November2022 Baca

Karena kau perempuan, Nduk. Cah ayu yo kudune menikah, punya suami lantas mengabdi. Kuwi kodrate wong wedhok.” – Tabula Rasa, Ratih Kumala

Bulan Anniversary ini dilewati dengan banyak degub mengkhawatirkan. Pekerjaan menuntut untuk keluar kota hampir setiap minggu. Piala Dunia sudah dimulai, kini memasuki partai-partai akhir grup, hingga kesibukan di rumah yang memang butuh perhatian. Yang paling menyedihkan, teman istriku divonis sakit parah, #GWSAbu sakit kepalanya ternyata tak sekadar sakit kepala.

Lalu keputusan mengambil sepeda listrik (4.4 juta tunai, dari koperasi) merupakan langkah maju untuk membantu transpotasi, tapi langkah mundur dengan cicilan sejutaan di koperasi, makin banyak utangnya.

Dan hilangnya Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2022, setelah kepergiaan Richard Oh, belum ada yang meneruskan. Sehingga November yang biasanya rekap baca buku lokal melimpah, kini sedikit sekali. Saat menyadarinya, baru baca fiksi lokal 21 buku. Jauh dari rekap tahunan, makanya Desember ini saya fokus mengejarnya. Namun tetap, semuanya mengalir sahaja…

#1. A Dash of Magic by Kathryn Littlewood

Kisahnya tampak klise. Kompetisi masak Internasional di Paris dengan sihir menyertai, dan peserta finalnya adalah saudaraan. Kemungkinan seperti itu sangat amat kecil terjadi di dunia nyata. Seperti kompetisi catur dunia, apakah pernah terjadi final dalam satu keluarga? Atau mungkin satu Negara? Sekalipun fiksi, tetap pijakan utama adalah kehidupan kita. Sekalipun sihir, tetap logika kehidupan harus dijadikan acuan. Dan banyak sekali trik yang disampaikan juga tak se-majic yang diagungkan, atau seseru buku satu. Trik-trik curang demi menjadi nomor satu, disajikan dengan plot kanak-kanak. Cara pemilihan pemenang juga begitu sederhana, tak serumit kompetisi Chef memasak tingkat RT, apalagi tingkat TV Nasional yang lebai. Jelas, kisah di buku ini sebuah penurunan. Dengan bekal kata, “Mengalir saja”, semuanya memuncak di Paris yang glamor. Nyaris tak ada kejutan berarti. Mungkin keunggulan utama buku ini adalah cover yang ciamik. Enak dipandang mata saat disusun rapi di rak.

“Kita selesaikan masalah satu-satu, Mi Hermana, pertama kita dapatkan bunyi lonceng dulu.”

#2. How the World Works by Noam Chomsky

Lega. Itulah perasaanku setelah bertahun-tahun coba menyelesaikan baca buku ini. Kubeli tahun 2015, sempat menggebu membaca di awal. Down di tengah jalan,. Tahun 2016 sempat pula coba kulanjutkan, dan kembali tertunda. Dan begitulah, tertimbun buku-buku lain. Terlupakan. Memang bukan buku yang santuy, bahasannya berat. Politik, dan begitu kritisnya banyak ungkapan-ungkapan yang bikin pemerintah panas.

“Ada kasus yang sangat solid untuk didakwa setiap presiden Amerika sejak Perang Dunia Kedua bertanggung jawab atas berbagai peristiwa berdarah di seantero dunia. Mereka semua merupakan penjahat perang atau setidaknya dalam kejahatan perang yang serius.”

#3. Marxisme, Seni, Pembebasan by Goenawan Muhammad

Penuh dengan kutipan. Sampai-sampai tak tahu mana pemikiran asli penulis, mana kutipannya. Buanyaaaak banget. Aneh rasanya membaca kutipan bertumpuk-tumpuk dalam satu paragraph panjang. Menelusur masa lalu dengan Marx sebagai pusatnya, didedah dan diuji ketahanannya oleh masa. Dan setelah lebih seabad Marx rasanya abadi, dilihat dari sudut manapun, layak didiskusikan. Sosialisme mengklaim, reliji juga, seni, ideology hingga manzhab lebih tinggi terkait tafsirnya sungguh liar. Dan buku ini hanya sebagian kecil darinya. Apalagi saya sedang baca Teori Sosiologi Modern, di mana Marx menyita halaman (otomatis perhatian) sangat tinggi.

“… keindahan yang benar-benar, yang tertinggi adalah keindahan yang dijumpai oleh manusia di dalam dunia kenyataan dan bukanlah keindahan yang diciptakan seni.” – Chernishevski

#4. The Hundred Secret Sense by Amy Tan

Ini jelas lebih mudah dicerna ketimbang The Joy Luck Club yang plot-nya berlapis. The Hundred Secret Senses sekalipun menyertakan dunia yin yang absurd dan mengundang arwah untuk berdiskusi, mengunjungi hantu-hantu masa lalu untuk membantu memahami masa kini, setidaknya alurnya masih runut. Sudutnya fokus pada Olivia, yang lainnya hanya sempalan, atau kalaupun keluar jalur, hanya mencerita detail yang menunjang. Kwan jelas begitu dominan menemani, sebagai kakak-nya yang paling setia, Kwan justru tokoh terpenting, terutama aspal cerita yang padat, dan eksekusi kunci di endingnya yang tak terduga.

“Janji mengajakku ke bioskop atau kolam renang akan mudah terhapus dengan dalih lupa, atau lebih buruk lagi, variasi-variasi licik mengenai apa yang dikatakan dan dimaksud.”

#5. The Art of Novel by Milan Kundera

Kundera menulis dengan semangat merayakan lelucon. Dari judul-judulnya sudah terlihat. Harus membaca buku-bukunya dulu untuk bisa menikmati secara maksimal buku ini. Saya baru membaca empat: Pesta Remeh Temeh, Kitab Lupa dan Gelak Tawa, Identitas, dan Kealpaan. Dan itu tak cukup. Selain mengupas novel-novelnya, kita juga diajak bersafari ke novel-novel hebat sebelumnya. “Kita sering mendengar trinitas suci novel modern: Proust (belum baca), Joyce (Ulysses belum baca), Kafka (sudah baca). Menurut saya, trinitas itu tak ada. Kafka memberikan orientas baru, yaitu orientas post-Proustian. Caranya memahami diri sungguh-sungguh mengejutkan.” Ya, ketiganya sangat dominan dikupas, ditambah Cervantes (belum kubaca), Schweik (sudah kubaca), hingga Balzac. Sayangnya, hanya sebagian kecil yang kunikmati. Ada tiga kebijakan utama yang wajib dikembangkan manusia: toleransi, humor, dan imajinasi.

“Novel memiliki kekuatan untuk menggabungkan puisi dan filsafat, bukan sebaliknya.”

#6. Menyingkap Rahasia Akhirat by Al Ghazali

Luar biasa. Karena ini hal yang baru, saya terpesona. Alam akhirat yang misterius itu dijelaskan dengan gamblang, bagaimana kehidupan setelah kematian. Dari mulai detik-detik kematian, hingga putusan akhir penghakiman pada-Nya. Ini versi Islam, artinya segalanya bersumber pada Al Quran dan Hadist sehingga, diluar itu tak disinggung sama sekali.

“Tak ada yang bisa menyingkap rahasia-rahasia akhirat kecuali orang yang menguasai ilmu-ilmu keakhiratan.”

#7. Tabula Rasa by Ratih Kumala

Kisah sedih di Rusia, kisah sedih di Yogyakarta, kisah sedih di Kanada. Asmara yang yang melilit para karakter. Temanya berat, sebab melibat homo dan lesbi serta kematian-kematian orang terkasih. Mainnya jauh, sampai Benua Amerika dan Eropa. Bagi jelata macam saya, jelas tak relate. Banyak kejanggalan, atau mungkin tak nyaman dinikmati orang kebanyakan. Mahasiswa pintar yang mengikuti kemanapun ayahnya ditempatkan bekerja, tak main-main antar kota, tapi sudah melintang ke Rusia. Dan sesuai catatan sejarah di awal 1990-an terjadi perebutan kekuasaan yang mengambil banyak nyawa warga, termasuk sang kekasih. Lalu masa merentang sedasawarsa di Yogya, kini ia sudah dewasa dan menjadi dosen. Menemui rasa cinta lagi kepada salah satu mahasiswinya. Gayung seolah disambut, tapi enggak juga sebab, sang kekasih memiliki penyimpangan seksual. Dan begitulah, aliran kisahnya berkutat di masalah hati, dan tindakan. Mengikuti kata hati ataukah menjadi warga kebanyakan yang legowo?

“Kamu jangan mondar-mandir aja, kayak setrikaan.”

#8. Jejak Sufi Modern by Abu Fajar Alqalami

Lucu. Mungkin tak seberat buku-buku sufi kebanyakan, mungkin pula dan sak-klek sama aturan Islam yang kaku. Ini malah jadi sejenis diskusi, seorang awam agama, bertanya kepada pendiri pondok pesantren. Rasanya tepat, sebab biar ahlinya yang menjawab. Maka kiai Badrun memberi petuah-petuah hidup, yang mungkin bagi kita sudah umum (atau malah usang). Dasar agama, tuntunannya, hingga rasa syukur. Yang menarik, diskusi itu mengalir nyaman, dan apa adanya.

“Hujan sudah reda, kita jalan lagi.”

#9. Poison by Sara Poole

Novel renaisans di Italia. Tentang hari-hari menuju penunjukan Paus baru. Ini bisa jadi fiksi di sisian sejarah. Paus lama, yang sudah tua dan sakit-sakitan segera mengeluarkan dekrit yang sama dengan perintah dari Spanyol bahwa warga Yahudi akan dimusnahkan, atau diusir dari negerinya, tapi sebelum dektrit itu dirilis, drama terjadi di dalam istana. Racun menjadi alat bunuh yang umum, dan begitulah Francesca Giordano, ahli racun itu melaksanakan tugasnya. Di Roma yang panas, dan sejarah mencatat Rodrigo Borgia menapaki puncak kekuasaan.

“Apakah kauyakin ingin melakukan semua ini?”

#10. Wasripin & Satinah by Kuntowijoyo

Tak menyangka arah buku ini akan ke sana. Ini adalah novel kedua Kuntowijoyo yang kubaca, setelah Pasar yang fenomenal itu. Yang ini tampak lebih kompleks dengan ending yang lebih berani. Kritik politik dari arus bawah hingga pusaran pusat yang njelimet. Pasangan yang saling mencinta, dengan segala kekurangan dan segala kehebatan masing-masing, di puncak ketenaran dan kegemilangan, segalanya berbalik. Wasripin yang bak nabi, dan Satinah yang secantik merak, akhir yang tak terduga. Benar-benar dibawakan dengan sangat bagus, mengalir dengan sangat nyaman dan begitu rapinya. Ah, rasa itu, kenapa terlambat disampaikan, dalam lamaran aneh dengan hasil pancing di pantai sepi ikan, dan jelmaan indah, lantas dihempaskan.

“Ah, pasti kura-kura dalam perahu.”

#11. Logika Falus by Tomy F Awuy

Kumpulan cerpen dari penebit Metafor yang legendaris. Temanya lebih banyak menelusup di area psikologi. Dari hubungan lesbi, pemikiran liar para lelaki, hingga kehidupan malam para Jakartan. Sebagai cerpen yang diambil judul, Logika Falus justru malah yang paling biasa, di mana dua pria mendebat seorang penyanyi kafe yang elok. Lalu berjudi, dan bagaimana diakhiri dengan antiklimaks.

“Ayahmu converso. Apakah kau tidak tahu itu?”

#12. Ranah 3 Warna by A. Fuadi

Buku lanjutan Negeri Lima Menara yang sungguh biasa sekali. Sebuah penurunan drastis, ini seperti orang yang menceritakan pengalaman hidupnya, dari lulus pesantren hingga meraih impian keluar negeri. Kuliah di jurusan Hubungan Internasional, ke Kanada impian itu diwujudkan. Tersebab saya sudah membaca Laskar Pelangi dan lanjutan, seolah ini pengulangan. Dan, karena ini lebih mapan, lebih tampak menjaga image. Artinya, orang pesantren yang alim ini tak banyak mencipta konfliks, sungguh main aman. Jadi tentu saja, membaca novel dengan minim konfliks adalah sebuah pengalaman standar.

“Logika bahasa penutup kau tidak jalan, terlalu lemah. Tapi yang lain sudah baik.”

#13. Prey by Michael Crichton

Keren banget. Partikel dan bakteri dicipta, dengan kamera berukuran nano, dan jadilah penemuan dahsyat. Awalnya jinak, lalu lepas, dan pada akhirnya mereka dengan cepat beradaptasi, menjadi makhluk hidup yang menuntut eksistensi. Di sebuah lab di tengah gunung, Jack sang perancang program, seorang IT expert itu tercengang sebab kode yang ia cipta kini menjadi liar dan mengancam umat manusia. Ternyata penyebabnya justru istrinya sendiri yang juga seorang penemu, Julia yang beberapa hari tak waras. Pasangan ini saling silang, dan sebelum makhluk itu membunuh orang lebih banyak, harus dimatikan, harus dimusnahkan.

“Jadi kesimpulannya sederhana. Mengelompoklah dan jangan menonjol.”

#14. Sepotong Hati di Sudut Kamar by Pipiet Senja

Buku harian yang jadi buku. Luar biasa. Kita tahu kehidupan pribadi Pipiet Senja yang menderita leukemia. Namun detail bagaimana kehidupannya dari kecil, remaja, hingga awal mula meraih impian membuat buku, jelas tak banyak yang tahu, kecuali lingkar pertemanan/saudaranya. Nah, dari buku inilah kalian akan menemukan banyak hal pribadi beliau. Kehidupan keluarga, percintaan awal, hingga perkenalan dalam dunia teater, sandiwara nulis novel, dst. Di era Orde Baru yang minimalis, konvesional, di mana karya ditulis tangan atau diketik di mesin ketik, perjuangan seorang penderita leukemia menjadi penulis sungguh sangat inspiratif.

Karawang, 011222 – Bon Jovi – Always

Kronik Singkat Pasca Tragedi 1965 di Bali dan Kisah lainnya

Rindu Terluka by Putu Oka Sukanta

“Dan sabungnya ini kan di Pura kita. Tentu dewa memihak kita.”

Ngeri. Permulaan cerpen ini banyak mencerita pasca tragedi 1965 di Bali. Bagaimana tokoh utama bisa selamat, dengan berbagai juang, dengan ke pulau Jawa sebagai tahanan, dengan legowo dan menyisihkan egoism, dengan banyak cara. Termasuk bagaimana ada adegan setelah masa genting lewat, ia pulang ke Bali dan bertemu dengan para algojo, walau tak sampai dibunuh juga sebab sudah lewat jauh, kengerian itu masih sangat terasa. Mengherankan, sungguh heran bagaimana bisa dunia bisa berputar dengan keganasan dan tata kelola sadis membantai teman/saudaranya sendiri.

Sebagian lagi tema lain, tema umum bisa sampai Batam atau kehidupan sehari-hari yang biasa mistik. Ini Bali, dunia seberang dengan sering disinggung dan dupa dinyalakan lebih tajam.

#1. Pan Blayan

Rapat desa untuk memutuskan masuknya industry ke desa mereka, Pan Blayan antusias sebab tanahnya yang kena gusur dapat ganti rugi dan ia bisa mendapati jalan mulus dekat rumahnya. Begitu pula rencana membuka usaha, tapi harapan tak semulus kenyataan.

“Hidupmu di jalan becek berlumpur. Bukan jalan licin beraspal.”

#2. Made Jepun

Kehidupan sehari-hari warga Bali, ibu jualan, ayah kerja, adik kakak sekolah, dst. Lalu segalanya berubah tersebab tragedi 1965. Segala yang berbau PKI dihilangkan, tak peduli kamu orang mana, siapa, dan mengapa.Made Jepun dituduh anggota Gerwani, dan ia kena coduk, tapi tak sembarangan, karena nantinya ia menggila dan ‘sakit kotor’. Ada karma di sana.

“Bilang aku tidak ada. Mati.”

#3. Rindu Terluka

“Jangan dulu.” Melarikan diri ke Jawa untuk bertahan hidup, sampai kapan? Dipenjara sampai kapan? Kerinduan di tanah kelahiran Bali berulang kali dipendam, sebab setiap saat bisa saja kena ciduk. Putu Sarka yang bertahan dan menyadari semua temannya sudah dibunuh.

“Semua orang bilang kamu sudah mati. Meme tidak percaya. Meme tidak membolehkan orang membuatkan pengabenan untuk kamu. Ada balian goblog yang juga bilang kamu sudah dibunuh, jauh di sana.”

#4. Kerbau Betanduk Emas

Ini seperti lanjutan, sebuah surat ditujukan kepada I Putu Mustika, bila jika sudah bebas dan ingin bertemu I Plutut bisa menemui saya, Suaeb. Dan begitulah, ia memutuskan mudik ke Bali, katanya zaman sekarang sudah berubah dan ia tak akan diburu. Dan ia bertemu dengan teman-temannya, yang dianggap PKI tapi tak PKI bisa bertahan hidup, dilecehkan. Seih.

“Ah, kalau dulu kamu menemuiku, pasti kelewangmu yang menghabisi nyawaku. Apa yang mereka pikirkan tentang diriku sekarang?”

#5. Tukang Kebon

Lucu, bisa jadi ini cerita terbaik. Sederhana tapi sangat mengena. Putu Mastra mencita anaknya bisa sekolah sampai SMA dan bisa kerja menjadi pegawai di kantor. Terus berdoa padaNya. Galang yang sudah lulus tak kunjung mendapat kesempatan, jadi ikut ayahnya ke sawah. Sampai suatu hari tukang kebon kantor Gubernuran meninggal, Putu Mastra bertemu Nengah Sandi, dan meminta tolong anaknya untuk bisa bekerja di sana. Mulanya optimis, sebab memang harus dari bawah. Namun suatu hari, bukan kenaikan pangkat yang Galang terima, tapi pukulan telak tersebab hal esensial.

“Berat mana Galang, jadi pegawai kantor atau di sawah?”

#6. Batu

Batu dan mitos keramatnya, ditaruh sesajen, ada penghuninya, dan orang yang berani menghina, apalagi mengencinginya akan kena kutuk. Cerita masa lalu, yang kini bisa jadi banyak yang sudah tak percaya. Batu itu masih ada, dan kembali ke masing-masing orang untuk percaya atau tidak, hingga suatu hari ada yang sakit keras.

“Tergantung kacamata yang kau pakai melihatnya.”

#7. Lengking Puisi

Ini cerita tentang kelahiran bayi terkasih, dibuat dengan syahdu meliuk-liuk puitik. Kahadiran yang dinanti, buah hati perempuan yang mengalir dalam syair.

“Dalam semua hal, anakku yang perempuan dan laki-laki adalah sama.”

#8. Mangku Dauh

Sabung ayam yang dilarang, tapi tetap dilakukan. Bambu-bambu disiapkan, jagoan sudah siap bertarung, penonton pun sudah menanti. Ah, judi, sering kali berujung petaka. Kali ini sungguh besar pengorbannya.

“Tidak ada penjudi yang aman hidupnya, berhentilah berjudi sebelum hidupmu sengsara.”

#9. Dewi Bulan Jatuh di Batam

Niah dan kegiatan medis masyarakat melawan penindasan di Batam. LSM mungkin identik dengan image negatif, tapi memang kalau dijalankan benar akan benar-benar bermanfaat. Dan perjuangan pembela kaum perempuan di tanah rantau yang sibuk di Batam terjadi.

“Ya, orang hidup, sering kayak burung, hinggap sebentar di dahan pohon, kemudian terbang lagi.”

#10. Beny

Beny si bungsu yang nakal, sering kena tegur tetangga sampai Pak RT, sering jail ke anak-anak lain, dan orangtuanya sering kena kritik. Begitu pula di sekolah, orangtua dipanggil sebab nakal sekali. Karena masalah bertumpuk, dan tak ada solusi bagus yang bisa dilakukan, muncullah ide untuk menitipka Beny ke kakeknya di Jawa Timur. Dan begitulah, si nakal itu malah jadi dirindukan.

“Mereka menangis, Kek.” / “Mereka kehilangan kau, Beny.”

#11. Bermula dari Lidia

Lidia sang penyanyi keliling, dalam sebuah seminar ia-lah yang bermula mendaku menderita Aids, masih muda dan menjadi bahan diskusi. Apakah ada kesempatan kedua? Bagaimana kalau menikah, dan pasangan akan turut kena? Anaknya juga, dunia berjalan dengan anehnya.

“Kok ada lelaki yang mau?”

#12. Bongkar

Ini masalah empati, tinggal nyaman di rumah tapi melihat sekeliling yang tak hidup susah, tak punya rumah. Kadang nitip jemur, kadang minta barang. Kasihan, tinggal di pondok bambu. Hingga suatu hari, terjadi penggusuran. Mereka akan tinggal dimana?

“Kasihan mereka, Pa.”

#13. Jembatan Cahaya

Lubang buaya dan misteri sejarah. Ketika ke museum Lubang Buaya, dengan relief dan segala detail yang disajikan, apakah bisa dipercaya catatan sejarah itu? Menelusuri sejarah dari berbagai sudut, menuntut kebenaran.

“Saya mencari apa yang tidak saya temukan.”

Kubaca santuy, sudah dua bulan tapi terbengkelai sama bacaan lain, nah awal pekan lalu, kebetulan dapat tugas luar kantor ke Bandung, bawa dua buku. Diluar duga Menembus Kabut bisa kuselesaikan baca cepat sewaktu berangkat, maka separo buku ini kutuntaskan selama perjalanan baliknya. Lumayan asyik, memang teman baca perjalanan tuh idealnya yang sederhana, cerpen sejenis ini, jangan yang berat kek bahas filsafat atau tasawuf.

Ini buku pertama Bung Putu Oka Sukanta yang kubaca, dari identitas penulis, terlihat beliau adalah salah satu korban tragedi 1965, dipenjara tanpa diadili. Terliaht cerpen-cerpen ditulis berdasar pengalaman pribadi. Bagus, terasa nyata, tak ngawang-awang. Terlebih, ini terbitan Metafor yang memang terkenal bagus di tahun 2000-an yang konsen di sastra. Semoga ada kesempatan menikmati buku-buku lain beliau.

Rindu Terluka | by Putu Oka Sukanta | Penerbit Metafor Publishing | 2004 | 13579108642 | Penyunting SiSi Arsianti | Cover dan Layout Muhammad Roniyadi | ISBN 979-3019-22-0 | Skor: 4/5

Kupersembahkan kepada Ibu dan Bapak di khayangan: Made Sukanta, Ketut Taman, dan Ketut Sringanis

Karawang, 311022 – Ella Fitzgerald – Indian Summer (Live)

Thx to Anita Damayatnti, Jakarta

Mencari Tuan Black

Extremely Loud & Incredibly Close by Jonathan Safran Foer

“Tidak ada yang indah sekaligus nyata.”

Dicetak dengan tak biasa. Dipenuhi kepadatan kata-kata, kalimat langsung bertumpuk dalam satu paragraf, ada gambar-gambar, bisa foto atau ilustrasi tangan, warna-warni sesuai mood Oscar, hingga aturan tak baku bagaimana lembar nyaris kosong hanya berisi satu dua kalimat, kata-kata tumpang tindih tak beraturan. Menabrak banyak aturan bahasa, tapi memang isinya sungguh bagus. Misinya terdengar sederhana, mencari Tua/Nyonya Black yang memiliki lubang kunci. Kunci peninggalan ayahnya yang meninggal dalam tragedi 11/9. Namun tak seserhana itu sebab berapa peluangmu menemukan lubang kunci dari seantero New York? Ada berapa orang bernama Black di sana? Maka Oscar mencari, menemui satu per satu, menanyakan, berkenalan, hingga petualang-petualang tak terduga.

Oscar Schell yang berduka, ditinggalkan ayahnya yang menjadi korban teroris 11/9. Ia mengalami insomnia, sakit kepala, depresi. Anak lelaki, tentu saja sangat dekat dengan ayah. Dan rasa kehilangan itu makin membentuk Oscar yang pada dasarnya pendiam aneh, makin terkucil. Keadaan makin menyebalkan, saat ibunya kini dekat dengan lelaki lain, Ron yang coba menggantikan kedudukan orang terkasih.

Dalam penguburan, di sebuah limousine mewah bersama keluarga lain yang berduka. Mereka mengubur peti kosong sebagai penghormatan. Oscar tak terima, tapi ia hanya anak Sembilan tahun. Ayahnya yang hebat, lenyap bagai debu. “Aku senang memiliki ayah yang lebih pintar dari New York Times, dan aku senang saat pipiku bisa merasakan bulu-bulu di dadanya menembus kausnya, aku masih bisa mencium aroma krim cukurnya meskipun hari telah malam. Menghabiskan waktu bersamanya menenangkan otakku. Aku tidak harus menciptakan apa-apa.”

Suatu hari secara tak sengaja sebuah van di kamar ayahnya yang ada di lemari ia pecahkan, menemukan kunci milik Black. Dan begitulah, petualangan dimulai. Rasa kasih pada ayahnya tak mau ia lenyapkan, dan ingin bersemanyam selama mungkin sekalipun digerus waktu. “Semakin banyak yang kutemukan, semakin sedikit yang kupahami. Aku menghubungkan semuanya, seperti seorang astrolog.”

Oscar berkenalan dengan manusia Tuan Black yang berusia lebih dari seabad. “Aku lahir pada tanggal 1 Januari 1900! Aku sudah menjalani semua hari di abad jedua puluh.” Bertemu dengan Nyonya Black yang berusia 48 tahun, dan berteman dengannya. Dan yang paling banyak menyita halaman, adalah narasi neneknya, ibu dari ayahnya. Masa lalunya dikupas dengan sangat mendalam.

Neneknya, dulu berkenalan dan berpacaran diam-diam dengan pendatang Thomas Schell Sr. Sejatinya Thomas jatuh hati sama Anna, kakak neneknya. Malang, Anna meninggal di peristiwa pengeboman Dresden saat Perang Dunia Kedua. Maka lantas menikahi neneknya, dan Thomas Sr. lalu menghilang saat kehamilan Thomas Jr.. Dari narasi neneknya, kita tahu, kakeknya terluka dan niat mula tak menginginkan anak, tapi kenyataan berkata lain.

Dalam penelusuran, ada seorang penyewa apartemen baru, yang begitu akrabnya walaupun tak pernah bertemu. Oscar dan Sang penyewa lalu mengubar kata-kata (dengan kode tangan ‘Ya’ dan ‘Tidak’). Dan begitulah, mereka sepakat melakukan misi terakhir. Sebuah penyampaian kata-kata yang tertunda, penyelesaian kata rindu yang membuncah. Mengubur apa yang sejatinya dikubur, yang secara harfiah, titik akhir perjalanan panjang ini.

Ini adalah novel dengan gaya. Ceritanya mungkin di tengah antara berat dan sederhana, berat sebab ini tentang anak yang kehilangan ayahnya, sederhana sebab misinya ‘hanya’ mencari lubang kunci demi rasa berkesinambungan. Namun jelas, cara penyampaiannya yang dahsyat. Sungguh mewah, detialnya mengagumkan. Enak sekali menelusur masa lalu orang-orang di sekeliling kita. “Aku sungguh-sungguh merasakan sepatu botku memberat saat memikirkan betapa kehidupan itu realtif sepele, dan betapa, jika dibandingkan dengan alam semesta dan waktu, keberadaanku sama sekali tidak penting.”

Ini buku pertama Foer yang kubaca. Satu buku lagi tentang vegetarian? ada di rak dan jelas gegas masuk daftar baca. Endingnya sendiri menurutku sempurna. Apa-apayang diperlukan kehidupan, apa yang perlu direspons dan yang biarkan segalanya berlalu. Dan sebuah fakta, bagaimana sebuah telepon berbunyi seharusnya ditanggapi, tapi malah jadi sejenis angin lalu, ahh… masa tak bisa ditarik kembali. “Manusia adalah satu-satunya binatang yang bisa tersipu malu, tertawa, memeluk agama, memecahkan perang, dan mencium dengan bibir… semakin banyak kamu mencium dengan bibirmu semakin manusiawi kamu.”

“Aku senang melihat ciuman dan tangisan, aku senang melihat ketergesaan, kisah-kisah yang meluncur lebih cepat daripada kecepatan mulut, telinga-telinga yang tidak cukup besar, mata-mata yang tidak mampu menyerap semua perubahan, aku menyukai pelukan, penyatuan, akhir dari merindukan seseorang.”

“Untuk pertama kalinya seumur hidupku, apakah kehidupan ini layak mendapatkan seluruh kerja keras untuk menjalaninya. Apakah tepatnya yang membuat layak? Apakah yang sangat buruk dari mati selamanya, dan tidak merasakan apa pun, dan bahkan tidak bermimpi? Apakah yang sangat hebat dari merasakan dan bermimpi?”

Suka sekali sama petikan puisi ini: “Aku merindukanmu bahkan ketika aku bersamamu. / Kami menghabiskan kehidupan kami untuk bekerja. / Setahun berlalu, setahun lagi, setahun lagi. lagi. / Kebutuhan itu muncul sebelum penjelasannya. / Semuanya baik-baik saja. Bahkan baik-baik saja tidak cukup. Semuanya akan sempurna.”

Atau percakapan ini: “Kenapa kamu berteriak-teriak?” / “Ceritanya panjang.” / “Aku punya banyak waktu.” Karena apa pun bisa membawaku lebih dekat dengan Dad adalah sesuatu yang ingin kutehaui,  bahkan meskipun itu akan menyakitiku. // “Jadi apa yang berarti?” / “Menjadi seseorang yang bisa diandalkan. Menjadi seseorang yang baik.”

Yang menyedihkan, sebuah fakta bahwa Ayah dan ibunya yang bentar lagi merayakan anniversary pernikaha. “Dia akan merayakan ulang tahun pernikahan seminggu lagi. 14 September, dia akan memberi kejutan untuk ibumu.”

Bergitulah, rasanya kok malah benar adanya, di dunia ini ya, bawah “Aku terus memikirkan betapa semua ini adalah nama orang yang sudah meninggal, dan betapa nama pada dasarnya adalah satu-satunya hal yang masih tetap bisa dimiliki oleh orang yang sudah meninggal.”

Bisa jadi Foer jadi penulis favorit terbaruku, tapi apakah bisa berharap buku-bukunya banyak dialihbahasakan Indonesia? Kalau ada, jelas layak sekali dikoleksi dan dinikmati. Semoga makin banyak penerbit melakukannya. Suatu saat, siapa tahu ia jadi pemenang Man Booker. Terima kasih.

Oiya, saya pernah nonton filmnya. Dibintangi Tom Hanks, tapi saya lupa detailnya karena saat nonton terputus-putus dan tak selesai. Setelah baca buku ini, jelas akan kutonton ulang sepenuhnya. Film Oscars.

Benar-benar Nyaring & Sungguh-sungguh Dekat | by Jonathan Safran Foer | Diterjemahkan dari Extremely Loud & Incredibly Close | Copyright 2005 | Penerjemah Antie Nugrahani | Penyunting Abu Ibrahim | Cover & Ilustrasi Penguin Books | Pewajah isi Muhammad Husen | Cetakn I: Maret 2010 | ISBN 978-979-19926-3-3 | Penerbit Mahda Books | Skor: 5/5

Untuk NICOLE, gagasanku tentang kecantikan

Karawang, 230922 – 280922 – 061022 – Tony Bennett – Let There be Love

Thx to Sri Purnawati

Hati Seorang Anak

A Child’s Heart by Herman Hesse

=== tulisan ini mengandung spoiler ===

“Setiap udara yang kita hirup dikendalikan oleh suatu kekuatan dari luar dan peranan takdir.”

Ini adalah cerpen yang dibukukan. Hanya satu cerpen, kubaca kilat semalam, dan terjeda tidur, subuh selesai. Tak sampai seratus halaman, dicetak mungil, dan plotnya yang sederhana, tapi sangat berkesan. Ini tentang hati murni yang memaafkan, sangat manusiawi anak-anak tergoda, lalu menyembunyikan kejahatan, lalu saat terdesak, ‘mengakui’ dan karena buku ini didedikasikan untuk sang ayah yang baru saja meninggal, jelas sang ayah di sini memaafkannya. Hangat, hangat sekali menyaksi hubungan ayah-anak ini sekalipun berpijak pada tindakan kurang baik.

Kisahnya bermula saat Emil Sinclair kembali dari sekolah, tak ada siapapun di rumah. Ia bermaksud menemui ayahnya di lantai atas, kamar rahasia yang jarang sekali ia masuki sekalipun ia tinggal di sana sebelas tahun. Dalam penggambarannya sebagai pegangan betapa familiar rumah itu, ia sudah memandangi pintunya ribuan kali, dan seperti hal-hal umum lainnya, banyak hal luput dari perhatian saking biasanya.

Nah, di kamar atas, ayahnya taka da setelah ia mengetuk dan memberi salam. Harusnya, ia balik badan dan nanti ke sana lagi. Namun tidak, siang itu, ia dirasuki rasa penasaran. Ia nekad masuk dan melakukan hal-hal terlarang. Membuka-buka laci, memeriksa lemari, melihat-lihat benda pribadi. Dan begitulah, rasa penasaran itu berbuah tindakan jahat. Ia mengambil mata pena, mengantongi buah ara, dan merasainya. Betapa manisnya. Sejatinya ia takut, dan sudah prediksi akan ketahuan, tapi entah ada kelebat setan mana yang memasukinya, ia tetap saja mencurinya. Ah, apapun itu, sekalipun dari kamar ayahnya, mengambil barang bukan miliknya sendiri tanpa izin tetap saja mencuri. Sekalipun, ia mencoba mengatur tata letak buah, dan benda-benda lainnya. Ah, hati seorang anak yang penasaran. Betapa polosnya.

Itu Sabtu siang, nantinya ada pelajaran sore olahraga. Maka setelah keluar kamar, dan lalu gegas keluar rumah, hatinya mengalami kebimbangan. Seharusnya ke sekolah, ia malah berkelana. Dan dalam pengelanaan bertemu dengan temannya, Weber. Sobatnya yang orang miskin, yang akrab sering bermain ini menjadi semacam pelampiasan kebimbangan. Uang yang dikumpulkan bersama untuk membeli pistol, dikembalikan, mereka saling caci, dan akhirnya berkelahi. Jadi tontonan orang-orang, menjadi aneh, seorang Emil yang polos menjadi beringas dan nakal seketika.

Malamnya, saat makan malam, orangtuanya tampak curiga akan gerak-gerik Emil. Dan Emil yang gugup menambahkan rasa itu. Minggu, hari bebas bangun siang, ia mau ke gereja atau ke sekolah minggu, tentu saja ke gereja sebab tak banyak tuntutan, menyanyikan himme, dst. Dan begitulah, hari itu ia ditemui ayahnya untuk ‘diinterogasi’.

Awalnya tak mengaku, ia membeli buah ara di toko kue Haager. Ayahnya memastikan, mengajaknya ke toko tersebut. Dengan kebimbangan, mereka ke sana, tapi saat di tengah jalan emil bilang tokonya hari Minggu tutup. Semakin mengelak, semakin panik. Maka diajak ke rumah penjualnya, dan begitulah, di depan pintu ia meragu. Dan pengakuan disampaikankan. Menggeleng dengan hati mengabu.

Bagaimana respons seorang ayah yang mendapati anaknya melakukan kesalahan patut diacungi jempol. Sang ayah mengajarkan kesabaran, pengakuan, berjiwa besar, dan tindakan dan ucapan yang sangat pas.

Emil sendiri di Minggu malam itu merasakan kedamaian, ya ia salah, dan ia dihukum. Namun respons ayahnyalah yang menciptanya, maka tepat rasanya ia bilang, “Ketika berbaring di tempat tidur aku yakin ia telah benar-benar memaafkanku, lebih daripada aku memaafkan dirinya.”

Ini buku ketiga Herman Hesse yang kubaca setelah Siddharta dan Steppenwolf. Suka semua. Ini karena cerpen yang dibukukan, sangat tipis, maka ya anggap saja membaca cerpen. Pemenang nobel sastra, yang patut dikejari baca.

Hati Seorang Anak | by Herman Hesse | Diterjemahkan dari A Child’s Heart | Diterjemahkan dari bahasa Jerman oleh Richard dan Clara Winston | Edisi Picador, 1973 oleh Pan Books Limited | Penerjemah Anton WP. | Desain sampul Yudhi Herwibowo | Copyright 2006 | Penerbit Katta | Dicetaj Percetakan eL torros | Cetakan pertama, Juli 2006 | ISBN 979-99017-9-0 | 64 halaman, 12 x 18 cm | Skor: 4/5

Karawang, 041022 – Louis Armstrong feat Ella Fitzgerald – Summer

Thx to Erii, Jakarta

Perang Memperebutkan Sarden Suci; Lincah dan Seru

Cat and the Stinkwater War by Kate Saunders

“Di mana ada kucing menuntun, di situ manusia mengikuti. Lihatlah keduanya, di Pofton Hall, itu kau dan Emily.”

Keren, tak kusangka ada kejutan di akhir. Perang klan antar kucing terjadi di perumahan, memperebutkan Sarden Suci. Pengakuan kekuasaan, saling sandera, saling ancam, hingga akhirnya bak roman Shakespeare, ada cinta terlarang di antara mereka. Mungkin tata kelola perubahan manusia menjadi kucing dan sebaliknya yang dirasa janggal dan kurang, dan terlampau instan serta mudah. Namun nikmati saja, ini buku anak yang fun. Ending-nya yang keren sebab setelah pengungkapan scenario tersembunyi, ada kejutan lain yang mewah, dan menurutku filosofis di mana kehidupan, sejatinya bak air mengalir, pilihan, hingga kembali ke dasar, sebuah kenyamanan itu sangat didambakan, tak peduli itu manusia, kera, kutu, hingga kucing.

Kisahnya unik, walau sederhana dilihat dari sudut pandang manusia, remaja yang galau dan memimpikan kehidupan kucingnya yang tampak damai. Namun tentu saja tidak, kehidupan kucing perumahan tersebut ternyata tak sedamai kelihatannya. Mereka terpisah garis rumah, terdiri beberapa klan, dan secara turun termurun saling sikut dan saat memanas terjadi perang.

Dibuka dengan kepiluan, bahwa ayah Catherine berduka sebab gurunya, Profesor Katzenberg yang sedang meneliti di Mesir dinyatakan tewas akibat dimakan buaya. Ia mengirim sejenis warisan, surat dan segala hal-hal yang dipelajarinya. Terdapat legenda dewa Pahnkh di kota Thebes Kuno, ada harta karun tertinggal di sana. Dan hebatnya, Pahnkh bukan manusia, dia kucing. Dalam amplop itu ada batu temuan aneh, yang oleh ayahnya boleh buat Cat.

Di sinilah keganjilan timbul. Cat yang memiliki kucing bernama Eric, sempat berharap mengingin kehidupan peliharaannya. Cat benci les balet, dan tetangga teman sekelasnya yang menyebalkan Emily. Setelah Emily and the genk melakukan bullying di kelas, Cat yang kzl menyendiri dan bericara ngelantur, “Dengan kekuatan dari Kuil, aku berharap aku pengabdi Pahnkh!” Dan wuuuuzzz… kekuatan batu itu menciptanya jadi kucing orange yang menggemaskan. Baju senamnya mengendur, ia menyusut, tumbuh telinga, pendengaran peka. Kekuatan ajaib itu bekerja.

Begitulah, Cat harus menyentuh batu lagi agar bisa kembali menjadi manusia. Ia lantas berteman dengan Eric, kucingnya, yang bernama asli Jenderal Nigmo Biffi. Bayangkan, kamu berteman dengan kucing peliharaanmu. Hebat. Dari Biffy kita tahu, sedang ada perang klan: Cockleduster melawan Stinkwater. Karena sebagai manusia, Cat tak bisa bahasa kucing, maka untuk komunikasi, ia kudu jadi kucing. Begitu juga sebaliknya, saat jadi kucing, ia bisa memahami bahasa manusia, tapi hanya suara meow yang keluar. Cat sendiri diangkat Kapten Cat, dan berada di buku yang sama dengan Biffy.

Klan Stinkwater dipimpin oleh Darson, istinya Sleeza tampak bengis. Dan anak perempuannya yang manis Vartha, serta anak lelakinya Pokesley yang nantinya menyeberang kubu. Sementara Cockduster dipimpin raja kesembilan, pangeran Crasho, pendeta Everlasting Predergast. hingga Donk bersaudara. Sementara ada wilayang di luar mereka, area liar dengan penghuni Spikeletta sebagai ratu, Swugg salah satu anaknya, serta seekor kucing misterius Wizewun.

Perangnya bagaimana? “Kita tidak bisa lagi menghindari perang dengan klan Stinkwater. Mereka mencuri sarden suci.” Mungkin tampak konyol dilihat di mata manusia, tapi begitulah kehidupan kucing. Kalau kalian sesekali mendengar teriakan kucing saling jerit di tengah malam, atau dini hari, itu berarti mereka sedang bertarung. Memperebutkan Sarden suci, yang saat ini diklaim milik Stinkwater, tapi keberadaannya misterius, saling menyalahkan. Lucunya, saat ada tawanan, ditempatkan di antara kaleng atau pot, lalu meminta tebusan makanan kucing! Hehe, tampak sepele ya. “Manusia yang berakal sehat, ketika semua di sekitarmu terguncang kesedihan. Kau benar sekali, yang perlu kaulakukan hanya membuka sekaleng ikan tuna (dalam minyak, bukan air garam), dan meletakkannya di tempat yang telah disepakati…”

Kedua kubu, romansa bak Romeo + Juliet. Vartha dan Crasho bisa jadi juru damai, atau malah jadi pemicu perang makin besar. “Pangeran kami, dan putri musuh besar kami. Ini aib!” Ada juga yang pindah kubu karena diiming-imingi makanan terjamin, atau ada penghianat. Sebab ada kucing lawan/ kawan yang tahu bagaimana Cat mengubah diri, menemui Eric di mana, hingga jebakan yang dicipta demi harga diri.

Cat sendiri akhirnya malah berteman dengan teman sekelas yang aneh, Lucy. Sama-sama punya kucing, dan Cat yang lalu butuh teman curhat memilihnya. “Tiba-tiba saja ia merasa harus mengungkapkan rahasianya sebelum meledak dari tubuhnya seperti kembang api.” Pilihan bagus, sebab mereka langsung akrab, yang menimbulkan curiga kedua orang tuanya. Jarang ngobrol, tahu-tahu akrab, di kamar seharian, main bareng, kehidupan putrinya jadi penuh warna. Orangtua tentu saja senang, akhirnya putrinya punya sahabat sejati.

Oiya, jangan lupakan peran para pemilik kucing. Kisah dibuat sedemikian rupa, agar manusia itu hanya melihat para kucing bertingkah aneh saat perang. Kucing si A bernama ini, di dunia kucing mereka punya nama tersendiri. Begitu pula, saat di puncak perang. Luar biasa seru, kucing-kucing menyerbu, membuat pesta ulang tahun yang sejatinya meriah jadi kacau balau. Ada korban dan itu wajar, Sarden Suci juga sudah sangat pas eksekusinya, termasuk saat gencatan senjata dilakukan untuk menemui titik damai.

Pilihan pemakaian kata ‘Pedesaan’ di mana, kucing-kucing yang mati dikirim ke sana. Sebuah penggambaran manis, bahwa arwah kucing itu damai di desa, dunia seberang, area antah, yang sama seperti kehidupan manusia, mereka ke surga yang damai.

Ini jelas fiksi, hanya fantasi impian Kate yang memiliki tiga kucing di rumah. “Rasanya menakjubkan, berapa banyak manusia yang mendapatkan kesempatan berlibur dari tubuhnya sendiri, dan bisa melakukan sesuatu yang tak pernah terbayangkan dapat dilakukan tangan dan kaki mereka yang membosankan?” Kata-kata Cat tentu saja mewakili isi hatinya, dan juga isi hati para pecinta kucing.

Pilihan hidup para tokoh juga sangat makhruf. Ini bisa jadi pikiran menakutkan dan mengerikan. Kucing kawin berkali-kali, memiliki anak banyak. Satu tahun kehidupan manusia sama dengan enam tahun kucing. Ide-ide liarnya semacam halusinasi, bisa mengubah ilmu Egiptologi, sebab menyenangkan sekali menjalani kehidupan kucing. Yang anehnya, ada niat mengajari kucing, kehidupan yang lebih beradab, mengajari main catur! Berhasilkah?

Ini adalah buku pertama Kate Saunders yang kubaca. Kubaca cepat dari 16 Sep libur pagi kemarin, selesai tadi siang 22 Sep 2022 pas istirahat kerja. CVnya banyak, Sampai ada yang sudah diadaptasi di BBC TV. Seorang wartawan Inggris yang produktif. Buku pertama yang sukses, buku anak sering kali mencipta fantasi liar menakjubkan. Kalau ada buku Kate lain yang sudah diterjemahkan, tentu saja dengan antusiasme tinggi bakal kusikat juga. “Astaga, ia berubah jadi kucing!

Cat dan Perang Stinkwater | by Kate Saunders | Diterjemahkan dari Cat and The Stinkwater War | Copyright 2003 | edition published by Macmilan Children’s Books, London, UK | Alih bahasa Fanny Yuanita | Editor Poppy Damayanti Chusfani | GM 106 01 09 006 | Desain dan ilustrasi sampul Martin Dima (martin_twenty1@yahoo.co.id) | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | April 2009 | 256 hlm; 20 cm | ISBN-10: 979-22-4513-8 | ISBN-13: 978-979-22-4513-4 | Skor: 4/5

Untuk anak lelakiku, Felix dan kucing-kucing kami, Trumble, Bing, dan Boomerang

Karawang, 220922 – Billy Holiday – I’m a Fool to Want You

Thx to Ade Buku, Bdg

Cell

“Dengan menggunakan ponsel, yang sudah menjadi alat komunikasi dominan dalam kehidupan sehari-hari, kau secara simultan bisa mengubah seluruh populasi menjadi pasukan boneka, pasukan yang tak takut apa pun, karena mereka gila…”

Gelombang telepon mencipta penggunanya jadi zombie. Mereka kehilangan kesadaran, makan apa saja yang ada, membunuh sesama. Hanya orang berpikiran jadul tanpa seluler yang selamat. Lantas mereka melakukan perjalanan ke area yang dijanjikan. Dengan motivasi berbeda, ada yang mencari selamat, ada yang mencari anaknya, ada yang mencoba memecahkan misteri gelombang. Tebal sekali bukunya, butuh kesabaran ekstra untuk cerita perjalanan yang sejatinya bisa lebih diringkas.

Dibuka dengan tiga kutipan:

Ego tak akan pernah merasakan kepuasan. Ia selalu merasakan ketegangan akibat keinginan yang tak terpenuhi. Sigmund Freud

Agresi pada manusia bersifat naluriah. Amnesia tidak mengalami evolusi dalam hal mekanisme ritual penekanan agresi untuk menjamin kelangsungan spesies mereka. Karena alasan inilah manusia dianggap sebagai binatang yang sangat berbahaya.Konrad Lorenz

Bisakah kau mendengarku sekarang? Verizon

Cerita mangambil sudut Clayton Riddell, seniman yang sejatinya sedang bahagia. Ia baru saja mendapat deal novel barunya akan rilis. Di tanggal 1 Oktober sore itulah sebuah serangan antah terjadi, di sini disebut serangan Gelombang. Ia sedang di Boston Common, dekat truk es krim, dan serangan mendadak itu mencipta kegemparan. Semua pengguna ponsel mendadak jadi zombie, semua tanpa kecuali yang menggunakan telepon kehilangan kesadaran, kehilangan kewarasan. Dan karena Clay tak punya seluler ia selamat.

Bertemu dengan Tom McCourt yang berpikiran jadul, tak punya HP juga, dan Alice Maxwell remaja cantik. Ketiganya yang karena tak tahu harus bagaimana, memutuskan berlindung sementara ke rumah Tom. “Apa menurumu besok akan lebih baik, di saat terang? Maksudku rasa takut itu?” Tak ada yang tahu. Clay membuka mulut untuk mengatakan hal semacam itu pada Tom, dalam pikirannya celetukan itu akan lucu dan cerdik, namun yang keluar dari mulutnya hanyalah suara serak terisak.

Kita ini tiga pendekar Tom, Semua untuk satu dan satu untuk semua. “Alice. Nama yang cantik. Artinya ‘diberkahi Tuhan’”.

Besoknya, para zombie ini mulai mencari mangsa. Saling terkam, apapun yang ada di depannya. Mereka ternyata juga berserikat, bersatu saling bantu. Tampak aneh sebab kewarasan dan kesadaran sudah tercerabut. Dalam kebimbangan, bertiga memutuskan ke Maine, ke utara mencari anak Clay: Johnny yang masih kecil. Tom dan Alice ikut saja, sebab tak tahu harus ngapain? Bukankah bersatu akan lebih kuat?

Di sana sini terlihat ponsel tergeletak ditinggalkan di jalan, setiap beberapa meter mereka melewati ponsel yang tergeletak dan tak satu pun utuh. Ponsel-ponsel itu kalau tidak terlindas pasti terinjak sehingga hanya tinggal serpihan kabel dan plastik, seperti ular berbahaya yang sudah dibunuh sebelum mereka bisa menggigit lagi.

Begitulah, novel ini sebagian besar berisi perjalanan. Melewati berbagai rintangan, seperti di sekolah Akademi Gaiten dengan kepala sekolah Charles Ardai dan satu murid langka Jordan. Menambah pasukan, jadi setiap bertemu dengan orang asing yang selamat, opsinya bersekutu kalau sepemikiran. Kota ini akan terbakar habis dan tak ada yang akan bertahan kecuali orang gila. “Bisakah kota modern terbakar habis? Yang terbuat dari beton, logam, dan kaca? Bisakah kota semacam ini terbakar seperti Chicago yang terbakar setelah sapi Mrs. O’Leary menendang lentera?”

Karena mereka juga menemukan fakta-fakta baru, bahwa para zombie telah menemukan koloni pikiran, mereka tak bicara tapi bisa telepati, sehingga koloni zombie ini bisa melihat potensi melawan manusia normal.

Begitu pula fakta bahwa, zombie bergerak bebas siang hari, mereka cari makan, berkumpul, berbagi makanan, hingga akhirnya bisa mencipta sidang. Mereka berevolusi dengan cepat. Sehingga kelompk Clay hanya bisa bergerak bebas malam, melakukan perjalanan, mencari makan, hingga mencari tempat bernaung. “Malam-malam mungkin masih jadi milik kira untuk sementara, tapi siang hari jadi milik mereka, dan kaulihat sendiri apa yang bisa mereka lakukan.”

Apes, mereka bertemu manusia normal yang selamat, tapi kaum yang hura-hura, sebab sudah frustasi, memperebutkan makanan dan segala yang dibawa. Perjalanan itu banyak sekali hambatannya, dan setelah menemukan fakta keadaan anaknya, Tidak begitu mudah melupakan istri walaupun ada amarah di sana, yang hidup terpisah tapi masih kaucintai, yang mungkin saja sudah mati, dan terutama anak. Johnny dan Sharon tinggal di Livery Lane saat gelombang menyerbu. Clay tak bisa berbuat apapun selain, melanjutkan misi menyelamatkan umat. Generasi manusia, mereka menuju ke KASHWAK NO-FO, sebuah janji sekaligus ancaman. Kashwak sama dengan No-Fo bisa dibilang sebagai area tak berotak. Zona mati/ taka da menara ponsel. Tak ada tower menara mikro.

Pemicu yang bermutasi. Semua itu tak mungkin terjadi tanpa ini, yang bisa dibilang penghapusan total besar-besaran. Akhirnya semuanya seperti efek domino. “Primata berevolusi jadi manusia, manusia ke orang ponsel, orang ponsel berevolusi menjadi kaum telepatis yang bisa mengambang dengan sindrom Tourette. Dan evolusi pun lengkap.”

Ada satu lagu yang sering disebut berjudul, Baby Elephant Walk. Sebuah Musik instrumental band besar dari zaman dulu. Les Brown dan His Band of Renown. Namun ada versi baru, Don Costa atau Henry Mancini. Dua versi yang populer. Atau versi Lawrence Welk. Musik ini mengalun di koloni zombie seolah jadi panduan hidup. Musik raya para manusia ponsel?

Orang bukanlah komputer, tapi komputer bisa dibilang seperti orang, kan? Karena kita membangun apa yang kita tahu, kau tahu tentang reboot dan worm itu. Masa depan yang misterius, apa yang akan terjadi dengan teknologi. Komputer yang kita cipta bisa berpikir? Ledakan gelombang ini bisa saja kisah fiksi, tapi kekhawatiran akan makhluk udara antah yang menyerang balik para penciptanya tentu membuat kita gidik. Ini demia anak cucu kita, ini demi masa depan manusia. Siapa yang bisa jamin manusia masih ada dua abad mendatang?

Justitia Est Commodatum, keadilan telah ditegakkan.

Seluler | by Stephen King | Diterjemahkan dari Cell | Copyright 2006 | c/o Ralph M. Vicinanza, Ltd. | Alih bahasa Esti Ayu Budihabsari | GM 402 08.041 | Desain cover Eduard Iwan Mangopang | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | 568 hlm; 20 cm | ISBN-10: 978-22-3910-3 | ISBN-13: 978-797-22-3910-2 | Skor: 4/5

Untuk Richard Matheson dan George Romero

Karawang, 140922 – Benny Goodman & His Orchestra – King Porter Stomp

Thx to Derson, Jkt

Selalu ada Tradisi Makanan yang tak Diketahui Orang

Aruna dan Lidahnya by Laksmi Pamuntjak

“Kuah babat karena memberi bodi dan aroma, kacang kedelai karena membuat ekstra renyah, timun karena menambah asam dan segar.”

Karena saya sudah melihat filmnya, apa yang dilakukan dan diucapkan Aruna sudah tercetak wajah Dian Sastrowardoyo. Apalagi gerak-geriknya mirip, atau perasaanku saja yang mengikuti? Entahlah. Ini novel dengan citarasa makanan melimpah, pemakaian kata lezat pada tempatnya. Perhatikan, “Sebuah dunia yang telah terbentuk lama sekali, sebelum musik, sajak, dan gambar, dan yang pagi malam mengisi penuh kepalanya, mengisi dan menaungi.”

Secara cerita mungkin agak kurang, kalangan atas sedang kerja dan makan-makan, motif dan pengembangannya yang kurang relate sama kebanyakan kita, atau kurang pas sama jelata. Pejabat pemerintah, dan lingkarannya melakukan kejahatan, Aruna terseret pusaran, dan begitulah ia mengikuti decak kenikmatan makanan dari kota ke kota. Keistimewaan buku ini jelas, cara penyampaiannya yang luar biasa. Lezat di tiap lembarnya. Memang ini hidangan istimewa, nikmatnya berlapis-lapis. “Selalu ada tradisi makanan yang tak diketahui orang.”

Aruna Rai adalah ahli wabah dengan spesialisasi Flu unggas, diperbantu dalam kasus flu burung yang melanda Indonesia. Bekerja sebagai konsultan epidemiologi, menyebut diri sebagai ‘Ahli Wabah.’ Ada delapan kota yang akan dikunjunginya, kota-kota yang mendapati positif pasien flu burung, dicek dan analisis untuk kemudian dilaporkan ke bosnya. Apakah perlu mendirikan pabrik vaksin? Apakah perlu mencegah penularan dengan proteksi lebih tinggi. Dan tentu saja semua itu perlu biaya. Satu kasus di delapan kota, terjadi secara serentak. Bahaya wabah masih jauh di bawah tingkat siaga? “Sebuah virus akan akan pernah takluk, ia kecil, ia sabar, ia mengganda dalam diam. Tak ada yang menghitung umurnya, tapi ia tak pernah lupa. Suatu hari ia akan datang, menyerang, dan kita tak berdaya menangkalnya.”

Dalam tim Aruna sama lelaki yang sejatinya nyebelin, tapi akrab dan mencoba masuk lingkaran pertemanan. Farish mungkin bukan cowok idealnya Aruna, tapi mereka satu tim dan kebersamaan mencipta hubungan lebih lanjut.

Sejatinya dua sobat kental Aruna-lah penggerak cerita: Bono yang seorang chef lulusan luar negeri yang obsesif sama makanan. Ia begitu hebat menganalisis kualitas makanan, hapal sama kota-kota dengan kekhasan sajian. Manusia yang hidup untuk optimism, harapan, sihir resep yang mengejutkam, retoran yang tak terlupakan, kisah yang tak selesai, kata-kata yang tak terucapkan, malam yang membuka alam setengah mimpi. Bono a.k.a. Johannes Bonafide Natalegawa, chef muda berbakat internasional. “Tak hentinya mengumpulkan fakta remeh temeh tentang makanan tapi yang jika dilontarkan sesekali dalam sebuah pembicaraan membuat sang pembicara semakin menarik dan misterius.”

Satu lagi, si cantik Nadezhda Azhari. Penulis kuliner yang tak mau menikah. Memiliki hubungan dengan lelaki bersuami dari Eropa. Dan karena seorang penulis, hubungan gelap itu sama penulis juga. Suka sama prinsipnya, “Dia tidak pernah menonjolkan kelebihannya terhadap orang-orang yang tak dikenal baik.”

Keduanya turut serta tim Aruna, sekaligus jalan-jalan ke tempat makan. Kuliner ke delapan kota, dari Surabaya, Pamekasan, Singkawang, hingga Pontianak. Dengan dalih menemukan resep makanan lokal yang otentik. Dalam pelaksanaannya, banyak hal meragu, tampak sesuatu yang salah, konspirasi macam apa ini? Dan pada akhirnya Aruna harus mengambil tindakan, dalam keragu-raguan, ketetapan hati harus diambil.

Ada beberapa kalimat panjang yang bagus untuk di-sher. Salah satunya: “Yang melihat poster Macedonia dan bukan membayangkan kemiskinan dan musim kemarau berkepanjangan melainkan sepiring salad dengan mentimun dan tomat termontok di jagat raya, yang melihat poster Venezia dan membayangkan bukan air yang menyapu kaki dan dengkul, melainkan aneka hasil laut yang berlimpah-limpah di Pasar Rialto, manusia yang tahu bahwa mereka bahagia saat lidah mereka bersentuhan dengan pandan dan gula Jawa, saat hidung mereka menghirup gulai yang lekat.”

Atau kesimpulan yang bagus, bagaimana setiap resep kuliner selalu ada yang hilang tak tercatat. Pahlawan lokal. “Akan sekian banyak pahlawan kuliner yang tak tercatat, yang tak mungkin tercatat karena begitulah budaya rakyat, yang namanya tertelan oleh roda waktu dan perputaran zaman, yang resepnya entah bagaimana kekal dalam tafsir beratus beribu tangan.”

Kesamaan para karakter selain obsesi makanan adalah, di usia matang 30-an semuanya memilih lajang. Aruna yang galau di angka 35, merasa gendut dan tak pede. Bono yang kalau dilihat kaca mata umum, sudah mapan, ia terlalu fokus sama karier dan bisnis makanannya. Dan Nadez yang berpendidikan luar, menikmati hidup sampai keblabasan sehingga memilih tak menikah.

Ada satu lagi, bagian yang mengingatkanku pada novel-novel John Grisham. Di mana seorang pekerja, muak sama kehidupan, kesal sama rutinitas sehingga ingin kabur dari segalanya. Nah, di sini Aruna sempat terbesit. “Mungkin bisa aku minggat saja setelah investigasi ini selesai, ke Lima, ke Luanda, ke Lesotho, pokoknya ke kota yang tak akan pernah terlintas dalam benak siapa pun, dan suatu saat, lima tahun lagi, baru pulang ke Jakarta untuk menata ulang hidupku.” Wajar sih, kita semua bosan. Dan impian liar sejenis itu selalu ada.

Hingga tercipta tragedi. Kucatat ada tiga masalah pelik di akhir. Pertama tentang Leon sang mantan yang tragic, bagaimana menanggapi seorang yang kini bukan seseorang lagi di hatinya? Sedih sekali, lenyap jadi debu dan tak bisa menziarahi secara langsung. Kedua, keputusan bosnya yang berdiri di tengah-tengah. Kasus ini pelik, korupsi tak boleh dimaafkan. Dan rasanya berat saat tahu, temanmu, sekaligus bosmu terjerat. Kamu ada di tengah-tengah dan bimbang. Ketiga, keputusan akhir Aruna menambatkan hati. Ia malah mengalah, ia menyerah pada jiwa lelaki yang sejatinya tak klop 100%. Namun lelaki ini siap mendampingi, bahkan saat ke pulau Nusa, bisa menyediakan waktu dan tempat untuk bernaung. Terkadang memang kita harus mengalah pada keadaan. “Hal-hal yang kita lakukan dan hal-hal yang kita impikan. Aku masih ingin hidup di dalam keduanya.”

Novel pertama Laksmi Pamuntjak yang kubaca, keren banget. Pemilihan kata, nyaman dan puitik. Salah satu novel lokal dengan liukan kata terkeren yang kubaca. Cerita mungkin agak kurang, sebab memainkan orang-orang kalangan atas yang tak relate sama jelata. Pilihan dengan makanan sebagai tunggangan utama, baru pilihan bagus. Berapa banyak sih novel dengan citarasa makanan sebagai tema dicipta di Indonesia? Tak banyak. Apalagi dibuat dengan gemuruh diksi sekeren ini. Pengalaman pertama yang akan mematik karya-karya berikutnya untuk dilahap. Next, Amba?

Aruna dan Lidahnya | by Laksmi Pamuntjak | GM 201 01 14 0032 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Desain sampul SOSJ Design Bureau & Consultancy | Ilustrasi sampul Barata Dwiputra | Foto Pengarang Bona Soetirto | ISBN 978-602-03-0852-4 | Skor: 4.5/5

Buat D.S.K. (1968-2013)

Karawang, 210822 – 070922 – Miles Davis – Once Upon a Summertime

Thx to Derson S, Jkt

#Agustus2022 Baca

“Hari ini agaknya mendung, Pak.” – Anak buah Tuan Gendrik by Pamusuk Eneste

Bulan Agustus mengejar buku tebal, lebar, non fiksi Teori Sosiologi Modern. Kubaca 15 halaman sampai 25 halaman per hari. Konsisten dan berat, makanya menggerus bacaan lain. Hanya 6 buku yang tuntas, itupun rerata tipis. Dan memang kembali santuy, tak ada yang dikejar sekalipun daftar antri sangat amat banyak.

#1. The Robe of Skulls by Vivian French

Kisahnya berkutat oleh lima tokoh utamanya, berganti-ganti sudut pandang: pertama Gracie Gillypot yang dikurung di ruang bawah tanah, dihukum oleh sudara tirinya yang jahat Foyce. Kedua, Pangeran Marcus yang bandel dan suka petualang, memiliki saudara kembar Arry yang punya wibawa dan jelas sudah ditunjuk sebagai penerus takhta. Ketiga, Marlon sang kelelawar yang membantu Gracie kabur ke Pitarah Purba. Keempat keponakan Marlon, kelelawar Millie. Dan terakhir trolls ratusan tahun Gubble yang pasif dan malesi, tapi punya peran bagus untuk memengaruhi sang penyihir.

“Aku hanya punya dua nasihat, satu jangan jauh-jauh dari peta, jangan sampai hilang. Kedua, jika kau terjebak dalam situasi yang tidak menguntungkan dan segalanya salah, pergilah ke rumah Pitarah Purba. Mereka tahu segala jawaban segala pertanyaan..”

#2. Tuan Gendrik by Pamusuk Eneste

Semua cerpen memakai judul karakter utama. Semuanya pendek, belum ‘in’ sama cerita sudah selesai. Namun hebatnya, semua ending menggantung. Keputusan akhir diserahkan ke pembaca. Dari kepala media yang diminta ceramah kepahlawanan, tak tahu ngomong apa. Karyawan yang diancam, diperas duit sebab istrinya diculik, dan kita tak tahu apakah ia melapor polisi atau memenuhi tuntutan dengan uang pinjaman. Lalu Tuan Gendrik, bos kantor yang baik hati dan tak sombong, yang suatu hari kehilangan semua karyawannya, misterius. Hingga warga baik-baik yang dituntut untuk menikahi perempuan yang tiba-tiba mampir ke apartemennya, lalu menyatakan hamil anaknya. Semua diramu dengan tanda tanya di akhir. Begitulah, sederhana nan memikat. Tak sampai meledak-ledak, tapi sungguh efektif meluluhkan hati pembaca.

“Terus terang, aku tak tahu harus menyapamu dengan apa. Mas, dengan kau, dengan kamu, atau dengan Anda. Tapi itu tak penting bagiku, yang terlebih penting adalah persoalan yang akan kubeberkan di bawah ini.”

#3. To Live by Yu Hua

Tragis. Ini adalah cerita kehidupan warga biasa di China di abad 20. Dari keturunan kaya raya, miskin karena judi, lalu bertahan hidup menjadi petani. Dan ditengah gempuran zaman, mereka dibantai kekejaman kehidupan. Satu demi satu tempaan cobaan disajikan, hingga sisa-sisa akhir. saya yang biasanya suka cerita dengan akhir yang kelam, bahkan sampai berharap, harapan terakhir Kugen, tak sampai dimatikan. Mengerikan memang, era China yang bergolak, pantas bukunya dilarang terbit. Mungkin seperti buku-buku Indonesia era Orde Baru yang membredel buku-buku yang menyerang Pemerintahan. Atas nama kestabilan, banyak sekali pengorbanan diapungkan.

“Dulu kala nenek moyang keluarga Xu cuma pelihara seekor ayam, ayamnya besar jadi angsa, angsanya besar jadi kambing, kambing dipiara terus sampai besar jadi sapi. Beginilah keluarga Xu hingga menjadi kaya.”

#4. Room by Emma Donoghue

Novel dan film sama saja. Dibuat dalam dua babak utama, di dalam kamar dan adaptasi di kehidupan sesungguhnya. Dengan cerdas mengambil sudut pandang seorang anak lima tahun yang polos dan menggemaskan. Pendidikan itu penting, tapi lingkungan jauh lebih penting. Bagaimana sifat dan karakter dibangun di ruang sekecil itu. Dari lahir dan pada akhirnya kabur, bagaimana Jack beradaptasi sama hidup baru. Polos dan tampak sangat menyentuh. Seperti filmnya, menurutku bagian pertama luar biasa. Keren abnget, ide memenjara dan dengan segala keterbatasannya. Bagian kedua menurut drastis. Itulah mengapa orang suka drama pahit, sebab cerita pahit selalu mematik penasaran. Nah, untungnya, ending buku ini bagus banget. Pamit itu menampar teori-teori sosiologi, mengukuhkan betapa sempat dan lega itu sangat subjektif.

“Dan tempat-tempat itu juga nyata, seperti ladang dan hutan dan pesawat dan kota-kota…”

#5. Aruna dan Lidahnya by Laksmi Pamuntjak

Novel pertama Laksmi Pamuntjak yang kubaca, keren banget. Pemilihan kata, nyaman dan puitik. Salah satu novel lokal dengan liukan kata terkeren yang kubaca. Cerita mungkin agak kurang, sebab memainkan orang-orang kalangan atas yang tak relate sama jelata. Pilihan dengan makanan sebagai tunggangan utama, baru pilihan bagus. Berapa banyak sih novel dengan citarasa makanan sebagai tema dicipta di Indonesia? Tak banyak. Apalagi dibuat dengan gemuruh diksi sekeren ini. Pengalaman pertama yang akan mematik karya-karya berikutnya untuk dilahap.

“Kuah babat karena memberi bodi dan aroma, kacang kedelai karena membuat ekstra renyah, timun karena menambah asam dan segar.”     

#6. Islam tanpa Toa by Jamaah Milis KAHMI Pro

Buku yang dinukil dari milis, bahasanya bebas. Seperti zaman sekarang melihat debat online terbuka di twitter atau facebook. Temanya bagus, polemik yang sudah lama ada, masih ada, dan akan selalu ada. Tentang toa atau pengeras suara di masjid-masjid kita. Pro kontra wajar, alasan yang disampaikan juga sangat wajar, dan masuk di akal. Yang pro, biasanya karena sudah kebiasaan.

“Ini sudah fitrah. HMI itu tidak mempersoalkan apakah kamu salat pakai qunut atau tidak. Apakah kamu tahlil atau tidak. Yang salah adalah yang tidak salat dan menutup telinga saat azan.”

Karawang, 020922 –  Sherina Munaf – Ada

Happy birthday to me.

Mencipta Surga yang Memenjara

Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children by Ransom Riggs

“Aku memberitahukan semua ini padamu karena kau berhak tahu.”

Mengejutkanku, foto-foto yang ditampilkan adalah asli. Sedari mula, kukira ini menjadi penunjang cerita, khas buku-buku lain. Ternyata, kita lebih cocoknya menyebut: foto-foto itulah yang menjadi dasar cerita. Kata-kata dicipta untuk menunjangnya. Penggambaran cerita, jelas dikembangkan dari sebaran frame. Dengan terang sang penulis bilang, ada ribuan foto lain yang tak bisa masuk, kudu selektif. Dan dengan ending menggantung, foto-foto yang tak ditampilkan kemungkinan muncul di Hollow City.

Ide mencipta surga yang terpenjara, tampak menarik. Memerangkap ruang dan waktu, melakukan kegiatan di saat yang sama, dengan suasana sama. Unik, sangat menarik. Rasanya seolah-olah ada yang memencet tombol ‘reset’ pada seisi kota, dan esoknya diulang. “Kenapa orang-orang sanggup menjalani hari yang sama berulang kali selama berpuluh-puluh tahun tanpa menjadi gila. Ya di sini memang indah dan kehidupan pun terasa nyaman, tapi kalau setiap hari selalu persis sama dan anak-anak ini tak bisa pergi, berati tempat ini bukan sekadar surga, tetapi juga semacam penjara.”

Kisahnya tentang Jacob Portman, yang di sela sekolahnya menjalankan magang di toko milik orangtuanya. Ayahnya sedang menulis buku tentang fauna burung, “Mengungkit-ungkit tentang proyek-proyek bukunya yang baru setengah jadi adalah masalah sensitif.” Dan ibunya yang sibuk berbisnis sering mengesampingkannya. Hanya kakek Abe Portman yang begitu dekat, kakeknya yang sudah pikun sering merancau tentang fantasi masa lalu. Lolos dari kamp konsentrasi NAZI, lalu hidup tenteram di Wales. Hingga akhirnya terbang ke Amerika. Rancauannya sama, sebuah periode hidup di sebuah pulau di Britania. Yang ukurannya tak lebih dari sebutir pasir di peta, terlindung pegunungan-pegunungan berkabut. Bagaimana masa remajanya berwarna. Cairn, semacam piramida dari batu-batu kasar, salah satu makam Neolithik yang menjadi asal muasal Cairnholm.

Suatu sore, kakeknya telepon Jacob di toko, ia dalam ancaman dan meminta tolong. Keadaan darurat ini, memaksanya pulang cepat untuk memastikan kondisinya. Dan benar saja, ada makhluk mengerikan membunuh kakeknya di hutan. “Aku ingin pura-pura tak peduli tentang ucapan terakhir kakekku, tapi kenyataannya aku peduli.” Sang kakek meninggalkan barang-barang warisan yang aneh, salah satunya perintah ditaruh di buku puisi Ralph Waldo Emerson. Perintah aneh untuk ke pulau masa lalunya. “Temukan burung itu. Dalam loop. Pada sisi lain makam pria tua, 3 September 1940.”

Dengan dalih untuk mengobati sakitnya, setelah konsul ke psikolog Dr. Golan. Akhirnya Jacob dianjurkan menghabiskan masa liburnya untuk menjelajah kastil di pulau tersebut. Bersosialisasi bisa membantu penyembuhannya. Ditemani sang ayah untuk meneliti burung, mereka ke pulau terpencil dengan akses luar terbatas. Listrik sudah padam saat jam sepuluh, sinyal HP tidak ada, dan segala keterbatasannya. Jalanan-jalanan dengan pondok-pondok kusam artistik yang berjajar hingga ke kejauhan sana, bersambung dengan padang-padang hijau yang dijahit jadi satu oleh tembok-tembok karang berliku-liku, sementara awan-awan berarak-arak.

Dan misi ke kastil itupun dilakukan. Awalnya, Jacob kecewa sebab kastil itu kotor dan tak banyak yang bisa diharapkan untuk diteliti. Tidak terlalu sulit membayangkan tempat ini mengandung sihir. Namun di hari kedua, segalanya berubah. Jacob masuk ke lantai atas, membuka dokumen-dokumen, menemukan hal-hal jadul di dalamnya, lalu sebuah peti yang sudah dibuka, diputuskan buka paksa dengan dijatuhkan, tembus ke lantai basement. Di sinilah segala kegilaan fantasi dimulai. “Aku tahu kedengarannya gila, namun banyak hal yang lebih gila ternyata benar.”

Ada remaja yang melihatnya, saat meneliti di dasar. Ia kejar, dan wuuuzzz… melewati rawa hutan. Rawa-rawa merupakan jalan masuk ke dunia dewa-dewa, tempat yang sempurna untuk memberikan persembahan paling berharga: diri mereka sendiri. Keluar darinya, dunia tak sama lagi. Ia nantinya tahu, ia ada di tahun 1940. Dan dari gadis yang dikejar bernama Emma Bloom, lalu malah menahannya itulah, ia tahu ia terjebak di ruang dan waktu. Ia dikira makhluk wight. Dibawa ke kastil, diperkenalkan dengan teman-teman lainnya. Dan terutama Miss Peregrine, dang pengasuh panti.

Mereka mencipta dunia tertahan di tanggal 3 September 1940. Akan berulang setiap hari, dan seolah abadi. Dulu kakeknya memutuskan pergi, maka ia menua dan mati. Mereka adalah manusia istimewa, memiliki keunikan/keanehan masing-masing, di sini disebut peculiar. Dan tahulah, Jacob ternyata diwarisi kekuatan kakeknya, bisa melihat monster. Hingga akhirnya, para monster itu menyerang kastil.

Dulu pas nonton filmnya di Pasific Place Mal, penasaran sekali sama buku ini. butuh waktu lima tahun untuk memenuhi hasrat. Kutonton berdua sama Topan, teman kerja PPIC yang sekarang sudah pindah kerja. Salah satu yang mencipta penasaran adalah lagu Orchestra Flight of the Bumblebees. Di sini ada, baik, esok kucari lagunya.

Foto-foto yang ditampilkan menarik. Tampak editan, yang nyatanya asli seolah sihir. Dari perempuan melayang, gadis karet yang bisa menekuk badan, kilat besar, santaklaus tatapan kosong di pesta natal, sopir bus sekolah yang seram, hingga si kembar berbaju putih berangkulan. Ini menjadi dasar untuk mencipta nama-nama karakter. Berikut beberapa anak istimewa: Emma dengan tangan yang mengeluarkan api, Millard yang tak terlihat, Horace bisa meramal masa depan, Olive mengambang di udara sehingga perlu diikat, Claire makan dengan mulut di belakang kepala, Enoch bisa mencipta makhluk dari benda mati, Bronwyn punya kekuatan besar, hingga Fiona bisa menumbuhkan flora dalam waktu singkat. Jangan lupakan juga Jacob, sang protagonist bisa melihat monster. Dan sang pengasuh panti Miss Alma Lefay Peregrine yang bisa memerangkap waktu. Bisa mengubah diri jadi burung elang. Variant hebat ini juga ada di daerah lain, dan mereka saling mengirim kabar. Jadi di tempat lain, ada juga kehidupan yang diabadikan.

Nah, antagonisnya adalah para pemburu peculiar. Mereka memangsa, menangkapinya. Membunuh. Monster yang dilihat Jacob, yang membunuh kakeknya adalah wight. Mereka melacak anak-anak istimewa ini. Maka saat menemukan loop, mereka menghancurkan kastil, menangkap Alma, dan endingnya menggantung. Bagus sekali, dengan latar laut perahu berlayar, siap membalas ke kota Hollow.

Kuselesaikan baca hanya dalam sehari, kurang dari 24 jam. Dari 15.07.22 jam 20:00 di malam Sabtu yang gerimis sampai kutuntaskan esoknya sebab libur, dan tak ada acara ke manapun. Di taman Perumahan, hujan berlindung di gazebo sampai tengah hari, dilanjutkan ke gazebo taman kota Galuh Mas sampai selepas duhur, lantas ke Masjid belakang Festive Walk hingga sore. Sebelum adzan Magrib, jam 16:30 saya tuntaskan di halte Galuh Mas saat perjalanan pulang jalan kaki. Hebat, 500 halaman tuntas seketika. Memang buku bagus, awalnya tak kuniatkan usai di bulan ini, icip saja. Sempat lama mengendap di rak meja kerja, 2020. Akhirnya malah gegas beres. Buku yang ok, selalu mencipta penasaran tiap lembarnya. Buku ringan dan menarik. Selalu tertarik sama buku fantasi anak, apalagi seliar dan seimajinatif ini. Dan sebuah kebetulan, hari ini saya dapat edisi sekuel Hollow City. Asyik… bisa langsung kulanjutkan Agustus ini.

Rumah Miss Peregrine untuk Anak-anak Aneh | by Ransom Riggs | Diterjemahkan dari Miss Peregrine’s Home For Peculiar Children | Copyright 2011 | First Published in English by Quirk Books, Philadelphia, Pennsylvania, USA | GM 616185023 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Alih bahasa Tanti Lesmana | Desain sampul Eduard Iwan Mangopang | Jakarta, 2016 | 544 hlm; 20 cm | ISBN 978-602-03-3388-5 | Skor: 5/5

Karawang, 280722 – Stan Getz – The Girl From Ipanema

Thx to Ora Danta, Jakarta

Tiga Cinta, Ibu

“Di Lembah ini, Buyung, sejak keturunan pertama sampai saat ini, kaum kita adalah orang-prang panutan. Kesetiaan kita kepada adat senantiasa menjadi ukuran bagi orang lain untuk memberikan penghargaan! Penghormatan!”

Sederhana, dan menarik. Pusat cerita sejatinya bukan sang ibu, tapi cinta yang kandas dengan berbagai sebab. Pertama di Padang, dengan kegalauan akut mudik untuk meminta restu dan kelonggaran adat demi sang kekasih. Kedua, mahasiswa galau mencinta perempuan aneh yang di persimpang jalan. Ketiga, kali ini bukan rentang asmara kekasih, tapi kegalauan pasangan yang mendamba anak tapi belum siap program punya anak. Ribet ya? Enggak juga, manusia memang pusatnya kegalauan. Atas nama eksistensi, ketiganya dibaur samar. Padang, Banjarmasin, dan kembali ke Padang. Secara ketiganya memang tak berhubung langsung, tapi cinta ibu menentukan langkah antisipasi untuk diambil di kemudian hari.

#1. Cinta 1, Lembah Berkabut

Jun mudik ke Padang, ia membawa misi berat. Berkenalan dan lantas bepacaran dengan gadis perantau juga di Jakarta, Yani ternyata adalah saudaranya. Dan hubungan kasih ini menurut adat dilarang dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Jun yang galau, menatap nanar lembar tempatnya lahir, tempatnya berasal. Pertentangan hati itu dibawa pulang untuk didiskusikan, saudara-saudaranya dimintai pendapat, terutama tetuanya. Walaupun sudah tahu jawabannya, walaupun bakalan ke arah mana izin ini, ia tetap ingin memastikan. Mereka sama diwisuda, merencana menikah, dan petir menggelegar.

Pertentangan batin antara maju terus demi cinta atau mengikuti adat menjai bumbu pahit yang selalu menarik. Pemikiran modern melawan tradisional, kita turut bingung dan merasakan pula kekhawatiran, maju mundur kena soalnya. Dan pikiran positif yang disampaikan Yani, jika kita mampu menyesuaikan diri dengan masa dan kondisi, kesenangan memang akan terdapat di mana-mana. Ada benarnya, bahagia itu sekarang, tak perlu menanti esok. Maka apapun keputusannya, itu adalah jalan hidup. Dan begitulah, betapa banyak manusia yang baru memikirkan sesuatu apabila ia telah berkepentingan dengannya.

“Hanya di Lembah inilah segala omong kosong masih mendapat tempat!”

#2. Cinta2, Riu

Hasbi menelusur masa lalu Riu, teman kuliahnya yang tiba-tiba menghilang. Kekasihnya itu dirudung kegalauan, telusur Hasbi menghasilkan informasi bahwa Riu yang piatu, ‘dijual’ ayahnya, Pak Sumau yang tukang mabuk dan judi. Demi materi dan kelangsungan hidup, ia menikah dengan bos kaya Kanyu. Riu lantas mencari dana untuk mengadakan upacara penghormatan arwah ibunya, menurut adat hanya dengan upcara Ijambe itulah arwah ibunya akan sampai di surga. Sekalipun Riu sudah mualaf, ia tetap menghormati kepercayaan orang terkasih. Dekat, namun sekaligus jauh.

Dalam perjalanannya, saat menghadiri upacara Ijambe 14 mayat. Ia berkenalan dengan turis lokal yang juga mencari jawab. Ternyata Victor bukan sembarang turis, ia memiliki misi dan akhirnya berbenturan dengan niat Hasbi, dengan segala kelimbungan hati, banyak hal perlu dibenahi.

Di bagian kedua mirip, atau bisa dibilang sama saja. Cinta kandas, yang kali ini terbentur masa lalu pasangan, dan seberapa layak cinta itu diperjuang. Perjalanan waktu mengikis apa saja, senantiasa. Perjalanan waktu juga menyodorkan yang baru, selalu begitu. Bukankah setiap perubahan selalu mengandung konsekuensi? Kalau yang ini semua jelas, keputusan bulat sudah diambil. Hasbi, tak perlu meminta petunjuk Ibunya, segalanya sudah diputuskan, waktu yang akan mengobati lukanya.

“Beberapa kali kami berbaku tatap, namun seperti ada sesuatu yang kaku menandingi.”

#3. Cinta 3, Masih Bagai Butir

Pasangan suami istri Jap dan Ina menunda memiliki anak, sang istri yang lebih tua mengingin usia 30 adalah masa yang tepat, itu berarti mereka harus lebih sabar. Jap yang seorang penulis berita, lebih jarang di rumah. Lalu muncul ide, menadopsi anak. Uni Sasmi saudara mereka, memiliki anak enam tahun Budi yang belum sekolah, lalu diajaklah Budi tinggal di sana, menemani Ina dan pembantunya Rukma.

Kebahagiaan ada anak di rumah ternyata tak berlangsung lama. Budi yang memang anak kampung, susah diatur. Suka main tanah dan kotor-kotor, baju bagus yang dibelikan tak mau dipakai, lebih dekat sama Rukma ketimbang padanya, memilih pakai baju lusuh dari ibunya, hingga kahirnya merengek kangen ibu. Hufh…

Menurutku, ini yang paling lemah. Konfliks dicipta sendiri, dengan penyelesaian sendiri, mudah dan sederhana sekali. Kita tahu semua orang adalah pembelajar, tak peduli berusia berapapun. Kalau sudah memutuskan menunda punya anak, ikuti konsekuensi itu. Kalau sudah memutuskan mengadopsi anak, ikuti pula konsekuensi itu. Makanya, cerita ini seolah tampak meriah atau malah turut murung, tentu saja bergantung kepada suasana hati mereka yang menatapnya. Perempuan yang mengikuti mood yang berayun.

“Betapa sekejap usia kebahagiaan.”

Kubaca cepat dalam tiga hari, satu cerita per hari. Jumat, 1 Juli hingga Minggu kemarin. Tipis, sehingga bisa gegas. Nama Gustafrizal Busra atau lebih terkenal dengan Gus TF Sakai adalah sastrawan pemenang Kusala Satra Khatulistiwa dengan bukunya Perantau. Belum kubaca, ini adalah buku beliau pertama yang kutuntaskan. Kemarin pas memutuskan beli, karena nama beliau saja yang sudah kukenal, minimal perkenalan satu buku dulu sebelum melahap Perantau. Secara keseluruhan, lumayan enak. Bahasanya nyastra, tapi inti cerita masih nyaman, dan poin utama: cerita, bagus. Mengusung tema cinta, dengan pijakan seorang ibu, kita diajak sepintas lalu menelusur cinta-cinta yang kandas. Yang paling kusuka, jelas cerita pertama. Endingnya yang gantung, cinta yang terhalang adat dan norma, hingga dibawakan dengan puitik. Konfliks yang takkan lekang, cinta tak sampai.

Cerita dengan pilihan diksi yang meliuk-liuk itu tak salah, dinarasikan dengan indah melalangbuana, membumbung tinggi dengan gegap gempita indah, kata-kata mutiara melimpah ruah di setiap lembarnya, tak mengapa. Namun balik lagi, intinya adalah cerita yang bagus. Cerita dengan konfliks berat, makin berat dna rumit bakalan makin meriah. Makin aduhai, apalagi penyelesaiannya juga hebat, makin menambah jempol.

Tiga Cinta, ibu memenuhi itu. Hanya sayangnya terlampau tipis, ibarat bercinta yang nikmat, durasinya kurang lama. Mungkin di buku berikutnya yang lebih tebal, penguat itu ada. Semoga…

Tiga Cinta, Ibu | by Gus TF Sakai | GM 201 02.004 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Jakarta, 2002 | Pewajahan Sofnir ali | Ilustrasi sampul Mirna Yulistianti | Setting Fransiska Aries Dian Lestari | 108 hlm.; 14 x 21 cm | ISBN 979-686-604-8 | Skor: 4/5

Mak dan Cul, Cinta yang tak henti mengalir

Karawang, 040722 – Blink 182 – First Date

Thx to Kang Asep, Bandung