Pengelana Galau

In a Strange Room by Damon Galgut

“Berenang, tidur, merokok. Orang-orang yang datang kemari bersamanya tidak memercayainya keberuntungan mereka. Bagi mereka inilah Afrika sebenarnya, mereka datang dari Eropa untuk mencari tempat seperti ini, bukan liburan mahal seperti yang diperlihatkan di Air Terjun Victoria, atau hal berbahaya dan menakutkan yang mencoba menyakiti mereka di kereta. Di tempat ini, setiap orang berada di tengah alam semesta sekaligus di waktu bersamaan tidak berada di mana-mana. mungkin ini yang disebut pemenuhan spiritual, mereka sedang berada dalam pengalaman spiritual.”

Dibagi dalam tiga bagian, perjalanan di tiga benua. Afrika sebagai home town sang penulis, ke Eropa ke tempat kenalan saat petualang, dan terakhir ke Asia, tepatnya Bombay, India. Secara umum, kisahnya acak, seenaknya bagaimana menyampaikan kisah, tak fokus ke mana arah mau dibawa cerita, makanya terbaca aneh, atau inti cerita mau ngapain jadinya tak jelas. Terlalu lama berkeliling tanpa menetap di suatu tenpat telah membuatnya jauh dari dunia nyata, bahkan ketika sejarah digoreskan di mana-mana. “Aku sudah minum dua gelas kopi hari ini. aku tidak minum lebih dari dua gelas kopi tiap dua belas jam.”

Pertama, berjudul Si Pengikut, kita diajak ke Eropa. Sang Penulis, dengan mengambil nama depan saja Damon berkelana. Mulai dari Inggris, Prancis, Italia, Yunani, Turki, sekarang kembali ke Yunani. Di sinilah Damon berpapasan dengan Reiner, yang satu ke kota Mycenae, yang satunya ke Sparta. Awalnya sekadar sapa, lalu satunya berbalik. Perkenalan dengan pemuda aneh nan merdeka ini mengubah banyak hal. Merasa senasib dan sama-sama suka penjelajahan mereka berkenalan lantas berteman. Di ruang yang aneh, di mana keduanya seolah kekasih, jatuh hati, dan janji temu lagi suatu hari.

Lalu Reiner berkunjung ke Afrika Selatan, main ke rumah Damon. Permintaan aneh, hanya berdasar alamat tak mau dijemput di bandara, ia menelusur jalanan. Menginap, berjalan-jalan, mencari jejak, kegiatan apapun, menikmati hari. Awalnya menyenangkan. Kunjungan sahabat lama, jalan-jalan ke Lesotho, lintas kota, lintas Negara. Lalu hubungan mereka merenggang. Setelah naik turun bukit, menyaksi bukit, pemandangan alam Afrika menakjubkan, mereka mengalami selisih paham. Jadi pada titik perjalanan ini, ada saat-saat bersatu dan ada saat-saat berseteru.

Reiner yang kaya, memback-up semua keperluan akomodasi Damon, bagaimana bayarnya? Suatu saat nanti saja, tak perlu dipikirkan. Namun biaya tanggung itu mencipta perasaan tak enak Damon, ia merasa beban. Merasa tak punya suara, saat terjadi debat arah jalan, hingga perasaan muak didominasi. Konfliks kecil, riak besar. Membiarkkan dendam kesumat atas pembunuhan putrinya. Tak sesuatu pun bisa membahanbakari keinginan membalas dendam sehebat kesedihan mendalam.

Kedua, dilabeli Si Pencinta, kita diajak berkenalan dengan rombongan turis dari Eropa. Jerome, Alice, Christian, Roderigo, dkk. Mereka dalam perjalanan kota-kota, jalan-jalan tanpa tujuan jelas. Satu kaki terayun melewati kaki lain, setiap tapak kaki tertanam dan bergerak ke depan. Jalan kaki memiliki ritme yang bisa membuatmu melayang. Sebagai tuan rumah benua, walaupun bukan hanya Afrika Selatan, Damon malah merasa jadi beban. Kali ini bukan masalah keuangan, tapi malah hal-hal dasar. Dari visa, hingga kegamangan pilihan. berkutat di Benua Hitam Tanzania, Kenya, Zanzibar, Zimbabwe, hingga Malawi.

Dalam sebuah dramatisasi adegan, mengejar bus setelah melakukan penyogokan di perbatasan karena tak punya visa, teman-teman yang dikejar itu malah berikutnya ditinggal, setelah janjian akan bertemu kembali di Inggris. Secara tiba-tiba memutuskan pulang setelah berkenalan dengan orang yang kebetulan mau ke Afrika Selatan.

Inti cerita kedua, bukan di situ, tapi malah petualangan di Eropa. Main ke rumah Jerome, disambut dengan sangat hangat oleh keluarga temannya. Lalu saat temannya wajib militer, ia ke Negara lain. Pengelanaan yang umum, hingga akhirnya menerima kabar menyedihkan. “Aku kemari untuk merenung.”

Ketiga, kita bersama Anna, teman sekaligus pacar temannya. Ke India, menelusur budaya. Banyak area kumuh, banyak kunjungan ke tempat-tempat eksotik. Sayangnya bagian terakhir ini, Damon mendapati teman perjalanan bermasalah. Sakaw narkoba, punya pacar cewek, hingga niatannya bunuh diri. Memiliki penyakit mental yang ke mana-mana bawa obat. Tujuan utama ke India untuk healing, malah ambyar. Hufh… Yang pada akhirnya obat itu malah ditelan bersamaan membuat repot semua orang. Di setiap keberangkatan, jauh di lubuk hati terdalam, seperti titik hitam, muncul ketakutan akan kematian.

Sekarat, diselamatkan malah marah-marah. Menghubungi keluarga di Cape Town untuk menjemputnya, hingga keputusan-keputusan konyol lainnya. Dunia hitam di tanah orang, merepotkan, mengesalkan. Apakah bisa selamat, Anna?

Kisah dibuku ini langsung mengingatkanku pada film The Man with the Answers. Lelaki galau melakukan perjalanan laut, berkenalan dengan lelaki tamvan tapi tampak nakal. Awalnya pasif saja, tapi setelah turun dari kapal, berkendara mobil tua, mereka malah saling mengisi dan menjaga. Di Jerman segalanya berakhir. Nah, bagian pertama buku ini mirip sekali. Namun di The Man with the Answers jelas motif dan plotnya, apa yang akan diraih di kota tujuan. Sementara In a Strange Room, mau apa dan ngapainnya tak jelas. Mau merenung di tempat terpencil? Mau menyatu dengan alam? Atau mencari jati diri? Jelas dengan alasan itu kurang kuat, ditambah, Damon tak terlalu mempermasalahkan uang, artinya ia kaya, tak terlalu takut duitnya habis, tak detail penjelasan bagaimana ia bertahan hidup dengan uang seadanya, walau seringkali bikin tenda untuk menghemat, seringkali pula menginap di hotel. Ini jelas buku orang jalan-jalan saja. Dan kisah sejenis ini, kurang konfliks, kurang menarik. Malah tampak konyol, saat di India bersama teman wanitanya, hambar.

Saya membeli buku ini karena berlabel Nominator The Man Booker Prize 2010 untuk novel The Good Doctor, bukan buku ini. yah, seperti Eka Kurniawan untuk Lelaki Harimau, bukan O. kurang lebih seperti itulah, mungkin saya akan terpukau sama The Good Doctor, dan merasa standar untuk O. Mari kita buru…

In a Strange Room | by Damon Galgut | Copyright 2010 | Published by Atlantic Books Ltd. | Alih bahasa Yuliany dan Shandy T | 188102536 | ISBN 978-979-27-8972-0 | Penerbit Elex Media Komputindo | Cetakan pertama, 2010 | Skor: 3.5/5

Karawang, 140722 – Manhattan Transfer – Birdland

Thx to Ade Buku, Bandung

Sleepless In Seattle: Kopi Darat Aneh di Puncak Gedung

She wants to meet me at the top of the Empire State Building. On Valentine’s Day.”

===tulisan ini mungkin mengandung spoiler===

Di era jayanya Radio bisa mencipta banyak hal menyenangkan untuk khalayak umum. Buat kirim lagu, buat teman belajar, buat teman perjalanan, buat curhat, buat konsultasi sampai mencari jodoh. Pernah diprediksi radio akan redup ketika invasi televisi, nyatanya enggak. Begitu juga seterusnya, televisi akan tergeser dengan kemunculan platform tayangan daring. Sampai sekarang radio tetap eksis, hanya peminatnya turun saja. Saling mengisi, saling memikat para penikmatnya. Tahun 1990an ketika Radio masih banyak pendengar dan jadi pokok yang menjadi pusat perhatian, banyak hal mungkin terjadi, termasuk asmara. Di era handphone belum semenjamur ini, era Whats Up belum jadi embrio platform komunikasi, romantisme klasik menyelubungi umat manusia.

Kisahnya tampak klise kalau kita yang tonton, terprediksi sekali. Mungkin generasi mbahku turut berdebar kala di puncak gedung itu. sering kali kita mengesampingkan masa muda, terutama remaja, semakin kita tua kita akan jadi semakin sinis dan keras. Ketika fokus pada dua karakter film romantis, maka otomatis tebakan akhir mereka akan bersama. Benar sih, tapi untuk film ini bahkan kebersamaan mereka dalam satu frame hanya sekitar dua menit. Happy ending? Ya. Manis? Sangat manis, bahwa cinta bisa menemukan jalannya sendiri. Melalui radio, melalui anak yang merengek, melalui tanda-tanda alam.

Sam Baldwin (Tom Hanks) adalah arsitek yang berduka, istrinya meninggal karena kanker. Bersama anaknya Jonah (Ross Malinger) yang baru berusia delapan tahun, memutuskan pindah ke Seattle, Washington untuk menjernihkan pikiran. Enam belas bulan kemudian, Jonah di malam Natal menelpon radio yang menyiarkan acara langsung kunsultasi dengan dokter Marcia Fieldstone, yang seorang psikolog. Jonah bercerita, “… betapa ayahnya mendamba kasih sayang. Tolong dong cariin istri. Tolong dong saya butuh pelukan ibu.” Well, di era umat manusia belum menundukkan pandangan ke layar HP pendengar radio masih sangat banyak. Maka tak heran, ada ribuan wanita meminta kontaknya, meminta alamatnya untuk mengenal lebih dekat. Sensasi kayak gini kalau zaman sekarang mirip trending topic twitter. Bikin riuh perjagatan social. Dibicarakan di kafe-kafe, diobrolin di kantor, jadi bahan ghibah kala waktu senggang. Seorang duda nyentrik sedang butuh belaian, ayoo drop cv cantik Anda. Kita tahu dengan situasi ini film akan berakhir bahagia.

Salah satu pendengar radio itu adalah Annie Reed (Meg Ryan) yang bertunangan dengan Walter (Bill Pullman) yang alergi akut, berlebihan sih sampai kamar tidurnya harus berudara steril, makan harus jauh dari bau-bau yang ga bikin ia sakit. Logikanya, akan sulit menjadi pasangan ideal bagi jiwa bebas Annie. Duh! Annie lalu turut menulis surat, bersaing dengan perempuan lain. Bedanya, surat tersebut sempat ga mau dikirim, tapi justru sobatnya yang mengirim ke Sam. Sampai di sini, tebakan happy ending itu turut terjaga. Bahkan dalam adegan yang nyeleneh, Annie terbang ke Seattle untuk semacam menyelidiki, memantau si orang tua tunggal dalam keseharian.

Jonah lalu menyarankan ayahnya untuk memenuhi undangan Annie di hari Valentine di puncak gedung Empire State, New York. Tentu saja Sam menolak, kota itu ada di ujung Timur jauh. Sementara Annie malah ke Seattle untuk menemui mereka, tapi di sebuah jalan yang lengang sambil saling tatap pertemuan itu tak berakhir manis. Dan adegan puncak saat Jonah memutuskan terbang ke New York sendirian, disusul ayahnya, lalu Annie makan malam romantis dengan lanskap Empire State dengan pertanda cinta, tiba-tiba memutuskan pertunangan guna ke puncak gedung, sesuai yang dijanjikan. Walau tawaran adegan klise, Annie ke atas dan Sam serta Jonah turun yang seharusnya berakhir bagus, justru film ini menemui titik senyum puas. Sayang sekali…

Cerita manis gini menurutku keterlaluan. Sulit menemukan kenyataan bahwa dua orang asing, memutuskan kopi darat di puncak gedung dengan perantara anak kecil, aneh. Dramatis, bagaimana bisa mereka ga ngobrol dulu dalam telpon karena dalam surat mereka sejatinya, minimal janjian telponan. Mungkin pemilihan calon ibu, untuk Jonah atau calon istri untuk Sam adalah ngacak dari ribuan surat. Saya membayangkan seandainya yang kepilih sosok lain, apakah bisa sedrama ini? Well, dunia fiksi memang membebaskan sang kreator dalam lanskap romannya, tapi sebuah rangsel bisa mencipta kebahagian penonton bisa jadi hanya di Sleepless, bahkan Dora pun saat akhirnya kembali menemukan rangsel ajaibnya hilang ga selega ini.

Tom Hanks sampai era sekarang masih sangat berjaya. Pasca Sleepless kita malah menyaksikan banyak filmnya menuai pujian, banyak filmnya meledak tak terkira. Salah satu yang ikonik jelas menjadi Profesor Langdon dalam kontraversi. Kariernya tampak belum akan terhenti. Sementara Meg Ryan, aktris yang kita kenal sebagai seorang romantis era 1990an ini sudah redup. Pasca Sleepless, ada beberap yang mencuat seperti French Kiss, City of Angels, sampai You’ve Got Mail. Happy Birthday 58 tahun Mbah Ryan. Semuanya berciri, drama romantis maka saat usia menua, order untuk peran itu menurun drastis. Tuntutan penonton (laki) jelas selalu sama: muda dan cantik, cara berpikiran revolusioner semacam ngajak kopi darat aneh di tempat tinggi hanyalah sekadar bonus. Kata kopi darat bersalah dari ‘copy’ yang dalam istilah perbincangan artinya ‘mengerti’. Dahulu kala, saat platform percakapan hanya satu arah dan bergantian, saat lawan bicara selesai, yang satunya akan jawab ‘copy’. Komunikasi di udara, kalau ada yang nyapa pakai ‘halo’ atau ‘break’, ‘over’ sampai ‘roger’. Nah, saat akhirnya mereka sepakat ngumpul langsung (di darat), pakemlah istilah kopi darat. Makin mesra Sleepless mengenakan tiga item sempurna untuk memikat kaum pemuja romansa: radio, surat dan gaya LDR (Long Distance Rahasia) yang berlebihan. Kesepakatan mencari pasangan ideal dengan memikat macam gini rasanya sudah melebihi imajinasi.

Kadang dalam hidup kita memang harus meletakkan keyakinan dalam altar yang aneh. Annie, bertunangan, makan malam romantis di resto mahal, muncul pertanda lalu berjudi. Tanpa harapan kita sudah mati secara moral, dan dengan bantaun harapan kita mungkin bisa mendapat pasangan ideal. Atau paling apesnya, ini juga tak membuktikan apapun untuk tertawa mengejek untuk menahan kita dari keputusasaan, lakukan atau tidak sama sekali.

Orang asing, oh orang asing. Kenapa engkau begitu rupawan. Beruntungnya. Siapa? Semua pihak: tiga orang di puncak, sutradara, cast dan crew, penonton pemuja roman dan kalian!

Sleepless In Seattle | Year 1993 | Directed by Nora Ephron | Screenplay Nora Ephron, David S. Ward, Jeff Arch | Cast Tom Hanks, Ross Malinger, Rita Wilson, Victor Garber, Carey Lowell, Meg Ryan, Frances Conroy | Skor: 3.5/5

Karawang, 211119 – Bee Gees – Massachusetts

Rekomendari Bank Movie keempat dari tujuh belas ini, thanks dan dipersembahkan oleh Bung Joze.

Scary Stories to Tell in the Dark: Makhluk Menyeramkan, Tidak Cocok Untuk Penonton Berhati Lemah

Stella: You don’t read the book. It reads you.

Ini adalah jenis film yang lebih hebat monsternya ketimbang cerita. Kisah pada suatu masa di kota kecil fiksi bernama Mill Valley, Amerika Serikat. Monster yang dicipta luar biasa seram, khas Guilermo Del Toro yang ternyata juga terlibat dalam penulisan naskah. Yang paling menyeramkan ada di rumah sakit, bagaimana makhluk dengan tampang polos, maju perlahan, menautkan di tengah persimpangan koridor rumah sakit dan mengintimidasi, dari berbagai sudut lalu dengan muka ngeri, sang korban ditelan. Tanpa darah di manapun, tanpa adegan bacok-bacokan, hanya ditelan dalam tubuh, tapi efeknya memang bikin gigil. Luar biasa seram. Penonton diajak memasuki dunia mistik dengan penuh gaya.

Kisahnya tentang petualang remaja di malam halloween di tahun 1968. Tahun di mana Amerika sedang bergolak: Pembunuhan Martin Luther Jr, perang Vietnam sampai Pemilu yang dimenangi Presiden Nixon. “Today is election day, people. Vote against Vietnam, vote against destruction, vote against sending our children to die!” Tokoh utama kita adalah Stella Nicholls (Zoe Margaret Colletti) yang seorang kutu buku, bercita-cita menjadi Penulis. Bersama teman-temannya Auggie Hilderbrandt (Gabriel Rush) dan Chuck Steinberg (Austin Zajur) menjalani malam horror, mereka kabur dari genk remaja yang dipimpin Tommy (Austin Abrams) ke sebuah bioskop mobil. Saat mendesak, mereka masuk ke mobil remaja lain, adalah Ramon Morales (Michael Garza) yang tampak aneh menyelamatkan mereka. Saya mencurigainya ada sesuatu yang janggal. Setelah mereda, berempat memasuki rumah tua yang tak berpenghuni. Rumah angker yang menyimpan misteri kematian keluarga Bellows.

Ketika mereka di dalam, gerombolan remaja anarki yang jadi musuh dari kompleks sebelah hadir. Tommy merusak mobil Ramon dan mereka terkuncil di ruang bawah tanah. Tampak serem? Belum…, baru mulai. Di rumah tua itulah Chuck menyaksikan penampakan dunia lain, ruang tengah yang kumuh dan jorok dalam sekejap menjadi ruang keluarga jadul dengan perabot lengkap dan lilin menyala. Di sana tampaklah Sarah Bellows (Kathleen Pollard), arwah gentayangan? Dalam cekaman takut, Chuck kembali dari masa penampakannya dan semua kembali ke semula. Sementara Stella menemukan buku tua, diary Sarah yang terhenti di tengah halaman. Penasaran karena buku itu tampak menarik, ia bawa pulang. Sarah Bellows adalah urban legend kisah horror dari masa lampau, disebut sebagai gadis penyihir dan tewas dalam hukuman. Ada misteri dalam keluarga Bellows. Diary tersebut tampak tak lazim emang, ada aura mistis dan sungguh berani dia bawa pulang. Nantinya kita tahu, Sarah mencoba menuturkan fakta yang disembunyikan publik, dan kisah ini menuntut pembersiahan nama baik. Sarah dan Stella memang seakan dua sisi koin. “Kamu ga bisa jadi penulis di sini, kamu harus ke kota.” Lalu dengan sedih dijawab, “Aku ga bisa ninggalin ayah, sorry.” Hiks, sedih. Banyak impian kandas dengan berkorban mulia, sabar Nak.

Horror dimulai di sini. Buku itu bisa menuliskan sendiri kisahnya, korban pertama adalah Tommy. Diary dalam halaman kosong termaktub tinta bergerak bahwa ia akan diteror orang-orangan sawah bernama Harold ketika ia mengantar telur. Dalam keremangan kebun, Tomy ditikam dengan sisa wajah oenuh kengerian. Ini semacam kutukan, setiap saat Tomy suka menghujat, menghajar boneka sawah sampai menusuk rusak. Ketika malam horor, jelas seolah balas dendam. Satu korban.

Pencarian dilakukan, jelas Tommy tak nampak. Stella baru menyadarinya setelah menelaah buku Sarah. Korban berikutnya adalah Auggie yang sendirian di rumah. Dalam buku bertinta darah, ia akan memakan sesuatu yang menjijikan di kulkas, dan horror itu mencerabutnya dalam kolong tempat tidur. Saya gam mau mencerita detailnya, yang jelas iringan musik dan suasan cekam tampak bagus. Dua korban.

Setelah korban kedua, mereka mengadakan pertemuan. Stella, Ramon dan Chuck, turut pula Ruth (Natalie Ganzhorn) yang tampak manja, dan tetap mencoba positif thinking.Selanjutnya bagaimana? Siapa yang akan jadi korban berikutnya? Kita akan tahu ketika halaman kosong itu menuliskan sendiri ‘ramalan’nya. Korban berikutnya adalah Ruth yang hari itu harus tampil di sekolah, ia memiliki jerawat kecil di wajah. Saat akhirnya jerawat itu terasa gatal, ia ke toilet. Stella cs bergegas ke sana untuk menyelamatkannya. Makhluk yang menghantui sejenis serangga hitam yang mencuat sedikti demi sedikit dari lukanya, ‘untung’nya Ruth berhasil diselamatkan, makhluk itu nyaris menangkapnya, membawa ke dimensi antah tapi bisa dicegah. Ruth traumatis, hanya tampak gila, ambulan mengantarnya ke rumah sakit. Korban ketiga, gagal.

Bukti bahwa kutukan itu masih bisa dilawan. Korban berikutnya yang paling menyeramkan, makhluk ajaib faceless di rumah sakit yang menculik Chuck disajikan dengan detail keren. Sangat keren. Karena tinggal bertiga, mereka menelusuri riwayat medis Sarah ke rumah sakit, awalnya ditolak, tapi alibi buat penelitian, mereka diterima tapi ga bisa secepat yang harapkan, harus ikuti prosedur panjang, maka mereka masuk tanpa izin dengan menyusup. Ada Red Room yang bikin Chuck ketakutan karena traumatis, ia ditinggal sendiri sementara Stella dan Ramon beraksi. Chuck malah apes, karena buku itu menuliskan horor yang mengarah kepadanya. Makhluk mengerikan dengan latar merah menyala bak penuh darah tersaji, bagian ini sempat membuatku menutup mata dan meremas tangan untuk menghilangkan kegugupan. Chuck ditelan kehampaan. Korban keempat.

Berikutnya karena tinggal dua ya, saling menjaga. Karena protagonisnya Stella kita bisa dengan mudah menebak, pendulum itu mengarah ke Ramon. Kecurigaanku terhadapnya luntur, ia juga calon korban. Dia ditangkat, dijebloskan penjara, tampang-nya memang seorang imigran Meksiko sehingga polisi dengan gegabah mengurungnya. Buku itu menuliskan, di penjara itulah muncul makhluk yang bisa jadi paling absurd. Cara berjalannya ngangkang terbalik, yang jadi korban justru orang lain. Korban kelima, keenam ini memang dijadikan penutup, mereka bergegas ke rumah tua, mencoba menutup kutuk, mencoba melawan dengan sisa harapan yang ada. Sekalipun itu dengan darah. Berhasilkah?

Film ini diadaptasi dari judul buku yang sama karya Alvin Schwartz dengan illustrator Stephen Gammell. Novelnya berseri, tepatnya rilis tahun 1981 (Scary Stories to Tell in the Dark), 1984 (More Scary Stories to Tell in the Dark), dan 1991 (More Tales to Chill Your Bones), film ini menyatukan para makhluk itu. Hal ini jelas memicu sekuel, apalagi endingnya gantung. Yup, mereka sementara lolos dari maut, sehingga ada misi yang harus dituntaskan. Kota Mill Valley aslinya adalah Milltown (Downington) di Pennsylvania. Gambaran makhluk menyeramkan memang mengacu pada Guilermo Del Toro, The Blob mengingatkan pada kisah Pan’s Labyrinth. Wajah-wajah monster yang tak perlu membacok guna memancarkan darah banyak kayak dalam buku-buku Stephen King, tapi cukup menatap kosong, menikam lembut, mengguncang jiwa.

Kutonton ketika malam terakhir di Bekasi setelah seminggu pelatihan Koordinator Magang pada 7 September 2019 di XXI Giant Bekasi (gilax saya nonton di hari pertama tayang!). Sebelumnya membeli buku Pretty Girlnya Karin Slaughter. Makhluknya sukses bikin merinding, sayang sekali cerita agak lemah. Kalau biasanya kita membaca buku, maka Scary Stories malah buku membaca kita. Endingnya rada happy, sayang sekali setelah mencekam dalam badai, justru semilir angin yang ditampilkan. Film horor memang bukan genre-ku, tapi sesekali kutonton beberapa memuaskan, seperti Pet Sematary yang mengejutkan. Namun Pet punya keunggulan, ending lebih pas dan lebih scary ketimbang scary stories.

Ini jelas setingkat lebih tinggi dari Goosebumps. Stories hurt, stories heal.

Scary Stories to Tell in the Dark | Year 2019 | Directed by Andre Øvredal | Screenplay Dan Hageman, Kevin Hageman, Guillermo Del Toro | Cast Zoe Margaret Colletti, Michael Garza, Gabriel Rush, Dean Morris, Gil Bellows, Kathleen Pollard, Will Carr | Skor: 3.5/5

Karawang, 280819 – Mike Perry – Runaway

The Cat’s Paw, The Attic, The Wendigo. Apakah sudah diterjemahkan bahasa Indonesia?

Thx to TMeliaF

In Cold Blood – Truman Capote

Hati-hati dengan apa yang kamu harapakan. Delapan tahun lalu sesaat setelah menonton film Capote dengan bintang Phillip Seymour Hoffman, saya berharap bisa menikmati buku terbaik Truman Capote, In Cold Blood. Selang berapa lama, saya sms teman-teman memberitahu betapa film ini sangat inspiratif. Salah satu yang membalas sms itu adalah Opan, teman dari Bogor yang bilang film tentang Penulis yang rekomended yang kebetulan ia sedang proses menulis novel. Belakangan kita ketahui berjudul Dead Smokers Club (trilogi). Mungkin Opan sudah lupa dengan pesan yang dia kirim, tapi siapa sangka kini justru dia malah jadi salah satu Penyunting buku ini! Hati-hati dengan harapan Anda!

Saya berhasil menyelesaikan baca dalam sekali telan. Mulai baca di tanggal 2 September dini hari sesaat setelah Jerman menang dramatis Ceko dan selesai sore harinya saat akan berangkat menjemput May. Hebat, karena buku ini mengelem erat pembaca untuk tak beranjak. Terus ditahan dan dibuat penasaran, sebuah momen sukses bila kita dipaksa duduk terus, mengabai keadaan sekitar. Dalam lima bab yang sangat panjang, tulisan kecil-kecil yang menembus 500 halaman, bersyukurlah saya mewujud menikmatinya.

Kisahnya bukan teka-teki pembunuhan karena sedari awal sudah diberitahu bahwa ada satu keluarga di temukan tewas secara sadis di Holocomb, Kansas. Para pembunuh juga sudah dijelaskan beriringan, siapa pelakunya. Tragis motif utama kasus ini adalah uang yang tak lebih dari 50 Dollars. Di sampul belakang juga sudah diberitahu bahwa enam minggu kemudian dua residivis yang sedang menjalani bebas bersyarat, ditangkap. Kemudian plot bergerak maju hingga akhirnya penentuan nasib mereka untuk mempertanggungjawab. Semuanya gamplang, tak ada misteri tak ada tanya. Lantas apa yang membuat penasaran? Daya pikat utama buku ini adalah cara bercerita yang unik, khas kisah fiksi yang mendayu, padahal ini bukan buku maya.

Keluarga Herbert Clutter digambar sebagai keluarga yang ideal. Memiliki kekayaan melimpah, dua anaknya merantau yang satu sudah menikah yang satu lagi dalam proses. Dua lagi masih tinggal bersama tapi punya masa depan cerah dengan kecerdasan dan kemampuan istimewa. Sayang semua kebaikan itu lenyap hanya dalam semalam. Herbert, Bonnie istrinya, putranya Kenyon dan putrinya Nancy ditemukan meninggal di Minggu pagi yang cerah tanggal 16 November 1959 di rumahnya di River Valley Farmasi, Holcomb.

Pembunuhnya adalah Richard ‘Dick’ Hickock dan Perry Smith. Mereka mengincar brangkas yang ternyata zonk. Kabur ke Meksiko hura-hura melakukan kejahatan-kejahatan, pesta hampa, lontang-lantung sampai kehabisan uang hingga memaksa kembali ke Amerika dan tertangkap. Penangkapan dipimpin oleh detektif Dewey. Setelah mengalami hari-hari yang menghantui untuk menuntaskan kasus ini akhirnya bisa teratasi. Uniknya pemicu tahu siapa tersangkanya bermula dari ocehan narapidana Flyod Wells, teman satu sel Dick. Akhirnya tuntas di tanggal 14 April 1965 di Lansing, Kansas. Hufh…, roller coaster terhenti.

Buku terbagi dalam empat bagian yang sangat panjang. Saat Terakhir Kehidupan Mereka. Orang-Orang Tak Dikenal. Jawaban. The Corner. Kisah menanjak terus sedari awal, sempat akan drop ketika sampai di penjara. Kekhawatiran buku 24 Wajah Billy yang seakan membaca jurnal perkara kejahatan menghantui, namun tidak. Was-was itu lenyap saat Capote menawarkan kesegaran kisah dengan mencerita rekan penjara dengan lebih intens. Sehingga turunan itu hanya sebentar, lalu tanjakan lagi hingga akhir yang sangat manis. Sebuah bayang masa depan sang Gadis yang ditulis dengan senyum. ‘seorang gadis cantik yang terbirit-birit, rambut lembutnya berayun-ayun, bersinar-sinar – persis seperti perempuan muda itulah kemungkinan Nancy akan tumbuh.’

Berikut Kutipan-Kutipan

Tetapi siapa yang menginginkan New York? Tetangga yang baik, orang yang saling mengenal dan peduli satu sama lain, itulah yang penting. – halaman 50

“Selesaikan pekerjaanmu, saksikanlah dan berdoalah: karena kamu tak tahu kapan akhirnya tiba.” – 45

“Hanya untuk membuktikan bahwa aku pernah berhasil dalam sesuatu.” – 394

H: Head, Heart, Hands, Health – halaman 52

Nancy Clutter selalu tergesa-gesa, tapi ia selalu punya waktu. Dan itulah definisi seorang lady – 36

“Aku tidak semiskin penampilanku, ambillah apa pun yang bisa kalian dapatkan.” – 18

“Mungkin lebih baik begitu. Para biarawati adalah sekumpulan pertanda buruk.” – 71

Mr. Clutter mungkin lebih ketat dalam beberapa hal – agama dan sebagainya – tetapi ia tidak pernah mencoba membuatmu merasa bahwa ia benar dan engkau salah. – 78

Hanya kini setelah kutimbang-timbang lagi, kupikir mestinya seseorang bersembunyi di sana. Mungkin di antara pepohonan. Seseorang menantikan aku pergi. – 81

Kita sudah menjalani seumur hidup kita di neraka, sekarang kita akan mati di surga. – 105

Kematian, brutal, dan tanpa motif yang jelas. Terpicu reaksi Mother Truit: takjub, larut dalam kedukaan. Suatu sensasi horor yang dangkal, yang diperdalam oleh ketakutan pribadi.- 108

“Namun kehidupan tersebut dan apa yang telah dicetaknya – bagaimana hal itu terjadi, Erhart menerung saat disaksikannya api membesar. Bagaimana mungkin upaya semacam itu, suatu kemuliaan yang nyata, dalam semalam saja direduksi hanya menjadi – asap, menebal membumbung hingga ke angkasa, disambut oleh langit luas dan menghilang. – 121

Kelurga ini mempresentasikan segala sesuatu yang benar-benar dihargai oleh orang-orang sekitarnya, maka hal semacam ini bisa saja terjadi pada mereka – well, ini seperti diberitahu bahwa Tuhan itu tidak ada. Akibatnya hidup ini tampak tak berarti. – 135

Saling mengabarkan hari kami, dan pada saat makam malam siapa, aku tahu kami punya alasan yang bagus untuk berbahagia dan bersyukur. Karena itu kuucapkan, Terima Kasih Tuhan. Bukan karena kewajiban melainkan karena aku menginginkannya. – 163

Ia tahu bahwa ia mengawali sebuah percakapan yang menjengkelkan Dick – 169

Yang dibacanya cuma sampah – buku-buku komik dan sampah koboi. Ia oke. – 172

“Tampaknya kita kehilangan setiap orang, dengan satu dan cara lain.” – 180

Berbaring kecanduan matahari dan lesu tanpa gairah, persis seperti seekor kadal yang tidur siang. – 182

“Kuharap akan ada selalu seorang Clutter di sini, dan seorang Herm juga…” – 186

Seseorang bertanya apakah ia seorang pejalan kaki yang meminta tumpangan – hitchhiker? Mencari tumpangan ke New Meksiko? – 190

Dua dollar sehari. Meksiko! Honey keterlaluan buatku. Kita harus berusaha keluar dari sini. Kembali ke Amerika. – 191

Aku selalu memberi tahu mereka jangan memulai sebuah perkelahian, jika kamu lakukan itu aku akan memukulmu kalau sampai ketahuan. – 197

Ia harus membayar mahal ketika melakukan kesalahan, hukum adalah pemimpin yang dikenalnya sejak saat ini. – 198

Ia seperti diriku, suka bersama dirinya sendiri, juga paling suka bekerja bagi dirinya sendiri. Seperti diriku juga. Aku ini serbabisa. – 199

Untuk menjalani hukuman di balik terali besi dengan sebuah senyuman yang kamu lakukan untuk dirimu sendiri. Kamu tahu lebih baik. – 201

Ia tahu hidup ini terlalu singkat dan terlalu manis untuk dihabiskan di belakang terali besi. – 202

Dan sebagian besar kenangan yang dilepaskannya justru yang tidak dikehendaki, biarpun tak semuanya. – 203

Kenapa aku tidak suka pada biarawati. Dan, Tuhan. Dan, agama. – 206

Sebagian karena mencoba mengontrol kandung kemih dan sebagian lagi karena kau tak kunjung bisa berhenti berfikir. – 208

Ayah seperti seorang maniak. Tak peduli apa yang terjadi – badai salju, hujan badai, angin kencang yang dapat membelah pohon – kami terus bekerja. – 211

Dengan jalanan naik turun yang bahkan dalam cuaca cerah terbaik tampak tak ceria dan suram. – 215

Kalau engkau merasa kemarahanmu meluap-luap lebih baik redakan karena aku menyadari tak seorang pun diantara kita menyambut kritik dengan gembira. – 219

Tak satu pun hal baik datang dengan mudah dan aku yakin kamu telah mendengar ini beberapa kali, tapi mendengarnya sekali lagi tak membikin cedera. – 221

Seorang ibu tetaplah satu-satunya yang bisa mencium luka di tubuh dan menyembuhkannya. – jelaskan itu secara ilmiah. – 222

Kamu adalah manusia dengan suatu kehendak bebas. Yang menempatkanmu satu tingkat di atas derajat binatang. – 224

Mudah sekali mengabaikan hujan kalau kamu punya jas hujan – 226

Orang-orang yang berhubungan denganku banyak, temanku sedikit. – 230

Manusia itu bukan apa-apa tapi selapis kabut, sebuah bayang-bayang yang diserap oleh bayang-bayang lain. – 231

Dick berbicara tentang membunuh Mr. Clutter. Katanya, ia dan Perry akan pergi ke sana dan merampok tempat itu, lalu mereka akan membunuh semua saksi mata – keluarga Clutter dan siapa saja yang kebetulan berada di tempat itu. – 249

Kondisi pikirannya buruk, ia kurus dan merokok enam puluh batang sehari. – 254

“Ayah, engkau adalah seorang ayah yang baik untukku. Aku tak akan pernah melakukan apapun untuk menyakitimu…” – 257

Nye, yang suara normalnya cenderung pendek-sengau dan secara alamiah mengintimidasi, warna nada yang lunak, gaya yang seolah menenangkan, tak berarti. – 262

Ia dipermalukan oleh pikiran-pikiran tentang laki-laki yang pernah meniduri istrinya sebelum pernikahan mereka. – 288

Kapten Manson, dengan jabat tangan terentang, memandang Prajurit Smith, tetapi prajurit Smith malah memandang kamera. – 289

Well, kami tak ingin mereka mengetahui sebaliknya. Semakin mereka merasa aman, semakin cepat kami mencocok mereka. – 294

Musuhnya adalah siapapun yang menyerupai sosok yang diinginkannya atau memiliki sesuatu yang diinginkannya. – 310

Pernah melihat kuda yang terbaring begitu saja dan tak pernah bangun lagi? Aku pernah. Dan seperti itulah yang terjadi pada Bibi. – 323

“Aku percaya pada hukuman mati. Seperti dikatakan Alkitab – mata untuk mata. Dan, bahkan kalau begitu kita masih kekurangan dua pasang mata.” – 385

“Aku hanya ingin melihat mereka baik-baik. Aku hanya ingin melihat binatang jenis apakah mereka berdua…” – 433

Why, orang itu adalah pengurung jenazah di pemakaman. – 435

“Karena hal itu persis seperti dilakukan seperti yang pernah dikatakan.” – 439

Temanku Willie-Jay biasa membicarakan ini. Ia biasa bilang bahwa se;uruh kejahatan sesungguhnya hanyalah ‘variasi-variasi pencurian’, termasuk pembunuhan. – 449

Ia adalah seorang yang impulsif dalam tindakannya, cenderung melakukan berbagai hal tanpa memikirkan konsekuensi-konsekuensi atau ketidaknyamanan bagi dirinya sendiri, atau bagi orang lain pada masa depan. – 457

Potensi membunuh dapat teraktivasi, terutama jika muncul beberapa ketidakseimbangan, yaitu ketika calon korban secara tidak sadar dipersepdi sebagai sosok kunci dalam sejumlah pengalaman traumatis masa lau. – 467

‘Siapa yang menumpahkan darah manusia, maka darahnya akan ditumpahkan lagi oleh manusia’. – 473

Aku sendiri tidak peduli apakah aku harus berjalan atau dibawa dalam peti mati. Pada akhirnya semua sama saja. – 496

“Aku akan mengkhawatirkan leherku sendiri. Urusi saja lehermu sendiri.” – 501

Sekali ia membaca, maka bacaan itu akan terus menempel. Tetapi tentu saja ia tak tahu seluk-beluk kehidupan. – 519

“Senang bertemu dengan Anda.” – 528

“Akan tak berarti apa-apa untuk meminta maaf atas apa yang telah kulakukan. Bahkan tidak pantas. Tetapi, aku ingin melakukannya. Aku minta maaf.” – 530

Sebelumnya saya sudah baca buku Capote yang lebih ringan, Breakfast At Tifanny’s, bukunya tipis dan sudah diadaptasi film. Baca pinjam punya Dien Novita, sekitar tujuh tahun lalu. In Cold Blood jelas jauh lebih komplek dan berbobot. Lawrence Journal World menyebutnya sebagai novel yang menorehkan sejarah dalam dunia jurnalistik. Dan setelah melahapnya, memang gaya berceritanya unik, ga lazim. Di mana kasus dan pencarian dan cara bertahan hidup para pembunuh berjalan beriringan, ada detektif di dalamnya namun kita tak ditantang berfikir menebak laiknya Agatha Christie – karena semua sudah dengan sangat jelas. Nikmat sekali mendalami pikiran orang-orang abnormal itu. “Mudah sekali membunuh – jauh lebih mudah daripada meloloskan cek palsu.”

Sayangnya untuk sebuah buku terbitan Bentang, kutemukan beberapa typo. Tahun lalu saya baca ‘What I Talk About When I Talk About Running’ –nya Haruki Murakami yang bagus banget secara kualitas terjemahan dan anti  typo, gambaran sempurna sebuah buku. Untuk yang satu ini yang sama-sama terbitan Bentang dan sama-sama buku istimewa sayang aja basic cek aksara sedikit ternoda. Contoh-contoh, yang siapa tahu bisa buat perbaikan untuk cetakan berikutnya.

Sang nyoya – halaman 44. Lorongl-orong – 49. Mengenduse-ndus – 72. Pulangp-ergi – 78. Dijelaskannya kpada – 187. Sebuah etsa – 263. Harus diangap – 271. Prangko – 295.  Lalu di daftar isi Tentang Penulis – 536. Terima kasih – 538. Padahal aktual di halaman akhir itu terbalik, ucapan terima kasih dulu baru bio yang menjelaskan bahwa Penulis kelahiran 30 September 1942 ini menerbitkan buku pertama berjudul Other Voices, Other Rooms dan In Cold Blood adalah buku kesembilan.

Untuk urusan kover, jelas saya sangat suka yang minimalis ini. Hitam yang dominan, nama kontras sang Penulis lalu lalu ditebar merah dalam keker kaca pecah. Jauh lebih berkualitas laiknya buku sastra ketimbang terbitan lama yang menampilkan close up wajah. Jilidnya Oke, kualitas cetak bagus, pemilihan front kata pas. Hebatlah. Salut Bantang, semakin hari semakin berbobot.

Well, In Cold Blood done. Tahun ini saya dapat tiga kado istimewa karena selain karya Capote buku legendaris terjemahan On The Road juga sudah beredar. Satu lagi Don Quixote-nya Miguel De Cervantes saat ini sedang dalam proses alih bahasa. Wwwoooagh… Indonesia sedang berlomba, berpacu menebarkan buku-buku berkualitas. Tak ada yang mustahil karena, siapa sangka dua tahun lalu Game Of Throne yang super duper tebal saja bisa terwujud serta buku kontroversial Ayat-ayat Setan pun ada!

Seperti nasehat ayah Perry Smith: “Aku mengajari anak-anakku aturan emas. Hiduplah dan jalani hidup…”

In Cold Blood | by Truman Capote | diterjemahkan dari In Cold Blood: A True Account of a Multiple Murder and Its Consequences | terbitan Random House, New York 2002 | penerjemah Santi Indra Astuti | penyunting Wendratama & Adham T. Fusama | perancang sampul Fahmi Ilmansyah | pemeriksa aksara Achmad Muchtar | penata aksara Martin Buczer | Penerbit Bentang | cetakan Pertama, Juli 2017 | pernah diterbitkan dengan judul yang sama atahun 2007 | vi + 538 hlm; 20,5 cm | ISBN 978-602-291-393-1 | Skor: 5/5

Karawang, 090917 – Richard Marx – Angels Lulaby

Alice Through The Looking Glass: You Must Have An Imagination To Enjoy This Trip

image

Cheshire Cat: When the day becomes the night and the sky becomes the sea. When the clock strikes heavy and there’s no time for tea.

Alice, nama itu akan dikenang oleh penggemar fantasi sebagai karakter imut yang terjebak di dunia aneh bawah tanah. Karena saya baru membaca satu buku karya Sir Lewis Carrol maka saya tak tahu detail selanjutnya nasib Alice Kingleigh sekembali ke dunia nyata. Dari trailer yang saya lihat, Alice Through The Looking Glass sepertinya dibuat lebih berani penuh petualangan ala Sherlock. Dengan iringan lagu Pink, Alice terbangun di rumah sakit jiwa dengan pertanyaan ‘di mana saya?’. Muncul sang villain Sherlock, Andrew Scott tapi Alice berhasil kabur dengan melompat dari atap gedung, mencuri kereta kuda dan masuk ke cermin setelah diberi petunjuk oleh kupu-kupu biru, dengan suara khas Profesor Snape, errhh… (alm) Alan Rickman. Di dunia fantasi itu sang  Waktu marah karena Alice membawa terbang sebuah benda untuk mengubah masa lalu.

Sempat berharap Jim Moriarty akan mendapat peran banyak, hapus itu. Sempat berharap Alan Rickman akan tampil dalam wujud nyata bukan sekedar seekor kupu dan memberi petuah, coret jua. Sempat pula berharap menyaksikan karakter kecil-kecil dunia aneh ini mendapat peran penting dari Absolem, Bayard, White Rabbit, March Hare, si kembar Twedle sampai Cheshire Cat, tak terwujud. Fokus cerita masih berkutat ke Alice yang mencoba menyelamatkan Mad Hatter dengan menjelajah waktu bersama kisah seteru dua bersaudara White dan Red Queen.

Setelah logo Disney tampak, muncul senyum Cheshire Cat di atas istana dimiringkan dan membentuk bulan sabit. Bulan sabit pengantar prolog itu menjelaskan Alice Kingleigh (Mia Wasikowska) kini menjadi seorang kapten kapal dan situasi yang disodorkan kepada penonton adalah mereka dalam kejaran bajak laut di Straits of Malacca tahun 1874. Dengan ketegasan dan keberanian seorang pemimpin, Alice yang diminta asisten untuk menyerah saja karena mustahil bisa kabur tidak mau. Alice yang menjadi pemimpin ekspedisi kapal ayahnya The Wonder bertanggung jawab penuh atas keselamatan. The only way to archieve the possible is to believe it’s possible. Lalu judul utama muncul.

Di London setelah perjalanan Alice mengarungi samudera banyak perubahan. Ayahnya meninggal, warisan itu tinggal menyisakan kapal The Wonder. Dan kapal itu kini akan dijual kepada Hamish Ascot (Leo Bill), calon suami Alice di seri pertama namun gagal menikah sehingga ia kini menikah dengan gadis lain. Situasi sulit ibunya itu memaksa satu-satunya warisan almarhum dijual untuk diganti dengan rumah. Tentu saja Alice marah kepada ibunya, ia adalah seorang penjelajah sejati. ‘The last thing I want is an end like you’. Kalimat ini nanti akan jadi ironi. Bersamaan dengan itu ia diikuti seekor kupu-kupu biru – Blue Butterfly – jelmaan Caterpillar Absolem (disuarakan oleh alm Alan Rickman) yang bilang: ‘Kamu pasti  Alice’, dan memberitahu situasi di dunia bawah tanah sedang ga bagus sehingga memintanya untuk ke sana. Melalui cermin ajaib, Alice kembali ke dunia fantasi. Di balik cermin dirinya jadi kecil, bertemu dengan karakter bidak catur yang hidup. Dan saat melangkah keluar pintu ia terjatuh dari langit. Adegan inilah yang terbaik. Memasuki dunia tak terbayangkan layaknya mimpi yang kabur. Ketika akhirnya mendarat di bunga dan bertemu teman-teman lamanya, dialog terbaik tersaji dengan nikmat. Beruntun teman-temannya teriak.

Bayard (Timothy Spall) bilang ‘Alice!’, disusul White Rabbit: ‘Akhirnya kamu di sini.’ Si Kelinci mendekat lalu mengusap wajah penuh sayang. March Hare menyahut: ‘It’s that girl again!’ Tweedledee menyahut, ‘Kamu kembali’. Dan Bandersnatch mengaum yang mengakibatkan sang Kelinci terhempas. Auman sapa itu dikomplain oleh Mallymkum (Barbara Windsor): ‘Don’t be nice to her. She’s late.’ Alice yang tampak senang sekaligus ragu tentu saja bertanya, ‘Apakah saya datang di waktu yang buruk?’ Lalu setiap karakter seperti berebut cerita bahwa kini Hatter Tarrant Hightopp  alias Mad Hatter (Johnny Depp) seperti orang gila. Frustasi. Lha bukannya emang dia gila? Yup. Kali ini ia benar-benar gila karena menyalahkan masa lalu. Denies himself laughter. Diskusi aneh ini ditutup oleh si Cheshire Cat (Stephen Fry) yang bilang, ‘We rather hope you might help us save him.’ Adegan demi adegan ini mungkin terlihat biasa buat sebagian orang, namun bagiku luar biasa. Amazing scene. Binatang-binatang itu berdebat layaknya manusia. Dunia antah yang menakjubkan.

Blue paper hats. Sebuah miniatur topi yang mengingatkan masa lalu Hatter itu membuatnya menyesali keadaan. Orang tuanya meninggal dan ia tak bisa berbuat apa-apa. Sidang para karakter unik ini menghasilkan kesepakatan, Alice harus memperbaiki masa lalu. Menyelamatkan detik-detik yang salah melalui sebuah benda bulat seperti bola pingpong bernama chronosphere.
Alice dikirim Miranda alias White Queen (Anne Hartaway) ke mesin waktu untuk mencuri benda itu dari Time (Sacha Baron Cohen). Masuk ke sebuah almari jam yang di dalamnya ada kehidupan detak detik. Di saat bersamaan ada Iracebeth alias Red Queen (Helena Borham Carter) yang diberi hadiah oleh Time sebuah mechanical device portraying, dimana boneka mini itu terlihat seperti adegan memenggal kepala. Sebuah anekdot terkenal sang ratu: ‘Off with their heads’. Alice berhasil mencuri chronosphere untuk menjelajah. Tentu saja Time marah dan mengejarnya. Chronosphere sendiri benda aneh yang penggunaannya setelah dilempar menjadi semacam kendaraan bulat yang di dalamnya bisa dinahkodai. Persis seperti kapal dalam menjelajah samudera, Alice tinggal memilih waktu mana yang akan ia kunjungi. Waktu mana yang harus ia perbaiki.

Dengan kejaran Time, Alice harus bergegas. Salah satu masa yang coba diperbaikinya adalah ke dunia masa kecil dua bersaudara Queen. Dan dari sana kita tahu alasan permusuhan itu. Kenapa kepala Red besar. Kenapa ada dendam. Tentang kue yang dicuri dan rasa bersalah yang terpendam. Alice bertemu dengan teman-temannya, namun tentu mereka tak kenal Alice yang datang dari masa depan.

Dalam pengejaran itu Time terperosok ke waktu minum teh Mad Hatter dan teman-teman, teriakan kelinci ‘Tea time forever’ itu dibuat lucux dan menggemaskan. Dimana Time marah kepada mereka sehingga waktu minum teh diulang terus selama satu menit, lalu ulang lagi, lagi dan lagi. Haha… nyeleneh. Unik. Not rasional.

Namun petualangan Alice di masa lalu teman-temannya ternyata sungguh rumit. Rasanya mustahil ia bisa menghidupkan orang tua Mad Hatter. Rasanya tak mungkin ia mengubah masa lalu menyedihkan kedua Queen. Rasanya benar-benar sia ia kembali ke negeri Underland. Namun film ini ada kejutan. Karena ini film Disney maka jangan harap kejutan itu mengecewakan penonton. Jelas happy ending. Kejutan apakah itu? Dengan aturan bahwa Alice tak boleh bertatap dengan dirinya sendiri di masa lalu, atau setiap orang yang menggunakan chromoshere tak boleh bertatapan, kalau terjadi tatapan orang yang sama maka dunia bisa hancur. Waktu Alice sangat menipis. Berhasilkah ia menyelamatkan orang tua Hatter? Berhasilkah Alice menyelamatkan kenangan?
Sutradara Tim Burton kini hanya duduk di kursi produser. Nahkoda kini dipegang James Bobin. Nama asing bagiku. Film dengan bertabur bintang ini memang tak maksimal. Andalan utama visualisasi. Dari poster sendiri terlihat janggal. Film tentang Alice, namun yang paling dijual adalah Johnny Depp. Seperti di Alice in Wonderland tahun 2010, di sequel ini sama saja. Mia bahkan hanya berlari di belakangnya, lalu dikelilingi ilustrasi jam dengan beruntun karakter yang diperankan oleh Sacha B. Cohen, Helen B. Carter, Anne Hartaway. Kupu yang disuarakan Alan Rickman dipisahkan tersendiri di ujung atas, kupu yang hinggap di petunjuk waktu. Pun dengan poster resminya. Johnny Depp mendominasi.

Film dengan tema seperti ini adalah genre favoritku. Imajinasi fantasi. Binatang bisa bicara. Mahkluk-mahkluk aneh menghiasi sepanjang film. Aturan waktu yang tak baku. Dunia pararel. Serta fantasi yang liar, jelas duniaku. Jelas genggamanku. Oke, sequel ini memang lebih baik namun beberapa karakter terlihat tak beda. Mulai bosan akting Depp? Bisa jadi. Apapun itu film dengan dunia fantasi seperti ini akan selalu kutonton. Lagi. Lagi. Dan lagi. Mudah-mudahan juri Oscar melirik design kostum Alice ala China yang menyilaukan itu.

Seperti biasa saya adalah penikmat cerdit title. Jangan beranjak ketika Alice berbaju putih tersenyum meninggalkan kita. Nama-nama cast and crew kali ini diiringi lagunya Pink. Muncul kartun-kartun lucu. Ada kupu-kupu kertas. Ada perebutan mahkota duo Ratu. Ada acara minum teh. Ada perpaduan langit dan laut yang indah. Lalu ketika Blue Butterfly terbang menjauh muncul tulisan: ‘Dedicated to our friend Alan Rickman: 1946 – 2016’

Terima Kasih Profesor Snape. True Legend. Tenang di sana.

Alice Through The Looking Glass | Directed by James Bobin | Screenplay Linda Woolverton | Cast Johnny Depp, Mia Wasikowska, Sacha B. Cohen, Helen B. Carter, Anne Hartaway, Alan Rickman, Rhys Ifans, Matt Lucas, Lindsay Duncan, Leo Bill, Andrew Scott, Richard Armitage, Timothy Spall, Stephen Fry, Michael Sheen, Joanna Bobin | Skor: 4/5

Karawang, 310816 – Lady Antebellum – Long Strect of Love

The Boy In The Striped Pyjamas #12

Featured image

Selesai membaca buku ini saya merinding. Sebuah buku tentang anak-anak yang ‘terjebak’ di tempat yang salah, namun buku ini jelas bukan untuk anak-anak. Kisahnya mengalir dengan tenang, sesekali ada kemarahan mencuat sampai akhirnya aliran itu tiba pada tebing curam yang mengakibatkan pembaca trenyuh. Mungkin ini salah satu novel terbaik tentang Perang dunia Kedua yang pernah kubaca. Tanpa banyak nasehat betapa perang itu kejam, tanpa ribuan senjata mengacung, tanpa adegan bombastis di medan laga. Dari sudut pandang Bruno, anak SD yang belum paham maksud kejadian di sekelilingnya. Kita diajak berpetualang di kam konsentrasi NAZI.

Cerita dibuka dengan perpisahan. Bruno kaget ketika pulang sekolah, kamarnya diacak-acak. Barang dan mainannya sudah dipak rapi. Ibunya lalu bertutur bahwa mereka akan pindahan. Ayahnya mendapat ‘promosi’ jabatan sehingga mengharuskan mereka pindah dari kota Berlin.

“Seberapa jauh tempat itu?” Tanyanya. “Pekerjaan baru itu maksudku. Apa lebih jauh dari dua kilometer? Lalu bagaimana dengan Karl, Daniel, dan Martin? Bagaimana mereka bisa tahu di mana aku tinggal kalua kami ingin melakukan sesuatu bersama?” (halaman 15).

Betapa polosnya anak-anak. Bruno yang betah di Berlin tentu saja kecewa berat mereka harus pindah. Teman-teman akrab, suasana yang menyenangkan, dan rencana-rencana besar mereka berantakan. Bahkan Bruno tak sempat berpamitan dengan mereka. Keadaan makin tak menyenangkan saat mereka tiba di rumah baru. Sempit, terpencil dan tentu saja asing. “kupikir ini ide yang salah.” Namun keputusan sudah diambil.

Bruno lalu curhat sama pelayan Maria yang selalu memanggil Master Bruno. Namun dia bisa apa. Tempat baru bernama Out-With tersebut benar-benar payah. Bruno yang suka petualangan merasa kesepian. Gretel, kakaknya walau mengeluhkan juga, mencoba berfikir positif. Walau dia awalnya juga sebal. Out-With berarti muak. Kelak kita tahu, maksud dari pembicaraan Bruno dan Gretel di halaman terakhir.

Bab 7 Ibu Ingin Dipuji atas Sesuatu yang Tidak Dilakukannya adalah bagian terbaik dari novel ini. Betapa talenta-talenta besar disia-siakan. Betapa lemah kita menghadapi kenyataan. Betapa pengecutnya kita menatap kebenaran. Bagian ini sempat membuatku menitikan air mata, dan makin deras saat adegan klimak. Kejutannya disimpan sampai benar-benar terakhir. Saya sendiri awalnya tak terlalu paham, arah plot ini. Namun di awal bab Rencana Petualangan Terakhir saya langsung curiga. Wah, jangan-jangan… Dan benar saja, ini bukan buku untuk anak-anak. Seperti yang disampaikan di back-cover yang biasanya berisi sinopsis di buku ini tidak ada. John malah memberi kita kata-kata tanpa arti.

“Membosankan? Putraku menganggap pelajaran sejarah membosankan? Biar kuberitahu, Bruno.  Sejarahlah yang telah membawa kita sampai ke saat sekarang ini. Kalau bukan karena sejarah, tak satupun dari kita akan duduk di depan meja ini sekarang. Kita pasti akan duduk-duduk nyaman di depan meja makan rumah kita di Berlin. Di sini kita sedang mengoreksi sejarah.”

Sejarah. Oh perjalanan kelam abad 20 itu mudah-mudahan takkan terulang lagi di belahan bumi manapun.

The Boy In The Striped Pyjamas | by John Boyne | copyright 2006 | alih bahasa: Rosemary Kesauli | GM 402 07.047 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | cetakan pertama, Juli 2007 | ISBN-10: 979-22-2982-5 | ISBN-13: 978-979-22-2982-0 | Skor: 4/5

Karawang, 120615 – sometimes…

#12 #Juni2015 #30HariMenulis #ReviewBuku

Good and Bad in Oscar 2014

Tulisan lanjutan mengenai pesta perhelatan akbar Oscar 2014. Berikut lima hal yang menurut saya terbaik dan terburuk:

Good:

1. Ellen Is The Best Choice!

Gambar

Mega selfie-nya bikin twitter sampai nge-hang gara-gara retweet (RT) foto ini. Awalnya saya kira komputer warnet ngadat sehingga saya refresh berkali-kali ga muncul new tweet. Akhirnya saya tahu penyebabnya, tweet Ellen memecahkan rekor RT. Kurang ajar, kompor meleduk. Belum lagi adegan pizza, minta receh, sampai dandan peri yang mengundang tawa. Acara Oscar tampak cair dan sungguh nikmat dilihat. Ellen adalah pilihan bagus untuk MC tahun ini, semua orang pasti setuju.

2. Photobomb Benedict

Sebagai Sherlock yang jenius, Khan yang kejam dan naga Smaug yang gila  dalam diri seorang Benedict Cumberbath tentunya kita mengira dia mengalir darah seorang serius. Saat foto red carpet U2, Benedict bergaya konyol di belakangnya. Aneh, unik, konyol sekaligus keren. Ada yang mau niru?

3. Lupita Dalam Pidato Emosionalnya

Gambar

Benedict Cumberbath terlihat matanya merah dan sedikit menitikan air mata mendengar pidato kemenangan Lupita. Saya-pun terharu.

“It doesn’t escape me for one moment that so much joy in my life is thanks to so much pain in someone else’s. And so I want to salute the spirit of Patsey for her guidance. And for Solomon, thank you for telling her story and your own.”

4. Gravity Menang Besar

Ya, saya terkejut. Kemenangan besar Gravity dengan meraup tujuh dari sepuluh nominasi membuat saya geleng-geleng kepala. Apalagi mereka menang beruntun di pengumuman awal jadi sempat berpikir, jangan-jangan sapu bersih. Syukurlah tak terjadi: Best Director, Visual Effects, Cinematography, Film Editing, Sound Editing, Sound Mixing, and Original Score. Deretan piala yang membuat David O. Russels gigit jari.

5. Leto Membayar Janjinya

Sebelum Hari-H Jared Leto memberitahukan publik bakalan pidato yang menggugah seandainya dia menang, dan benar saja saat namanya disebut, dia pun mempersembahkan kemenangannya untuk 36 juta orang yang kalah (meninggal ) dalam melawan AIDS.

“Di 1971 Boger City, Louisiana, ada seorang remaja perempuan yang hamil anak keduanya. Dia keluar dari SMA dan menjadi seorang ibu tunggal, entah bagaimana caranya berhasil memberikan kehidupan yang layak untuknya dan anak-anaknya.  Dia mendorong anak-anaknya untuk kreatif, bekerja keras dan dia adalah ibu saya. Dia ada di sini malam ini. Kemenangan ini juga kutujukan untuk semua orang yang merasa diperlakukan tak adil karena siapa dirimu dan siapa yang kau cintai,”

Bad:

1. Pink

Untuk memperingati anniversary film The Wizard of Oz. Pink menyanyikan lagu ‘Somewhere Over the Rainbow’. Dengan latar yang mencerahkan, sayang penampilannya hari ini sedang tak bagus.

2. Leo Kalah Lagi

Gambar

Walau sudah terprediksi Mathhew bakalan menang, namun saya tetap sedih melihatnya sedih karena kalah lagi. Karir panjangnya selama lebih dari 20 tahun tak segera berbuah Oscar satu pun. Padahal kita semua tahu, film yang dibintanginya selalu berkualitas. Mungkin hanya satu yang flop, sisanya adalah film kaliber Oscar. Lihat mimik Jonah Hill yang duduk di belakangnya saat pengumuman dibacakan, walau dia bertepuk tangan namun wajahnya melirik Leo terlihat kasihan. Tatapan itu seperti mewakili seluruh fan Leo di dunia. Setelah empat kali gagal, entah sampai kapan sang mega-bintang akan meraihnya. Tetap semangat, better luck next time bro!

3. U2 Mengigau

Gambar

Entah kenapa dengan U2, legenda pop yang sudah malang melintang di dunia tarik suara itu seakan redup bintangnya saat menyanyikan soundtrack Mandela: Long Walk to Freedom. Wajar saja mereka kalah dengan Idina Menzel yang dengan cerianya menghentak panggung dengan Let It Go! Saya menguap mendengakannya.

4. Jen-Law Slip Again

Tahun lalu si cantik Jennifer Lawrence terpeleset ketika dia menang best actress, saat itu dia dua kali mendapat nominasi. Saya maklum, mungkin mentalnya belum siap dan usianya yang masih sangat muda untuk sebuah penghargaan besar. Kemarin di acara yang ketiga kalinya dia hadir, dia kepleset lagi. Semacam ritual jatuh agar juara? Ough!

5. Ada Apa Dengan Alfonso?

Sepertinya dia belum siap naik ke atas panggung, ataukah terkejut filmnya menang? Saat pengumuman pemennag best editing untuk film Gravity dia seakan seseorang yang pertama kali di depan umum, seperti demam panggung. Nyelonong begitu saja ‘saat pidatonya belum selesai’. Walau akhirnya dibalas saat pidato best director namun tetap saja, hal ini membuatku mengernyitkan dahi.

Karawang, 040314

all in one

Gambar

Teman saya seorang maniak fotografi dan karikatur mengabadikan sebuah momen di lift baseman Mal Gandaria City. Saya ga tahu berapa tepatnya yang masuk lift yang jelas gambar ini saya suka. all in one!

taken picture by: Arief Noor Iffandi