Ingatan, “Tidak”, Cinta #10

“Pakaian hanyalah penampilan, tapi hati adalah kesungguhan.”

Luar biasa, buku-buku terbitan Metafor dengan tema sastra ditulis keroyokan, sebagian malah hasil terjemahan. Ini edisi perdana, dan sudah sangat bagus. Buku kedua yang kubaca, bagus semua. Kenapa buku sebagus ini tak dilanjutkan terbit ya? Tahun 2000-an saya belum paham sastra, sekarang melahap banyak sekali sastra, dan buku ini makin membuat saya respect sama buku-buku Metafor.

Ini justru terbitan #1, dan langsung menghentak dengan menjual nama Jose Saramago. Bukan cerpen sebenarnya, hanya nukilan novel Blindness bab satu. Karena saya sudah baca, saya langsung klik, sayang buku itu dipinjam teman dan tak kembali, sehingga nostalgia itu hanya sebab. Nanti deh, saya cari novelnya lagi.

Disajikan juga wawancara sang maestro cerita Portugal ini, sangat-sangat bervitamin memberi tips-tips menulis. “Saya menulis empat halaman sehari. Ini soal penataan pikiran, mungkin kelihatannya tidak banyak, tapi… Syarat pertama untuk menulis adalah duduk, dan menulislah.” Dan yang lokal-pun tak kalah hebat, almarhum Umar Kayam menyumbang wawancara dengan post credit seolah ‘farewell’. Hebat, buku yang luar biasa. Semoga ke depan ada buku sejenis ini diterbitkan lagi.

#1. Sang Pemula (Prolog) by Sitok Srengenge

Ini adalah sambutan, dari sang penggagas. Sang Pemula yang menjadikan perkenalan terbitnya Prosa. Angkat topi untuk ide ini buat Bung Sitok Srengenge. “Cara pandang, daya apresiasi, dan selera para pengasuh suatu media bisa memunculkan warna dan nilai tunggal.”

#2. Cerita tentang Ibu yang Dikerat by A.S. Laksana

Masih dengan Alit, karakter favoritnya. Dan karena saya sudah baca, saya menelusur saja kata-kata ini, seolah baca ulang. Kehebatan di sini adalah kejut siapa sudut pandang sebenarnya, dan motif ada sejatinya yang disembunyikan. Sedih, amarah, dan takjub sama pola seperti ini, seringkali berhasil menipu pembaca.

“Ku benar, mestinya ia bertobat. Tapi segalanya sudah terlanjur dan ia mungkin terlalu angkuh.”

#3. Guna-guna dan Gula-gula by Danarto

Perkara telat kawin, dan godaan di luar sana. Mas Guru yang ditegur Pak Kiai, kenapa tak kawin-kawin, sampai mempertanya metode ajar, sebab ia sendiri rasanya perlu diajar. Sehingga Pak Kiai menawarkan guna-guna menjerat wanita. Gaji guru kan tahu sendiri, makanya ia nekad ambil sebab yakin keampuhannya, efeknya bikin tawa. Dan dialog akhir yang sungguh-sungguh bikin ngakak.

“Carilah mangsa lain. Guna-guna yang saya bekalkan sangat ampun untuk memeluk sekian gadis dengan berbagai tipe dan etnik.”

#4. Kebutaan by Jose Saramago

Cerita tanpa nama karakter, kebutaan tiba-tiba di persimpang jalan. Tak ada yang tahu mengapa laki-laki itu mendadak tak bisa melihat. Matanya diselimuti putih, dan ia harus diantar pulang ke apartemennya. Istrinya memeriksakan ke dokter mata, yang malah bikin heran. Dan begitulah, (nantinya) menyebar.

“Kalau nyatanya anda buta, maka kebutaan anda saat ini tidak bisa dijelaskan.”

#5. Dadu by Nirwan Dewanto

Cerita wayang atau drama perwayangan dengan selubung nasihat kehidupan.

“Si pengarang (seorang pengarang yang tak mencantumkan namanya), memang sengaja merancang sejumlah jebakan untuk membingungkan (atau memabukkan) pembaca.”

#6. Tiga Kisah by Sapardi Djoko Damono

Tiga cerita yang (seolah) taka da keterkaitan. Testamen tentang anjing kampung yang baik, Jalan Lurus yang bernarasi, dan Membaca Konsultasi Psikologi tentang suami seorang PNS yang pening.

“Mungkin saya ini seorang suami yang berpandangan kuno, tidak begitu memahami perubahan zaman.”

#7. Penangkaran Binatang by Whani Darmawan

Ini adalah uneg-uneg para binatang yang ditangkar, dan bagaimana proses serta prosedurnya. Banyak bahasa Jawa-nya, hingga dibuatkan banyak catatan di akhir.

“Bisakah engkau menangkarkan landak, lele, dan ikan pari di dalam hati?”

#8. Bertemu Hemingway by Gabriel Garcia Marquez

Wawancara bersejarah dengan George Plimpton di Paris Review, Hemingway mengatakan bahwa berlawanan dengan gagasan Romantik tentang kreativitas – kenyamanan ekonomi dna kesehatan yang terjaga, sampai kapan pun merupakan hal yang kondusif untuk menulis bahwa salah satu kesulitan utama pengarang adalah mengatur susunan kata sebaik-baiknya.

Satu hari kerja hanya boleh berhenti ketika pengarang telah mengetahui dari mana ia akan memulai esok harinya. Saya kira tidak ada nasehat yang lebih berguna yang bisa diberikan tentang kegiatan mengarang.

Karya Hemingway penuh dengan penemuan-penemuan sederhana dan memesonakan seperti ini, yang menegaskan perumpamaan yang dipakainya sebagai acuan untuk menyusun definisinya sendiri tentang penulisan sastra, bahwa seperti gunung es, karya sastra hanya akan bisa berdiri kokoh jika ditopang di bawahnya oleh tujuh-perdelapan bagian dari keseluruhan rancang-bangunnya.

Sebagaimana diutarkannya sendiri, karya Across the River semula dimaksudkan untuk menjadi sebuah cerita pendek dan terperosok ke dalam ‘hutan bakau’ sebuah novel.

Jika orang begitu lama menyelami karya seorang penulis dengan intensitas dan kecinaan yang demikian besar, niscaya ia akan kehilangan cara membedakan fiksi dengan kenyataan.        

#9. Dunia di Sebutir Pasir by Hasif Amini

Karya sastra memang sering menemukan dayanya justru dari semacam ketiadaan pesan, atau kekaburan amanat (kata yang lebih baik adalah ambiguitas), yang sekaligus berarti bahwa pembaca bisa bekerja atau bermain membubuhkan bayang-bayang baru pada setiap pembacaan.

Menyediakan ceruk-ceruk remang yang bisa dihuni hantu-hantu makna

#10. Ingatan, “Tidak”, Cinta dialog dengan Katherine Vas

Keren banget. Wawancara hebat, sederhana tapi memikat.

“Saya biasanya hanya menulis di rumah. Saya tidak bisa menulis di hotel, atau di rumah teman. Sama sekali tidak mungkin, saya hanya tidak mampu melakukannya, taka da yang bisa keluar. Itu saja.”

“Ketika ide sudah saya dapatkan, segera saja itu menjadi obsesi… Saya telah mengarang sebuah kisah cinta tanpa sepatah katapun cinta.”

#11. Cerita yang Hidup dan Hantu Ilmu Sosial by Umar Kayam

Keren ini sih, wawancara pada 22 Januari 2002 yang nantinya (atau sudah) legendaris antara AS Laksana, Sitok, dan Hasif kepada Umar Kayam. Kita jadi tahu pandangan sastra sang penulis Para Priyayi ini. Saya kutip saja sebagian kalimat-kalimat bagus ini:

“Bahasa Indonesianya bagus tapi ruwet. Enigmatik. Sajak-sajak yang baik itu menurut saya harus bisa menggugah imajinasi. Meskipun imajinasi yang kita dapat tidak sama dengan sang penulis.”

“Pertimbangan utama editing: wagu opo ora? (janggal apa tidak?)”

“Mana yang lebih penting menurut Anda, logika atau keindahan bahasa. Sama-sama penting.”

“Terhadap Rendra memang saya subjektif, seperti juga terhadap Goenawan. Tidak bisa objektif sata pada dua orang itu, karena hubungan pribadi kita terlalu dekat.”

Tulisan ini ditutup dengan kabar, pada 16 Maret 2002 sang legenda meninggal dunia. “Pak Kayam meninggal dunia.” al-fatihah.

Prosa #1 – 2002 | Redaksi Sitok Srengenge (Kerua), Hasif Amini, Arif B. Prasetyo, Rani Elsanti (sektertaris) | Desain Muhammad Roniyadi | Penerbit Metafor | Skor: 5/5

Karawang, 100622 – Westlife – I Lay My Love On you

Thx to Buku Jarang, Bekasi

#30HariMenulis #ReviewBuku #10 #Juni2022