#Agustus2022 Baca

“Hari ini agaknya mendung, Pak.” – Anak buah Tuan Gendrik by Pamusuk Eneste

Bulan Agustus mengejar buku tebal, lebar, non fiksi Teori Sosiologi Modern. Kubaca 15 halaman sampai 25 halaman per hari. Konsisten dan berat, makanya menggerus bacaan lain. Hanya 6 buku yang tuntas, itupun rerata tipis. Dan memang kembali santuy, tak ada yang dikejar sekalipun daftar antri sangat amat banyak.

#1. The Robe of Skulls by Vivian French

Kisahnya berkutat oleh lima tokoh utamanya, berganti-ganti sudut pandang: pertama Gracie Gillypot yang dikurung di ruang bawah tanah, dihukum oleh sudara tirinya yang jahat Foyce. Kedua, Pangeran Marcus yang bandel dan suka petualang, memiliki saudara kembar Arry yang punya wibawa dan jelas sudah ditunjuk sebagai penerus takhta. Ketiga, Marlon sang kelelawar yang membantu Gracie kabur ke Pitarah Purba. Keempat keponakan Marlon, kelelawar Millie. Dan terakhir trolls ratusan tahun Gubble yang pasif dan malesi, tapi punya peran bagus untuk memengaruhi sang penyihir.

“Aku hanya punya dua nasihat, satu jangan jauh-jauh dari peta, jangan sampai hilang. Kedua, jika kau terjebak dalam situasi yang tidak menguntungkan dan segalanya salah, pergilah ke rumah Pitarah Purba. Mereka tahu segala jawaban segala pertanyaan..”

#2. Tuan Gendrik by Pamusuk Eneste

Semua cerpen memakai judul karakter utama. Semuanya pendek, belum ‘in’ sama cerita sudah selesai. Namun hebatnya, semua ending menggantung. Keputusan akhir diserahkan ke pembaca. Dari kepala media yang diminta ceramah kepahlawanan, tak tahu ngomong apa. Karyawan yang diancam, diperas duit sebab istrinya diculik, dan kita tak tahu apakah ia melapor polisi atau memenuhi tuntutan dengan uang pinjaman. Lalu Tuan Gendrik, bos kantor yang baik hati dan tak sombong, yang suatu hari kehilangan semua karyawannya, misterius. Hingga warga baik-baik yang dituntut untuk menikahi perempuan yang tiba-tiba mampir ke apartemennya, lalu menyatakan hamil anaknya. Semua diramu dengan tanda tanya di akhir. Begitulah, sederhana nan memikat. Tak sampai meledak-ledak, tapi sungguh efektif meluluhkan hati pembaca.

“Terus terang, aku tak tahu harus menyapamu dengan apa. Mas, dengan kau, dengan kamu, atau dengan Anda. Tapi itu tak penting bagiku, yang terlebih penting adalah persoalan yang akan kubeberkan di bawah ini.”

#3. To Live by Yu Hua

Tragis. Ini adalah cerita kehidupan warga biasa di China di abad 20. Dari keturunan kaya raya, miskin karena judi, lalu bertahan hidup menjadi petani. Dan ditengah gempuran zaman, mereka dibantai kekejaman kehidupan. Satu demi satu tempaan cobaan disajikan, hingga sisa-sisa akhir. saya yang biasanya suka cerita dengan akhir yang kelam, bahkan sampai berharap, harapan terakhir Kugen, tak sampai dimatikan. Mengerikan memang, era China yang bergolak, pantas bukunya dilarang terbit. Mungkin seperti buku-buku Indonesia era Orde Baru yang membredel buku-buku yang menyerang Pemerintahan. Atas nama kestabilan, banyak sekali pengorbanan diapungkan.

“Dulu kala nenek moyang keluarga Xu cuma pelihara seekor ayam, ayamnya besar jadi angsa, angsanya besar jadi kambing, kambing dipiara terus sampai besar jadi sapi. Beginilah keluarga Xu hingga menjadi kaya.”

#4. Room by Emma Donoghue

Novel dan film sama saja. Dibuat dalam dua babak utama, di dalam kamar dan adaptasi di kehidupan sesungguhnya. Dengan cerdas mengambil sudut pandang seorang anak lima tahun yang polos dan menggemaskan. Pendidikan itu penting, tapi lingkungan jauh lebih penting. Bagaimana sifat dan karakter dibangun di ruang sekecil itu. Dari lahir dan pada akhirnya kabur, bagaimana Jack beradaptasi sama hidup baru. Polos dan tampak sangat menyentuh. Seperti filmnya, menurutku bagian pertama luar biasa. Keren abnget, ide memenjara dan dengan segala keterbatasannya. Bagian kedua menurut drastis. Itulah mengapa orang suka drama pahit, sebab cerita pahit selalu mematik penasaran. Nah, untungnya, ending buku ini bagus banget. Pamit itu menampar teori-teori sosiologi, mengukuhkan betapa sempat dan lega itu sangat subjektif.

“Dan tempat-tempat itu juga nyata, seperti ladang dan hutan dan pesawat dan kota-kota…”

#5. Aruna dan Lidahnya by Laksmi Pamuntjak

Novel pertama Laksmi Pamuntjak yang kubaca, keren banget. Pemilihan kata, nyaman dan puitik. Salah satu novel lokal dengan liukan kata terkeren yang kubaca. Cerita mungkin agak kurang, sebab memainkan orang-orang kalangan atas yang tak relate sama jelata. Pilihan dengan makanan sebagai tunggangan utama, baru pilihan bagus. Berapa banyak sih novel dengan citarasa makanan sebagai tema dicipta di Indonesia? Tak banyak. Apalagi dibuat dengan gemuruh diksi sekeren ini. Pengalaman pertama yang akan mematik karya-karya berikutnya untuk dilahap.

“Kuah babat karena memberi bodi dan aroma, kacang kedelai karena membuat ekstra renyah, timun karena menambah asam dan segar.”     

#6. Islam tanpa Toa by Jamaah Milis KAHMI Pro

Buku yang dinukil dari milis, bahasanya bebas. Seperti zaman sekarang melihat debat online terbuka di twitter atau facebook. Temanya bagus, polemik yang sudah lama ada, masih ada, dan akan selalu ada. Tentang toa atau pengeras suara di masjid-masjid kita. Pro kontra wajar, alasan yang disampaikan juga sangat wajar, dan masuk di akal. Yang pro, biasanya karena sudah kebiasaan.

“Ini sudah fitrah. HMI itu tidak mempersoalkan apakah kamu salat pakai qunut atau tidak. Apakah kamu tahlil atau tidak. Yang salah adalah yang tidak salat dan menutup telinga saat azan.”

Karawang, 020922 –  Sherina Munaf – Ada

Happy birthday to me.

Islam tanpa Toa

“Ini sudah fitrah. HMI itu tidak mempersoalkan apakah kamu salat pakai qunut atau tidak. Apakah kamu tahlil atau tidak. Yang salah adalah yang tidak salat dan menutup telinga saat azan.”

Bangsa kita sudah terbiasa hanya melihat segala sesuatu dari kepentingannya belaka, tidak mau melihat dari kepentingan dan kacamata orang lain. Singkatnya, bangsa ini ternyata sangat egois. Di sini, kebiasaan lebih diterima daripada kebaikan.

Setiap manusia berproses dari ketidaktahuan menjadi tahu dengan harapan mencapai kesempurnaan. Dan muncullah diskusi seru ini. Buku yang dinukil dari milis, bahasanya bebas. Seperti zaman sekarang melihat debat daring terbuka di twitter atau facebook. Temanya bagus, polemik yang sudah lama ada, masih ada, dan akan selalu ada. Tentang toa atau pengeras suara di masjid-masjid kita. Pro kontra wajar, alasan yang disampaikan juga sangat wajar, dan masuk di akal. Yang pro, biasanya karena sudah kebiasaan. Toa sudah jadi tradisi di banyak Negara Islam, dan penggunaan yang unik di Indonesia pun sejatinya sudah diatur dalam Instruksi Dirjen Bimas Islam No. Kep/D/101/78 tanggal 17 Juli 1978. Namun tentu saja, pelaksanaan tak bisa serta merta mulus sebab Indonesia yang sangat luas, memang kudu beda-beda aturannya. Ada yang usulkan dibuat Perda, ada yang minta dibuat khusus tiap kota, dst. Sulit, dan sungguh takkan bisa memuaskan semua orang. Sementara yang kontra, kebanyakan adalah warga metropolitan. Kota besar yang plural, di mana kebebasan dan kepentingan pribadi harus dilindungi. Merasa terganggu, merasa kurang respect sama warga non muslim, hingga meminta hanya untuk azan saja penggunaan toa. Dan kembali lagi, tak semudah itu pelaksanaannya sebab ini menyangkut hajat hidup orang sangat banyak, menyangkut banyak sekali manusia dengan berbagai isi kepala yang beda-beda.

Menjadi semacam ontologi keresahan akan fenomena ini. Dicetak dengan apa adanya, di mana tema utama dipaparkan di pembuka. Lalu sang penulis komentar dicantumkan di bawahnya. Lantas dibalas komen oleh orang lain, yang pro-kontra tadi, lalu bahasan melebar ke mana-mana. Dari masalah listrik masjid yang nyantol langsung di kabel tiang sehingga tak bayar listrik, masalah taraweh yang 8 atau 23 rakaat, pembacaan qunut di subuh, hingga kembali lagi ke masalah toa, bahkan ada isu sensitif bagaimana seorang mualaf kembali memeluk agama lama, sebab malu sama keluarga, agama barunya ternyata berisik.

Begitu juga joke jadul, siapa sebenarnya yang paling dekat sama Tuhan? Hindu, Kristen, atau Islam? Ternyata Islam yang paling jauh sebab Tuhannya harus diseru, biasanya yang diteriakin kan orang jauh. Yang dekat, cukup dibisikkan jadi Kristen yang memanggil ‘Bapa’ dalam ketenangan bisik. Kedua, Hindu yang memanggil tuhannya dengan ‘Om’. Hehe… begitulah, milis ini benar-benar hidup.

Sayangnya, beberapa ada yang tersulut marah. Walau kalau dibaca sekarang sebenarnya masih taraf tak keterlaluan, lihat saja forum twitter yang merdeka dan tak berbatas. Tak ada apa-apanya. Jadi menyatukan pendapat itu tak sederhana, menghujat di mana-pun ada. Tak peduli di forum agama, masyarakat, hingga tingkat Negara. Sama saja, ya mungkin tingkatan marahnya aja yang beda-beda.

Hebatnya, di buku ini dicerita di akhir terjadi kopi darat (kopdar) yang damai, dan melanjutkan diskusi dengan penuh persaudaraan. Terlihat terbagi dalam dua kubu besar, pertama adalah pihak yang kontra dikepalai oleh Ami Geis yang sekuler, dan pendukungnya banyak. Yang pro bisa disematkan ke Kang Hamid, dan pendukungnya lebih banyak lagi. Yang di tengah-tengah juga ada, di mana tak pro dan tak kontrak, hanya nimbrung mencerita pengalamannya. Walaupun, jelas itu sungguh subjektif. Dari yang pernah tinggal di Melbourne yang tenang lalu merindu suara toa di Indonesia. Atau yang tinggal di apartemen damai, sehingga di bulan Ramadan nuansa riuh otomatis hilang. Atau yang mencerita di negeri Turki, toa hanya untuk azan saja sehingga tak mengganggu. Atau yang mencerita bahwa masjid kita terlalu banyak, dengan mudahnya orang mendirikan masjid sebab ada amal jariyah di sana, tak peduli jumlah jamaah. Atau yang cerita, rumahnya laku impas dengan saat beli karena dekat masjid sehingga rumah dekat masjid tak cocok untuk investasi. Hingga orang yang dapat kesempatan studi ke Australia malah ditolak dan memilih Malaysia, demi ‘dekat’ sama agama. Semuanya bebas, dan benar-benar apa adanya.

Untungnya lagi, buku ini ditutup dua tulisan yang sangat bagus. Amat bagus malah. Allah dalam menilai perilaku ummatnya berdasarkan amal dan pengetahuannya. Pertama, epilog dari Taufiq Sutan Makmur dimuat di Seputar Indonesia yang terbit di Minggu, 16 September 2007. Bernas dan nyaman dibaca. Curhat suara-suara kramat seorang warga menengah. Merasa terganggu suara orang ngaji orang tua dan anak-anak yang cempreng dengan lentangnya bangunin sahur, hingga ‘taubat’ dan respect. Serta cerpen Malaikat dan Corong Mushala oleh Ahmad Tohari, yang terbit di Harian Republika, 5 November 2007, mencerita Joni Ariadinata membuat cerpen dan minta izin dibacakan, isinya tentang di malam lailatul qudar, di petala langit malaikat melihat surya di sebuah mushala yang terang, yang setelah di-zoom adalah seorang jamaah yang dengan tangga naik ke masjid memutus kabel, sehingga malam suci itu tak bisa ‘meriah’ dengan teriakan keluar sebab toa-nya mati. Meski malam terasa lama, tapi akhirnya berjalan juga. Lucu? Ironis? Saya lebih melihatnya, sebagai ending buku yang keren. Sebab, mau menarik kesimpulan apapun itu terasa benar sekaligus salah, tinggal melihat dari sudut pandang mana. Dunia sudah berubah dan beragama juga menuntut cara yang berbeda, tidak bisa seenaknya. Islam tanpa Toa? Ah, bukankah akan lebih kontradiktif bila menyebut Islam tanpa salat?

Islam tanpa Toa | by Jamaah Milis KAHMI Pro Netword | Penyunting Misbahudin | Layout Iman Iskandar | Desain sampul Fahmi Shihab | Penerbit Pustaka @lam Maya | xviii + 166 hlm; 13.5 x 20 cm | ISBN 978-979-17782-0-6 | Cetakan pertama, April 2008 M | Skor: 3.5/5

Karawang, 010922 – Shirley Horn – Fever

Thx to Sri Wisma, Bandung

Engkau Sendiri Hanya Sarana, namun Tidak Lama, untuk Disejajarkan dengan Leluhur

Kuasa Ramalan Jilid 1 by Peter Carey

Engkau sendiri hanya sarana, namun tidak lama, untuk disejajarkan dengan leluhur.” – Ramalan Parangkusumo, sekitar 1805

Sejarah berkata: ‘Jangan berharap di sisi makam sebelah sini. tapi kelak sekali seumur hidup, Gelombang pasang keadilan yang didamba bisa tiba. Hingga harapan dan sejarah sirna.’ Maka berharaplah pada perubahan samudera, Di ujung dendam sebelah sana. Yakinlah bahwa pantai nun jauh Dapat dicapai dari sini.”Seamus Heaney

“Zaman edan. Terkutuklah nasibku, karena aku lahir untuk meluruskanmu.” Willaim Shakespeare, Hamlet, Babak I Adegan V

Catatan saya buka dengan tiga kutipan pembuka buku. Layak dibagikan dan dinikmati, mewakili isi cerita. Buku ini dimulai dari era sebelum kelahiran Pangeran dan ditutup tahun 1812, era sebelum Perang Jawa. Bayangkan, pengantar saja sekeren itu, bagaimana nantinya masuk ke inti. Salut sama Penulis, perlu dedikasi tinggi, perlu pengorbanan waktu dan tenaga lebih untuk merampungkan seribu halaman yang padat dan sangat menarik.

Game of Thrones (GOT), adalah kata pertama yang terlintas setelah ussai membacanya. Ini seperti novel rekaan GRR Martin. Bedanya setting Jawa, dan ini nyata. Wow, setelah baca GOT saya berkomentar, susah juga hidup di masa itu. Gerak apapun terasa salah. Mau bela kerajaan manapun tetap akan sulit bertahan, semua akan serba salah. Semua punya ambisi, dan harapannya masing-masing. Perang di mana-mana, dan nyawa begitu murahnya. Di Kuasa Ramalan, konfliks terjadi di banyak arah. Mau para penjajahnya sendiri, Belanda Inggris Prancis yang mempunyai tanah rampasan, berniat memetik sebesar-besarnya keuntungan di Negara kita. Pun, kerajaan Jawa yang saling curiga dan tak saling dukung. Sultan dan Sunan tak bisa bersatu, apalagi pasca Perjanjian Giyanti, Jawa mudah diadu domba, dan ini jelas menguntungkan pendatang.

Abad 19 sebenarnya mulai muncul persatuan. Cikal bakal gerakan kebangsaan disadari oleh Frans Gerhardus Valck (1799-1842), pejabat tinggi Belanda yang berdinas di Jawa selama dua dasawarsa yang mencakup masa Perang Jawa dan sesudahnya. Ia menulis, “Masa tugas (saya) selama hampir dua puluh tahun di berbagai keresidenan telah memberi saya pelajaran bahwa semngat rakyat biasa Jawa bersifat menentang kita, bukan karena kita orang Belanda memperlakukan dia dengan buruk tapi karena dia diresapi rasa kebangsaan… Kendati segala ekuntungan yang ia dapat dari kita, ia tidak dapat meniadakan hasrat untuk diperintah oleh penguasanya sendiri meski mereka mungkin akan memerintah dengan lebih buruk (daripada kita)…”

Dalam kata pengantarnya, Peter Carey menulis: Sultan Hamengkubuwono IX (bertakhta 1939-1988) dalam pidatonya yang tersohor saat naik takhta pada Oktober 1940, ‘Al ben ik Westers opgevoes, ik ben en bliff een Javaan.’ Yang artinya, “Mesti berpendidikan Barat, saya adalah Jawa dan akan tetap orang Jawa.” Dan digubah oleh Peter bahwa meski berpendidikan timur, saya adalah orang Inggris dan akan tetap jadi orang Inggris.

Banyak hal bisa dipetik dan ditelaah. Seperti asal kata pajak. Pajak dan cukai utama, dari kata pajeg (Jawa ajeg = “tetap”), pajak tetap atas hasil tananh yang biasanya diserahkan dalam bentuk bahan mentah dan disebut “pajak tanah”.

Karena saya belum baca Babad Diponegoro versi manapun. Baru tahu bahwa beliau sungguh agamis. Seperti saat akan diasingkan, ia meminta syarat. “Naskah-naskah yang diminta Diponegoro kepada pemerintah kolonial agar disalin di Surakarta untuk keperluan pendidikan anak-anaknya yang lahir di tempat pengasingan di Manado (1830-1833) dan Makassar (1833-1855), adalah seluruh kisah wayang Purwa hingga Bratayudha (perang saudara akbar). Termasuk kisah-kisah kepahlawan Islam terkenal, Menak Amir Hamzah, Asmoro Supi, suatu kisah percintaan yang berkaitan dengan cerita-cerita Menak, Serat Manikmoyo, suatu naskah tentang kosmogoni atau kisah asal usul alam semesta yang berasal dari kurun mistik Islam di Kartosuro (1680-1745) yang berkaitan dengan dongeng-dongeng pertanian dan tradisi wayang, Serat Gondokusimo (Angling Driyo) dan Serat Anggraeni, satu bagian dalam cerita Panji.”

Saat perjalanan laut, pengawalnya dinasehti untuk menjaga kesehatan dan pola makan yang benar sebab beberapa awak tewas di atas kapal. Pangeran menggantungkan obat tradisional dan ramuan rempah-rempah (jamu) seperti beras kencur dan kedawung. Sang pengawal, Letnan dua Justus Heinrich Knoerle mencatat perjalanan Diponegoro, perwira Jerman kelahiran Luxemburg di atas laut selama tujuh minggu ke Manado. Serta kehidupan sehari-harinya di pengasingan, memiliki catatan paling lengkap. Sebuah rujukan berharga.

Dari Knoerle pula kita tahu, pengenalan Diponegoro terhadap watak para pejabat Eropa yang ia temui sebelum Perang Jawa di Yogya dan sesudahnya juga snagat tajam dan tepat. Diponegoro punya jiwa penyelidik dan pengetahuan yang luas mengenai apa pun, khususnya sejarah dan cerita-cerita Jawa.

Diponegoro meminum anggur putih jika ada jamuan orang Eropa, dan menurutnya tak mengapa mengingat kenyataan bahwa orang Eropa meminumnya sebagai obat penangkal mabuk akibat minum Madeira atau anggur merah, suatu pandangan yang menunjukkan Diponegoro punya penafsiran sendiri atas larangan Nabi. Tentang madat, yang dipasok orang Tionghoa, tak ada bukti Pangeran pernah menyentuhnya.

Diponegoro menyarankan agar dia melakukan dzikir rangkap empat (napi-isbat, isim, isim gaib, isim gaib-qanaib) yang cocok untuk manusia sempurna (insan kamil) dan akan membawanya pada akhir pemisahan antara hamba dan Tuhan (kawula lan gusti). Bagi yang akrab sama kesastraan mistik Jawa, jelas tak ada yang baru sebab sudah ada dalam primbon Jawa (kitab ramalan).

Diponegoro mendapat ilham kerohaniannya dari sumber-sumber tradisional dan jelas tidak tergugah dengan gerakan pembaruan Wahabi fanatic yang selama hampir dasawarsa (1803-1812) pada awal kesembilan belas menguasai jazirah Arabia, yang kemudian berpengaruh ke pulau Sumatra Barat sebelum dan selama Perang Padri (1812-1838).

Ada bagian yang luar biasa keren bab IV Ziarah ke Pantai Selatan tahun 1805 (usia 20 tahun), seolah mencari jati diri. Melakukan serangkaian kunjungan untuk menyempurnakan pendidikan kagamaan dan menemukan guru-guru yang layak membimbing perkembangan rohaninya. Dan muncullah bisikan gaib yang terkenal itu di Parang Kusomo. Dengan baju biasa, pakaian warga kebanyakan dengan sarung kasar, dan kebaya dan sorban, ia menanggalkan baju Jawa berkerah tinggi, kainm dan penutup kepala. Rutenya dari Tegalrejo ke Dhongkelan, Gua Seluman, Parang Kusomo, Samas, lalu ke Selarong, dan pulang.

Terjadi dialog dengan Nyai Roro Kidul, tentang bantuan yang akan dikirim, tapi ia menolak sebab hanya dari Allah ia berharap. Sebuah keluhuran cita-citanya dan pengorbanan yang begitu banyak untuk mewujdukannya, namun demikian, ia tetap terpesona dengan kecantikan dewi yang tak pudar.

Sebuah ramalan Sultan Agung bahw aBelanda akan menjajah Jawa selama 300 tahun setelah ia wafat pada 1646 dan bahwa walaupun seorang di antara keturunannya akan bangkit melawan, ia akan dikalahkan. Ramalan ini disampaikan ibunda Diponegoro oleh sultan Mangkubumi yang sudah sepuh.

Setiap wakil pemerintah penjajah Letnan Jenderal atau yang setara yang ditempatkan di Jawa memberi ketegangan dan kewaspadaan masing-masing. Ada yang memberi harapan, salah satunya saat Waterloo bikin janji bahwa pemerintahnnya mewakili pemerintahan baru Eropa pasca Revolusi yang arif, suatu pemerintahan yang jantung hatinya adalah “kesejahteraan” rakyat. Tentu saja, pernyataan ini adalah omong kosong belaka.

Salah satu tokoh panutan Pangeran adalah Raden ronggo yang menolak menyerah. Ia melakukan perlawanan dan menghimpun kekuatan pemberontakan, dalam suratnya kepada Notodiningrat, ia berujar, “…Saya benar-benar memohon hal ini dengan sangat dari segenap sukma dna lubuk hati saya yang paling dalam. Sungguh saya benar-benar bertujuan menyingkirkan kecemaran dari Jawa dan saya akan sangat bersyukur pada Allah sekiranya saya berhasil melakukan apa yang akan membawa kemaslatan…” Walau akhirnya tumbang juga, ia memberi teladan mati syahid. Melawan penindasan, tak mau menyerah begitu saja.

Dan sekali lagi, ketidakmampuan kalangan atas Yogya membaca tanda-tanda zaman dalam percaturan sejarah dunia dan menyesuaikan diri dengan tata internasional yang berubah cepat akan mengakibatkan malapetaka. Buku ini diakhiri jatuhnya kerajaan Yogya pada bulan Juni 1812 setelah dibombardir artileri beberapa hari. Sebuah ujung tahap awal. Inggris yang digdaya, tapi tak lama sebab ini adalah tatanan mula, sebuah pra perang besar sedekade kemudian. Mari kita simak jilid 2-nya.

Di rak sudah ada Jilid 2 dan 3, mungkin tak terlalu tergesa, santuy saja. Tak seperti buku ini yang lebih semangat memulai, seri berikutnya akan kubaca disela bacaan lain. Nama Raffles berulang kali disebut, bukunya The History of Java yang tebal itu jadi rujukan. Begitu juga Babad Tanah Jawa dan Babad Diponegoro (banyak versi) sering dikutip. Rasanya keduanya masuk daftar wajib kejar. Buku tebal nan mahal, mungkin bisa setahun kemudian masuk rak, kudu nabung dulu.

Sulit memilih antara kenyataan dan mitos mengenai Pangeran. Seorang pengeran dengan sosok manusia biasa yang snagat jauh dari sempurna dan penggemar perempuan tentulah tak cocok dengan ‘sejarah nasional’ Indonesia dewasa ini.

Luar biasa. Buku bagus, hampir 400 halaman kubaca dalam tempo dua hari. Sabtu (30/07/22) pagi sebelum nyupir ke SDIT al Madinah, kulanjutkan di sana di gazebo taman belakang di lantai atas, lalu malam Minggu di Blok H hingga hampir tengah malam. Minggu pagi (31/07/22) kugas lagi di rumah, dan seharian dalam cuaca Karawang yang panas, akhirnya selesai setelah Isya di lantai atas Blok H. Padahal ini buku non fiksi, buku sejarah yang biasanya sulit ditelaah. malah setiap lembarnya mencipta penasaran. Beginilah buku harusnya dibuat, buku sejarah dicipta fun dan sangat amat bervitamin. So lucky, bisa menikmati buku bagus, setiap menitnya menghujam kenyamanan hati. Love, love, love.

Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785 – 1855 Jilid 1 | by Peter Carey | Judul asli The Power of Prophect: Pince Dipanagara and the end of an old order in Java, 178-1855, second edition | Copyright 2007 Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde | Penerjemah KPG | KPG 901110487 | November 2011 | Cetakan kedua, April 2012 | Penerjemah Parakitri T. Simbolon | Penyunting Christina M. Udiani | Perancang sampul Wendie Artswenda | Penataletak Dadang Kusmana | XLVI + 397 hlm.; 15 cm x 23 cm | ISBN 978-979-91-0393-2 | Ilustrasi sampul “De onderwerping van Diepo Negoro aan Luitenant-General De Kock, 28 Maart 1830” (Penyerahan diri Diponegoro kepada Letnan-Jenderal De Kock, 28 Maret 1830) oleh Nicolaas Pieneman (1809-1860) | Foto seizing Rijksmuseum, Amsterdam | Skor: 5/5

Karawang, 020822 –Sarah Vaughan – But Not for Me

Dipersembahkan kepada keluarga dan keturunan Pangeran Diponegoro. Dengan penuh hormat dan takzim

Thx to Justin Secondbook, Jakarta

Enough: Cukup itu $1 Lebih Banyak Dari yang Dibutuhkan

Enough by John C. Bogle

“Bahaya yang kita hadapi kini, di mana dunia usaha telah menjadi hanya semacam buih dalam arus deras spekulasi, menyiratkan bahwa kapitalisme tidak berjalan sehat.”

Investasi. Sebuah kata yang sering kita dengar. Butuh perjuangan untuk merealisasikannya. Butuh konsistensi, apalagi buat buruh, di mana gaji ketika turun gegas dialokasikan ke kebutuhan apa saja. Buat kebutuhan sehari-hari, bayar cicilan, memenuhi hobi, tabungan, dan investasi. Buku ini tak membahas tata kelola investasi, tapi langsung ke pokok-pokok pentingnya. Ditulis langsung oleh seorang founder Reksadana terbesar di dunia, asli dari negeri kapitalis Amerika. Dan memang terbaca sungguh beda, misalnya hanya membahas dasarnya saja, atau orang Indonesia sekalipun pengalaman. Ini buku sungguh-sungguh bervitamin. Sekalipun saya sudah terjun dan menekuni saham, apa yang ditulis melalangbuana hebat ke teori finansial dan tepekur telaahnya.

Terbagi dalam empat bagian, Uang, Bisnis, Kehidupan, dan Kesimpulan. Pembukanya sudah sangat eksotik dengan mencerita pertemuan Kurt Vonnegut dan Joseph Heller di sebuah pesta di aman tuan rumah mereka menghasilkan lebih banyak uang dari seluruh royalti novel terkenal Catch-22 yang laris, dan direspons dengan bijak, “Ya, tetapi saya memiliki sesuatu yang tidak akan pernah ia miliki… rasa cukup.”

Nah, apakah cukup itu? Sebelum menjawabnya kita diputar ke masa lalu sang Penulis. Merasa benar-benar diberkahi oleh panduan ajaib dari gen penabung Skotlandia, kompensasi berlimpah, kecenderungan untuk menabung berapa pun sisa tiap tahunnya. Keajaiban matematis dari bunga majemuk bebas pajak. Pengetahuan bahwa dalam berinvestasi biaya benar-benar berpengaruh besar, dan kecukupan akal sehat untuk berfokus pada alokasi asset yang berimbang. Walau berasal dari keluarga berada, John harus tetap bekerja di sela kuliahnya yang kudu dari beasiswa. Berjuang untuk bertahan. Lantas lulus magna cum laude bidang Ekonomi di Princetown.

Dirinya pernah dipecat oleh korporasi yang dibuatnya sendiri. Lantas mencipta Vanguard sebuah badan organisasi reksadana terbesar di dunia. Ia mencerita bagaimana sejarah hidupnya. Luar biasa hebat. Salut sekali. Segalanya taka da yang serta merta. Seeperti anggapan, misal: Kebanyakan dari kegiatan yang menghasilkan uang memuat dampak-dampak antisosial. “Uang tak punya nurani”, tetapi jangan biarkan hal itu menggiring Anda untuk melakukan hal yang sama, juga jangan biarkan uang mengubah sikap dan karakter Anda. Maka karakter itu penting.

William Penn pernah bilang, “Kita melewati dunia ini hanya sekali, jadi lakukan sekarang kebajikan apa pun yang bisa Anda lakukan, dan tunjukkan sekarang kebajikan apa pun yang bisa Anda tunjukkan, karena kita tidak akan melewatinya lagi.” Ini jadi pijakan untuk membalas budi, jangan sekadar hidup, tapi hiduplah untuk membantu sesama.

Saat membahas investasi, seperti yang kita tahu ada dua jenis: spekulasi dan benar-benar investasi ia sependapat dengan Keynes bahwa investasi, merupakan peramalan atas hasil prospektif suatu aset selama rentang hidupnya. Sedang spekulasi merupakan kegiatan meramal pasar. Spekulasi adalah sebaliknya, spekulasi itu sarat dengan transaksi jangka pendek, bukan kepemilikan jangka panjang. Pasar saham merupakan pengalihan besar dari kegiatan berinvestasi.

Jadi, spekulasi bukan saja permainan pecundang, ini adalah permainan di mana hasilnya tidak bisa dipastikan dengan cara apapun. Hukum probabilitas tidak berlaku pada pasar finansial kita. Tidak ada alasan untuk berharap hanya karena suatu hal belum pernah terjadi sebelumnya, maka di masa mendatang hal itu tidak akan terjadi. Secara metaforis, kenyataan bahwa selama ini manusia hanya pernah melihat angsa putih, bukan berarti tidak ada angsa hitam sama sekali.

Kehidupan memang sarat angsa hitam, terutama dalam pasar finansial.

Segala kemungkinan yang pernah terjadi dalam sejarah akan terulang, saya mohon dengan amat sangat: jangan pernah beranggapan demikian. Minsky mengamati bahwa sistem finansial mudah sekali mengamali inovasi.

Apa yang harus dilakukan dalam dunia investasi yang sarat dengan spekulasi kelangkaan, keekstreman, dan juga prediktabilitas yang berlaku surut? Peter Bernstein memberi saran, “Dalam investasi, kura-kura cenderung lebih sering menang daripada kelinci selama silih bergantian siklus paar… bertaruh dalam masa depan yang tidak pasti itu jauh lebuh buruk daripada berjudi, karena setidaknya, dalam ajang judi Anda mengetahui kemungkinan menang-kalahnya. Sebagian besar keputusan dalam hidup yang termotivasi oleh keserakahan hanya akan berakhir menyedihkan.

Maka dengan pede beliau bilang, “Saya bahkan tidak mengenal seseorang yang kenal orang yang bisa melakukan market timing dengan hasil yang konsisten, gemilang, dan berulang-ulang.” Lihat, orang yang sangat pengalaman di dunia finansial saja bilang seperti itu. Peluang dan resiko akan datang silih berganti. Satu berbanding 4.096? apakah ini pertaruhan yang layak?

Kekacauan yang terjadi sekarang ini merupakan harga yang harus kita bayar karena membiarkan keseimbangan tersebut terlepas begitu saja.

Paul Samuelson seorang peraih nobel Ekonomi, tahun 2005 di usia 91 tahun, menyebut reksadana indeks pertama setara dengan penemuan roda dan huruf. Dan Bogle memberi sarannya. Pertama, amati baik-baik sebelum terjun. Kedua, jangan terjun hingga dana tersebut telah menghasilkan rekam jejak aktual 10 tahun. Dan yang paling penting, ingat nasehat Warren Buffett, Peramal dari Omaha, “orang bijak melakukan di awal, orang bodoh melakukannya di akhir.” atau ingat, “ada tiga i dalam setiap siklus, innovator, imitator, dan idiot.”

Harga-harga komoditi seluruhnya merupakan berdasar mekanisme permintaan dan penawaran. Makanya, komoditi merupakan spekulasi, dan merupakan spekulasi peringkat. Sebaliknya, saham dan obligasi bisa ditentukan berdasar tingkat pengembalian internal mereka – deviden, pertumbuhan penerimaan, serta kupon bunga. Itulah mengapa salam dan obligasi dianggap investasi.

Sejarah pasar saham akan berulang, padahal jauh di dalam lubuk hati, kita menyadari bahwa satu-satunya teropong yang bisa dipercaya untuk melihat masa depan pasar bukanlah riwayat sejarah, melainkan sumber pengembalian saham. Yang mengherankan, tetapi sudah menjadi hal biasa, kebijakan ini mendorong perusahaan untuk meningkatkan ekspektasi masa depan mereka dengan setiap penambahan pengembalian di masa lalu, amat berlawanan dengan yang terjadi sebenarnya. Tetapi lagi-lagi, mereka tidak kritis dalam melihat fatamorgana ini..

Kinsley, “Kapitalisme modern memiliki dua bagian: ada bisnis, dan ada keungan. Bisnis berarti menyewakan mobil untuk Anda ke bandara, keungan itu hal lain.”

Bill George, “Kepercayaan adalah segalanya, karena kesuksesan tergantung pada rasa percaya konsumen terhadap produk yang dibeli, percaya karyawan terhadap pimpinannya, percaya investor terhadap pihak yang menggunakan dana mereka dan percaya masyarakat terhadap kapitalisme… jika Anda tidak memiliki integritas, tidak ada yang mempercayai Anda, dan memang seharusnya tidak.”

Benjamin Graham, “Pemegang saham adalah raja. Sebagai mayoritas mereka dapat merekrut dan memecat manajemen perusahaan, serta menundukkannya untuk memenuhi kehendak mereka.” Praktiknya, “pemegang saham benar-benar hanyut… mereka tidak menunjukkan kecerdasan maupun kewaspadaan… dan menggunakan suara layaknya kerbau dicucuk hidungnya atas rekomendasi manajemen, tanpa memandang betapa buruknya manajemen.”

Ingatlah kata kunci ini, objektif dan tidak bias.

Dalam indsutri ini kita cenderung mendefinisikan kesuksesan dalam bentuk dollar yang dikelola, aliran kas, pangsa pasar, dan jumlah rekening baru. Justru kesuksesan harus didefinisikan dalam hal kualitas layanan, dan memberikan investor porsi yang layak dari pengembalian berapa pun yang dihasilkan pasar finansial kita. Etika yang baik adalah urusan yang baik.

Pokoknya setiap orang yang menjadi tempat bergantungnya pekerjaan Anda. Memang kecil kelihatannya, tapi sentuhan manusiawi ini dalam perusahaan yang kini tumbuh besar akan, saya yakin, membantu dalam memelihara warisan yang saya ciptakan.

Dunia ini terlalu memiliki banyak permintaan dibanding sumber dayanya jika hanya untuk dihabiskan pada hal-hal yang kurang bermakna dan sementara. Goethe mengidentifikasi keberanian: “Apakah engkau sungguh-sungguh? Tengoklah sebentar. Apa pun, atau impian apa pun, yang bisa kaulakukan, mulailah; karena di dalam keberaniantersimpan kejeniusan, kekuatan, dan keajaiban.”

Di kala seseorang mulai berkomitmen, maka kecermatan akan mengikutinya pula. Apabila suatu pekerjaan ingin diselesaikan, lakukan dengan benar. Komitmen dan keberanian, keduanya adalah hal yang benar-benar penting, hal bisa dijadikan ukuran kehidupan, hal yang dapat memberikan kecermatan dalam hidup.

Kehadiran Wikipedia dan Google yang menunggu untuk melayani kita di dalam jaringan hanya dengan sekali klik, kita semakin dikelilingi oleh informasi, tetapi semakin terputus dari pengetahuan. Fakta (atau lebih seringnya factoid, atau fakta semu) ada di mana-mana. Akan tetapi, kearifan – jenis kearifan yang menjamur di era Founding Fathers Amerika – sudah semakin langka.

Kata wirausahawan (entrepreneur) sudah jamak dikaitkan dengan mereka yang termotivasi untuk menciptakan usaha baru demi meraup kekayaan pribadi atau bahkan keserakahan. Seorang wirausahawan sepatutnya menghadirkan sesuatu yang jauh lebih penting ketimbang uang. Bagi Franklin, mendapatkan uang itu dianggap sebagai jalan menuju tujuan, bukan tujuan itu sendiri.

Kesuksesan bisa diukur dari kontribusi kita untuk membangun dunia yang lebih baik, dalam membantu sesama, dan membesarkan anak-anak kita menjadi insan manusia yang penuh kasih dan kebaikan. Pendek kata, kesuksesan diukur bukan dari apa yang kita dapatkan bagi diri sendiri, tapi apa yang kita berikan terhadap masyarakat luas.

Artikel di majalah American Psycologist, ternyata bukan uang yang menentukan kebahagiaan kita, melainkan adanya kombinasi dari berbagai atribut ini, (1) otomoni, taraf di mana kita memiliki kemampuan untuk mengendalikan hidup kita diri sendiri, “untuk mandiri”; (2) memelihara hubungan (maintaining connectiveness) dengan orang lain, dalam bentuk kasih sayang keluarga, bersenang-senang bersama teman dan rekan kerja, dan keterbukaan dengan siapa pun yang kita temui di berbagai aspek kehidupan; (3) menyalurkan kompetensi, dengan mempergunakan talenta yang dianugerahkan Tuhan dan berasal dari motivasi diri, terinspirasi dan berupaya untuk belajar.

Jadi apa kesimpulan cukup? John D. Rockefellar ketika ditanya arti cukup, ia menjawab, “Sedikit lebih banyak lagi.” bagi  Bogle, cukup itu $1 lebih banyak dari yang dibutuhkan.

Salah satu buku non fiksi tentang finansial terbaik yang pernah kubaca. Nasehatnya sungguh-sungguh aduhai. Beruntung saya mendapat buku ini secara diskon, tak sengaja, tak tahu tentang apa. Hanya terbitan Lentera Hati sedang banyak dijual, salah satunya pemicunya biografi Osama bin Laden, dan ini buntutnya. Sangat memikat, dan perlu.

Catatan ini saya tutup dengan kutipan puisi dari T.S. Eliot dalam The Rock (1934):

Ke manakah kehidupan yang hilang dalam hidup? / Ke manakah kearifan yang hilang dalam pengetahuan? / ke manakah pengetahuan yang hilang dalam informasi? / Siklus surgawi dalam dua puluh abad / Menggiring kita menjauhi Tuhan dan mendekati debu.

Enough | by John C. Bogle | Diterjemahkan dari Enough | Terbitan John Wiley & Sons, Inc., | Copyright 2009 | Penerbit Lentara Hati | Cetakan I, Juli 2011 | Penerjemah Devri Barnadiputera | Editor Hendrina Perdana Sari | Proofreader Tutut M. Lestari | Lay out Rizal Rabas | Desainer sampul Haviz M. Nugroho | 374 + xiv hlm.; 11.5 x 17.5 cm | ISBN 978-602-8740-19-7 | Skor: 5/5

Karawang, 290722 – Ariyo Wahab – Sepenuh Hati

Thx to Justin Book Second, Tangerang

#Mei2022 dan #Juni2022 Baca

Catatan baca kali ini saya rekap langsung dengan Juni sebab Juni lalu saya fokus 30 hari menulis review buku.

Mei 2022

#1. Melihat Pengarang tidak Bekerja by Mahfud Ikhwan

Menurutku buku ini setara bagusnya dengan Cerita, Bualan, Kebenaran. Tips-tips menulis yang dibalut bukan tips menulis. Nyaman dan terasa sangat masuk akal. Jelas lebih keren dari Menumis itu Gampang yang bertema umum. Poinnya sama, Cak Mahfud bercerita kesehariannya. Buku ini terasa lebih asyik sebab bahasannya fokus ke proses kreatif, yang setelah ditelaah, tak kreatif juga, tak banyak nasehat, atau petuah membumbung. Benar-benar cerita bagaimana ketahananan menulis buku itu perlu, pengalaman dari Penulis pemenang DKJ dan KSK. Dua penghargaan sastra paling bergengsi tanah air. Walau judulnya provokatif, bagaimana penulis menganggur, percayalah, itu hanya jeda. Judulnya biar tampak eksotik. Itu hanya masa santuy, sejatinya menulis memang kudu tahan banting, konsistensi, dan dipaksa.

“Jadi, sekali lagi, mood itu eksis. Ia bukan mitos. Ia ada, dan beberapa orang betul-betul memerlukannya untuk mencipta. Ia, membentuk sejenis pola bagi orang-orang tertentu…”

#2. No Comebacks by Frederick Forsyth

Luar biasa. Keren banget. Kumpulan cerpen yang langka, di mana semua cerpennya mengandung kejutan. Twist. Dituturkan dengan sabar dan muram, telaten. Hingga pukulan telak disiapkan di akhir. kesepuluhnya wow, jelas ini adalah salah satu buku terbaik yang pernah kubaca, setelah menyelesaikan baca langsung terbesit menyusun 100 buku kumpulan cerpen terbaik, dan ini akan kumasukkan 10 besar. Efek yang murni bagus, dan dengan senang hati saya rekomendasikan untuk kalian.

“… Aku juga sudah berkesempatan menggunakan jasa seorang agen sangat terhormat untuk melacak ahli waris yang hilang. Kini nampaknya para ahli waris hadir, tetapi harta tetapnya yang hilang. Namun…”

#3. The Belly of Paris by Emile Zola

Kisah panjang berliku, padahal intinya hanya berkutat di sebuah pasar di Paris abad kesembilan belas. Politik, gosip, percintaan, diaduk sampai lumer dalam keseharian orang-orang pasar. Pijakan kisah memang kuat, keluarga yang berbeda karakter itu, dipecah oleh pandangan politik. Acara ngopi tiap pekan malam hari malah jadi ajang diskusi terlarang, orang-orang lurus merasa terusik. Ditambah drama persaingan dua pedagang besar, politik dalam di sini malah seolah jadi tunggangan. Makanya ending-nya seperti itu. Tepuk tangan untuk itu.

“Dia boleh makan dan tidur di sini dan merepotkan kita kalau mau; kita bisa menghadapi itu, tetapi yang tidak akan kutoleransi adalah kalau dia membuat kita terlibat urusan politik… Kita memerlukan tiga belas tahun agar tabungan kita cukup untuk mandiri, kita tidak pernah terlibat politik, kita hanya ingin membesarkan anak kita dengan baik dan memastikan usaha kita lancar. Kita orang baik dan jujur!”

#4. The Buried Giant by Kazuo Ishiguro

Buku pembunuh naga dimana naganya tidak muncul-muncul bahkan hingga halaman 400 hari 480! Ada tiga konfliks utama sejatinya, dijabarkan dengan sabar dan telaten. Buku bagus memang harus sabar, tak tergesa. Pertama, pasangan tua yang ingin mengunjungi anak mereka di desa seberang, untuk bisa mencapainya butuh waktu lama, tak memiliki kuda, hanya jalan kaki. Warga Briton yang sudah damai dengan warga tetangga. Kedua, seorang kesatria yang diberi mandat membunuh naga betina tua, ia adalah seorang Saxon. Kedua desa sejatinya sudah berdamai tapi percikan amarah masih kadang muncul. Dan ketiga kesatria tua yang menjadi kepercayaan Raja Arthur yang juga mendapat tugas membunuh naga yang sama. Karena ini buku sastra, jangan harap mudah dicerna, bahasanya berpanjang-panjang, meluik-liuk tak tentu arah, sampai akhirnya setiap karakter menemukan titik akhir takdir cerita.

“Kami hanya dua pengelana yang tersesat, kedinginan dan lelah, pakaian kami basa karena air dungai tempat kami diserang baru saja oleh peri-peri yang bisa…”

#5. Mrs Dalloway by Virginia Woolf

Njelimet, novel tak biasa. Tak ada bab, tak ada keterangan tambahan, ndelujur saja dari awal hingga garis finish. Melelahkan memang, tapi seringkali buku yang ditantang mikir, melelahkan, tak biasa, adalah buku yang ok. Mrs. Dalloway jelas tak sekadar ok, ini novel memberi nuansa imaji tersendiri. Pembaca diajak jalan-jalan ke pesta, yang pestanya bahkan masih dalam rancangan, rancang bangun itu lantas diputar ke masa lalu sang penyelenggar. Hari-hari indah dengan mantan kekasih, harapan-harapan yang kandas, hingga semacam penyesalan kesalahan memilih pasangan hidup. Lingkar kawan memang sangat penting mencipta nasib, dan nasib dibentuk dari nukilan-nukilan kejadian sehari-hari.

“Setiap orang merelakan sesuatu ketika mereka menikah.”

#6. The Road by Cormac McCarthy

Bagaimana yang tidak akan pernah ada berbeda dari tidak pernah ada? Buku tanpa tanda petik. Semua, baik kalimat langsung atau sebuah kata yang perlu kutip, tak ada tanda petiknya. Benar-benar ya, mana ceritanya juga antah pula. Sejatinya, setelah menyelesaikan baca, inti kisah tak rumit amat. Duo ayah anak yang melakukan perjalanan dari kota ke kota, bergerak terus untuk mencari perlindungan berujung di pantai di zaman masa depan yang kelam. Itu saja, dari awal sampai akhirnya terjadi tragedi itu, segalanya dicerita datar. Tak ada yang perlu diperdebat lebih, selain kenapa ini terjadi. Jadi pertanyaan filosofisnya, mengapa bumi bisa sedemikian mengerikan. Ini jelas penggambaran hitam, mengerikan kurang pas, hhmm… porak poranda mungkin lebih pas. Sebuah masa suram dunia yang kita tinggali.

Jadi, katakan kepada kami, menuju ke mana dunia ini?

#7. The Bookseller of Kabul by Asne Seierstad

Apa yang pertama terlintas saat Negara Afganistan disebut? Perang? Islam? Osama bin Laden? Atau Negara Islam yang tata kelolanya semrawut? Saya lebih ingat bagian terakhir ini. Sebuah kudeta tahun 1970-an mengubah Negara ini. Lebih tepatnya Zahir Shahm raja yang memerintah selama empat puluh tahun yang boleh dikatakan aman dan damai, didepak tahun 1973. Lalu serangan Uni Soviet selama sedekade, lantas perang saudara, dan Taliban mencipta kekeruhan politik, hingga akhirnya perang tak kunjung usai, dari satu kekuasaan ke kuasaan lain. Saat ada pengumuman perang telah usai. Itu hanyalah perang baru yang akan dimulai – perang yang melindas semua keceriaan. Bahkan hingga kini, terbaru tahun lalu saat Amerika pergi, berita mancanegara bersliweran kepanikan warga, pembersihan politik, hingga kekhawatiran krisis terjadi.

Kutipan penyair favorit Fedusi, “Untuk bisa berhasil, kadang kita harus menjadi serigala dan kadang domba.”

#8. The Frog Princess by E. D. Baker

Cerita pangeran yang dikutuk jadi katak, lalu mendapat ciuman putri sehingga bisa kembali normal mungkin sudah melegenda, sehingga sudah dikenal banyak orang. Cerita asli karya Grimm Brother itu sudah sangat umum. Jadi dasar buku ini adalah legenda itu. Ya, namun jelas modifikasi dicipta, sebab judulnya saja Sang Putri Katak, bukan Pangeran Katak. Yang jadi katak ceweknya dong? Yup, yang nyium Pangerannya? Ah tidak juga, ini adalah kisah pelintiran, jadi sang penulis bebas mengotak-atik pijakan. Dan karena ini terbitan Atria, di mana jaminan mutu sudah melekat, harapan itu tetap terwujud! Luar biasa. Hebat, buku kelima tahun ini dari Atria yang selesai kubaca ini tetap memuaskan. Saya suka cerita sederhana Putri Emma yang menggemaskan.

“Tentu saja. Mengubah manusia-jadi-katak adalah mantra yang sangat sderhana dan mduah diingat. Aku sendiri sudah pernah mempraktikkannya beberapa kali. Kenapa kau bertanya?”

Juni 2022

Juni ini program #30HariMenulis #ReviewBuku menghadirkan tribute untuk para penjual buku atau orang-orang yang meminjami atau menghadiahiku. Agak sulit memilahnya, sebab ada ratusan orang/toko yang telah kusentuh.

#1. The Tales of Beedle the Bard by J.K. Rowling

Luar biasa. Cerita sederhana diramu, menjadi pendukung cerita Potter yang sudah melegenda. Saya sudah menginginkan buku ini jauh hari, tapi ga gegas terwujud. Untuk ada teman film menawarkan. Semua Potter mania tahu, cerita ditutup happy ending, dan dongeng ini menyisakan beberapa pijakan penting. Tiga Saudara dengan tiga benda sihirnya. Hanya bisa bilang wow untuk JK Rowling.

“Jadilah pemberani teman-teman, dan jangan menyerah.”

#2. A Room of One’s Own by Virginia Woolf

Buku yang (rasanya) sulit dipahami, terutama saat awal mula. Namun setelah berhalaman-halaman yang melelahkan, kita akhirnya diajak memasuki maksud utama sang penulis. Lima bab awal, seolah esai ini berputar-putar tak keruan, curhat panjang lebar kehidupan, mengelilingi dunia pustaka di London, sulit dicerna mau ke arah mana. Dan bab penutup, bab Enam menjelaskan segalanya. Gamblang, bahwa untuk menjadi penulis, Virginia Woolf mensyaratkan dua: Jika kau ingin menulis fiksi atau puisi perlu memiliki uang lima ratus pound per tahun dan kamar beserta kuncinya tergantung di pintu. Lima ratus pound setahun berarti kekuatan untuk merenung bahwa kunci yang tergantung di pintu berarti kekuatan untuk berpikir mandiri, tetap saja kau dapat mengatakan bahwa pikiran harus naik di atas hal-hal seperti itu; dan bahwa penyair yang hebat seringkali adalah orang-orang miskin.

“Kebodohan akan mengalir dari bibirku, tetapi mungkin ada beberapa kebenaran tercampur dengannya; tugasmu mencari kebenaran ini dan memutuskan apakah ada bagian yang layak disimpan.”

#3. The Parable of the Pipeline by Burke Hedges

Saluran-saluran pipa merupakan saluran-saluran kehidupan, karena saluran-saluran ini mampu memasok diri sendiri. Saluran itu memang perlu diperbaiki dan dirawat sewaktu-waktu, bahkan kadang perlu membangun kembali, tapi jelas saluran-saluran pipa mampu memompa keuntungan terus-menerus, dari tahun ke tahun.

John Naisbitt bilang, “Semakin banyak kita menggunakan teknologi canggih semakin perlu pula kita mengembangkan sentuhan kemanusiaan.”

#4. Quidditch Through the Ages by J.K. Rowling

Buku penunjang kisah Harry Potter lainnya. Setelah menikmati Fantastic Beast and Where to Find Them, dan The Tales of Beedle the Bard, kali ini kita memasuki tema olahraga. Sejatinya sama saja, ini adalah kisah rekaan, jadi semua yang ada di sini juga rekaan dari modifikasi keadaan sebenarnya. Fantastic mengambil hewan-hewan yang ada dengan menambahkan berbagai mitologi, ada yang berbahaya ada yang jinak nan imut. The Tale begitu juga, mengambil dongeng-dongeng yang ada, dimodifikasi. Dari Cinderella hingga Putri Tidur, jadi kisah penyihir yang baik hati. Dan sama, yang baik akan menerima karma baik. Nah, di Quidditch, olahraga sapu terbang, kita menemui modifikasi dari basket dan sepakbola, lebih kental sepakbola bila merujuk historinya. Begitulah, kiga diajak berjalan-jalan di antara ring dan desingan udara di atas lapangan.

“Tindakan-tindakan Stooging sudah semakin sering saja dilakukan. Kami menganggap peraturan baru ini akan mencegah terjadinya cedera berat pada Keeper…”

#5. Puisi-Puisi Terpilih Catullus by Catullus

Catullus 7: Kautanya berapa banyak ciuman milikmu / Yang cukup, bahkan lebih, bagiku, Lesbia? Sebanyak jumlah butir-butir pasir Libia.

#6. Meet Your Maker by Jacob Julian

Cerita horror tanpa hantu. Sebenarnya pembuka hingga adegan ditemukan kejanggalan, buku ini bagus sekali. Pengenalan karakter dan penggambaran suasana lelaki jomblo menyendiri, jauh dari keluarga dan rekan-rekan, dan karakter pemalas tapi tak malas seperti ini bijaknya dikembangkan jadi karakter umum, dengan problematika kebutuhan sehari-hari. Sayang, sejak adegan terkunci, jendela macet, dan ditemukan banyak darah di luar kamar, kisah jadi ala film kelas C, yang suka mengkaget-kagetkan penonton. Mencoba filosofis, tapi tak sepenuh hati.

“Ketika aku menjelaskan bahwa serangan itu bukan perang, memang itu benar. Manusia tidak perlu perang untuk menjadi monster… kita adalah monster yang berada di dunia yang salah, saat oenghakiman pertama datang sampai penghakiman terakhir muncul…”

#7. Projo & Brojo by Arswendo Atmowiloto

Novel unik. Tukar orang yang dipenjara, dan katanya buku ini merupakan terinspirasi dari pengalaman Arswendo selama dipenjara? Apakah beliau pernah melakukan tukar posisi seperti ini? Ataukah ini pure imajinasi, seandainya punya jabatan penting, bisa seenaknya saja kabur secara tersirat dari jeruji besi? Menarik, walau ditemukan beberapa kejanggalan. Seperti, bagaimana bisa istri tak mengenali suami yang menyamar? Atau perubahan sifat karakter secara tiba-tiba akibat kepergok, seolah materi tak penting? Seakan di otaknya dipasangi rem yang kelewat pakem. Atau bagian, kepolosan perempuan desa yang luar biasa sederhana, polos. apa adanya, dan begitu sabar. Mungkin ada orang-orang seperti itu, di sini diumbar dengan pesonanya sendiri.

, “Kenapa sih kamu ini, apa hidup ini urusannya hanya saruuuung melulu. Ini dunia hampir kiamat.”

#8. 5 Detik dan Rasa Rindu by Prilly Latuconsina

Apa yang bisa diharapkan dari seorang artis yang menulis buku, menulis puisi? Hanya sedikit artis yang sukses menapakinya, sayangnya debut Prilly ini tak sukses. Tertatih, dan biasa sekali. Harapan yang rendah, dan sesuai. Puisi memang sulit dipahami, susah diprediksi, kutipan-kutipan yang pantas di-sher di sosmed biasanya yang berhasil menautkan emosi pembaca, emosi pendengar, penikmat syair. Di sini, tak banyak, atau malah tak ada yang untuk dibagikan. Mengalir saja. Tema cinta dan kerinduan, jatuh cinta memang indah, akan lebih sangat indah bila tak bertepuk sebelah. Mencipta rindu, dan kenangan, yang tak sertamerta merangkul erat para pecinta.

Kamu: Kamu sangat populer di kepalaku / Bahkan saat aku tidur / kepalaku tetap disibukkan olehmu. / Karena kamu selalu singgah dalam mimpiku. / Gawat! Kamu itu seperti sel aktif di otakku / tak pernah berhenti.

#9. Yang Tersisa Seusai Bercinta by Cep Subyan KM

Kesannya malah terjatuh. Seolah-olah bilang, “saya keren”, “saya gaul”, atau “begitu nyastra”. Jatuh. Kembali saya teringat catatan lama saya, dengan menyebut nama-nama keren, kamu tak otomatis keren. Dengan menyebut Gabriel’s Palace: Jewish Mystical Tales, Lo-shu, Montase Retrofilis, Venus in Furs, Hannibal Lecter, The Golden Bough, Dante’s Dream, Sappho’s Lyre, hingga Septem Sermones of the Dead, tak serta merta kamu wow. Malah janggal, novel mengutip para orang hebat sebelumnya terlampau sering, atau terlalu banyak. malah memuakkan dan pengen muntah.

“Pandu Dewana tak akan mati sepanjang dia tidak melanggar larangan bersetubuh dengan Dewi Madri.”

#10. Bokis 2 by Maman Suherman

Apa yang bisa diharapkan dari buku gosip? Sambil lalu, lalu menghilang. Apa yang bisa diharapkan dari sebuah buku yang isinya curhat, cerita kebobrokan dunia selebrita? Tak muluk, walaupun ditulis oleh seorang jurnalis pengalaman, CV-nya merentang dari hiburan cetak sampai visual. Buku yang tak terlalu berfaedah, buku sekadar hiburan, yang kurang relate sama jelata macam saya. Jauh dari hingar bingar infotaiment, jelas ini akan gegas terlupakan, hanya mampir di memori sementara. Bokis, tahu artinya? Enggak? Sama. Baik saya ketik ulang Prabokis-nya ya.

. “… sudahlah, nggak usah dipaksakan. Bikin yang seperti biasa saja. Yang sensasional-sensasional. Masyarakat kita suka gosip sensasional.”

#11. Aliansi Monyet Putih by Ramadya Akmal

Bagus. Cerpen yang bagus itu, memberi efek kejut di akhir. dengan keterbatasan kata-kata, prosedur cerita kudu dicipta. Karena saya sudah membaca buku Franz Kafka hingga Jack Kerouac, standar cerpen naik. Dan sebagian cerpen di sini memenuhi, saya bilang sebagian sebab hanya beberapa saja yang laik disandingkan. Cerita Tuan yang Paling Mulia misalkan, kita baru tahu motif Pak Joachim dengan anjingnya pada halaman terakhir, setelah diajak berputar panjang kali lebar, ternyata itu to maksudnya. Cerita utama, Aliansi Monnyet Putih juga menyimpan kejutnya, bagaimana kekecewaan dan harapan disandingkan, lalu mengapa seorang WNI yang migrasi itu berada di sana, bagus.

“Ternyata kamu pejudi sampai ke darah, ya.”

#12. TLotR: The Fellowship of the Ring by J.R.R. Tolkien

Akhirnya salah satu novel yang sangat ingin kubaca ini terkabul juga, di rak sudah komplit tiga seri. Sudah punya sejak September 2020, baru kubaca tahun lalu dan butuh waktu setengah tahun untuk menuntaskan. Memang tak muda, sebab fantasinya kompleks. Kalau dibanding Narnia yang lebih santai dan tipis, atau Harry Potter yang walau tebal tapi kocak, dan genrenya remaja. The Lord of the Rings sungguh berat. Banyak kosotaka baru, perlu settle dulu memulai pengembaraan. Dan jelas, ini salah satu novel fantasi terbaik yang pernah ada, atau malah yang terbaik?

“Bilbo pergi untuk menemukan harta, lalu kembali tapi aku pergi untuk membuang harta, dan tidak kembali, sejauh yang kupahami.”

#13. Potongan Tubuh by Pyun Hye-young, dkk

Luar biasa, memesona. Beginilah seharusnya cerita pendek dicipta. Dicerita dengan abu-abu tapi tetap mencipta penasaran. Dunia yang sejatinya di sekitar kita, dibuat rumit untuk membuat pembaca penasaran. Pintar sekali yang bikin kisah, kita tak dibiarkan tenang. Nama-nama penulisnya asing, tak satupun kenal. Namun tak ragu saat kubeli bukunya, sebab kualitas terbitan Baca yang beberapa kali kulihat mengalihbahasakan buku-buku Korea, bagus. Ini sama saja, sama kerennya. Tak perlu jadi fans BTS untuk bisa masuk ke dunia literasi Negeri Gingseng.

“Bagiku, kawasan rumahku dan Pecinan merupakan buritan kapal yang sudah dimasuki air dan akan segera tenggelam.”

#14. Tiga by retagalih.pHe

Novel remaja lagi, hufh… sekalipun kubaca saat remaja, buku sejenis ini takkan kusuka. Banyak hal tak relate, terlalu lebai, terlalu lo gue end, terlalu sinetron. Atau malah persis sinetron, plot, karakter, cara penyampaian. Sungguh tak enak dibaca. Cari duit segampang itu, cari pacar seindah itu, cari penyakit sesederhana itu. Sekalipun buku remaja, banyak hal tak pantas disebarkan ke remaja, persis sinetron kita kan. Sayangnya, hal-hal buruk sejenis ini laku, cerita tak mendidik yang meracuni generasi muda. Miris.

“Apa yang diberikan dunia fotografi bagi hidup Anda?” / “Kepuasan, uang dan kebebasan.”

#15. Aisyah Putri 2: Chat On-Line! by Asma Nadia

Merupakan lanjutan Operasi Milenia, kali ini kita diajak berchatting ria. Semua tokoh seri pertama masuk lagi, tak banyak tambahan. Hanya permasalahan dan konfliksnya berbeda. Di tahun 2000, online tentunya belum semudah sekarang. Belum sebanyak dan senyaman saat ini. masih harus di warnet, tarif yang mahal, hingga tak sesederhana sekarang bila ingin lanjut ke chat berikutnya, atau hingga akhirnya kopi darat. Dalam singkatnya, zaman itu untuk chat butuh perjuangan lebih. Tak seperti sekarang, bisa rebahan dan murah.

“Kalau mau lebih aman lagi, ngajak ahwat lain pas buka internet atau chatting. Jadi kalau satu niatnya nyeleweng, yang lain bisa ngelurusin.”

#16. Mengarang Novel Itu Gampang by Arswendo Atmowiloto

Ini adalah sekuel dari Mengarang itu Gampang. Saya belum baca, akan kukejar cari. Kali ini fokus ke novel, di mana pengarang butuh perjuangan ekstra. Ini mengarang novel yang lebih membutuhkan napas yang panjang. Tak seperti cerpen yang spint, novel adalah bentuk lari marathon.

“Akan tetapi realita bukan hanya yang berkaitan dengan tokoh-tokoh yang berdialog. Realitas itu juga merupakan realitas keseharian.”

#17. Bertanam Cabai dalam Pot by Redaksi Trubus

Buku tipis yang bermanfaat. Kubaca sekali duduk siang tadi pas istirahat kerja, langsung kelar. Sejatinya sudah beberapa kali memiliki tanaman cabai di pot depan rumah, sudah berulang kali panen pula. Secara praktek sudah, niat membeli buku adalah tahu teorinya. Dan terpenuhi, benar-benar bermanfaat. Simple, sederhana, ngena. Contoh, pemilihan bibit, dulu saya selalu mengambil biji cabai yang busuk, tidak dimasak, sehingga ketimbang dibuang, bijinya saya tabor di pot. Tumbuh, dan berbuah. Di sini dijelaskan, bibit biji cabai harus yang prima, yang bagus. Benar-benar cabai yang fresh, itupun tak sembarangan. Dipilah dengan disebar di air, yang melayang apalagi terapung, itu bibit buruk, pilih bibit yang tenggelam. Lalu pilih yang segar, tak keriput atau ngeruntel. Sederhana ya, tapi penting.

“Hasil penelitian IPB tahun 1997 membuktikan, harga cabai lebih banyak dipengaruhi oleh suplai. Bila suplai kurang maka harga langsung naik. Bahkan dengan kecanggihan komunikasi saat ini, harga cabai di pasar induk bisa berubah dalam hitungan menit, sesuai ketersediaan barang di sentra produksi.”

#18. Captain Corelli’s Mandolin by Louis de Bernieres

Tebal dan lebar, butuh waktu intens selama sebulan ini untuk menuntaskannya. Filmnya sudah pernah kutonton, tapi agak lupa. Samar saja tentang tentara Italia yang ditugaskan ke sebuah pulau di Yunani di masa penjajahan, kala Perang Dunia Kedua, lalu jatuh hati sama penduduk lokal. Maka saat kutelusuri kata-kata, makin takjub detailnya. Langsung browsing pulau Cephallonia, setelah saya googling, nama pulaunya sekarang Kefalonia, terletak di Yunani Barat, dinamai dari mitologi Cephalus, meskipun artinya ‘Pulau dengan Kepala’. Bahkan air laut sekalipun lebih tembus pandang daripada udara di tempat lain mana pun. Orang bisa terapung di air dan memandangi dasarnya yang jauh, dan dengan jelas melihat ikan-ikan pari, yang entah mengapa selalu disertai ikan-ikan flasfish mungil.

“Aku mencintai Pelagia, tapi aku tahu bahwa aku tidak akan pernah menjadi laki-laki sejati sampai aku melakukan sesuatu yang penting, sesuatu yang hebat, sesuatu yang bisa kubanggakan, sesuatu yang berharga. Itulah sebabnya aku berharap perang akan pecah.”

#19. Neraca Kebenaran  by Al Ghazali

Buku tipis, dicetak mungil. Bagus sekali, saya menemukan cara pandang baru terhadap Al Quran. Banyak hal memang tak bisa dilogika, maka terhadilah percakapan antara si Fulan (F) dengan al Ghazali (G). Membahas kebenaran kitab suci. Bagian terbaik adalah Ijtihad. Sebuah upaya mencari jalan keluar, karena tidak tercantum dalam Al Quran dan Hadist. Butuh ilmu dan akal sehat, dan tertimbangan matang. Mencari arah kiblat contohnya, setiap individu bisa lain, maka butuh ilmu, walau sekarang dengan mudah dengan kompas, kita bisa bayangkan beerabad-abad lalu tanpa alat itu.

“Bertakwalah kepada Allah dan jangan lalim dengan menggunakan ta’wil dalam penafsiran.”

Karawang, 020622 – 080722 – Rihanna –Take a Bow

Bertanam Cabai dalam Pot #28

“Hasil penelitian IPB tahun 1997 membuktikan, harga cabai lebih banyak dipengaruhi oleh suplai. Bila suplai kurang maka harga langsung naik. Bahkan dengan kecanggihan komunikasi saat ini, harga cabai di pasar induk bisa berubah dalam hitungan menit, sesuai ketersediaan barang di sentra produksi.”

Mungkin kutipan yang saya pilih kurang tepat, ini tentang tanam mandiri cabai di pot rumah, bukan di lahan, tapi mengapa malah hasil penelitian yang menarik? Di akhir buku ada penjelasan keuntungan finansial, dan bisa dimanfaatkan untuk memasak di rumah. Walaupun sekadar nilai tambah di dapur, tapi hasil panen ini memang beberapa kali benar.

Buku tipis yang bermanfaat. Kubaca sekali duduk siang tadi pas istirahat kerja, langsung kelar. Sejatinya sudah beberapa kali memiliki tanaman cabai di pot depan rumah, sudah berulang kali panen pula. Secara praktek sudah, niat membeli buku adalah tahu teorinya. Dan terpenuhi, benar-benar bermanfaat. Simple, sederhana, ngena. Contoh, pemilihan bibit, dulu saya selalu mengambil biji cabai yang busuk, tidak dimasak, sehingga ketimbang dibuang, bijinya saya tabor di pot. Tumbuh, dan berbuah. Di sini dijelaskan, bibit biji cabai harus yang prima, yang bagus. Benar-benar cabai yang fresh, itupun tak sembarangan. Dipilah dengan disebar di air, yang melayang apalagi terapung, itu bibit buruk, pilih bibit yang tenggelam. Lalu pilih yang segar, tak keriput atau ngeruntel. Sederhana ya, tapi penting.

Itu baru bahas benih, benih bisa dari berbagai jenis cabai. Dari cabai besar dan kecil, cabai warna merah, kuning, hijau, cabai rawit yang pedas dahsyat, hingga cabai tak pedas jenis paprika warna hijau. Gegaya cabai besar, tapi tak ganas. Jenis ini seringnya dipakai untuk lalapan bersama daging.

Bahasan berikutnya bahas tanah. Tanah yang ideal itu yang bagaimana, pembagian dengan pupuk, air, dan tanah ada hitungannya. Komposisinya akan lebih ok bila pas. Ada pula pemilihan pot. Dari semen, tanah liat, plastis, hingga keramik. Yang utama, dan malah akan tampak eksotik jelas tabung bekas produk. Botol cat, drum bekas, gallon bekas, dll malah ok kan. Penggunaan barang bekas. Berikutnya pemilihan pupuk juga dijelaskan. Nah yang ini tak paham saya, selama ini ngasal saja, Cuma disiram dan dipetik bila ada daun kering atau rusak. Di sini disajikan berbagai jenis pupuk, beserta nominal harganya (tahun 1990-an).

Poin penting pemeliharaan, tak sembarangany juga asal petik daun menguning atau yang keriput, ada ilmunya juga. Pembagian jarak antar pohon juga kudu dijaga, bila hama menyerang, perlu disemprot, hingga bagaimana cara panen yang benar. Panen saat cabai 80-90% berwarna merah, maka jangan langsung dipetik semua. Dipilah, mana yang sudah ok mana yang masih perlu Tuhan mewarnainya. Berbagai jenis cabai juga beda masa hidupnya. Yang direkomendasikan untuk pot rumahan adalah pohon cabai rawit yang bisa bertahan hingga tiga tahun!

Sekarang tinggal prakteknya, bila sesuai hitungan, bila saya mulai saat ini menanam cabai maka bisa dipanen hingga 4-5 bulan lagi, berrati sekitar Oktober – November, mari kita coba. Kebetulan kemarin pas libur saya lempar cabai busuk ke pot, ngasal. Besok saya pilih yang sesuai buku, dan coba kita sandingkan. Tak perlu yang berlebihan, paling pakai pot bunga yang ada di depan, ditambah kaleng-kaleng bekas yang ada, hanya tata cara tanamnya sesuai buku ini.

Mau cerita, dulu setiap masa panen tetangga sering kali meminta ambil cabai di pot saya. Sejatinya kalau sekali dua kali sih ok, tapi ternyata berulang. Bahkan sudah berani ambil dulu, minta izinnya pas saya pulang kerja. Hufh…, itu padahal tanam cabai iseng saja. Makanya bagaimana kalau sudah dapat ilmunya dan benar-benar pohon cabai nantinya lebih dominan ketimbang bunga? Ya, tetap saya kasih sih kalau minta. Iseng berpahala saja.

Akhirnya, buku-buku non fiksi memang enaknya dibuat dengan fun dan sederhana gini. Apa karena temanya yang sederhana sehingga malah nyaman, atau memang pembawaannya yang pas. Ingat ini buku dibuat keroyokan, sebuah majalah terkemuka tentang tanaman, cetakan yang kubaca adalah 13, dan sudah direvisi. Makanya nyaman, dan ternyata laku, laris. Apakah di masa digital seperti ini buku sejenis ini masih laku? Yang jelas masih dibutuhkan. Ingat setiap tahun IPB meloloskan para sanjana pertanian yang membutuhkan bahan bacaan berkualitas tentang tanaman. Makanya, pembawaan yang fun dan enak perlu. Yang jadi pertanyaan, bagaimana kalau tema serius ditulis dengan fun dan nyaman juga? Perlu dicoba tuh…

Bertanam Cabai dalam Pot | Penyusun Redaksi Trubus | Foto sampul Dok. Trubus | Foto ilustrasi Dok. Trubus, Titut Wibisono, Angga Wibowo | Ilustrator Fahrul Lutfie Haikal | Penerbit Swadaya | Unggaran 1997 | Cetakan ke XIII, Jakarta 2006 (edisi revisi) | A CCXCIX/737/2000 | Bibliografi: hlm. 51 | ISBN 979-489-546-6 | Skor: 3.5/5

Karawang, 280622 – Image Dragon – Believer

Thx to Justin Secondbook, Jakarta

#30HariMenulis #ReviewBuku #28 #Juni2022

Mengarang Novel itu Gampang #26

“Siapa yang melarang? Kau menjadi pengarang, berarti kau membuat sendiri, mencipta sendiri.”

Luar biasa. Ini seolah menampar wajah para penulis yang masih gamang. Dibuat dengan model tanya jawab, saat-saat membacanya mencipta kalimat ‘iya ya, iya ya… terasa mudah, terasa gampang’. Sesuatu yang malah sangat amat menohok keragu-raguan. So far, buku motivasi menulis terbaik yang pernah kubaca. Ga kebanyakan teori, ga kebanyakan motode, cas cis cus, gegas tulis. Rasanya, akan malu bila kita yang manggut-manggut tak mempraktekkan gayanya. Ini buku kedua beliau yang kubaca, dan memang legend almarhum abah Arswendo ini. Salut.

Ini adalah sekuel dari Mengarang itu Gampang. Saya belum baca, akan kukejar cari. Kali ini fokus ke novel, di mana pengarang butuh perjuangan ekstra. Ini mengarang novel yang lebih membutuhkan napas yang panjang. Tak seperti cerpen yang spint, novel adalah bentuk lari marathon.

Sejatinya, selalu yang paling penting adalah praktek. Tak ada rumus yang paling pas bila ingin jadi penulis selain tulis! Sekarang! Keluhan utama adalah waktu, dan selalu kutemui jawabnya, waktu yang diberikan kepada semua orang sama. Mau sesibuk apapun, mau senggangur apapun, mau sejungkir balik bagaimanapun, waktu sehari adalah 24 jam.

Nasihat umum yang sekali lagi dipertegas ini. Mau kujelaskan cara mengelola waktu, rasanya kalian sudah paham teori manajemen waktu, jadi tak perlu deh. Saya ketik dan bahas bagian-bagian yang rasanya layak kutulis ulang, kubagikan kepada pembaca blog ini.

Pertama, teori menulis novel yang begitu penting adalah eksplotasi. Novel yang lebih tebal, bagaimana cara menjelaskan cerita, yaitu caranya dengan eksploitasi. Tokoh itu dikembangkan. Direntangkan, dipendekkan. “Pada saat mengetik, kamu sudah mulai dengan apa yang ‘telah selesai’ dalam kepalamu.” Ulasan, pengembangan, warna, semacam ini terjadi – diperlihatkan kepada pembaca – dari peristiwa. Ini yang memperkuat dan menjadi ikatan cerita. Titik tolak bisa dari apa saja. Dari mana saja. Yang penting eksploitasinya.

Kedua, pada dasarnya sebuah novel, adalah perkembangan karakter dari pelaku-pelakunya, perubahan, pergolakan, dan dalam rangkaian itu sebenarnya cerita sebuah novel. Itulah yang kita kenal dengan istilah, “jalannya cerita” atau “isi cerita.” Di novel kita banyak ditemui cara bercerita yang keluar konteks. Bukan sekadar bunga-bunga kata, tetapi merupakan rangkaian yang menyatu dalam kerangka besar. Ibaratnya titik-titik kecil dari sebuah gambar mosaik yang besar. Ketika kita menceritakan salah seorang tokoh, ceritanya berjalan. Rangkaian peristiwa terjalin, acuan dramatis berlangsung. Yang menggariskan dasar cerita adalah waktu.

Ketiga, latihan pengembangan kata. Praktek men-sinonim-kan kata terasa mudah, hanya sepuluh kata sepadan. Tidak mungkin tidak kautemukan. Pokoknya digali terus. Kata melihat contohnya, dengan gercep kita dapati lebih dari sepuluh sinonim. Memandang, menatap, melotot, menerawang, memfokuskan, melirik, mengedip, dst. Nah, variasi kata ini perlu agar pilihan diksinya lebih enak.

Keempat, dalam mengarang, pada dasarnya kita ini sedang mengadakan satu pembicaraan. Antara pembaca dengan pengarang. Dalam hal ini pengarang bisa berdialog langsung dengan pembaca, bisa juga melalui tokoh-tokohnya. Bisa dua-duanya sekaligus. Disesuaikan dengan keseluruhan. Akan tetapi realita bukan hanya yang berkaitan dengan tokoh-tokoh yang berdialog. Realitas itu juga merupakan realitas keseharian.

Kelima, bagaimana penggunaan dialek dalam narasi? Sebaiknya jangan, kecuali kalau pengarang memakai bentuk aku, dan dalam hal ini bercerita secara langsung kepada pembacanya, yang seusia dan sederajat. Dalam mengarang rangkaian penggambaran semua ini merupakan bagian yang direncanakan, bagian yang secara sadar diolah. Makanya, bahasa daerah/asing baiknya tak dicantumkan dalam narasi tak langsung. Bahasa Indonesia itu kaya, sebisa mungkin dipakai, terlalu cetak miring itu bikin tak nyaman pembaca. Memang paling bagus menjalani sendiri, dengan begitu perasaan itu otentik. Kamu sendiri bisa langsung merasakan. Dan menemukan ide-ide penulisan di situ. Terasa kekayaan bahasa dan warna untuk penggambarannya.

Keenam, lokasi cerita ya di sekitar kalian tinggal. Itu lebih pas dan mengena, bukan tempat jauh sekadar hasil imajinasi. Kamu akan lebih mengenal Bekasi ketimbang Belfast, kamu lebih tahu tugu Monas ketimbang Menara Eifiel, jadi pilih setting di mana kalian mengakrabinya.

Ketujuh. Karena unsur seks banyak sekali ragam dan bentuknya yang mudah sekali menyesatkan seorang pengarang. Ya, unsur seks itu makrum ada di banyak cerita. Bedanya, cara pengembangannya ekplisit atau implisit. Tak kayak stensilan yang ujug-ujug bercinta, atau menjelaskan detail adegan. Semakin indah dalam absurditas, adegan seks makin unik.

Kedelapan, unsur humor juga sangat penting. Semua novel tiba-tiba saja menjadi serius, gawat, dan berat persoalannya. Padahal kalau ada unsur humor, bisa lebih segar. Menciptakan greget hidup adalah kata lain dari memanjakan kemungkinan, menelurkan hipotesa. Humor tak melulu harus sampai ngakak, adegan-adegan standar sekitar kita justru yang paling ideal sebab akan melibatkan emosi pembaca.

Terkahir, percaya proses. Kalau sudah niat, kalau sudah ketik-ketik, kalau sudah mulai, harus diselesaikan. Pastikan ada garis finish di ujung sana. Sebab untuk dijadikan buku memang harus ada titiknya, terserah mau setebal apa, mau bergenre apa, mau ke penerbit mana, yang penting adalah jadi buku. Semua itu berproses.

Rendra tidak begitu saja muncul dengan Blues untuk Bonnie, Affandi tidak tiba-tiba saja bisa memlototkan cat langsung dari tube ke kancas,. Sardono tidak tiba-tiba saja menemukan Samgita atau Cak Rina, Arifin C. Noer tidak begitu saja menaklukkan panggung dengan segala adegan yang paling muskil, Danarto tidak begitu saja menjadi Adam Ma’rifat, Putu Wijaya tidak lahir sudah edan. Para jawara ini bergulum dalam proses, menjadi satu, mengalir, hanyut, dan mata batin yang siap dan terbuka.

Jadi siap untuk menulis novel? Gaaas… Ukurannya adalah pendekatan kreatif.

Mengarang Novel itu Gampang | by Arswendo Atmowiloto | GM 84.123 | Penerbit PT Gramedia, 1984 | Secara bersambung pernah dimuat di majalah Hai tahun 1983 | Skor: 5/5

Karawang, 260622 – Etta James – At Last

Thx to Saut, Jakarta

#30HariMenulis #ReviewBuku #26 #Juni2022

Yes to Life #22

“Sesungguhnyalah waktu yang dimanfaatkan dengan baik seolah diawetkan. Inilah bentuk eksistensi paling aman. Eksistensi kebermanfaatan yang tidak akan terancam oleh kefanaan apapun.”

Kebahagiaan sendiri tidak termasuk dalam kategori tujuan hidup. Rilke berteriak, “Seberapa banyak lagi kita harus menderita?” Rilke memahami bahwa pencapaian kita yang bermakna dalam hidup ini setidaknya sama-sama dapat diraih melalui penderitaan sebagaimana dengan bekerja.

Awalnya, kukira ini buku baru dengan penulis yang masih aktif. Beberapa kali dikutip, dan sering kali muncul di beranda sosmed, buku-buku Frankl cetakan baru tampak fresh. Ternyata, beliau hidup di era Perang Dunia Kedua. Ini sejenis memoar, dibumbuhi nasihat kehidupan, dan ya, sebagai orang yang pernah masuk ke kamp konsentrasi NAZI, optimism menghadapi hari esok jadi sangat penting.

Dibuka dengan sangat bagus oleh penulis kenamaan Daniel Goleman, menjelaskan banyak makna dan perjalanan hidup sang penulis. Ungkapan ‘Yes to Life;, Frankl mengingatnya, berasal dari lirik lagu yang dinyayikan secara sotti voce – sepelan mungkin, agar tidak memancing kemarahan sipir penjaga kamp konsentrasi. Apa yang dimimpikan para lelaki di kamp konsentrasi? Selalu sama: selalu roti, rokok, kopi tubruk yang layak, dan terakhir tetapi tak kalah penting, berendam air hangat.

Makin tahu kehidupannya, makin kagum. Pembebasan dari kamp kerja paksa Turkeim. Menurut Frankl, tak ada yang berhak menilai hidup seseorang itu tak berarti, atau menganggap orang lain tidak layak memiliki hak untuk hidup.

Sebenarnya hanya ada tiga bab, penjabaran pembuka dan penjelasannya yang panjang. Tentang Makna dan Nilai Kehidupan I dan II, dan Experimentum Crucis (Eksperimen yang Menentukan). Hanya itu, yang lainnya penambahan edisi baru.

Hitler berpendapat bahwa orang akan percaya pada sesuatu yang sering diulang-ulang, dan jika informasi yang berlawanan denganya terus-menerus disangkal, dibungkam, atau ditolak dengan kebohongan lainnya. Inilah tugas pembawa berita, kebenaran penting. Melawan “kebenaran-semu” yang membahayakan.

Program Eutanasia adalah program pembunuhan massal pertama yang dilakukan Nazi pada 1939, dua tahun sebelum genosida kaum Yahudi di Eropa, dengan sasaran mereka yang menyangdang gangguan mental parah dan “tak tersembuhkan.” Mengerikan bukan?

Sekarang ini perdebatan eutanasia hanya menyangkut sisi ‘kematian yang baik’ dari istilah tersebut, di mana seorang penderita sakit parah, yang biasanya merasakan sakit yang luar biasam memilih mati demi mengakhiri penderitaannya sendiri.

Pendekatan yang mereka lakukan berasal dari gerakan ‘eugenetika’ Amerika, sebuah bentuk Darwinisme sosial yang membenarkan masyarakat untuk membersihkan kelompoknya sendiri dari mereka yang dianggap ‘tidak layak’, sering kali dengan melakukan sterilisasi paksa.

Menurut Frankl, ada tiga cara utama orang memenuhi makna hidupnya. Pertama, tindakan (aksi), seperti menciptakan sebuah karya, entah itu seni atau kegiatan apa pun yang dicintai. Kedua, makna bisa ditemukan saat kita menghargai alam, karya seni, atau cukup dengan mencintai seseorang. Kierkegaard bilang pintu kebahagiaan selalu membuka ke arah luar. Ketigam orang dapat menemukan makna hidupnya ketika ia beradaptasi dan merespons batas-batas yang tak terhindarkan atas kemungkinan-kemungkinan hidupnya. Hidup kita mendapat makna lewat tindakan-tindakan kita, lewat mencinta, dan lewat pederitaan.

Dia merasa bahwa anak-anak muda yang menyaksikan perang, telah melihat terlalu banyak kekejian, penderitaan yang tak bermakna, dan kegagalan yang menyedihkan untuk sekadar menanamkan pandangan positif, apalagi antusiasme. Samuel Beckett, Menunggu Godot, sebuah ekspresi sinisme dan keputusasaan pada masa-masa itu.

Di tengah kekejian penjaga kamp, pemukulan, penyiksaan, dan ancaman kematian yang terus-menerus, terdapat satu bagian hidup yang tetap bebas: pikiran mereka. Kemampun batin inilah kebebasan sejati manusia.

Persepsi kita atas peristiwa-peristiwa dalam hidup, bagaiamana kita menyikapi mereka, sama atau bahkan lebih penting ketimbang peristiwa itu sendiri. “Nasib” adalah apa yang menimpa kita tanpa bisa kita kendalikan, namun masing-masing kita bertanggung jawab atas cara bagaimana menempatkan peristiwa yang kita alami dengan cara yang lebih bermakna.

Kant bilang segala sesuatu memiliki nilai, tetapi menusia memiliki martabat, seorang manusia tidak seharusnya menjadi sebuah alat untuk suatu tujuan. Sebuah mitos kuno menyebutkan bahwa keberadaan dunia ini hanya bergantung pada tiga puluh enam orang yang sungguh-sungguh adil, yang selalu ada setiap saat. Kant juga bilang, sekarang bukan mempertanyakan. “Apa yang bisa kuharapkan dari hidup.” Melainkan, “Apa yang diharapkan hidup dari saya?”

Apa yang telah kita pelajari dari masa lalu? Dua hal: segala sesuatu bergantung pada individu-individu manusia, terlepas dari seberapa kecil jumlah orang yang berpikiran serupa dan segala sesuatu bergantung pada masing-masing orang melalui tindakannya.

Bunuh diri dengan motif kehidupan tidak pantas dijalani, tidak percaya pada makna hidup itu sendiri, umum disebut ‘bunuh diri neraca (kehidupan)’ atau balance sheet suicide. Orang yang melakukan bunuh diri, bukan hanya tidak memiliki semangat hidup, tapi juga tidak memiliki kerendahan hati terhadap hidup.

Kata Goethe, “Tidak ada kesulitan yang tak dapat dimuliakan, baik itu dengan pencapaian-pencapaian maupun dengan ketahanan dan ketabahan.” Entah kita berusaha mengubah nasib kita, jika mungkin, atau kita bersedia menerimanya bila perlu.

Holderlin bilang, “Kalau aku melangkah dan menapaki kemalanganku, maka aku berdiri lebih tinggi darinya.”

Masa hidup kita tidak akan kembali, ketetapan dari apa pun yang kita lakukan untuk untuk mengisinya, atau tidak mengisinya, yang membuat keberadaan kita penting. Setiap orang harus bertanggungjawab atas eksistensinya sendiri. Penyair Jerman, Christian Friedrich Hebbel mengatakan, hidup bukanlah sesuatu, hidup adalah kesempatan bagi sesuatu.

Pemenuhan makna hidup bagi manusia dilakukan dalam tiga arah, manusia mampu memberikan makna pada eksistensinya, pertama dengan melakukan sesuatu, dengan bertindak, dengan mencipta, kedua dengan mengalami sesuatu, ketiga manusia dapat menemukan makna bahkan ketika tidak memungkinkan bagi mereka untuk menemukannya dengan kedua sisi di atas.

Setelah usai baca, saya malah langsung teringat Mark Manson. Dua bukunya: Sikap Bodo Amat dan Segala-galanya Ambyar terasa banyak mengekor buku buku ini (atau juga buku Frankl lainnya). Tentang penderitaan, tentang positif thinking, tentang optimism, hingga pola menjalani hidup penuh syukur. Pinter juga Mark, Blogger penulis yang memodifikasi banyak gaya, belajar dari para orang hebat, menjadikannya pijakan tulisan.

Buku Frankl banyak diterbitkan Noura, ini yang gres dan malah jadi buku pertama yang kubaca. Suka, dan jelas memasukkan ke daftar antrian ingin mengoleksi. Ilmu psikologi, bagaimanapun turut membangun peradaban, menangani manusia selalu menyesuaikan zaman, tapi tetap spirit utama dalam kehidupan ini, yang utama bertahan hidup. “Apa pun yang masih manusiawi, masih layak dipertahankan.” Katakan YA pada hidup, apa pun yang terjadi. Katakan YA pada kehidupan.

Yes to Life | by Viktor E. Frankl | Diterjemahkan dari Yes to Life | Terbitan Beacon Press, 2019 | Bahasa asli Jerman Uber den Sinn des Lebens | Terbitan Beltz Verlag, Beltz Weinheim Basel | Penebit Noura Books | Penerjemah Pangestuningsih | Penyunting Shera Diva | Penyelaras aksara Nurjaman & Dhiwangkara | Penata aksara Aniza Pujiati | Ilustrator sampul Silmi Sabila | Perancang sampul @platypo | Cetakan ke-1, Juni 2021 | ISBN 978-623-242-218-6 | Skor: 4/5

Untuk mendiang ayahku

Karawang, 220622 – Carly Rae Jepsen – Western Wild

Thx to Toko Gunung Agung Mal Resinda, Karawang

#30HariMenulis #ReviewBuku #22 #Juni2022

Bokis 2 #19

“Kebahagiaan tidak bisa dipaksakan bro. Apa gunanya awet, kalau kata orang Sunda, awet rajet. Kelihatannya awet, nyatanya compang-camping!”

Apa yang bisa diharapkan dari buku gosip? Sambil lalu, lalu menghilang. Apa yang bisa diharapkan dari sebuah buku yang isinya curhat, cerita kebobrokan dunia selebrita? Tak muluk, walaupun ditulis oleh seorang jurnalis pengalaman, CV-nya merentang dari hiburan cetak sampai visual. Buku yang tak terlalu berfaedah, buku sekadar hiburan, yang kurang relate sama jelata macam saya. Jauh dari hingar bingar infotainment, jelas ini akan gegas terlupakan, hanya mampir di memori sementara. Bokis, tahu artinya? Enggak? Sama. Baik saya ketik ulang Prabokis-nya ya.

Ini istilah gaul dari generasi 80’-an, di mana banyak istilah gaul dengan banyak sisipan ‘ok’ di tengahnya. Bapak menjadi b-ok-ap, sepatu jadi sep-ok-at, BF jadi be ef atau be ep sehingga jadi b-ok-ep, duit jadi d-ok-u, dan banyak lagi. Semua tak berubah makna, kecuali bisa jadi b-ok-is. Haha… pantas saya tak paham, zaman ortu-ku to.

Dibagi dalam lima bab utama, dipecah dengan cerita-cerita seputar kehidupan pesohor. Uang, wanita, kedudukan para artis. Kutat dunia itu dikupas dengan gamblang, sayangnya bukan sesuatu yang baru. Hanya penegasan bahwa dunia lender infortaiment itu benar adanya. Ditulis oleh jurnalis yang benar-benar bersinggungan. Lantas kalau benar, kenapa? Ya tak mengapa, sekadar tahu saja. Jangan cari hikmahnya apa, ini buku haha-hihi, huhu-hoho yang memang apa adanya.

Seperti kisah jual anak, itu dicerita baha untuk mendongkrak karier anak, sang anak dijual ke senior. Termasuk ibunya, demi popularitas apapun dilakukan. Dari peran kecil dulu, hingga merangkak booming menjadi artis terkenal nantinya. Atau yang mengerikan, jual ginjal demi kesempatan tampil. Kompetisi ala kadar, menarik rating, sampai intermezzo berulang kali.

Lalu bagaimana menanggapi kabar miring itu? Beragam, namanya juga manusia. Seperti gugat menggugar yang tak ingin menyewa pro bono, demi saving uang hingga mendongkrak nama, hingga jadi teman tidur. Sekali lagi buat apa? Mungkin buku ini dicipta bagi orang yang niat terjun ke dunia hiburan, betapa keras dan memuakkan.

Nama baik penting, seperti akting depan tv menyumbang. Demi disorot kamera, necis dan baik hati. Namun tak semua juga, beberapa malah tak peduli nama baik atau buruk, selama diliput media asyik-asyik aja. Menjadi pembicaraan penikmat infotainment, hal itu penting.

Sampai penasehat spiritual. Pernah heboh masa itu Eyang Subur, yang viral berhari-hari karena gugat menggugat, gebrak meja, sampai para artis yang tuding nebeng tenar. Ya ampun, info-info tak penting ini. nyatanya, diikuti, dimintai, dibaca, diperbincangkan.

Kemuakan juga ditampakkan, bagaimana data-data kekerasan diapungkan dan banyak. Meningkat tiap tahunnya, walau tak semua. Lalu seorang jurnalis lain malah nyeletuk atau menyanksikan sebab data diambil dari Komnas Perempuan, ia berpegang pada kepolisian yang lebih ramah. Well, jangan kaget, dan tak perlu heran, wajar saja kok. Orang pro ke mana, selalu ada. Yang jelas-jelas busuk saja banyak yang dukung. Dunia memang seperti itu, di era digital ini saja kelihatan. Zaman dulu juga ada, hanya bedanya kita lihat blak-blakan saat ini. ya itu, kebebasan.

Begitu pula, kritik pemirsa yang ditanggapi malah menjadi boomerang. Contoh, berita dan tampilan tv banyak yang negative, gmana kalau yang ditampilkan yang bagus-bagus. Maka ketimbang isinya berita perceraian, gugatan demi gugatan, atau perkelahian psikis. Mending menampilkan keluarga artis yang samara. Maka diciptalah program “Romantika”. Menampilkan keluarga harmonis yang bertahan pernikahan minimal 10 tahun, dan baik-baik saja. Kesannya. Nyatanya tak bertahan lama, program tv-nya hanya sampai 26 episode. Resource yang sulit, tak semua mau tampil, pamer keharmonisan, hingga nasehat: ngapain pamer kemesraan di tv? Begitulah, sulit memenuhi kemauan orang banyak. “… sudahlah, nggak usah dipaksakan. Bikin yang seperti biasa saja. Yang sensasional-sensasional. Masyarakat kita suka gosip sensasional.”

Buku ini dicipta tahun 2013, setelah selang hampir sedekade, apakah masih berlalu? Banyak hal sudah berubah, begitu pula cara pandang penikmat tv. Saat ini internet sudah menjamur ke segala pelosok. Info dengan mudahnya didapat. Jurnalis masih eksis, tapi tampilannya sudah mayoritas digital, kecepatan menjadi penting, akurasi saja yang perlu diperhatikan. Trust jadi momok penting, dan sangat berharga.

Kenapa saya punya buku ini? yang jelas enggak banget. Ceritanya, tahun 2017 saya menang kuis FPL (Fantasy Premier League) dari Gangan Januar, Bandung. Sekalipun saya kutu buku, tak serta merta semua buku gegas disikat. Baru nggeh belum tuntas, bulan ini, saya menemukannya di rak, dan ingat utang tuntas. Gegas kusikat, kilat dan tanpa banyak pertimbangan. Saya dapat dua buku, satunya lagi kumpulan puisi: Penyair Midas nya Nanang Suryadi. Saya jadi curiga, ini GG niat lepas buku karena tak suka, atau beneran kasih hadiah? Well, setidaknya, lunas dulu deh.

Bokis 2: Potret Para Pesohor, dari yang Getir sampai yang Kotor | by Maman Suherman | KPG 901 13 0679 | Cetakan pertama, Juni 2013 | Ilustrasi sampul dan Isi Setianto Riyadi | Perancang sampul Fernandus Antonius | Penataletak Fernandus Antonius | x + 142 hlm.; 13.5 x 20 cm | ISBN-13: 978-979-91-0585-1 | Skor: 2.5/5

Karawang, 190622 – Shane Fillan – Beautiful in White

Thx to Gangan Januar, Bandung

#30HariMenulis #ReviewBuku #19 #Juni2022

Filsafat Administrasi #9

“No training can develop a man, he must develop himself.”

Bagus. Kaget juga, untuk sebuah organisasi yang sudah umum itu ada ilmu khususnya. Dan disampaikan dengan sangat memikat. Yang paling mengena bagiku adalah bagian inti organisasi. Ada empat unsur: anggota, apa mau anggota? Pengurus, apa yang jadi sasaran pengurus yang ada dalam organisasi. Sinkron enggaknya tujuan anggota dan pengurus. Terakhir, kalau tidak sinkron apa yang harus dilakukan. Keempat unsur yang pas banget diterapkan di dunia yang hingar bingar perlu ditata. Terasa pas karena sekarang sedang mendapat mandat di koperasi, dan keempat unsur organisasi itu patut diterapkan.

Teori melimpah, bahkan menjadi penting rasanya kata ‘administrasi’ yang awalnya kuanggap biasa. Charles A. Beard, historikus politik bilang “Tidak ada satu hal untuk abad modern sekarang ini yang lebih penting dari administrasi. Kelangsungan hidup pemerintah yang beradab dan malahan kelangsungan hidup dari perabadan itu sendiri akan sangat tergantung atas kemampuan kita untuk membina dan mengembangkan suatu filsafat Administrasi yang mampu memecahkan masalah-masalah masyarakat modern.”

Administrasi dalam buku ini berarti keseluruhan proses kerjasama antara dua orang atau lebih yang didasarkan atas rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan sebelumnya. Sederhananya, bila dua orang bekerja bersama-sama untuk menggulingkan sebuah batu yang tidak dapat digulingkan hanya oleh seorang di antara mereka, pada saat itulah administrasi telah ada. Manajemen adalah inti dari administrasi. Maka administasi lebih luas dari manajemen.

Dilihat dari fungsionalnya ada dua tugas utama, menentukan tujuan menyeluruh yang hendak dicapai (organizational goal), dan menentukan kebijaksanaan umum yang mengikat seluruh organiasasi (general and overall policies). Human relations merupakan inti dari kepemimpinan. Human relations adalah keseluruhan rangkaian hubungan, baik yang bersifat formal, antara atasan dan bawahan, atasan dengan atasan, serta bawahan dengan bawahan yang lain yang harus dibina dan dipelihara sedemikian rupa sehingga tercipta suatu teamwork dan suasana kerja yang intim dan harmonis dalam rangka pencapaian tujuan.

Dalam organisasi selalu ada tiga kelompok pimpinan: Top management, middle management, dan lower management.  Semakin tinggi kedudukan seseorang di dalam organisasi, ia semakin generalist. Sedang makin rendah makan kedudukannya specialist. Pemimpin yang dengan menggerakkan bawahannya selalu atau sering bersifat punitive tidak dapat dikatakan sebagai pemimpin yang baik. Pemimpin yang baik, tidak menganak-emaskan sesuatu bagian di dalam organisasi, menganak-tirikan yang lain.

Kalau belum punya pondasi kepemimpinan, tenang saja. Pengalaman akan menempa. Tidak ada seorang manusia pun yang serta-merta memiliki semua ciri ideal pemimpin ideal. Karena itu penting bagi seorang pemimpin untuk menganalisis diri sendiri untuk melihat ciri-ciri kepemimpinan apa yang telah dimiliki dan ciri-ciri apa yang perlu dikembangkan melalui pendidikan, baik formal atau informal. Dua belas ciri pemimpin keren: sehat, berpengetahuan luas, keyakinan, hakiki, stamina (daya kerja), gemar dan cepat mengambil keputusan, objektif, adil memperlakukan bawahan, menguasai prinsip IR, menguasai teknik komunikasi, mampu sebagai penasehat, dan mempunyai gambaran menyeluruh aspek organiasai. Setiap orang mampu menjadi pemimpin, bila diberi pendidikan dan pengalaman. Seorang pemimpin akan menjadi pemimpin karena ia telah dilahirkan dengan bakat-bakat kepemimpinan.

Sukses tidaknya seseorang menjalankan peranannya sebagai pemimpin akan sangat tergantung bukan pada ketrampilannya melakukan kegiatan operasional, tetapi akan dinilai tertutama dari kemampuannya mengambil keputusan. Pemimpin yang bersangkutan memiliki pengetahuan yang mendalam tentang dirinya sendiri, kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahannya, termasuk di dalamnya, kemampuan dan kemauan belajar terus-menerus.

Dalam proses pengambilan keputusan tidak ada hal terjadi secara kebetulan. Pengambilan keputusan tidak dapat dilakukan secara ‘asal jadi’ karena pelu pendekatan berdasar sistematika tertentu. Pemecahan tidak dapat dilakukan dengan hanya mencari ‘ilham’ atau dengan intuisi, akan tetapi juga perlu didasarkan kepada fakta yang terkumpul dengan sistemtika, terolah dengan baik, dan tersimpan secara teratur sehingga fakta-fakta/data itu sungguh-sungguh dapat dipercayai dan masih up to date.

Agar seseorang pemimpin dapat meramalkan reaksi, sikap dan tindak-tanduk para bawahannya dalam rangka pelaksanaan daripada sesuatu keptusan yang diambil, ia perlu mengetahui bagaimana pandangan para bawahan itu terhadap diri mereka sendiri. Dengan mensinkronkan tujuan dan kepentingan individu dalam organisasi.

Efektivitas pengambilan keputusan sangat tergantung atas cepat tidaknya informasi yang diperlukan dapat diambil dari tempat penyimpanan. Organisasi sebagai setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerjasama untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan dalam persekutuan tersebut.

Fakta penting yang harus digarisbawahi, sayangnya. Hiks, jika seorang pemimpin mengambil keputusan yang menggembirakan setiap orang, ada kemungkinan bahwa keputusan itu bukan merupakan keputusan yang baik. Oleh karena itu tugas mengambil keputusan bukan merupakan tugas yang enteng. Meminta nasehat staff untuk mempermudah proses pengambilan keputusan menjadi sangat penting. Staff yang mampu memberi ‘nasehat’ kepada atasannya mempunya nilai lebih.

Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang egoistis padahal manusia mempunyai kemampuan-kemampuan terbatas, baik fisik, biologis maupun mental. William H. Whyte menyebut, manusia itu sebagai manusia organisasi.

Fungsi administrasi dan managemen: planning, organizing, commanding, coordinating, dan controlling. Pada hakikatnya rencana adalah suatu keputusan, maka polarisasi pemikiran yang cenderung untuk memisahkan proses perencanaan dan proses pelaksanaan tidak boleh terjadi. Charles F. Kettering, industrial Amerika pernah bilang sesuatu masalah yang hakikatnya telah diketahui telah separuh terpecahkan.

Baru tahu sistem 5W1H itu dicetuskan oleh Penulis favotiku dari Inggris. Rudyard Kipling pernah bilang bahwa dalam hidupnya ia mempunyai enam pelayan yang baik bernama: What, Where, When, How, Who, dan Why. Atau ini penegasan saja?

Setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerjasama untuk suatu tujuan besama dan terikat secara formal dalam persekutuan mana selalu terdapat hubungan antara seorang/sekelompok orang yang disebur pimpinan dan seorang/kelomok orang lain yang disebut bawahan.

Manusia sebagai makhluk hidup bersedia memberikan yang terbaik pada dirinya, waktunya, tenaganya, keahliannya dan ketrampilannya apabila ia diyakinkan bahwa ia akan diberi balas jasa yang setimpal dengan jasa-jasa yang diberikan. Quid pro Qua yang artinya Sesuatu untuk sesuatu, atau dalam pepatah kita, “Ada ubi ada talas, ada budi ada balas.”

Abraham Maslow dalam teorinya, ada lima tingkatan kebutuhan: 1) kebutuhan fisiologis (sandang, pangan papan), 2) kebutuhan keamanan (kemanan jiwa dan harta), 3) kebutuhan sosial (perasan diterima, dihormati, maju, dan ikut serta), 4) kebutuhan akan prestise (esteem needs), 5) kebutuhan mempertinggi kapasitas kerja.

Perencanaan dan pengawasan merupakan kedua belahan mata uang yang sama, bahwa tanpa rencana pengawasan tidak mungkin dilakukan karena tidak ada pedoman untuk melakukan pengawasa. Sebaliknya, rencana tanpa pengawasan akan timbul penyimpangan-penyimpangan.

Well, ini tentang sistem. Kata ‘filsafat’ di dalam judul tak bohong. Bahasannya lugas, walaupun penulis banyak menukil sumber, dengan daftar pustaka yang banyak, tapi ini jelas sungguh buku yang bervitamin. Sebagai IR saya banyak menemukan teori-teori yang menunjang pekerjaan. Yang jelas, setelah baca buku ini, saya tak memandang sambil lalu kata ‘administrasi’. Dan, kalian harusnya juga.

Filsafat Administrasi | by Dr. Sondang P. Siagian M.P.A., Ph.D. | Penerbit Gunung Agung – Jakarta | 1970 | Cetakan keduabelas, tahun 1983 | Penata wajah AMA | Pencetak Percetakan Offset Sapdodadi, Jakarta | Skor: 4/5

Karawang, 090622 – Westlife – You Raise Me Up

Thx to Lumbung Buku, Bandung

#30HariMenulis #ReviewBuku #9 #Juni2022