“Tahukah kalian, cerita ditulis berdasarkan sesuatu yang dianggap penting oleh orang lain, jadi ketika kita menjalani cerita, kita memberitahu orang di sekitar kita apa yang menurut kita penting.”
Buku dengan judul ambisius, Satu juta mil dalam seribu tahun. Meluap-luap semangat. Sejuta mil itu sangat jauh, seribu tahun itu sangat lama. Dan keduanya tak mungkin dikejar manusia. Ya, namanya juga hiperbola bercerita sebab isinya memang lebih kepada cerita curhat, kehidupan sang penulis pasca bukunya best-seller kini mencerita (atau supaya lebih terdengar elok, memberi inspirasi) kehidupan yang pernah dialami. Miller bilang, “menulis itu bagian dari imajinasi kreatif: melamun, menciptakan cerita.”
Dari bukunya Blue Like Jazz yang sukses besar yang ditawar untuk diadaptasi ke film sampai pengalamannya naik sepeda keliling kota-kota Amerika. Dari petualangan ke daerah terpencil untuk kunjungan teman, sampai kunjungan ke Afrika untuk peresmian sosial. Dari petualangan ke puncak gunung, hingga proses pencarian bapak. Ya, Donald Miller tumbuh tanpa bapak. Orang tuanya bercerai, dan hidup bersama ibunya. Ada rasa deg-degan saat pencarian, terasa dramatisasi diapungkan. Ingat, di era digital seperti ini, rasanya kalau benar-benar niat menghubungi seseorang, mencari keberadaan orang akan lebih mudah. Serba instan.
Dari mula, proses pemindahan buku ke dalam skenario film terlalu panjang, berbelit, dan beberapa item mengada. Kekhawatiran salah pasar, salah penanganan, tidak laku, dst. Komunikasi dengan dua produser dibuat dengan dramatis. Awalnya kukira mereka pertama bertemu canggung, dan untuk saling mengenal mereka kopi darat, terbang jauh-jauh untuk mendapatkan tanda tangan. Nyatanya, mereka sudah saling mengenal. Di bab-bab berikutnya bahkan ngumpul keluarga, masak daging, jamuan makan malam, hingga hiking.
Sesuatu yang bikin kesal, sebab kukira bakalan canggung atau proses kreatif pembuatan film terkendala hal komunikasi. Eh sudah familiar. Permulaan yang agak aneh, itu untung dibarengi dengan kualitas tulisan yang enak. Seperti tentang ingatan, sungguh kita tak bisa menebak; peristiwa apa yang bakal lama mengendap di kepala, peristiwa apa yang dengan mudah terlupa. “Yang menarik dari mengingat hidup kita adalah semua itu membuat kita penasaran apa sebenarnya arti setiap kejadian tersebut.”
Termasuk proses pencarian ayah, ingatan ayahnya samar sebab ditinggal saat masuk kecil. Maka pencarian itu dilakukan dengan agak aneh. Menemukan fakta sedih, tapi terasa tak sedih. Disampaikan dengan datar, sampai akhirnya di pengungkapan terjadi hal sebaliknya. “Aku ingin mencari ayahku, meski alasannya adalah untuk mencoretnya dari daftar hal yang perlu kulakukan.” Sama, kurasa bakalan canggung, tapi malah mengalir natural saja. Kita hanya mengendalikan tindakan dan perkataan, pilihan yang kita ambil, kata-kata yang kita ucapkan.
Yang paling kusukai adalah bahasan ulas film. Bagus sekali, cara pandang ulas film bagus itu bagaimana. Jika kita memikirkan cerita yang paling kita sukai, itu pasti cerita yang penuh konflik. Dibahas banyak sekali. Fakta bahwa, Miller sudah pengalaman nonton. Fakta kekhawatiran adaptasi di awal sungguh mengada.
Beberapa kutipan tentang film laik dibagikan:
“Satu-satunya cara mengetahui kebenarannya adalah dengan menyaksikan karakter itu mengambil keputusan di bawah tekanan, mengambil tindakan apa dalam mengerjar cita-citanya.”
“Cerita terbuat dari putaran, kata Robert McKee. Begitu kita telah menentukan ambisi, putaran positif adalah kejadian yang menggerakkan tokoh protagonist mendekati ambisinya, sementara putaran negative menjauhkannya dari ambisinya.”
“Hanya supaya mereka dapat menyampaikan ucapan selamat tinggal kepada kami dengan cara mengorbankan sesuatu milik mereka, yang mengukir adegan itu ke dalam benak kami sehingga kami akan terus mengingatkannya hingga bertahun-tahun setelahnya. Film yang baik punya adegan yang layak dikenang, begitu pula hidup yang baik.”
“Hanya supaya mereka dapat menyampaikan ucapan selamat tinggal kepada kami dengan cara mengorbankan sesuatu milik mereka, yang mengukir adegan itu ke dalam benak kami sehingga kami akan terus mengingatnya hingga bertahun-tahun setelahnya. Film yang baik punya adegan yang layak dikenang, begitu pula hidup.”
“Alasan cerita menjadi semakin bagus saat ambisi semakin sulit adalah karena ada risiko yang semakin besar membuat pertanyaan ceritanya semakin menarik bagi penonton.”
Satu lagi yang menurutku bagus adalah, mengubah situasi buruk, menjadi bagus dengan positif respons. Artinya, kegiatan yang membosankan dan rutin, bisa menghasilkan tawa hanya dengan beberapa perubahan, dan respons bagus. “Keluarga Goff mengubah hari paling membosankan dalam setahun menjadi acara favorit masyarakat, sampai-sampai orang menandainya di kalender mereka, dan merencanakan liburan di sekitar hari tersebut.”
Dan harapan. Kembali lagi, semakin tak berharap semakin bahagia. Alasan orang Denmark begitu bahagia yaitu: mereka tidak punya harapan besar. Sampai-sampai anjingnya dijadikan patokan Aku berpikir betapa indah hidup seandainya kita bisa tenggelam sepenuhnya di dalam cerita kita. Lucy tidak membaca buku panduan hidup tentang cara menjadi anjing: dia hanya seekor anjing. Dia hanya ingin mengejar bebek dan tongkat dan hal lain yang membuatnya senang dan membuatku senang.
Kubaca santai selama bulan puasa kemarin. Dan lumayan menarik di bagian-bagian tengah dan akhir. Yang jelas, Miller mapan. Dan kemapanan itu membuatnya bisa melakukan banyak hal, bersepeda, naik gunung, jalan-jalan sama teman, dan yang utama salah satunya menulis. Mapan, nyaman. Jadi siapa bilang uang tak bisa membeli waktu luang?
“Manusia dirancang untuk mencari kenyamanan dan kemapanan, jadi, jika mendapatkan kenyamanan dan kemapanan, mereka cenderung mengubur diri mereka di sana, bahkan jika sesungguhnya kenyamanan mereka tidaklah senyaman itu.”
Perjalanan Melintasi Negeri untuk Menemukan Arti Kehidupan | by Donald Miller | Copyright 2009 | Judul asli A Million Miles in a Thousand Years | GM 204 01 11 0133 | Penerjemah Sisilia Kinanti | Pewajahan Isi Rahayu Lestari | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Jakarta, 2011 | ISBN 978-97922-7700-5 | Skor: 4/5
“Apa gunanya manusia?” jawabku sendiri adalah, “Memelihara”.
Lagi-lagi buku bagus non fiksi dari penulis besar, dan sungguh memuaskan. Saya selalu menyukai lingkup kehidupan para penulis. Proses kreatif, komentar-komentar tentang kehidupan sekitar, lingkungan teman dan saudara yang menyelimuti, hingga kumpulan ceramah. Nah, di sini ceramah mendominasi, kumpulan ceramah di tahun 1980an, dicampur esai lain, ditambahkan tulisan lain, sampai lampiran pendukung seperti Misa Latin hingga kutipan puisi yang memengaruhinya. Dikumpulkan, diketik ulang, diedit, dan ta-daa… jadilah kumpulan tulisan yang menjelaskan kehidupan Kurt Vennegut nan fantastis. “Aturan pertama bicara di muka umum adalah jangan pernah meminta maaf.”
Saya baru membaca dua buku Kurt (setiap saya nulis Kurt, berarti Kurt Vennegut Jr., sang penulis. Bukan ayahnya Vennegut Sr. atau saudara lainnya), kedua karya fiksinya war-biasa. Perjalanan nun Jauh ke Atas Sana yang tipis berisi dua cerpen, dan Gempa Waktu yang absurd abis. Jelas, Kurt adalah salah satu penulis eksentrik terbaik yang pernah ada, setidaknya menurutku dia aneh, out of the box, freak. Beruntung, saya mendapatkan buku ini, bundel diskon. Satu paket dengan buku Umberto Eco, Sastra Pencerahan lokal, hingga buku pemenang sayembara: Forgulas.
Jadi ini adalah kumpulan tulisan yang wajib koleksi bagi penggemar biografi sebab buku-buku penulis menulis tentang dirinya sendiri itu menarik, walau mayoritas adalah ceramahnya di kampus yang mengundangnya. Kita jadi tahu bahwa Kurt pernah terjun di medan perang, sampai ditawan; pernah cerai dan nikah lagi, keluarganya dalah keluarga berada, yang berarti bisa menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang tinggi di masa itu. Kurt Senior memiliki anak-anak mapan dan berbakat, mulanya Kurt diingin jadi arsitek, jabatan turun temurun keluarga, tapi Kurt malah jadi penulis, profesi arsitek diemban oleh saudara lain.
Menarik, sungguh menarik. Dari uneg-uneg ceramah, dengan pendengar para akademisi tentu saja, bisa semeriah ini, kata-kata meluap dan banyak mengandung ironi. Buku sejenis ini selalu menarik, rerata bagus sebab ditulis langsung dari pengalaman sendiri. Jadi bisa sejenis memoar, biografi yang ditulis diri sendiri. Beberapa contoh penulis yang sukses memukauku:
Sidney Sheldon dengan The Other Side of Me; Haruki Murakami dalam What I Talk About When I Talk About Running; Mahfud Ikhwan dalam Menumis itu Gampang, Menulis Tidak; hingga Milan Kundera di The Art of Novel. Di rakku banyak biografi, hanya sedikit tentang penulis. Nah, saya menemukan sisi lain kehidupan Kurt di sini. Jenius di kelasnya. Dan ia dengan satir bilang, “Anda tidak bisa menjadi penulis sastra serius yang baik jika Anda tidak depresi.”
Dengan nada bercanda di atas mimbar, beliau berujar, “Nasihat yang baik bagi seorang penulis muda yang ingin menghindari kefanaan barangkali adalah, “Berceramahlah.” Aku akan menambahkan peringatan ini, “Pastikan terdengar ramah bagi pembaca dan tidak terlalu serius ketika menulisnya.”” Untuk alasan apa pun, tulisan kuno yang masih menarik pada zamannya semuanya adalah ceramah.
Dicetak per bab dengan angka romawi, I sampai XXI plus lampiran. Buku ini layak dibaca berulang, say abaca 1,5x, artinya sebagian bab menarik saya lahap lagi setelah selesai baca. Kehidupan Kurt dari kecil di Indiana, bagaimana tumbuh dalam keluarga besar di tahun 1930an. Bagi mereka, seperti pula bagi anak-anak sekolah Indianapolis, sebagian besar daerah di dunia ini adalah antah-berantah. “Bahasa mereka satu tapi dari keturunan campuran, dan tak diragukan lagi memiliki beberapa kosa kata yang tidak akan pernah muncul dalam kamus mana pun, karena mereka sendiri yang menemukannya.”
Kurt juga pernah mengalami frustasi, dan hampir melakukan bunuh diri. Ibunya punya penyakit gila. Dan pengalaman ini manjadi pengingat akan penulis besar yang juga mengalami hal sama. “Kami merasa sangat berutang kepada Mark Twain dan kami adalah anak dari orang tua yang bunuh diri.”
Tentang definisi lakilaki bahagia tampak lucu dan ironis, mengutip kata Antropolog hebat Margaret Mead, “Kapan pria merasa paling bahagia? Ketika mereka mulai keluar berburu tanpa ada wanita atau anak.” Haha, jadi pria lebih butuh menyendiri menyalurkan hobi, sebab berburu bisa jadi memancing, bermain bola, atau pergi melihat-lihat rak buku. Tanpa diganggu urusan keluarga.
Masalah misa juga disinggung, banyak pula. Karena liriknya tampak kontradiksi. Misa: “Beri mereka istirahat yang kekal ya Tuhan, dan pada mereka biarkan cahaya abadi menyinari.” Anekdot satir, bahwa semua yang mati sekarang sedang mencoba untuk tidur dengan lampu menyala.
Pun, masalah pilihan jawaban bila ditanya motif. Mengutip kata Kin Hubbard, “Saya tidak pernah menemui seorang pun yang bersedia bekerja sekeras yang ia bisa, jika seseorang mengatakan bukan uang yang ia cari, maka yang ia maksud adalah uang.”
Sejarah Amerika yang gemerlap disinggung, betapa rasis dulu. Dan benarkah Amerika adalah pintu untuk membuka kemerdekaan bangsa-bangsa lain? “Betapa kita dulu merupakan suar bagi kemerdekaan bagi seluruh dunia, sementara mempertuan manusia dan memberlakukannya sebagaimana memperlakukan ternak diterima dengan sempurna di sini. Siapa bilang kita ini suar kemerdekaan sejak awal?”
Termasuk kritik tajamnya. “Itu adalah sebuah adegan yang diambil dari Heart of Darkness tulisan Joseph Conrad. Novel yang ditulis tahun 1902, bahwa orang kulit putih kelas atas adalah hewan yang paling tersebar di bumi, dan bahwa orang miskin dan orang kulit hitam adalah monyet tanpa ekor, belum didiskripsikan.”
Albert Schweitzer, seorang dokter, filsuf, musisi, “mestinya kita tidak membunuh organisme bahkan yang paling kecil dan paling hina, sebisa mungkin kita tidak melakukannya.” Menghadapi itu, ide ini tidak masuk akal, karena begitu banyak penyakit yang disebabkan oleh kuman. Sang dokter sendiri pasti sudah membunuh miliaran kuman. Jika tidak sebagian besar pasiennya sudah meninggal.
Kurt yang pernah ikut perang dan pernah ditahan di Jerman masa Perang Dunia II memiliki kenangan pahit bersama temannya Joe Crone dimakamkan di suatu tempat di Dresden. Maka olehnya, diubah di novel Slaughterhouse-Five, Kurt membuatnya pulang ke rumah untuk menjadi ahli kacamata kaya raya. See, fakta pahit digubang fiksi manis.
Joseph Goebbels membuat kita berpikir bahwa membunuh adalah aktivitas selazim mengikat tali sepatu? Yang diperlukan hanyalah sebuah industri TV swadukung, yang mana tak bisa menghasilkan cukup uang untuk bertahan hidup kecuali mendapat banyak penonton. Perang saat itu, di samping mungkin perlu dan pastinya menarik, juga merupakan tragedi, dan tak akan pernah bisa menjadi sebaliknya. Tapi sementara kita memusnahkan orang-orang Panama, yang kudengar dari puncak struktur kekuasaan kita adalah “asyik” dan “hore.”
Hanya seseorang yang sudah menyerah pada kekuatan akal untuk memperbaiki kehidupan di bumi, atau seorang tentara dalam pelatihan dasar yang dapat menerima perintah itu dengan senang hati: “berhenti berpikr” dan “patuhi”.
Judul bukunya diambil di bagian jelang akhir, dengan lantang berujar, “Mari kita bicara tentang nasib-nasib yang lebih buruk dari maut.” Halaman 181, bab XV. Isinya memang keras, hidup yang prihatin, salah satunya penulis favorit Kurt Ernest Hemingway yang bunuh diri, banyak disinggung. “Alam bisa menjadikan kehidupan kembali berjalan lagi. yang dibutuhkan adalah beberapa juta tahun atau lebih, yang setara dengan sekedipan mata bagi alam. Seperti Ernest Hemingway yang alami, dengan memberitakan bahwa segala sesuatu tentang perang itu menjijikan dan bodoh dan tak manusiawi.”
Diagungkan, dan dari penjelasan detailnya, memang layak. “Untuk sementara Hemingway se-mengesankan General Motors atau The New York Times. Coba pikirkan, seorang manusia entah bagaimana menjadi seagung institusi-institusi terkemuka. Pikirkan tentang Harriet Beecher Stowe. Terkadang seperti itulah kekuatan dari kata-kata yang dicetak.”
Dan begitulah, butuh kesabaran akut untuk menulis. Sebab menulis sebuah buku, di atas segalanya, adalah kegiatan yang lambat dan cermat. Tetap semangat para pemuda.
Yang Lebih Buruk dari Maut | by Kurt Vonnegut | Diterjemahkan dari Fates Worse than Death | Terbitan 1991, G.P. Putnam’s Sons | Penerjemah Prahastuti NAstiti Hadari | Editor Wawan Kurniawan | Pemeriksa Aksara Aris Rahman P. Putra | Tta Sampul Resoluzy | Tata isi ieka | Pracetak Kiki | Cetakan pertama, Juli 2020 | Penerbit Basabasi | 304 hlmn; 14 x 20 sm | ISBN 978-623-7290-87-2 | Skor: 5/5
“Ibumu koki yang pintar, itulah sebabnya sulit baginya untuk menghargai makanan lain yang enak…”
Setelah agak kurang di novel The Hundred Secret Sense, akhirnya Amy Tan kembali mengguncangku. Ini jelas sebagus The Joy Luck Club yang fonemenal itu. Kisahnya sangat panjang, seperti biasa, tapi yang ini begitu mengharu, megah, dan enak. Polanya bisa jadi mirip-mirip, kehidupan warga keturunan China di Amerika. Alurnya juga mirip, dengan pola mundur. Setelah kumpul keluarga, ada yang sakit, lalu rahasia-rahasia dibuka. Sang anak menjadi pendengar, masa lalu ibunya yang kelam. Kehidupan susah di China, masa perang melawan Jepang, dan bagaimana seorang istri pilot bermasalah ini mencoba melawan takdir.
Kisahnya sangat panjang, dan Tan memang pintar sekali berkata-kata. Narasinya berbelit hingga buku-bukunya tebal, kali ini menyentuh 725 halaman. Sangat melelahkan, tapi sepadan dengan kualitas. Menikmatinya seolah membaca biografi Tan, seorang anak keturan China yang tumbuh di Amerika. Seperti Pearl yang lahir di California oleh ibu seorang China Winnie, suami Amerika. Cerita dibalik bertemunya kedua orangtuanya inilah lika-liku panjangnya. Takdir mengantarnya hingga kini, dan Pearl lalu menemukan fakta pahit. Sejarah tak bisa diubah kawan. Persis seperti noda dalam hidupku. Aku tak pernah bisa menghilangkannya.
Jadi keluarga ini melakukan reuni, karena ada pesta pertunangan saudaranya. Saat berkumpul, bergosip, mereka baru tahu bawah sang nenek Du meninggal dunia. “Nenek Du meninggal di usia 97. Berita ini mengejutkanku. Kusangka ia sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu.” Usia panjang yang bahkan para cucu cicitnya tak sadar saat nenek masih hidup. Pemakaman dilakukan setelah pesta pertunangan.
Reuni dengan masakan melimpah itu lalu menjadi sendu saat ada yang bilang sakit keras. Mumpung masih ada waktu untuk mengungkap sesuatu. “Bukan begitu. Aku cuma tak ingin membuatnya khawatir.” / “Ini haknya untuk khawatir. Dia ibumu.”
Masakannya sendiri disajikan dengan kepul hangat dan sungguh terbaca lezat. “Ini kita panggil Dewa Dapur. Menurut pemikiranku, dia tidak terlalu penting. Tidak sama seperti Buddha, Kwan Im, Dewi Kemurahan – tidak setaraf itu, bahkan tidak setaraf Dewa Harta. Mungkin dia ini seperti seorang manajer gudang, penting, tapi masih banyak atasan di atasnya.”
Dan mau tak mau, masa lalu harus diungkap. Bibi Helen-lah yang mendesak Winnie. Sebab seorang anak harus tahu masa lalu yang sebenarnya. Pahit, tapi itulah kenyataan. Kebenaran itu diungkap dengan sangat berliku. bagian pertama adalah pengantar, di tahun 1990-an. Lalu bagian kedua adalah masa lalu ibunya. “Lalu aku akan mulai memberitahunya, bukan apa yang terjadi, tetapi mengapa itu terjadi, bahwa tak ada jalan lain.”
Masa sebelum Perang Dunia II, masa perang dengan Jepang, masa sulit sekadar untuk bertahan hidup. Jadi Winnie dengan sabar menjelaskan bagaimana sebenarnya ia memiliki kehidupan sebelumnya dengan suami lain, bukan suami Amerikanya. Suami China yang kejam. Bagaimana mereka bertemu-pun dituturkan dengan amat panjang dan dramatis. Bahwa jodoh memang tak ada yang tahu. Winnie bisa menikah dengan Wen Fu, karena faktor aneh. Drama pengganti, suami yang dipilihkan, keluarga Winnie sejatinya kaya, tapi ia adalah anak dari istri kesekian bapaknya, jadi memang poligami membuat fokus perhatian kepada anak tak tercurah penuh. Ia seolah sekadar ‘anak’ yang terpinggirkan. Padahal anak kandung, dan saat menikah, dibelikan banyak barang; perabot, emas, baju bagus, dst. Namun apes, suaminya ternyata jahat.
Wen Fu adalah gambaran suami biadap yang sesungguhnya. Pilot? Ya, tapi sejatinya ia ‘mencuri’ identitas. Pemabuk yang suka memukuli istri. Menclok sana-sini dengan perempuan lain, bahkan pernah dibawa pulang! Zaman itu sorang istri tak bisa seenaknya menceraikan pasangan, dan juga posisinya kalah dalan strata, manut saja. Sehingga keinginan pisah selalu gagal, surat cerai yang dibutuhkan tak muncul atau tak ditandatangani suaminya.
Punya beberapa anak, yang sedihnya meninggal. Mungkin karena zaman perang, tapi perlakuan buruk dan proses bertahan hidup yang sengsara jelas mempengaruhi. Betapa masa hamilnya sangat melelahkan melakukan perjalanan panjang ke gunung. Menghindari perang, kabur dari lokasi serangan Jepang. “Aku ingat akan suatu sore, saat kami duduk di dunia yang kecil itu. Kilat menyambar dan hukan jatuh, semakin cepat dan keras dengan setiap detik yang berlalu.”
Saat perang berakhir, penderitaan tidak. Suaminya masih saja semena-mena. Saat kembali ke kampung halaman untuk bertemu ayahnya, yang kini sakit keras, malah teraniaya. Zaman itu memang berat, beda ideology bisa mati seketika. Apesnya ayahnya yang masa jaya mendukung pemerintah, kini pementah runtuh, ganti idealogi sehingga berbalik ia tersudut. Menantuanya malah jahat dengan memanfaatkan uangnya, dan kekuasaan. “Selama tujuh tahun kami bertahan di Kunming. Selama delapan tahun aku bertahan dalam perkawinanku.”
Lika-liku itu berakhir saat Pearl bertemu dengan teman masa kecilnya. Peanut yang rebel abis, melawan tatanan, dan Pearl ikut berkonsultasi melawan keadaan. Ditambah seorang serdadu Amerika Jimmy Louise yang pernah mengajaknya berdansa meminangya. Cinta tanpa syarat. Pearl adalah istri orang, tak peduli. Pearl memiliki masa lalu kelam, tak peduli. Dan jalan itu terbuka, Pearl hanya berani mengambilnya tidak, melawan dengan sangat keras, memperjuangkan surat cerai demi terbang ke Amerika. “Aku gembira dan menangis karena dibebaskan. Aku juga marah pada saat bersamaan.”
Kita semua tahu, di pembuka Pearl tua sudah di Amerika, tapi proses menuju ke sananya sungguh-sungguh luar biasa. “Winnie dan matahari bangun bersama-sama.”
Kubaca sekitar dua bulan disela bacaan lain yang begitu padat, selesai pada Selasa, 9 April 2023 pukul 02:40 saat mau sahur saat jeda Lazio 1-1 Juventus (pertandingan berakhir 2-1). Alhamdulillah, beberapa buku Amy Tan sudah tersedia di rak. Ini adalah buku ketiga yang kubaca, masih ada dua buku lagi di rak, gegas kubaca agar bisa berburu buku Tan lainnya segera. Sayangnya cetakan ada dua jenis, yang lebar besar (3 buku), dan kecil padat (2 buku), jadi saat kupajang agak jomplang di rak. Hiks,
Istri Dewa Dapur lebih banyak berkutat tentang ingatan, tentang masa lalu. Apakah dengan disajikan masa lalu buruk itu Pearl dapat mengerti, apakah ia marah? Apakah ia malah makin sayang ibunya? Ataukah ia menjadi kalut mengetahui bahwa apa yang selama ini sebagai pijakannya, ternyata salah. Yang jelas, fakta-fakta itu takkan membuatnya biasa saja. Memang ada hikmahnya, dan itu secara umum berpesntase hikmah baik. Masa lalu, ah masa lalu… “Segala hal yang kausangka telah kaulupakan, tapi tak pernah kaulupakan, segala harapan yang masih bisa ditemukan.”
Istri Dewa Dapur | by Amy Tan | Judul asli The Kitchen God’s Wife | Copyright 1991 | First published by G.P. Putnam’s Sons | Alihbahasa Joyce K. Isa | GM 402 94.049 | Pertama kali diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama | Jakarta, Oktober 1994 | 752 hlm.; 18 cm | ISBN 979-605-049-8 | Skor: 5/5
Untuk Ibuku, Daisy Tan dan Kenanangan Bahagianya tentang Ayahku, John (1914-1968), dan Kakakku Peter (1950-1967). Dengan cinta dan Hormat
Karawang, 120423 – 110523 – 060623 – Coldplay – Death and All His Friend
“Aku tidak menerima tamu setelah jam sembilan, kau tahu itu. Banyak yang sudah berubah tapi yang satu ini tidak.” menyimpulkan
Raja sejati takkan berubah karena dikucilkan. Aku menjual kisah, bukan daun-daun teh, dan dalam soal keselamatan Dennis, biar kau sendiri yang menyimpulkan.
Separo pertama luar biasa, proses bagaimana sang calon raja tumbang, dan haknya diberikan kepada adiknya. Prosesnya memang jadi daya tarik, detail-detail sang penyihir jahat menempatkan kroco-nya di tampuk pimpinan. Pembunuhan ratu dengan sadis, pembunuhan raja dengan racun, difitnahkan ke si sulung, sampai akhirnya terpenjara. Separo lagi, lebih banyak perenungan. Bagaimana proses perebutan takhta, dilema boringdi puncak menara menyusun strategi, menyentuh lima tahun! Dan endingnya ketebak. Sayang sekali…
Judul aslinya The Napkins (Serbet). Lucu juga. Mungkin mengacu pada serbet yang diajarkan sang ibu kepada anaknya tentang tata krama ketika makan. Etiket turun temurun ini, menjadi penjelasakn kunci untuk proses pelarian. Jadi serbet tersebut dilepas, diurai kainnya menjadi kembali ke benang, dari benang, diuntai dengan mesin menjadi tali. Ya tali, yang akan jadi alat melarikan diri dari puncak menara. Tali itu menjulur ke bawah, sehingga sang pangeran bisa menapaki dinding. Membayangkannya saja ngeri, seolah rambut Rapunzel, dengan kekuatan tali meragukan. Ditambah, dari serbet yang satu per satu, berarti lama sekali menyulamnya. Ya, lima tahun! Luar biasa, sabar… “Baiklah! Sekarang, beritahu aku. Apa anjing menggunakan serbet?”
Dibawakan oleh seorang narrator, kisah digulirkan dengan sabar. Bahwa di Kerajaan Delain tersebutlah seorang raja yang sudah lama memimpin, walau tak korup, ia juga tak bijak-bijak amat. Usianya yang sudah menua, tapi masih melajang membuat khawatir, maka diusulkannya seorang mempelai perempuan. Sasha datang dengan kepolosan, cantik, pintar, dan menjanjikan keluarga yang baik. Dan benar saja, sang raja menghasilkan keturunan dua putra: Peter dan Thomas. Namun kelahiran sang bungsu memberi konsekuensi lainnya, sang ratu meninggal dunia saat proses persalinan. Kesedihan membuncah.
Sang raja memiliki penasihat, seorang penyihir Flagg yang rasanya hidup abadi. Sudah bertahun-tahun menjadi penasihat kerajaan, turun temurun dari berbagai generasi. Sebenarnya sudah banyak kerugiaan, tapi sang raja Roland sepertinya juga merasa takut. Dan lewat narrator akhirnya kita tahu banyak hal, bahwa Flagg adalah penyihir jahat yang menguasai kerajaan. Ia sudah berlaku buruk sebelum-sebelumnya, dan kini, di masa kini (setting novel ini), ia berniat jahat lagi. Melalui perjalanan ratusan halaman kita menjadi muak dan marah atas tindakannya.
Flagg adalah makhluk dibalik kematian sang ratu. Dengan muslihatnya, membantu sang bidan demi utang budi, sang bidan melakukan kejahatan. Flagg yang tak suka pada sang pewaris takhta, Peter, lalu merancang kejahatan parah. Ia membunuh sang raja dengan racun, mencipta scenario bahwa pelakunya adalah Peter. Dengan detail mengagumkan, dengan dalih Peter remaja yang tak sabar naik takhta, dan alibi memuakkan lainnya. Raja Roland tewas, tersangka diarahkan ke Peter dan berhasil, dengan dakwaan berat itulah Peter sang putra mahkota akhirnya dihukum penjara seumur hidup. Kejadian-kejadian berat dalam peralihan kekuasaan ini mengguncang keadaan. Cukup besar untuk mengguncang kerajaan sampai ke seluruh pondasinya. Dikurung di menara Kegelapan.
Peter sering kali dihantui mimpi buruk. Prihatin dalam kurungan, menyusun strategi dengan berbagai siasat. Dan yang utama adalah tetap bertahan hidup. Setiap malam kala kegalauan akut menempa, ia didera takut. Ia hanya punya gambaran, dan gambarannya selalu salah. Lalu berusaha memutuskan apa yang harus dilakukannya. Lambat laun pikirannya memang jadi jernih, namun selama beberapa waktu ia merasa sangat tersesat. Ia melakukan lebih dari sekadar berdoa, ia berbicara pada diri sendiri, mendengarkan diri sendiri, bertanya-tanya apa ada jalan keluar dari penjara di langit tempat ia terkurung rapat. Ada banyak hal yang dipikirkannya, dan ia berbaring terjaga sampai jauh malam.
Separo akhir buku adalah proses bagaimana sang sulung mengklaim takhtanya, haknya sebagai raja. Si bungsu Thomas yang masih kecil naik takhta, ia sejatinya tak suka birokrasi. Hobinya berburu, khas ayahnya yang juga suka petualang. Takdir memaksanya naik takhta. Dan benar saja, tak ada passion di sana, ia memerintah dengan lalim, yang sejatinya dikontrol oleh Flagg. Terutama kenaikan pajak yang memberatkan rakyat, kebijakan-kebijakan tak populer yang malah membuatnya dibenci rakyatnya sendiri.
Sementara sahabat Peter, Ben yang tersingkir, membentuk kekuatan untuk membebeskan sahabatnya. Kurasa persahabatan sejati selalu membuat hati kita dipenuhi rasa terima kasih yang mengharukan, karena dunia ini hampir selalu tampak bagai gurun cadas, bunga-bunga yang tumbuh di sana seakan tumbuh melawan begitu banyak hal yang menentangnya.
Peter sendiri menyulam benang dari serbet yang disajikan bersama makanan yang diantar. Drama proses itu memakan waktu lama, dan berbelit. Flagg yang jahat merajalela, menyengsarakan rakyat.
Pertanyaan umumnya terlalu mudah ditebak, berhasilkah kekuasaan itu diambil alih Peter? Pertanyaan besarnya seberapa seru proses pertarungan perebutan takhta ini? Kutat tarung persaudaraan demi kursi raja. Dan dimanakah letak mata naga yang diambil jadi judul kisah ini? Niner mata naga dalam legenda naga yang dibunuh.
Novel kubaca mulai 7 April 2023 pukul 03:00 waktu sahur. Dan selesai baca 19 April 2023 pukul 04:00 waktu sahur (bersiap mudik KAI). Sebenarnya sudah kubaca cepat, dua hari hampir selesai. Setelah itu kuletakkan lagi, ketebak bakalan happy ending, sehingga sempat malesi, dan di dini hari itu, hanya menamatkan saja, dan ternyata benar. Hanya seperti itu akhirnya.
King terkenal dengan cerita-cerita seram, horror memang sudah jadi trade mark-nya. Banyak, banyak sekali bukunya yang sudah diadaptasi ke film. Baik serial tv atau layar lebar. Sejatinya, karya King yang non-horror juga banyak. Dan fantasi, genre remaja yang melalangbuana imaji, termasuk yang jarang (kudapati). Setelah ku googling, ternyata ini adalah sempalan cerita The Dark Tower. Ada dua seri, seri kedua sudah punya, tapi tak mungkin kan kubaca langsung kedua?
King tetap memiki aura untuk dilahap, dan ini hanya tahap melewati. Di rak ada beberapa buku lainnya. Semoga selalu bisa terapung di pusaran naga-naga King.
Mata Naga | by Stephen King | Copyright 1987 | Illustration copyright David POalladini, 1987 | Judul asli The Eyes of the Dragon | GM 40201120062 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Alih bahasa Rosemary Kesauly | Desain sampul Ratu Lakhsmita Indira | Jakarta, Mei 2012 | 472 hlm; 20 cm | ISBN 978-979-22-8532-1 | Skor: 4.5/5
Kisah ini untuk sahabatku Ben Straub, dan untuk putriku, Naomi King
Karawang, 050523 – 050623 – Sherina Munaf – Singing Pixie
“Jangan takut pada kemarau, karena sebentar lagi akan berlalu. Takutlah kepada-Ny karena Dia akan hadir selalu.”
Sebuah buku yang sederhana, amat sederhana. Settingnya yang satu tempat, kampung yang kekeringan. Karakter yang sederhana, warganya yang kesulitan air, sebagian besar akhirnya hijrah. Konfliks yang juga sederhana, salah seorang yang memutuskan tinggal, meyakini hujan akan turun, bertahan di kekeringan, dia yang memilih jalan berbeda, merindu kekasihnya yang ikut hijrah, berpindah tempat tersebut. Konfliks minimalis itu, tentang kesetiaan. Apakah kekasihnya yang ikut keluarga dan warga itu tetap setia, badai akan berlalu dan ia berhasil dalam pelukan? Atau dalam perjalanannya ada lelaki lain yang berhasil merebutnya? Dah, hanya itu. Narasinya juga sederhana, tak ndakik-ngakik, tak banyak unsur puitis, ngalir saja, khas buku-buku umum, yang ndelujur nyaman. Sayangnya, endingnya juga sungguh-sungguh sederhana. Ketebak, dan yah ketika berakhir, berujar, “gitu doing”. Buku tipis yang dilahap gegas, jenis novella yang malah mendekati semacam cerita pendek (cerpen) yang sedikit dipanjangkan.
Halamannya hanya 62, sudah termasuk daftar isi dan biografi penulis, seorang pengajar yang sudah beberapa kali menulis buku, lebih banyak untuk buku sekolah, dan beberapa kali menterjemahkan. Ini buku peserta Lomba Penulisan Cerita Keagamaan Tahun 2001, Puslitbang Pendidikan Agaman dan Keagamaan Departemen Agama RI. Hhmmm… pantas, banyak selipan tentang kesadaran akan esksitensi Tuhan, rasa syukur akan anugerah hidup, hingga perjuangan bahwa Tuhan bersama orang-orang yang sabar. Pas, sesuai dengan kriteria yang dilombakan.
Kisahnya di sebuah desa yang gersang, sudah hampir tiga tahun tak turun hujan. Maka setelah rembug desa, diputuskan meninggalkan desa, mereka berbondong-bondong pergi ke Selatan. Adalah pemuda aneh, Tarjo yang bertahan. Ia memiliki keyakinan, hujan akan turun. Padahal kondisi saat itu sudah kritis, air danau mongering, sungai tak mengalir, ladang tak tumbuh sayur atau buah untuk dikonsumsi. Keputusan yang menjadikannya penjaga kampung. Ia bertahan hidup ditemani dua binatang kesayangan Si Belang dan Si Hitam. “Bersama segala pengharapan dan doaku. Rukiah kekasihku semoga baik-baik saja.”
Bumbu konfliks disajikan, kekasihnya Rukiah ikut serta keluarganya hijrah. Mereka sejatinya saling mencintai dan janji setia, tapi waktu adalah pusaka paling keramat sebagai pembuktian. Bukankah harga seorang wanita adalah kesetiaan dan keteguhannya kepada janjinya. Dengan kesetiaan dan keteguhan itulah seorang wanita justru akan terlihat dan tampil lebih cantik dan mempesona. Tarjo diceritakan introvert, tak banyak omong, tak banyak protes, sering melamun, sering memandangi bulan, merasakan angin. “Sang mentari menebar senyum merah merona bercampur tembaga terlihat begitu indah diapit bibir bukit, suasana hening dibauri bebunyian gemerisik daun-daun kering tertiup angin mendesirkan sajian simponi alam yang begitu merdu di telinga Tarjo.” (halaman 4).
Arak-arakan itu dipimpin oleh Pak Parman sebagai kepala desa, di pagi buta di balai desa atau di rumah Pak Parman, mereka berkumpul dan akhirnya berangkat, tak kurang dari enam puluh orang. Membawa apa yang bisa dibawa, apa yang bisa dimakan, apa yang bisa dimanfaatkan. Dari sapi, ayam, sayur, sisa-sisa makanan, peralatan berkebun, dst. Tenda, kambing, pokoknya yang bisa digunakn dalam perjalanan. Tarjo yang tinggal sendirian, kini tinggal milih mau tidur di aman terserah. “Mendapatkan hibah dua puluh dua rumah, hanya tinggal memilih mana-mana yang disukai.”
Tersebutlah satu warga meninggal dunia di tenda darurat, lalu dikuburkan di situ. Melanjutkan perjalanan, ada yang meninggal lagi, dan seterusnya. Siapa yng berhasil bertahan? Di sini kekuatan tubuh dalam adaptasi pada alam dipertaruhkan.
Hingga akhirnya hujan kembali menyapa, maka berbondong-bondong mereka balik. Namun sang kekasih Rukiah tak kelihatan, ada apa? Ternyata rombongan terpecah, Rukiah masuk ke gelombang belakang. Mendekati akhir, terjadi masalah yang malah paling pelik di sini. Jadi kedua orang tua Rukiah dulu menjodohkannya dengan Pemuda kaya, Rustam. Kaya, sebagaimana umumnya, juga dekil dalam perilaku. Ia pemuda jahat, keingingan memiliki Rukiah membuncah, bahkan penolakan yang nyata-nyata disampaikan Rukiah, tak bisa diterima. Rustam lalu merancang rencana jahat memperkosanya sebelum mereka balik ke desa. Sementara sang kekasih Tarjo menanti dengan dag-dig-dug, apakah pujaan hati itu kembali dalam pelukannya? Atau segalanya ambyar?
Konsepnya sebenarnya bagus, selalu ingat pada Gusti Allah. Yang harus kita sembah, kita puja, kita takuti, percaya pada-Nya di mana saja, kapan saja. Ditampilkan dengan mistik membantu masa-masa sulit. Muncul dalam mimpi Tarjo, bertemu orangtuanya. Muncul di masa kritis, ketika warga meninggal, meminta izin dikuburkan di area sepi. Tuhan, penguasa semesta alam itu menjadi pegangan.
Buku pegangan sekolah yang biasanya ditaruh di perpusatakaan sekolah, sulit bersaing di pasar umum. Lomba untuk para pengajar dengan nilai moral dimasukkan ke dalam cerita. Sah saja, memang untuk konsumsi pelajar. Niatnya baik, caranya baik, hanya kisahnya yang kurang Ok. Sederhana, dan mungkin setahun lagi juga terlupakan ksaih heroic Tarjo yang tak melakukan apa-apa, tak ke mana-mana. Diam adalah tindakan bijak.
Cinta di Ranting Kemarau | by T Sulaiman | Penerbit Nuansa Cendekia | Ilustrasi Suparman | Layout Muis | Cetakan pertama, Agustus 2002 | ISBN 979-9481-52-x | Skor: 2.5/5
“Saat-saat jualan online itu gue bisa ngobrol dan ketemu orang dewasa lain, sesederhana itu aja rasanya udah bikin waras lagi ngurus rumah.” – Sebungkus Cireng di Status WhatsApp
Menyesuaikan zaman, kreativitas juga dituntut dalam dunia penerbitan. Dengan bujet minimalis, buku ini sejatinya sudah memberi banyak ‘bonus’. Surat, stiker, pembatas, bahkan kalau jeli, daftar isi dicetak dengan pola tak lazim. Tak seperti umumnya yang berderet bab lalu titik-titik, halaman. Di sini halaman ditaruh di atas, baru dibawahnya nama bab. Oiya, jangan lupa tanda tangan asli sang penulis, ‘Selamat membaca 23.03.23’ tertera pula di halaman depan. Hebat kan, makanya mending minimalis cetak tapi kreatif seperti ini ketimbang, misal cover blink-blik yang membuat harga buku ikut mahal sampai kertas hvs yang memang cerah, tapi tetap isi yang utama. Saya punya buku, cover-nya dicetak gemerlap, isinya meh.
Sebagian besar buku yang disebut di sini sudah kubaca. Sebagian besar kejadian di sini mengalami sendiri. Sebagian besarnya lagi bahkan sama persis. Jadi kalau mau dibilang relate, bisa jadi, tapi saking relate-nya bukankah malah jadi umum? Untungnya dibawakan dengan fun, dan bagus. Kita ambil contoh beberapa kejadian. Juned yang masih lajang mengeluhkan Work From Home (WFH) yang tak mengenal waktu, sampai-sampai dibulang WTF. Curhat hingga jelang tengah malam itu ditutup dengan kejutan, si Jun ini salah kirim makiannya ke bosnya. Ya, saya pernah mengalaminya, tapi doeloe zaman SMS, dan masih muda. Semakin tua, kita jadi bijak dan bisa merekam amarah nan emosi, jadi ya wajar sekali.
Atau, kejadian numpang parkir. Semua orang, atau jangan bilang semua deh, mayoritas pasti mengalami warga perumahan. Di mana, ada saja warga yang suka parkir mobil sembarangan yang bikin marah tuan rumah, ya, kalau sesekali sih wajar, tapi kalau rutin mengganggu, jelas ada yang tak wajar. Bikin jengkel. See, mau zaman batu atau smartphone kelakuan manusia aneh selalu ada.
Atau, buku-buku self-help. Poinnya sama, kita pernah mengalami era di mana membaca buku non fiksi berisi nasihat, walaupun sempat membuatkua muak juga, mudah diomong, sulit dilakukan. Kalau Mbak Andina menyebut bukunya Sean Covey sebagai permulaan, saya menyebut Bicara Dapat Mengubah Hidup Anda karya Dorothy Sornoff, buku lungsuran dari kakak. Rasanya memang ada aura positif yang ditebar saat membacanya, tapi kalau dipikr ulang memang, itu hanya panduan, semua kembali kepada pribadi masing-masing, dan utamanya niat yang kuat. Well, sampai sekarang saya masih membacainya kok. Termasuk tulisan blogger: Mark Manson yang booming lima enam tahun terakhir.
Atau, pemainan anak kecil yang unik di mana logika dasar orang dewasa belum masuk. Semisal kejar-kejaran dengan berperan polisi-maling, atau kalau saya dulu menyebutnya polisi-bandit. Yang ekstrem, pindah agamapun sangat lazim. Bahkan di usia dewasa ini, di kantor masih jadi ‘joke’, dengan menyebut dua kalimat sakral itu, sampai jodoh di tangan comblang teman dengan pindah agama. Dan selama itu di lingkungan sekitar, akrab, dan saling memahami, sah saja. Akan jadi ledakan kalau di-sher ke sosmed, yang kini rasanya sensitive menjurus ke memuakkan.
Atau, ini yang sedikit ga enak. F4, di zaman itu penyewaan VCD menjamur, dan jadi hit rambut bonding. Banyak (sekali) temanku yang utama, pertama kali kerja di tanah rantau, punya uang melimpah (bagi lajang gaji UMR pun) pada meluruskan rambut. Lebaran mudik, penuh gaya, wajah baru. Saya sendiri sekadar tahu waktu itu, saya tak sampai ikut-ikutan, sudah sejak sekolah, eman-eman uang, mending beli buku. Nah, detail sinetron-nya yang saya lupa. Sampai-sampai adegan tampar, dan memojokkan yang kini tampak negative itu. Saya lupa, mungkin karena hanya sesekali saja ikut nontonnya, atau tak fanatik. Justru saya fanatiknya musik Westlife yang di puncak ketenaran.
Atau, anak kecil dapat ‘fitrah’. Lucu juga Nina, nanti tiga empat tahun lagi, Mbak Andina bakal merasakan, anak kecil yang tumbuh sudah pintar nyimpan uang. ‘Nitip’ ke Bundanya, lalu mengingatkan itu uangnya. Untuk beli ini itu, untuk ditabung belanja ini itu. Hermione, di masa itu. Di mana, uang fitrahnya, bahkan sudah menyentuh dua digit, ditabung bertahun-tahun sejak lebaran kapan tahun. Walau sejujurnya, sering kali ‘dipinjam’ untuk kebutuhan sehari-hari, anak akan selalu ingat berapa tabungannya.
Atau, yang ini. Baru kutahu bahwa penulis Sherman Alexie (favoritnya Yusi Avianto Pareanom) ternyata pernah melakukan pelecehan seksual. Saya suka banget buku Adu Jotos Lone Ranger, polanya aneh dan acak, dan saya tentu saja menyelesiakan baca sebab sudah kuulas di blog ini juga. Tidak, saya tidak akan menyoroti kasus pelecehannya, saya justru tertarik kehidupan artis atau seniman, atau di sini berarti penulis. Mungkin kerena saya membatasi berita, termasuk banjir informasi di sosmed baik yang berbobot hingga yang receh, jadi tindakan kriminal Sherman ini baru kutahu. Saya lebih suka sama buku fisik, menjauhkan HP saat membacainya, paling HP dijadikan player Mp3, dengan speaker Bluetooth. Jadi kabar ini sungguh mengejutkanku. Saya lebih menyukai baca biografi, makin snob makin bagus. Ada setumpuk buku biografi yang antri, yang bahkan kalau saya sebut separonya, pembaca blog ini pasti tak kenal. Yah, sortir diri dari berita di era banjir informasi itu perlu. Sebab, sampah berita macam wanita hamil akibat renang itu benar-benar dibahas dan kupas. Akan jadi catatan sejarah, hal-hal sejenis itu. Namun, saya akan tenggelam dalam kesenyapan.
Atau, sebuah obituari bagus untuk mahasiswanya. Sebuah dedikasi tulisan sederhana yang mengingatkan kita, kematian begitu dekat, dan tak mengenal waktu. Saya suka kalimat, “Saya tidak ingin menjadikan catatan ini sebagai pengingat bahwa kita semua akan mati. Truism usang semacam itu tidak ada gunanya untuk ditulis…” (hal 114). Betul sekali, saya sampai muak membacai cerita amatir sejenis itu, sudah ratusan buku filsafat kulahap, dan tiap muncul kalimat sejenis itu, rasanya gmana ya. Tampak annoy saja mencerita keniscayaan. Makanya, pembuka bab ini kurasa sangat pas. Dan karena saya sudah membaca Filosofi Teras (sudah dapat separo lebih, tak kutuntaskan), sang penulis sekadar mencopy filsafat Stoisisme. Di sini, lebih nyaman sebab hanya dinulis. RIP Roykhan.
Atau, fakta bahwa istriku May yang jualan barang dan makanan di status WA. Alamak, tampak annoying kalau dilihat dasarnya saja, tapi begitulah fakta bu-ibu komplek. Yang mengherankanku, jualannya laku saja. Setahuku, sistemnya saling jual-beli. Artinya, istriku reseller baju dan panci, maka May gantian beli cireng ke ibu yang beli panci, atau beli ayam geprek ke yang membeli baju anak. Jadi diputar dan saling silang, itu sungguh-sungguh mengesalkan, awalnya sampai ku bisukan status WA. Lalu pandemic datang, dan malah jadi kewajaran, lalu keharusan, dan akhirnya malah jadi bisnis menguntungkan. Ampun deh, dunia berputar dengan anehnya. May jualan buat iseng, malah kini menemukan sirkel bu ibu pengajian, arisan, sampai bisnis makanan. Yo wes, lah yang berjalan biarlah berjalan.
Mulai kubaca bulan April sebelum lebaran, terjadi jeda lama sebab setelah lebaran kucari bukunya tak ketemu. Ternyata nyelip di rak bukunya Hermione, dan baru ketemu kemarin. Langsung kutuntaskan kemarin libur Pancasila 01.06.23, di sore yang panas. Sebagian sudah kubaca di Kumparan +. Makanya klik dan cepat saja. Sejujurnya, menulis non fiksi itu lebih bagus memakai keakuan. Di mana penulis terlibat, mengambil sudut pandang orang pertama, menyatakan ‘saya gini’, ‘saya rasa’, dst. Dengan begitu, apa yang diceritakan adalah pengalaman sendiri. Seperti Cak Mahfud, hampir semua tulisan non fiksinya memakai pola nyaman ini. Seperti misal, final AFF vs Malaysia yang didramatisir, nonton sama temannya Darmanto Simaepa itu. Itu malah jadi keistimewaan, pengalaman pribadi dengan latar sejarah. Nah, Menua juga sama, latar sejarah yang disaji, tentu lebih banyak wabah korona, zaman Twitter, keluh kesah warga di era WA, sampai ehemmm… timbunan penumpang KRL, yang dua puluh tahun lalu belum ada. Dan mungkin dua puluh tahun lagi saat dibaca generasi anak cucu kita bakalan lucu. Oiya, saya sedang membaca bukunya Myra Sidharta yang berjudul Seribu Senyum dan Setetes Air Mata yang disinggung di sini sebagai rujukan nulis. Di buku tersebut, tampak lucu (cenderung aneh), tak ada HP, semua permasalahan diselesaikan tatap muka! Itulah yang terjadi zaman dulu, yakinlah, nantinya generasi setelah kita akan mengerutkan kening melihat polah kita yang memusingkan balasan WA, kenapa centang biru dimatikan bikin ribut, atau war twitter yang menguras emosi. Zaman bergerak dengan anehnya.
Begitulah, saya tutup saja catatan ini. Kalau tak gegas kututup, bisa curhat lima ribu kata. Ada meeting malam ini via zoom juga, bayangkan. Pulang kerja, sampai rumah, buka laptop lagi, zoom! Emang WTF sih teknologi, ada benarnya di Juned tuh.
Menua dengan Gembira | by Andina Dwifatma | Copyright 2023 | Penyunting Ipank Pamungkas | Penyelaras akhir Dipa Samaran | Tata letak S. Makruf | Ilustrasi Sampul Nadya Noor | Cetakan I, 2023 | ISBN 978-602-7760-70-7 | x + 142 hlm.; 13 x 19 cm | Penerbit Shira Media | Skor: 4/5
Karawang, 030623 – Linkin Park – 06 Plc 4 Mie Head
“Hari ini pas setahun aku gabung di sana, Bu. Aku ingin bawa kue untuk konsumsi. Hitung-hitung merayakan.”
Waktu memang mendewasakan. Waktu memang membuat orang berubah. Ini adalah buku dengan 11 kisah dalam karya gabungan antara buku dan musik. Sebelum kubaca, saya sudah mendengarkannya lagu-lagunya. Lalu menjadi teman baca, lalu sekadar musik pengiring. Liriknya memiliki kekuatan naratif hingga bisa dibentuk menjadi cerita pendek. Idenya sih ok. Lirik lagu dicetak setelah judul-judul tiap bab. Sebagai panduan nyanyi, di zaman itu tak semudah sekarang memang mencari lirik.
Judulnya eksotik. Rectoverso, pengistilahan untuk dua citra yang seolah terpisah tapi sesungguhnya satu kesatuan. Pemilihan jumlah judul juga filosofis. 11:11 dikenal sebagai angka yang mewakili kehadiran alam spiritual yang bersandingan dengan alam material. Sungguh mencoba nyeni, nyastra, sehingga mencipta takjub, bagi mereka yang haus hiburan. Musiknya juga tak umum, tak seperti dangdut misalkan, yang gegap dan memeluk masyarakat urban, di sini orchestra. Sah-sah saja, yang utama tetap saja kualitas, mau jenis apapun. Maka nasihatnya sungguh bijak, “Dengarkan kisahnya, baca musiknya. Selami ilustrasinya.”
#1. Curhat buat Sahabat
Sahabat itu ada kelasnya, ada tingkatannya. Ada yang sekadar teman ngobrol ngalor ngidul, ada yang intens ngumpul ngopi (di sini lebih berkelas, atau bisa disebut orang-orang kaya di kafe/bar dengan anggur putih), sampai tingkatan yang luar biasa erat, siap datang kapan saja, terutama saat sakit.
“Demi penantian yang baru! Yang tidak muluku-muluk! Cheers!”
#2. Malaikat Juga Tahu
Ini lebih terkenal lagunya, mungkin karena jadi hit single sehingga sudah melekat jauh hari. Tentang persaingan sulung dan bungu, tentang cinta kepada bunda, single parent dalam membesarkan. Saat si sulung mengalami keterbelakangan mental, si bungsu harus memaklumi bahwa cintanya terbagi.
Tidak perlu ada kompetisi di sini. ia, dan juga malaikat, tahu siapa juaranya.3. Selamat Ulang Tahun
#3. Selamat Ulang Tahun
Sederhana, hanya dua halaman, itupun tak penuh. 14 Februari jam 00:00 obsesi ucapan ulang tahun sampai di akurasi menitnya. Dan kemalangan apa yang menimpa sehingga tak bisa mengucapkannya.
Aku sedang menebak-neka, kira-kira prosesi apa yang tengah kamu siapakan.4. Aku Ada
#4. Aku Ada
Narasinya mencoba puitis, dengan debur ombak menerjang kata-kata. Pasir pantai bertaburan, dan pelukan erat suasana sejuk laut yang dibalut senja.
“Kirana”5. Hanya Isyarat
#5. Hanya Isyarat
Kisah-kisah dalam pusaran curhat, siapa yang terbaik? Penyampaian truth, masa lalu fakta disampaikan. Perkumpulan di kafe dengan bir membuncah. Emang beda kelas saja kalian, ngumpul di warung dengan kopi sachet lima ribu. Ini kelas elit, sampai telaah bagian ayam mana yang paling enak? Punggung? Pernahkah kalian beli ayam di kentaki kw dengan bilang, bagian punggung? Oh tidak pernah, tentu saja. Umumnya, dada, paha atas, paha bawah, sayap. Ini punggung? Alamak.
“Sahabat saya itu adalah irang yang berbahagia. ia menikmati punggung ayam tanoa tahu ada bagian lain…”6. Peluk
#6. Peluk
Hati adalah air, aku lantas menyimpulkan. Bisakah manusia berjaka dengan dirinya sendiri? Pasangan yang sudah bertahun-tahun menikah saja masih bisa berjarak kemudian saat waktu melahapnya. Enam tahun yang sia-sia? Dan akhirnya pelukan.
“… kamu sendirian, aku sendirian. Buat apa? Kenapa kita tidak berdua lagi saja?”#7. Grow a Day Older
#7. Grow a Day Older
–
#8. Cicak di Dinding
Ini lukisan, dan seni menciptanya dalam kesunyian. Cicak di dinding menjadi saksi. Dan sosok perempuan yang ada, mematung, lalu ditinggalkan sendiri di ruangan, lelakinya pegi. Ah, seni.
“Kutitipkan mereka untuk menjaga kamu… mengagumi kamu.”9. Firasat
#9. Firasat
Ini yang terbaik. Klub firasat, sebuah perkumpulan orang-orang yang punya indera keenam. Si Aku bergabung, dan lebih sering menjadi pendengar. Sementara sang ketua menjadi pemandu diskusi. Kalau kita sudah tahu, atau setidaknya punya firasat masa depan, lantas ngapain? Toh tetap tak bisa mencegahnya. Maka sang aku yang tahu bakal terjadi sesuatu yang buruk, dan diutarkan. Tetap tak bisa mencegah, relakan, seperti angin yang berhembus, biarkan tetap berlalu apa adanya.
“Untuk apa seseorang tahu sesuatu kalau memang tidak ada yang bisa diubah?”10. Tidur
#10. Tidur
Perjalanan, pulang, dan keterasingan. Ini jelas orang penting dengan jadwal kerja padat. Dua tahun pergi, kini kembali. Taksi dari bandara dengan entengnya dibayar uang segenggam penuh, disewa untuk jalan-jalan entah ke mana, asal melihat pantai, baru deh pulang. Gelap, semua terlelap.
“Kamu yakin bakal baik-baik saja?”#11. Back to Heaven’s Light
#11. Back to Heaven’s Light
–
Mari kita kupas sesingktanya. Dulu pernah baca, pinjam teman di tahun 2008. Rasanya masih terasa Ok, beberapa bahkan tetap menancap di pikiran, firasat salah satunya. Maka pengen kuulas dan baca lagi. Sempat kubaca cepat awal tahun, kok tidak menemukan feel-nya lalu tergeletak di rak. Kubaca ulang keseluruhan kemarin, 28.05.23 dalam sekali duduk. Pulang kerja, dari 18:15 – 19:15 di Perpus kecil keluarga, dan ternyata tetap tak menemukan feel-nya.
Ya, ini buku untuk orang kaya. Atau minimal kalangan menengah ke atas. Tak bisa ‘in’ bagi jelata. Masalah ngumpul saja, sudah beda. Orang awam ngopi murah di warung, atau ngumpul di rumah sesederhana mungkin. Di sini bar, dengan alcohol melimpah. Termasuk keuangan, dengan mudah karakter ‘buang’ uang, sementara jelata menggenggam erat. Atau dengan gaya, enggres. Ada dua cerpen dengan penulisan full English.
Sebenarnya sah saja bikin cerita kaya, muda, hedon, tapi tetap harus relevan. Nyaman. Rectoverso, kubaca ulang dan gagal. Dan ini untuk kesekian kalinya Dee mengecewakan. Kesatria, Kopi, dan ini. Hufh… koleksi di rak komplit nih. Agak pesimis melahapnya.
Rectoverso | by Dee / Dewi Lestari | 2008 | Editor HErmawan Aksan, Daniel Ziv | Foto Dee M. Bayu Nasrullah, @eyesonly | Konsep desain dan Eksekusi NGL Studio | Foto & riset foto Dadan Hidayat, Deni Rahadian, Santana AWP “Sansan”, Fahmi Ilmansyah | Drawing Jajang Jino | Dsign Director Fahmi Ilmansyah | Digital Imaging Mh Adi “Benjo” Rustiadi, Komay | Kontributor Mufti “Amenk” Priyanka, Handono Chen, Wahyu Permana, Ivandra Witnardo, Wildan “Umed” Kamal | Penerbit Goodfaith | September 2008 | Cetakan II: Oktober 2008 | ISBN 978-979-96257-4-8 | Skor: 2.5/5
“Aku akan menemukan Goyl Giok itu tanpa ngengat-ngengatmu. Kalau orang itu benar-benar ada dan bukan hanya mimpi.” – Hentzau
Buku Funke lagi, dan kali ini kusikat cepat. Novel fantasi takkan pernah hilang dari peredaranku. Akan selalu ada di hati, tak hanya sesekali, tapi akan selalu ada, bisa dua tiga bukan muncul dalam ulasan. Kali ini sebagai pembuka.
Dikisahkan seorang remaja kehilangan ayahnya (ingat Ink heart!), ia merindukannya. Hilang di balik cermin. Jacob Reckless yang pernah memasukinya dulu waktu masih kecil, kini berencana kembali masuk, setelah adiknya Will yang terluka akibat digigit makhluk berbatu bernama Goyl. Will akan menjadi sepenuhnya batu giok kalau tak segera diselamatkan. Padahal selama ini tak pernah ada yang bisa. “Ia benar-benar membutuhkan tidur, tapi bahkan Rubah pun tidak mampu meyakinkannya untuk istirahat lebih lama, dan Clara harus mengakui bahwa ia gembira bisa meninggalkan kastel tempat orang-orang mati itu tidur.”
Jacob masuk bersama adiknya, dan kekasih adiknya Clara yang begitu mencinta. Bersama pula makhluk bisa berwujud rubah, dan bisa menjadi manusia batu. Menemani petualangan ke kerajaan goik. Yang saat ini akan melakukan perayaan penikahan. Pernikahan kekaisaran tetap menjadi alasan yang tepat untuk bersorak-sorai dan memimpikan masa depan yang lebih baik. Dinarasikan dengan ciamik, “Tak lama kemudian Jacob berbalik memunggungi danau. Kuda-kuda menyusup menembus ranting-ranting semak dan tenaman pakis-lakisan. Di atas kepala mereka, dedaunan mulai berubah warna lagi menjadi kuning. Angin sejuk berembus di sela-sela dahan pohon, dan di balik pepohonan, Clara bisa melihat lembah tempat para Unicorn merumput.”
Jacob meminta bantuan sahabat lamanya, pedagang yang selalu menghitung segalanya dengan uang dan keuntungan, Si Kerdil Valiant. Semacam sidekick, cerewet, unik, sangat membantu sekaligus mengesalkan. Bukankah kita semua membutuhkan karakter sejnis ini? Petualangan perjalanan ini, nantinya malah jadi semacam nostalgia juga, sebab Jacob menemui kekasihnya yang seorang Peri dan juga musuhnya ternayat adalah saudara pacarnya! “…Dengar-dengar, para Peri memang kadang-kadang membawa kekasih mereka kembali dari kematian, tapi ternyata mereka juga melakukan itu pada orang-orang yang meninggalkan mereka…”
Bertemu kawan-kawan lama, dan bahkan menemukan pesawat buatan ayahnya. Konsekuensinya berat, janji yang harus ditepati, dan penyelamatan itu waktunya sungguh terbatas. Jacob harus bersusah payah menekan rasa takut bahwa jangan-jangan ia sudah kalah cepat berlomba dengan waktu. Berhasilkah?
Konsep cerita fantasi memang seperti ini, selalu ada menit-menit dramatis penyelamatan. Selalu ada happy-happy dalam perjalanan, hingga keputusan akhir yang begitu ketebak. Ini jelas bukan buku Funke terakhir yang kubaca, sebab di rak ada lagi beberapa, hanya butuh waktu dan kesiapan mental saja masuk ke dimensi ajaib, dunia lain, dunia antahnya Funke. Selalu seru, dan sangat amat imajinatif. “Akar-akar, duri, dan semak saling membelit menjadi satu. Pohon-pohon raksasa, dan pohon-pohon muda menjulurkan dahan-dahannya ke secercah cahaya yang menyusup di sela-sela kanopi tebal.”
Judul buku Reckless sendiri adalah nama belakang sang karakter utama, yang juga bisa berarti sembrono, sebuah joke diutarkan teman-temannya sebab Jacob berulang kali ceroboh. Dan cinta, ah di buku manapun, kata ini selalu ada. Cinta. Racun terparah dari semua racun.
Selama ini Jacob selalu mengira cerita tentang bangsa Goyl yang menghormati para pahlawan mereka dengan memenggal kepala mereka dan memajangnya di dalam tembok kota hanyalah isapan jempol. Tapi, sepertu halnya semua cerita semacam itu, cerita satu ini jelas bersumber pada kebenaran yang sangat mengerikan… Tapi ia menyingkirkan pikiran itu dari kepalanya. Ia tidak mau memikirkan ayahnya. Ia bahkan tidak mau memikirkan Will. Yang ia inginkan sekarang hanya kembali ke pulau dan melupakannya semuanya…
Rubah melayangkan pandangan lega kepada Jacob begitu melihat bukit dengan reruntuhan di sebelah kiri mereka. Dunia di dalam maupun di luar cermin ternyata sama saja, sama-sama memiliki obsesi pada kata-kata muluk tak bermakna. “Ia tak sehebat yang disangkanya.”
Mulai dibaca 17.05.23 pukul 19:40 malam bersama Hemione dengan music keras Blackpink. Selesai baca 20.05.23 pukul 09:12 pagi-pagi libur, dengan kopi mengepul berasap. Ini buku kedua Funke yang kubaca setelah Ink Heart yang imajinatif itu. Terasa sama, fantasinya aman. Artinya, keterdesakan masalah selalu dapat dipecahkan dengan halus, tak ada adegan berdarah-darah, tak ada sesuatu yang perlu sensor berlebih. Aman buat remaja. Sejatinya di era sekarang, fantasi sudah lebih berat.
Akhirnya Juni lagi, seperti biasa, ini event tiap tahun. Tahun ini taka da target muluk, tetap 30 hari menulis review buku dengan pembagian 15 lokal, 15 terjemahan. Mari kita nikmati, mari kita gas…
Reckless | by Cornelia Funke dan Lionel Wigram | Ilustrasi by Cornelia Funke | Copyright 2010 | Alih bahasa Monica Dwi Chresnayani | Editor Barokah Ruziati | GM 106 01 12 0002 | Desain sampul Martin Dima (martin_twenty1@yahoo.co.id) | Jakarta, Februari 2012 | 376 hlm; 20 cm | ISBN 978-979-22-8008-1 | Skor: 4/5
Catatan perjalanan pendakian ke gunung Sanggabuana, Karawang.
“Luar biasa nih, Sanggabuana puncaknya Karawang. Harus cobain ke sini.” – Herry
“Kalian harus coba, kalian wajib coba. Apalagi orang Karawang. Mantab” – Leni
“Aku senang.” – Ajay
“Sampai puncak juga sih ya, tadi (perasaan) hampir tak yakin sih. Tapi akhirnya bisa.” – Widoyo
“Bangga. Dah itu saja.” – Iqbal
“Tadi sempat meragukan juga, beberapa teman-teman, tapi saat mendekati garis finish gantian aku yang meragukan. Luar biasa, ya luar biasa. Estimasinya tiga sampai empat jam, tapi ternyata lebih dari itu. Terima kasih. Kalian harus coba. Ke Puncak Sanggabuana Karawang.” – Budy
Kenangan-kenangan terpintal bagaikan jaring dalam kehampaan, membelit kita semua yang terlibat. Masa lalu terlahir dari masa depan, sama seperti masa depan terlahir dari masa lalu. Masa depan, seperti yang telah diputuskan oleh masa lalu, semua hal itu tersembunyi dalam lipatan waktu. Masa depan hanya bisa diketahui lewat mimpi. Dan yakinlah, mimpi petualangan-petualangan seru seperti ini harus diwujudkan. Lima sepuluh tahun lagi bakal jadi kenangan tak terlupakan. Nanti kita cerita tentang petualangan hari ini.
Alhamdulillah, niat pendakian ke gunung lokal Karawang ini terlaksana sesuai perencanaan. Terakhir tour ke Curug di Loji, kita sudah sepakati ini, tempat dan waktunya pas. Bahkan kita buat rundown, start dan finish sesuai. Berangkat jam 6 pagi, sampai rumah jam enam, tapi jam enam sampai titik parkir.
Sejak Selasa, 9 Mei 2023 kita teman satu kantor. Susunan acara sudah sangat meyakinkan, awalnya berlima: Saya, Leni, Iqbal, Ajay, dan Herry. Namun saat saya mampir ke Finance, ditanya acara hari Minggu ada karyawan kondangan, saya jawab tak bisa hadir, nitip saja, HR dijadikan satu amplop, sebab mau naik gunung. Serta merta, Pak Widoyo bilang ikut. Wah, beneran? Mobilku cuma muat lima orang, beliau dengan meyakinkan bilang pakai mobilku. Yo wes, besoknya jadilah dalam grup WA kita berenam.
Karena tak satupun pernah ke puncak Sanggabuana, kita googling cari info. Ternyata membuat gentar juga, dari sebuah video Youtube, bakalan nemu kuburan, banyak. Dari sebuah tulisan blog kita jadi tahu, tiket masuknya berapa, parkir, hingga biaya ojeg. Akhirnya diputuskan urunan 100k per orang. 50k untuk bensin, 50k untuk biaya-biaya. Karena Leni, satu-satunya perempuan, bendahara diserahkan ke dia.
Mendekati hari H, saling sher informasi persiapan apa saja. Seperti bawa makanan, jas hujan sekali pakai, HP full cas + powerbank bagi yang punya, pakai sepatu, disarankan pakai baju yang mudah serap keringat (jersey bola nyaman tuh), bawa baju ganti, topi, kacamata, masker/buff, bensin full, bawa plastik kecil buat amankan HP bila hujan menempa, hingga obat pribadi. Ternyata, semua yang disebut ini penting gaes, kudu disiapkan benar-benar, terutama obat pribadi. Untung sekali saya bawa counterpain + safe care, sangat berguna. Termasuk koyo, obat luka, air minum 1 Liter masing-masing, hingga cokelat! Ya, bawa cokelat, sangat membantu menambah energi darurat.
Diingatkan sebelum berangkat sudah sarapan semua, kumpul di rumahku di Grenvil, Karawang Barat jam 05:30, jam enam pas berangkat. Kumpul di rumahku sebab, parkir luas, aman, dan yang utama searah ke gunung. Hari H, saya benar-benar fit. Tidur sebelum jam 10, walau terbangun dini hari (kebiasaan bangun baca buku), tapi berhasil tidur lagi, bangun subuh.
Saya bawa bekal Abi Food, sambel goreng ati dan sarapan telur dadar yang praktis saja. Pukul 05: 40 Widoyo dan Iqbal (semobil) datang, mereka beli sarapan di jalan, sarapan dulu. Kemudian muncul Herry dan Ajay (semotor), sudah sarapan. Saya buatkan kopi 4 gelas, sembari nunggu Leni. Yang hadir hanya beberapa menit sebelum pukul 6.
Benar saja, jam 6 lebih dikit kita foto-foto, lalu gaaass… berangkat.
Sebenarnya saya tak mau jadi pemandu jalan samping sopir sebab kacamataku sudah tak sesuai minusnya, jarak pandang tak jauh. Namun karena sudah pada duduk di belakang, terpaksa saya yang buka Maps. Dari Maps diperkira sampai titik parkir jam 07:30. Sempat mampir Hisana buat beli bekal, dan Alfa buat belanja kekurangan bekal. Saya, Herry, Ajay sih sudah komplit semua, sudah disiapkan dari malam.
Sempat nyasar jalan 3x. Pertama sebelum pasar, yang harusnya belok kanan, malah bablas, kedua setelah pasar dari Maps info ada belokan ke kanan, harusnya belokan kedua, ini belokan pertama sudah banting setir, dan terakhir pas di titik parkir. Seharusnya sudah sampai, tapi tetap nanjak, ternyata itu arah ke Curug Cigentis, sehingga cari putaran balik. Hufh, inilah petualangan. Nyasar adalah bagian dari petualangan.
Saat tiba di parkir pukul 07:51, halaman rumah warga. Banyak mobil pendaki lain. Kunci mobil diserahkan ke tuan rumah, kita foto serah terimanya. Trust saja. Sebab memang banyak mobil lain, untuk mobil yang parkir awal, nanti ‘kan pulang, sehingga mobil kami yang menghalangi jalan, akan dimajukan.
Begitulah, semenit kemudian kita foto-foto di titik berangkat jalur pendakian. Sempat celingak celinguk cari ojeg (yang kata youtuber ada di situ), tapi kok sepi ga ada ya? Lihat Maps (di sini masih ada sinyal untuk beberapa provider, saya pakai 3), hanya 14 menit sampai di titik pendaftaran. Yo wes-lah kita jalan kaki saja. Tak berapa lama, beberap motor yang sudah dimodifikasi lewat, wahhh… gmana nih? Namun sudah tanggung, jalan terus saja. Sinyal mulai timbul tenggelam.
Ternyata lumayan berat pembuka hiking kali ini, jalurnya memang sudah disemen, tapi lumayan menukik. Dan benar saja, Widoyo sudah kelelahan mandi keringat bahkan belum sampai titik pendaftaran. Sempat tepar di sebuah gubuk pos, mau menyerah saja. Ya ga bisa, ini solidaritas, kita naik semua atau turun semua. Namun lihat wajahnya pucat, dan benar-benar tiduran saking lelahnya, khawatir juga. Kita tunggu beberapa menit sampai tenaganya pulih. Dengan kata-kata semangat, dengan air mineral, dengan waktu cukup memulihkan, kita lanjut lagi. kata penduduk lokal, titik daftar hanya 200 meter lagi kok. Langsung deh kita gegas lagi. dan memang, lima menitan kita sampai gerbang mula pendakian. Waktu itu pukul 08:32. Lagi-lagi Widoyo mau menyerah saja, nunggu di titik daftar. Dan lagi-lagi kita semangatin.
Tiketnya 10k, berenam 60k. Termasuk murah. Setelah mengisi formulir (Leni saja yang isi), foto-foto, mulailah petualangan yang sesungguhnya. Kata penjaganya, paling 3 jam sampai puncak, itupun santai. Makin membuat kita semangat, tak lama itu sih.
Pemandangan masih asri. Banyak sawah, pohon-pohon rindang, lewati sungai, ada musholanya (saya buang air kecil dulu), dan airnya bersih, toilet bersih, mushola enak (tersedia mukena, sajadah), hingga jalurnya yang sudah sebagian disemen. Ini memang masih jalur mula, biasanya nanti titik akhirnya adalah ketemu hutan. Susunan jalan mula: Saya, Iqbal, Leni, Widoyo, Ajay, Herry. Dua orang yang berpengalaman naik gunung ditaruh di belakang dan di depan.
Widoyo beberapa kali istirahat, tiap berapa meter, duduk tiap menemukan batu besar. Belum juga setengah jam, tasnya dibawakan Iqbal. Kita santai saja, tetap ditunggu, tetap dimotivasi. Setelah sejam, barulah kita break lama. Kita duduk santai di pos, sebuah warung makan abah, warungnya tutup. Banyak ayam di situ, ada rombongan pendaki lain dari Jakarta yang juga istirahat. Saya buka snack pertama, Taro besar. Awalnya mau makan separo saja, tapi ternyata istirahatnya lumayan lama, yo wes dihabiskan. Beberapa kali makanan kulempar ke ayam. Pos ini terawat, ada tanaman bunga banyak, salah satunya bunga sepatu. Sayangnya, agak bau.
Dan ternyata setelah tenaga pulih kita berangkat lagi, tepat di depan kita adalah area makam. Jadi selama istirahat tadi, kita duduk di pos dekat makam.
Makamnya dipagar, namanya ditutup kain, dikelilingi pohon besar (kemungkinan beringin), dan jalannya disusuni batu bata, rapi. Di depannya lagi ternyata adalah perkampungan warga. Banyak penduduk lokal santai di teras, sepeda motor dimodif ada, ada yang menjemur kopi, ada yang telanjang dada ngobrol saja sesama warga, ada yang nyapu. Wah, berarti ini warga yang menjaga makam. Ada jalur ke kiri, tapi kita pastikan jalurnya tetap lurus. Setelah menyapa dan mengucap permisi, kita melewati aliran sungai kecil. Nah di sinilah, kita benar-benar pamit sama sawah.
Pukul 09:45 kita sampai di area Perhutani, dengan spanduk bertulisan “Rawan pohon tumbang dan longsor”. Area Gamping Ground, Pancuran Kejayaan. Terlihat ini adalah area kemping. Beberapa tanah rata, bekas api unggun, ada bendera Indonesia, hingga fasilitasnya yang banyak: mushola, toilet, pos istirahat. Di kanan adalah aliran sungai, tempat ideal buat membuat tenda. Bisa kubayangkan, siang-siang beku, malam-malam dingin. Meringkuk di tenda dan baju basah.
Setelah foto-foto, kita melanjutkan perjalanan. Ini jalur hutan, pohon-pohon tinggi, semak-semak rapat. Di sinilah salah kita, harusnya mumpung banyak orang, kita tanya arah. Sebab ada tiga jalur, ke kanan, ke kanak lalu nyeberang sungai lalu kiri, atau lurus. Kita lanjut saja ke depan, dan jalurnya langsung ekstrem. Setelah naik kemiringan, ada anjing di pojok pohon, saling bantu naik, ada ibu-ibu dan anak turun pas di persimpang jalur. Basah kuyup habis mandi, kita iseng tanya, ke puncak lewat ini? Dijawab bukan. Lurus terus ke Curug, belok kiri memang ke puncak tapi jalurnya berbahaya. Waduh, lalu gmana. Harusnya di pos tadi kita ke kanan, jalurnya lebih landai, dan umum dilewati pendaki. Setelah diskusi lagi, mending kita balik lagi saja. Hufh, setelah naik susah payah kita turun lagi, susah payah. makin ragu, ketemu dua pendaki yang mau ke puncak, mereka bilang, jalurnya benar kenapa turun? Kita tetap putar balik saja, ikuti kata bu ibu. Dan sayangnya, salah jalur ini bukan yang terakhir.
Setelah ketemu pos, dan ada dua warga lain duduk-duduk yang malah tambah bikin ragu. Sebab mereka bilang jalur pendakian sudah benar lurus, tapi si ibu bilang, amannya karena ada cewek, ke kanan saja. Kita semua yang mendengar saling silang pandang, berdiskusi tanpa kata. Lalu langsung kuputuskan, kita ke kanan saja sesuai saran ibu.
Ke kanan, kita langsung ditemui sungai yang lumayan deras, tapi dangkal. Ini kesalahan lagi. karena tadi ibu bilang, ikuti sungai, saya ikuti tuh sungainya ke hulu, belok kiri. Sebuah suara mengalun melintasi air. Baru beberapa langkah, jalurnya lebih ekstrem dan gila. Memang ada banyak batu besar, tapi licin. Setelah beberapa menit, ketemu jalur buntu. Ajay dan Herry ke atas dulu memastikan, benar, jalurnya buntu. Saling silang pendapat, “harusnya kita ikut saja pendaki tadi.” Sampai menyalahkan bu-ibu. Setelah putar balik yang berat, tangan kiriku tergores ranting, jari tertusuk jarum tanaman, duh sakit banget. Kita menemukan titik yang benar. Hufh, inilah petualangan. Tersesat adalah bagian dari petualangan.
Sebuah pos lain di sebelah kanan, dan tanda yang melegakan. “Tanjakan 2 Jam”. Waktu itu pukul 10:16. Perhitungan kasarnya target sampai puncak tengah hari atau beberapa menit setelah itu, masih realistis untuk digapai. Hahaha, tak semudah itu fergusso. Justru ini awal mula pendakian berat yang sesungguhnya. Ajay memimpin, mungkin khawatir saya salah jalur lagi. Namun tidak, kali ini jalurnya tak bercabang sama sekali, dan sepanjang jalan ketemu pendaki lain, baik yang turun atau naik.
Kata bu ibu yang katanya rute landai tak nyata. Justru jalurnya nanjak terus. Bisa-bisa 45 derajat, dan itu seolah tanpa henti! Sungguh-sungguh melelahkan. Kanan kiri pohon, tenggoret bernyanyi tanpa henti. Lembah dipenuhi ringkikan melengking, bunyi burung kuk kuk, dan pohon usia ribuan tahun. Akar-akar, duri, dan semak saling membelit menjadi satu. Pohon-pohon raksasa, dan pohon-pohon muda menjulurkan dahan-dahannya ke secercah cahaya yang menyusup di sela-sela hijaunya hutan. Air minum dilahap terus menerus, tiap berapa menit duduk, tiap berapa meter, istirahat. Tiap saat, kaki rasanya sakit. Ini benar-benar berat. Berdenyut.
Sejujurnya, sempat terbesit ragu, apakah bisa? Saya harus bersusah payah menekan rasa takut bahwa jangan-jangan kita sudah kalah cepat berlomba dengan waktu. Target tak boleh kemalaman, sementara progress kita lambat. Widoyo, sudah tampak sangat kelelahan. Namun ternyata bukan hanya dia. Setelah sejam pendakian, giliran Iqbal yang meminta obat, kakinya sakit. Safe care dipakai. Ajay mengeluarkan cokelatnya, dan efektif sekali. Tak berapa lama, Herry yang merasakan sakit kakinya. Tak berapa lama, giliran saya yang merasakan paha panas.
Tak masalah, kita solidaritas saling menguatkan. Di sinilah obat pribadi memainkan perannya. Koyo cabe diberikan ke Widoyo, dan seolah menemukan power up instan, beliau langsut fit dan paling bersemangat. Counterpainku turut banyak membantu. Bergiliran menggunakannya. Setelah paha, giliran lutut yang sakit. Saya olesin saja yang banyak. Tiap berapa meter, kita duduk, se-menemukan titik duduk nyaman saja. Memanfaatkan waktu duduk untuk mengatur napas. Keringat benar-benar bercucuran.
Ada bagian harus naik dengan bantuan tali. Ada bagian harus menunduk pohon di bawah pohon tumbang. Ada bagian melompati pohon besar tumbang. Ada pula bagian harus saling tarik bantu daki sebab rutenya curam. Motivasinya, nanti pulang kita mampir makan bakso panas dan es campur dingin.
Ada sebuah pos sepi, di sisi kiri. Karena saya yang paling depan dan sungguh kelelahan, langsung saja saya duduk di beranda rumah itu, sebenarnya sempat curiga juga kok baunya lain. Yang lain satu per satu muncul, mulanya Widoyo cek, melongok ke dalam rumah via pintu yang sedikit terbuka. “Ada yang tidur”, saya bilang biarin saja mungkin kecapekan. Lalu yang lain turut duduk-duduk, sampai akhirnya Ajay turut melongok, dan spontan bilang, “Ini kuburan”. Langsung deh, pada berdiri lanjutkan perjalanan. Begidik juga, tadi duduk lama di situ. Ada kelambunya di dalam, iya, kuburan ditutupi. Dikira tempat tidur, tapi tak salah juga sih Widoyo, memang ada yang tidur di sini, tidur abadi. Hiks,…
Berpapasan dengan beberapa pendaki turun, beberapa bilang masih jauh. Yang bikin down, tapi beberapa bilang sudah dekat, bikin semangat. Canpur-canpur deh rasanya. Saat mendekati pos lain, bertemu rombongan expat Jepang, mereka bilang sekitar 20 menit lagi kok puncak. Nah, di sinilah peran teman-teman untuk saling support. Terlihat Ajay berulang kali, bentar lagi. Tak lama lagi, ah dua puluh menit lagi, dst.
Saat di pos yang sudah reot, atap sebagian runtuh, tempat istirahat miring, tempt duduk rapuh. Bertemu dengan pendaki lain, yang naik via jalur lain. Ya, jalur kita putar balik tadi. Mereka berangkat lebih lama, berarti memang benar lebih cepat, tapi rutenya ekstrem, sekali lagi katanya. Mereka heran sebab ketemu kita yang juga naik, dan baru tahu ada jalur lain. Hehe, begitulah sama-sama pertama naik gunung ini. Mulanya kita bareng naik, tapi itu tak lama, sebab lagi-lagi kita kelelahan dan tercecer istirahat.
Beberapa meter akhirnya memang ketemu rute landai, sayangnya itu tak lama. Angin sejuk langsung berembus di sela-sela dahan pohon, dan di balik pepohonan. Saat itu sudah lewat tengah hari, artinya target sudah di puncak gagal. Setelah dengan sisa-sisa tenaga, kita menemukan pohon tumbang, kita istirahat lagi. Serangga merayap keluar retakan dan lubang, kaki seribu, laba-laba, kecoa, ngengat, nyamuk, dan capung beterbangan di sekeliling kita. Capung berwarna yang cantik. Roti dibuka, snack dikeluarkan. Air minumku 1 Liter + bolot Taperware sudah habis, baju udah basah semua, muncul pendaki turun, kita tanya berapa jauh lagi, “Paling dua belokan lagi”. Wah, langsung sumringah. Saat itu pukul 12:58.
Sejujurnya, dengkulku sudah sakit banget. Paha, lutut, dan kini dengkul. Ternyata bukan dua belokan, tapi tiga. Dengan sisa tenaga yang ada, akhirnya kita sampai di puncak. Rasanya sangat bersyukur. Waktu itu menunjukkan pukul 13:14. Berarti 4,5 jam waktu yang dibutuhkan dari titik pendaftaran hingga area foto 1291 Mdpl. Betapa leganya.
Hal pertama yang kulakukan adalah tepar. Setelah disepakati tempat istirahat (ada spanduk GMBI), saya langsung ambil counterpain, olesin yang banyak, tepar. Yang lain pada foto-foto, menyiapkan makan, saya dah ga kuat. Tapi itu tak lama, sebab tujuan utama makan siang di puncak gegas dilakukan. Setelah cuci tangan pakai air minum, dan antis. Akhirnya makan siang tersaji. Nikmat banget rasanya. Sungguh-sungguh lezat. Lapar, lelah, puncak.
Disepakati pukul 14:30 nanti turun, masih ada setengah jam saya gunakan untuk tidur. Saya putuskan ganti baju, yang basah kujemur.
Ajay sempat muterin puncak, isinya beberapa bangunan biru itu adalah makam. Ada warung. Harga Aqua 1 Liter 17,5k (beli dua plus roti). Ada aula istirahat. Ada toilet (tak ada air). Ada mushola (tak ada air). Mau kencing diminta ke kebun kopi, bawa air mineral untuk bersihkan. Dan beberapa bangunan lain, paling banyak emang makam. Bahkan saat itu ada acara yaa siinan. Suaranya kencang, lantang, dan bergema. Ini puncak bro.
Baru setelah pulih benar, saya ikut foto-foto. Di bawah tulisan ikonik puncak itu, ada prasasti kecil bertuliskan: “Ratu Galuh Kemala. 14 Safar 1444H/10 Sep 2022M.” di bawahnya ada empat Ratu Galuh: Kawali, Purba, Kalingga, Shindula. Pemandangan ke arah kota bagus banget. Indah dan cerah. Seantero kota terhampar di bawah sana seolah-seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal kita sedang ada di atap Karawang. Siang begitu jernih. Beludru putih awan bertabur sepanjang mata memandang. Pohon-pohon serta perbukitan tampak bagai siluet. Ini puncak, ini sebuah keberhasilan.
Saat orang-orang masih yaasiinan, pukul 14:40 kita putuskan turun. Kali ini sungguh bersemangat. Bahkan Herry memprediksi hanya dua jam. Iqbal terdepan, Leni, Herry, Widoyo, Ajay, saya paling belakang. Benar saja, kali ini sungguh ekspres. Memang beda sih, turunan lebih semangat, lebih mudah, dan seolah tanpa rem.
Singkat kata, turunan kali ini semua ceria. Walau mandi keringat juga. Jaketku sempat dipakai, tapi tak lama kumasukkan ke tas lagi. benar-benar tak dianjurkan bawa jaket kalau muncak tik tok. Kita sampai di titik “Tanjakan 2 jam” pukul 16:05, artinya tak perlu dua jam. Semuanya lancar? Tidak juga.
Sampai di kanan kiri sawah, kali ini giliran Leni kesakitan. Kakinya kram, pegal semua. Beberapa kali berhenti, oleskan counterpain. Sebenarnya dengkulku juga sakit, tapi kutahan. Turun tuh memang kudu menahan beban, tiap langkah harus diperhitungkan, tak gas terus tanpa rem. Mana Iqbal, Herry, Widoyo sudah jauh di depan. Kita bertiga pelan-pelan saja. Memang sepakat, kita Asar jamak Duhur di mushola dekat titik pendaftaran. Sempat khawatir juga, Leni cedera. Tertatih, pelan sekali kecepatannya. Dan senangnya saat mendengar raungan mesin sepeda motor di sisi kiri, berisik nan membuat telinga sakit, tapi sekaligus itu melegakan. Artinya sudah dekat. Makanya sungguh tenang saat sampai mushola pukul 17:00, saat yang lain selesai salat, kita gantian salat, Leni istirahat oleskan lagi obat.
Kita sampai di titik pendaftaran pukul 17:10. Berarti total waktu turun adalah 2,5 jam. Kali ini tak banyak sesi foto-foto, semua sudah berpikiran gmana caranya cepat sampai parkiran. Anehnya, sungguh aneh. Widoyo memimpin jauh sekali di depan. Ia seolah mendapat tenaga tambahan, padahal ia yang paling mula kelelahan, justru paling strong saat kembali. Kalau dari parkiran ke titik daftar membutuhkan lebih dari 30 menit, saat turun tak lebih dari itu.
Betapa leganya kita sampai di parkiran, Widoyo dan Iqbal sudah duluan, bahkan sudah minum pocari sampai habis. Kita berempat barulah bergabung. Mobil kita sudah berpindah di seberang jalan, berarti mobil depan kita yang parkir sudah pulang. Sinyal sudah kembali penuh. Biaya parkir tanpa nginep juga bagi kita lumayan murah, hanya 15k. Jadi biaya di luar makan dan minum, total 75k saja.
Saat adzan Magrib berkumandang, kita turun. Estimasi Maps hanya 58 menit. Namun kita sudah berencana cari bakso dengan kuah melimpah, dan es campur dengan lelehan es. Mampir bentar cari durian. Sayangnya lumayan mahal. Harga satuan 80k, kalau beli dua 150k. Ditawar Iqbal, 100k dapat 3, tak dikasih, kasih saran beli di kang buah pinggir jalan di Kota saja. Leni memberi gesture balik ke dalam mobil. Tinggal saya dan Widoyo. Tawar 100k dapat dua dikabulkan, tapi tak mau dipilihkan yang manis mana, milihnya dibiarkan sendiri, tanpa dibuka, tanpa dicoba.
Kita sebenarnya sempat kesal juga, penjual kok judes, dan saya paling benci kalau ada pedagang bilang, “Itu harga kulakan, kita jual habisin stok saja, tak ambil untung.” Ya tak mungkin to, mbok dilogika. Memang tampak kurang ramah, tapi karena kita ingin praktis saja, Widoyo ambil dua, saya ambil satu. Dan setelah mobil kembali melaju, barulah Leni bercerita, pernah beli seperti itu, ternyata isinya busuk, tak manis pula. Polanya sama. Waduh, langsung lemes, hopeless deh.
Via Maps, kita ikuti terus sembari mata waspada cari warung bakso. Sampai di pasar tak nemu juga, ada sih satu dua tapi sepi. Setelah pasar baru deh nemu warung bakso kiri jalan. Waktu itu pukul 18:30. Kali ini tak ada es campur. Tak apa, minuman dingin yang penting. Saya sampai pesan es batu dalam gelas, saya guyur air putih penuh. Habis 120an, diminta bayar 120k saja.
Setelah mobil kembali berjalan, ada yang langsung pules, ada yang ngorok, ada pula yang turut nyanyi dari lagu-lagu i Radio. Kali ini memang lebih tenang. Balik via jalur KIIC. Sampai di Perumnas mampir Kebun Buah. Alamak, menemukan durian kemasan hanya 55k, isinya dua biji besar-besar, jaminan enak pula. Karena tadi sudah kena bocoran bakal kurang Ok, saya ambil satu. Plus pepaya 15k per kilo.
Sampai rumah pukul 20:10. Rencana mula mau ngopi dulu. Namun semua lelah. Leni yang cedera yang pertama pulang. Widoyo ke kamar mandi, saat ditanya mau ngopi dulu engga? Enggak. Yo wes, semuapun ikut bubar. Usai sudah tour de Sanggabuana. Tinggal lelahnya, sesuk Senin.
Benar, beli durian pinggir jalan di Loji kurang rekomendasi. Kecil buahnya, tak manis. Jauh sama yang di Kebun Buah (atau syawalan), mantab sekali. Benar, kecuali Ajay, semua cedera, butuh persiapan matang. Perlu rutin olahraga buat jaga kebugaran. Benar, ketika mendaki, mending sering-sering bertanya. Sekalipun rutenya yakin, saat berpapasan dengan pendaki lain, selain sapa mending tanya saja benar tidaknya rute. Benar, HP harus berisi full baterai. Banyakin video, foto. Ini momen bagus, tak setiap hari kita dikelilingi hijau daun dan suara tenggoret tanpa henti. Benar, persiapkan bekal. Obat, makanan, minuman (wajib 1 Liter per orang), pakaian, dll. Penting sekali.
Benar, kita lelah, tapi serius ini benar-benar fun. Kalian harus coba, kalian harus naik gunung!
Karawang, 190523 – Diana Krall – Cry me a River
Next tour trip bulan Agustus 2023: Puncak gunung Purwakarta/Naik paralayang Majalengka. Ini akan menjadi perjalanan tour yang panjang, dan setiap kenangannya akan mengingatkan persahabatan.
Kita semua bisa dianggap berbentuk memori. Kepribadian kita dibentuk dari memori, memori mengatur kehidupan kita, kejadian penting dunia ditangkap memori, kebudayaan kita dibangun di atas fondasi memori bersama yang kita sebut sejarah dan ilmu pengetahuan. Sepakbola adalah memori, dan karena ini langka dan penting. Saya harus mencatatnya. Emas sepakbola di Sea Games, adalah memori.
Apa yang bisa kamu gunakan selama 30 menit? Kamu bisa salto berkali-kali sampai pusing, atau makan malam, dengan main HP menjelajah sosmed, ketawa-ketiwi lihat postingan lucu. Kamu bisa membersihkan mobil di depan rumah, dengan modal sabun dan air saja, lumayan menghemat uang ketimbang ke kang cuci steam, atau lari keliling komplek sampai mandi keringat. Kamu juga bisa main tebak kata dengan anak, sompyong dari A sampai Z. atau kamu bisa bercinta, setengah jam cukup membuat lututmu pegal dan napasmu tersenggal. Namun, apa yang bisa kamu lakukan 30 menit saat masa krusial penentuan juara. Gelar yang sudah tiga puluh tahun lebih belum direngkuh lagi? Ini adalah waktu paling mendebarkan sebagai fans Timnas Indonesia. Mari bercerita.
Indonesia untuk kesekian kalinya masuk final sepak bola pria Sea Games, turnamen yunior yang memiliki antusiasme begitu tinggi, dan selama saya menjadi fans bola, saya belum pernah merasakan kemenangan. Tahun ini, kita mendapat Thailand yang memang sudah sombong dari sononya. Saya malah tak mengikuti sama sekali perjalanannya, pertandingannya. Tak sapu-pun kutonton, sampai kabar takjub Indonesia menang dramatis menit injury time di semifinal, dengan sepuluh pemain menghembaskan Vietnam. Tak satupun pertandingan kuikuti, tak ada pertandingan yang kutonton sama sekali, tau-tau final. Ini pertama kalinya pula, Timnas kucuekin. Sudah lelah hatiku, isinya kegagalan mulu. Maka Selasa malam (16/05/23), saya coba pasrah, tak muluk. Namun satu partai ini, rasanya sulit untuk dilewatkan. Mana di jam utama pula, selepas waktu Isya. Rasanya, fans bola manapun takkan men-skip-nya. Kecuali lagi sekarat. Sikap tak mengenal diri sendiri merupakan salah satu dogma psikologis.
Dan ini kesalahan.
Seharusnya memang tak kutonton saja. Padahal saya nonton tuh ingin memastikan mereka tak akan ambruk di bawah tekanan mental, kasih dukungan. Sudah diwanti-wanti, seolah kutukan. Setiap Indonesia main, di partai puncak, setiap kutonton kalah. Konyol, malah nekad. Masih sangat ingat, saat Tim Thomas yang sudah lama tak juara, tahu-tahu di Final melawan tim kuat China tahun 2020. Karena desakan teman-teman, untuk tak nonton biar juara, saya lakukan. waktu itu di rumah orangtua, saat pertandingan Thomas saya tinggal baca buku di lantai atas. Hasilnya? Menang telak 3-0!
Maka, semalam itu kesalahan. Kok ya tak belajar untuk cuek saja. Persiapan matang pula, setelah masak Sarimi Duo, siapkan kopi pahit, dan berbagai makanan sisa Lebaran kemarin, persiapan perang dan dukungan itu di posisi nyaman. Saya sudah duduk manis.
Pertandingan baru dimulai, wah bagus, mainnya meyakinkan sekali. Tak ada Arham Pratama (kena kartu merah), Rory Delap pun jadi. Skema gol dengan lemparan ke dalam seolah sudah kadi trendmark Timnas, 1-0 oleh sundulan Ramadhan Sanata. Tensi langsung naik. Indonesia selalu Spartan di mula pertandingan, lebih umum, bersemangat di babak pertama. Kartu-kartu mulai muncul. Dan keunggulan berhasil digandakan lewat gol hibah. Menit akhir, bola itu sejatinya bola buangan, bola fair play yang sejatinya bola ditendang jauh dikasih ke pemain Thailand. Namun antisipasinya lain, bola itu tak gegas disambut untuk digunakan dengan bijak, malah miss-com, terjepit dua pemain lawan Sanata melakukan tendangan jauh melambung, tanpa melihat berhasil masuk melewati kiper, 2-0.
Kopi gegas dihabiskan. Buka-buka sosmed, haha hihi sama Ciprut yang sedang main stiker. Ia sudah merengek minta dimainkan lagu-lagu Blackpink. Biasanya memang selepas waktu Isya, kami mendengarkan lagu bersama. Lebih dominan BlackPink ketimbang Jazz. Saya sudah minta malam ini, khusus ada bola. Jadi dua jam saja, jangan diganggu. “Kenapa tak nonton di kamar, bunda juga nonton bola.” Ah, malesi. Makanya jeda babak, ia minta lagi. sabar, tunggu setengah sepuluh. Roti sudah habis, mie sudah tandas lama, mau Isya kok ya mager. Tahu-tahu babak kedua mulai. Walau unggul dua gol, saya diliputi ketegangan, jenis ketegangan tidak mengenakkan yang kita alami saat kita merasa menang, tapi belum menang. Unggul tapi masih abu-abu.
Wajar sih, Thailand mengambil inisiatif serangan, tertinggal. Aura juara sudah menyelubungi, mainnya bagus. Terbesit dalam benak, akhirnya kutukan kutonton ga juara menuju terpatahkan. Hahaha, tapi nanti dulu fergusso. Tak dinyana, lawan dapat gol mudah skema bola mati, dari sepak pojok, disundul santai, 2-1. Duh, debar makin kencang. Mana masih lama pula. Sisa pertandingan terasa pelan.
Saat akan masuk injury time, drama pemain jatuh dan cedera dilakukan, walau beberapa memang beneran pelanggaran. Add 7 menit. Jarak Emas tak jauh. Bahkan saat tinggal semenit, ada pemain kita dilanggar berat sampai kudu diangkut keluar, kita masih yakin ini bakalan emas. Drama yang sesungguhnya dimulai di sini, sebuah serangan gagal Thailand menghasilkan lemparan ke dalam, waktu 7 sudah lewat, peluit panjang terdengar. Selebrasi dilakukan, Coach Indra Sjafri masuk ke lapangan menengadahkan kedua tangan merayakan pesta. Namun, itu bukan peluit panjang yang itu, itu peluit panjang yang ini. Sisa detik-detik saja ini sih, tahan. Coach keluar lapangan lagi, permainan dilanjutkan. Bagaimana menjelaskan kejadian “lucu”? Apakah lucu itu sebenarnya? Lucu adalah situasi yang membuat orang tertawa, tapi bisa juga menyakitkan, kalau pihak kita yang menjadi korban lelucon. Asem!
Duuuerrr…, dari sisi kiri pertahanan Indonesia, serangan mendadak itu menjelma 2-2. Bayangkan, tinggal hitungan detik! Caci maki berbagai kata hewat keluar, pisuhan berbagai level muncul. Duh, saya tak kuat. Setelah itu, saya lepaskan laga ini. “Bangsat. Nyesel nonton. Sat sat”. Kini sudah setengah sepuluh, saya pura-pura cuek saja sama pertandingan tambahan waktu. Ga kuat jantung. Matiin streaming deh. Kita buktikan aja. Ga kutonton juara engga. Dah capek gue.
Apa yang saya lakukan?
Setengah jam itu waktu yang relatif. Terasa lama bagi seorang kekasih menanti pasangannya. Terasa lama pula, bagi penonton film action boring. Terasa cepat, bagi pekerja sibuk kejar deadline. Terasa cepat pula, saat waktu libur. Relatif. Jadi setengah lebih itu, di masa krusial penentuan Timnas Indonesia, agar tidak stress saya memilih melakukan hal-hal pengalih konsentrasi.
Blackpink sesuai permintaan Ciprut, kunyalakan kencang. Sebagai teman untuk mengupas durian dan pepaya. Dua buah oleh-oleh pendakian ke Gunung Sanggabuana. Mengupas durian susah sekali kalau tak matang hingga retak otomatis. Untungnya, sama penjual sudah dibantu dibuat retakan, tinggal ditekan buka. Wah, rasanya tak manis. Sial, beli buah di pinggir jalan tuh memang gambling, satu buahnya 50 ribu. Separo kusikat langsung, masih separo kumasukkan kulkas. Pepaya ini kubeli di Kebun Buah, sekilonya 15 ribu. Jaminan kualitas emang kalau beli di swalayan, dan pepaya ini manis. Oiya, saya juga beli durian yang sudah dikupas, dimasukkan ke boks transparan. Satu boks 55 ribu, terdapat dua biji besar-besar. Manis dan enak. Kesimpulannya, dah mending beli di swalayan saja. Praktis, enak, tak ditipu.
Lalu cuci baju, celana kotor yang kupakai mendaki, setelah kurendam 24 jam, saya cuci sampai tanah yang menempel hilang, setelah itu saya masukkan ke mesin cuci. Air kran kunyalakan. Sembari menanti penuh, saya cuci piring. Belum banyak perabot kotor, piring baru lima, gelas tiga, dua pisau (salah satunya yang kugunakan mengupas pepaya), sendok tak lebih dari sepuluh, satu wajan, satu panci, dua gelas panjang putterware, tapi tak apa. Mencuci piring bagiku tak berat, selama ada musik pengiring. Malam itu panas, walau dengan kipas angin menderu, keringat menyergap. Lagu Blackpink album lawas sudah sangat nempel di kepala karena Ciprut, sekarang lagu-lagu Solo menyerang. Dan Flowers-nya Jisoo sungguh aduhai melayang dalam kepala. On the Groud-nya Rose, Solo-nya Jennie, sampai Money-nya Lisa.
Kran air cuci penuh, kuputar nyala 45 menit. Karena baju basah, sekalian ganti. Ternyata di kamar depan, istri anak masih nonton bola. Berarti setengah jam belum terlewati, mending ambil buku. Ah, benar. Buku adalah pengalih konsentrasi terbaik sepanjang masa. Kuambil yang terdekat, kumpulan cerpen Seno Gumira Ajidarma: Senja dan Cinta yang Berdarah. Di pembatas saya di halaman 90-an, langsung kumulai saja cerpen: ‘Khayalan dari Dalam Bis yang Meluncur.’ Sambil makan pepaya, satu cerpen itu tuntas, tentang wajah-wajah suram kaum urban, kesedihan sedang musim, banyak warga berwajah muram. Tak terasa separo pepaya habis, yo wes, apa lagi ya? Dan saya teringat belum Isya. Gegas ambil air wudlu.
Saat itulah, saya mendengar teriakan kemenangan dari kamar. Alhamdulillah, momennya pas, menengadah berdoa bakda Isya. Akhirnya, saya merasakan Timnas Indonesia juara. Berkumandang Lagu Indonesia Raya, HP sudah terlanjur cas. Dan saat lagu belum usai dinyanyikan, saya sudah mapan turu di kamar belakang. Jelang tengah malam, saya merasa berada di tengah keindahan dan kedamaian. Tenang sekali di tempat tidur. Sejuta kenangan bangkit ketika saya memandang langit-langit. Dalam bayang saya melihat Gunawan Dwi Cahyo membuat kita unggul cepat, tapi di sesi pinalti gagal bersama Ferdinand Sinaga. Dalam bayang saya melihat gol tunggal Sarawut tak bisa dikejar. Dalam bayang saya melihat pembantaian 3 gol. Dalam bayang saya melihat pinanti Bejo Sugiantoro gagal. Dalam bayang saya melihat Mahyadi bikin gol pengurang gap, dan Ellie hanya sedikit memberi harap. Dalam bayang saya melihat blunder Hamka Hamzah. Bayangan-bayangan itu tumpang tindih menghampiri. Tetapi itu hanya kenangan. Dan saya khawatir kenangan itu menghajar kenyataan. Oh kali ini nyata, kita bisa juara, dan sayangnya saya tak menjadi saksi langsung prosesnya.
Begini to rasanya juara, tak kutonton, tak kudukung langsung. Ibarat cinta, mencinta dalam diam. Pura-pura cuek, padahal sayang sekali. Kalau udah gini, apakah AFF nanti tak perlu kusaksikan juga?
Mendukung idola pada tekanan tinggi merupakan racun, sangat berbahaya.
Karawang, 170523 – Karin Allyson – All or Nothing at All