The Pearl – John Steinbeck

Inilah buku tanggal 10 Agustus 2016 lalu saya beli di hari spesial ulang tahun Hermione. Buku yang sekali duduk baca selesai. Karena karya seorang peraih Nobel Sastra 1962 maka tak salah harapan saya tinggi. Sayangnya ketinggian, tak bisa meyamai apalagi melampaui karya fenomenal ‘Of Mice and Men’. Walau eksekusi ending-nya sangat berani dan seperti Of Mice yang memberi akhir sedih namun tetap secara runut tak bisa. Buku dengan 142 halaman ini mempunyai selembar bagian fantastis ketika keputusan kepada siapa mutiara itu berpihak.

Kisahnya memang pilu sedari awal. Sebuah keluarga pelaut miskin di Meksiko yang tinggal di perkampungan nelayan di sebuah gubuk sederhana. Keluarga Kino yang turun-temurun hidup miskin dengan segala problematikanya. Istrinya yang sederhana Juana dan bayi mereka Coyotito. Jangankan perabot rumah, mereka tidur saja di alas tikar. Masak dengan tungku dan batu bara serta ranting kering sebagai korbannya. Keluarga ini di suatu pagi yang cerah memulai aktivitas. Sarapan kue jagung hangat yang dicelupkan ke saus ditemani minuman pulque (minuaman fermentasi yang mengandung alcohol khas Meksiko, dibuat dari beragam tanaman agave). Matahari bersinar hangat seakan memberi harapan baru.

Saat itu lagu tragedi mulai dilantunkan. Di kotak gantung tempat tidur sang bayi, ada gerakan binatang kecil. Seekor kalajengking dengan ekor beracun yang tepat lurus siap melecut setiap saat. Nafas Kino berhembus dari cuping hidungnya dan dia membuka mulut untuk menghentikannya. Raut terkejut dan lagu kejahatan berdesis. Dalam nafasnya Juana mengulang-ulang mantra kuno untuk berlindung dari kejahatan. Dan puncak doanya dia berkomat-kamit melafalkan Salam Maria dengan gigi gemeretak. Upaya cepat menyingkirkan binatang gagal. Kalajengking itu direnggutnya lalu menggosok-gosoknya hingga lekat di tangan kemudian dibanting ke tanah. Kino meninju dan menghancurkan sang binatang hingga hancur sampai tinggal serpihan. Coyotito menangis, jeritannya sampai terdengar oleh para tetangga.

Segera mereka bergegas ke kota untuk berobat. Sempat terbesit memanggil dokter, namun keluarga ini mana bisa membayar? Perkampungan gubuk yang tak akan ditengok orang penting di Pemerintahan. Seperti halnya suasana desa yang punya kebersamaan, para tetangga lalu bersama-sama berarak ke kota. Suatu pemandangan kontras dari rumah-rumah kumuh ke rumah-rumah berplester dan rapi. Arak-arakan ini melewati Gereja, dan para pengemis ikut dalam rombongan. Para pengemis adalah orang-orang yang tahu seluk beluk kota. Orang yang tahu para hamba yang meminta pertolongan dalam mimbar pengakuan. Sehingga ketika tahu ada keluarga miskin akan menemui dokter mereka sangsi. Sang dokter adalah orang tamak yang mengukur segala dengan uang. Apa yang dikhawatirkan para pengemis jadi nyata.

Saat arak-arakan ini sampai di depan pintu rumah sang dokter. Pelayannya menghadap. “Tidak adakah hal yang lebih baik yang dapat kulakukan selain mengobati ‘Indian Kecil’ yang tersengat serangga? Aku bukan dokter hewan.” Sang pelayan hanya mengiyakan. Lalu dokter sombong itu melanjutkan, “Memangnya dia punya uang? Tidak kan, mereka tak pernah punya uang. Aku, akulah satu-satunya di dunia ini yang didesak bekerja tanpa imbalan dan aku lelah dengan hal-hal seperti ini. Lihat dulu apakah ia punya uang!”

Perintah itu tentu saja dilaksanakan dengan gemetar. Kino yang berangkat ke kota hanya memakai pakaian lusuh lalu ‘diusir’, hatinya panas. Kino mendendam, pintu diketuk-ketuk penuh amarah. Untuk waktu yang lama berdiri di depan gerbang dengan Juana di sampingnya, perlahan ia pakai lagi topinya di kepala lalu tanpa basa-basi meninju pintu sampai buku jemarinya robek dan darah mengalir. Ini adalah bagian pertama. Sebuah pembuka yang mengharu, mengajak pembaca marah terhadap ketidakadilan. Marah akan tatanan dunia yang tak berpihak pada kaum papa.

Bagian kedua adalah sebuah harapan. Keluarga Kino dalam kesehariannya melaut dengan kano sederhana dari Nayarit, sebuah negara bagian di Meksiko yang sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Pasifik. Karena buku ini berjudul ‘mutiara’, apa yang ditemukan di laut oleh keluarga ini tentu saja mutiara. Namun ini adalah mutiara istimewa. Mutiara terbesar di dunia. Kilaunya, beratnya, membuat nelayan lain ikut terkagum. Dalam kegembiraan membuncah Kino berteriak kegirangan.

Bagian tiga adalah dilema. Berita temuan mutiara itu menyebar dengan sangat cepat seperti angin. Tetangga Kino ikut bahagia, ada orang miskin di daerah mereka tiba-tiba (bisa) kaya. Para pengemis ikut bahagia, tak ada anugerah yang lebih tinggi bagi pengemis selain mendapati saudaranya bahagia. Sang dokter yang mendengar itu lalu bergegas ke rumah Kino untuk ‘mengobati’. Laksana menjilat ludahnya sendiri. Sang Pendeta ikut datang untuk melihat mukjizat itu. Permintaan Kino sederhana saja, ingin diresmikan pernikahan secara agama di Gereja. Dan seterusnya dan seterusnya. Limpahan itu menjadi magnet semua orang.

“Kemujuran, kalian tahu, biasanya mengajak serta pasangannya, yaitu tragedi.” Di bagian keempat adalah kisah keberanian. Mutiara itu mengundag kawanan pencuri dan berandal. Malam itu Kino berjibaku sampai berdarah melawan orang yang berniat jahat. Paginya Kino, Yuana dan bayinya Coyotito segera bergegas ke kota untuk menjualnya. Sama seperti di bagian awal ketika mereka pergi ke dokter dengan arak-arakan, hari itu mereka berarakan ke pembeli mutiara. Ada rasa was-was orang miskin akan ditipu. Takut harganya dimanipulasi. Kekhawatiran itu sudah dijelaskan John sedari awal. Pada dasarnya pembeli mutiara – emas juga, adalah monopoli seseorang. Memang para pembeli tersebar dengan berbagai gaya, tawaran dan mulut lamis. Tapi semua itu hanya sandiwara. Mereka menawar dengan harga ‘hanya’ 1.000 peso. Jauh dari perkiraan yang diperkirakan oleh Kino yaitu minimal 50.000 peso. “Ini bukan permata, ini benda aneh.” Akting salah satu calon pembeli. Dengan gusar Kino mengambil lagi temuannya dan bergegas pulang. “Aku akan menaikkannya hingga 1.500 peso”, pancing yang lain. Kino tak peduli, ia pulang dengan kepala panas.

Bagian kelima dan keenam adalah pengambilan keputusan. Kino berniat ke ibukota untuk mendapat harga yang lebih pantas. Namun segalanya seakan menghalangi. Kanonya dirusak. Pantai dijaga para berandal, perkelahian itu mengakibatkan Kino terluka dan sang perampok tewas. Kewaspadaan ditingkatkan. Akhirnya diputuskan mereka berangkat di tengah malam. Dengan bekal apa adanya, dengan istri di samping bersama sang bayi. Mereka mencoba menantang takdir. Berhasilkah selamat dari hadangan para perampok? Berhasilkah Kino menjadi kaya dan memperbaiki nasib keluarganya?

Well, John Steinbeck terkenal akan keberanian memberi ending yang menyedihkan. Of Mice yang fenomenal sampai dilarang dibacakan untuk siswa sekolah di Amerika saking tragisnya. Jadi apa yang terjadi terhadap keluarga Kino bisa kalian tebak. Sedih, tak ada keadilan yang kaya makin tinggi yang miskin terus terseok. Keputusan di malam di dekat sumber air itu memang berkelas. Ditampilkan dengan sisi imajinasi yang beringas. Sepakat. Andai cerita yang kubuat mentok, mungkin saya akan memberi akhir yang sama. Namun kisah ini terlalu pendek. Kurang berkembang karena fokus terus terpusat kepada Kino.

Musik mutiara mengalun lirih bagaikan bisikan, untuk kemudian hilang memudar.

Mutiara | by John Steinbeck | copyright 1945 | judul asli The Pearl | Penerjemah Ary Kristanti | Editor Bahasa Salififa Zanbihan | Design sampul Bambang Hidayatullah | Tata letak Argo Tutuka | ISBN 978-602-1526-12-5 | Cetakan I, 2013 | Penerbit Liris | Skor: 3.5/5

Karawang, 220816 – Sherina Munaf – Pergilah Kau

2 komentar di “The Pearl – John Steinbeck

  1. Ping balik: Kamis Yang Manis #30 | Lazione Budy

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s