The Belly of Paris #12

Lisa: “Orang yang telah menjalani bermacam-macam pengalaman yang amat mengerikan, dan belum mampu membangun keluarga sendiri…, tidak heran dia ingin tembak-tembakan dimulai…”

Kisah panjang berliku, padahal intinya hanya berkutat di sebuah pasar di Paris abad kesembilan belas. Politik, gosip, percintaan, diaduk sampai lumer dalam keseharian orang-orang pasar. Pijakan kisah memang kuat, keluarga yang berbeda karakter itu, dipecah oleh pandangan politik. Acara ngopi tiap pekan malam hari malah jadi ajang diskusi terlarang, orang-orang lurus merasa terusik. Ditambah drama persaingan dua pedagang besar, politik dalam di sini malah seolah jadi tunggangan. Makanya ending-nya seperti itu. Tepuk tangan untuk itu.

Sudut pandang bergantian, tapi jelas ini berpusat pada Florent Quenu. Seorang eks narapidana politik yang diasingkan ke Pulau Setan, di Guyana, Belanda. Setelah berbulan-bulan taka da kabar, ia kembali. Proses kembalinya dramatis, kabur. Padahal orang-orang mengira ia mati, sebab dalam pengasingan penjagaan ketat dan tak manusiawi. Pembuka kisah, ia di tengah jalan hmpri ditabrakoleh kereta kuda Madame Francois. Namun malah diselamatkan, ikut numpang pulang ke satu-satunya saudara yang tersisa. Sejak Madame Francois memungutnya dalam keadaan kelelahan di Avenue de Neuilly, ia berjalan-jalan kebungunagn, dan tak mampu meresapi lingkungan sekeliling.

Di daerah pasar Les Halles Florent tinggal sama adik tirinya yang gendut Quenu. Pasar tradisional pusat makanan yang eksotik. Menikah dengan si cantik La Belle Lisa. Parasnya cantik dan tubuhnya memenuhi ambang pintu. Mereka punya usaha dagang di Pasar tersebut. Usaha modern membutuhkan usaha yang cakap.

Punya nama baik, usaha baik, persahabatan yang baik, kecuali dengan seterunya La Belle Normande. Keduanya punya masalah, dan seringkali saling ejek dan serang. Semua pedagang tahu, ada masalah pribadi di sana. Konon Normande dulu pernah dilamar dan menolak putra seorang pemilik toko yang kaya di kawasan itu pindah ke luar negeri dengan perasaan hancur setelah gagal memenangkan hatinya. Sebab semua orang di Les Halles membicarakannya, dan setiap peristiwa baru mendatangkan komentar-komentar tiada habisnya.

Florent yang kurus kering, terpelajar, dan berpikiran idealis, numpang tinggal, lama-lama membuat jengah jua, Dia mulai didera pikiran-pikiran gelap. Cuma makan tidur, melamun. Padahal yang paling dibutuhkannya adalah kedamaian dan kekosongan pikiran. Maka saat ada peluang kerja, walau pegawai pemerintah. Begitu Florent diangkat menjadi inspektur pasar ikan. Setiap orang, laki-laki maupun perempuan harus bekerja mencari nafkah, setiap orang bertanggung jawab atas kebahagiaannya sendiri, membiarkan orang bermalas-malasan itu jahat, dan sebagian besar ketidakbahagiaan di dunia disebabkan oleh kemalasan.

Lisa memaksa kakak iparnya mengambil kesempatan itu. Florent yang anti pemerintah, berpikir revolusi harus terjadi, membayangkan jadi kaki tangan pemerintah, muak, tapi anehnya tetap diambil. Sisa-sisa daging dari piring sang Kaisar adalah tinja politik, sisa-sisa najis dari semua perbuatan rezim itu. Jadinya ia tak menganggur. Satu-satunya alasan orang harus peduli tentang uang adalah karena kita butuh uang untuk hidup.

Ada warisan uang besar yang oleh Lisa disampaikan, dan niat dibagi. Awalnya Florent menolak, ia bukan materialistis. Uang itu diminta simpan saja, lalu skandal, gosip, isu, dicampur aduk. Florent yang ingin membantu anaknya, yang jelas-jelas seteru Lisa, mendatangkan banyak kabar miring. Padahal niatnya hanya mengajar baca tulis. Fitnah-fitnah makin gencar, menjadi banjir caci-maki, padahal tidak ada seorang pun mengetahui sumbernya.

Pertemuan rutin, kelompok yang berkumpul di kamar belakang kecil di bar Lebigre, dengan rekan-rekan membahas politik, dan rencana makar malah mencipta ketakutan. Salah satu topik favorit mereka adalah tata ulang Negara begitu kemenangan diraih. Perilaku Gavard terhadap Florent mirip orang yang mengecap kenikmatan terlarang. Terutama Lisa yang cerdas, ia tak setuju, ia tak mau suaminya turut terjerumus. Baginya keluarga jauh lebih penting. Keluarga mereka memang makin makmur. Seringkali Lisa menasehati suaminya, “Carilah uang, jagalah hati nuranimu tetap bersih, dan ingatkan dirimu bahwa Prancis akan menangani masalahnya sendiri.”

Orang harus hidup tenang dan stabil, membahayakan nyawa dengan bermain politik tidak mengenyangkan perut. “Dia boleh makan dan tidur di sini dan merepotkan kita kalau mau; kita bisa menghadapi itu, tetapi yang tidak akan kutoleransi adalah kalau dia membuat kita terlibat urusan politik… Kita memerlukan tiga belas tahun agar tabungan kita cukup untuk mandiri, kita tidak pernah terlibat politik, kita hanya ingin membesarkan anak kita dengan baik dan memastikan usaha kita lancar. Kita orang baik dan jujur!”

Anaknya, dan masa depan yang cerah harus dilindungi dari pengaruh buruk, dan dijauhkan dari efek politik praktis, maka ia harus bertindak, sebelum terlambat. Apalagi saat secara sembunyi-sembunti menemukan pamflet terlarang di lacinya. Membaca selembar kertas yang separoh berisi tulisan, di mana ‘revolusi’ muncul dua kali. Setelah Lisa membaca sekilas-sekilas catatan ini tanpa memahami semuanya, dia duduk gemetaran, tidak berani menyentuh kertas-kertas itu lagi karena takut melihatnya akan meledak di depan wajahnya, seperti bom rakitan sendiri. “Aku bersyukur kepada pemerintah kalau usaha lancar, kalau aku bisa makan dengan tenang, bisa tidur tanpa dibangunkan bunyi tembakan.” Tindakan yang menjadi eksekusi akhir perjalanan panjang di Pasar Paris.

Suka sekali sama karakter Lisa. Lisa selalu berkata agama penting bagi sebagian besar orang; dia menganggap agama semacam polisi yang membantu menjaga ketertiban, tanpa agama tak mungkin ada pemerintahan yang berfungsi. Sebagai wanita berpinsip, berkenaan dengan kakak iparnya, apakah dia berhak mengawasi kakak iparnya itu supaya tidak membahayakan suaminya. Orang-orang baik punya bakat alami untuk tahu bagaimana melaksanakan hal yang benar.

Politik, saya tak mau menampik selalu kotor, saya hanya bilang, riskan. Di zaman manapun, sungguh riskan. Apalagi di masyarakat yang majemuk, lebih tinggi peluang untuk mencipta kebencian. Tak seperti makanan, tak semua orang doyan politik, tak bisa serta merta kita cerita dan mengaku berhaluan apa. Namun yang jelas, saya sepakat sama Lisa. Jangan membawanya ke keluarga, apalagi sampai membahayakan masa depan anak.

Ini adalah novel kedua Zola yang kubaca setelah Therese Raquin yang luar biasa indah dan biadap itu. Jelas, Zola adalah penulis favorit dan semua karyanya patut ditunggu. Di rak perpus keluarga sudah menanti novel Germinal yang super tebal. Pasti kubaca, hanya mencari momentum saja. Buku ini kubaca dalam tiga hari 12, 13, 14 Mei 2022 saat cuti tahunan #DirumahAja dan catatan ini kudu kututup dengan kalimat akhir yang nampol habis, “Orang-orang terhormat… dasar bedebah!”

Pasar-pasar Kota Paris | by Emile Zola | Diterjemahkan dari The Belly of Paris | GM 617189004 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Alih bahasa Lulu Wijaya | Desain sampul Eduard Iwan Mangopang | Cetakan pertama, 2017 | ISBN 978-602-7189-4 | 504 hlm; 20 cm | Skor: 5/5

Karawang, 27-280522– 120622 – Debbie Davis (Manhattan Jazz Quartett) – Isn’t She Lovely

Thx to Ari Naicher (Rindang Buku), Klaten

#30HariMenulis #ReviewBuku #12 #Juni2022