Maryam #29

“Kalau memang bapak dan ibu menganggap dia laki-laki yang baik, saya sudah tidak punya alasan lagi untuk menolak. Apa yang membuat bapak dan ibu bahagia, pasti juga bisa membahagiakan saya.”

Secara garis besar kita tahu bahwa buku ini bercerita tentang golongan minoritas yang tertindas. Tugas penulis adalah tak mencerita detail berita itu, berikan gambaran lainnya, jadikan informasi bahwa Ahmadyah dianggap sesat dan para pemeluknya terusir, bukan sebagai center cerita, tapi sebagai data pendukung. Mencerita hal-hal umum tentunya kurang Ok, sebab pengetahuan umum bila dicerita ulang hanya menelusur garis lurus, tak ada belokan, tak banyak tikungan, tak ada kejutan. Maryam, sebagian memenuhi, tapi gambaran umum itu masih kental dan banyak ditemui.

Maryam terlahir dan besar sebagai Ahmadyah, terlahir di Lombok dalam didikan agama yang tegas, ia tak bisa memilih, seperti kita semua, bila kalian terlahir di keluarga Kristen, maka otomatis kalian akan dididik secara Kristen, begitupula agama lainnya, secara otomatis ajaran itu dipetakan ke anak-anak. Maryam hanya kebetulan lahir dalam keluarga Ahmadi. Tak satu alasan pun baginya untuk menjadi bagian dari Ahmadyah selain karena memang sejak lahir ia telah dijadikan Ahmadi oleh kedua orangtuanya. “Mereka yang dididik dan dibesarkan dengan cara yang sama akan menghargai dan mencintai dengan lebih baik dibanding orang-orang luar yang selalu merasa paling benar.”

Maryam, melanjutkan kuliah di Surabaya dan tinggal dalam komunitas yang sama, dan masa muda yang berapi-api itu ia jatuh hati sama Gamal, lelaki Ahmadyah yang secara umum tentu saja jua diterima keluarganya. Apalagi yang kurang ketika semuanya telah dibungkus dalam kesamaan iman? Sayangnya, tekanan bukan dari dalam, tapi dari sisi lain. Bukankah kata sesat sudah bukan hal baru lagi bagi Gamal? Ia hanya Ahmadi ketika sedang berada di tengah-tengah pengajian Ahmadi. Di luar itu, ia tak merasa berbeda dari yang lainnya.

Ya, takdir berkata lain, Gamal menemukan pilihan keyakinan lain, dan pergi, mematahkan hati Maryam dan tentu saja keluarga dan komunitasnya. Tapi bagaimana caranya mengatur hati agar jatuh cinta hanya pada orang dalam (lainnya)?

Kehidupan mengarahkan Maryam ke Jakarta. Bekerja di ibukota dengan asa baru. Kota yang lebih besar, dan pergaulan yang lebih bebas dan terbuka, hati Maryam tertambat pada Alam. Namun kali ini lain, Alam bukan Ahmadyah dan ini tentu mencipta riak hingga gelombang besar di kedua kelurag besar. Orangtua Maryam jelas menentang, orangtua Alam apalagi. Apanya yang berbeda kalau mereka seagama?

Semua tahu mereka berbeda. Tapi mereka juga sadar mereka punya satu nama agama. Dan kali ini Maryam-lah yang mengalah, ia seolah mengikuti jejak sang mantan yang keluar Ahmadyah dengan turut pada kekasihnya, ia masuk ke tubuh Alam, begitujuga kepercayaanya. Pengorbanan yang luar biasa, yang kini menjadikannya salah satu anggota komunitas mayoritas.

Sayang, apa yang ia cita tak berjalan mulus. Sakitnya, pedihnya, dukanya, takutnya, semua bisa ia rasakan saat ini. Tekanan dan kenyataan tak berbanding lurus sehingga ia menderita. Maryam kehilangan semua harapannya. Kehilangan orang yang dicintainya. Tapi ia tak tahu harus bagaimana. Ia hanya ingin menangis. Suaminya tak selalu memihaknya, suaminya anak mami yang tak bisa tegas memihak Maryam, tekanan itu makin berat dan memaksa Maryam melakukan tindakan berat. Suaminya tak bisa diandalkan sehingga perceraian terjadi. Lihat, cinta saja tak cukup. Kecocokan waktu pacaran tak sama dengan kecocokan saat menikah, ia menjanda dan ia di persimpang jalan, lagi.

Bayangkan, ia sudah terusir dari keluarga besarnya, ia kini terusir dari keluarga kecilnya, apakah ada kesempatan kedua bisa ia memutuskan kembali ke keluarga besarnya? Ia pulang sama sekali bukan untuk iman. Ia pulang hanya untuk keluarganya. Apakah itu akan menjamin ia tak terusir lagui, baik secara fisik maupun batin? Bayangkan, ia dari minoritas, masuk ke mayoritas, lalu dengan serpihan hati, memohon kembali masuk ke minoritas, dan ternyata tetap tertekan. Begitulah hidup, pahit. Akankah pengorbanannya membuah hasil manis di kesempatan kedua ini?

Agama, atau keyakinan. Merupakan basis kuat yang menyatukan orang-orang, selain cinta, politik, hingga fanatisme sejenis. Agama, karena itulah seharusnya menguatkan. Mereka yang tak punya ikatan darah tapi menjadi keluarga karena ikatan iman. Semuanya sudah seperti menempel dalam alam bawah sadar. Ibadah dan pengajian tidak lagi sekadar kebiasaan dan kewajiban, tapi juga kebutuhan. “Yang namanya keyakinan memang tak bisa dijelaskan. Ia akan datang sendiri tanpa harus punya alasan.”

Ada beberapa pertanyaan ironis dilontarkan. Seperti, “Apa ada laki-laki baik-baik yang mau menikahi janda?” Seolah kesalahan di masa lalu itu sulit dihapuskan, menjadi bayang-bayang perempuan. Atau tentang rumah yang jadi pijakan keluarga itu, terusir. “Rumah itu milik kakekku. Dibangun dengan uangnya sendiri. Tanahnya warisan dari buyut-buyutku. Lalu diwariskan ke bapakku…” atau tentang kepercayaan, “Namanya orang sudah percaya, semakin susah semakin yakin kalau benar.”

Dan betapa seramnya, saat menyadari bahwa kepahitan yang dirasa ternyata tak seberapa, setelah tahu ada kepahitan lain yang harus ditangani. “Maryam kini tahu, apa yang telah dilakukannya, segala yang yelah dialaminya, tak berarti apa-apa dibandingkan dengan segala hal yang telah dialami keluarganya. Pengusiran, penghinaan, pengucilan, segala macam penderitaan yang tak pernah Maryam bayangkan.” Dan seberapa kuat sih kita menahan gempuran eksternal? “Kita pertahankan yang tersisa ini. ini rumah kita!”

Jodoh, mati, rejeki itu sudah ada yang atur. Namun dalam keluarga, ada syarat wajib dalam memilih jodoh. “Yakni, ikhlas, setia, dan Ahmadi.” Lihat, mau mayoritas atau minoritas, mau Kristen, Buddha, atau kepercayaan lain. Seagama selalu jadi syarat, saat meminta restu orangtua. Dan itu wajar saja.

Ini adalah buku prosa ke 11 yang kubaca dan ulas dari Pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa. Saya ikuti penuh sejak era Kura-kura Berjanggut hingga kini, dan mencoba membacai buku-buku pemenang lama. Tahun 2010, tersisa dua. Di era digital, rasanya mengejar baca buku-buku tampak realitis sekali, mudah didapat, asal ada waktu dan uang bujet saja. Beruntung, tahun 2018 saya menemukan buku ini di tumpukan buku yang ditaruh di Carefour Karawang. Kualitas Maryam ada di tengah-tengah, tak buruk tak juga istimewa. Tetap memenuhi harap, seperti Isinga misalnya. Buku kedua Okky yang saya baca setelah buku non-fiksinya. Hanya masalah waktu mengejari buku lainnya.

“Keteraturan dalam kesemrawutan. Ketenangan dalam kegelisahan. Kepasrahan dalam kemarahan. Kebahagiaan dalam kesedihan. Itulah yang sedang mereka bangun sekarang. Dalam hati masing-masing, juga dalam keseharian yang dijalani bersama-sama.”

Maryam | by Okky Madasari | GM 401 01 12 0009 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Ilustrasi sampul Restu Ratnaningtyas | Desain sampul Marcel A.W. | Jakarta, 2012 | Cetakan ketiga: April 2016 | ISBN 978-979-22-8009-8 | 280 hlm; 20 cm | Skor: 4/5

Untuk mereka yang terusir karena iman

Karawang, 290622 – Tasya – Apakah Arti Puasa?

Thx to Carefour Karawang

#30HariMenulis #ReviewBuku #29 #Juni2022