Ulid, Kambing, Dawuk

Cerita, Bualan, Kebenaran by Mahfud Ikhwan

Kebanyakan para penulis prosa kita seringkali mengorbankan cerita demi mencapai puncak tertinggi diksi…”

Lucu, ironi, dan poin pentingnya eheemmmm…. tidak sombong. Tentang betapa merasa benar sangat tipis jaraknya dengan kesombongan. Biasanya saya manggil pria di blog ini dengan sebutan Bung untuk segala usia, tapi karema kita berteman di facebook dan sebagian besar sobat Dawuk memanggilnya Cak, saya turut serta di mayoritas itu. Untuk manusia penerima penghargaan Sastra tertinggi di tanah air, bahkan menyandingkan piala dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK), Cak Mahfud terbaca humble. Bayangkan, dua dari tiga novelnya menang! Wow banget ‘kan.

#1. Pengujung Desember

Sebuah kegagalan memenuhi target menjadi pembuka buku ini, sebuah pengakuan yang patut dicermati buat para penulis mula bahwa untuk menelurkan debut butuh perjuangan berdarah-darah. Bahkan untuk seorang Cak Ikhwan. Di suatu masa di akhir tahun, beliau cuti kerja untuk kebut menuntaskan novel Ulid, nyatanya tenggat yang digaris tak sesuai ekspektasi. Butuh extra time, kesabaran dan kerja keras adalah sahabat baik sebuah mutu.

Dan teman nulis yang disuka adalah metal cadas System of a Down. Wew… Generasi Linkin Park hormat!

#2. Saya dan Kampung Halaman, dan Bagaimana Saya Menulisnya

Dalam sebuah wawancara daring dengan Toko Buku Santa, Jakarta yang disiarkan live via instagram, Cak Mahfud mendendangkan pengalaman, dan seluk beluk panjang tentang desa dan habit yang terbentuk di dalamnya. Saya yang belum ‘klik’ sebab belum melahap Ulid beberapa kali menguap, dan setelahnya baru baca buku ini. Well, karena tema yang disodorkan memang promo Cerita Bualan, materi kampung halaman memang melimpah.

Dibuka dengan pengalaman baca Camus, mengingatkanku pada Summer yang berkelindan di Aljazair, menjadi setting utama The Stranger pula. Kampung halaman mencipta kenang yang jika dituturkan dalam fiksi sungguh meriah.

Saya belum membaca Pater Pancali, tapi saya sudah menuntaskan riwayat Apu. Begitupula Bukan Pasar Malam yang berkisah tentang kampung halaman Blora tapi ditulis di Jakarta enam tahun setelahnya. Bukti bahwa tempat-tempat yang pernah kita tinggali, singgahi menyeruak ingat untuk dituturkan, dirombak menjelma prosa. Obah akan mamah!

Jangan lupa, ada kritik sosial di sini dalam kutip: “Kekuasaan bergandengan tangan dengan agama akan memperlihatkan sisi buruk manusia.” Kenyataan pahit yang digeluti Negara tercinta ini. Nyaris semua foto calon penguasa, baik daerah atau nasional mengenakan identitas agama.

#3. (Sekali Lagi) Tentang Desa dan Kota Bagi Cerita-Cerita Saya

Di desa di kota tumbuh dengan gelisah / Seperti kembang dalam belukar / Seperti mata air kehilangan sungai.Frank Sahilatua & Jane Sahilatua, “Seperti Mata Air Kehilangan Sungai”

Cerpen di mula Cak Mahfud berlatar urban. Dan ketiga novelnya tak akan ada tanpa memikirkan kampung halaman, memunguti cerita, mitos, hingga persoalan-persoalan riil, yang lama maupun yang baru. Dan mengolahnya. Setiap penulis memiliki metode dan caranya masing-masing. Namun beliau membayangkan hal yang samalah yang kiranya membuat Pram menulis Cerita dari Blora di Jakarta, Kayam menulis tentang Wanagalih di New York, dan Frank McCout tentang Limerick di New York.

Well, bulan ini saya sudah punya novel Angela’s Ashes yang sulit dicari itu. Mungkin bulan depan masuk target baca.

#4. Pak Kunto (– dan Saya)

Saya belum baca satupun buku karya Bung Kuntowijoyo, namanya memang termasyur di kalangan klub buku. Berkali-kali incar, gagal bawa pulang, muncul di beranda media sosial dengan harga OK, tapi sampai detik ini belum kebeli. Terutama Pasar, banyak jenis edisinya; muncul di pajangan. Ternyata menjadi panutan Cak Mahfud, menjadikannya guru spiritual mencipta karya. Dan, Buku Pasar edisi jadul ternyata sudah masuk buku langka, mahal-mahal harganya.

Aku yang bukan tokoh utama ini membuat cerita-cerita Kunto jadi seperti mendongeng, dan ini menurut saya cocok untuk kisah-kisah berlatar rural.
Dari tulisan ini saya menyatakan berburu: Pater Pancali dan Belajar Mencintai Bunga-Bunga. Pater Pancali nyaris seperti kitab suci kepenulisan! Wow…

#5. Menulis Kambing dan Hujan: Sebuah Pengalaman

Hal menarik dalam kumpulan cerpen Pak Kunto: 1) latar ruralnya; 2) konfliks kontestasi sehari-hari masyarakat yang hidup di dalamnya; 3) Persinggungan intens antara Islan dan Jawa (atau sebaliknya). Menyentil idola Seno Gumira Ajidarma dan Putu Wijaya, maka membelok ke Pak Kunto. Mungkin terdengar umum, maka beberapa kali ketika orang menyebut novel terbaik adalah milik Pram, kini sudah terasa umum. Kita butuh selera snob untuk mengimbangi!

Eureka! Latar ’65 juga terasa umum untuk sejarah kita, tapi kalau dibuat unik memang kata ‘umum’ itu bisa ditimbang kembali.

#6. Cerita-Cerita di Masa Kecil dan Kambing Itu

Cerita-cerita itu memang tidak benar… namun dnegan menjadi tidak benar, cerita-cerita itu membuatnya merasakan dan mengetahui kebenaran bahwa ada kebenaran yang tidak bisa diceritakan kepadanya…” – Salman Rushdie

Dari tulisan nomor enam ini kita tahu, semua orang bisa jadi apa saja selama ada kemauan dan tekad, dan mungkin juga bakat. Cak Mahfud terbaca agak terlambat mungkin menekuni dunia kepenulisan, tapi ada pola yang dibentuk dari kecil, dan kita tahu beliau terlahir dalam kehidupan reliji kuat. Bagus bos, salut. Tak ada kata terlambat, dan ta-daa… beruntungnya sampeyan mengambil tantangan hidup, melepas rutinitas kerja kantor demi bergelut dengan impian. Salute!

Hea hea…

#7. Tentang Bagaimana Kambing Disajikan: Beberapa Penjelasan dan Pengakuan

Nama sampeyan kini sudah ngetrend Mas, sudah sejajar sama nama-nama yang disebut di sini. Semua penulis punya ‘guru’ dalam kepenulisan. Pak Kunto mungkin salah satunya, seolah menjadi seorang pengekor yang obsesif. Namun kurasa enggak juga, ada benang merah yang kuat dan bisa tegak bernama ketekunan.

Dan tak ada penghiburan di antara yang rutin kecuali melanggar kerutinan.

#8. Kita Adalah Bangsa yang Menyimpan Amarah: Wawancara Proses Kreatif Dawuk

Ini mungkin tulisan terbaik, disajikan di akhir. Mungkin pula karena saya mengenal Cak Mahfud dari Dawuk dan terkesan lalu merebet ke karya lain, maka tulisan akhir yang pernah tayang di jurnalruang ini terasa memukau. Ditulis dengan pola wawancara. Satu kutipan yang menurutku keren banget adalah ini, “Saya menulis apa yang saya tahu, saya pahami, dan saya kuasai.” Maka enyahlah kalian penulis ngawang-awang tak jelas.

Dengan dalih karakter dalam Dawuk yang menjadi penyambung lidah sang Penulis, “Warto Kemplung yang bercerita untuk mendapatkan tokok dan kopi, dan sedikit perhatian, saya rasa tujuan saya menulis Dawuk, tak jauh-jauh amat dari hal semacam itu….” Bisa ditemukan di Dawuk, orang yang paling beragama di antara kita boleh jadi adalah orang yang paling buruk perangainya.

Dan kritik komunitas yang kurasa bagus banget, dan di dunia digital grup-grup macam itu menjamur luber ke jalanan. “Terlalu dominannya suatu gaya dan kelompok tertentu dalam sastra kita…”

Mungkin pula, ini jadi pemicu saya harus menikmati Aku dan India. Ah, semuanya saja. Dengan tiga buku bagus plus satu Cerita Bualan ini yang juga bagus, rasanya semua buku Cak Mahfud laik sekali dilahap, dan tentu saja dikoleksi. Layak jadi idola. Kunanti sekuel Dawuk dengan tak sabar…

Kebetulan ini buku kedua tahun 2020 dari Tanda Baca yang kubaca, Tentang Menulis-nya Bernard Batubara yang gagal memenuhi harap, sekadar curhat pengalaman beliau mencipta karya, tak dalam, sangat biasa, dan benar-benar (maaf) tak bervitamin. Sempat terbesit sepintas, jangan-jangan ini buku ala kadar juga? Sama-sama tipis dan berkutat dalam proses kreatif. Namun tentu saya rasa was-was itu bisa dienyahkan seketika, jelas Cak Mahfud punya kualitas, punya standar yang menggaris, mana yang laik dicetak dan mana yang sebaiknya tetap tersimpan dalam komputer. Kedelapan tulisan di sini sungguh ciamik, mengingatkanku pada curhat Mario Vargas Llosa dalam ‘Matinya Penulis Besartentang proses kreatif dan pengalaman beliau di dunia sastra. Nah, mirip sekali ‘kan. Jangan-jangan 20 atau 30 tahun lagi, Cak Mahfud mendunia juga, siapa tahu Man Booker Award dalam intaian. Selama kualitas dijaga, nggak ada yang mustahil toh. Kalau dituturkan dengan irama merdu gini, kurasa sangat perlu dibuat lebih banyak lagi kisah-kisah dibalik karya, terutama tentu saja karya yang sudah dikenal rakyat, dikenal pembaca dengan akrab. Dengan sudah membaca tiga buku sebelumnya, Cerita Bualan beliau langsung bisa nyetel, klik sejak di akhir tahun cuti yang lucu itu.

Dengan dominan menggunakan kata ‘saya’ ketimbang ‘aku’ saja tampak lebih sopan. Jangan terlalu merendahkan diri karena pengaruh feodalisme yang sudah berurat berakar. Saya dalam bahasa Indonesia sama/setaraf dengan kata ik dalam bahasa Belanda, I dalam bahasa Inggris, dan ana dalam bahasa Arab. Lantas kenapa kita lalu menganggap kurang hormat menggunakan kata ‘saya’? Pengaruh daerah atau foedalisme? Mungkin karena diambil dari kata sahaya yang berarti ‘budak’. Atau ‘hamba’, sejatinya kalau mau merendahkan diri serendah-rendahnya pakailah patik atau hamba. Jadi pemilihan kata ‘saya’ bagiku lebih nyaman dan terasa lebih respect walaupun sejatinya sama saja dengan ‘aku’. Dalam novel-novel terjemahan Agatha Christie banyak kita temui, wah jangan-jangan karena pola pilihan baca kita sehingga tercipta kewajaran dan kenyamanan?

Seperti Sang Penulis bilang, saya menyukai kesederhanaan Pak Kunto dalam menulis. Maka saya juga bisa bilang, “Saya menyukai kesederhanaan Cak Mahfud dalam menulis…”

Cerita, Bualan, Kebenaran | by Mahfud Ikhwan | Cetakan pertama, September 2020 | Edisi perdana buku ini berseri 1-500 (Buku ini berseri 363) | vi + 144 hlm.; 12 x 19 cm | ISBN 978-623-93977-1-5 | Penerbit Tanda Baca | Editor Ageng Indra | Perancang sampul Fitiana Hadi | Layout MS Lubis | Skor: 4.5/5

Karawang, 191020 – 191120 – Roxette – Listen to your Heart

Thx to Dema Buku, Rani Skom

*) draf sudah selesai pas sebulan lalu, buku ini malah ketlisut di rak buku dan tumpang tindih susah kucari, sampai mandi keringat di cuaca ekstrim Karawang akhir-akhir ini. Kulanjutkan ulas justru tak sengaja, kebetulan cari buku Sheila yang akan ku giveaway kan, malah ketemu. Duh, hea hea…

5 komentar di “Ulid, Kambing, Dawuk

  1. Ping balik: #Oktober2020 Baca | Lazione Budy

  2. Ping balik: 14 Best Books 2020 – Non Fiksi | Lazione Budy

  3. Ping balik: Buku-buku yang Kubaca 2020 | Lazione Budy

  4. Ping balik: “Bagaimana Cara Mendapatkan Ide?” | Lazione Budy

  5. Ping balik: Sastra adalah… Yang Gelap-Gelap Gitu, ‘Kan? | Lazione Budy

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s