
“Sesungguhnyalah waktu yang dimanfaatkan dengan baik seolah diawetkan. Inilah bentuk eksistensi paling aman. Eksistensi kebermanfaatan yang tidak akan terancam oleh kefanaan apapun.”
Kebahagiaan sendiri tidak termasuk dalam kategori tujuan hidup. Rilke berteriak, “Seberapa banyak lagi kita harus menderita?” Rilke memahami bahwa pencapaian kita yang bermakna dalam hidup ini setidaknya sama-sama dapat diraih melalui penderitaan sebagaimana dengan bekerja.
Awalnya, kukira ini buku baru dengan penulis yang masih aktif. Beberapa kali dikutip, dan sering kali muncul di beranda sosmed, buku-buku Frankl cetakan baru tampak fresh. Ternyata, beliau hidup di era Perang Dunia Kedua. Ini sejenis memoar, dibumbuhi nasihat kehidupan, dan ya, sebagai orang yang pernah masuk ke kamp konsentrasi NAZI, optimism menghadapi hari esok jadi sangat penting.
Dibuka dengan sangat bagus oleh penulis kenamaan Daniel Goleman, menjelaskan banyak makna dan perjalanan hidup sang penulis. Ungkapan ‘Yes to Life;, Frankl mengingatnya, berasal dari lirik lagu yang dinyayikan secara sotti voce – sepelan mungkin, agar tidak memancing kemarahan sipir penjaga kamp konsentrasi. Apa yang dimimpikan para lelaki di kamp konsentrasi? Selalu sama: selalu roti, rokok, kopi tubruk yang layak, dan terakhir tetapi tak kalah penting, berendam air hangat.
Makin tahu kehidupannya, makin kagum. Pembebasan dari kamp kerja paksa Turkeim. Menurut Frankl, tak ada yang berhak menilai hidup seseorang itu tak berarti, atau menganggap orang lain tidak layak memiliki hak untuk hidup.
Sebenarnya hanya ada tiga bab, penjabaran pembuka dan penjelasannya yang panjang. Tentang Makna dan Nilai Kehidupan I dan II, dan Experimentum Crucis (Eksperimen yang Menentukan). Hanya itu, yang lainnya penambahan edisi baru.
Hitler berpendapat bahwa orang akan percaya pada sesuatu yang sering diulang-ulang, dan jika informasi yang berlawanan denganya terus-menerus disangkal, dibungkam, atau ditolak dengan kebohongan lainnya. Inilah tugas pembawa berita, kebenaran penting. Melawan “kebenaran-semu” yang membahayakan.
Program Eutanasia adalah program pembunuhan massal pertama yang dilakukan Nazi pada 1939, dua tahun sebelum genosida kaum Yahudi di Eropa, dengan sasaran mereka yang menyangdang gangguan mental parah dan “tak tersembuhkan.” Mengerikan bukan?
Sekarang ini perdebatan eutanasia hanya menyangkut sisi ‘kematian yang baik’ dari istilah tersebut, di mana seorang penderita sakit parah, yang biasanya merasakan sakit yang luar biasam memilih mati demi mengakhiri penderitaannya sendiri.
Pendekatan yang mereka lakukan berasal dari gerakan ‘eugenetika’ Amerika, sebuah bentuk Darwinisme sosial yang membenarkan masyarakat untuk membersihkan kelompoknya sendiri dari mereka yang dianggap ‘tidak layak’, sering kali dengan melakukan sterilisasi paksa.
Menurut Frankl, ada tiga cara utama orang memenuhi makna hidupnya. Pertama, tindakan (aksi), seperti menciptakan sebuah karya, entah itu seni atau kegiatan apa pun yang dicintai. Kedua, makna bisa ditemukan saat kita menghargai alam, karya seni, atau cukup dengan mencintai seseorang. Kierkegaard bilang pintu kebahagiaan selalu membuka ke arah luar. Ketigam orang dapat menemukan makna hidupnya ketika ia beradaptasi dan merespons batas-batas yang tak terhindarkan atas kemungkinan-kemungkinan hidupnya. Hidup kita mendapat makna lewat tindakan-tindakan kita, lewat mencinta, dan lewat pederitaan.
Dia merasa bahwa anak-anak muda yang menyaksikan perang, telah melihat terlalu banyak kekejian, penderitaan yang tak bermakna, dan kegagalan yang menyedihkan untuk sekadar menanamkan pandangan positif, apalagi antusiasme. Samuel Beckett, Menunggu Godot, sebuah ekspresi sinisme dan keputusasaan pada masa-masa itu.
Di tengah kekejian penjaga kamp, pemukulan, penyiksaan, dan ancaman kematian yang terus-menerus, terdapat satu bagian hidup yang tetap bebas: pikiran mereka. Kemampun batin inilah kebebasan sejati manusia.
Persepsi kita atas peristiwa-peristiwa dalam hidup, bagaiamana kita menyikapi mereka, sama atau bahkan lebih penting ketimbang peristiwa itu sendiri. “Nasib” adalah apa yang menimpa kita tanpa bisa kita kendalikan, namun masing-masing kita bertanggung jawab atas cara bagaimana menempatkan peristiwa yang kita alami dengan cara yang lebih bermakna.
Kant bilang segala sesuatu memiliki nilai, tetapi menusia memiliki martabat, seorang manusia tidak seharusnya menjadi sebuah alat untuk suatu tujuan. Sebuah mitos kuno menyebutkan bahwa keberadaan dunia ini hanya bergantung pada tiga puluh enam orang yang sungguh-sungguh adil, yang selalu ada setiap saat. Kant juga bilang, sekarang bukan mempertanyakan. “Apa yang bisa kuharapkan dari hidup.” Melainkan, “Apa yang diharapkan hidup dari saya?”
Apa yang telah kita pelajari dari masa lalu? Dua hal: segala sesuatu bergantung pada individu-individu manusia, terlepas dari seberapa kecil jumlah orang yang berpikiran serupa dan segala sesuatu bergantung pada masing-masing orang melalui tindakannya.
Bunuh diri dengan motif kehidupan tidak pantas dijalani, tidak percaya pada makna hidup itu sendiri, umum disebut ‘bunuh diri neraca (kehidupan)’ atau balance sheet suicide. Orang yang melakukan bunuh diri, bukan hanya tidak memiliki semangat hidup, tapi juga tidak memiliki kerendahan hati terhadap hidup.
Kata Goethe, “Tidak ada kesulitan yang tak dapat dimuliakan, baik itu dengan pencapaian-pencapaian maupun dengan ketahanan dan ketabahan.” Entah kita berusaha mengubah nasib kita, jika mungkin, atau kita bersedia menerimanya bila perlu.
Holderlin bilang, “Kalau aku melangkah dan menapaki kemalanganku, maka aku berdiri lebih tinggi darinya.”
Masa hidup kita tidak akan kembali, ketetapan dari apa pun yang kita lakukan untuk untuk mengisinya, atau tidak mengisinya, yang membuat keberadaan kita penting. Setiap orang harus bertanggungjawab atas eksistensinya sendiri. Penyair Jerman, Christian Friedrich Hebbel mengatakan, hidup bukanlah sesuatu, hidup adalah kesempatan bagi sesuatu.
Pemenuhan makna hidup bagi manusia dilakukan dalam tiga arah, manusia mampu memberikan makna pada eksistensinya, pertama dengan melakukan sesuatu, dengan bertindak, dengan mencipta, kedua dengan mengalami sesuatu, ketiga manusia dapat menemukan makna bahkan ketika tidak memungkinkan bagi mereka untuk menemukannya dengan kedua sisi di atas.
Setelah usai baca, saya malah langsung teringat Mark Manson. Dua bukunya: Sikap Bodo Amat dan Segala-galanya Ambyar terasa banyak mengekor buku buku ini (atau juga buku Frankl lainnya). Tentang penderitaan, tentang positif thinking, tentang optimism, hingga pola menjalani hidup penuh syukur. Pinter juga Mark, Blogger penulis yang memodifikasi banyak gaya, belajar dari para orang hebat, menjadikannya pijakan tulisan.
Buku Frankl banyak diterbitkan Noura, ini yang gres dan malah jadi buku pertama yang kubaca. Suka, dan jelas memasukkan ke daftar antrian ingin mengoleksi. Ilmu psikologi, bagaimanapun turut membangun peradaban, menangani manusia selalu menyesuaikan zaman, tapi tetap spirit utama dalam kehidupan ini, yang utama bertahan hidup. “Apa pun yang masih manusiawi, masih layak dipertahankan.” Katakan YA pada hidup, apa pun yang terjadi. Katakan YA pada kehidupan.
Yes to Life | by Viktor E. Frankl | Diterjemahkan dari Yes to Life | Terbitan Beacon Press, 2019 | Bahasa asli Jerman Uber den Sinn des Lebens | Terbitan Beltz Verlag, Beltz Weinheim Basel | Penebit Noura Books | Penerjemah Pangestuningsih | Penyunting Shera Diva | Penyelaras aksara Nurjaman & Dhiwangkara | Penata aksara Aniza Pujiati | Ilustrator sampul Silmi Sabila | Perancang sampul @platypo | Cetakan ke-1, Juni 2021 | ISBN 978-623-242-218-6 | Skor: 4/5
Untuk mendiang ayahku
Karawang, 220622 – Carly Rae Jepsen – Western Wild
Thx to Toko Gunung Agung Mal Resinda, Karawang
#30HariMenulis #ReviewBuku #22 #Juni2022