Maryam #29

“Kalau memang bapak dan ibu menganggap dia laki-laki yang baik, saya sudah tidak punya alasan lagi untuk menolak. Apa yang membuat bapak dan ibu bahagia, pasti juga bisa membahagiakan saya.”

Secara garis besar kita tahu bahwa buku ini bercerita tentang golongan minoritas yang tertindas. Tugas penulis adalah tak mencerita detail berita itu, berikan gambaran lainnya, jadikan informasi bahwa Ahmadyah dianggap sesat dan para pemeluknya terusir, bukan sebagai center cerita, tapi sebagai data pendukung. Mencerita hal-hal umum tentunya kurang Ok, sebab pengetahuan umum bila dicerita ulang hanya menelusur garis lurus, tak ada belokan, tak banyak tikungan, tak ada kejutan. Maryam, sebagian memenuhi, tapi gambaran umum itu masih kental dan banyak ditemui.

Maryam terlahir dan besar sebagai Ahmadyah, terlahir di Lombok dalam didikan agama yang tegas, ia tak bisa memilih, seperti kita semua, bila kalian terlahir di keluarga Kristen, maka otomatis kalian akan dididik secara Kristen, begitupula agama lainnya, secara otomatis ajaran itu dipetakan ke anak-anak. Maryam hanya kebetulan lahir dalam keluarga Ahmadi. Tak satu alasan pun baginya untuk menjadi bagian dari Ahmadyah selain karena memang sejak lahir ia telah dijadikan Ahmadi oleh kedua orangtuanya. “Mereka yang dididik dan dibesarkan dengan cara yang sama akan menghargai dan mencintai dengan lebih baik dibanding orang-orang luar yang selalu merasa paling benar.”

Maryam, melanjutkan kuliah di Surabaya dan tinggal dalam komunitas yang sama, dan masa muda yang berapi-api itu ia jatuh hati sama Gamal, lelaki Ahmadyah yang secara umum tentu saja jua diterima keluarganya. Apalagi yang kurang ketika semuanya telah dibungkus dalam kesamaan iman? Sayangnya, tekanan bukan dari dalam, tapi dari sisi lain. Bukankah kata sesat sudah bukan hal baru lagi bagi Gamal? Ia hanya Ahmadi ketika sedang berada di tengah-tengah pengajian Ahmadi. Di luar itu, ia tak merasa berbeda dari yang lainnya.

Ya, takdir berkata lain, Gamal menemukan pilihan keyakinan lain, dan pergi, mematahkan hati Maryam dan tentu saja keluarga dan komunitasnya. Tapi bagaimana caranya mengatur hati agar jatuh cinta hanya pada orang dalam (lainnya)?

Kehidupan mengarahkan Maryam ke Jakarta. Bekerja di ibukota dengan asa baru. Kota yang lebih besar, dan pergaulan yang lebih bebas dan terbuka, hati Maryam tertambat pada Alam. Namun kali ini lain, Alam bukan Ahmadyah dan ini tentu mencipta riak hingga gelombang besar di kedua kelurag besar. Orangtua Maryam jelas menentang, orangtua Alam apalagi. Apanya yang berbeda kalau mereka seagama?

Semua tahu mereka berbeda. Tapi mereka juga sadar mereka punya satu nama agama. Dan kali ini Maryam-lah yang mengalah, ia seolah mengikuti jejak sang mantan yang keluar Ahmadyah dengan turut pada kekasihnya, ia masuk ke tubuh Alam, begitujuga kepercayaanya. Pengorbanan yang luar biasa, yang kini menjadikannya salah satu anggota komunitas mayoritas.

Sayang, apa yang ia cita tak berjalan mulus. Sakitnya, pedihnya, dukanya, takutnya, semua bisa ia rasakan saat ini. Tekanan dan kenyataan tak berbanding lurus sehingga ia menderita. Maryam kehilangan semua harapannya. Kehilangan orang yang dicintainya. Tapi ia tak tahu harus bagaimana. Ia hanya ingin menangis. Suaminya tak selalu memihaknya, suaminya anak mami yang tak bisa tegas memihak Maryam, tekanan itu makin berat dan memaksa Maryam melakukan tindakan berat. Suaminya tak bisa diandalkan sehingga perceraian terjadi. Lihat, cinta saja tak cukup. Kecocokan waktu pacaran tak sama dengan kecocokan saat menikah, ia menjanda dan ia di persimpang jalan, lagi.

Bayangkan, ia sudah terusir dari keluarga besarnya, ia kini terusir dari keluarga kecilnya, apakah ada kesempatan kedua bisa ia memutuskan kembali ke keluarga besarnya? Ia pulang sama sekali bukan untuk iman. Ia pulang hanya untuk keluarganya. Apakah itu akan menjamin ia tak terusir lagui, baik secara fisik maupun batin? Bayangkan, ia dari minoritas, masuk ke mayoritas, lalu dengan serpihan hati, memohon kembali masuk ke minoritas, dan ternyata tetap tertekan. Begitulah hidup, pahit. Akankah pengorbanannya membuah hasil manis di kesempatan kedua ini?

Agama, atau keyakinan. Merupakan basis kuat yang menyatukan orang-orang, selain cinta, politik, hingga fanatisme sejenis. Agama, karena itulah seharusnya menguatkan. Mereka yang tak punya ikatan darah tapi menjadi keluarga karena ikatan iman. Semuanya sudah seperti menempel dalam alam bawah sadar. Ibadah dan pengajian tidak lagi sekadar kebiasaan dan kewajiban, tapi juga kebutuhan. “Yang namanya keyakinan memang tak bisa dijelaskan. Ia akan datang sendiri tanpa harus punya alasan.”

Ada beberapa pertanyaan ironis dilontarkan. Seperti, “Apa ada laki-laki baik-baik yang mau menikahi janda?” Seolah kesalahan di masa lalu itu sulit dihapuskan, menjadi bayang-bayang perempuan. Atau tentang rumah yang jadi pijakan keluarga itu, terusir. “Rumah itu milik kakekku. Dibangun dengan uangnya sendiri. Tanahnya warisan dari buyut-buyutku. Lalu diwariskan ke bapakku…” atau tentang kepercayaan, “Namanya orang sudah percaya, semakin susah semakin yakin kalau benar.”

Dan betapa seramnya, saat menyadari bahwa kepahitan yang dirasa ternyata tak seberapa, setelah tahu ada kepahitan lain yang harus ditangani. “Maryam kini tahu, apa yang telah dilakukannya, segala yang yelah dialaminya, tak berarti apa-apa dibandingkan dengan segala hal yang telah dialami keluarganya. Pengusiran, penghinaan, pengucilan, segala macam penderitaan yang tak pernah Maryam bayangkan.” Dan seberapa kuat sih kita menahan gempuran eksternal? “Kita pertahankan yang tersisa ini. ini rumah kita!”

Jodoh, mati, rejeki itu sudah ada yang atur. Namun dalam keluarga, ada syarat wajib dalam memilih jodoh. “Yakni, ikhlas, setia, dan Ahmadi.” Lihat, mau mayoritas atau minoritas, mau Kristen, Buddha, atau kepercayaan lain. Seagama selalu jadi syarat, saat meminta restu orangtua. Dan itu wajar saja.

Ini adalah buku prosa ke 11 yang kubaca dan ulas dari Pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa. Saya ikuti penuh sejak era Kura-kura Berjanggut hingga kini, dan mencoba membacai buku-buku pemenang lama. Tahun 2010, tersisa dua. Di era digital, rasanya mengejar baca buku-buku tampak realitis sekali, mudah didapat, asal ada waktu dan uang bujet saja. Beruntung, tahun 2018 saya menemukan buku ini di tumpukan buku yang ditaruh di Carefour Karawang. Kualitas Maryam ada di tengah-tengah, tak buruk tak juga istimewa. Tetap memenuhi harap, seperti Isinga misalnya. Buku kedua Okky yang saya baca setelah buku non-fiksinya. Hanya masalah waktu mengejari buku lainnya.

“Keteraturan dalam kesemrawutan. Ketenangan dalam kegelisahan. Kepasrahan dalam kemarahan. Kebahagiaan dalam kesedihan. Itulah yang sedang mereka bangun sekarang. Dalam hati masing-masing, juga dalam keseharian yang dijalani bersama-sama.”

Maryam | by Okky Madasari | GM 401 01 12 0009 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Ilustrasi sampul Restu Ratnaningtyas | Desain sampul Marcel A.W. | Jakarta, 2012 | Cetakan ketiga: April 2016 | ISBN 978-979-22-8009-8 | 280 hlm; 20 cm | Skor: 4/5

Untuk mereka yang terusir karena iman

Karawang, 290622 – Tasya – Apakah Arti Puasa?

Thx to Carefour Karawang

#30HariMenulis #ReviewBuku #29 #Juni2022

Menakjubkan!


Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan oleh Raudal Tanjung Banua

“Kata ibuku, iblis tak penah mati!”

“… Makin jauh, makin kasih hati kepada mereka yang berpisah. / Apa yang kukenang? Masa kanak waktu tidur dekat ibu. / Dengan membawa dongeng dalam mimpi tentang bota. / Dan raksasa, peri dan bidadari. Aku teringat. / Kepada buku cerita yang terlipat dalam lemari…: (Subagyo Sastrowardoyo, “Manusia Pertama di Laur Angkasa”, 1970)

Tentu saja ada sejuta variasi bagaimana sebuah dongeng dapat dikisahkan: rasio narasi terhadap data; kecepatan, alur, dan nada. Titik dalam narasi tempat ‘menyusup’ ke dalam cerita. Kita semua akrab dengan dongeng, terutama dari orangtua, dan buku ini adalah serangkaian kisah-kisah dongeng yang dituturkan ulang dengan gaya. Entah nyata, atau banyak modifikasi, yang jelas tampak menakjubkan.

Menakjubkan! Ya, itulah komentarku seusai membacai. Campur aduk perasaan, dijabarkan dengan sabar, disajikan dengan istimewa. Cerita-cerita masa kecil dari orangtua, paman sampai neneknya, kita melangkah lanjut ke tema-tema masa lalu yang lebih umum, menorehkan kenangan. Menulis tentang masa lalu, sekali lagi kubilang sungguh aktual. Dan lebih mudah diimajinasikan. Sungguh nyaman, asyik sekali diikuti, seolah membacai memoar, menelisik nostalgia.

Wahai para penulis, Anda harus cukup menghibur pembaca hingga kita memberikan perhatian. Dan dongeng yang menghibur adalah syarat mutlak.

#1. Cerita-cerita Kecil yang Tulus dan Murni dari Ibuku

Cerita istimewa memang baiknya ditaruh di muka, cerita tentang tangga yang menghubungkan warga langit dan bumi terdengar menarik. Orang langit butuh garam tinggal turun, orang bumi butuh cahaya tinggal naik. Orang-orang justru lebih akrab lintas dimensi ini, sampai suatu ketika terjadi bencana yang pada akhirnya membentk kita dalam bertetangga.

Atau kisah Si Miskin dan Anak Raja, bagaimana seekor kumbang milik Si Miskin pada akhirnya kisah mencipta jodoh istimewa. Cerita raja bangau sungguh memilukan, ini juga bukan sekadar kisah, ini sejenis penggambaran cinta sejati yang buta. Sadis, tak berperikemanusiaan eh tak berperikebangauan.

#2. Cerita-cerita Kecil yang Sedih dan Menakutkan dari Ayahku

Selalu minta dipijat dengan imbalan cerita dari Sang Ayah. Angkut-angkut (aku gagal memahaminya pertama baca, sebab tak tahu ini binatang apa; sampai akhirnya aku googling seusai lahap) sejatinya berasal dari manusia yang menunggu padi masak buat disabit, sia-sia.

Kisah tikus betung memelihara bayi manusia menjadi inspirasi balas budi. Jangan lagi Utung masuk ke rumah orang. Utung sudah tua dan istirahat saja sekarang.” Utung, rumpun betung.

#3. Rangkaian Cerita yang Menyertai Wabah di Kampungku

“Sering-seringlah memandang Bukit Talau. Banyak gunanya. Melihat awan, meninjau hujan.” Ini kisah-kisah isyarat alam yang menjadikan informasi akan datangnya kejadian buruk sehingga warga bisa antisipasi, atau minimal persiapan. Ada saja jenisnya, suara-suara misalnya. Atau kisah lucu pasukan tikus dan babi yang menyeberangi jalan dengan saksi sopir ngantuk di malam pekat. Ada-ada saja.

#4. Cerita Kecil tentang Pohon dan Belukar Masa Kecilku

Lucunya. Batang kayu putih yang salah tangkap jadi olokan tak sopan. “Khalera, ini tidak bisa disuling! Ini kayu sampah!” dan kisah-kisah masa kecil dengan pohon, kerbau, belukar, dst ini jelas menjadikan kita kenangan masa kecil sungguh berharga dan tak ternilai.

#5. Cerita Kecil yang Menyentuh Iman dari Nenekku

Nenek adalah semesta kisah, rujukan cerita masa kecil banyak orang, terlebih jika itu menyangkut keselamatan dunia akhirat. Berkisah kehidupan sesudah kematian mencipta cekam, bagaimaian malaikat Raqib dan Aqib menggedor dinding kubur. Menanyai banyak hal, mencipta jerit bagi para pendosa, tapi tak ada manusia di atas tanah yang mendengarkan, kecuali binatang. Maka selagi masih hidup, berbuat baiklah. Duh, sungguh bijak bestari.

#6. Cerita Campur-Aduk dari Pamanku

Dari Paman Untung Sudah, nama dengan segala arti dan makna. Ia pernah cerita, mengajak mendatangi ke kota. Ke mana? Padang? Batangkapas? Jakarta? “Lebih jauh dari Jakarta; untuk apa ke sana, dulu mereka kirim tentara kemari! Kita pergi lebih jauh dari Amerika, bahkan luar negeri pun lewat, sebab ini berhubungan dengan akhirat.” Hehe, bisa-bisanya.
Jodoh paman Untung sendiri disampaiakan dengan unik, pencarian berbuah manis berkat bantuan sang kiai.

#7. Cerita Rakyat dari Daerahku atawa Dendang Membara Pirin Bana

Pandai memainkan perasaan, seolah mengaduknya dalam bejana, itulah keunggulan Pirin Gadang atau Asmara. Kritik sosio politik menjadi membara kala dicerita di atas panggung. Ada tiga Pirin di sini, pertama Pirin Gadang atau Besar; kedua Pirin Ketek atau Kecil, dan terakhir Bana nah yang ini tersingkir karena dalam penampilannya menyentil proyek jalan terbengkelai dari pemerintah. Gara-gara ‘Insiden Taman Budaya’, ia lantas menghilang, Aku lalu mencoba menyewanya untuk tampil di acara khitanan anakku. Dan drama terjadi, saat penampil muncullah mobil plat merah yang berupaya membubarkan pesta, tapi memang tak semudah itu. Hal-hal yang dirasa perlu disampaikan, tak selamanya berhasil dibungkam.

#8. Bersin

Gelitik ajaib yang meledakan hidung, niscaya bisa jadi pematik yang membalik keadaan. Sebuah malam yang keramat, rumah Bu Gendhuk yang tenang lantas geger sebab ada orang bersih di sana. Dan kedamaian dan ketenteraman mendadak sirna dari bumi. Hahaha… iso ae.

#9. Kisah Cinta Menikung si Tukang Kabung

Selalu ada jalan di lingkar adat nan bestari. Ini cerita paling lucu nan tragis. Dari pengamatan di pinggir jalan, di pasar yang riuh muncullah karakter unik. Pak Uba bersepeda jauh dengan menjual entah apa. Dia dijuluki manusia kabung, sebab hanya menjadi penyambung mantan suami istri yang telah bercerai lalu mencoba rujuk. Nikah kontrak demi sahnya ajaran agama. Lantas kasus besar terjadi sebab Marlena sang istri tak mau dicerai, fakta-fakta masa lalu sedih dan romantic-pun muncul. Luar biasa. Cinta sejati takkan pernah mati. “Ia telah menjelma jadi Gua Hantu, hahaha…”

#10. Cerita Laskar Merah dan Hilangnya Pesawat Terbang

Sedih dan begitulah bila info samar dijadikan patokan, atau bisa dibilang apes bila yang merespon galak-galak. Kisah hilangnya Merpati Nusantara Airlines dengan registrasi PK-MVS rute Jakarta-Padang membuat Kutar bin Katidin kehilangan dua gigi yang nyaris tanggal. “Kutar itu anak turunan Laskar Merah.”

#11. Kamus Cerita Abdul Muin

Kisah tragis mahasiswa mati muda yang mencoba menulis buku. Mencoba tampil beda, idealis dengan tema unik. Teman-teman kosnya di Yogya membuat buku yang laris dan mengikuti arus hype pasar, ia tak mau ikutan. Naas, Abdul Muin meninggal dunia mendadak. Dan saat kosnya dibersihkan, Aku menemukan draf bukunya. Cerita dalam bentuk kamus gaul yang sedap dibaca. Namun belum tuntas. Dan ini menjadikan Abdul Muin telah lebih memulai.

#12. Cerita Kecil tentang Jalan Masa Kecilku dan Segala yang Melintas di Atasnya

Memang, jalan yang dulu terasa jauh atau sebuah tanjakan yang dulu terasa tinggi, kini setelah dewasa ternyata tak sejauh itu, ternyata tak securam itu. Apakah karena kita yang sudah dewasa sehingga langkah dan tinggi tubuh menjulang, atau karena nostalgia itu sejatinya syahdu?

Aku sudah baca biografi Bung Karno yang mencerita perjalanan panjang di zaman mula Jepang ke Bukittinggi yang terkenal itu, nyatanya di sini jalan bersejarah itu terbengkelai, kenapa setelah merdeka bukannya diperbaiki, dijadikan rute napak tilas, atau minimal diperhatikan pemerintah (daerah saja dulu, jangan berharap pusat). Dunia memang begitu, mudah lupa, mudah terlupakan.Jalan masa kecilku sejatinya tak banyak berubah. Atau, ia menyusut ke masa lalu?

Ada satu cerita yang sayang kalau tak kusampaikan di sini, sopir truk tanki Pertamina yang mirip Raja Dangdut Rhoma Irama lewat dan cuek dari sapa warga, sampai suatu hari ia menabrak sapi Uni Jani yang mengubah gaya tengilnya.
Kubaca di sela saat pelatihan koperasi tiga hari dua malam pada 21.10.21 s/d 23.10.21, dapat separuhnya; separuhnya lagi kunikmati di akhir pekannya. Secara keseluruhan kandidat prosa KSK 2021, inilah yang terbaik. Dari Sembilan buku, hanya ini buku bernilai lima bintang. Sayang saat buku ini kupegang, pengumuman lima besar tak mencantumkannya. Cerita Kecil tersingkir justru saat kutemukan prosa yang istimewa.

Catatan ini kututup dengan kutipan dari Ishak Bashevis Singer, pemenang Nobel Sastra yang menulis berbagai genre, termasuk buku anak-anak, dia menjelaskan bahwa anak-anak membaca buku, bukan ulasan/ mereka tidak peduli sama sekali dengan kritik. Cerita-cerita Kecil walau tak seluruhnya cerita anak-anak, tapi Bung Raudal dengan efektif menelusur masa kanak-kanak, dan berhasil.

Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan | oleh Raudal Tanjung Banua | xi + 192 halaman, 13.5 x 20 cm | Penerbit Akar | ISBN 978-602-50433-5-2 | Cetakan 1. Oktober 2020 | Desai nisi Framearts | Desain cover Nur Wahida Idris | Gambar cover dan isi diolah dari lukisan pada kap lampu | Skor: 5/5

Karawang, 241021 – Manhattan Jazz Quartet

9 down, 1 to go.

Thx to Jual Buku Sastra (JBS), Yogyakarta

Harapan telah Ditegakkan dalam Hidup dan Sajak


Jalan Malam oleh Wachid B.S.

Hatiku jendela yang membuka / Seperti kulihat wajahku ke dalam cermin / Maka di dalam cermin itu kulihat wajahmu juga / Yang menerangi bahwa hari ini adalah puisi indah

Ini baru buku puisi bagus. Sulit memang memahami puisi, tapi memang seyogyanya puisi itu tak harus dipahami, yang penting dinikmati. Jalan Malam memberi rona itu, apalagi di bagian akhir diberi pencerahan beberapa lembar bagaimana puisi harus disikapi. Walaupun sudah baca beberapa kutipan dan ulasan puisi, tetap saja isinya memberi wawasan kepada kita, bagaimana harus bersikap. Aku sendiri sudah mengikrarkan, mulai tahun ini membaca minimal 12 buku puisi. Sejauh ini baru dapat separuh +, melihat isi rak, aku optimis gegayuhan itu bakal terwujud. Dan, mungkin buku ini salah satu yang terbaik tahun.

Jalan Malam terbagi dalam lima, rata-rata benar-benar bagus. Kata-kata dipilih dengan jitu untuk menyampaikan maksud. Temanya beragam, ditulis merentang jauh setak tahun 1980-an hingga 2010-an. Dan yang ditampilkan menghanyutkan.sana Puisi Rumah Kecil misalnya, diambil sudut pandang seisi rumah dan karena syukur yang baik, tak mengapa rumah kecil asal ada kebersamaan. Di puisi RIndu Ibu misalnya, bikin nangis dan gegas ku telpon video call orang-orang rumah di seberang sana.

Atau tentang ziarah yang dilakukan di berbagai daerah ke tokoh-tokoh penting, syahdu dan melibatkan hati. Ziarah tak sekadar tabor bunga dan untaian doa, itu adalah perjalanan spiritual bagi peziarah. Apa-apa yang sudah terjadi di masa lampau bisa dipetik hikmahnya. Nah, apa itu hikmah, ada penjelasan panjang lebar di belakang, aku kutip sebagian di bagian bawah.

Bagian pertama ada enam puisi. Aku ambil beberapa yang kusukai. Pertemuan: bila sepasang kupu-kupu saling / berkejaran di antara bunga-bunga / bertanya lagikah kita / apa itu cinta.

Bagian kedua ada 28 puisi. Wasilah Kekasih: Tersebab engkau cahaya / Barangkali aku tak pernah mampu / Melukiskan puisi untukmu.

Rumah Kecil Untuk Orang Kecil: “Janglah ayah berpusing dengan rumah? / bukankah rumah kita ada di dalam hati / tatkala ayah da ibu selalu hadir / hati senantiasa berdesir / oleh kasih sayang yang abadi mengalir”

Jarak Kau Aku Sedemikian Dekatnya: Di atas kecantikanmu / Di bawah kecantikanmu / Di kanan kiri kecantikanmu / Kemana pun menghadap: kecantianmu

Hari ini Adalah Puisi Indah: Lalu berlalu aku menuju kran air / Kubasuh wajahku dalam urutan wudlu / Kusahadatkan hatiku agar kembali segar / Yang menyaksikan bahwa hari ini adalah puisi indah

Rindu Ibu: Ibu, / di pintu, di ramadhan ini / di pagi di saat subuh berganti mentari / kutelponkan ungkapan ampun nurani kepadamu / batu-batu kali batu-batu hati terkikis / tersedu airmata rindu

Bagian ketiga terdiri sebelas puisi. Anak Batu: Mengapa dia disapa “Anak Batu”? / Apa karena berumah di pegunungan batu / Yang dipanggang matahari dan cinta / Yang kepayang, lalu sujud di sajadah tanah dan sabda.

Sajak untuk Gus Jadul: Terbuat dari apakah hati lelaki yang / Meradang dengan tinju dan lemparan batu? / Terbalut dengan apakah hati lelaki yang / Merangsek dan merusak rumahmu?

Resonansi: Setiap hal di semesta ini, ada / getarannya, adaauranya, ada / gerakannya, sekalipun penuh lembut / sekalipun ada yang penuh kalut

Bagian keempat ada sebelas puisi. Menjelang Subuh Itu: pada akhirnya / di akar kepala itu / kembali ke dalam tanah / berumah di dalam tanah.

Jum’at Call dari Gus Mus: galilah tanahmu hingga matair / untuk airmata takjub kalbu kau aku / serupa musa di bukit tursina // membaca semesta yang maha / ulurkan tangan dengan cinta /senyum sang nabi menafasi hari

Hamba Membaca: Hamba membaca diri / hamba mengenali / alamat hyang abadi

Bagian Lima ada empat puisi. Cerita Mbah Basyir: di bawah pohon jati sampai akhir nanti / hamba berkawan sunyi

Syekh Siti Jenar: banjir bandang yang / menenggelamkan aku / ke dalam samudera makrifat cinta / sekaligus hujatan sepanjang usia

Jalan Malam: aku tak ingin pulang ke yogya karena / aku tidak akan pergipergi lagi / aku mau menjagamu sepanjang waktu

Kubaca selama dua hari, Sabtu-Minggu, 16-17 Oktober 2021 selaing seling dengan buku lain. Memang paling nyaman baca setumpuk buku dalam waktu bersamaan, gantian. Sebab aura dan feel-nya akan campur aduk, setiap penulis punya gaya dan caranya sendiri dalam bercerita, Jalan Malam di hari pertama dapat dua bagian, satu bagian lagi Minggu pagi, sisanya Minggu malam. Nyaman baik dibaca nyaring atau dalam hati.

Di akhir buku, ada kata penutup yang menjelaskan panjang lebar hikmah puisi. Tulisan bagus yang harus kalian baca snediri. Aku hanya mengutip sebagian kecil sahaja. Enam paragraf berikut aku ketik ulang.

“Pembicaraan tentang puisi, pertama-tama dan terutama adalah memperlakukan puisi sebagai puisi… dengan cara mengungkapkan ciri-ciri kualitatif.” Demikian Maman S Mahayana mengutip Cleath Brooks dan Robert Penn Warren (Understanding Poets, 1967). “Teks puisi menjadi pilihan karena relatif bebas dari latar belakang sejarah, biografi, dan tradisi kesusastraan.”

Jika berorentasi fisik dan duniawi, maka samalah pula dalam menilai apapun, termasuk menilai puisi… sebuah penilaian mestilah objektif, ada bukti fisik, dan bukti fisik puisi tentukah bahasa puisi.

Pencapaian keindahan (estetika) tertinggi dalam pandang keruharian Islam ialah hikmah, sebagaimana Sabda Nabi SAW. Sejumlah puisi mengandung hikmah; hikmah adalah onta orang beriman yang hilang, apalagi dia menemukan kembali, dia memiliki kebenaran terbaiknya. (al-Hujwiri melalui Hadi W.M.; 1985: 31)

Hikmah itu merupakan ‘onta’ (kendaraan) “orang beriman” yang “hilang”, karenanya “harus dicari” sehingga dia menemukan bukan sembarangan “kebenaran”, melainkan “kebenaran terbaiknya”.

Sebagai penyair bahwa realitas alam semesta dan manusia adalah lambang, yang harus dimaknai secara ilahiah.
Muhammad Iqbal, penyair profentik dari Pakistan bilang, “Suara seruling yang indah itu bukanlah karena mutu bamboo dari seruling itu, tetapi disebabkan oleh keindahan yang bergetar sedari hati ruhani si peniupnya.”

Senang rasanya bisa menikmati puisi. Banyak puisi yang kurang Ok (atau akunya yang belum bisa menikmatinya?), trial berkali-kali.

Beberapa kali bisa mendapatkan buku baik,tapi seringnya tidak. Nah, Jalan Malam ini dengan pede kubilang bagus, sebab feel-nya dapet. Bisa membuat terbawa, dan berhasil menautkan emosi pembaca. Senyam-senyum sendiri, sedih, atau mendapat anggukan kepala. Sebagai tambahan, puisi juga enak juga menyentuh agama. Sisi reliji memang jarang kudapati di puisi, makanya bagian-bagian sembah sujud kusuka.

Ziarah juga ada porsinya. Kukira puisi memang bisa untuk sisi apapun, menembus batas bahasan. Segalanya…

Jalan Malam | Oleh Abdul Wachid B.S. | Penyunting Arco Transept | Pemeriksa aksara | Daruz Armedian | Tat sampul Mita Indriani | Tata isi @kulikata_ | Lukisan Cover Widya Prana Rini | Pracetak Kiki | Cetakan pertama, April 2021 | Penerbit Basabasi | vi + 142 halaman; 12 x 19 cm | ISBN 978-623-305-209-2 | Skor: 4/5

Karawang, 191021 – David Sanborn – The Dream

Thx to Intan P. Thx to Basabasi Store.

Dari Tour de France Hingga Hemingway


Revolusi Nuklir oleh Eko Darmoko

“Di dunia ini terlalu banyak serba kemungkinan, dan kita dipaksa untuk meneruskan hidup.”

Lelah, tapi puas. 22 cerpen dalam buku kecil 200 halaman. Sebagian sudah diterbitkan di media, sebagian besarnya belum. Semua yang berkisah di masa depan tampak kurang, atau kalau mau jujur tampak aneh. Burung besi berkisah, pohon android, dst. Semua yang dikisahkan di perjalanan gunung, tampak nostalgia. Ibadah puisi di Rinjani, petualang sekual Apocalyto, dst. Semua yang dikisahkan secara flashback tampak nyata, atau nyata yang dimodifikasi. Telinga putus, pacar yang hamil berencana memberi kejutan yang malah mengejutkan, hotel Kurt Cobain, dst.

Yang bagus menurutku adalah bagian-bagian yang sederhana. Malaikat pencabut nyawa yang mengambil kembarannya, itu kisah mudah dicerna, walau memilukan tapi malah terasa emosional. Atau pencabut nyawa yang diusir oleh PSK, klenik yang membuncah kan masih banyak berlaku di msyarakat. Atau Ayam Kampus yang mengambil keset kampus, tenang, diam, dan malah langsung in kan? Tak perlu muluk-muluk untuk berfantasinya. Kabar dari Brescia misal, itu malah tampak angun tentang kangen, dan bila menyangkut kangen, hal-hal bisa jadi menyentuh. Kapir lebih sederhana lagi, kunjungan ke rumah sahabatnya yang alim dan tatoan, dengan sambutan kontra akan kebiasaan. Lihatlah, mending cerita tuh yang umum sahaja. Yang penting kisahnya bagus, dituturkan dengan bagus, pembaca akan tertaut secara emosi.

Aku biasanya membahas satu persatu cerpen dalam buku kumpulan cerpen, tapi karena sedang suasana males seharis Magrib ini, dan cuaca Karawang yang biasanya panas malah diguyur hujan sebagai penanda untuk ngopi santuy, yo wes bahas singkat saja tiap cerpennya dalam satu kalimat, dimaktub dalam satu paragraf.

Nuklir yang merasai, proyek rahasia bocor dan diledakkan. Pendaki yang becinta di tanah seberang berujar, “aku lebih suka Frida Kahlo ketimbang Gabriel Garcia Marquez.” Silampukau mengoceh kepada burung-burung di pohon masa depan. Penasehat yang membunuh. Mel Gibson kelolotan celeng setan. Oh, mungkinkah teori hubungan biologis dikalahkan bayang-bayang kenangan? Keset, saksi bisu orang-orang terpelajar yang kurang ajar. Slamet yang malang. Sergapan kepiting gaib. The persistence of Memory. Nenek mendapat kunjungan istimewa. Roh korban pembunuhan dan pemerkosaan yang mencinta sahabatnya. Gadis panggilan, gadis penolong. “Kau harus ke Nordlingen!” Mabuk dan bisnis saling silang. Don Juan Dul Koplo. Begal pensiun. Kangen dua insan di kapal yang sama, pacar di Bresia mati, pacar di Jawa Timur bertahan. Dua orang sebatang kara disatukan, lalu dipilukan. Sejarah Tuhan mampir di dua rumah. Gairah membunuh penulis kalem, jangankan membunuhnya, menangkap bayangannya saja pun rasanya mustahil. Namanya Gregor Samsa, tapi orangtuanya tak tahu Franz Kafka, kok bisa?

“Ia tak ingin diganggu ketika sedang menulis. Bahkan Tuhan pun akan dibunuh jika sudah menggangu jam menulisnya.” Kalau diminta memilih yang terbaik, saya pilih yang ini. kutipan itu kunukil di cerpen ‘Wabah Bekicot’, penulis yang sedang bergairah akan dibunuh, tapi akhir yang aneh ditampilkan, dan kutipan ini mewakili isinya. Mungkin tertebak, tapi aku memang tak menebak sebab ngalir sahaja. Bagusnya, saat penulis sedang on high, dan produktif rasanya memang segala yang mengganggu laik dimusnahkan. Dunia koma, dan ketikan berkejaran.

Prediksiku, buku ini rasanya sulit juara, bahkan rasanya tak akan masuk daftar pendek. Temanya beragam, nan simpang siur. Ngoceh bebas ke mana-mana boleh saja, benang merahnya malah ngundet. Tagline, cerpen-cerpen dari masa depan hanya ditampilkan di awal buku, dan itu justru melegakan. Buku ini buku kelima yang kuterima, tapi malah jadi buku ketujuh yang selesai kubaca. Jujur saja, awal-awalnya boring. Makanya aku bilang, untung saja tema masa depan itu hanya di mula. Sulit sekali menulis masa depan, kata Niels Bohr, “Prediksi itu sulit sekali, terutama bila menyangkut masa depan.” Menulislah ke masa lalu, karena selalu aktual. Apa-apa yang sudah terjadi akan lebih mudah ditulis, dan dikisahkan, begitu pula dipahami pembaca. Tak ngawang-awang. Makanya cerpen-cerpen awal di buku ini kurang OK, sampai akhirnya kembali membumi.

Secara keseluruhan bagus, tak bosenin. Ditulis di banyak tempat, sejatinya jelas sebagian pengalaman pribadi. Tanpa mengenal secara personal, aku tahu Bung Eko suka mendaki gunung, buku-buku klasik, dan suka berpetualang. Seperti yang kubilang, buku yang berhasil adalah buku yang bisa membangkitakn emosi pembaca, melibatkannya, mengajaknya petualang. Revolusi Nuklir jelas melesat tinggi menembus awan, dengan congak dan percaya diri, setiap waktu siap meledakkan kalian.

Kita semua bosan acara tv, mengeluhkan cuaca panas, kesal sama tetangga yang cerewet, muak sama trending topic murahan. Singkatnya segala yang serba cepat tak otomatis nyaman. Kita semua merindukan suasana klasik sederhana tanpa gadget. Namun kita selalu memegang HP, menatap layar seolah semua yang muncul di sana penting. Lantas, apakah ini saat yang pas untuk revolusi?

Revolusi Nuklir | oleh Eko Darmoko | Editor Muhmmad Aswar | Pemeriksa Aksara Daruz Armedian | Tata sampul HOOK STUDIO | Tata isi @kulikata_ | Pracetak Kiki | Cetakan pertama, Juni 2021 | Penerbit Basabasi | iv + 200 hlmn; 12 x 19 cm | ISBN 978-623-305-218-4 | Skor: 4/5

Karawang, 191021 – Earl Klugh – Midnight in San Juan

Tujuh sudah, tiga otw

Thx to Intan P; thx to Basabasi Store.

Orang-orang di Masa Lalu yang Telah Meninggalkan Cerita ke Masa Mendatang


Segala yang Diisap Langit oleh Pinto Anugrah

“Tatapanmu, tatapan pesimis dan penuh amarah! Tidak baik memelihara tatapan seperti itu! Setan-setan akan senang di dalamnya, mereka akan berpesta pora di matamu!”

Ringkas nan memikat. Hanya seratusan halaman, kubaca sekali duduk selama satu setengah jam pada Sabtu, 16 Oktober 2021 selepas Subuh. Langsung ke poin-poin apa yang hendak dituturkan. Tentang Islamisasi di tanah Sumatra di masa Tuanku Imam Bonjol. Mengambil sudut pandang sebuah keluarga lokal yang kalah dan tersingkir. Segalanya jelas, tapi akan mencipta keberpihakan abu-abu.

Kisahnya di daerah Batang Ka, negeri di tenggara Gunung Marapi, Sumatra. Dibuka dengan pasangan suami istri yang absurd. Bungi Rabiah mendamba anak perempuan sebagai penerus sebagai pelanjut lambang kebesaran dari Rumah Gadang Rangkayo, suaminya Tuanku Tan Amo yang gila perempuan sudah punya banyak istri, Bungo Rabiah sebagai istri kelima. Memang ingin dimadu sama bangsawan. Terjadi kesepakatan di antara mereka, bagaimana masa depan generasi ini harus diselamatkan.

Rabiah memiliki hubungan gelap dengan saudara kandungnya Magek Takangkang/Datuk Raja Malik, satu ibu beda bapak. Dorongan yang begitu besar dari dirinya untuk tetap menjaga kemurnian darah keturunan Rangkayo. Ia tak mau darah keturunan Rangkayo ternoda dengan darah-darah yang lain. Mereka memiliki anak Karengkang Gadang yang bandelnya minta ampun, sejak tahu hamil, Rabiah langsung mencari suami, seolah asal ambil, ia menikah dengan pekerja kasar saat Magek Takangkang sedang dalam perjalanan bisnisnya. Pilihan langsung jatuh kepada Gaek Binga, bujang lapuk yang bekerja sebagai pemecah bukit pada tambang-tambang emas di tanahnya. Sudah bisa ditebak, pernikahan ini kandas dengan mudah, memang hanya untuk status sahaja. Rabiah lalu menikah lagi dengan Tan Amo, seperti yang terlihat di adegan pembuka.

Karengkang Gadang tukang mabuk dan judi. Hidupnya kacau, sakaw karena narkoba dan nyaris mati. Tan Amo mabuk perempuan, menggoda sana-sini walau sudah punya banyak istri. Kesamaan keduanya adalah judi, ia sering kali memertaruhkan banyak harta, termasuk perkebunan. Suatu hari desa mereka kena serang. Seranganya yang memporakporandakan wilayah sekitar itu kini menyambangi mereka. Satu lagi, Jintan Itam yang merupakan anak pungut yang dibesarkan seolah anak sendiri, mengabdi tanpa pamrih. Ia mewarnai kekacauan keadaan dengan pelayanan memuaskan.

Pasukan putih, tanpa menyebut secara terbuka ini adalah pasukan Tuanku Imam Bonjol yang terkenal itu, kita tahu ini adalah Jihad penyebaran agama Islam. Mereka juga memakai sebutan Tuanku untuk orang-orang terhormat bagi mereka. Nah, di sinilah dilema muncul. Magek kini jadi bagian dari pasukan ini, Magek Takangkang, Datuk Raja Malik yang mengganti nama Kasim Raja Malik, ia menjadi panglima yang paling depan mengangkat pedang dan menderap kuda. Pilihan bagi yang kalah perang hanya dua: mengikuti ajaran baru, atau mati. Ia tak pandang bulu meratakan daerah manapun.

Sebagian warga yang sudah tahu, memilih kabur. Yang bertahan luluh lantak, adegan keluarga Bungo ini ditaruh di ujung kisah. Drama memilukan, tak perlu kita tanya apakah Sang Kasim tega membinasakan keluarganya demi agama baru ini? Ataukah hatinya tetap tersentuh. Jangankan keluarganya, pusaka pribadinya yang mencipta dosa sahaja ia siap musnahkan. Dunia memang seperti itu, penuh dengan makhluk serba unik dan aneh. Kalau sudah ngomongin prinsip hidup, segalanya memang bisa diterjang, segalanya diisap langit!

Tanpa perlu turut mendukung pihak manapun, pembunuhan adalah salah. Apalagi pembunuhan dengan membabi buta, dengan bengis dan amarah memuncak. “Kau! Kelompokmu! Tuanku-tuanku kau itu! Hanya orang-orang kalah pada kehidupan, lalu melarikan diri kepada Tuhan!”

Tanpa bermaksud mendukung atau menhujat pihak manapun, selingkuh adalah salah, hubungan incen juga salah, judi, mabuk, narkoba jelas salah. Lantas bagaimana kita menempatkan diri? Dunia memang seperti itu, mau zaman dulu dan sekarang sama saja, hanya teknologinya saja yang berubah. Kalau mau objektif, semua karakter ini pendosa, dan saat bertaubat, ia memilih jalan yang keras, dan yah, salah juga mengangkat pedang. Kalau zaman sekarang, menyandang bom untuk menegakkan bendera agama dengan meledakkan diskotik misalkan, tetap saja salah. “Atas nama agama, katanya!”

Perjuangan melawan semacam kutukan juga terlihat di sini. Rabiah! Ingat, kau adalah keturunan ketujuh dan kutukan kepunahan pada keturunan ketujuh akan menghantuimu. Munculnya karakter minor yang ternyata memiliki peran penting dirasa pas. “Apakah orang-orang mencatat apa-apa yang pernah terjadi pada masa lampau kita, Jintan?” Maka akhir yang manis dengan api berkobar sudah sungguh pas.

Overall ceritanya bagus, tak njelimet, jadi sungguh enak dilahap. Benar-benar clir semuanya, apa yang mau disampaikan juga jelas, silsilah di halaman depan mungkin agak membantu, tapi untuk kisah seratusan halaman, rasanya tak diperlukan. Mungkin salah satu saran, jangan terlalu sering menggunakan tanda perintah (!) terutama untuk kalimat langsung. Mungkin maksudnya marah, atau meminta, atau memerintah, tapi tetap kubaca jadi kurang nyaman. Atau semuanya berakhiran dengan tanda itu dan tanda tanya (?)? contoh kalimat-kalimat langsung yang sebenarnya bisa dengan tanda titik (.), atau ada yang salah dengan tanda ini. (1) “Memang kita tidak akan mengerti, jika mengerti berarti kita selamat di ambang zaman ini!”; (2) “Sebentar lagi kita akan punah! Semuanya akan habis! Saya lebih peduli akan hal itu. Saya dan Rumah Gadang ini, tidak ingin hilang begitu saja, makanya perlu ada yang mencacat! Perlu dicatat!” (3) “Saya telah memilih jalan ini, Tuanku! Maka, saya pun akan berjuang sampai titik darah penghabisan, Tuanku!”; dst…

Prediksiku, buku ini laik masuk lima besar. Kisahnya sudah sangat pas, tak perlu bertele-tele, langsung ‘masuk’ ke intinya. Kursi goyang yang mewarnai kenyamanan hidup hanya selingan bab mula, masa kolonial yang keras bahkan tak disebut dan tak dikhawatirkan. Pasukan Padri, pasukan lokal yang perkasa malah justru yang mencipta khawatir. Rasanya banyak hal yang disampaikan, dan memang sepantasnya tak disampaikan sebab bersisian sejarah. Lihat, cerita bagus tak harus njelimet dan melingkar mumet bikin pusing pembaca, inti cerita yang utama.

Aku tutup catatan ini dengan kutipan dari Matthew Pearl, penulis The Dante Club ketika diwawancarai terkait cerita fiksinya yang bersetting sejarah Amerika, ia menjawab; “Saat Anda menulis fiksi sejarah, Anda harus tahu detail-detail tokohnya: makanan apa yang mereka santap ketika sarapan, apa jenis topi yang mereka kenakan, bagaimana cara mereka beruluk salam ketika saling bertemu di jalan.”

Segala yang Diisap Langit sukses menerjemahkannya.

Segala yang Diisap Langit | oleh Pinto Anugrah | Cetakan pertama, Agustus 2021 | Penyunting Dhewiberta Hardjono | Perancang sampul Bella Ansori | Pemeriksa aksara Yusnida, Nurani | Penata aksara Labusian | Penerbit Bentang | vi + 138 hlm.; 20.5 cm | ISBN 978-602-291-842-4 | ISBN 978-602-291-843-1 (EPUB) | ISBN 978-602-291-844-8 (PDF) | Skor: 4/5

Terima kasih untuk istri tercinta, Welly Zein

Karawang, 181021 – Fourplay (feat. El Debarge) – After the Dance

*Enam sudah, empat gegas.

**Thx to Titus, Karawang. Thx to Stanbuku, Yogyakarta.

***Judul catatan kuambil dari ucapan terima kasih penulis di halaman awal berbunyi: “Dan, terima kasih untuk orang-orang di masa lalu yang telah meninggalkan cerita ke masa mendatang.”

Cerita Mini dari Kota Sejuta Rawa

Anak Asli Asal Mappi oleh Casper Aliandu

“Terlalu asyik, Teman. Alamnya terlalu indah.”

Cerita mini, mirip fiksi mini. Dan karena ini berdasarkan pengalaman penulis selama mengajar di Mappi, Papua maka bisa disebut fakta mini sahaja. Ceritanya terlampau biasa, terlampau sederhana, pengalaman sehari-har. Dan selain cerita mini, bukunya juga, hanya seratusan halaman. Namun harganya tak mini. Contoh buku mini harga mini yang kubeli tahun ini, Sumur-nya Eka Kurniawan. Satu cerpen dicetak, dijual dengan harga masih sungguh wajar 50 ribu. Anak Asli lebih dari itu. Sumur kubaca tak sampai setengah jam, Anak Asli hanya sejam pada Rabu, 13 Oktober 2021 selepas Subuh, ditemani kopi dan serentet lagu Sherina Munaf dalam album My Life. Serba mni, skor juga? Mari kita lihat.

Tak ada inti atau benang merah yang patut dikhawatirkan laiknya novel, tak ada alur yang patut diikuti dengan teliti, tak ada emosi di dalamnya, ngalir saja, tanpa riak sama sekali. Ini fakta mini, bertutur bagaimana keseharian Casper Aliandu mendidik, menjadi guru di pedalaman Mappi yang mendapat julukan kota sejuta rawa. Sah-sah saja, pernah baca beberapa kisah sejenis ini, tapi rerata memang biasa kalau tak mau dibilang jeleq. Termasuk ini. ditulis dengan sederhana, tanpa jiwa meletup, tanpa tautan penting ke jiwa pelahapnya. Cerita tak ada sinyal misalnya, yang mengharuskan ke kabupaten/kota hanya untuk terhubung internet, tak istimewa dan tak ada hal yang baru, wajar dong kan pedalaman. Kecuali saat cari sinyal bertemu singa dengan aumaaan terpekik, atau ketemu gadis jelita dan aku jatuh hati padanya, langit seakan runtuh. Atau cerita gaji yang terlambat, bukankah di sini di negeri ini hal ini sudah terbiasa sehingga apa yang harus dipetik hikmahnya? Korupsi atau alur yang panjang sehingga bocor bisa saja terjadi, dan memang sering terjadi; mau kritik sosial birokrasi juga tak mengarah dengan pas. Ngambang.

Atau cerita anak-anak dengan cita-citanya, dari pengen jadi perawat, dokter, guru, dst. Hal-hal yang juga bisa temui di sepanjang pulau di Indonesia. Kecuali bilang, pengen bercita menjadi bajak laut, atau penyihir wilayah Timur, atau penakluk naga, mungkin juga bilang ingin jadi pengusaha kayu gelondong, atau pengen jadi pendekar penjaga hutan, baru terdengar beda. Tidak, cerita-cerita di sini wajar dan apa adanya. Tanpa ledakan, tanpa letupan. Pemilihan diksi juga tak ada yang istimewa, tanpa kata-kata puitik, tanpa sentuhan bahasa sastrawi.

Tiap cerita dengan judul bahasa Inggris, nah ini. aku pernah komplain dulu penulis remaja bernarasi keseharian bersekolah dengan tiap bab dibuka dengan bahasa Inggris, hal ginian cuma buat gaya dengan esensi kedalaman rendah. Dengan dalil diambil dan terinspirasi dari pakaian yang dikenakan, judulnya malah terbaca ‘walaaah…’, kalau tak mau dibilang norak. Akan lebih eksotik bila judul-judulnya memakai bahasa asli Papua, atau yang biasa saja. Misal ‘Noken is Papua’, kenapa ga jadi ‘Noken adalah Papua’. Tak ada yang salah dengan bahasa Nasional. Namun ya itu tadi, gaya dikedepankan dengan cerita biasa. Coba aku ketik ulang lima judul pertama dalam daftar isi: Making magic happen, creating something from nothing, we started with trust, not just see but observe, life is nothing without love. Kalian bisa simpulkam, terdengar norak ‘kan? Seperti belajar bahasa Inggris level beginner. Ayolaaahh, ini KSK. Ini penghargaan sastra Nasional.

Sistem berceritanya juga dibuat beda, tiap karakter berbicara digambarkan dengan simbol; positif (+), negative (-), lingkaran (Ŏ), sampai sama dengan (=). Sah-sah saja, tapi tetap tak terlalu berpengaruh sama cerita. Tak ada tanda kutip untuk kalimat langsung juga sah-sah saja, mau dibuat aneh-aneh bentuk kodok, jerangkong, kuda nil juga monggo aja, sah-sah saja yang penting ada hal bagus yang didapat pembaca pasca-membaca. Ini negeri demokrasi, bebas berekspresi.

Ada dua cerita yang lumayan bagus. Tentang mencari ikan dan udang. Casper tidak bisa berenang, ia mengajak muridnya untuk berburu di tengah sungai. Takut riak dan khawatir perahu oleng. Hhhmmm… di kelas dialah gurunya, di alam, muridnyalah gurunya. Saling melengkapi. Begitu juga saat muridnya itu sudah lulus, dan ganti murid lainnya. Sama saja, keberanian naik perahu untuk seorang yang tak bisa renang saja sudah patut diapresiasi, tak semua orang berani di tengah air dalam dengan pengamanan minim, atau sekalipun dengan pelampung untuk lebih  tenang, tetap saja patut dikasih jempol. Pengabdian dan pengalaman serunya. Nah, cerita itu disampaikan ke sahabatnya. Bagaimana Casper apakah sudah move on dari pujaan hati yang terlepas, ataukah tetap tertambat. Hal-hal biasa, hal-hal yang wajar dan normal dialami semua pemuda. Pengabdiannya ke pedalaman untuk pendidikanlah yang luar biasa, tak semua orang mampu dan mau. Dan untuk itu, mungkin buku ini terjaring.

Buku ini terlampau tipis, mudah dicerna, mudah dipahami, cepat selesai, tak sebanding dengan harganya. Penutupnya mungkin akan membuat beberapa pembaca terharu, yah minimal tersentuh, perjuangan di pedalaman untuk menulis dan mengirimnya, tapi tetap bagiku biasa saja. Perjuangan yang lebih keras dan berpeluh keringat sangat banyak dilakukan pengarang lain. Haruki Murakami untuk menelurkan karya debut, begadang dari tengah malam sampai subuh lantas siangnya kerja keras sampai tengah malam lagi. penulis dari Timur Tengah dalam gejolak perang, menulis dengan suara dentuman bom sebagai teman. Maka, seperti kubilang, epilog itu juga biasa saja bagiku. Namun, keteguhannyalah yang tetap harus diapresiasi.

Prediksiku jelas, buku ini hanya sebagai pelengkap hingar bingar pesta KSK. Sudah masuk 10 besar saja sudah sungguh beruntung. Mungkin kedepannya harus lebih padat, tebal, dan dalam, yah setidaknya ada benang merah dari awal sampai akhir yang memancing rasa penasaran pembaca. cerita nyata pun harus tetap memesona.

Anak Asli Asal Mappi, Cerita-cerita Mini dari Papua | oleh Casper Aliandu | © 2020 | Penerbit IndonesiaTera | Cetakan pertama, Oktober 2020 | Penyunting Dorothea Rosa Herliany | Desain sampul Regina Redaning & Sabina Kencana Arimanintan | Lay out Irwan Supriyono | ISBN 978-9797-7531-46 | Skor: 3/5

Karawang, 141021 – Sherina Munaf – Sebuah Rahasia

Lima sudah, lima belum.

Thx to Stan Buku, Yogya. Thx to Titus, Karawang.

Gurita di Punggung Naf Tikore


Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga oleh Erni Aladjai


Tapi besok malam kau akan datang lagi kan?”


Pembukanya jitu sekali, hok yang keras dan menghantui. Pembunuhan suami istri, yang (kemungkinan) dilakukan oleh anaknya sendiri. Pembunuhan sadis itu membuat warga sekitar ketakutan berhubungan dengan pelaku, muncul desas-desus ia memiliki ilmu hitam, kebal sakit, manusia yang melakukan perjanjian dengan iblis, sampai kesaktian mandraguna dengan penghuni dimensi lain. Hal-hal sejenis itu, sungguh sangat mujarab openingnya, mencipta tanya, lantas kehidupan berlari kencang di tahun 1990-an.


Setting utama di desa Ko, di jelang akhir masa Pemerintahan Soeharto. Gejolak Orde Baru merambati kehidupan sehari-hari di perkebunan cengkih yang asri. Haniyah membesarkan sendiri anaknya Ala yang kini beranjak remaja. Rumah mereka bernama Teteruga sudah berusia seabad lebih, dan seperti pada umumnya hubungan anak-ibu, mereka saling mengisi keseharian. Saling menguatkan. Dari sekolah, membantu pekerjaan di kebun cengkih, mengajarkan hal-hal bijak bestari, dst.

Novel ini banyak menyorot sosial budaya kehidupan di sekeliling kebun.
Ala di sekolah dipanggil Aljul (Ala Juling) yang membuatnya ngambek sama teman-teman dan bu guru Hijima, teman Haniyah sekolah dulu. Teman akrabnya Yolanda dan Siti Amaranti juga mengesalkan. Ala mencatat olokan itu di papan tersembunyi, mencapai 180-an. Awalnya tak dicerita, tapi nantinya kekesalan itu membuatnya marah, dan ia melabrak ke sekolah. Kisah tentang bullying? Enggak juga.


Cerita sejatinya malah ada di kebun cengkih tetangga kita, Naf Tikore yang di prolog melakukan kejahatan. Segala desas-desus itu menjadikannya terasing, tak berhubungan dengan sesama. Ia tak ke masjid, tak pula ke gereja. “Bukan Muslim, bukan Kristien, sudah sepantasnya dia tinggal di hutan.” Ia tak makan binatang, ia hidup dari hasil alam sekitar. Dalam sejarah singkat yang ditulis, ia menjadi hebat dengan bantuan gurita di kapal perang menjadikannya legenda. Pada suatu hari di Sungai Mariata…


Nah, koneksinya di sini. Ala suatu malam bertemu hantu remaja bernama Ido. Datang dalam kabut dan mengajaknya berkomunikasi, ia adalah korban di zaman colonial. Anak pribumi yang bergaul sama anak londo, dibunuh oleh seorang pribumi demi mengabdi penjajah, tapi tetap abdinya tak digubris. Kepala Ido dipenggal dan dikubur terpisah.


Ala punya misi menyatukan jasad yang dikubur di kolong rumahnya dan di kolong rumah Naf. Saat semua warga takur dan begidik sama Naf, Ala dengan langkah ringan ke sana. Membawa makanan berkat, dan setelah basa-basi mengutarkan niatnya. Sesederhana itu. Kisah ditutup dengan isu perekonomian, sebuah keputusan anak penguasa Orde Baru mencekik petani cengkih, dan setelah berbagai upaya, baru berhasil dihapus setelah Orde itu tumbang.


Temanya beragam, tapi intinya bisa jadi budaya lokal dengan kritik sosial. Pelukisan perkebunan dan tradisi setempat bisa saja menjadi daya saing yang menjanjikan, tapi tetap intinya sederhana. Hantu anak yang baik, walau kehidupannya tragis bisa memunculkan berbagai kemungkinan horror, jagoan yang sakti juga bisa saja meledakkan amarah ke warga, tidak. Kisah ini berakhir dengan tenang. Pesannya bisa saja, apa yang kita makan menghasilkan apa tindakannya. “Tanaman bertenaga-baik membuat manusia yang memakannya berjiwa baik.” Ah, kembali ke jiwa. Misteri semesta ini, merongrong tanya. Dunia Haniyah dan Ala masih di seputar kebun, dan itu membuatnya tetap membumi. Aroma khas cengkihnya bahkan berhasil terbaui hanya dari penuturan.


Pembuka Kusala Sastra Khatulistiwa yang kurang OK. Ekspetasi memang tak tinggi, nama Erni Aladjai sendiri masih asing di telinga, dengan lebl Pemenang ketiga Sayembara Novel DKJ 2019, tetap saja bukan jaminan. Tebakanku jelas novel ini akan tersingkir dari daftar pendek. Kita butuh suatu ledakan hebat untuk jadi juara.


Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga | by Erni Aladjai | KPG 592101875 | Cetakan pertama, Januari 2021 | Penyunting Christina M. Udiani | Penataletak dan Perancang sampul Pinahayu Parvati | Penerbit KPG | vi + 146 hlm.; 13.5 x 20 cm | ISBN 978-602-481-527-1 | Skor: 3/5


Karawang, 051021 – Michael Franks – Time Together


Satu sudah, Sembilan menunggu
Buku ini kubeli di Gramedia Karawang sepulang kerja, tepat di hari diumumkan nominasi KSK.

Jamaloke – Zoya Herawati

Dalam pandangan paling sempit sekalipun, manusia cenderung mempertahankan hak hidupnya. Kalau kesalahan itu terletak pada seni mengukir nasib, apa gunanya manusia punya pikiran.”

Peperangan sepanjang sejarah manusia, adalah kebiadaban yang direstui, setidaknya oleh kekuatan yang dapat dengan mudah menggilas pihak yang lemah. Novel sejarah dari zaman kemerdekaan sampai zaman awal Orde Baru. Premisnya menarik, menawarkan gejolak yang terjadi di dalam, seteru lebih banyak dengan orang-orang kita sendiri, bukan Belanda atau Jepang, garis besarnya kita semua sudah tahu. Bagaimana Hari Pahlawan tercipta, bagaimana Belanda coba lagi mendompleng ke Negara kita pasca Jepang runtuh, bagaimana kita mengalami masa sulit setelah Proklamasi justru saling sikut antar etnis dan golongan. Sebagian besar sudah tertera di buku sejarah. Aku memandangnya tanpa ekspresi, bagiku gambar-gambar tersebut tak lebih dari sekadar benda mati. Kalau orang lain mengekspresikan dengan arti lain, itu urusan mereka.

Sebagai pembuka, kita sudah dikasih tahu bahwa novel ini diangkat dari pengalaman seorang veteran perang. Walau tidak seluruhnya, jalan ceritanya mirip dengan perjalanan hidupnya. Selebihnya, jalan cerita dalam novel ini adalah atas dasar imajinasi penulis. Catatan sejarah ada di mana-mana, di benakku juga.

Kisahnya adalah tentang aku, karakter tanpa nama yang memiliki dua saudara, terlahir miskin di era kolonial. Kesadaran muncul secara tiba-tiba. Dalam situasi seperti ini, hal yang paling remeh sekalipun sulit dilaksanakan. Sekolah adalah hal langka, maka ketika ia berhasil lulus Vervolk School dengan biaya penuh perjuangan, aku melanjutkan HIS. Melewatkan masa remaja di tahun 1940an, saksi sejarah berdirinya Indonesia. Bagaimana kedatangan Jepang yang berhasil mengusir Belanda disambut sorak sorai, sebagai saudara tua. Saat pendudukan Jepang itulah ayahku meninggal. Ga sempat mengalami kemerdekaan. Secara pelan-pelan, kucoba untuk meredam semua kekecewaan yang ditimbulkan keadaan.

Untuk menyibukan diri, aku bergabung dengan PETA, kesatuan militer bentukan Jepang, masuk sebagai Pelopor. Tanggal 14 Februari 1945, PETA melakukan pemberontakan, untuk menagih janji merdeka. Saat itulah masa-masa krusial kita. Aku selalu mencoba menenangkan Emak, yang kini sendiri setelah dua saudaranya menghilang tanpa jejak. Toh setiap lakon dalam hidup menjadi bagian yang tidak lagi penting setelah kita mampu melepaskannya dari pikiran-pikiran. Sampailah kita di hari penting, 17 Agustus 1945. Perjuangan, apapun maknanya, menurut perasaan mereka tak akan pernah usai. Tiba-tiba saja kebencianku pada perang makin menjadi, melebihi waktu-waktu sebelumnya. Karena peperangan telah secara paksa berhasil mengoyak-koyak impian remajaku, karena peperangan telah dengan bengis merenggutkan seluruh harapanku atas orang-orang kucintai.

Masalah kini adalah mempertahankannya, tipu muslihat, kekecewaan, ketidakjujuran, sewaktu waktu bisa mengecoh siapa saja yang lengah. Jiwa mudaku juga meronta, maka pencarian jodoh dilaksanakan. Wanita, bagiku selalu saja menambah persoalan yang sudah ada menjadi bertambah ruwet, karena wanita sendiri adalah sebuah masalah yangtak terselesaikan. Sayang di era peralihan dengan banyak permasalahan ekonomi ini, cinta itu kandas. Kuletakkan seluruh persoalan pada pikiran, bukan pada perasaan. Seseorang yang mampu melecehkan dan mencemooh diri sendiri, menertawakan dan mengejek diri sendiri, adalah satria bagi nuraninya.

Surabaya, seperti kita tahu menggelar perang paling akbar Republik ini dalam mempertahankan kemerdekaan. Kebanggaan membuat bulu-bulu di tanganku berdiri, walau tidak kuingkari terselip juga sepercik keraguan-keraguan dalam benak. Beberapa percobaan menggulingkan pemerintahan juga terjadi. Aku tak bisa mengerti mengapa orang harus melakukan penghianatan. Apakah krisis itu sudah sedemikian parah?! Sebegitu jauh aku tak bisa meraba sampai dimana krisis kepercayaan kepada diri sendiri melanda para prajurit.

Perjuangan belum berakhir. Aku bergabung dengan tentara gabungan Pemerintah, bersama pasukan Serigala. Agaknya nama Serigala mempunyai kekuatan khusus bagi semangat prajurit-prajurit. Kesedihan bisa datang setiap saat. Kesengsaraan dan kemiskinan menyertai dengan kesetiaan sempurna sampai ke liang lahat. Emak meninggal dengan dramatis ketika isu kematianku menyeruak, padahal dalam Agresi Militer Belanda, saya hanya terluka dan tinggal dalam perawatan. Pasang surut sejarah terus mengalir, sementara gerilya-gerilya masih terus menghantui Belanda dengan ketegarannya menembus benteng-benteng pertahanan mereka. Sesungguhnya mereka tidak memahami apa yang sebenarnya tengah terjadi. Yang mereka ketahui adalah mengapa mereka selalu dapat dikalahkan oleh kekuatan, mereka menyesali nasib, mengapa mereka tetap bodoh walau terdapat pengajaran dimana-mana…

Kata Jamaloke baru muncul di halaman 116. Jamaloke, sandang pangan goleko dewe, tak ada arti khusus hanya dipakai untuk melengkapi keindahan pada kata sandang pangan goleko dewe yang artinya, sandang pangan cari sendiri. Kata jamaloke sering dipakai kaum gerilya yang beroperasi di daerah di Jawa Timur. Sebuah permainan kata untuk para prajurit yang diminta bertahan dengan pakaian dan makanan dengan upaya sendiri.

Susahnya dalam dunia logika, semua permainan bisa diterima, bertolak dari apa dasar pijakan tindakan-tindakan penghianatan itu bermula. Setelah negara sedikit tenang, para sahabat yang merangkul dalam era perjuangan, ada yang menjilat demi uang atau takhta. Kecurangan itu ada di mana-mana, sama seperti penghianatan, ia tumbuh subur tanpa bisa dicegah. Khotbah yang keluar dari mulut penghianat adalah bagai racun yang memastikan hanya dalam beberapa detik. Sang aku tetap pada kemandirian, mengayuh becak, menyewakan ruang dalam rumahnya, bertahan hidup di rakyat bawah. Manusia telah menjadi budak dirinya sendiri dalam satu ruang hampa. Penduduk desa yang lugu, menganggap semua yang keluar dari mulut pamong, merupakan kebijaksanaan yang tak perlu dikaji terlalu njelimet.

Hanya orang gila yang tak tertarik pada kesempatan dan peluang, aku dan dia punya hak untuk menentukan jalan hidup. Pasangan penyewa rumah memang tampak bermasalah, banyak selebaran, banyak menyelenggarakan pelatihan/seminar dan desas desus menyebar. Secara refleks, oh ini Partai Komunis. Dan sayangnya, Penulis ga menyimpan cadangan kemungkinan lain. Ya, semua datar. Maka saya langsung berasumsi, menuju tragedi tahun 1965 itu. Tak mudah bagiku untuk mempercayai orang lain, sebab di balik manisnya wajah, tersembunyi prasangka-prasangka buruk.

Orang tak akan pernah tahu jalan pikiran kita, jika bukan diri kita sendiri berusaha untuk menunjukkan. Ada satu teman yang ternyata senasib sepenanggungan, juga memutuskan mandiri, Masran teman perang. Pemahaman tentang nasib merupakan misteri yang sampai kapanpun tak bakalan mampu terkuakkan. Dengan kesadaran penuh, orang lebih menyukai kepalsuan, karena kepalsuan dapat dinikmati dengan mata wadag, bukan mata batin. Aku bahagia karena dapat menertawakan diri, melecehkan nasib, dan memandang dengan lucu segala kesulitan yang menghadang.

Di tahun genting 1965, kisah ini masih saja mengapungkan prasangka, menawarkan tanya apa yang akan terjadi. Bukan gitu sih seharusnya. Ingat, ini sebenarnya bukan buku sejarah, ini novel olahan imaji, cerita tak akan menarik bila menjelaskan hal-hal yang sudah pasti. Dan Jamaloke malah mengikuti garis itu. Pemahaman terhadap nafsu dan kehendak yang hanya sebatas daging dan kulit saja, membawa pikiranku ke arah pengertian lain tentang kehendak dan jiwa yang telah didasari dengan pikiran-pikiran bersih tentang nurani.

Overall: Apa gunanya mencerita sejarah yang sudah umum? Menuturkan ulang dengan sudut pandang yang sedikit berbeda. Tak ada kejutan, tak ada sesuatu yang wow mau dipertunjukkan, detail perang juga nanggung, drama sangat kurang, semua serba nanggung. Ekspektasiku adalah gelora Perang Surabaya yang legendaris, adegan penyobekan warna biru dalam bendera Belanda, pidato Bung Tomo, semangat membara Jenderal Sudirman, tak ditampailkan dengan bagus, semua nyaris tanpa ekspresi. Mungkin karena tokoh aku, hanya prajurit, tapi tetap, cerita yang bagus adalah cerita yang bisa mengungkapkan daya upaya karakter untuk memberikan warna lebih buat pembaca. Sang aku pasif, pasrah akan hidup, merasa tak dihargai negara. Dan pada akhirnya mati tanpa tanda jasa pahlawan, ataupun penyebutan namanya di buku sejarah. Dalam buku-buku Christie, pelayan atau pembantu rumah tangga selalu punya peran penting. Seharunya sekalipun prajurit, ledakan yang terdengar lebih nyaring karena ada di front perang terdepan. Sayang sekali…

Karena keyakinanku akan karma, aku ingin mengingkari sebuah janji, dengan harapan tak seorangpun akan berbuat serupa terhadapku. “Perang dan kewajiban mengajarkan seseorang untuk bersikap hati-hati terhadap segala bentuk tipu muslihat.”

Ia pasrah karena ia sudah merasa menang atas dirinya sendiri. Seperti ending-nya yang menyedihkan, betapa miskin, betapa kesendirian, betapa sunyi. Wanita seperti yang selama ini kubayangkan, tampaknya mampu bersikap tegas, meski sebenarnya agak naif. Hanya ada beberapa hal yang membedakan gadis itu dengan emak, selebihnya, mereka semua sama persis sama, egois dan serba membingungkan. Ternyata kesendirian bagiku merupakan karunia. Dalam situasi yang sulit ini aku merasa bersyukur karea taka da siapa-siapa yang harus menjadi tanggunganku. Berbahagialah perempuan yang pernah menolakku, dengan demikian, ia telah terhindar dari kemiskinan. Budaya diam serta pasrah terhadap lakon dan nasib, masih kuat dala, tatanan masyarakat, meski kedengarannya hal itu, amat merendahkan budi.

Tujuh sudah, tiga menuju.

“Itulah sepenggal lakon sejarah.”

Jamaloke | Oleh Zoya Herawati | Copyright 2019 | Halaman: xii + 224 | Ukuran: 13 cm x 19 cm | Editor S. Jai | Desain Ferdi Afrar | Penerbit Pagan Press | Cetakan pertama, November 2018 | ISBN 978-602-5934-26-1 | Skor: 3/5

Kupersembahkan Buat para Srikandi Indonesia

Karawang, 101019 – Sherina Munaf –Simfoni Hitam

Dicetak oleh Penerbit Indie, Pagan Press dengan kualitas cetak ala kadar, seolah buku hasil foto copy kertas buram pinggir jalan. Buku ini bisa menyeruak ke dalam kandidat Kusala Sastra Khatulistiwa 2019. Hebat. Ada ratusan typo, awalnya akan saya koreksi dan tampilkan, tapi saking banyaknya yo weslah.

Thx to TB Buruh Membaca

Tango & Sadimin – Ramayda Akmal

Jangan mau belajar dari kesalahan diri sendiri. Itu tandanya kau pernah berbuat salah dan bodoh. Belajarlah dari kesalahan orang lain. Di situlah letak kecerdikan.” – Tango

Akhirnya ada kandidat Kusala Sastra Khatulistiwa 2019 yang benar-benar OK, benar-bener puas. Tango dan Sadimin adalah kisah sendu orang-orang pinggiran yang dituturkan begitu hidup, seolah kesedihan mereka nyata. Nyaman diikuti, lezat dilahap, tenang dalam bercerita dengan komplektivitas masalah beragam. Hikayat manusia kebanyakan dalam pusaran asmara, tragedi, dan kerumitan hidup. Seorang mucikari tersohor yang memulai, seorang haji teladan yang menutup. Alurnya dicipta dengan ketelitian luar biasa yang membuat pembaca berpikir, berkhayal lalu geregetan dan bergumam duuh!

Kisahnya terjebak dalam lima sudut pasangan. Semua saling silang, menentukan nasib para karakter dengan jitu. Pertama, Nini Randa & Satun Sadat. Nini adalah mucikari di pinggir sungai Cimanduy, bagaimana ia mendalami profesi itu dicerita dengan detail yang mengharu. Awal mula kemunculannya yang hanya dari orok terhanyut saat banjir menghadang, ia tumbuh dengan keras, memiliki kekuatan gaib, ketika masih perawan bisa melihat sosok orang yang baru meninggal dunia. Ia berbicara dengan kelelawar dan ulat-ulat, juga makhluk-makhluk lain. Lalu saat remaja, muncullah lelaki misterius Satun Sadat yang memberinya pengalaman baru. Menciptanya menjadi dewasa lebih cepat, membuatnya mengerti bahwa laki-laki yang bekerja di proyek dam, pencari pasir sampai warga sekitar membutuhakn kopi dan singkong, termasuk kehangatan lain. Bayangan dan ingatan itu pula yang membuat ia bertahan dari inisiasi yang mengikis rasa malu dan keangkuhan dasar seorang manusia dalam dirinya.

Nini menjadi terkenal setelah menampung para perempuan, membuatkannya gubuk di sekitar, menarik biaya, menjadikannya lebih cukup materi. Ia tidak mampu menghadapi hantu-hantu bernama kenangan yang diciptakannya sendiri dengan mandor-mandor atau laki-laki yang datang silih ganti datang di hidupnya. Ia memiliki dua anak, pertama Cainah yang dirawat dari hubungannya dengan Satun Sadat, kedua Sadimin dari Haji Misbah yang kala mendemo rumah pelacuran, kena guna-guna, terjerat dalam peluk dan terjadilah. Sadimin dititipkan kepada Uwa Mono, nelayan yang serba bisa. Prinsip hidupnya, nikmati saja, ngalir saja. Ada sebagian orang yang hidup tidak untuk mencari sesuatu, tetapi menikmati. Mereka berpikir dan mengamati banyak hal. Sementrara orang bergerak, mereka tetap pada titik yang sama. Mono kini turut mencipta sebuah jaring, meliuk dan melilit dalam romansa benang kusut.

Bagian kedua, Tango & Sadimin. Pasangan ini tampak saling mengisi, secara kaca mata umum. Tango adalah anak buah Nini Randa, Sadimin adalah buah hatinya yang disusupkan ke tetangga. Kita sampai di masa kini, Tango menjadi juragan, bisnis apa saja yang penting menghasilkan. Jualan barang haram, judi, dan tentu saja bos para buruh sawah yang ia urus bersama istri dan orang tua angkat. Sang juragan mendapat dana dari pembagian harta Haji Misbah, dengan petak sawah yang ia terima, Sadimin menjelma pengusaha yang disegani. Beberapa kali berkasus dengan polisi, dan sumpah serapah dengan pesaing. Tango yang seorang pelacur diangkat istri, terasa bisa menempatakn diri. Dia bilang, wajahmu seperti tomat segar di pasar, rambutmu seperti bulu-bulu jagung yang sehat dan lebat, dan kalau kau bersuara di panggung, katanya semua yang mendengar jadi bodoh dan takluk. Keduanya menjadi pasangan tak lazim pula, di akhir kisah bagian mereka, Tango bisa tersenyum walau darah pelan mengalir dari hidung.

Bagian ketiga adalah Nah & Dana, Nah sebagai anak pertama Nini, memilih kabur dari rumah demi cinta dan masa depan. Dana adalah anak kandung pengemis yang juga kabur dari rumah untuk merajut asa, memperbaiki status sosial. Mereka dicerita sebagai dua anak SD yang tersisa dalam kelas, setelah teman-temannya satu per satu keluar untuk menikah. Keduanya menghimpun harap dari kerasnya hidup, sejatinya pasangan ini hampir jadi ideal (baca romantis) saat memiliki anak Karim, bersatu dalam kasih, harta bukan segalanya, sungguh kisah cinta hakiki, sepertinya, awalnya, dasarnya. Namun, cerita bagus memang harus disusun dari keping kepedihan, maka kesulitan materi membuat mereka kembali menginjak bumi, memaksa mereka mengetuk pintu Nini Randa, nebeng tinggal di kandang sapi, dan nantinya dalam akhir yang pilu. Nukilan Dana mengetuk pintu mertua adalah pembuka novel, jadi memang permainan alur yang dinamis. Nah kabur dari rumah yang melibatkan pencarian ala detektif. Oiya, Dana adalah buruh tembak Sadimin, lingkaran hubung ini akan saling mengikat di ujung kisah yang menyedihkan. Ingatan bahwa tiba-tiba satu orang menghilang sementara dunia tidak berubah sama sekali, membuat hatinya hancur-lebur, lututnya bergetar.

Bagian keempat, pasangan pengemis yang sungguh ajaib. Keluarga yang sempurna mencipta iba. Ozog & Sipon. Mereka terlatih untuk tidak mengeluh, tidak mengumpat, juga tidak tersenyum karenanya. Mereka harus bersikap dan berwajah datar, perpaduan antara kepedihan dan sedikit tekad untuk hidup yang menghasilkan rasa iba mendalam. Ozog adalah lelaki buta, peniup seruling. Sipon adalah wanita kuat, bukan hanya kuat menengadahkan tangan, ia juga harus menggendong suami dalam berkarier. Kedua anak angkat mereka turut dalam aksi meminta derma. Cerita pengemis menggelar wayang golek menjadi legenda sepanjang masa masyarakat tepi Sungai Cimanduy. Kalian yang suka kasih receh kepada para pengiba ini, pikir lagi! Kesedihan adalah awal yang bagus untuk produktivitas. Dan kemudian obsesi.

Peran dalam kisah ini seolah mereka terasa kurang signifikan, tapi tunggu dulu. Pendengki bisa apa? Mereka kalah jumlah dan kalah konsep. Bagian kala mereka terjebak dalam hutan hujan madu yang mistis, bagus banget, seolah di alam raya para makhluk-pun berpesta pora. Keheningan dan angin-angin di hutan itu lebih suka bernyanyi daripada bercerita. Keputusan main paku gepeng di rel kereta api itu sejatinya malah eksekusi kunci. Betapa dunia orang miskin sungguh darurat peduli.

Bagian final, luar biasa, sangat bagus. Sepanjang hidupku menjadi bayangan, aku hanya mengerti tentang penyesalan dan kecurigaan. Yang tak pernah disimpulkan kecuali bahwa dua hal itu adalah musuh kehidupan yang harus cepat-cepat dienyahkan. Misbah & Nyai adalah gambaran sempurna ironi kehidupan. Tokoh agama panutan, memiliki tiga istri (di sini disebut Nyai) dan lima anak (enam, jika Sadimin dihitung). Terlalu sulit menemukan alasan bagi mereka untuk percaya bahwa ayahnya yang kiai, bersih, terhormat, makmur sejahtera, jatuh di pelukan iblis lahir batin seperti Nini Randa. Jadi ketua Rukun Warga, jadi guru ngaji, punya santri banyak, dengan usaha pengeruk pasir. Sejatinya tampak sosok yang patut disegani, dikagumi bila kalian seorang agamis, dan dihormati jika patokan kalian adalah seorang jelata. Dalam kisah ini, perannya memang menutup cerita, slotnya ga sebanyak yang lain. Jadi klimaks itu disusun di rumahnya. Dana yang kehilangan Nah, setelah frustasi cari ke mana saja gagal, termasuk ke kantor polisi yang birokratif. Bertemu pula Sakidin di sana yang diminta kesaksian, datang pula Nini Randa yang juga butuh pengakuan, plus para peminta yang makin merumitkan keadaan. Sejatinya kita tahu akhir Nah, tapi memang dibuat samar, saya suka hal-hal yang menggantung ragu gini.

Melengkapi kepiluan kisah, sang haji sedang pengen bercengkrama malam itu. Nyai ketiga, termuda setelah tahu rahasia, ia marah, wajar jiwa muda. Nyai kedua yang sejatinya pasrah mengabdi, sedang dapet. Nyai pertama yang sabar dan sungguh menanti janji surga kelak, orang yang banyak berkorban, penuh perjuangan di masa awal, sendiko dawuh. Seseorang atau sesuatu yang berharga memang akan selamanya berharga, tetapi tidak selamanya satu-satunya. Selesai? Belum. Kisah ditutup dengan menghebat, betapa seorang tampak agamis yang dipuja banyak orang itu melakukan kegiatan dosa besar. Tak cukup dengan itu, bahkan novel Tango & Sadimin menyajikan akhir kalimat yang luar biasa indah, “… berusaha menggapai-gapai Tuhan.”

Bisa jadi nantinya, jika Bung Akmal memuncaki penghargaan ini, dia dengan cerdik menutup kisah satu paragraf menggucang.

Prediksi: Jelas akan masuk daftar pendek. Sejauh ini yang terbaik. Sembari menanti menyelesikan baca enam buku lainnya, kalian bisa menjagokan dan menempatkan buku ini sebagai unggulan pertama. Alur, penokohan, konfliks, sampai detail yang disaji sangat ampuh. Betapa absurd cerita perpaduan antara pelacur, pengemis, buruh, juragan dan seorang tokoh agama. Semua yang terbang ke langit, hilang dalam peraduan mistis. Tango & Sadimin adalah novel hebat yang membumi, ada di sekeliling kita, ada di antara masyarakat. Saya ga bohong, sungguh aduhai.

Tango & Sadimin | Oleh Ramayda Akmal | GM 619202024 | Editor Teguh Afandi | Layout Ayu Lestari | Desain sampul Orkha Creative | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Cetakan pertama, Maret 2019 | ISBN 978-602-06-2815-8 | ISBN DIGITAL 978-602-06-2816-5 | Skor: 5/5

Karawang, 230919 – M2M – The Day You Went Away

Bertarung Dalam Sarung – Alfian Dippahatang

Aku mati dibunuh.” // “Dibunuh karena puisi.

Ceritanya hanya berputar di drama keluarga. Dalam masyarakat Bugis memang harga diri sangat penting dalam keluarga. Semua cerpen di sini berkutat di sana. Perseteruan dengan orang tua, adat yang harus ditegakkan, asal usul yang ditentang, jodoh warisan bapak, riwayat tarung Indonesia Timur dalam kemerdekaan sampai agama daerah yang dijunjung, semuanya ngulik di hubungan darah yang mendrama. Saling silang tunjuk mana yang batil dan enggak. Mengangkat isu sosial dan budaya Toraja dan Makassar. Seperti ucapan persembahan, memang sang Penulis menyatakan keluarga adalah pustaka hidup.

#1. Ustaz To Balo
Tentang keunikan seorang yang memiliki bercak aneh berwarna putih berbentuk segitiga yang harus terbuang. Mati atau dilepas di hutan untuk jadi santapan binatang buas. Nyatanya ia bertahan, menemukan seorang pemuka agama, menjalani hidup dalam kebatinan. Saat akhirnya merasa beruntung dapat menikahi putri sang pemuka, anaknya juga memiliki khas bercak itu dan sang istri meminta cerai karena menanngung malu. “Mengapa kau hendak menceraikan Ranti, Nak?”

#2. Nenek Menerawang dan Ibu Memburu
Ibunya kabur, memilih suami baru dan sang anak dalam tangis tak berkesudahan. Pergi kala terlelap sehingga tak diberi waktu pamit. Sang Nenek adalah dukun atau orang pintar yang kali ini kedatangan Tanta Halidang, dimandikan untuk apa? “Dimandikan agar suaminya tidak ke mana-mana, Nak.

#3. Jangan Keluar Rumah Saat Magrib
Kisah selingkuh yang menyakitkan. Dengan sudut pandang sang calon bayi hasil berzina dengan pelaut, sang ibu malah menikah dnegan Basri sang polisi yang juga turut berzina. Sang ibu yang sejatinya lebih mencintai pelaut yang sedang ke Maluku mencoba mengugurkannya dengan keluar magrib agar roh halus memainkan peran. “Jangan keluar saat Magrib, Anri.”

#4. Kelong Paluserang dan Kebohongan Masa Kecil
Ini adalah cerita bohong yang ditanamkan orang dewasa pada anak bahwa ibunya pergi ke Malaysia cari duit. Ayah dan tantenya memberi harap agar ia tetap menjalani kehidupan kecil dengan tanpa beban. Nyatanya ia terus kena bully, Samri lalu meluruskan hal ini kepada anaknya. “Tiga bulan lagi, Nak.

#5. Bukan Sayid
Kisah kasih tak sampai. Keturunan Sayid Opu yang digadang adalah keturunan Nabi Muhammad tak boleh menjalin hubung dengan keturunan lain. Tradisi kafa’ah di Cikoang, ini coba dimentahkan sang aku, Syarifah Atkah Bintang yang menjalin cinta dengan lelaki Sayid Karaeng, Habri. Dianggap kafir bila melanggar tabu. Bintang membujuk Habri membawanya kabur, tapi tak semudah itu ferguso. “Kau percaya cinta?”

#6. Mayat Hidup dan Bertobat Tak Seperti Mengedipkan Mata
Ini adalah cerpen terbaik. Paling panjang, paling kompleks, paling vulgar. Jelas buku ini kena label 21+ karena kisah Mayat Hidup. Dengan sudut pandang dua orang, ibu dan anak yang terus melakukan komunikasi setelah ibu meninggal, mereka masih bisa komunikasi karena Rungka yang istimewa. Dari sudut Rungka kita tahu, cintanya pada ibu tak terbatas. Ibu selalu melindunginya saat ayahnya Puto marah karena lelaki ga boleh gemulai. Lalu saat sudut berganti ke almarhum, kita tahu ia selingkuh dengan saudara suaminya demi keturunan, seorang pemuka agama Tamrin. Tobat lombok. Sampai akhirnya Rungka menggali kubur ibunya agar bangkit. “Wajahmu terlihat bingung, kau kenapa, Nak?

#7. Ayahku Memang Setan
Mencari cara untuk balas dendam agar tak diketahui orang. Sakir yang suka bully sang aku, tewas akhirnya saat di pinggir sungai kesempatan memarangnya muncul. Ayahnya pergi berjuang untuk tanah air, berperang bak setan sehingga ia disebut anak setan. Hidup memang pilihan, tapi pilihan macam apa yang tersedia sebagai anak tanpa ayah yang menemani masa kecil? Damai? “Kita berharap begitu, Nak.”

#8. Tangan Kanan Orang Toraja
Serabut kisah tentang Koninklijk Nederlands Indisch Leger (KNIL) di tanah Sulawesi Selatan. Pengorbanan, cinta, dan penghiatanan dalam masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia Timur. Perang yang menjadi pilihannya menjadi konsekuensi pahit. “Pergilah, Nak!”

#9. Prajurit Yang Sakit Hati
Setelah beberapa kali dibujuk bergabung akhirnya ia sepakat. Menyatakan persetujuan adalah ledakan, membuka gerbang kehancuran. Mungkin bisa bebas menghirup udara lepas, tapi tak akan leluasa bertindak. Kalimat ayah adalah kekhawatiran sekaligus pengharapan. Ah, pengasingan terjadi juga. “Kau dinanti untuk membungkam segalanya.”

#10. Aku Tak Kemayu Lagi
Hikayat Gerakan Muda Bajeng (GMB) yang dibentuk, dikembangkan lalu membubarkan diri membaung dengan organisasi lain. Ayahnya yang marah karena gemulai, “Kau ini lelaki. Kau ini pejantan.” Menempanya, membangungkan tidurnya untuk bergabung ke dalam pasukan. Selalu ada jalan untuk melihat Polongbangkeng berhenti diinjak-injak.

#11. Mayat yang Menceritakan Kematiannya
Riwayat Anda Ruapandewi, penyair yang tewas dibunuh. Dalam alam kuburnya ia dikagumi mayat lain, yang juga menulis puisi, tapi sekadar iseng. Ah syair…, bahasanya sederhana pun selalu butuh tafsir. Dengan kesenangan akan makanan coto, dengan pengagum yang setia bersama. Ada sesuatu di baliknya, sama-sama mati dibunuh tapi ada kaitan. “… kau akan dikenang dengan desas-desus yang tak mengenakan.” Mungkin ini cerpen yang paling ga OK di daftar ini.

#12. Cahaya Gaib
Cerita istri yang tak bisa menghasilkan keturunan, lagi. Kali ini istri kedua, ia lalu berkeluh kesah pada Nenek-nya. Langkah meminta cerai, meminta tolong karena suaminya kembali ke istri pertamanya yang hamil lagi. Lalu datanglah sebuah mobil yang selalu menawar beli kebun Nenek, tetap ditolak hingga jalan keluar itu ia malah melamar anaknya yang masih dalam proses cerai. Well, di sini Nenek adalah orang tua laki-laki di masyarakat Konjo. Sempat membuat bingung karena, Nenek kok disapa Pak. “Yang namanya manusia, tidak pernah puas memiliki satu barang, Nak.”

#13. Orang-orang Dalam Menggelar Upacara
Di Kajang, kauserap pasang – petuah nenek moyang, hutan adalah sakral. Tak boleh ada yang menebang sembarangan. Harus ada ritual, harus ada izin, harus ada pengganti. Sang aku mendapat wejangan. Bila ada pohon yang ditebang sembarangan maka ada adat upacara yang harus dilaku untuk mencari pelaku dengan ujung linggis yang membara diinjak, yang bukan pelaku tak akan mempan. Ketika beberapa orang sudah dilakukan aman, tiba giliranmu. Dadamu sudah berhenti bergemuruh. “Kita bergantung dari hutan. Manfaatnya begitu besar untuk kehidupan, sekaligus penting merawat segala isinya.”

#14. Takdir Mala
Saling silang keluarga menentukan jodoh Mala. Orang tua cerai, menikah lagi dengan janda beranak sehingga tampak saling mengisi. Hingga masa dewasa jodoh ditentukan. Ibu tiri, dan kemarahannya. “Ini musibah, Nak.

#15. Bertarung dalam Sarung
Akhirnya sampai juga di judul buku. Adat tarung dalam sarung yang mematikan, dua laki-laki bersenjata Kawali dalam satu sarung, duel lelaki Bugis atas nama kesetiaan, atas nama harga diri keluarga. Tarung dan Bombang dan segala kekuatan yang tersisa. “Nak, aku paham hatimu mungkin berkata, Bugisku sudah rontok…”

#16. Bissu Muda
Untuk menjadi bissu orang harus mengalami mimpi gaib ditemui Dewata. Tak semua lelaki yang berlagak keperempuan bisa diangkat menjadi bissu, pendeta agama Bugis Kuno. Menjadi bissu memang bukan cita-cita, tapi panggilan hati petunjuk Dewata. Kali ini kita mendapati pemuda, sudah lama anak muda tak menjadi bissu. “Orangtuaku menolak keras. Aku dianggap keperempuanan jika jadi bissu.”

#17. Panggilan Gaib
Dua lelaki melambai bersahabat, saat salah satu diangkat jadi bissu yang satunya lagi curiga mimpi dan panggilan gaib itu hanya omong kosong, kebohongan dan akting saja. Ada dendam dan kasih lama yang menguar. “Apa belum jelas? Kau bissu dan aku calabai biasa.”

Kubaca dalam dua kali kesempatan duduk. Semalam saat pergantian hari ketika mati listrik dan pagi ini di libur Sabtu cerah dengan kopi dan musik The Legacy of Jazz. Kesan pertamaku selepas menyelesaikan baca adalah, ini kuda hitam Kusala Sastra Khatulistiwa tahun ini. Banyak hal yang mirip dengan Tiba Sebelum Berangkat-nya Faisal Oddang yang tahun lalu kuperkira rontok di daftar panjang, nyatanya masuk final. Namun jelas, Tiba Sebelum jauh lebih nyaman, lebih bagus dan mendalam. Bertarung Dalam temanya terlalu pendek, pengembangan kisah ga ada. Urusan keluarga mulu, pertentangan dengan ayahnya, padu dengan istri, ketidakharmonisan dengan anak. Bahkan kisah satu dengan yang lain mirip, beberapa pengulangan dalam lingkup sama padahal ini kan tak bersangkut, cerpen terpisah. Coba hitung berapa kata ‘Nak’ yang diujar? Andai ga ditutur dengan baik, malah seperti cerita sinetron, untungnya tata bahasa dan pilihan diksi bagus sehingga tak perlu menjadi suku Bugis untuk bisa menikmati alur.

Prediksi: rasanya buku ini masuk ke daftar prosa terpilih saja sudah prestasi, tak akan juara. Mustahil menjadi nomor satu. Tiba Sebelum yang terasa utuh dan menghebat di tengah pergolakan bissu saja kalah, apalagi ini. Masuk daftar pendek kalau terjadi, hanya keberuntungan.

Bertarung Dalam Sarung | Oleh Alfian Dippahatang | KPG 59 19 01604 | Cetakan pertama, Maret 2019 | Penyunting Udji Kayang | Perancang sampul Harits Farhan | Penataletak Teguh Tri Erdyan | Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia | ISBN 978-602-481-100-6 | viii + 151; 13.5 cm x 20 cm | Skor: 3.5/5

Karawang, 210919 – Matchbox Twenty – Unwell