Guardians of the Galaxy Vol. 3: Tidak ada Dasar Filsafat atau Politik yang Mampu Mengatasi Masalah Setiap Orang dalam Sepanjang Waktu

“I love you, guys.”

Mungkin, saya jarang nonton film up to date. Nonton nunggu mood dan waklu luang, atau menanti film dengan bintang favorit, Saoirse salah satunya. Untuk Marvel, beberapa memang dinanti, ini salah satunya. Makanya nonton di hari mula sebelum kena bocoran (H+1). Bagus, sungguh menghibur. Jelajah angkasa dengan sentuhan personal. Semua perjalanan penyelamatan Roket sangat amat layak, setiap menitnya menyenangkan. Hebat yang buat cerita, setiap tokoh punya porsi pas. Masing-masing punya kepentingan yang laik diperhatikan. Harusnya lima jam, biar makin plong. Dalam pertarungan, ada tiga kubu, tiga kepentingan. Satu kubu dibiarkan mengambang, harusnya sekalian saja didedah, biar plong. Mungkin ini terdengar kejam, ada dua adegan yang harusnya jagoan dimampusin aja sekalian, malah berbelok secara dramatis.

Jadi malam Jumat, 4 Mei 2023 bertiga naik motor selepas Isya bersama May dan Hermione kita otw Festive Walk, Krw. Hanya lima menit dari rumah, Sikusi aja biar parkirnya murah. Sampai bioskop CGV pukul 20:05, masih sepuluh menit. Ke toilet dulu, sebab filmnya hampir tiga jam. Dan begitulah, kita masuk bioskop. Hermione, saya tanya masih ingat ga film GotG2 dulu nonton bareng? Enggak ingat. May juga, lupa. Padahal dulu bertiga juga nontonnya. Bahkan, saat kusampaikan poin penting, “I am Groot…” tetap ga pada ingat. Fufufu… baiklah.

Kisahnya langsung menyambung dari Avengers, di mana Gamora (Zoe Saldana) meninggal dunia. Sang kekasih Peter Quill (Chris Pratt) frustasi, hidupnya berantakan antara ada dan tiada. Dibuka dengan sangat amat keren, lagu terkenal Radiohead, Creep bergema sebagai iringan, proses Rocket (Bradley Cooper) dalam pintasan ingatan masa lalu dan masa kini dalam tugas di markas baru Knowhere. “I was so special…” lagu itu seolah dibuat khusus untuk film ini, nyatanya itu lagu jadul, sudah lama rilis. Jadi memang adegan pembuka ini dibuat menyesuaikan lagu. Dan benar saja, Roket sepanjang film memang spesial.

Mereka tiba-tiba mendapat serangan dahsyat dari Adam Warlord (diperankan lucu oleh Will Poulter) prajurit Sovereign yang mengingin Rocket. Pasukan Penjaga tentu saja melawan, pada luluh lantak. Drax (Dave Bautista) yang kekar dihajar bertubi hingga rontok. Groot (Vin Diesel) ambyar, Kraglin (Sean Gunn) yang coba mengendalikan jarumnya keok, hingga Mantis (Pom Klementieff), kalah semua. Pada akhirnya mereka bersatu dan Nebula (Karen Gillan) berhasil menikamnya, dan Adam kabur, tapi ini ada konsekuensi. Rocket terluka, dan Vol. 3 menjadi misi penyelamatan Rocket sepanjang film.

Masa lalu Rocket lalu dibuka. Adegan flashback, tumpang tinding dengan masa kini dalam pencarian obat. Di masa lalu, kita jadi tahu betapa special Rocket. Ia adalah rakun Amerika yang dikembang-teknologi-kan oleh peneliti semesta, High Evolutionary (Chukwudi Iwuji). Jadi si High sedang mencari formula bagaimana mencipta hidup sempurna. Hewan-hewan dibawa ke laboratorium, dibedah, diteliti, dianalisis untuk jadi ideal. Rocket, bersama tiga hewan lain: kelinci, walrus, dan berang-berang. Dalam satu tempat, beda sel kandang saja, waktu membuat mereka akrab. Nasib membuat mereka bersatu, dan penelitian itu mencipta alat bisa membuat hewan mengalami evolusi secara instan. Rocket adalah salah satu hasil yang istimewa. Otaknya melampaui harap.

Maka saat mendengar bahwa esok otaknya akan diekstraksi dan teman-temannya akan dimusnahkan, ia gegas mencipta kunci, melepas mereka semua, untuk kabur. Kabur ke angkasa, bersama. Oiya, mereka menamai diri sendiri, berdasar impian dan kondisi saat itu. Lylla berang-berang, Teefs walrus, Floor kelinci. Termasuk Rocket yang ingin menembus langit jadi Rocket racun. Sayangnya, rencana itu buyar, hanya satu yang berhasil kabur dengan selamat. High terluka parah di wajah.

Saat Rocket sekarat. Peter yang mabuk itu tiba-tiba langsung segar, dan rekan-rekan semua bersatu demi misi penyelamatan. Anehnya (ini yang menurutku, lemah), karakter alternative Gamora (diperankan oleh Zoel Saldana juga) ari Ravengers bergabung. Seolah ini menggampangkan, seolah tak rela Gamora sudah koit. Sayang saja. Nah, di sini ia tak mengenal Peter. Mereka berdua jadi asing satu sama lain.

Misi pertama mengambil file kode yang membentuk Rocket di Orgocorp. Lucu sekali, saat masuk mereka mengenakan baju khusus astronot, pas dilepas dan mau disimpan, Mantis menyarankan dimasukkan ke lubang, yang ternyata adalah lubang buang, jadinya baju-baju itu melayang. Singkat kata, filenya sudah dihapus, dan dengan cepat analisis bahwa kode itu ditanam di otak Theel, asisten High. Maka misi kedua mengejarnya.
Mereka sampai di Counter Earth. Dunia ciptaan dimana masyarakatnya dihuni warga ideal. Misi mengejar musuh itu bisa jadi juga harapan musuh, sebab High yang mengingin otak Rocket kini malah didekati mangsa. Peter mengingin Theel, High mengingin Rocket. Dan dunia ideal ala ilmuwan gila itu menjadi korban. Pertarungan epik, hingga menit akhir.

Harus diakui, Vol. 3 ini benar-benar fun. Saya belum lihat Vol. 1, tapi Vol. 2 juga agak terlupa. Yang ini, semua mata tertuju pada Rocket. Adegan-adegan lama jadi begitu berharga. Karakter yang sudah istimewa, Vol. 3 makin membuatnya istimewa. Apalagi sudah dikonfirmasi ini triogi, ini film pamitnya Gunn yang menyeberang ke DC. Sebuah perpisahan manis, sangat manis.

Ada dua ACS, pertama worth it ditunggu. Kedua, ya salam. Bisa ditinggalkan. Kita bahas yang pertama saja. Di gurun dengan Para Penjaga berpaten baru menunggu, apa yang ditunggu, silakan dilihat. Kemunculan karakter baru, Phyla Vell. Sepintas, seperti biasa menimbulkan banyak spekulasi. Phyla adalah hasil rekayasa genetika High. Seperti yang lain, Phyla dicipta untuk mencipta ras unggul. Dan seperti Rocket, ia istimewa. Patut dinanti kiprahnya mendapat tongkat estafet Avenger fase berikutnya.

===catatan berikutnya ini mengandung spoiler===

Ada tiga adegan favorit saya. Pertama saat High menyambut Para Penjaga Galaksi, lalu Nebula bilang, masih ada waktu untuk kabur. Lalu Rocket menjawab, “Aku sudah bosan melarikan diri.” Lalu adegan keren, dalam satu ruangan. Pertarungan memukau dengan kamera berputar, menampil aksi dari berbagai sudut. Diiringi lagu yang mematik andrenalin. Best scene. Ini seolah menjawab, kebimbangan kita saat melihat Rocket kabur naik jet tak lama setelah kematian sahabat-sahabatnya.

Kedua, saat Rocket tertunduk marah dalam diam. Ia tahu, para sahabat akan dimusnahkan. Maka dengan gerak cepat membuat kunci, mengajak ketiganya kabur. Namun malang, dramatis tewas semua. Ia tertunduk terdiam. Bisa jadi pematik utama kehidupan ke depannya, jadi titik baliknya. Dan betapa puasnya saat head-to-head dengan High, mencabik-cabik melampiaskan amarah itu.

Ketiga, ini yang fun saja. Saat Peter mencoba ‘merayu’ Gamora dengan intercom komunkasi dua arah, yang ternyata nyambung ke lainnya. Dan Mantis yang emang lucu, menggoda. Drax yang bodoh, saat menerima joke agak loading. Betapa, cinta memang buta. Tak mengenal tempat, tak mengenal dan menerima sosok kasih yang kini asing. Kurasa kelebihan Marvel ketimbang lawan sebelah adalah lawakan selalu ada, disisipkan dengan tepat di waktu yang pas. Serius, Marvel unggul jauh kalau untuk porsi ini.

Komentar Hermione, biasa saja. Mungkin tak menemukan klik. Sayang sekali, memang bukan film anak-anak. Komentar May, bagus. Dah itu saja. Hhmmm… komentar saya, singkat saja. Tentang High Evolutionary yang berniat baik, tapi caranya salah. Dan jahat. Well, tidak ada sistem di dunia ini yang sepenuhnya adil dan aman. Tidak ada dasar filsafat atau politik yang mampu mengatasi masalah setiap orang dalam sepanjang waktu. Tak ada kehidupan yang sempurna, ras unggul, atau pencarian kesempuraan otak yang mencipta kehidupan ideal bagi semua makhluk, mungkin mendekati, tapi untuk semua orang puas, tak mungkin. Dunia yang serba istimewa? Mustahil. Saya tahu kita suka berpikir kita lebih memilih tinggal di sebuah dunia yang damai dan harmonis, tapi sejujurnya, dunia macam itu tidak akan bisa bertahan lebih dari sekian menit. Penyakit-penyakit terus meluas, tetapi begitu pula obatnya, karena harapan itu menular. Harapan adalah yang dapat menyelamatkan dunia.

Counter Earth sudah menggambarkannya. Ya, kalian sudah lihatkan. Ideal?

Guardians of the Galaxy Vol. 3 | 2023 | Directed by James Gunn | Screenplay James Gunn | Cast Chris Pratt, Zoe Saldana, Dace Bautista, Karen Gillan, Pom Klementieff, Van Diesel, Bradley Cooper, Will Poulter, Elizabeth Debicki, Maria Bakalova, Sylvester Stallone, Chukwudi, Iwuji | Skor: 4/5

Karawang, 160523 – Aqualung – Brighter than Sunshine

*) Happy birthday May 38 tahun

**) 15.05.23 muncul informasi Petualangan Sherina 2 mendapatkan tanggal rilis 28.09.23

Best Films 2022

Dari pahlawan merenung sampai renungan dua orang di atas tanah gundukan. Dari perempuan pemenang lotere jatuh miskin sampai penyanyi kaya tewas muda. Dari dagis pendiam sampai remaja riang pembuat film. Kisah absurd di pulau asing sampai di negeri asing yang melakukan pembunuhan atas nama tuhan. Dari pria terjebak tinggal di kamar sampai polisi yang memutuskan tak tinggal sebab perselingkuhan. Gegap gempita perang sampai pria pencari kesunyian. Dari para perempuan ngobrol sampai ngobolnya ayah anak.

Ini adalah tahun ketujuh saya buat daftar 14 film terbaik. Masih nyaman dan konsisten. Total film rilisan 2022 yang kutonton adalah 36. Inilah film-film terbaik 2022 versi LBP (Lazione Budy Poncowirejo):

#14. The Batman by Matt Reeves

Di sebuah kota yang selalu ditempa hujan… Darah dan kata-kata pasti meluap bersamaan. Gotham yang basah dalam berkah limpahan kata-kata sang superhero seolah penyair pelamun, ia murung dan lelah. Apakah perlu kita menghitung air hujan yang diguyur langit, yang umlahnya tak terhingga, seperti penderitaan yang harus Batman pikul. Jalan yang harus ditapaki seorang pahlawan tidaklah semulus yang kita bayangkan: berliku-liku dan melewati kerasnya gunung pengorbanan.

“Ketakutan adalah alat. Saat cahaya itu menerpa langit, itu bukan sekadar panggilan. Itu peringatan.”

#13. Gold by Anthony Hayes

Minimalis fantastis. Drama antara Bagong, Petruk, dan Hawkeye. Saya suka. Keterasingan bisa mencipta halusinasi dan pemikiran liar. Temanya bisa jadi tamaknya manusia, tapi sejatinya ini masalah moral. Sejatinya dia orang baik, dia bertanggungjawab atas tugas yang diemban, potensi kabur ada, kemungkinan legowo ada, tapi sayangnya ia orang baik yang dimanfaatkan. Lihat bagian awal, saat di kereta ia memberi makanan sebagian kepada gelandangan dalam gerbong, itu saja sudah memberi gambaran betapa ia orang baik, dan sungguh apes, ia dimanfaatkan. Emas berhasil membutakan hati manusia di dunia fana ini. Manusia cenderung melakukan hal-hal yang tidak baik saat terkucil.

“Tidak ada api tanpa asap.”

#12. To Leslie by Michael Morris

Permulaan film Indonesia banget. Menang lotere besar, foya-foya, traktir sana-sini, alkoholik akut, dan dalam sekejap jatuh miskin hingga jadi gelandang. Kegilaan dari tindakan yang tanpa berpikir. To Leslie mengambil potret itu, gelandangan bertahan hitup dari satu emperen toko ke penampungan, dari satu rumah teman ke rumah anak, begitulah, akibat salah kelola keuangan. Kesempatan satu seumur hidup, mendapat durian runtuh, bukannya mewujudkan mimpi memiliki kedai makanan buat menunjang hidup, malah dihambur-hamburkan. Untungnya, Tuhan selalu bersama hambanya yang berusaha. Dan begitulah, selalu, selalu ada manusia baik di sekitar kita yang ikut mengangkat dari kubangan. Dalam film ini, malaikat kebaikan itu sungguh luar biasa. Tak pamrih, serta kebal akan cemooh. Endingnya hangat, dan terlalu manis untuk menjadi nyata.

“Tidak ada yang akan memberimu kesempatan kedua kalinya, mengerti?”

#11. Elvis by Baz Luhrmann

Rock n roll. Takdir telah memilihnya sebagai tokoh protagonis dalam tragedi ini dan bahwa dia tidak punya pilihan selain menggenggam pedang dan menghunusnya. Pil-pil itu hanya sarana, konser melelahkan itu hanya panggung sandiwara, dan alur emosi yang timbul tenggelam, bagai roda pedati yang konstan. Sang megabintang tutup usia tersebab apa? Kebenaran sejati adalah sejarah seharusnya hanya berisi anekdot-anekdot berita yang terperangkap di dalamnya. Elvis belajar untuk lebih kesepian daripada yang bisa dirasakan manusia. Di Graceland malam datang tanpa diselingi senja, dan sebelum hujan turun, cahaya matahari bagai cahaya mutiara.

“Saat aku tiada… saat aku tiada. Terpujilah Tuhan terus menerus. Aku terbang menjauh…”

#10. The Quiet Girl by Colm Bairéad

Gadis cantik yang tumbuh dalam keluarga besar, lalu dalam libur musim panasnya dititipkan ke rumah saudara jauhnya. Di desa yang sepi daerah Rinn Gaeltacht, County Waterford, sebuah rumah peternakan sapi mengelingkupi sifat pendiamnya. Ia lalu menyatu sama rutinitas keluarga ini. Setelah bermenit-menit tanpa melihat anak lain, barulah kita tahu bahwa satu-satunya anak paman bibinya itu meninggal dunia karena tenggelam, gara-gara berkejaran dengan anjing. Dan ia menjadi pelipur lara. Endingnya war-biasa… dipulangkan, dipergikan, dipelukan erat ayah.

“Hal-hal aneh kadang terjadi, bukan? Sesuatu yang enh terjadi padamu malam ini.”

#9. The Fabelmans by Steven Spielberg

“Segala hal terjadi untuk suatu alasan.”

Kisahnya tentang hikayat kaum pencipta film, merentang dari masa kecil Sammy Fabelman, remaja sampai ia sukses mencipta film yang patut dibanggakan keluarga. Lebih banyak konfliks internal bagaimana keluarga ini coba bertahan, malah sungguh dominan ibunya, Mitzi (Michelle Williams) yang sakit. Ia memiliki kesalahan, dan coba dipendam dan diurai, yang sayangnya malah makin berat. Dan begitulah, keluarga adalah kalimat, bukan kata, sehingga satu anggota luka, maka kata lainnya turut sedih.

#8. The Triangle of Sadness by Ruben Östlund

Perbincangan jelang akhir bilang, “ini tak masuk akal.” Dan dijawab ya. Seolah merangkup isi cerita film. Aneh dan unik, rasanya sang sineas bergurau saat situasi gawat. Film aneh yang mengejutkanku. Sempat mengira ini film art, di mana dominasi adegan meja dan perbincangan di atas mendominasi. Lalu berubah haluan di atas kapal mewah, dengan keaneragaman perilaku orang kaya, hingga akhirnya berubah jadi film komedi saat terdampar di pulau asing. Daya tarik film ini (ingat endingnya jadi komedi ya) terletak pada penggambarannya yang jernih dan begitu hidup. Kaget, sungguh mengagetkan Oscars menunjuknya di nominasi tertinggi. Namun, twist dan geregetnya sungguh menyenangkan, melegakan lebih tepat. Siapa sangka, dominasi orang kaya itu runtuh seketika? Hanya di sini Babu berusaha mempertahankan supremasinya. Dan tentu saja, poin ending-nya ada dua: keledai sebagai piala kepahlawanan dan penjelajahan hutan yang berakhir dengan tawa histeris. Aduhai, tak tertebak. Sebuah pulau dengan robekan realita, ketidaksesuaian, dan antiklimaks.

“Tak masuk akal, ‘kan?”. The Holy Spider by Ali Abbasi

#7. The Holy Spider by Ali Abbasi

Luar biasa. Menyeramkan. Film ini banyak membahas iman dan prahara, dan efek salah langkah memilih jalan keimanan. Serial killer berdasarkan kisah nyata tahun 2000 s.d. 2001. Apapun alasannya, bagiku membunuh orang lain adalah salah. Apalagi ini di era millennium, di mana era keterbukaan, ada hukum yang mengatur, yang sejatinya manusia juga harus bisa berpikir terbuka, tidak berpandangan sempit. Keyakinan moral dapat menulikan orang dari kebenaran selain kebenarannya sendiri. Melakukan tindak kejahatan, sekalipun massa mendukung, sekalipun lingkungan meneriakan semangat, tetap saja salah, dan penjahat harus dihukum. Jihad bisa dilakukan dengan cara tak seperti itu. Kamu bukan Tuhan, kamu tidak bisa menentukan hasil suatu kejadian. Yang penting jalan itu bukan cara melenyapkan nyawa seseorang. Masih banyak ladang pahala yang bisa dilakukan. Ketika membunuh sebagai pembenaran untuk menghilangkan perilaku amoral masyarakat, jelas ada lubang dalam argumen ini.

“Setiap orang akan bertemu dengan apa yang ingin ia hindari.”

#6. The Whale by Darren Aronofsky

Best actor locked. Film dengan setting minim. Hanya dalam satu ruangan, menampilkan pria gemuk, over gemuk duduk, hampir sepanjang film. Kenapa ada orang sanggup menjalani hari yang sama berulang kali selama bertahun-tahun tanpa menjadi gila? Lantas para tamu bergantian hadir, atau beberapa adegan bersamaan, mengunjunginya. Kekuatan film memang di cerita, jiwa-jiwa frustasi. Membedah pengalaman masa lalu, yang indah dikenang untuk menyatukan senyum, yang buruk dijadikan pemicu perbaikan kualitas hidup. The Whale hanya seminggu, dan selama seminggu yang ganjil, si pria gemuk dalam posisi di titik pengambilan keputusan terpenting dalam hidup. Sekarat, dan bisa jadi hidupnya tak kan lama lagi. Lantas saat tahu, hidupmu tinggal hitungan hari, apa yang akan kau lakukan?

“Saya perlu tahu bahwa saya telah melakukan satu hal yang benar dalam hidupku.”

#5. Decision to Leave by Park Chan-wook

Kalau saya membuka ulasan The Batman dengan kalimat, “Di sebuah kota yang selalu ditempat hujan…” Maka Decision to Leave kubuka dengan kalimat yang hampir serupa. Sesedikit mungkin tahu alurnya, semakin aduhai. Sedikitnya ada sepuluh kali saya bilang, “anjir keren keren, anjir keren keren, anjir keren keren.” Diolah berulang seolah mantra. Rumit, benangnya membelit hati.
Di sebuah kota yang selalu diselimuti kabut…4. All Quiet on the Western Front by Edward Berger

#4. All Quiet on the Western Front by Edward Berger

Epic war. Luar biasa. Salah satu film perang terbaik yang pernah kutonton. Gambaran perang yang mengerikan. Dengan setting Perang Dunia Pertama, pihak Jerman dan Prancis dalam masa menegangkan. Di tanah La Malmasion utara Prancis yang diperebutkan, drama penuh ledakan terjadi. Dengan sudut pandang pihak Jerman, kita diajak bersafari hal-hal yang terjadi di baliknya. Tata kelola perekrutan yang mengerikan, bayangkan saja, mereka anak baru lulus sekolah, tanpa pelatihan militer yang memadahi, seolah mengejar kuantiti. Dikirim untuk perang, di front terdepan pula. Maka wajar, penggambaran mula film sungguh-sungguh menegangkan. Rekrutan itu kocar-kacir, dan hingga akhir film kita turut merasakan betapa kasihan sekali jiwa-jiwa muda ini, yang seharusnya menikmati masa indah malah berperang.

“Ketika Anda kelaparan, Anda akan melakukan apapun.”

#3. The Banshees of Inisherin by Martin McDonagh

Mengerikan, tapi tampak rasional. Lima puluh tahun lagi saat kita sudah diganti generasi berikutnya, apa yang kita tinggalkan? Teman-teman yang baik? Oh itu hanya lingkar dalam lingkungan. Beberapa abad yang akan datang, kita tak akan dikenang jika hanya jadi manusia biasa. Di sini, kita mengambil contoh musisi. Abad 17 kita mengenal Mozart, dan itu akibat karyanya yang abadi. Maka pemikiran liar inilah yang menjadi picu perpecahan persahabatan dua orang. Jati diri kehidupan, apakah warisan karya yang monumental atau sekadar gelak tawa dengan teman dan keluarga terkasih? Di pulau terpencil tahun 1923, dengan minimalis dan sederhana lelaku keseharian, kita menjadi saksi remuk redam kebimbangan. Warga dan kesunyian yang tertinggal. Kejam, sunyi, mengerikan. Apakah sepadan, meninggalkan teman karib demi mengejar impian yang tersisa? Mengggapai impian tidaklah sungguh-sungguh manusiawi karena memilih impian dengan tepat tergantung pada suatu pendapat tepat mengenai keselarasan hakiki antara impian-impian tersebut. Ah, Colm yang malang, memikirkan hakikat kesunyian, kesunyian yang lebih pekat dari hutan, kesunyian tak tertembus.

“Satu lagi pria pendiam di Inisherin, astaga!”

#2. Women Talking by Sarah Polley

Luar biasa, dan ini berdasarkan kisah nyata, diinspirasi kejadian sebenarnya di sebuah koloni Manitoba, Bolivia, diadaptasi dari novel karya Miriam Toews. Setiap menitnya menegangkan, lebih dari sekadar ngobrol. Main stage-nya adalah ruang pertemuan di rumah peternakan, dengan jerami mendominasi, dengan kursi-kursi kayu seadanya. Tatanan kisah sangat kuat, sebab menentukan nasib banyak orang, nasib anak-anak generasi berikutnya. Jadi ini bukan tentang ibu-ibu ngerumpi di arisan, bukan pula ngobrol di atas meja makan, ini tentang perempuan berbicara misi penyelamatan, untuk itulah terasa sungguh menegangkan di tiap ucapannya. Turut pula ketakutan, hasil voting akan memecah belah, mereka adalah orang-orang buta huruf, dan begitulah, menit-menit mencekam di koloni asri, hamparan hijau daun sepanjang mata memandang.

“Apakah permintaan maaf yang dipaksakan itu benar?”

#1. Aftersun by Charlotte Wells

Apakah arti semua itu? Apakah perjalanan film berakhir dalam paradoks? Tak terjelaskan makna berikutnya, setelah Calum berbalik, keluar dari pintu itu. Biar penonton sendiri yang menerka apa yang terjadi. Kemungkinan-kemungkinan apa sajakah yang dimiliki manusia ketika terjebak dalam dunia yang telah ada ini?

Ya ampun cantik sekali Aftersun. Salah satu terfavorit tahun ini. Hubungan ayah anak yang hangat. Liburan berdua bersama ayah, manjadikan mereka makin dekat. Ayah yang frustasi, mempelajari Tai Chi, mencoba refreshing dengan anaknya. Ayah depresi yang tak menyangka menyentuh usia 30 tahun. Anak, yang cerdas, kritis, mencoba menikmati hari, sementara waktu jauh dari ibunya. Ini adalah momen indah di ulang tahun ayahnya, jadi harus dimanfaatkan dengan baik. Jadikan kesenangan adalah motor serta norma dari seluruh acara ini, itulah kehidupan kita. Liburannya jauh, mencapai Turki di sebuah resort sederhana. Dan begitulah, hubungan hangat anak-ayah ini dikupas mendalam. Indah, dan seperti kenangan indah lainnya, akan mengulik otak kita di kemudian hari.

“Saat kamu berusia 11 tahun, menurutmu apa yang akan kamu lakukan sekarang”

Karawang, 310323 –Arctic Monkeys – Dancing Shoes

Happy Birthday Winda Luthfi Isnaini 17 tahun.

The Fabelmans: Seluruh Hasrat itu Dipicu oleh Satu Obrolan Singkat

“Segala hal terjadi untuk suatu alasan.”

Hebat. Hebat adalah kata pertama yang kuucap saat nama Steven Spielberg masuk nominasi Oscars 2023. Secara beruntun beliau masuk di dua kategori prestis. Tahun lalu seharusnya amat sangat layak menang, walau ‘sekadar’ remake West Side Story, tahun ini lebih hebat sebenarnya. Biografi sendiri, walau dengan segala modifikasi, mencipta cerita tentang diri sendiri tentunya lebih paham, dan hasilnya memang war-biasa. Sayang sekali, nir gelar saat pengumuman. Rasanya emang lebai Everything Everywhere, tak bagi-bagi. Hiks, apes.

Kisahnya tentang hikayat seorang pencipta film, merentang dari masa kecil Sammy Fabelman, remaja sampai ia sukses mencipta film yang patut dibanggakan keluarga. Lebih banyak konfliks internal bagaimana keluarga ini coba bertahan, malah sungguh dominan ibunya, Mitzi (Michelle Williams) yang sakit. Ia memiliki kesalahan, dan coba dipendam dan diurai, yang sayangnya malah makin berat. Dan begitulah, keluarga adalah kalimat, bukan kata, sehingga satu anggota luka, maka kata lainnya turut sedih.

Di tahun 1952 di New Jersey, Sammy kecil (Mateo Zoryan) bersama kedua orangtuanya Mitzi seorang pianis, dan Burt Fabelman (Paul Dano) seorang insinyur, diajak ke bioskop. Menyaksi film legendaris The Greatest Show on Earth karya Cecil B. DeMille. Dalam sebuah adegan ledakan, kereta api menabrak mobil, Sammy tercengang. Terpesona bahwa ada film action yang memengaruhinya. Akibat film itu, atau lebih spesifik, akibat adegan tabrak kereta api itu, Sammy meminta satu set mainan, lalu direka ulang, lantas direkam, ditonton, lagi dan lagi. Kalau pengen lebih berkelas, besar, dan gegapnya bergema, tontonlah Super 8 (by J.J. Abrams).

Ibunya yang pengertian, lebih dekat dengan anak-anak, mendorongnya lebih jauh. Menyediakan kamera 8mm, membantu secara material dan support tanpa keluh. Lihat, keluarga kaya yang bermodal, itu penting juga untuk pengembangan karier anak. Tahun 1950-an tentunya hanya keluarga berada yang bisa punya satu set kamera. Jadi kalau ada yang bilang, uang tak bisa membeli jalan kesuksesan, simpan argumenmu.

Sammy remaja (Gabriel LaBelle) aktif di ektrakulikuler kesenian bidang film, ia ditunjuk oleh gurunya. Dan aktivitas rekam itu menuntutnya terus berkembang. Bikin film sama saudara-sudara, serta teman-temannya, salah satunya yang epic adalah adegan perang-perangan dengan modal seadanya. Efek visual dibuat efektif, walau misal tanah dibuat lubang, dipaang kayu dengan pengungkit ditabur tanah, lalu saat pura-pura kena tembak, kayu diinjak, tanah berdebu berhamburan. Tanah itu bertebaran di sekitarnya, seperti konfeti. Sederhana, membekas. Atau sepasukan remaja ini bersembunyi dalam gua, musuh datang tembak-tembakan terjadi. Dengan bujet seadanya. Film indie yang diputar kalangan terbatas di sekolah ini sukses mengharu-tawa penonton, yang juga sebagian para aktornya. Ia di-elu-elu-kan. Oiya, tahun 1957, keluarga ini pindah ke Arizona sebab ayahnya mendapat penawaran yang lebih ok. Muncul pertentangan mula, sahabat dekat yang dipanggil om oleh anak-anak, Bennie Loewy (Seth Rogen) dipaksa ibunya untuk ikut serta. Teman yang dianggap saudara sendiri ini, nantinya jadi titik riak yang menggelisahkan.

Dalam acara kelurga, liburan berkemah, Sammy diminta menjadi juru kamera. Acara itu berubah jadi canda pilu, sebab nenek dari pihak ibunya meninggal dunia. Malah jadi acara penghiburan buat ibunya. Dalam sebuah adegan absurd, ibunya menari, berakting di depan lampu mobil, dengan sorot terawang mengakibat mata jalang, terutama Bennie yang merupakan orang luar. Ini bisa jadi penjelasan tak langsung, ada hubungan khusus di antara mereka.

Pamannya Boris (Judd Hirsch) datang. Ia menjadi penghubung di banyak hal. Masa lalu keluarga, ide-ide yang perlu direalisasikan, serta idelogi hidup untuk diperjuang. Kemunculannya memang sebentar, dan tampak sepele, tapi itu merangsang otak muda Sammy bahwa film untuk tak hanya menjadikan sekadar hobi, kalau ia ingin menjadi juru kamera profesional, kejar. Ditambah dari rekaman vakansi, hasil sunting acara kemah, ia malah menemukan fakta pahit. Sedih, sangat menyedihkan, saat ibunya diminta masuk ke ruang tertutup, membimbingnya, lalu bicara, suaranya nyaris tidak kedengaran, lebih sayup ketimbang bisikan. Sang pelaku menyaksi sendiri hasil rekaman. Ini seperti mimpi buruk yang tidak mungkin dibicarakannya.

Keluarga ini kembali bergerak, kali ini ayahnya mendapat pekerjaan yang jauh lebih ok, tapi sungguh jauh ke California. Karena fakta pahit itu Bennie tak turut serta, dalam perpisahkan yang menjengkelkan (bagi Sammy), tapi bagi Bennie, ia seolah bisa melihat latar jauh ke depan, menghadiahinya sebuah kamera mahal, saling ulur tarik, sampai akhirnya kesepakatan terwujud, dengan satu pihak menyerah pahit. Ingat di sini, Sammy muak dan ingin gegas pergi. Sejenak timbul jeda yang tidak nyaman, saat kesepakatan itu diambil. Mahar 35 dollar, dan itu kembali. Apakah kamera itu benaran tak akan dipakainya?

Di tempat baru itulah Sammy menemukan cinta yang sesungguhnya. Berkencan dengan gadis beda agama, kena bully anti-Semit, dan dalam sebuah pesta perpisahan class-meeting di pantai ia diminta menjadi juru rekam, yang filmnya akan diputar di pesta dansa. Pertemanan di usia remaja dengan segala lika-likunya. Dan terutama, tentu saja kecintaannya pada film. Ayahnya terus mendorong untuk melakukan apa yang ia cintai, dan pengaruh ayahnya, menghubung pada sutradara terkenal John Ford (David Lynch). Pertemuan final tentang cakrawala dari sudut yang ideal. Seluruh hasrat itu dipicu oleh satu obrolan singkat, tergelar dalam beberapa menit yang sederhana yang dihabiskan bersama jenius seolah seratus juta percakapan, dan sudut pandang, dan keheningan potret. Ah, ending yang sempurna untuk keluarga Fabelmans. Semuanya baik-baik saja. Bahkan baik-baik saja tidak cukup. Semuanya akan sempurna: ET, Indiana Jones, Back to the Future, Schindler’s List, Saving Private Ryan, War House, West Side Story, Jaws, oh.. jangan lupa War of the World. Film kenanganku sama Tom Cruise, dan sang mantan.

Spielberg adalah sutradara hebat, sayang sekali dua tahun acara Oscars kurang mendapat apresiasi. Michelle Williams sudah kucintai sejak Blue Valentine, sering kali kujago, dan selalu gagal. Di Manchester by The Sea, perannya walau kecil, memberi sokongan kuat untuk Casey Affleck. Tahun ini kalah lagi. Entah sampai kapan bisa menggenggam piala itu.

The Fabelmans dibuat seolah surat cinta Spielberg untuk para penggemar sinema, dan terkhusus fans beratnya. Dan makin tampak menyentuh, film ini didedikasikan untuk kedua orang tua Spielberg yang sudah almarhum, Leah Adler (2017) dan Arnold (2020).

Persembahan istimewa.

The Fabelmans | 2022 | USA | Directed by Steven Spielberg| Screenplay Steven Spielberg , Tony Kusher | Cast Michelle Williams, Paul Dano, Seth Rogen, Gabriel LaBelle, Judd Hirsch | Skor: 4/5

Karawang, 200323 – The Cranberries – Just my Imagination

Tar: Apakah Palu itu Baik atau Buruk?

“Hal terindah adalah tak ada batasan untuk berbagai jenis perasaan tentang musik itu… sehingga bahkan tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata…”

=== catatan ini mengandung spoiler ===

Entah berapa kali percobaan tonton, akhirnya H-1 Oscars berhasil menyelesaiakannya. Bagus sih, tapi tak semeriah yang diharapkan. Konser yang diharapkan bahkan tak muncul. Ledakan yang ditungu mejan, malah adu jotos dan marah-marah memutus permulaan konser, dan saat lagunya in, muncul kredit tulisan penutup. Hufh… Jauh lebih berkelas Women Talking, bom sudah diledakkan di menit kedua, lalu serpihannya coba dibereskan. Tar, malah sejam pertama ngrobrol penuh puja puji maestro, bicara terus-menerus dengan setting diganti. Dan karena saya tak mengenal dunia orchestra, jelas tak langsung in. Nama-nama yang disebut asing semua, Richards Rodgers, Andrew Llyod Webber, Mel Brooks, hingga Jennifer Higdon, Caroline Shwa, Jelia Wolfe, Hildur Gudnadottir (orang yang bikin skor di film ini). Hanya nama Audrey Hepburn yang tahu. Hufh… beda banget sama The Whale, yang baru juga mulai kita sudah tahu film ini membedah novel mahakarya Moby Dick. Tar benar-benar lambat, dan ngobrol liar tak nyaman. Durasi dua jam setengah yang kudu ekstra sabar.

Alurnya sungguh pelan, ngobrol dari satu tempat ke tempat lain. Lydia Tar (Cate Blanchett) menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan tenang, ia menuju wawancara dengan Adam Gopnik untuk Festival New Yorker. Wawancara di atas panggung yang langsung disaksikan banyak penggemar. Tar adalah kepala konduktor wanita dari Berlin Philharmonic. Berbagai penghargaan sudah ia sabet, bahkan disebut EGOT, yang artinya sudah menang di seluruh penghargaan terkemuka: Emmy, Oscars, Tony. Di dunia ini hanya ada 15, dan dia adalah salah satunya. Legenda hidup, orang hebat di zaman kita. Di sini, ia dipanggil maestro. Wawancara itu adalah perjalanan promo rekaman Mahler’s Fifth Symphony dan buku biografinya Tar on Tar.

Setelah wawancara kita diajak mendalami kehidupan pribadi Tar. Bagaimana asistennya Fransesca (Noemie Merlant) meng-handle kegiatan, pilihan hidup menikah dengan perempuan juga, Sharon (Nina Hoss). Lalu kasus penggantian asisten konduktor Sebastian hingga posisi cello yang kosong. Diskusi dari satu meja makan ke meja kuliah. Drama orang jenius yang bermasalah karena egois berlebih. Adegan makan malam sama Eliot Kaplan (Mark Strong) mungkin adalah adegan terbaik, lobi-lobi sama orang kaya raya yang menentukan komposisi orchestra, jadi kekuatan orang dalam itu penting. Mengapungnya karier seseorang tak hanya karena kamu orang berbakat, tak melulu karena kamu memang berprestasi. Kekuatan koneksi jelas lebih kuat ketimbang bakat.

Tar yang mengingin Olga Metkina (Sophie Kauer), pemain cello asal Rusia untuk masuk ke kandidat pengganti, musisi muda dan cantik yang begitu menarik hatinya. Bahkan dengan cara curang, mengubah skornya diam-diam. Membuat asisten dan istrinya curiga, yang lantas mencipta hubungan menegang. Ah, tak hanya hubungan normal, hubungan sesama jenis-pun mengingin darah muda.

Termasuk masalah Krista yang frustasi, kongkalikong ini mencipta sinisme yang lantas sang korban mengirim email ke Fransesca untuk mencari gegas pengacara, Krista sendiri akhirnya bunuh diri. Awalnya tak mengarah padanya, lalu Benar saja, kasus ini membesar. Keluarga lantas menuntutnya, alasan bunuh diri diindikasikan akibat ulah Tar.

Dan begitulah, tekanan publik meluas. Masalah keluaga mengapung, mengakibat stress. Efeknya Tar dicopot dari konduktor utama. Oleh istrinya, ia dilarang bertemu putrinya Petra, tekanan demi tekanan itu membuatnya bertingkah marah, dan malah makin merusak nama baiknya, melakukan tindakan bodoh di atas panggung. Ujungnya, bahkan saat akhirnya mudik, ia dicuekin saudaranya. Orang sukses, kacang lupa kulit. Jenius bermasalah. Dan untuk mengobati segala kekecewaan ia mengambil penawaran kecil, jauh ke Asia Tenggara. Di Filipina, untuk menggubah musik kelas video game. Degradasi prestasi dari konduktor mewah di Berlin ke Manila yang sederhana. Ah, hidup memang seperti roda berputar. Makanya tahan ego saat di puncak!

Tindakan-tindakan Tar bisa jadi adalah efek, tapi sebenarnya bisa dimaklumi. Siapa pun bisa bertindak demikian jika mereka mempunyai kekuatan. Kepribadian manusia memang tak bisa diprediksi. Bisa saja di luar tampak hebat, tapi dalamnya rapuh. Apa yang ia lakukan, saat marah di panggung jelas emosi demi kepentingan jangka pendek, pikiranya termanipulasi, dan ketergantungan pada kekuasaan mengakibat marah saat kehilangan kekuatan. Satu apel busuk bisa merusak apel-apel lainnya di dalam keranjang. Satu tekanan berat, bisa mencipta tekanan lain. Efek. Bintik paling kecil pun, apabila dianggap sebagai ancaman, harus segera dimusnahkan. Kesalahan Tar, saat masalah mula muncul, ia tak gegas memadamkannya. Ia malah berulah, dengan menganggapnya kecil, saat akhirnya meluas, viral, dan publik mengecam, sudah tak ada jalan kembali. Bahkan seorang maestro, tokoh hebat paling hebat sekalipun tidak kalis dari tekanan publik.

Rencana seusai nonton mau browsing riwayat hidup Tar, eh di grup WA Bung Tak bilang ini fiksi. Salah satu keberhasilan membuat biografi palsu mencipta penonton penasaran. Tar jelas orang hebat, jenius yang pantas diangkat film. Mungkin dia hanya seorang oportunis yang berusaha untuk tetap eksis mempertahankan kekuasaan, begitulah kebiasaan para pemimpin, ego-nya tinggi. Namun, saya tidak tahu yang ada dalam benaknya, dan saya tak akan berasumsi untuk menghakiminya. Saya tak punya kepentingan untuk itu. Makin tak mau berspekulasi, saat tahu ini karakter fiktif. Duh, saya terjerat dalam akting Cate.

Keputusan akhir memilih Yeoh memenangkan piala kurasa tepat. Akting Cate memang hebat, berhasil menipu penonton bahwa Tar itu film tentang tokoh terkemuka, tapi jelas tak ada yang benar-benar menonjol di bagian best actress, tak seperti bagian actor di mana akting Fraser yang dominan di Whale. Memang sudah takdir, tahun ini momennya Yeoh. Sungguh disayangkan Tar sebagai salah satu pemegang nominasi Oscars yang banyak tahun ini bertangan hampa, bergabung dengan The Banshees of Inisherin, Triangle of Sadness, dkk.

Terkahir, apakah palu baik atau buruk? Di tangan seseorang yang sedang membangun rumah, palu itu baik, di tangan penyiksa palu itu buruk. Internet sama. Viralnya kasus Tar secara instan membuatnya lengser. Kita hidup di era digital, kita berkembang di negeri maya, pendapat-pendapat orang banyak didengar, kekuatan nitizen sungguh bisa mengubah nasib seseorang. Pentingnya menjaga diri dari lingkar onar sosmed.

Tar | 2022 | USA | Directed by Todd Field | Screenplay Todd Field | Cast Cate Blanchett, Noemie Merlant, Mark Strong, Sophie Kauer, Nina Hoss | Skor: 3.5/5

Karawang, 170323 – Eagle – Hotel California

Oscars 2023: Nol Piala Untuk Para Pencari Kesunyian

Tangan hampa untuk film sebagus The Banshees of Inisherin sungguh mengesalkan. Ditemani Tar, Elvis, hingga The Fabelmans yang juga mengirim beberapa perwakilan. Everything Everywhere All At Once memborong banyak, menyentuh angka tujuh untuk film yang gitu aja. Hufh…, sayang sekali.

Sejak Minggu siang saya sudah mencari Channel Disney Plus di Twitter. Dapat murah, sher-ing seminggu Cuma tujuh ribu. Mana yang jualan respons bagus banget lagi, saya bulatkan sepuluh ribu. Jadi untuk urusan nonton di mananya sudah aman.

Sorenya. Prediksi sudah saya posting di blog. Yang luar biasa, dari 14 yang saya tebak, 10-nya benar. Menyentuh 71 persen akurasinya! Bayangkan saja kalau tak sentiment dengan Everything, persentase bisa lebih baik lagi.

Berikut daftar lengkap pemenang Academy Awards ke-95 atau ajang Piala Oscar 2023. Dan beberapa komentar pribadi:

Best Picture – Salah
Everything Everywhere All At Once
Komentar: Tak bisa dipungkiri, Everything sudah leading jauh di berbbagai penghargaan. Sudah kutonton sejak pertengahan tahun lalu sama istri, film ini terlalu menang besar di ajang sebesar Oscars.

Best Director – Salah
Daniel Kwan dan Daniel Scheinert – Everything Everywhere All At Once
Komentar: Saya tak mengenal keduanya, bisa jadi ini adalah film pertama mereka yang kutonton. Saking seringnya kasih pidato kemenangan, sampai bosan.

Best Actor – Benar
Brendan Fraser – The Whale
Komentar: Sebuah come back yang layak dihargai. Sedang sekali pas Brander naik ke podium, wajahnya memancarkan kelegaan. Tangis bahagia.

Best Actress – Benar
Michelle Yeoh – Everything Everywhere All At Once
Momennya Yeoh, selamat.

Best Supporting Actor – Salah
Ke Huy Quan – Everything Everywhere All At Once
Komentar: Ini yang saya bilang kebanyakan. Ke Huy secara performa tak istimewa, harusnya dibagi ke Banshees yang lebih meriah. Sedih lihat wajah Barry dan Gleeson sedih di tempat duduk.

Best Supporting Actress – Benar
Jamie Lee Curtis – Everything Everywhere All At Once
Komentar: Ini mungkin kontraversi, trending sampai malam Curtis di-bully nitizen. Banyak yang bilang lebih layak Hsu, tapi bagiku justru malah harusnya Kerry.

Best Adapted Screenplay – Benar
Women Talking
Koemntar: Yes, salah satu yang terbaik secara cerita tahun ini. Senang sekali menyaksi Sarah maju ke depan dengan muka sumringah, sah saya fans Sarah per hari ini.

Best Original Screenplay – Benar
Everything Everywhere All At Once
Komentar: Secara cerita bagusan Banshees jauh, tapi seperti yang kubilang, lorong waktu itu yang menentukan.

Best Original Score – Benar
All Quiet on the Western Front
Komentar: Yes, dan pidato-nya keren sekali. Kalem.

Best Original Song
Naatu Naatu – RRR
Komentar: Belum nonton, salah satu penampilan lagu terbaik di Oscars, global sensation tak hanya di luar, di atas panggung pun menghentak seru. Setelah Oscars, kucoba tonton.

Best Sound
Top Gun Maverick
Komentar: Kelegaan, tak tangan hampa. Sayang sekali Tom Cruise tak hadir.

Best Costume Design
Black Panther Wakanda Forever
Komentar: Belum nonton, di Oscars pun baju-baju pemainnya juga tampak lucu.

Best Animated Feature Film – Benar
Guillermo Del Toro’ Pinocchio
Komentar: Proses pembuatannya tampak susah, dan keren. Layak.

Best Cinematography – Salah
All Quiet on the Western Front
Komentar: Pas nonton sudah feeling, tapi setelah Tar berubah pilihan.

Best Film Editing
Everything Everywhere All at Once
Komentar: Pelengkap tujuh piala

Best International Feature Film – Benar
All Quiet on the Western Front – Jerman
Komentar: Tentu saja locked.

Best Makeup and Hairstyling – Benar
The Whale
Komentar: Yah, proses make up Charlie memang istimewa.

Best Production Design
All Quiet on the Western Front
Komentar: Arena perangnya luar biasa.

Best Visual Effects – Benar
Avatar The Way of Water
Komentar: Satu-satunya kelebihan Avatar ya ini. Cerita sungguh z z z …

Best Animated Short Film
The Boy, the Mole, the Fox, and the Horse

Best Live Action Short Film
An Irish Goodbye

Best Documentary Feature Film
Navalny

Best Documentary Short Film
The Elephant Whisperers

Academy Honorary Awards
Euzhan Palcy
Diane Warren
Peter Weir

Jean Hersholt Humanitarian Award
Michael J. Fox

Sampai jumpa tahun depan.

Karawang, 160323 –Skeeter Davis – Here’s the Answer

Oscars 2023: Proses Pencarian Kesunyian

Izin cuti besok sudah kukantongi. Ini akan jadi Oscar ke-14 yang kutonton secara beruntun. Live di Disney +. Seperti biasa saya akan menebak 14 kategori. Tahun ini saya berhasil melahap 19 film Oscars sebelum pengumuman. Angka yang lumayan tinggi walaupun di antaranya kukebut dalam dua minggu terakhir. Penurunan sih, tapi tetaplah tinggi…

#14. Animated feature film – Guillermo Del Toro’ Pinocchio

Alasan: Animasi patah-patah yang menakjubkan

Tiga film yang kunikmati, Turning Red tema remaja yang biasa, Puss yang memikat, tapi level Pinocchio ini beda. Selesai tonton langsung kubilang locked.

13. Actor in a supporting role – Barry Keoghan (The Banshees of Inisherin)

Alasan: Banshees unggul di semua acting, dan di sini harus menang

Hanya Brian Tyree yang belum kutonton, sempat berharap Profesor Moody yang menang, tapi bagiku keduanya sama saja. Flash pun amat sangat layak, terutama adegan danau itu. Duh, ambyar hatiku.

#12. Actor in a leading role – Brendan Fraser (The Whale)

Alasan: Mimik pria di ujung usia yang memohon maaf, melayang

Ini juga locked, biasa bermain di film kelas B, Fraser layak dalat penghormatan setingginya. Salut deh, acting duduk-duduk ngoceh bisa semenyedihkan ini.

#11. Actress in a supporting role – Jamie Lee Curtis (Everywhere All At Once Everything)

Alasan: Petugas pajak semenyebalkan ini, faktanya memang gitu kan?

Berharap Kerry tapi sulit, malah bisa jadi ke Hong Chau, tapi feeling-ku kategori ini ke Everything.0. Actress in a leading role – Michelle Yeoh (Everywhere All At Once Everything)

#10. Actress in a leading role – Michelle Yeoh (Everywhere All At Once Everything)

Alasan: Momennya Yeoh, ini memang momennya Yeoh

Tak ada yang benar-benar menonjol sampai locked, semua peluang sama. Hanya Blonde yang belum kutonton, tapi memang sekali ini ini momennya Yeoh.

9. International Feature Film – All Quiet on the Western Front

Alasan: Action of the Year

Salah satu film perang terbaik yang kutonton decade ini. Luar biasa menggentak, menggetarkan. Secara aksi dan cerita bagus, bagus banget.

#8. Makeup and Hairstyling – The Whale

Alasan: Fraser jadi gemuk, dan bujet tata rias seolah ke sana semua

Menyenangkan sekali Fraser menemukan jalannya, bolehlah diganjar satu lagi piala di sisi ini.

#7. Visual effects – Avatar The Way of Water

Alasan: Film zzz yang hanya menang untuk memanjakan mata

Satu decade lebih bikinnya sekadar buat fun, naik wahana memanjakan mata.

#6. Original Score – All Quiet on the Western Front

Alasan: Sepanjang hari setelah menonton, gemanya terus nempel di otak

Sesaat setelah closing note, saya reflek langsung tebak skoring bakalan menang. Saat itu masih di Bafta, pas tahu masuk ke Oscars juga, tetap kugenggam tebakanku. Saingan kuat di Banshees yang juga menghantui.

#5. Cinematography – Tar

Alasan: Mobil-mobil kesunyian

Agak sulit di sisi ini, bagus semua tapi tak ada benar-benar menonjol, All Quiet ok banget dan suram. Elvis ok dan gemerlap. Bardo dan Empire belum kutonton. Hanya Tar yang memang menampilkan lanskap monoton serta stabil berkendara.

#4. Writing (adapted screenplay) – Women Talking

Alasan: Film ngobrol yang meledak di menit kedua, lalu serpihannya dihamburkan sepanjang film

Atau All Quiet yang memikat. Antara perang kata atau perang beneran sih, tapi saya lebih suka kata-kata ditabrakkan. Saling silang lempar ucapan seperti pingpong dalam keruwetan tersendiri. Dan satu-satunya lelaki menyaksi, ya kita. Lelaki terjebak di antara obrolan bu ibu.3. Writing (original screenplay) – Everywhere All At Once Everything

#3. Writing (original screenplay) – Everywhere All At Once Everything

Alasan: The Banshees? Ya bagus banget, tapi Everything menang di lompatan-lompatan waktu

Sayang saja adegan batu kurang lama, andai dikasih setengah jam saja. Bakalan kujago borong piala.

#2. Directing –Martin McDonagh (The Banshees of Inisherin)

Alasan: Berharap Spielberg menang lagi, tapi sesuai tradisi dua kategori ini saya tetap memikat pada kata hati, kepuasan yang utama.

Cerita dalam satu pulau, dua sahabat berantem dan jari-jari melayang demi proses pencarian kesunyian, apakah tidak gila?

#1. Best picture – The Banshees of Inisherin

Alasan: Film terbaik Oscars tahun ini

Piala tertinggi banyak yang bilang akan jadi milik Everything atau All Quiet (juga kata Takdir), tidak. Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya selalu menebak kategori tertinggi ini di film terbaik. Walau berulang kali pula tebakan salah, tak mengikuti arus, tetap saya berdasarkan kepuasan hati. Setelah nominasi diperbanyak memang jadi susah. Tak mengapa, semakin sulit ditebak semakin seru kan. Kuharap kali ini pas.

Karawang, 120323 – Westlife – Coast to Coast

#1. Pekan depan sangat padat pekerjaan. GKM acara puncak, RAT koperasi tengah pekan, dan LDS desak dibentuk. Seolah semua disatukan jelang puasa. Hampir saja cutinya gagal, untung acc.

#2. Oscar live di Disney Plus mulai jam 7.

Guillermo del Toro’s Pinocchio: Jangkrik Bijak Sebagai Narator

“Aku tidak suka disebut boneka.”

Cakep. Tak hanya animasinya, secara cerita ternyata tetap cakep. Template-nya sudah kita tahu semua, ini bakal kemana, tentang apa, dan mengapa. Nama Pinocchio terlalu besar untuk kembali dibuat. Versi film atau buku sudah sangat banyak, terlalu banyak malah. Jadi mau apa lagi sutradara sebesar Del Toro ikut meramaikan cerita anak ini? Tentu saja menggali dari sisi lain. Seperti Elvis yang mengambil sudut pandang manajernya, Pinocchio melalui jalur yang sama. Mengambil sudut pandang makhluk lain. Kali ini seekor serangga yang menjadi saksi perjalanan. Oh bukan hanya saksi, tapi juga memiliki misi mulia. Dan begitulah, template itu diikuti, ditata sedemikian rupa hingga si si jangkrik bijak sebagai narator menutupnya.

Kisahnya mengambil setting Perang Dunia Kedua (novelnya padahal pertama terbit abad 19) di mana Italia memainkan peran dengan Benito Mussolini sebagai ujung tombak. Seorang tukang kayu Geppetto (disuarakan oleh David Bradley) kehilangan putranya dalam perang besar, Carlo. Di sebuah gereja yang seharusnya dihormati, bom serangan udara meluluhkan gereja, di mana mereka sedang bekerja memasang salib. Kesedihan mendalam kehilangan putra tercinta mencipta depresi.

Lantas ia membuat boneka kayu dari pohon pinus. Boneka Pinocchio (Gregory Mann) itu ternyata hidup. Dipinjami nyawa oleh makhluk dunia lain Dewi Kayu warna biru (Tilda Swinton), dan seekor serangga Sebastian J. Cricket (Ewan McGregor) yang mulanya hidup dalam pohon mendapat tugas untuk menjaga sang boneka. Dari sinilah, ia mengambil alih cerita. Ia bernarasi sepanjang film.

Pinocchio lalu disekolahkan, nakal. Berbohong, hidung memanjang. Dan apesnya bertemu pemain sirkus keliling Count Volpe (Christopher Waltz) dengan monyetnya Spazzatura. Karena keunikannya, mereka ‘menculiknya’, menjadikannya bintang utama dalam sandiwara boneka, mendatangkan cuan.

Karena Pinocchio abadi, ia bolak-balik ke dimensi seberang setiap petaka menimpanya. Adegan surealis yang ditampilkan dengan bagus, peti mati dibuka, bonekanya keluar, memandang makhluk-makhluk main kartu, lantas diskusi.

Keabadiannya membuat pihak militer kepincut, merekrutnya untuk dididik perang. Maka seketika, banyak pihak menginginkannya. Apes, ia sudah tanda tangan (gambar matahari berwajah, ya Allah imut sekali) kontrak sama sirkus, dan diancam denda 10 juta lira bila mangkir. Karena ia tak ingin ayahnya menderita (memarahinya sebab jadi beban), dan ingin membantu, maka dimulaikan pertualang ia berkeliling kota-kota. Selanjutnya cerita menjadi agak monoton, mengikuti alur novel. Kalian pasti bisa menebaknya.

Ada tiga adegan bagus yang kucatat, pertama setiap masuk ke dunia antah di mana Dewi Kayu bertanduk memberi nasehat. Di meja bundar, para binatang ini main kartu, memaki kepolosan Pinocchio dan mendepaknya lagi. Dunia antara dibuat fun, melihat para binatang ini berdiskusi. Lucu. Lalu bocah kayu dengan nyawa pinjaman ini, masuk ke ruang sebelah, tertutup pintunya, dan “Hello”. Gelombang gelap nan samar itu seakan-akan berasal dari mimpi-mimpi absurd David Lynch. Hehe, tak mengenal waktu. Sebuah kata yang bagi manusia, tak bisa diajak bercanda.

Kedua, saat Pinocchio disuruh berbohong agar hidungnya bisa menyelamatkan hidup mereka. Kayu itu memanjang tak terkendali, terus menerus panjang segaris lurus dengan kata-kata buruk yang dicipta, “Aku suka perang”. Ingat, mereka masih dalam perut monster (bukan paus, mungkin dengan pertimbangan bakalan diledakkan sehingga diganti), dan itu pada akhirnya gagal mencapai titik cahaya! Yah, walau akhirnya nyembur juga.

Ketiga, saat Pinocchio pamit, ia dengan gemas memenjara si jangkrik dengan gelas. Pergi untuk membantu ayah tercinta, dan kata-katanya begitu menggema, suaranya pelan namun jernih, “Katakan padanya aku akan mengirimi dia uang. Sampaikan aku menyayanginya, dan aku tak akan jadi beban lagi.”

Kebetulan saya sudah membaca bukunya, banyak versi terjemahan dari berbagai penerbit sebab sudah berusia lebih dari 50 tahun sehingga bebas diterjemahkan. Sayang, lupa keulas. Mungkin tahun ini bakal kubaca ulang untuk ulas. Tak pernah bosan membaca ulang buku bagus.

Best animated locked. Saya baru nonton ini dan Puss, secara cerita sama-sama bagus. Namun ini unggul jauh kalau dilihat dari patahan stop-motion kartunnya. Lebih susah dicipta, lebih dapat hormat. Film ini didedikasikan untuk ayah dan ibu Del Toro, muncul di akhir credit title. Sebuah penghormatan yang baik, mengingat proses adaptasi ini berliku sejak tahun 2000-an, sampai akhirnya Netflix mengambil alihnya.

Cocok ditonton ulang sama keluarga. Mungkin setelah pengumuman, di-bundling dengan Turning Red?

Guillermo del Toro’s Pinocchio | USA | 2022 | Directed by Guillermo del Toro Mark Gustafson | Screenplay Guillermo del Toro, Patrick McHale | Cast Ewan McGregor, David Bradley, Gregory Mann, Cate Blanchett, Tilda Swinton, Christopher Waltz | Skor: 4/5

Karawang, 100323 – Artic Monkeys – Do I Wanna Know?

The Whale: Dua Jam Duduk Menyaksikan Karakter Utama Terduduk

“Saya perlu tahu bahwa saya telah melakukan satu hal yang benar dalam hidupku.”

===catatan ini mengandung spoiler===

Best actor locked. Film dengan setting minim. Hanya dalam satu ruangan, menampilkan pria gemuk, over gemuk duduk, hampir sepanjang film. Kenapa ada orang sanggup menjalani hari yang sama berulang kali selama bertahun-tahun tanpa menjadi gila? Lantas para tamu bergantian hadir, atau beberapa adegan bersamaan, mengunjunginya. Kekuatan film memang di cerita, jiwa-jiwa frustasi. Membedah pengalaman masa lalu, yang indah dikenang untuk menyatukan senyum, yang buruk dijadikan pemicu perbaikan kualitas hidup. The Whale hanya seminggu, dan selama seminggu yang ganjil, si pria gemuk dalam posisi di titik pengambilan keputusan terpenting dalam hidup. Sekarat, dan bisa jadi hidupnya tak kan lama lagi. Lantas saat tahu, hidupmu tinggal hitungan hari, apa yang akan kau lakukan?

Charlie (Brendan Fraser) adalah pria yang memiliki dosa besar di masa lalu, ia ingin memperbaiki kesalahannya, terutama pada putrinya. Ia berbadan super besar. Sampai-sampai untuk berjalan saja pakai alat bantu. Nantinya sama perawat sekaligus sobatnya Kim (Hong Chau) diganti dengan kursi roda. Sepanjang film kita disuguhi ruang dalam rumah. Maka kutatnya tak kan beranjak jauh.

Ia mengajar kuliah bahasa Inggris tentang penulisan esai secara daring. Agar identitas fisiknya tak terlihat, kamera dimatikan. Penulisan esai kini tentang novel terkenal Moby Dick karya Herman Melville. Dan sesuai bentuk badannya, paus di sini secara metafora bisa jadi adalah dirinya. Mula-mula dia sangat berapi-api tentang suatu proyek tulisan esai yang bagus, tak henti membicarakannya. Nantinya di akhir, menjadi luapan emosi, lalu mengiringi ‘penerbangan’.

Dari Kim, kita tahu kondisi Charlie memprihatinkan. Sekarat, perlu dibawa ke rumah sakit untuk perawatan lebih lanjut, takut gagal jantung, tapi ia selalu menolak, tak ada asuransi, tak ada duit, mau bayar pakai apa? Bermuram durja, mengeluhkan biaya. Segala penanganan ini bersifat ala kadar, sehingga berbahaya. Kim memang tampak dekat, tampak memujanya malah. Sehingga sering kali berkorban waktu dan uang.

Setelah menit-menit berlalu, kita diperkenalkan oleh beberapa orang penting dalam hidup Charlie. Statusnya duda, dan kini menjadi homo penyendiri. Mari kita ungkap orang-orang yang mengelilingi hari-hari terakhirnya. Kedatangan pertama, si penebar injil, seorang misionaris kepercayaan akhir dunia sudah dekat dari New Life. Pria tampan Thomas (Ty Simkins), yang selalu mengajaknya bertobat. Nantinya kita tahu ada sesuatu yang disembunyikannya. Ganja, uang kotor, kabur. Sayang sekali, kelegaannya dibarengi keyakinan bisa mengubah mindset orang lain.

Kedua, Kim sang perawat. Ya secara umum, mudah ditebak ia jatuh hati samanya. Berkorban hingga maut datang. Rasanya sedih saat ia ternyata dihianati. Ada sesuatu yang akan membuatnya marah, tapi esoknya redam lagi. kita bisa meyakini dengan pasti, otak Charlie pastilah encer dan pria dengan pengetahuan hebat sehingga bisa meluluhkan hatinya. Ciuman akhir itu sungguh melegakan. Perpisahan yang pantas.

Ketiga, putrinya Ellie (Sadie Sinks) yang sudah ditinggalkan lama, delapan tahun tak bertemu. Remaja SMU yang rebel abis. Entah kenapa tiba-tiba datang dan mau menulis esai tentang paus. Dibimbing Charlie dengan sabar. Tampak ia tak terlalu berminat di ruang tersebut. Nantinya kita tahu, ada sebuah rahasia mengapa ia datang. Charlie ingin memperbaiki hubungan, maka ini adalah kesempatan langka tersebut. Indah sekali, esai itu. Ditulis jujur dan menyala benderang. Bagi sebagian orang ia remaja susah diatur, bagi ayahnya ia adalah putri yang cantik.

Keempat mantan istrinya Mary (Samantha Mortons). Ia datang diajak Kim, diberitahu bahwa Charlie sekarat. Nah, dari tokoh inilah segalanya dibuka. Mulai dari masa lalu penyebab pecahnya hubungan. Tampak memalukan, ditinggal pergi suami demi lelaki lain! Membesarkan anak sendiri, terlunta-lunta. Ia menjadi link yang menghubungkan akhir dramatis the Whale. Kata-kata tegasnya adalah kemarahan bertahun-tahun kekecewaan. Maka saat permintaan maaf itu diucapkan, ia makin mempertegas posisi, menebalkan garis tugas tiap orang tua.

Kelima, Dan (Sathya Sridharan) pengantar pizza yang muncul sekilas. Karena jadi langganan, dan mencurigakan. Beberapa kali menawarkan bantuan. Memang janggal sebab uangnya ditaruh di kotak luar, makanan di taruh depan pintu saja. Tak pernah tatap muka. Dan nantinya ia tahu secara langsung, walau sebentar fisik paus pelanggannya. Saat akhirnya bersirobok, sebuah keheningan seberat sekotak pizza tercipta, tanpa banyak komen lantas berjarak lagi.

Tokoh lainnya sama sekali tak muncul, seperti Alan yang sudah mati, namanya sering disebut sebab dirinyalah yang mengakibatkan Charlie seperti ini sekarang, dan secara lisan ia diungkap bunuh diri menjatuhkan dari jembatan.

Cukup. Tak ada tokoh lain, hebat. Film dengan setting minimalis, karakter minimalis, cerita berat, hasil maksimal. Bagaimana sifat dan karakter dibangun di ruang sekecil itu. Mayoritas mengandalkan kata-kata. Saya suka bagaimana kata-kata berdatangan ketika konfliks yang satu belum selesai, ditabrakan dengan masalah yang lain.

Adegan saat interogasi itu sungguh-sugguh hebat. Charlie ‘dibius’ dan Ellie melakukan penyelidikan langsung. Dengan terpisah ruangan, diskusi direkam itu menghasilkan pengakuan-pengakuan. Suasana beku itu menggenangi seluruh ruangan. Remaja hebat, keras, melawan hal-hal yang tak disukai. Di zaman digital sekarang, memang perlu direkam sebagai bukti. Foto, video, rekaman suara. Khas anak muda, dan itu menjadi barang bukti yang jelas dan tak terbantahkan. Superb sekali, debat terpisah saling lempar teriakan dan makian itu. Dahsyat, hidup, menohok.

Semua karakter itu tumplek blek, diaduk-aduk dalam satu ruang saja selama hampir dua jam! Haha, cerdas sekali yang buat cerita. Dua jam duduk menyaksikan karakter utama duduk. Hanya ngobrol, ngoceh tak tentu arah, dan kita terkesima. Salut pokoknya. Saya suka film duduk-duduk seperti ini, hanya imajinasinya saja yang berpetualangan. Tak capek, nyaman.

Endingnya luar biasa. Semua orang, atau hampir semua orang pastinya ingin melewati hari-hari terakhir dengan orang terkasih. Maka Charlie yang sepanjang film terpuruk, menemukan kedamaian. Semua orang, atau hampir semua orang pastinya ingin melewati hari-hari terakhir dengan apa yang ia cintai. Sastra jelas jadi pegangan hidup Charlie, maka saat ia menemukan tulisan cantik, sangat memikat itu dibacakan, ia melayang. Semua orang, atau hampir semua orang pastinya ingin mati dalam keadaan dosa tertebus, membahagiakan orang terkasih, sehingga senyum-lah bentuk wajahnya saat malaikat maut datang. Sungguh-sungguh ideal kematian seperti itu. Dan The Whale menyelimutinya dalam cahaya. Cahaya alaminya yang lembut menenangkan dan menghibur hati orang. Sama seperti aliran air jernih atau desir lembut daun-daun pohon. Pada saat bersamaan ruangan itu seperti dijungkirbalikkan, kedua mata kita tersilaukan, lalu semuanya memudar, berdenyut-denyut, dan kita dikirim ke masa lalu. Ah pantai, lagi-lagi mencipta kenyamanan. Sebuah bentuk penghormatan bagi kaumnya yang bertobat.

Untuk dua kategori lainnya, saya lebih suka menunjuk di make up. Susah menyandingkan dua nominasi di akting untuk menang. Dapat satu sudah sangat bagus, tahun ini rasanya saya menemukan film-film berkelas dalam daftar. Nama Darren Aronofsky jelas nama tenar, karyanya bagus-bagus, maka sungguh tak terkejut saya terpesona. Yang mengagetkan justru Bredan Fraser, film-filmnya cemen, rerata film aksi kelas B yang mudah dilupakan. Mayoritas jelas tak layak masuk daftar tonton, makanya saat ia ditangani sutradara hebat, seketika masuk Oscars. Moga makin selektif memilih peran.

Kebetulan saya sudah baca Moby Dick, versi ringkas. Secara garis besar tahu petualangan laut itu. Memang novel sastra yang butuh perjuangan untuk klik, kata-katanya terpilah dengan baik dan tak langsung mudah dicerna. Buku ini diulang ucap, didedah berkali-kali, seolah kitab yang perlu ditafsir. Sastra memang seperti itu, karyanya abadi.

The Whale | USA | 2022 | Directed by Darren Aronofsky | Story Samuel D. Hunter | Cast Brendan Fraser, Sadie Sink, Hong Chau, Ty Simpkins, Samantha Morton | Skor: 5/5

Karawang, 090323 – The Righteous Brothers – Unchained Melody

Women Talking: Duduk Sepanjang Hari Menyaksi Para Perempuan Ngobrol

“Apakah permintaan maaf yang dipaksakan itu benar?”

Luar biasa, dan ini berdasarkan kisah nyata, diinspirasi kejadian sebenarnya di sebuah koloni Manitoba, Bolivia, diadaptasi dari novel karya Miriam Toews. Setiap menitnya menegangkan, lebih dari sekadar ngobrol. Main stage-nya adalah ruang pertemuan di rumah pertanian, dengan jerami mendominasi, dengan kursi-kursi kayu seadanya. Tatanan kisah sangat kuat, sebab menentukan nasib banyak orang, nasib anak-anak generasi berikutnya. Jadi ini bukan tentang ibu-ibu ngerumpi di arisan, bukan pula ngobrol di atas meja makan, ini tentang perempuan berbicara misi penyelamatan, untuk itulah terasa sungguh menegangkan di tiap ucapannya. Turut pula ketakutan, hasil voting akan memecah belah, mereka adalah orang-orang buta huruf, dan begitulah, menit-menit mencekam di koloni asri, hamparan hijau daun sepanjang mata memandang.

Inilah masyarakat yang dikendalikan oleh kepentingan dasar bertahan hidup, para ibu lebih mengkhawatirkan anaknya (lebih dari dua kali kudengar: demi masa depan anak-anak), dan luapan kata itu telah merefleksikan kepentingan-kepentingan perempuan untuk waktu yang lama. Dan jujur saja, persoalan yang dibahas sangat rumit, jadi saya tak ingin terlalu menyederhanakannya. Kita pantas memaklumi saling lempar bentakan, saling maki, bahkan beberapa kata tampak menyakitkan hati.

Lima menit pertama sungguh menghentak, hulu ledaknya dahsyat sebab ini tentang solusi bertahan hidup, melawan kekuatan besar. Sekumpulan perempuan, tua muda, dan remaja duduk di rumah pertanian membahas jalan keluar masalah mendesak. Jadi dalam koloni mereka ada lelaki-lelaki jahat yang melakukan tindakan kriminal. Mencekoki perempuan dengan bius sapi, saat pingsan terjadilah pelecehan. Suatu saat, salah seorang remaja memergoki, mengenali wajahnya, dan penjahat berhasil ditangkap. Dari satu pelaku, merentet ke pelaku lain. Dan kini, dalam proses persidangan. Para lelaki ditugaskan ke kota untuk mengawasi jaminan.

Para perempuan yang tak bisa baca tulis ini lalu melakukan pemungutan suara. Dibantu guru lokal August (Ben Whishaw, kita sebut saja Agus di sini biar membumi) yang jadi notulen, mencatat semua isi diskusi termasuk perhitungan pro-kontra. Satu-satunya pria dalam kerumunan wanita. Sedih melihat Agus, dia pernah dibentak ketika seakan memberi usulan. “tugas lu notulen, tak punya suara!” Padahal niatnya ia hanya ingin gegas saja meeting ini. Atau sat identitasnya diungkap, sebagai warga pengusiran. Atau saat dia nantinya mengangkat tangan, ketika akan bicara, lalu sama simbah tak perlulah mengangkat tangan, suaranya didengar. Sungguh dilema berat, duduk sepanjang hari menyaksi para perempuan ngobrol. Lebih mencengangkan, eksekusi akhir untuk Agus. Duh! Nanges sekencang-kencanganya.

Waktu dua hari untuk menentukan sikap; dalam bentuk gambar, isi pilihan adalah: Diam tak melakukan apa-apa, atau bertahan dan melawan balik, atau pergi. Dibuat sedemoktaris mungkin, tapi tak rahasia, sebab dalam memberikan suara, kita bisa melihat persentase pemilihan yang tak tertutup.

Hasil voting, antara melawan dan pergi imbang. Di sinilah, Salome (Claire Foy) yang tampak sangat ingin bertahan dan melawan bersikap begitu keras. Lebih baik, tinggal. Tembak para penjahat, kubur di sini! Ia baru saja mengambil antibiotik buat anaknya. Ia kesal sama kaum perempuan lembek, yang pasrah. Pendapatnya didukung oleh Mejal (Michelle McLeod) dan Ona (Rooney Mara) yang kini hamil, korban pemerkosaan. Sementara Mariche dan kaum tua ingin bertahan, sebab dengan melawan kita menjauhkan diri dari kerajaan surga, kualat. Pengampunan adalah jalan baik. Sementara swing voter yang yang bisa gegas menentukan bertahan ataupun pergi, mengimbangi. Duduk-duduk ngobrol, senantiasa menjalankan perang kata secara intens. Contoh, saat Salome marah, ia membatasi kebebasan Uno sekaligus melindungi hak Salome. Secara umum, opsi pertama dicoret itu menampilkan kenyataan bahwa melawan adalah satu-satunya jalan, menentang pertalian, kurang lebih sama dengan menampik diplomasi, yang selalu melibatkan isu-isu yang lebih luas.

Kekuatan kata-kata, debat esensi hidup, hingga kemungkinan-kemungkinan apa yang akan terjadi di kelak jika pilihan diambil. Hal terbaik yang bisa dilakukan dalam film ngobrol adalah membuat sejumlah spekulasi yang masuk akal. Bayangkan, membahas “pergi” dan “kabur” saja lama, sebab maknanya lain. Mereka adalah para pemimpin, dan keputusannya akan mempengaruhi koloni secara keseluruhan. Maka, wajar, terasa sangat wajar pembelaan dan sanggahan dilontarkan. Para orang tua tampak kalem, memang pengalaman hidup itu penting untuk mencari solusi. Seperti duo kuda yang mengalah kabur ke kebun saat bertemu anjing, bahkan binatang lebih peka terhadap ancaman. Peran para orang tua, yang mengingin bertahan melawan, lebih masuk akal rasanya. Jika mereka tak bisa melakukannya, maka merekalah yang harus menggerakkan kekuatan sendiri.

Satu paragraf ini saya dedikasikan bagi pria pembaca blog ini yang menanggung keraguan menyatakan cinta pada perempuan yang jelas-jelas mencintaimu. Di sini, Agus dan Ona adalah contoh bagus bagaimana cinta tanpa syarat patit digenggam erat. Saat diskusi segala keputusan Ona didukung Agus, isyarat cinta sering kali disampaikan. Ada tiga adegan mereka berdua yang patut dicatat. Pertama, saat di pompa air, Ona yang hamil seakan muntah, dibantu diambilkan air dan pernyataan cinta diungkap, lalu di-sstttt… sebab akan merusak suasana. Berikutnya, keheningan mereka saling melengkapi. kita tidak bisa mencegahnya. Itu natural. Kedua, saat di atap. Setelah meneyerahkan peta, dan menjelaskan duduk lokasi dan arah yang seharusnya ditempuh. Mereka meraih bintang, menunjuk langit dan memposisikan jemari ke petunjuk arah. Romantis dalam kekakuan. Semua itu dibebat oleh kasih. Ketiga, tentu saja perpisahan. Kata cinta itu, dibalas oleh simbah, yang meluluhkan hati kita. Agus adalah pria baik, dan untuk itulah harus kita apresiasi. Hatinya lembut, dan keputusan akhir dengan menyerahkan sesuatu ke Salome, adalah keputusan bijak yang melegakan. Satu hal yang perlu kita antisipasi, nyatakan cinta kepada perempuan yang kamu cinta. Serahkan tuhan, apapun jawabannya. Kalian takkan tahu, selama rasa itu dipendam.

Kekuatan film memang di naskah yang kuat, ngobrol sepanjang film dengan mayoritas di gubuk pertanian. Kita dipaksa mengamati. Mengikuti tingkah pola, dua remaja yang tak mau diam. Naik ke langit-langit, berisik. Atau saat ada petugas sensus datang bermobil dengan pengeras suara, mereka saja yang mendekat. Duo imut untuk mengimbangi kekakuan. Atau hubungan Agus dan Uno, timbul tenggelam. Kata-kata cinta ditahan, lalu diurai dengan gamblang, hebat. Pas lontaran kalimat itu, sedih rasanya. Suaranya bergetar dan hampir menangis. Pintar sekali yang mencipta adegan itu. Perfect ending. Atau hubungan ibu-anak yang tak sepaham, saling silang marah. Sebuah film dikata berhasil bila penonton ikut merasakan sensasi emosi para pemerannya, dan Women Talking jelas tampak hidup. Salut!

Setting film mayoritas di gubuk peternakan. Sesekali keluar kelihat lingkungan koloni. Tanah hijau pertanian membentuk bukit-bukit berbaris sepanjang aliran sepanjang mata memandang. Adem. Lama menatapi padang rumput yang hijau di sana, merenungi langit, yang makin lama semakin biru warnanya setelah pagi merekah.

Apapun hasil akhir diskusi itu, kita hargai dan maklumi. Ada perjuangan dahsyat dibalik pilihan itu. Masalah demi pencapaian kenyamanan, saya kira tak ada formula untuk merumuskan hal ini. Tepuk tangan paling keras untuk kuda hitam Oscars tahun ini. Layak menang best picture, sangat layak menang naskah adaptasi. Salah satu yang terbaik 2022, meledak berkeping-keping rasanya menyaksi Agus sesenggukan di gubuk diskusi lantai atas, ia berusaha mengendalikan perasaanya yang terlanjut karut, setelah menyerahkan apa-apa yang harus diserahkan.

Remuk redam pria baik.

Women Talking | USA | 2022 | Directed by Sarah Polley | Screenplay Sarah Polley | Cast Rooney Mara, Claire Foy, Jessie Buckley, Frances McDormand | Skor: 5/5

Karawang, 080323 – James – Laid

Top Gun: Maverick – Wahana Orang Tua

“Ini bukan pesawatnya, ini pilotnya.”

Tipikal film-film aksi jadul yang memuja kepahlawanan secara dramatis. Bedanya ini di udara. Menampilakn pose-pose yang cocok dijadikan poster atau altar pemujaan ciwik-ciwik. Pria tamvan dengan jaket kulit, potongan rambut rapi, kaca mata hitam, dan moge stylist. Tom Cruise yang kini berkepala enam, masih tampan dan pemberani. Orang tua, dan ia masih menyukai aksi. Pikirkanlah! Namun tetap, wajah tak bohong. Kerutan itu asli, tak bisa ada yang mengalahkan waktu. Sedari mula sudah dengan mudah alurnya ditebak, ini bakalan full senyum di akhir. Kenapa? Ada rasa bersalah yang harus ditebus, ada tanggungjawab lebih untuk memberi bukti, ada tantangan yang bisa membalas cemooh, dan hanya dengan misi sukses yang bisa memberi akhir gembira, untuk semua orang. Nyaris semua orang, sebab akhir dengan konveti perayaan seperti ini rasanya hambar. Sensasi terbang dan ketakutan jatuh itu terasa hanya dolan ke Dufan main halilintar, degubnya sementara, tak ada nada khawatir. Saat wahana itu selesai, semua boleh dilupakan. Tak perlu telaah lebih. Tak ada luka membekas. Benar-benar film yang cocok untuk orang tua. Safety belt-nya mengekang erat.

Saya belum lihat yang versi 1986, jadi sekuel ini kurasakan retakannya, kita langsung disuguhi Kapten Angkatan Laut Pete “Maverick” Mitchel (Tom Cruise) dengan penuh gaya naik moge, melewati area terlarang dengan gaas terus, dan saat sampai di gedung landasan pesawat tempur, ia diberitahu bahwa project “Darkstar” dibatalkan. Pete yang pengalaman, sudah punya banyak prestasi, seorang pemain lapangan tak terima, dan secara sepihak mengubah kecepatan target menjadi Mach 10. Ia dengan pede langsung nge-gas untuk beri bukti.

Tipikal film aksi yang memberi keterpurukan sang jagoan di awal, uji coba itu gagal, dan pesawat itu remuk. Pete mendarat darurat dan mampir di kedai, yang oleh seorang anak kecil saat ditanya, di mana nih? Dijawab datar, “bumi”.

Untung ada sobat lamanya, Laksamana “Iceman” Kazansky (Val Kilmer) yang memberinya kepercayaan. Ice yang sudah redup dan tua, berbicara dengan tulisan di layar, dan saat ngomong langsung sudah tak jelas, mengirimnya ke sekolah Top Gun. Menjadi guru? Ia langsung membuang manual book ke tong sampah, dan meminta murid-muridnya langsung gaas saja di udara. Begitulah, sekolah ini menjadi tempat menempa pasukan untuk sebuah misi berat. Misi menghancurkan pabrik penganyaan uranium tanpa izin di bawah tanah.

Konfliks dari dalamnya adalah, pro-kontra pemilihan murid Rooster (Miles Tiller) yang merupakan putra almarhum sobat Pete. Dituduh kekuatan orang dalam, disebut oleh teman-temannya, terutama Hangman, bahwa cara terbang Rooster terlalu hati-hati. Dan keragu-raguan, saling sikut misi penerbangan, sampai akhirnya uji layak pasukan. Bagaimana akhirnya misi itu dijalankan. Dan kembali ke awal, ini film pembuktian. Melawan orang yang meragukan, dibuat dengan sangat dramatis, dengan tema kepahlawanan. Tipikal film aksi lama, yang akan menyenangkan para simbah untuk bernostalgia.

Bagian terbaik film ini bisa jadi adalah menerbangkan pesawat versi jadul, yang sudah layak di-museum-kan. Melawan kecanggihan, manuver dengan sangat berani, dan mengalahkannya. Lihat, bahkan barang bekas yang ditunggangi pun memihak para orang tua.

Top Gun dengan cerdas tak menyebut siapa sebenarnya pihak lawan, tak secara spesifik Negara mana. Negera yang memiliki bukit bersalju. Rusia? China? Korut? Bisa jadi, yang jelas di era keterbukaan ini, tanpa menyebut dan menyinggung permusuhan, bakalan lebih mendapat respect. Itu terbukti dengan angka box office-nya. Meng-global bisa dinikmati siapa saja, dari mana saja. Tidak merusak pasar internasional. Dengan bujet besar, dengan pesawat-pesawat asli, untuk apa menyentil politik? Cuan lebih penting, ini untuk hiburan, bukan tunggangan pesan dari Gedung Putih. Untuk ini, saya salut. Dengan dalih melawan sebuah Negara yang memiliki senjata nuklir, mencegah perang yang lebih besar, sehingga opsi menghancurkan fasilitas illegal itu tampak sungguh mulia. Tema kepahlawanan, rela berkorban. Suatu hari nanti kita semua akan meninggal. Hanya Negara kita yang akan tetap hidup.

Daya jual utamanya memang pengalaman terbang. Dengan close up Tom Cruise yang menyupir peaswat, kita mengikuti laju dan atraksi di udara. Langit seputih mutiara dan matahari yang berwarna merah tua yang tenggelam sebagai latar. Bisa jadi saat menyaksi di 3D saat menemui titik rendah, lalu dengan tiba-tiba menarik tuas untuk kembali ke atas, kita akan turut mendongak, atau saat manuver itu berbelok tajam, tubuh kita ikut menyamping. Sayangnya, saya hanya saksikan di layar kecil, di malam hari sebagai pengantar tidur, jadi daya jual utama itu tak maksimal. Dan seperti biasa, saya lebih melihat cerita. Sungguh biasa. Mengejutkan, bisa masuk kategori tertinggi. Prediksiku, bakalan menang di sisi teknis saja. Music, suara, efek, sejenisnya. Susah untuk menang di cerita, apalagi di puncak. Cukup F-14 saja yang mustahil, bisa menang melawan kecanggihan, hanya itu bisa jadi nyata.

Top Gun hanya jadi film pamer kehebatan di udara, menjadikan film nostalgia kejayaan masa lalu, wahana orang tua. Tom Cruise dan pasukan terbangnya adalah pahlawan, dan kita diharapkan menikmati nostalgianya. Jelas secara cerita, bakalan dibantai lawan-lawannya, kecuali Avatar yang z z z… Cerita film Oscars bisa lucu, sedih, menyenangkan, menakutkan, dramatis, atau sentimentil, tetapi cerita film dengan bintang Tom Cruise haruslah mengandung semuanya.

Ujung ending-nya bahkan lebih normatif. Berpesawat berdua, romantika pilot dan kekasihnya, yang secara tak langsung bisa kita bayangkan permulaan kalimat, “Sekarang kita sendirian, tidak seorangpun bisa mendengar kita kecuali desiran angin.” Dan di angkasa, mereka menari menembus keberadaan.

Top Gun: Maverick | USA | 2022 | Directed by Joseph Kosinski | Screenplay Enren Kruger, Eric Warren Singer, Christopher McQuarrie | Cast Tom Cruise, Miles Tiller, Jennifer Connelly, Ed Harris, Val Kilmer | Skor: 3.5/5

Karawang, 070323 – Image Dragon – Believer