Tour de Lembu Part 02


“Bayangkan saja, di tengah kabut tebal yang menggulung, terdengar suara gamelan Jawa mengalun konstan. Bikin gidik.”

Tour de pertama 2024 ini ternyata Gunung Lembu. Mulanya mau ke Gunung Parang, tapi karena kendala alam, malah belok ke Gunung Lembu yang September 2024 kemarin sebagai penutup Tour de 2023 sekaligus gunung terakhir yang saya daki. Fufufu… dalam setengah tahun dua kali ke sana. Well, tak mengapa, setiap pendakian memiliki kenangannya tersendiri. Jadi mari kita catat.

Bersama teman-teman kerja sudah merencana ke Purwakarta, jadwalnya sebelum puasa harus dapat satu. Walaupun musim masih hujan, dan teman naik tambah turun kuantitinya. Wajar saja, dari sama Len dan Icha, sampai Pak Ir. Dari kemungkinan sama teman-teman Produksi, dan yang terakhir Aldi yang sudah join grup WA seminggu sebelum hari H, mengabarkan tidak jadi join sebab Sabtunya ke Jakarta, pulang malam takut kelelahan. Yo, wes akhirnya tersisa 4 bermobil + 1 naik sepeda motor langsung ketemu di sana.

Minggu pagi, 3 Maret pukul 06:00 mepo di rumahku sebab dekat sama pintu tol Karawang Barat. Satu per satu datang, pertama Ajay jalan kaki dari kosnya yang dibelakang rumah. Lalu Theo yang pertama kalinya ke rumahku, ia merupakan pendaki yang sudah kenal Herry dan Ajay. Baru yang join terakhir Herry. Seperti biasa, santuy dulu sama kopi/teh. Sementara dari Karawang Timur, Iqbal naik motor langsung ketemu di basecamp.

Bujet kita tipis saja, 75 ribu per orang. Sudah saya hitung, cukup. Bensin 50k, tol 26kx2 (realisasi 34.5kx2), tiket masuk 12kx4 (realisasi 10kx2), parkir 10k, makan mie ayam 30kx4 (realisasi berlima 108k). Dan ternyata nantinya setelah saya realisasikan, gap sisa 5k doang. Mantab kan. Hiking hemat ke Purwakarta.
Kukira sudah sarapan semua, ternyata Herry belum. Mampir pinggir jalan dekat Pustaka 2000 beli nasi kuning, 2 bungkus. Satu dimakan langsung di mobil, 1nya untuk makan siang di puncak. Perjalanannya sendiri lancar, estimasi 1.5 jam tak meleset jauh. Sempat salah masuk ke pasar sebelum jembatan utama Sukadana, putar balik untuk ke jalur utama. Bahkan di pasar itu ketemu Iqbal yang naik motor. Sempat pula kepikiran, Iqbal suruh cari penitipan motor untuk join mobil. Namun tak jadi.

Jalur yang dilewati sama dengan jalur ke Lembu tahun lalu, hanya saat di pertigaan yang seharusnya lurus ke Lembu, kita belok kiri arah Parang. Ada jalur beberapa meter rusak parah, yang infonya karena kena longsoran sehingga aspal geser, hanya menyisakan jalanan berbatu/tanah. Mobil bagian bawah seperti kena batu besar, gasruk dikit, aman. Di sinilah masalah timbul.

Ternyata terjadi tanah longsor beberapa waktu lalu masuk menutup akses. Sudah beberapa waktu jalan ke Gunung Parang terhalang longsor. Itupun kita baru tahu saat papasan dengan mobil pengangkut bambu, bahwa jalur utama ditutup. Kalau mau tetap ke Parang, bisa lewat alternatif Plered, silakan putar balik. Infonya jalurnya menanjak tajam, risiko kalau bawa mobil. Akhirnya kita diskusi kilat. Dengan kaca mobil dibuka, nyamuk hitam banyak sekali mengerubung.

Kalau tetap ingin naik, opsinya cuma Lembu. Ke Plered rasanya tak memungkinkan, selain putar jauh, mobil sempit, tanjakan pula. Akhirnya dari Maps kita langsung cek posisi ke Lembu yang hanya 8 menit! Yo wes, disepakati kita ke Lembu aja. Kasih kabar ke Iqbal, kita ganti tujuan. Dan benar saja, 8 menit pas kita sudah di basecamp, jam 9. Karena sudah pernah ke sini belum lama ini, jadi rasanya semua sudah familiar.

Sayangnya tak bisa gegas nanjak, nunggu Iqbal lama sekali. Pakai masalah makanan ketinggalan pula, kirain balik Cikampek, ternyata ketinggalan di warung fastfood. Saya ngopi, buka snack, makan kuaci bareng, yang lain main HP (sinyal 3 hilang, lainnya ada). Sekitar 30 menit setelah dinanti akhirnya tiba. Waktu itu gerimis, cuaca memang sedang sering hujan, jadi agak was-was juga mau naik. Alhamdulillah, pukul 09:30 tak jadi hujan. Setelah bayar registrasi per orang 10 ribu, kita berangkat.

Rutenya tentu masih sangat ingat. Jalur bamboo yang licin, tanjakan curam dengan pegangan di kiri, rute paling sulit di Lembu hanya menuju pos 1, jadi saya sudah mempersiapkan momen itu, yang membedakan ini licin habis diguyur hujan. Jadi makin hati-hati dalam setiap langkah. Tak sampai setengah jam kita sudah di pos satu. Betapa mengejutkannya, banyak sapi/lembu di pos satu. Tempat dulu kami rebahan di bawah pohon, bau kotoran hewan. Sebuah kubangan besar di sisi jauh jadi ajang mandi mereka.

Ayunan yang dulu kami mainkan, rusak lepas. Dari empat yang ada sisa dua yang masih bisa dipakai. Dan entah kenapa, auranya tak seceria dulu. Ini lebih muram, mungkin karena tanah basah, udara lembab, bau, mungkin pula karena antusiasme menurun sebab sudah tahu alur-alurnya.

Kali ini kami mengambil rute ke puncak lewat kanan, bukan jalur utama. Jadi mau dibalik, nanti turunnya dari kiri yang bagus. Bertemu pendaki asli Purwakarta, dua pemuda yang jam sepagi itu sudah menuju turun. Sisi pendakian kanan ini terbilang mudah, ternyata malah ketemu dua pohon besar tumbang sehingga tak semudah yang diperkiran. Belum terlalu lama jatuhnya, ada yang lewat atas dengan manjat pohon, ada yang lewat bawahnya. Sementara pohon satunya lagi menimbulkan longsoran yang membuat akses tertutup, kanan jalur, jurang dalam! Akhirnya mutar cari jalur alternatif, ada jejak kaki sempit, kami ambil. Ya, karena ini bukan jalur utama, tak ditemukan pos-pos di sana. banyak cacing tanah pada kelenjotan di atas tanah, banyak banget. Karena cuaca basah saja sehingga mereka bermunculan. Tahu-tahu sudah di puncak aja. Bukan puncak penanda itu, tapi area batu yang memiliki view keren itu.

Sejujurnya walaupun banyak keringat bercucuran, lelahnya belum terasa. Hanya butuh satu jaman untuk sampai puncak. Kami foto-foto, buka kuaci lagi, menikmati pemandangan, main HP sebab ada sinyal 3. Warung abah tutup, jadi hanya mengandalkan bekal. Nah, apesnya banyak monyet turun. Satu dua mulanya datang mencoba mengganggu kami yang sedang ngemil roti atau kuaci, tapi lama-lama serangan makin banyak, para binatang turun dari pohon.

Selepas foto-foto di batu dengan background waduk Jatiluhur, kami sudah siap-siap buka bekal makan siang, pas adzan duhur. Namun tak semudah itu, seekor monyet liar menyerang dekat sekali dengan tempat duduk kami, sehingga gegas kabur menyelamatkan bekal dan barang-barang. Diputuskan makan siang di tempat lain. Monyetnya makin ganas saat tahu para pendaki bawa bekal makanan.

Sesuai rencana jalur turun lewat jalur utama. Menemukan penanda puncak, lalu masuk ke belakang penanda yang ada batu besar untuk makan siang di sana. Areanya curam, dan memang sempit untuk makan, tapi tetap kami pakai. Makan siang sambil menikmati suasana gunung yang sejuk. Luar biasa, indahnya.
Apesnya, penutup minuman Theo jatuh. Lalu kabut tiba-tiba datang. Langit yang mulanya cerah, langsung seketika tertutup kabut putih.

Foto-foto sama Ajay terhenti. Full cover sehingga pandangan kami tak bisa jauh, gegas saja turun dari batu, gegas turun. Ini tampak aneh, sungguh menakutkan, kabut itu seolah dikirim untuk menyuruh kami gegas turun dari puncak. Apalagi, beberapa saat kemudian gerimis. Fufufu… ini lebih mengkhawatirkan. Gerimis + kabut, takutnya monyet turut menyerang. Akhirnya cepat gerak.
Batu yang dulunya tampak eksotik untuk tempat foto-foto lama itu bahkan kami lewati, pos tiga tak disentuh. Lalu jalur sambung dua bukit, di mana langitnya awan, pemandangan menakjubkan itu, yang juga jadi tempat foto-foto kami dulu, dilewati begitu saja. Sesekali ambil foto dan video, tapi tetap saja tak lama. Kanan kiri yang dulu gersang, jurang, kali ini penuh pepohonan hijau, gerimis mengubah banyak hal.

Pos dua juga tak terasa jauh. Nah dari pos dua ke pos satu ini, terdengar suara-suara aneh seperti gamelan. Bayangkan saja, di tengah kabut tebal yang menggulung, terdengar suara gamelan Jawa mengalun konstan. Bikin gidik. Agar tak menimbulkan ketakutan ke yang lain saya diam saja. Namun makin turun, suaranya makin jelas. Istigfar berkali-kali dalam hati. Hufh… mana ketemu kuburan Mbah Surya Kencana pula. Permisi…

Namun segalanya jadi jelas saat jelang pos satu. Ada gerombolan sapi/lembu merumput. Lega. Bukan suara gaib yang kedengeran, tapi genta lembu yang berdentang saat jalan. Mereka terpencar dan menggerombol. Anehnya, mereka bisa naik gunung. Saya lihat sendiri, mereka bisa nanjak. Bahkan, saat ada lembu kecil turun, dengan pede-nya seperti prosotan, yang saat ada lembu di bawahnya remnya pakem, berhenti pas di depan lembu lain. Lalu suara ‘eemmmoooohhh’ sahut-sahutan. Intinya, itu bukan suara gamelan, tapi genta berdenting bergantian.

Sampai pos satu, kita istirahat bentar. Minumanku sudah habis. Bawa 600 ml dan 500 ml isotonik. Untung sudah dekat. Setelah istirahat bentar, kita turun, melewati area bamboo yang licin itu. saya berkali-kali terpeleset. Tangan sampai lecet, perih. Inilah kenapa sepatu gunung yang safety perlu. Nanti setelah lebaran, beli ah.

Sampai di basecamp pukul 14:15. Bergantian mandi, sebab selain basah juga penuh lumpur. Bagusnya, ada mushola dengan air bersih melimpah. Duhur aman. Lalu teh pucuk dingin disuguhkan. Nikmat sekali. Dan begitulah, perjalanan pulang dilakukan. Mampir makan mie ayam di tempat yang sama dengan yang dulu. Ketemu dengan guru SMK Telagasari, Bu Wiwiek (pas ketemu saya lupa namanya, dia yang menyapa duluan). Dia sudah tidak ngajar di sana, sudah jadi warga Purwakarta. Sebuah kebetulan. Persentase ketemu teman lama di warung mie ayam di kota yang jarang kita kunjungi adalah momen jarang.

Setelah itu melanjutkan perjalanan pulang. Iqbal naik motor, say thanks, kami turut masuk tol Ciganea. Dan wuuuz… pukul 17:00 sudah sampai rumah. Sesuai jadwal, sesuai run down. Termasuk estimasi biaya, urunan 75k per orang setelah dihitung, sisa 5k yang disepakati masuk kotak amal. Ringkas, cepat, tektok, fun.

Alhamdulilah, Tour de 2024 pertama berjalan lancar. Next trip kemana? Gede? Sangar? Prau? Sumbing? Mari kita nanti, ke manapun semoga diberi keselamatan, kebahagiaan, dan kebersamaan dengan teman makin akrab. Oiya, finansial yang mapan buat menunjang hobi ini. Nabung, untuk Rinjani dua tiga tahun lagi? Thx.

Karawang, 250324 – Erin Boheme – Teach me Tonight

Thx to Herry, Theo, Ajay, Iqbal

Tinggalkan komentar