep makanan lokal yang otentik. Dalam pelaksanaannya, banyak hal meragu, tampak sesuatu yang salah, konspirasi macam apa ini? Dan pada akhirnya Aruna harus mengambil tindakan, dalam keragu-raguan, ketetapan hati harus diambil.
Ada beberapa kalimat panjang yang bagus untuk di-sher. Salah satunya: “Yang melihat poster Macedonia dan bukan membayangkan kemiskinan dan musim kemarau berkepanjangan melainkan sepiring salad dengan mentimun dan tomat termontok di jagat raya, yang melihat poster Venezia dan membayangkan bukan air yang menyapu kaki dan dengkul, melainkan aneka hasil laut yang berlimpah-limpah di Pasar Rialto, manusia yang tahu bahwa mereka bahagia saat lidah mereka bersentuhan dengan pandan dan gula Jawa, saat hidung mereka menghirup gulai yang lekat.”
Atau kesimpulan yang bagus, bagaimana setiap resep kuliner selalu ada yang hilang tak tercatat. Pahlawan lokal. “Akan sekian banyak pahlawan kuliner yang tak tercatat, yang tak mungkin tercatat karena begitulah budaya rakyat, yang namanya tertelan oleh roda waktu dan perputaran zaman, yang resepnya entah bagaimana kekal dalam tafsir beratus beribu tangan.”
Kesamaan para karakter selain obsesi makanan adalah, di usia matang 30-an semuanya memilih lajang. Aruna yang galau di angka 35, merasa gendut dan tak pede. Bono yang kalau dilihat kaca mata umum, sudah mapan, ia terlalu fokus sama karier dan bisnis makanannya. Dan Nadez yang berpendidikan luar, menikmati hidup sampai keblabasan sehingga memilih tak menikah.
Ada satu lagi, bagian yang mengingatkanku pada novel-novel John Grisham. Di mana seorang pekerja, muak sama kehidupan, kesal sama rutinitas sehingga ingin kabur dari segalanya. Nah, di sini Aruna sempat terbesit. “Mungkin bisa aku minggat saja setelah investigasi ini selesai, ke Lima, ke Luanda, ke Lesotho, pokoknya ke kota yang tak akan pernah terlintas dalam benak siapa pun, dan suatu saat, lima tahun lagi, baru pulang ke Jakarta untuk menata ulang hidupku.” Wajar sih, kita semua bosan. Dan impian liar sejenis itu selalu ada.
Hingga tercipta tragedi. Kucatat ada tiga masalah pelik di akhir. Pertama tentang Leon sang mantan yang tragic, bagaimana menanggapi seorang yang kini bukan seseorang lagi di hatinya? Sedih sekali, lenyap jadi debu dan tak bisa menziarahi secara langsung. Kedua, keputusan bosnya yang berdiri di tengah-tengah. Kasus ini pelik, korupsi tak boleh dimaafkan. Dan rasanya berat saat tahu, temanmu, sekaligus bosmu terjerat. Kamu ada di tengah-tengah dan bimbang. Ketiga, keputusan akhir Aruna menambatkan hati. Ia malah mengalah, ia menyerah pada jiwa lelaki yang sejatinya tak klop 100%. Namun lelaki ini siap mendampingi, bahkan saat ke pulau Nusa, bisa menyediakan waktu dan tempat untuk bernaung. Terkadang memang kita harus mengalah pada keadaan. “Hal-hal yang kita lakukan dan hal-hal yang kita impikan. Aku masih ingin hidup di dalam keduanya.”
Novel pertama Laksmi Pamuntjak yang kubaca, keren banget. Pemilihan kata, nyaman dan puitik. Salah satu novel lokal dengan liukan kata terkeren yang kubaca. Cerita mungkin agak kurang, sebab memainkan orang-orang kalangan atas yang tak relate sama jelata. Pilihan dengan makanan sebagai tunggangan utama, baru pilihan bagus. Berapa banyak sih novel dengan citarasa makanan sebagai tema dicipta di Indonesia? Tak banyak. Apalagi dibuat dengan gemuruh diksi sekeren ini. Pengalaman pertama yang akan mematik karya-karya berikutnya untuk dilahap. Next, Amba?
Aruna dan Lidahnya | by Laksmi Pamuntjak | GM 201 01 14 0032 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Desain sampul SOSJ Design Bureau & Consultancy | Ilustrasi sampul Barata Dwiputra | Foto Pengarang Bona Soetirto | ISBN 978-602-03-0852-4 | Skor: 4.5/5
Buat D.S.K. (1968-2013)
Karawang, 210822 – 070922 – Miles Davis – Once Upon a Summertime
Thx to Derson S, Jkt