Dan Benar saja, Cantik itu Luka

Cantik itu Luka by Eka Kurniawan

Menanti Pangeranku datang, untuk membebaskanku dari kutukan wajah buruk rupa.” – Si Cantik

Riwayat Halimunda. Kalau saya memulai tulisan ulas novel-nya Jorge Amado: Gabriela, Cengkih, dan Kayu Manis dengan kalimat: “The Chronicles of Ilheus,” maka saya membuka ulasan Cantik Itu Luka dengan kalimat itu. Di kota fiksi inilah, kita diajak bersafari dari sebelum, saat, dan setelah Indonesia merdeka. Memiliki tanggal cantik sendiri untuk dirayakan sendiri, 23 September sebab informasi proklamasi terlambat sampai, kebusukan moral polisi penjahat di setiap sudutnya, hingga tokoh fiksi yang sejajar Jenderal Sudirman. Fakta dikaburkan imaji, dibubuhi segala penyedap kegemparan masa itu, dan taa-daa… jadilah novel liar.

Dibuka dengan kutipan berikut, “Dan kini, setelah baju zirahnya dibersihkan, bagian kepalanya diperbaiki jadi sebuah topi baja, kuda dan dirinya sendiri punya nama baru, ia berpikir tak ada lagi yang ia inginkan kecuali seorang nyonya, pada siapa ia anugerahkan kekaisaran hatinya; sebab ia sadar bahwa seorang ksatria tanpa seorang istri adalah sebatang pohon tanpa buah dan daun, dan sebongkah tubuh tanpa jiwa.” – Miguel de Cervantes, Don Quixote

Kisahnya merentang jauh sebelum Indonesia merdeka. Semuanya tentang manusia-manusia patah hati, hampir semuanya ding karena ada satu dua orang yang begitu nyamannya menjalani hidup ini, mengalir saja. Yang jelas, ketika cinta membuncah, apapun akan dilakukan, apapun akan dikorbankan. Dan ini terus berulang, tata cara bercerita bagus, di mana kita dibocori sedikit kejadian akhir, baru dijelaskan kronologinya. Maka polanya campur, beberapa dilakukan flashback per bab. Dan karena ini novel tebal, banyak karakter yang memiliki riwayatnya sendiri dengan rentangan panjang. Titik hidup tiap tokoh diolah sedemikian rupa sehingga pembaca diseret serta emosinya. Tak ada tanda tanya, semua nasibnya jelas. Hanya beberapa yang samar, saat melibatkan dunia mistik. Dan itu, kembali lagi ke basic absurditas: tafsir bebas.

Pusat cerita sejatinya ada di Dewi Ayu, tapi kita disuguhi pondasi yang sama kuatnya pada masa orang-orang sekelilingnya. Terlahir dari orang Belanda yang menjajah kita. Dengan drama memilukan sebab pasangan wong cilik Ma Iyang yang dipaksa keadaan jadi gundik dan terpisah sama kekasihnya Ma Gendik. Sejarah dua bukit yang dibangun dengan pondasi bunuh diri. Saat Dewi usia remaja, Indonesia diduduki Jepang, dan kehidupan mewahnya mendadak longsor. Para gadis keturunan kala itu adalah tawanan, dan dijadikan pelacur oleh Mama Kalong.

Tak seperti para gadis lainnya yang khawatir dan ketakutan, Dewi Ayu menghadapi kenyataan dengan tegar dan lantang. Entah ide dari mana, menyimpan emas di kubangan kotoran? Penjajahan Jepang yang secara tahun hanya berhitung jari, mencipta kegetiran hingga masa kemerdekaan menjulang. Di Halimunda, karena informasi proklamasi terlambat maka diperingati RI-nya tiap 23 September. Perang kemerdekaan pecah, setiap warga memiliki kewajiban melawan Belanda yang kembali ke Indonesia. Begitu juga Halimunda, tersebutlah para karakter unik yang mengelilinginya.

Dewi Ayu memiliki tiga anak: Alamanda, Adinda, dan Maya Dewi. Dan ketiganya saling silang membelit rumit.

Maman Gendeng seorang jagoan yang mengingin menikahi wanita tercantik di Halimunda yang ternyata sudah jadi mitos. Ia tetap tinggal di sana dengan menantang kepala preman, manusia kuat yang berhari-hari tarung di pantai menjadikan Maman penguasa. Ia lantas menikah dengan Maya Dewi, anak paling baik, yang polos dan baik hati. Menikah tak seserhana itu, di usia 12 tahun dan harus menunggu balig untuk malam pertama!

Shodanco adalah pejuang kemerdekaan. Turut serta mengusir penjajah, ia setara Jenderal Sudirman. Namun keputusannya bertahan di Halimunda membuatnya hanya sekelas kepala Rayon, maka ialah pihak berwajib tertinggi di sana. Mengatur kota yang busuk. Menikah dengan Alamda dengan drama menjijikkan. Shodanco tahu Alamanda punya kekasih yang sedang kuliah di Jakarta, Kliwon. Maka saat lengah ia melakukan perbuatan bejat di hutan. Pasangan yang tampak ideal ini memiliki noda di dalam rumah tangga. Hubungan suami istri tak bisa serta merta senormal pasangan lain, sebab Alamanda melakukan protes. Bahkan saat lengah, dan akhirnya ia hamil, terjadi kegemparan sebab jabang bayi di perutnya secara misterius raib.

Shodanco dan Maman malah berteman, mereka sering main dadu di pasar. Keduanya memiliki kekuasaan, yang satu polisi yang lain preman. Keduanya memiliki mertua palacur kondang. Saling silang saling mengisi hari-hari pasca merdeka.

Sementara manusia cerdas Kliwon yang patah hati melengkapi kepahitan. Kliwon digambarkan idealis, tokoh komunis yang tegar dan cerdas. Hanya keadaan yang memaksanya terpuruk.  Menikah dengan Adinda. Kliwon adalah kepala Serikat Nelayan. Bayangkan, ketiga saudari ini memiliki pasangan yang tak lazim. Polisi, ketua serikat, kepala preman. Gmana rasanya pas ngumpul arisan keluarga, apa tak riuh dan jotos-jotosan?

Namun drama sejatinya dicipta di ujung. Para cucu Dewi Ayu yang membuat onar, cucu pertama Nur Aini dari Alamanda digambarkan begitu mengayomi saudara-saudaranya. Cucu kedua Krisan dari Adinda yang seperti ayahnya, begitu lantang isi kepalanya, imajinatif. Cucu ketiga dari Maya Dewi, Rengganis yang paling cantik dari semua yang tercantik. Dan benar saja, cantik itu luka.

Di suatu siang terjadi kehebohan di sekolah sebab Rengganis masuk ke kelas dalam kondisi telanjang dan mengaku diperkosa anjing di toilet kumuh sekolah. Inilah mula malapetaka keluarga ini. Carut marut kehidupan fana dengan pijakan hikayat kota Halimunda. Kalian mungkin bisa menebak siapa pelakunya, tapi yakinlah kalian pasti turut terluka akan tragedi bertubi ini.

Oiya, Dewi Ayu pada akhirnya memiliki anak keempat, yang lain daripada yang lain: Si Cantik. Mantra jahat dilempar, adu kekuatan gaib dilakukan. Hanya yang terkuat yang berhasil berdiri kokoh di ujung cerita.

Sudah memilikinya sejak Februari 2018, waktu itu sampul baru warna merah, tersebab ingin koleksi saya ambil yang hard cover, baru kubuka segelnya awal Juli 2022 sebab lihat edisi anniversary 20 tahun dengan sampul biru, dan gegas kubaca. Target selesai bulan Juli bisa terealisasi di akhir bulan. Dibaca santai sehari per bab, atau saat jeda dari bacaan lain.

Novel ini dengan cerdas memainkan sisi psikologi semua karakter. Saat jatuh cinta, sejatuh-jatuhnya seolah cewek incaran itu seolah segala-galanya. Sekalipun esok berubah pikiran, dan bercinta dengan cewek lain dengan dalih tanpa rasa cinta. Dan juga mengisi kepahitan di setiap generasi, kesedihan ditabur di segala keadaan. Tak ada manis-manisnya. Kliwon dan Adinda misalnya, pasangan ideal yang dipaksa pisah karena memang tak dijodohkan oleh penulis.

Sebagai novel paling unggul Eka Kurniawan, jelas ini paling kompleks permasalahannya, dan yang paling keren. Ini adalah buku kelima yang kubaca setelah: Lelaki Harimau, yang terkamannya menghebat itu. Seperti Dendam, yang penuh makian. O, si monyet dangdut. Kumpulan Budak Setan, yang terinspirasi Abdullah Harahap. Dan cerpen Sumur yang dicetak mungil. Polanya menurutku: dua novel pertama ditulis dengan semangat pemuda membara sehingga Cantik dan Lelaki memakai pola bab panjang yang nyaman dan detail mengagumkan, sangat mengagumkan. Novel ketiga, Seperti Dendam malah penurunan sebab memakai pola penggalan kalimat-kalimat seolah fiksi mini yang dirajut acak. Begitu pula novel keempat, O. Kenyamanan itu terdistorsi. Dan itulah kurasa, jelas tak sebombastis duo pertama. Kesamaannya, semua adalah fiksi dewasa dengan makian bebas, adegan percintaan bebas, serta kebebasan meneriakan hal tabu. Untuk itulah fiksi jadi menarik.

Novel berikutnya kuharap kembali memakai pola duo mula, sabar, telaten mencipta alur, sehingga panjang meliuk-liuk. Kutunggu dengan tak sabar.

Cantik itu Luka | by Eka Kurniawan | GM 617202031 | Copyright 2002 | Penyelia naskah Mirna Yulistianti | Pemeriksa aksara Sasa Galih, Arasy | Desain sampul Orkha | Setter Fitri Yuniar | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Pertama kali diterbitkan oleh AKYPress dan Penerbit Jendela, Desember 2002 | Cetakan pertama, Mei 2004 | Cetakan ketiga belas (Hard Cover) Desember 2017 | ISBN 978-602-03-6651-7 | Skor: 5/5

Karawang, 030822 – 090822 – 240822 – Billie Holiday – God Bless the Child

Thx to Gramedia World Karawang & Widi Satiti

Mengarang Novel itu Gampang #26

“Siapa yang melarang? Kau menjadi pengarang, berarti kau membuat sendiri, mencipta sendiri.”

Luar biasa. Ini seolah menampar wajah para penulis yang masih gamang. Dibuat dengan model tanya jawab, saat-saat membacanya mencipta kalimat ‘iya ya, iya ya… terasa mudah, terasa gampang’. Sesuatu yang malah sangat amat menohok keragu-raguan. So far, buku motivasi menulis terbaik yang pernah kubaca. Ga kebanyakan teori, ga kebanyakan motode, cas cis cus, gegas tulis. Rasanya, akan malu bila kita yang manggut-manggut tak mempraktekkan gayanya. Ini buku kedua beliau yang kubaca, dan memang legend almarhum abah Arswendo ini. Salut.

Ini adalah sekuel dari Mengarang itu Gampang. Saya belum baca, akan kukejar cari. Kali ini fokus ke novel, di mana pengarang butuh perjuangan ekstra. Ini mengarang novel yang lebih membutuhkan napas yang panjang. Tak seperti cerpen yang spint, novel adalah bentuk lari marathon.

Sejatinya, selalu yang paling penting adalah praktek. Tak ada rumus yang paling pas bila ingin jadi penulis selain tulis! Sekarang! Keluhan utama adalah waktu, dan selalu kutemui jawabnya, waktu yang diberikan kepada semua orang sama. Mau sesibuk apapun, mau senggangur apapun, mau sejungkir balik bagaimanapun, waktu sehari adalah 24 jam.

Nasihat umum yang sekali lagi dipertegas ini. Mau kujelaskan cara mengelola waktu, rasanya kalian sudah paham teori manajemen waktu, jadi tak perlu deh. Saya ketik dan bahas bagian-bagian yang rasanya layak kutulis ulang, kubagikan kepada pembaca blog ini.

Pertama, teori menulis novel yang begitu penting adalah eksplotasi. Novel yang lebih tebal, bagaimana cara menjelaskan cerita, yaitu caranya dengan eksploitasi. Tokoh itu dikembangkan. Direntangkan, dipendekkan. “Pada saat mengetik, kamu sudah mulai dengan apa yang ‘telah selesai’ dalam kepalamu.” Ulasan, pengembangan, warna, semacam ini terjadi – diperlihatkan kepada pembaca – dari peristiwa. Ini yang memperkuat dan menjadi ikatan cerita. Titik tolak bisa dari apa saja. Dari mana saja. Yang penting eksploitasinya.

Kedua, pada dasarnya sebuah novel, adalah perkembangan karakter dari pelaku-pelakunya, perubahan, pergolakan, dan dalam rangkaian itu sebenarnya cerita sebuah novel. Itulah yang kita kenal dengan istilah, “jalannya cerita” atau “isi cerita.” Di novel kita banyak ditemui cara bercerita yang keluar konteks. Bukan sekadar bunga-bunga kata, tetapi merupakan rangkaian yang menyatu dalam kerangka besar. Ibaratnya titik-titik kecil dari sebuah gambar mosaik yang besar. Ketika kita menceritakan salah seorang tokoh, ceritanya berjalan. Rangkaian peristiwa terjalin, acuan dramatis berlangsung. Yang menggariskan dasar cerita adalah waktu.

Ketiga, latihan pengembangan kata. Praktek men-sinonim-kan kata terasa mudah, hanya sepuluh kata sepadan. Tidak mungkin tidak kautemukan. Pokoknya digali terus. Kata melihat contohnya, dengan gercep kita dapati lebih dari sepuluh sinonim. Memandang, menatap, melotot, menerawang, memfokuskan, melirik, mengedip, dst. Nah, variasi kata ini perlu agar pilihan diksinya lebih enak.

Keempat, dalam mengarang, pada dasarnya kita ini sedang mengadakan satu pembicaraan. Antara pembaca dengan pengarang. Dalam hal ini pengarang bisa berdialog langsung dengan pembaca, bisa juga melalui tokoh-tokohnya. Bisa dua-duanya sekaligus. Disesuaikan dengan keseluruhan. Akan tetapi realita bukan hanya yang berkaitan dengan tokoh-tokoh yang berdialog. Realitas itu juga merupakan realitas keseharian.

Kelima, bagaimana penggunaan dialek dalam narasi? Sebaiknya jangan, kecuali kalau pengarang memakai bentuk aku, dan dalam hal ini bercerita secara langsung kepada pembacanya, yang seusia dan sederajat. Dalam mengarang rangkaian penggambaran semua ini merupakan bagian yang direncanakan, bagian yang secara sadar diolah. Makanya, bahasa daerah/asing baiknya tak dicantumkan dalam narasi tak langsung. Bahasa Indonesia itu kaya, sebisa mungkin dipakai, terlalu cetak miring itu bikin tak nyaman pembaca. Memang paling bagus menjalani sendiri, dengan begitu perasaan itu otentik. Kamu sendiri bisa langsung merasakan. Dan menemukan ide-ide penulisan di situ. Terasa kekayaan bahasa dan warna untuk penggambarannya.

Keenam, lokasi cerita ya di sekitar kalian tinggal. Itu lebih pas dan mengena, bukan tempat jauh sekadar hasil imajinasi. Kamu akan lebih mengenal Bekasi ketimbang Belfast, kamu lebih tahu tugu Monas ketimbang Menara Eifiel, jadi pilih setting di mana kalian mengakrabinya.

Ketujuh. Karena unsur seks banyak sekali ragam dan bentuknya yang mudah sekali menyesatkan seorang pengarang. Ya, unsur seks itu makrum ada di banyak cerita. Bedanya, cara pengembangannya ekplisit atau implisit. Tak kayak stensilan yang ujug-ujug bercinta, atau menjelaskan detail adegan. Semakin indah dalam absurditas, adegan seks makin unik.

Kedelapan, unsur humor juga sangat penting. Semua novel tiba-tiba saja menjadi serius, gawat, dan berat persoalannya. Padahal kalau ada unsur humor, bisa lebih segar. Menciptakan greget hidup adalah kata lain dari memanjakan kemungkinan, menelurkan hipotesa. Humor tak melulu harus sampai ngakak, adegan-adegan standar sekitar kita justru yang paling ideal sebab akan melibatkan emosi pembaca.

Terkahir, percaya proses. Kalau sudah niat, kalau sudah ketik-ketik, kalau sudah mulai, harus diselesaikan. Pastikan ada garis finish di ujung sana. Sebab untuk dijadikan buku memang harus ada titiknya, terserah mau setebal apa, mau bergenre apa, mau ke penerbit mana, yang penting adalah jadi buku. Semua itu berproses.

Rendra tidak begitu saja muncul dengan Blues untuk Bonnie, Affandi tidak tiba-tiba saja bisa memlototkan cat langsung dari tube ke kancas,. Sardono tidak tiba-tiba saja menemukan Samgita atau Cak Rina, Arifin C. Noer tidak begitu saja menaklukkan panggung dengan segala adegan yang paling muskil, Danarto tidak begitu saja menjadi Adam Ma’rifat, Putu Wijaya tidak lahir sudah edan. Para jawara ini bergulum dalam proses, menjadi satu, mengalir, hanyut, dan mata batin yang siap dan terbuka.

Jadi siap untuk menulis novel? Gaaas… Ukurannya adalah pendekatan kreatif.

Mengarang Novel itu Gampang | by Arswendo Atmowiloto | GM 84.123 | Penerbit PT Gramedia, 1984 | Secara bersambung pernah dimuat di majalah Hai tahun 1983 | Skor: 5/5

Karawang, 260622 – Etta James – At Last

Thx to Saut, Jakarta

#30HariMenulis #ReviewBuku #26 #Juni2022

Sumur #16

“Setiap buku langka adalah buku curian.”

Satu cerpen dalam satu buku. Terdengar gila ‘kan? Gila nggak? Ya aja deh. Biasanya kita disuguhi kumpulan cerpen, minimal dua atau tiga cerpen. Berarti ini diluar biasanya, hanya Eka Kurniawan yang bisa. Penulis lokal dengan ketenaran dan jaminan mutu. Hebatnya lagi, laris. Dari beranda sosmed saat masa pre-order dibuka dari harga 50k menjadi 40k, banyak sekali toko buku daring yang pajang sold out. Mendekati hari H penutupan, saya yang penasaran malah ikutan klik beli. Dan, setelah #unboxing, ini benar-benar satu cerpen dijual lima puluh ribu rupiah! Dibaca lima menit. Kalau value biaya (saat ini) jelas kurang worth it, tapi kembali ke kualitas yang utama. Eka adalah brand, di mana namanya yang tercetak di sampul memberi rasa penasaran, minimal ada keinginan menikmatinya.

Cerpen ini pertama terbit dalam bahasa Inggris di antologi Tales of Two Planets dengan judul ‘The Well’ yang diterbitkan oleh Penguins Books tahun 2020. Kisahnya tentang hikayat sejoli yang saling mencinta tapi kandas karena keadaan. Lihat, tema usang kasih tak sampai kalau dicerita dengan mantab menghasilkan thriller bermutu.

Adalah Toyib yang sedari kecil mencintai Siti dari kampung sebelah. Setiap pagi berangkat sekolah bersama, kadang berdua, kadang ramai-ramai. Garis nasib mencipta, ayah keduanya berduel hingga ayah Siti mati. Gara-gara sepele, masalah pembagian pengairan sawah. Ayah Toyib setelah kabur ke hutan, berhasil ditangkap lalu dibui. Keadaan ini jelas turut serta membawa sejoli ini merenggang, ada aib dan sengsara yang memisahkan mereka.

Setelah empat tahun delapan bulan, ayah Toyib bebas. Ia banyak belajar memperbaiki mesin semasa di penjara. Ia bahkan berhasil mengumpulkan uang dengan jasanya, dan uang itu ingin diberikan kepada Siti, lewat Toyib. Berat, tapi diiyakan.

Nah, ada sebuah sumur di lembah, di balik bukit seberang perkampungan. Satu-satunya sumber air yang bisa diandalkan. Siti melaksanakan tugas mengambil air, Toyib juga. Kesempatan ini dipakai untuk menyampaikan niatnya. Sore itu mereka bertegur sapa dalam canggung. Saat niat utama disampaikan, hanya satu kata yang terucap dari sang gadis, “Tidak.”

Siti yang coba menghindar terjatuh dan luka kakinya, Toyib mencoba membantu. Berikutnya seolah mendapat amanat memikul dua ember untuk dua keluarga ini. Siti diam, dan dianggap sepakat saja. Waktu lalu mencipta perubahan, Toyib diterima masuk rumah dan ibu Siti yang menerima bungkusan tersebut. Saat ditanya di mana Siti? Ternyata sudah berangkat merantau ke kota. Pupus sudah harapan itu…

Dan begitulah, perpisahan tanpa kata-kata itu mencipta jarak yang sungguh lebar. Kabar satu tertimbun kabar lainnya, masa membawa manusia-manusia ini dewasa dengan sangat cepat. Siti menikah, Toyib patah hati dan berniat mencari kerja ke kota, tragedi lain terjadi, dan sekali lagi saat ada kesempatan kedua, akankah cinta pertama ini dapat dipersatukan?

Pertanyaan mendasar orang yang menikah, “Apakah kamu bahagia dengan pernikahanmu?” Sejatinya bukan khusus untuk orang-orang pacaran yang kandas ke pelaminan. Ini pertanyaan umum, bahkan bagi pasangan yang saling mencinta, saling berjanji sejati, saling sepakat untuk setia, menikahi orang terkasih. Masa akan melindas banyak sekali kenyataan pahit manis, dan pertanyaan itu layak diapungkan juga. Dunia fana yang membuncah tanya, masa depan yang misterius.

Dihadiahi jaket buku yang manis dan pembatas buku sederhana dengan pesan makjleb dari Penerbit. “Terima kasih telah membawa pulang Sumur karya Eka Kurniawan. Buku ini hanya dicetak sekali. Pada suatu saat nanti dia akan menjadi langka. Semoga kamu senang membacanya. Seperti kami yang bersuka cita saat menyiapkan kelahirannya.” Semoga saja benar hanya dicetak sekali, karena antusiasme yang tinggi dan gegap gempitanya terasa, setelah sebulan terbit hypenya masih meriah, akankah suatu masa berubah pikiran? Ya, saya sepakat suatu hari akan langka. Kriteria langka itu bagaimana? Burt Auerback, juru tafsir buku langka di Manhattan pernah bilang, “Buku langka adalah buku yang harganya jauh lebih mahal sekarang daripada saat diterbitkan.”

Kolektor buku dari Amerika, Robert H. Taylor berkata, “Buku langka adalah buku yang sangat kuinginkan dan tidak bisa kutemukan.” Saat orang-orang menjawab serius, mereka semua sependapat bahwa ‘rare’ – langka, adalah istilah yang sangat subjektif. Satu-satunya kualitas ‘langka’ yang disepakati para kolektor adalah kombinasi kejarangan, kepentingan, dan kondisinya.

Ada kasih unik masalah ini, buku langka Tamerlane and Others Poems ditulis oleh pengarang tanpa nama yang hanya diidentifikasi sebagai, “Seorang Warga Boston.” Lalu berjalannya waktu baru diketahui ternyata adalah karya Edgar Allan Poe saat berusia 14 tahun. Buku setelah 40 halaman yang dicetak tahun 1827 oleh percetakan yang biasa mencetak resep, harga awalnya hanya 12 sen, dan kini setelah ratusan tahun berselang harga dalam lelang bisa mencapai 200 ribu dollar! Nilai Tamerlane yang biasa-biasa saja saat pertama terbit, tampak biasa saja, dibuat hanya 50 sampai 500 eksemplar, kini menjadi legenda dan tercatat hanya ditemukan 14 buku. Lihat Sumur, kita bukan cenayang, tapi kalau Penerbit komitmen tak mencetaknya lagi, tak sampai seratus tahun lagi bukankah tak mustahil berwujud prediksinya? Mirip semua ‘kan, kecuali nama Eka yang memang sudah sungguh terkenal.

Kasus dalam negeri yang paling terkenal tentu saja buku-buku awal Pram, harganya menggila. Semakin lama cetakannya semakin mahal. Saya pernah lihat di posting Facebook, ‘Arus Balik ‘dihargai sejuta lebih, kukira penjualnya gila. Eh ternyata ada komentar pembeli, itupun disusul komen lainnya yang turut antri!

Dalam buku, The Man Who Loved Books Too Much karya Allison Hoover Bartlett, “Selain menjadi kendaraan untuk menyampaikan kisah (dan puisi, informasi, referensi, dll) buku merupakan artefak sejarah dan tempat berkumpulnya kenangan. Kita senang mengingat-ingat siapa yang memberi buku kepada kita, di mana saat kita membacanya, berapa usia kita, dan sebagainya.” Jadi semakin jelas alasan kenapa Sumur harus dicetak. Sepuluh dua puluh tiga puluh tahun lagi, buku ini akan jadi semacam artefak, dimana keunikan dan rare tadi akan lebih menonjol daripada isinya.

Sumur dan misteri diam. Kebetulan saya lagi baca Kronik Burung Pegas-nya Haruki Murakami. Ada kisah bersisian, bagaimana sang protagonist merenung ke dasar sumur tua yang sudah tak mengeluarkan air. Menapaki kesunyian dan mencapai ketenangan luar biasa, semadi yang menghasilkan tompel dan segala tanya dunia antah di dimensi lain. Sumur yang ini lebih kalem, perannya seolah hanya menjadi saksi biru cinta kandas dan membuncah. “Kamu bertemu Siti di sumur?”

Sumur | by Eka Kurniawan | GM 621202009 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Editor Mirna Yulistianti | Desain sampul & ilustrasi Umar Setiawan | Setting Sukoco | Cetakan pertama, Juni 2021 | ISBN 978-602-06-5324-2 | Skor: 3.5/5

Karawang, 160721 – The Cranberries – Animal Instinct

#30HariMenulis #ReviewBuku #16 #Juli2021

Buku ini kubeli di Kedai Boekoe, Bekasi. Saya ambil sepaket sama Misa Ateis-nya Honore de Balzac. Kunikmati saat isoman, menjadikan serangkai buku (dan film) yang berhasil kutuntaskan.

Putri Cina #15

Korsiah: “Oalah Tien, hidup ini sudah pahit, mengapa kamu masih mau mencari makanan yang pahit-pahit? Kamu ini seperti nyidham saja.”

Sifat orang Cina, senang menikmati kebadanan, tapi tak membenci kehorhanian. Padahal kata leluhurnya, hanya dengan menjadi sederhana kau dapat menemukan dirimu yang sesungguhnya. Epic memang, kata-kata mutiara ditebar di banyak tempat. Pepatah Cina, manusia itu seharusnya seperti burung, yang terbang tanpa meninggalkan bekas dan tapaknya.

Kisahnya panjang nan melelahkan, sepertiga pertama agak boring sebab menarik lurus ke balakang sejarah orang-orang Cina di tanah Jawa, agak berbelit dan seolah menikmati dongeng/sejarah. Sepertiga kedua baru kita memasuki are sesungguhnya, bagaimana arah cerita terbentuk. Dari kesenian keliling, bintang ketoprak seorang putri Cina yang menarik perhatian dua tentara/orang penting. Sepertiga akhir barulah meledak. Waktu mengubah mereka menjadi pejabat, tapi persaingan lama terus menggelayuti. Saat geger geden, eksekusi ending yang pilu disajikan. Klimaks, bagaimana susunan itu membuncah luar biasa. Sedih, tapi kisah yang bagus memang rerata berakhir dengan kesedihan.

Kisah utama sejatinya tentang Giok Tien, sang Putri Cina. Namun untuk ke sana kita diajak bersafari jauh ke masa lalu, riwayat orang-orang Cina mula di tanah Jawa, sejarah kerajaan-kerajaan di pulau Jawa yang terhubung dengan Negeri Tirai Bambu, lantas menyusut ke keturunan paling ujung yang ada di kisah ini. Di Tuban aku datang / ketika perahuku datang di Tanah Jawa. / Dari Tuban aku pergi / ketika selamanya aku harus meninggalkan Tanah Jawa.

Membawa serta kisah-kisah legendaris masa lampau. Tentu saja kisah Perang Bratayudha disebut, satu kerajaan Astina di bawah Kurawa dengan rajanya Duryudana, si sulung dari Kurawa sedang lainnya Kerajaan Amarta, di bawah Pandawa dengan Yudhistira, si sulung dari Pandawa. Buminya sudah ditaburi dengan darah dendam dan pembalasan. Semua hanya lanjutan darah Kurusetra, di ama nenenk moyang mereka, saudara sesama, berperang habis-habisan meninggalkan warisan dendam, sampai sekarang. Sabdopalon-Nayagenggong berkata, “Sesungguhnya sejarah hanya berulang. Apa yang akan terjadi kelak, telah terjadi sekarang. Dan apa yang terjadi sekarabf, telah terjadi dulu. Hamba tak perlu menyebut satu per satu riwayat pertikaian di Tanah Jawa yang tiada hentinya itu…”

Jadi memang sudah turun-temurun rasa itu, mengapa ia dan kaumnya selalu tergoda untuk mencari harta dan kekayaan yang berlebih-lebihan. Padahal leluhur mengajarkan berulang-ulang, untuk menemukan tao, jalan kebahagiaan itu, manusia tak boleh terikat akan benda atau harta apa pun jua.

Mega-mega berarak, membawa lamunannya terbang jauh ke padang bunga. Segala bunga tumbuh di sana. Satu-satunya bunga yang di sana taka da adalah mawar hitam yang kini menjadi wajahnya. Di manakah ua ketika tiada lagi wajahnya? Ia pun bertanya, siapa ia sesungguhnya, dan mengapa ia bernama Putri Cina?

Ngomongi Jawa tentu saja kisah wayang kulit disampaikan. Kyai Dhudha Nanang Nunung, “Semar punika saking basa samar, mapan pranyata Kyai Lurah Semar punika wujudira samar.” Semar itu dari kata samar, memang ternyata Kyai Lurah Semar itu wujudnya adalah samar.

Kemegahan Majapahir berakhir lalu muncullah kerajaan Islam. Raden Patah dipanggil dengan nama Jim Bun, nama Cina itu disandang olehnya saat sebagai Sultan Demak. Nama lengkapnya, Jimbun Ngabudir-Rahman. Para wali berpesan hendaknya raja yang baru bisa menjadi jembatan antara Jawa lama menuju Jawa baru, antara agama lama menuju agama yang baru.

Settingnya di era Kerajaan Medang Kamulan Baru atau nantinya diplesetkan jadi Pedang Kemulan. Awalnya damai dipimpin oleh Prabu Murhardo, tapi berjalannya waktu rakyat muak sama pemerintahan kerajaan sebab banyak huru-hara. Adalah Giok Tien, pemain ketoprak keliling Sekar Kastubo, gadis keturun Cina ini memainkan perannya dengan cantik. Memikat banyak penonton, dan salah satu penontonnya Radi Prawiro bahkan sampai obsesif mencintai membabi buta, ia mengejar sang Putri Cina ke manapun, menuntut untuk dijadikan istri.

Lalu muncul penonton yang juga mengaguminya bernama Setyoko. Ia sukses mempersunting dan membuat Giok Tien rela meninggalkan dunia seni yang ia cintai saat di puncak karier. Hati-hati bila sedang di puncak kehebatanmu. Sebab justru di puncak kehebatanmu itulah berada di titik kejatuhanmu. Di negeri ini kemunafikan adalah kekuatan luar biasa, yang bisa menjatuhkan siapa saja yang terjerat oleh hukum kemunafikan itu.

Sebelum pamit sama teman-teman teater-nya ia memerankan kisah legendaris Cina yang tragis. Eng Tay dan Sam Pek. Dulu memang di rumah orang-orang Jawa, kayu jati yang menjadi soko guru rumahnya selalu di-patek dengan bamboo sehingga keduanya menyatu. Persatuan itulah yang menyangga kokohnya rumah tersebut. Melambangkan agar keluarga yang menghuninya tak terpisah seperti cinta Sam Pek dan Eng Tay.

Lalu kisah ini seolah berakhir bahagia, mereka menikah dan pindah kota. Namun ini jauh dari kata itu, sebab kerajaan yang penuh huru-hara ini lalu membuat kebijakan yang tak bijak, mereka membuat aturan untuk menyingkirkan warga keturunan Cina. Cerita pilu ini sudah turun-temurun, langsung saya teringat tragedy 1998. Hiks, sedih banget. Kata K’ung Tzu, kemanusiaan itu melebihi api dan air. Manusia bis amati karena air dan api. Tapi kemanusiaan terus abadi, tak bakal mati oleh apa pun, juga oleh air dan api.

Kali ini kita di masa yang huru-hara dengan nama lain, yang ternyata Setyoko sudah menjadi Gurdo Paksi dan Radi Prawiro menjadi Joyo Sumengah. Keduanya ada di lingkaran pemerintahan tapi Setyoko masih lebih tinggi pangkatnya. Apes, saat itu ia mundur dan keris utama senapati ia lepas. Dan tragedi cinta segitiga ini-pun terjadi. Sedih, hiks…

Banyak hal ingin disampaikan. Benar-benar kisahnya liar. Kepercayaan di banyak area muncul. Para peziarah Gunung Kawi percaya, siapa kejatuhan buah Shianto di pelataran pesarean Eyang Djoego, ia akan mendapat rezeki, keberhasilan, dan kebahagiaan. Namun seolah memang dipadatkan.

Kata-kata mutiara juga berserakan. Liu Tsung-yuan, penyair kuno Cina bilang, “Aku tahu, usia tua akan tiba. Usia itu akan datang dengan tiba-tiba. Tahun ini mungkin aku belum menjadi lemah, tapi lama-lama ketuaan itu akan tiba juga. Gigi-gigiku akan berguguran, dan rambutku akan rontok…”

Manusia yang bahagia adalah dia yang berani lepas dari dunia, tapi tanpa membenci dunia. Seperti kata penyair Tao Yuan Ming, “teguklah dengan nikmat anggur dunia, tapi sekaligus jangan kauikatkan dirimu oada dunia, kehormatan, dan hartanya, sampai kau dibelenggunya.

Ojo dumeh, maksudnya kalau sudah sakti dan berkuasa janganlah lupa bahwa wong sekti ana kalane apes, pangkat bisa minggat, wong pinter bisa lali, rejeko bisa mati, donya bisa lunga… Dadi luhur iku ora gampang, sebab wong luhur iku wong sing asor. Menjadi luhur itu tidak mudah, sebab orang yang luhur itu adalah orang yang rendah hati.

Suatu hari buku ini akan jadi cult, sebab kisahnya menarik tapi tak sampai meledak di pasaran. Diskusi literasi yang disaji juga jarang kutemui, justru nama besar Sindhunata yang lebih mentereng ketimbang novel ini. Jelas rekomendari, nikmatilah sebelum terlambat. Dunia dengan segala keterbatasannya.

Dr. Gabriel Possenti Sindhunata, Sj lahir di kota Batu, 12 Mei 1952. Karya klasik terkenalnya, Anak Bajang Menggiring Angin. Tulisannya sudah wara-wiri di media massa, paling sering jelas di Kompas karena memang beliau wartawan Kompas. Telah menulis karya ilmiah, Dilema Usaha Manusia Rasional, Hoffen auf den Ratu Adil-Das eschatologische Motiv de “Gerechten Konigs” Bauernprotest auf Java wahrend des 19 und zu Beginn de 20 Jahrhundrerts (Menanti Ratu Adil-Motif Eskatologis dari Ratu Adil dalam Protes Petani di Jawa Abad ke-19 dan awal Abad ke-20), Sakitnya Melahirkan Demokrasi (1999), dan  Kambing Hitam, Teori Rene Girard (2006). Putri Cina adalah buku pertama beliau yang saya baca, dan akan kubaca beberapa karyanya setelah ini. ingat, kepuasan di pengalaman pertama akan mengantar kita ke pengalaman berikutnya oleh penulis yang sama, yang mungkin bukan karya ilmiahnya, setidaknya esai atau buku fiksi lainnya.

Catatan ini saya tutup dengan kutipan dari Chuang Tzu yang pernah berkata, “Jika saat berpulang telah tiba, aku hanya membutuhkan beberapa lembar daun pisang saja.” Untuk apakah semuanya, bila akhirnya manusia cukup dibaringkan di atas daun ketika ia untuk selamanya tidur? Sesuai endingnya yang pilu nan surealis…

Putri Cina | by Sindhunata | 617173013 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Ilustrasi dan desain sampul Orkha Creative | copyright 2017 | Cetakan ketiga, November 2017 | ISBN 9789792230796 | 304 hlm; 20 cm | Skor: 4/5

“Mengenang Koo Soen Ling, ibuku”

Karawang, 150721 – Netral – Terompet Iblis

#30HariMenulis #ReviewBuku #15 #Juli2021

The High Mountains of Portugal: Cinta yang Amat Besar, dan Rasa Kehilangan yang Tak Terhingga

The High Mountains Portugal by Yann Martel

Apakah ada artinya? Dari mana jiwa berasal? Ada beragam jiwa yang diasingkan dari surga. Jiwa tetaplah jiwa yang harus diberkati dan dibawa kepada kasih Tuhan.”

Apalah arti kita tanpa orang-orang yang kita cintai? Apakah ia berhasil bangkit dari duka? Ketika dia menatap matanya di cermin saat bercukur, hanya relung-relung kosong yang tampak. Dan dia menjalani hari-harinya bagaikan hantu yang membayang-bayangi kehidupannya sendiri. Buku tentang duka yang terbagi dalam tiga bab panjang. Tanpa Rumah, Menuju Rumah, Rumah. Semua adalah kesedihan kehilangan orang terkasih. Menguras air mata, takdir yang pilu. Tanpa rumah adalah sebuah kehilangan yang sempurna: ayah, kekasih, anak tahun 1904. Menuju rumah adalah kehilangan pasangan hidup, dokter spesialis patologi yang kebahagiaannya terenggut tahun 1939. Rumah adalah perjalanan duka dari Kanada ke Puncak pegunungan Portugal, pencarian rumah tahun 1989.

Semua yang tersaji bisa saja sekadar kisah pilu para lelaki rapuh yang ditinggal mati istrinya, tapi setiap sisi terselip perjuangan dan pencarian makna hidup. “Aku berbicara dengannya di dalam kepalaku, ia hidup di situ sekarang.” Jangan menyerah, kerelaan, waktu yang menyembuhkan, rutinitas akan menjadi imun hidup, dan seterusnya. Ternyata di sini malah dibuat dengan benang indah – atau kalau mau lebih lembut, koneksi sejarah – ketiganya berpusat di puncak dan tanya itu diakhiri dengan sunyi. Tomas merasa bagikan kepingan es yang terhanyut di sungai. Ketergantungan ini menciptakan semacam kesetaraarn bukan?

Pertama tahun 1904, adalah Tomas yang miskin. Pamannya kaya, memiliki pembantu cantik bernama Dora, kisah cinta mereka yang langgeng, memiliki Gaspar yang menyenangkan, tiba-tiba dihantam duka. Ketiga orang terkasih meninggal berurutan hingga membuatnya murka akan takdir. Dia kerap meratap, terlampau kerap sejak malaikat maut memberinya tiga pukulan telak. Kenangan akan Gaspar, Dora, atau ayahnya sering menjadi sumber sekaligus inti kesedihannya, tetapi ada kalanya air matanya mengalir tanpa alasan yang sulit dipahaminya, datang seketika seperti bersin.

Ia berjalan mundur, ia terjatuh luruh. Yang tak dipahami pamannya adalah berjalan mundur, memunggungi dunia, memunggungi Tuhan, bukanlah cara Tomas untuk mengungkap duka. Ini adalah caranya mengajukan keberatan. Karena jika semua yang kaucintai dalam kehidupanmu telah diambil, apakah yang bisa kauperbuat selain mengajukan keberatan?

Menemukan sebuah surat/buku harian seorang pastor Bapa di Ulisses yang lalu menyeretnya dalam petualangan, hanya beberapa minggu setelah kehidupannya luluh lantak di Museum Nasional Karya Seni Kuno, tempatnya bekerja sebagai asisten kurator. Surat itu mengisah kehidupan sunyi, dan mengarah pada pencarian salib di pegunungan Portugal. Dengan mengendarai mobil Eropa pertama milik pamannya. Orang-orang akan berlama-lama melihatnya, mulut mereka akan ternganga, benda itu akan membuat hura-hura. Dengan benda itu, aku akan memberi Tuhan atas perbuatan-Nya kepada orang-orang yang kucintai. Keheningan yang menyelubunginya akibat pemusatan konsentrasi sekonyong-konyong meledak ke dalam derap kaki-kaki kuda yang menggelegar, keriat-keriut nyaring kereta pos. Kemudian mereka dan kedua kusir kereta saling bertukar umpatan dan isyarat marah.

Mobil di era itu memang belum banyak, awal-awal masa penemuan. Barang yang dibelinya sebagai bahan bakar, oleh mereka dijual sebagai pembasmi parasit. Tempat tinggal mungil beroda ini dengan potongan-potongan kecil ruang tamu, kamar mandi, dan perapian, adalah contoh mengenaskan bahwa kehidupan manusia tidak lebih dari ini: upaya untuk merasa seperti di rumah sendiri saat mengejar kenisbian. Seorang pria atau wanita, tak perlu bekerja sekeras itu untuk menunjang kehidupan, tetapi roda gigi di dalam sistem harus diputar tanpa henti.

Pada 2 Juni 1633, terdapat satu tempat nama baru Sao Tome, pulau koloni kecil di Teluk Guinea yang disebut sebagai ‘serpihan ketombe di kepala Afrika, berhari-hari perjalanan panjang di sepanjang pesisir lembap benua gersang ini’. Tertulis Isso e minha casa (Ini adalah Rumah). Bapa Ulisses rupanya terserang kerinduan mendalam pada kampung halaman. Ruang arsip Episkopal di Lisbon, setelah mengabaikan buku harian Bapa Ulisses selama lebih dari dua ratus lima puluh tahun, tidak akan merasakan kehilangan untuk ia ambil.

Perjalanan religi mencari gereja. Kesederhanaan arsitektur paling sesuai dengan bangunan religius. Apapun yang mewahadalah arogansi manusia yang disamarkan sebagai keimanan. Semua berada di tempat masing-masing, dan waktu bergerak dengan kecepatan yang sama. Gravitasi akan marah dan benda-benda akan melayang malas. Namun tidak, ladang-ladang tetap diam, jalan tetap membentang lurus, dan matahari pagi tetap bersinar terang.

Dia mengingat-ingat dan menghitung. Satu, dua, tiga, empat – empat malam. Empat malam dan lima hari cutinya dari cutinya yang sepuluh hari. Separuh jalan, tapi tempat tujunya belum terlihat. Di sana hujan terlampau sering turun, hingga menggaggu kewarasan. Menit-menit berlalu. Keheningan terbingkai oleh deris hujan, embik domba, dan salak anjing. Aku sedang mencari harta yang hilang.

Niat semula sepuluh hari cuti untuk menemukan benda kuno demi pemaknaan hidup, justru berakhir bencana karena tak sengaja menabrak seorang anak, tewas seketika. Batin Tomas berkemauk. Dia pernah menjadi korban pencurian, dan kini menjadi pelaku pencurian. Aku memasuki bui itu sebagai kristen. Aku keluar dari sana sebagai seorang prajurit Romawi. Kami tidak lebih baik dari binatang.

Dalam kisah ini, cara menanggapi kedukaan tampak sangat sentimental. Mengajukan keberatan akan takdir, melakukan perjalanan pemaknaan hidup, lalu dihantam musibah perih tak terkira. Ruang dan waktu menjadi tanya kembali, menjadi teka-teki sejati. Kembali ke individu, dan rumah yang dituju justru menggoreskan luka. Dia nyaris menangis lega. Menguarkan waktu dan memancarkan keterpencilan.

Ketika benda yang dicari akhirnya ketemu, lalu apa? Benda itu terpampang di sana, setelah melakukan perjalanan jauh dari Sao Tome. Oh betapa menakjubkan. Kemenangannya terusik oleh luapan emosi: kesedihan yang meluluhlantakkan jiwa. Muntah-muntah dengan raungan lantang.

Jika ia memprotes Tuhan, lalu ia malah mencipta protes manusia lain? Kapankah masa duka yang janggal ini berakhir? “Cukup! Cukup!” Dia berbisik. Apa makna nestapa bagi manusia? Apakah ini membuka dirinya? Apakah penderitaan ini membuatnya lebih mengerti? Mereka memang menderita, tapi aku juga. Jadi apa yang istimewa?

Kedua tahun 1939, di akhir tahun seorang dokter spesialis patologi melakukan otopsi mayat perempuan yang meninggal di dekat jembatan, pembunuhan atau bunuh diri? Dokter Eusebio Lozora yang sedang melakukan bedah dikunjungi istrinya, Maria Luisa Motaal Lozora yang menyukai kisah detektif. Buku-buku Agatha Christie dikoleksi dan dinikmati, malam itu istrinya berkisah panjang lebar tentang teori Tuhan, seperti Yesus yang mati misterius, Agatha juga mencipta kasus pembunuhan misterius. Autopsi, bagi mata awam bukanlah pemandangan yang enak dilihat. Tujuan tindakan ini adalah mencari abnormalitas fisiologis – penyakit atau kecelakaan – yang menyebabkan kematiannya.

Dokter spesialis patologi adalah detektif yang melakukan penyelidikan dan menggunakan sel-sel kelabunya untuk menerapkan aturan dan logika hingga kedok salah satu organ terbuka dan sifat aslinya, kejahatannya, akan bisa dibuktikan tanpa keraguan. Kesabarannya benar-benar menyentuh. “Kau mengerti bukan, bukan dia yang dibunuh.”

Malam itu setelah istrinya pulang meninggalkan novel terbaru Agatha Christie: Perjanjian Dengan Maut, sekuel Pembunuhan di Sungai Nil, datang lagi seorang ibu dengan koper. Namanya juga Maria, mengejutkan, koper itu berisi mayat suaminya, minta diotopsi segera, kisah cintanya yang vulgar dan menggairahkan, dan segala pilu kehilangan. Ibu Maria berasal dari Pegunungan Tinggi Portugal, perjalanan tiga hari ke Braganca, mencari rumah sakit untuk otopsi mayat suaminya. Cinta hadir dalam kehidupan saya dengan penyamaran tidak terduga. Seorang pria. Saya seterkejut bunga yang melihat lebah datang untuk pertama kalinya.

Setelah urusan raja selesai, kita berlaih ke ratunya yaitu kepala. Memeriksa otak dan batang otak…” Hasil otopsi mengejutkan, ada simpanse dan beruang, dan teka-teki itu meledak di ending yang mengejutkan. Saya sampai geleng-geleng, wow. Novel yang sempurna. Seperti itulah duka, ia makhluk yang memiliki banyak lengan tetapi hanya beberapa kaki, dan ia terhuyung-huyung mencari sandaran. Hati memiliki dua pilihan, menutup atau membuka diri. Tutur katanya kadang-kadang pedas, diamnya meresahkan.

Kisah ini nge-link dengan yang pertama. Kami mencintai putra kami, seperti laut yang mencintai pulau, selalu menyelingkupinya dengan pelukan, selalu menyentuh dan membelai pantainya dengan perhatian dan kasih sayang. Ketika dia pergi, hanya laut yang tertinggal, kedua lengan kami memeluk kehampaan. Kami menangis sepanjang waktu. Satu-satunya putra yang dicintai meninggal dunia, dan pelaku tabrak lagi itu adalah Tomas.

Namun sayang, bagian ketiga tahun 1989 justru agak merusak pola. Seorang senator Kanada Peter Tovy adalah pemilik sah seekor simpanse jantan, pan troglodytes, bernama Odo. Prosesnya panjang. Yang jelas ia baru saja kehilangan istri tercinta Clara. Dalam kedukaan, ia disarankan temannya menepi, ke Amerika dalam kunjungan, ia lalu ke kebun binatang, dan sekilat pintas membeli simpanse jantan dengan harga mahal. “Saya akan membayar Anda Lima belas ribu dolar.” Oh godaan bilangan bulat, itu jelas angka yang lebih mahal dari harga mobilnya.

Orang-orang berduka sebaiknya menunggu setidaknya satu tahun sebelum membuat perubahan penting dalam hidup. Perubahan pemandangan, bahkan perubahan udara – lembut dan lembab – terasa menenangkan.

Ia muak dengan pekerjaannya sebagai politikus. Pidato, pencitraan yang tiada habisnya, rencana busuk, ego yang ditelan mentah-mentah, ajudan arogan, media-media tak kenal ampun, tetek bengek yang merepotkan, birokrasi yang kaku, kemanusiaan yang tak kunjung membaik, dia memandang semua hal itu sebagai ciri khas demokrasi. Dengan gejolak kegembiraan yang meresahkan, dia bersiap-siap membuang semua rantai yang mengikatnya.

Segalanya bergerak cepat, Peter lalu melepas semua atribut duniawi dan memutuskan pulang. Ke rumah nenek-kakeknya di Portugal bersama Odo. Penenungan makna hidup, kehilangan, melepas, damai. Iman seharusnya diperlakukan secara radikal, dia menatap salib, penyeimbang keyakinan dan kegamangannya.

Melakukan perjalanan panjang, melakukan pencarian rumah. Dia masih ingat caranya bercinta, tapi sudah tidak mengingat alasannya. Kehilangan istri membuatnya merenung sepi. Selama sekitar satu jam, sambil duduk di puncak tangga, menyesap kopi, lelah, agak lega, agak khawatir, dia merenungkan titik itu. Apa yang akan dihadirkan kalimat selanjutnya?

Simpanse adalah kerabat terdekat di garis evolusi. Kita dan simpanse memiliki leluhur yang sama, dan baru berpisah jalan sekitar enam juta silam. Mempelajari simpanse sama juga mempelajari refleksi leluhur kita, dalam ekspresi wajah mereka. Masing-masing kera, kini dia mengerti, adalah sesuatu yang tidak pernah diduganya, individu dengan kepribadian unik.

Mungkin agak aneh, memilih simpanse sebagai teman perjalanan untuk menepi, tapi keputusan ini nantinya nge-link dengan hasil otopsi. Bianatang mengenal rasa bosan, tetapi apakah mereka mengenal rasa kesepian? sepertinya tidak. Bukan kesepian seperti ini yang mendera jiwa dan raga. Dia adalah spesies kesepian. Kalau masa lalu dan masa depan sudah tidak menarik, apa yang bisa mencegahnya dari duduk di lantai sambil merawat seekor simpanse dan mendapat perawatan balasan?

Tidak ada derajat yang membedakan tingkat ketakjuban.

Salah satu makna duka bisa jadi adalah sekarang. Simpanse Odo hampir sepanjang hari menikmati waktu, misalnya duduk di tepi sungai menyaksikan air mengalir. Ini ilmu yang sulit dikuasai, hanya duduk dan berada di sana. Kadang-kadang Odo bernapas dengan waktu, menarik dan melepasnya, menarik dan melepasnya. Binatang-binatang ini hidup dalam amnesia emosional yang berpusat di masa kini. Kesyahduan menjelma di sanubarinya, menenangkan bukan hanya masalah yang diderita tubuhnya, tetapi juga kerja keras otaknya.

Di dalam udara ada matahari dan gumpalan-gumpalan awan putih yang saling menggoda, cahaya yang melimpah tidak terkatakan keindahannya. Tidak ada suara di sekelilingnya, baik dari serangga, burung-burung, maupun angin. Yang tertangkap telinganya hanyalah bebunyian yang dihasilkannya sendiri. Tanpa keberadaan suara, lebih banyak yang dilihat oleh matanya, terutama bunga-bunga musim dingin cantik yang bermekaran menembus tanah berbatu-batu di sana-sini.

Rasa sakitnya datang bagaikan ombak, dan setiap gelombang membuatnya bisa merasakan setiap dinding perutnya. Setelah kisah panjang perjalanan ke puncak, lalu sebuah adegan panjang di ruang otopsi yang luar biasa, kisah ini ditutup dengan anti-klimaks di puncak. Memainkan duka, dan segala kandungan di dalamnya. The High Mountains memang menutup rapat akhirnya, tak ada yang menggantung, tapi perjalanan panjang Kanada ke Potugal dengan monyet terlampau mudah menemukan rumah. Bagaimana bisa Peter langsung menemukan rumah, di kesempatan pertama menginap di tanah asing? Ini kebetulan yang mengagumkan. Tuizelo, dari sanalah orangtuanya berasal, ia dan Odo akan menetap. Ini bingkisan mungil berisi rasa takut, tetapi tidak melukai ataupun merisaukan.

Buku kedua Yann Martel yang kubaca setelah Beatrice and Virgil yang absurd. buku ketiga Life of Pi sudah ada di rak, menjadi target berikutnya. Sepertinya memang genre Martel adalah filsafat yang merenung. Banyak tanya dan duka yang dipaparkan serta pencarian makna hidup. “Orang-orang tinggal sejenak, lalu satu per satu pergi, dan Anda diberi waktu untuk berduka, dan sesudahnya Anda diharapkan untuk kembali ke dunia, menjalani kehidupan lama Anda. Setelah pemakaman, pemakaman yang bagus, semua hal kehilangan makna dan kehidupan lama pun sirna. Kematian memakan kata-kata…”

Pegunungan Tinggi Portugal | by Yann Martel |Copyright 2016 | Diterjemahkan dari The High Mountain Portugal | GM 617186006 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Alih bahasa Berliani M. Nugrahani | Editor Tanti Lesmana | Desain dan ilustrasi sampul Martin Dima | Cetakan pertama, 2017 | ISBN 978-602-03-4638-0 | 416 hlm; 20 cm | Skor: 4.5/5

Untuk Alice, dan untuk Theo, Lola, Felix, dan Jasper: kisah hidupkau

Karawang, 090520 – Norman Brown – Don’t You Stay

Max and The Cats – Moacyr Scliar

Aku? Takut? Macan tidak takut siapapun… macan tidak kasatmata. Jiwa.Fransisco Macias Ngueme, Diktator Terguling dari

Saya belum membaca Life Of Pi (a novel by Yann Martel), tapi sudah menonton adaptasinya (a film by Ang Lee). Terlalu banyak kemiripan dengannya, menempatkan seorang bocah bersama kucing besar dalam perahu darurat ketika kapal karam, halusinasi atau kenyataan? Dalam perjalanan laut menyeberangi samudra, melakukan apapun itu demi bertahan hidup. Kail, makanan kaleng, saling melengkapi dan kemudian terdampar selamat. Dasarnya sama, penerungannya jelas beda.

Max dan Kucing-Kucing terbagi dalam tiga babak. Jerman, Perairan, Brasilia. Penuh. Padat dan mempermainkan psikologis. Max adalah orang Jerman yang remaja era 1930an, masa ketika Nazi sedang menapaki kejayaan. Max seorang anak tunggal dari pasangan Erna Schmidt dan Hans Schmidt. Ayahnya yang kolot, seorang saudagar karpet, penjual aksesoris yang menilai uang begitu tinggi. Pengusaha yang terlihat bersahaja, tapi kalau kita lihat dari dalam, dari sudut keluarga, jelas bermasalah. Max melepas perjakanya di gudang toko dengan wanita tetangganya Frida yang bekerja paruh waktu, dengan kepala hias Harimau Benggala. Max yang remaja mendapat sensasi bercinta yang menjadikannya dewasa lebih cepat. Frida adalah anak petani dari selatan, pendek, montok, cerewet. Di gudang itulah, kita tahu ada kepala macan yang dijadikan pajangan, tatapan hampanya menghantui, memberi efek takut kepada Max kita sampai dewasa nantinya. Ada bagian yang membuat kita turut kesal sama Frida terkait mantel bulu yang disyaratkannya guna mengulang perbuatan dosa. Max yang remaja tak kuasa memenuhi harap, dan mantel itu menjadi polemik parah saat suatu ketika ia kenakan dan tak sengaja berpapasan dengan Hans. Dituduh maling, tapi ia ga maling. Max dalam masalah besar bung.

Ketika Nazi benar-benar berkuasa dan mencoba membumihanguskan kaum Yahudi, semua yang menentang arus berakhir mati. Max yang kini sedang mekar dalam bangku kuliah, sejatinya ga terlibat aktivitas politik, tapi karena hubungannya dengan Frida dan Harald sahabatnya, memicu hal buruk berikutnya, ia dalam ketergesaan menyelamatkan hidup bergegas kabur. Dengan bekal seadanya, menumpang kapal Schiller menuju Brasilia. Kapal dari Hamburg itu gagal diraih, maka ia menumpang kapal barang yang juga mengarah ke Brasilia. Kapal yang sedari mula memang mencurigakan, ada banyak binatang di angkut, ada tempat bernaung tapi memprihatinkan dalam kamar sempit, dan karena ini buku tragedi, maka kapal ini karam.

Max terapung dalam ketidakpastian.
Ia berhasil bertahan di perahu darurat, perahu yang sudah disiapkan ketika keadaan genting berisi makanan kaleng, peralatan mancing, pelampung dan sebagainya. Namun ia tak sendirian, ketika sudut perahu itu disingkap, ia terperangah, ada macan melonjak keluar. Macan besar jenis jaguar itu kini ada di sudut lain Max, memperhatikannya, memandangnya penuh nafsu lapar. Max, tak diterkam berkat konsistensi memberi si buas dengan ikan yang dikail, Max makan makanan kaleng, jaguar melahap ikan. Dan perenungan melihat bintang, menatap langit, efek panas terik di siang hari mencipta banyak fatamorgana, harapan bertahan hidup kecil, tapi ada.

Max selamat sampai di Brasilia berkat pertolongan kapal nelayan yang lewat, setelah ia beradu marah dengan jaguar dan juga akhirnya beradu emosi perahu terguling. Cerita Max seperahu dengan macan menjadi pergunjingan, seolah khayal seolah hasil imaji, tapi Max lah yang mengalami dan desas desus apapun itu tak terpengaruh. Max kembali menata hidup di negeri seberang.

Kalau kalian tahu jargon, para perantau adalah pekerja ulet dan pejuang keras di sini jelas ada benarnya. Tak punya siapa-siapa, tak punya banyak hal, hanya permata pemberian ibunya yang disimpan rapi lalu dijual dengan harga layak. Max mencari penghidupan di negeri Samba. “Di Brasilia, orang bisa kaya mendadak dalam semalam.”

Max tak bisa lepas bayang-bayang ketakutan Nazi, setiap lihat lambang Swastika atau lambang yang mirip dengannya ia mengalami traumatis. Namun waktu juga yang menyembuhkan. Kita tahu, sejarah mencatat tahun 1945 era Hitler runtuh, dan dunia berbenah. Max yang merdeka bisa mudik, menyelami masa lalu dan mempunyai opsi lebih banyak. Setelah kepulangannya yang pilu, ibunya meninggal, ayahnya gila, dan serentet fakta pahit ia kembali ke Brasilia. Menikah dengan penduduk lokal, memiliki keluarga. Akankah ia membawa pulang seluruh keluarganya ke Jerman, karena sejauh manapun kau pergi, rumah adalah tanah tempat kamu dilahirkan. Atau menjadi warga Brasilia, tanah seberang yang dijanjikan? Max dan Kucing-kucing jelas, adalah sebuah frame kehidupan yang mengajak kita menyelami pahit manis segala detak waktu yang kita jalani. Akan lebih indah dengan bonus syukur padaNya. Manusia, makhluk fana ini berjuang hidup dengan melakukan apapun, tapi maut selalu hadir di manapun, kapanpun. Max dan segala perenungannya.

Novel seratus halaman ini kubeli kala dalam tugas luar mengikuti pelatihan di Hotel Horison Bekasi seminggu. Kubeli di Gramedia MM Bekasi dengan Gadis Pendongeng, kubaca singkat di pagi dan sore saat waktu istirahat. Di pinggir kolam renang hotel, berderet kepul asap rokok pemuda lain di kiri kanan. Buku pertama Scliar yang kubaca. Seorang dokter kelahiran 1937 di Porto Alegre, Brasilia. Sudah menghasilkan 62 buku cerita, rasanya Max ini hanya permulaan, karya berikutnya masuk daftar tunggu.

Ada satu adegan yang menurutku sangat bagus. Adegan yang tak tersangkut paut langsung dengan para kucing. Bahwa kala Max kuliah, seorang profesornya eksentrik melakukan eksperimen. Profesor Kuntz melakukan riset gila dengan menggunakan pemuda Gipsi, dipasangi mikrofon yang digantung di leher, dilemparkan ke luar dari pesawat terbang. Sang profesor berharap dalam perjalanan terjun menuju kematian, orang-orang tadi akan memberi pernyataan atau paling tidak jeritan, baik jeritan manusia purba atau tidak, memberi ketegasan tentang arti kehidupan. Ngeri ya. Uji coba kaum gila, memainkan nyawa demi sebuah laporan penelitian.

Jaguar dan kapal karam? Jaguar, kapal karam, dan lari dari Jerman? Apakah itu semua hanyalah impian orang muda bernama Max? Atau mungkin hanya impian buruk luar biasa panjang anak bernama Max, yang akhirnya tertidur setelah suatu hari yang penuh luapan perasaan berat. Ada satu nama Penulis yang direkomendasikan di buku ini, Jose de Alencar, penulis abad sembilan belas yang banyak bercerita tentang Indian. Lalu kegemaran mendengarkan lagu-lagu Beethoven berjudul Ninth Symphony laik lebih sering dikumandangkan suatu saat. Karena agak sulit tentunya mencari lagu Jerman pengantar tidur: Guten abend, Gute natch, Mit rosen bedacht…

Aku berdamai dengan kucing-kucingku.”

Max dan Kucing-Kucing | By Moacyr Scliar | Diterjemahkan dari Max E Os Felinos | Copyright 1981 | 618186019 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Alih bahasa Djokolelono | Editor Rini Nurul Badariah | Ilustrasi dan desain sampul Martin Dima | Cetakan pertama, 2018 | 100 hlm.; 20 cm | ISBN 978-602-06-2044-2 | ISBN 978-602-02045-9 (digital) | Skor: 4/5

Karawang, 220819 – Anggun – Bayang-Bayang Ilusi