Mungkin tampak klise. Namun ternyata tak seklise itu. Pengelolaan cerita mengalir nyaman, cerita para remaja tentang kasih tak sampai, cinta segitiga mencipta bencana, karena status sosial, si miskin yang merindukan damba pasangan kaya. Orang tampan yang mengingin cinta gadis cantik. Hingga berantem marah akibat cemburu. Sebuah tusukan maut, mengacaukan tatanan kehidupan para muda-mudi ini. Liar, penuh amarah, jantan.
Bramandita atau panggil saja Bram dalam perjalanan balik ke Bandung, dengan bus butut di Jakarta mengejar kereta api. Hampir tertabrak mobil saat turun dari bus, dan mau ganti moda. Mobil dengan sopir pemuda, turun dan hampir baku hantam. Namun di samping sopir ada cewek cantik, yang mencegahnya, namanya Siska sebab disebut oleh si sopir. Bram jatuh hati.
Jodoh memang tak ada yang tahu. di stasiun Bogor, nasib mempertemukan Siksa dan Bram duduk berdampingan. Perjalanan kereta malam itu, seharusnya syahdu. Namun sang pacar Tommy sudah wanti-wanti, dan kekikukan tak cair hingga sampai Bandung. Tommy berkata dalam hati, “Alangkah bermurah hatinya Tuhan berkenan memberi kesempatan dalam hidup Bram untuk melihat hasil ciptaanNya yang begitu memesona.” Malah, seorang pramugari cantik Merri yang menambatkan hatinya. Merri dijemput pamannya, Bram diantar, nebeng sampai rumah.
Bram adalah mahasiswa ITB, anak seorang penjahat kambuhan. Ayahnya kini mendekam di sel tahanan karena kasus perampokan yang gagal. Naas, rumah korban malam itu yang dikira kosong, malah ada penghuni lain. Kasus perselingkuhan, yang karena niat pencurian itu, membongkar affair. Ibunya hanya tukang jahit, terima pesananan. Seringnya dari butik ternama, yang mengalirkan pekerjaan ke ibunya.
Nah, nasib kembali mempertemukan Bram dengan Siska sebab saat ibunya minta tolong mengantar baju pesanan ke tantenya Zus Nelly, malah diminta langsung ke rumah pelanggan. S. Harjadiningrat di Jl. Trunojoyo. Dan ternyata itu rumah Siska. Masih sama, mereka berdua tampak ketus, belum cair. Masih jaga gengsi. Bram benar-benar jatuh hati akan kecantikan Siska, yang sudah bertunangan dengan Tommy. Mereka sejatinya saudaraan, dulu Tommy adalah anak angkat Suradi Harjadiningrat, ayahnya Siska. Anak pancingan dari saudara, maka setelah Siska lahir dan adiknya juga, Tommy dikembalikan. Namun garis nasib sudah digoreskan.
Sebuah wisata di Tangkuban Perahu, Lembang menjadi pemicu sejatinya. Siska dan Tommy pacaran, Bram dan teman-teman kuliahnya juga di sana. Sutikno, mahasiswa sekaligus guru SD yang sudah menikah dan punya tiga anak, istrinya Soraya, anaknya Nora, Andi, Barda. Ini kurang ajar sebab malah berpacaran dengan mahasiswi Sri Sudarmi yang pacarnya ke luar negeri. Bram berdiri di tengah-tengahnya. Untungnya ia masih punya hati sehingga ajakan Tikno, nanti malam ke rumahnya diajak belajar atau ke mana kek agar mereka bisa jalan. Sebuah misi perselingkuhan, tapi gagal, malah berujung petaka. Mobil plat Jakarta Kingswood Tommy nyusruk mengakibat ia luka parah. Dibantu Bram, dan inilah yang membuka hati Siska.
Ibu Bram sudah memprediksi, mending sama Merri. Pramugari baik, yang ketika diperkenalkan berhasil menyentuh hatinya. Ketimbang Siska yang kaya, tapi berpotensi remuk. Naluri keibuannya memberitahu bahwa anaknya sedang menempuh jalan yang berbahaya. Sebuah cenayang yang tepat. Sebab kisah ini menjadi hitam saat Bram memaksa diri untuk memilih Siska. Begitu pula feeling ibu Siska. Ah, perasaan lembut seorang ibu yang cinta anak-anaknya. “Aku mendapat firasat, akan terjadi hal-hal yang tidak kita kehendaki. Mudah-mudahan saja pemuda lain yang diundang anak kita, berhalangan datang…”
Sebuah undangan pesta ulang tahun ke delapan belas Siska menjadi bencana. Tommy yang tak diundang, datang langsung dari Jakarta. Bram yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba, motor butut tua Honda rusak di jalan. Dan walau terlambat sampai, bersiteganglah Tommy dan Bram di sana. Kehadiran Bram merubah situasi itu secara total. Alangkah mustahil pertemuan semacam itu bisa terjadi di tengah kecamuk jalan yang semakin edan ini. Lebih mengejutkan lagi, ayah Siska ternyata sudah mengenal Bram, dan itu menambah bumbu percik amarah. “Tommy ada di sini sekarang. Hadapailah kenyataan itu. Camkan pula, kalian sudah bertunangan. Aduh nak, tahukah kau apa artinya?” Ditambah lagi nama seorang cewek, Lidya yang hamil menambah pusaran konfliks.
Hingga di ujung kisah cinta segitiga ini, tak semua selamat. Nyawa seseorang melayang. Egoism, amarah, hingga pilihan hidup yang terlampau memaksa bisa jadi karenanya, waktu tak bisa diputar balik. Begitulah kehidupan.
Buku terbit tahun 1980-an, banyak kosa kata jadul. Gongli? Saya tak tahu, hingga akhirnya saya googling. Artinya gadis yang melacur untuk kesenangan semata. Hehe, kata penting di eksekusi akhir ini ternyata. Atau kutipan ini, saya tak paham. Seperti Joan Tanamal ditanya Tanty Yosepha, Tommy menyahut: “Ya mana.” Dan berkat Google saya menemukan jawab. Itu kutipan dialog film Yoan (1977) yang pastinya nge-trend kala itu. Wajib dicari!
Atau kalimat yang masih relate hingga saat ini, “Hanya satu dua. Perkembangan peradaban tidak membuat orang lantas kehilangan sopan santun… Bram, Aku akan menangis selama satu minggu, kalau kau tidak mau kuajak makan sekarang…!” Tampak manja, tapi ada benarnya juga.
Satu kalimat panjang lebai, saat Bram dirasuki asmara tampak wajar. Kita semua pernah muda dan mengalaminya. Cinta itu buta. “Tuhanku. Apakah aku telah jatuh cinta pada Ummat-Mu yang bernama Siska? Jawablah. Jawablah. Apa? Kau tidak mau menjawab? Kalau begitu KAU tak jujur. KAU perlihatkan Siska kepadaku, dan ketika aku sudah mulai menyukai gadis itu, KAU tidak mau menyalakan oborMu untuk menerangi dadaku yang gelap gulita ini…”
Karena ini bersetting jadul, tak ada internet, taka da HP maka sebuah permintaan maaf dikirim via surat. Yang kemudian diminta lagi, sebab menyampaikannya langsung akan lebih afdol. “Tak sepatutnya aku meminta maaf lewat kartunama. Itulah sebabnya aku datang hari ini… untuk mengulangi permintaan maaf atas kekasaran dan kekeliruan yang telah kuperbuat.”
Dan betapa relate-nya kehidupan ini akan nasehat penting ini. masa muda, masa yang berapi-api. Segala zaman akan sama, kesalahan-kesalahan kembali terulang, dan segalanya dilindas waktu. “Aduh, Nak kau masih muda, masih belum matang mengenyam hidup di dunia ini. Bagimu, atau bagi orang-orang muda seperti kau, apa yang tampak itu sajalah yang ada. Apa yang tersirat tak pernah kau baca…”
Sayang sekali buku ini dicetak tanpa ISBN, tanpa tahun. Identitas buku hanya tiga: judul, penulis, penerbit. Hanya itu! Padahal ini buku bagus, terbaik setelah Kolam Darah yang horor abis, keren abis! Buku ini jelas ditulis seorang kawakan, seorang yang tahu bagaimana mencipta kejutan. Sebab bab terakhir sangat keren. Tak menduga, kukira bakalan klise dengan bumbu roman, tapi mahal berdarah-darah, twist. Dan jelas, saya menambahkan nama beliau di daftar penulis lokal favorit.
Bram yang malang. Tommy yang malang. Siska yang malang. Betapa jahatnya dia, betapa banditnya dia. Sejahat ayahnya sendiri. Sebandit ayahnya sendiri. Cinta segi tiga di antara mereka telah sama-sama melahirkan dendam. “Betapa kejamnya dunia.”
Menentang Sejuta Matahari | by Abdullah Harahap | Penerbit Sinar Pelangi, Bandung | Skor: 4/5
Karawang, 120922 – Miles Davis – Once Upon A Summertime
“Di Lembah ini, Buyung, sejak keturunan pertama sampai saat ini, kaum kita adalah orang-prang panutan. Kesetiaan kita kepada adat senantiasa menjadi ukuran bagi orang lain untuk memberikan penghargaan! Penghormatan!”
Sederhana, dan menarik. Pusat cerita sejatinya bukan sang ibu, tapi cinta yang kandas dengan berbagai sebab. Pertama di Padang, dengan kegalauan akut mudik untuk meminta restu dan kelonggaran adat demi sang kekasih. Kedua, mahasiswa galau mencinta perempuan aneh yang di persimpang jalan. Ketiga, kali ini bukan rentang asmara kekasih, tapi kegalauan pasangan yang mendamba anak tapi belum siap program punya anak. Ribet ya? Enggak juga, manusia memang pusatnya kegalauan. Atas nama eksistensi, ketiganya dibaur samar. Padang, Banjarmasin, dan kembali ke Padang. Secara ketiganya memang tak berhubung langsung, tapi cinta ibu menentukan langkah antisipasi untuk diambil di kemudian hari.
#1. Cinta 1, Lembah Berkabut
Jun mudik ke Padang, ia membawa misi berat. Berkenalan dan lantas bepacaran dengan gadis perantau juga di Jakarta, Yani ternyata adalah saudaranya. Dan hubungan kasih ini menurut adat dilarang dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Jun yang galau, menatap nanar lembar tempatnya lahir, tempatnya berasal. Pertentangan hati itu dibawa pulang untuk didiskusikan, saudara-saudaranya dimintai pendapat, terutama tetuanya. Walaupun sudah tahu jawabannya, walaupun bakalan ke arah mana izin ini, ia tetap ingin memastikan. Mereka sama diwisuda, merencana menikah, dan petir menggelegar.
Pertentangan batin antara maju terus demi cinta atau mengikuti adat menjai bumbu pahit yang selalu menarik. Pemikiran modern melawan tradisional, kita turut bingung dan merasakan pula kekhawatiran, maju mundur kena soalnya. Dan pikiran positif yang disampaikan Yani, jika kita mampu menyesuaikan diri dengan masa dan kondisi, kesenangan memang akan terdapat di mana-mana. Ada benarnya, bahagia itu sekarang, tak perlu menanti esok. Maka apapun keputusannya, itu adalah jalan hidup. Dan begitulah, betapa banyak manusia yang baru memikirkan sesuatu apabila ia telah berkepentingan dengannya.
“Hanya di Lembah inilah segala omong kosong masih mendapat tempat!”
#2. Cinta2, Riu
Hasbi menelusur masa lalu Riu, teman kuliahnya yang tiba-tiba menghilang. Kekasihnya itu dirudung kegalauan, telusur Hasbi menghasilkan informasi bahwa Riu yang piatu, ‘dijual’ ayahnya, Pak Sumau yang tukang mabuk dan judi. Demi materi dan kelangsungan hidup, ia menikah dengan bos kaya Kanyu. Riu lantas mencari dana untuk mengadakan upacara penghormatan arwah ibunya, menurut adat hanya dengan upcara Ijambe itulah arwah ibunya akan sampai di surga. Sekalipun Riu sudah mualaf, ia tetap menghormati kepercayaan orang terkasih. Dekat, namun sekaligus jauh.
Dalam perjalanannya, saat menghadiri upacara Ijambe 14 mayat. Ia berkenalan dengan turis lokal yang juga mencari jawab. Ternyata Victor bukan sembarang turis, ia memiliki misi dan akhirnya berbenturan dengan niat Hasbi, dengan segala kelimbungan hati, banyak hal perlu dibenahi.
Di bagian kedua mirip, atau bisa dibilang sama saja. Cinta kandas, yang kali ini terbentur masa lalu pasangan, dan seberapa layak cinta itu diperjuang. Perjalanan waktu mengikis apa saja, senantiasa. Perjalanan waktu juga menyodorkan yang baru, selalu begitu. Bukankah setiap perubahan selalu mengandung konsekuensi? Kalau yang ini semua jelas, keputusan bulat sudah diambil. Hasbi, tak perlu meminta petunjuk Ibunya, segalanya sudah diputuskan, waktu yang akan mengobati lukanya.
“Beberapa kali kami berbaku tatap, namun seperti ada sesuatu yang kaku menandingi.”
#3. Cinta 3, Masih Bagai Butir
Pasangan suami istri Jap dan Ina menunda memiliki anak, sang istri yang lebih tua mengingin usia 30 adalah masa yang tepat, itu berarti mereka harus lebih sabar. Jap yang seorang penulis berita, lebih jarang di rumah. Lalu muncul ide, menadopsi anak. Uni Sasmi saudara mereka, memiliki anak enam tahun Budi yang belum sekolah, lalu diajaklah Budi tinggal di sana, menemani Ina dan pembantunya Rukma.
Kebahagiaan ada anak di rumah ternyata tak berlangsung lama. Budi yang memang anak kampung, susah diatur. Suka main tanah dan kotor-kotor, baju bagus yang dibelikan tak mau dipakai, lebih dekat sama Rukma ketimbang padanya, memilih pakai baju lusuh dari ibunya, hingga kahirnya merengek kangen ibu. Hufh…
Menurutku, ini yang paling lemah. Konfliks dicipta sendiri, dengan penyelesaian sendiri, mudah dan sederhana sekali. Kita tahu semua orang adalah pembelajar, tak peduli berusia berapapun. Kalau sudah memutuskan menunda punya anak, ikuti konsekuensi itu. Kalau sudah memutuskan mengadopsi anak, ikuti pula konsekuensi itu. Makanya, cerita ini seolah tampak meriah atau malah turut murung, tentu saja bergantung kepada suasana hati mereka yang menatapnya. Perempuan yang mengikuti mood yang berayun.
“Betapa sekejap usia kebahagiaan.”
Kubaca cepat dalam tiga hari, satu cerita per hari. Jumat, 1 Juli hingga Minggu kemarin. Tipis, sehingga bisa gegas. Nama Gustafrizal Busra atau lebih terkenal dengan Gus TF Sakai adalah sastrawan pemenang Kusala Satra Khatulistiwa dengan bukunya Perantau. Belum kubaca, ini adalah buku beliau pertama yang kutuntaskan. Kemarin pas memutuskan beli, karena nama beliau saja yang sudah kukenal, minimal perkenalan satu buku dulu sebelum melahap Perantau. Secara keseluruhan, lumayan enak. Bahasanya nyastra, tapi inti cerita masih nyaman, dan poin utama: cerita, bagus. Mengusung tema cinta, dengan pijakan seorang ibu, kita diajak sepintas lalu menelusur cinta-cinta yang kandas. Yang paling kusuka, jelas cerita pertama. Endingnya yang gantung, cinta yang terhalang adat dan norma, hingga dibawakan dengan puitik. Konfliks yang takkan lekang, cinta tak sampai.
Cerita dengan pilihan diksi yang meliuk-liuk itu tak salah, dinarasikan dengan indah melalangbuana, membumbung tinggi dengan gegap gempita indah, kata-kata mutiara melimpah ruah di setiap lembarnya, tak mengapa. Namun balik lagi, intinya adalah cerita yang bagus. Cerita dengan konfliks berat, makin berat dna rumit bakalan makin meriah. Makin aduhai, apalagi penyelesaiannya juga hebat, makin menambah jempol.
Tiga Cinta, ibu memenuhi itu. Hanya sayangnya terlampau tipis, ibarat bercinta yang nikmat, durasinya kurang lama. Mungkin di buku berikutnya yang lebih tebal, penguat itu ada. Semoga…
Tiga Cinta, Ibu | by Gus TF Sakai | GM 201 02.004 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Jakarta, 2002 | Pewajahan Sofnir ali | Ilustrasi sampul Mirna Yulistianti | Setting Fransiska Aries Dian Lestari | 108 hlm.; 14 x 21 cm | ISBN 979-686-604-8 | Skor: 4/5
“Karena retina yang tak sengaja kutatap selama 5 detik, lahir beribu puisi yang belum juga mati.”
Apa yang bisa diharapkan dari seorang artis yang menulis buku, menulis puisi? Hanya sedikit artis yang sukses menapakinya, sayangnya debut Prilly ini tak sukses. Tertatih, dan biasa sekali. Harapan yang rendah, dan sesuai. Puisi memang sulit dipahami, susah diprediksi, kutipan-kutipan yang pantas di-sher di sosmed biasanya yang berhasil menautkan emosi pembaca, emosi pendengar, penikmat syair. Di sini, tak banyak, atau malah tak ada yang untuk dibagikan. Mengalir saja. Tema cinta dan kerinduan, jatuh cinta memang indah, akan lebih sangat indah bila tak bertepuk sebelah. Mencipta rindu, dan kenangan, yang tak sertamerta merangkul erat para pecinta.
Terbagi dalam tiga bagian: Muasal Puisi terdiri 7 puisi, Lorong Kenangan terdiri 37 puisi, dan Noktah satu pusi akhir. Seperti sebuah lakon, pembagian ini pembuka, inti, penutup. Tema utama adalah cinta, 5 detiknya, seperti yang tertera di pembuka, adalah masa penyair menatap lelaki hingga jatuh hati. Lima detik untuk sebuah pandangan, adalah lama. Bisa karena terpukau akan apa yang dilihat, bisa pula karena takjub sehingga perlu waktu untuk terus terpaku mengamati.
Ditulis besar-besar, dicetak mungil, sehingga seratusan halaman juga gegas kelar. Berikut sebagian yang terpilih untuk kuketik ulang:
Kamu: Kamu sangat populer di kepalaku / Bahkan saat aku tidur / kepalaku tetap disibukkan olehmu. / Karena kamu selalu singgah dalam mimpiku. / Gawat! Kamu itu seperti sel aktif di otakku / tak pernah berhenti.
Tuntutan: Cinta! / Satu kata tanpa definisi. / Tidak membawa Kejelasan / walau dampaknya kuat terasa
Degub Kesukaanku: Jika dia mencintaimu, dia tidak akan membiarkan / kamu berjuang sendirian. / Cinta memang sesederhana itu.
Pilihan: Jika hati bisa memilih. Pilihanku pasti akan jatuh lagi / kepada kamu. Tapi bagaimana bisa memilih kalau sudah / diahncurkan. Tinggal menunggu seseorang yang mau / membenahinya lagi.
3 Detik: Hanya 3 detik. / Retinaku dan retinamu bertemu. / 3 detik yang pernuh kekesalan, / kerinduan / dan beberapa rasa yang sulit dijelaskan. / Sesakit apapun aku karena tatapan itu. / doa terus kususun untuk kamu bahagia. / Dan detik-detikku terus dikepung rindu.
Merindu: Dan tubuh ini pun dingin. Merindu dekap hangat fatamorgana / digantikan sosok yang nyata, tetap gigil.
Tak Bisa Ku Miliki: Bagaiamanapun keadaan sekarang… / kamu pernah menjadi bagian terpenting dalam hidupku, / bagian yang ku jaga walau sekarang aku biarkan pergi / Tempatmu di hatiku seperti keharusan yang tak bisa digantikan / rinduku padamu juga enggan dialihkan. / Oh, fatamorgana / namamu akan selalu ada di dalam doaku.
Aku Memilih Mengenangmu: Beruntunglah kamu / jika dicinta oleh orang yang suka menulis sepertiku / Karena kemanapun kamu pergi / namamu, dan semua tentangmu akan abadi / dalam sajakku.
Aku Lemah: Karena sesungguhnya terluka mengajarkan kita satu hal. / Cinta tidak akan pernah salah memilih tempat / dimana dia harus berada.
Noktah: Aku itu seperti hujan ya? / Walau sejuk tetap saja kamu berteduh
Noktah #: kita… / bertemu… / jatuh hati… / hilang… / tidak ada kata perpisahan… / tidak ada akhir… / dan masih aku bertanya… / Mengapa?
Ini adalah buku pertama Prilly, dan buku pertamanya yang muncul di blog ini. dikenal sebagai artis, Prilly memang multitalent. Walaupun di percobaan pertama ini, tak terlalu mencipta kesan bagus di sini, setidaknya percobaan mengumpulkan tulisan, mengumpulkan coretan puisinya untuk dibukukan perlu diapresiasi. Tak semua artis berpikir ke situ, temanya terlalu kecinta-cintaan. Standar sekali.
Saya baca hanya dalam setengah jam di pergantian hari jam 00:05 sd. 00:30 dini hari, malam Jumat (17.06.22) kebangun dan tak bisa tidur lagi, gegas baca puisi dan prosa, keduanya kelar! Padahal ini hari kerja. Setelah dua jam nekad, akhirnya coba kupejamkan istirahat. Dini hari adalah masa yang sangat tenang, dengan kondisi pikiran fresh, tetap tak berhasil mengesankanku.
Semoga ke depannya muncul karya-karya lainnya yang lebih tertata dan lebih Ok, semoga artis lainnya yang memiliki bakat tulis membukukan karyanya. Semangat Prilly!
5 Detik dan Rasa Rindu | by Prilly Latuconsina | Copyright 2017 | Penyunting naskah Fuad Jauharudin | Ilustrasi sampul Nafan | Desain Pidi Baiq | Desai nisi Deni Sopian | Penerbit The PanasDalam Publishing | Cetakan V, September 2017 | ISBN 978-602-61007-0-2 | Skor: 2.5/5
Karawang, 170622 – Shane Filan – Beautiful in White
Thx to Sri Wisma Agustina (Literasi Rongsok), Bandung
“Aku jatuh cinta pada segalanya, pada rincian sehari-hari maupun pada gambaran besarnya.”
Saya sudah pernah membacanya doeloe tahun 2005/2006-an. Bukunya dipinjam teman tak kembali, makanya beli lagi. Bukunya dulu terasa bagus banget. Kisah-kisah romantis keluarga biasa orang Barat, hal-hal remeh temeh yang dilakukan pasangan untuk mengarungi kehidupan. Beberapa nempel di ingatan, hingga sekarang. Seperti seorang istri yang menyiapkan kejutan atas usulan kenaikan upah suami. Yang disambut meriah, suaminya heran, kok bisa tahu? Padahal istrinya, menyiapkan cadangan kejut bila gagal. Begitu juga pasangan, seorang tukang bangunan, mau romantis gmana? Ya udah, nama istrinya dicetak saja di tembok-tembok. Hehe, intinya sejenis itu. Kejadian biasa untuk hal-hal luar biasa. Kubaca ulang, selesai pas 14 Februari 2022.
Saya kutip saja semua kutipan di awal cerita. Rasanya lebih nyaman untuk dibaca dan dibaca ulang suatu hari ini. Enjoy it.
Setiap orang bisa bergairah, tetapi hanya pecinta sejati yang sanggup menjadi konyol – Rose Franken
Perjalanan berakhir di pertemuan para kekasih, setiap anak manusia mengetahuinya – William Shakespeare
Yang benar-benar dibutuhkan dunia adalah lebih banyak cinta dan lebih sedikit administrasi – Pearl Bailey
Kadang-kadang hati melihat apa yang tidak terlihat oleh mata – H. Jackson Brown Jr.
Tawa adalah jarak terpendek di antara dua manusia – Bictor Borge
Pada saat hatimu memiliki suatu yang luar biasa, yaitu cinta, dan merasakan kedalaman, kebahagiaan, dan kegembiraannya, kau akan menemukan bahwa duniamu telah berubah. – J. Krishnamurti
Dalam hal cinta, yang terlalu banyak pun bahkan tidak cukup. – Pierre de Beaumarchais, artis dalam drama Prancis
Kekuatan apa yang lebih besar daripada cinta? – Igor Stravinsky
Kebahagiaan utama dalam hidup adalah keyakinan bahwa kita cicintai – Victor Hugo
Kita dibentuk dan diperindah oleh apa yang kita cintai. – Johan Wolfgang von Goethe
Kami mencinta karena cinta adalah satu-satunya petualangan yang sesungguhnya – Nikki Giovanni
Seorang arkeolog adalah suami terbaik yang bisa didapatkan seorang perempuan; bila sang istri semakin tua ia akan semakin menarik. – Agatha Christie
Jika kita semua tahu bahwa kita hanya punya sisa waktu lima menit untuk mengatakan apa yang ingin kita katakana, maka smeua telepon akan digunakan untuk menelepon orang lain untuk mengatakan betapa mereka mencintainya. – Christopher Morley
Api cinta orang muda bernyala-nyala, sangat indah, seringkali sangat panas dan kejam, tetapi masih berkedip-kedip dan mudah padam. Cinta dari jati lanjut usia dan berdisiplin seperti api batu bara, menyala dalam, dan tidak terpadamkan. – Henry Ward Beecher, pastor Amerika.
Bukankah ke mana kau pergi atau apa yang kau lakukan, tetapi dengan siapa kau pergi. – Anomin
Inilah keajaiban – semakin kita berbagi, semakin banyak yang kita miliki. – Leonard Nimoy
Cinta sejati datang dengan diam-diam, tanpa umbul-umbul atau cahaya yang berkilau. Jika kita medengar bel-bel berbunyi, periksakan telinga kita. – Erich Segal
Tidak ada pria yang boleh menikah sebelum ia mempelajari anatomi dan membedah paling sedikit satu perempuan. – Honore de Balzac
Cinta yang sempurna memang karang ada – karena untuk menjadi seorang kekasih, Anda harus terus memiliki kesamaran yang dimiliki oleh orang yang sangat bijaksana, kelenturan seorang anak, kepekaan seorang artis, pemahaman seorang filsuf, penerimaan yang dimiliki oleh orang suci, toleransi dari seorang cendikiawan, dan keteguhan dari orang yang sangat yakin diri. – Leo Buscaglia
Orang bisa mengalami kepedihan seorang diri, tetapi diperlukan dua orang untuk bergembira. – Elbert Hubbard
Mungkin diperlukan seratus pria untuk membuat perkemahan, tetapi hanya diperlukan satu perempuan untuk menciptakan rumah. – Peribahasa Cina
Adalah modal tambahan jika Anda menyukai gadis yang Anda cintai. – Clark Gable
Ada pepatah bijaksana yang mengatakan bahwa kita tidak bisa sungguh-sungguh mencintai seseorang yang tidak pernah tertawa bersama kita. – Agnes Repplier
Cinta mempercantik segalanya. – Lousa May Alcott
Jumlah total dari eksistensi adalah keajaiban dari keadaan dibutuhkan oleh satu orang saja. – Vi Putnam
Berciuman adalah cara mendekatkan dua orang sedemikian rupa sehingga mereka tidak bisa melihat kesalahan masing-masing. – Rene Yasenek
Kelemahan terbesar dari sebagian besar manusia adalah keengganan mereka untuk mengatakan pada orang lain betapa mereka mencintai mereka ketika mereka masih hidup. – Orlando A. Battista
Dengan sentuhan cinta, setiap orang menjadi penyair. – Plato
Aku merasa mual dan kesemutan di sekujur tubuh… entah aku jatuh cinta atau terkena cacar air. – Woody Allen
Bila kau ingin seberapa banyak aku mencintai dan mengasihimu, hitunglah ombak. – Kenneth Koh
Kebaikan, keburukan, kesulitan, kegembiraan, tragedi, cinta, dan kebahagiaan semunya terajut ke dalam suatu keutuhan yang tak terjelaskan, yang disebut orang sebagai hidup. Kita tidak bia memisahkan keburukan dari kebahagiaan, dan mungkin kita tidak perlu melakukannya. – Jacqueline Bouvier Kennedy Onassis
Biarkan cintamu lebih kuat daripada kebencian atau kemarahan. Pelajari kebijakan dari kompromi, karena lebih baik sedikit bengkok daripada patah. – H.G. Wellls
Kebahagiaan terbesar dari hidup adalah keyakinan bahwa kita dicintai – dicintai untuk diri kita apa adanya, atau lebih baik, bagaimanapun keadaan diri kita. – Victor Hugo
Tanpa cinta, kerumunan orang bukanlah teman, wajah-wajah hanyalah deretan gambar, dan pembicaraan hanyalah dentingan simbal. – Francis Bacon
Seorang psikiater mengajukan banyak pertanyaan yang mahal, yang diajukan oleh istri Anda secara gratis. – Joe Adams
Cinta itu menyembuhkan, baik bagi yang memberi maupun yang menerima. – Dr. Karl Menninger
Cinta melepaskan topeng yang selama ini kita yakini bahwa kita tidak bisa hidup tanpanya dan kita ketahui bahwa kita tidak bisa hidup di dalamnya. – James Baldwin
Kewajiban pertama dari cinta adalah mendengarkan. – Paul Tillich
… dan bila aku mempunyai iman yang bisa memindahkan gunung, tetapi tidak mempunyai cinta, maka binsakanlah aku. – Rasul Paulus (1 Korintian 13:2)
Kisah cinta sesungguhnya tudak pernah berakhir. – Richard Bach
Semoga kita hidup selama kita inginkan dan mencintai selama kita hidup. – Robert A. Heinlein, time Enough for Love
Jatuh cinta adalah hal yang mudah, bahkan memeliharanya pun tidaklah sulit, kesepian manusia sudah cukup menjadi penyebabnya. Yang sulit dicari adalah teman yang kehadirannya terus-menerus menjadikan dia orang yang terus diinginkan. – Anna Louise Strong
Terimalah hal-hal yang telah ditakdirkan untukmu, dan cintailah orang-orang yang telah ditakdirkan untuk dipersatukan denganmu, tetapi lakukankah dengan sepenuh ahti. – Marcus Aurelius
Setiap musim membawa kebahagiaannya tersendiri. – Peribahasa Spanyol
Hanya ada dua cara untuk menjalani hidup. Salah satunya adalah seolah-olah keajaiban itu tidak ada. Cara lainnya adalah seolah-olah segala sesuatunya adalah keajaiban. – Albert Einstein
Ketika Anda dicintai sebagaimana ia mencintai Anda, Anda akan menjadi tua dengan indah. – W. Somerset Maugham
Mencintai dan dicintai adalah seperti merasakan sinar matahari dari kedua sisi. – David Viscott
Usia tidak melindungi Anda dari cinta, tetapi cinta melindungi Anda dari usia. – Jeanne Moreau
Setelah nostalgia ini, sepertinya saya punya utang menuntaskan buku-buku Chicken Soup di rak yang berderet itu. Hufh… baiklah, 2022 masih panjang. Dua lagi cukup kurasa. Moga sisanya bisa tahun depan. Semangat kawan-kawan! Ingat ucapan yang sama yang akan diucapkan oleh nenek, “Sepertinya ia pria muda yang baik.” Chicken Soup for the Romantic Soul | Kolaborasi | Copyright 2002 | GM 204 05.021 | Alih bahasa Susi Purwoko | Gambar dan desain sampul Yasmine Hadibroto | Setting Rahayu Lestari | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | April 2005 | Cetakan kedelapan, Februari 2010 | ISBN 979-22-1350-3 | Skor: 4/5
Bagi setiap orang yang percaya pada keajaiban cinta.
“Pakaian hanyalah penampilan, tapi hati adalah kesungguhan.”
Luar biasa, buku-buku terbitan Metafor dengan tema sastra ditulis keroyokan, sebagian malah hasil terjemahan. Ini edisi perdana, dan sudah sangat bagus. Buku kedua yang kubaca, bagus semua. Kenapa buku sebagus ini tak dilanjutkan terbit ya? Tahun 2000-an saya belum paham sastra, sekarang melahap banyak sekali sastra, dan buku ini makin membuat saya respect sama buku-buku Metafor.
Ini justru terbitan #1, dan langsung menghentak dengan menjual nama Jose Saramago. Bukan cerpen sebenarnya, hanya nukilan novel Blindness bab satu. Karena saya sudah baca, saya langsung klik, sayang buku itu dipinjam teman dan tak kembali, sehingga nostalgia itu hanya sebab. Nanti deh, saya cari novelnya lagi.
Disajikan juga wawancara sang maestro cerita Portugal ini, sangat-sangat bervitamin memberi tips-tips menulis. “Saya menulis empat halaman sehari. Ini soal penataan pikiran, mungkin kelihatannya tidak banyak, tapi… Syarat pertama untuk menulis adalah duduk, dan menulislah.” Dan yang lokal-pun tak kalah hebat, almarhum Umar Kayam menyumbang wawancara dengan post credit seolah ‘farewell’. Hebat, buku yang luar biasa. Semoga ke depan ada buku sejenis ini diterbitkan lagi.
#1. Sang Pemula (Prolog) by Sitok Srengenge
Ini adalah sambutan, dari sang penggagas. Sang Pemula yang menjadikan perkenalan terbitnya Prosa. Angkat topi untuk ide ini buat Bung Sitok Srengenge. “Cara pandang, daya apresiasi, dan selera para pengasuh suatu media bisa memunculkan warna dan nilai tunggal.”
#2. Cerita tentang Ibu yang Dikerat by A.S. Laksana
Masih dengan Alit, karakter favoritnya. Dan karena saya sudah baca, saya menelusur saja kata-kata ini, seolah baca ulang. Kehebatan di sini adalah kejut siapa sudut pandang sebenarnya, dan motif ada sejatinya yang disembunyikan. Sedih, amarah, dan takjub sama pola seperti ini, seringkali berhasil menipu pembaca.
“Ku benar, mestinya ia bertobat. Tapi segalanya sudah terlanjur dan ia mungkin terlalu angkuh.”
#3. Guna-guna dan Gula-gula by Danarto
Perkara telat kawin, dan godaan di luar sana. Mas Guru yang ditegur Pak Kiai, kenapa tak kawin-kawin, sampai mempertanya metode ajar, sebab ia sendiri rasanya perlu diajar. Sehingga Pak Kiai menawarkan guna-guna menjerat wanita. Gaji guru kan tahu sendiri, makanya ia nekad ambil sebab yakin keampuhannya, efeknya bikin tawa. Dan dialog akhir yang sungguh-sungguh bikin ngakak.
“Carilah mangsa lain. Guna-guna yang saya bekalkan sangat ampun untuk memeluk sekian gadis dengan berbagai tipe dan etnik.”
#4. Kebutaan by Jose Saramago
Cerita tanpa nama karakter, kebutaan tiba-tiba di persimpang jalan. Tak ada yang tahu mengapa laki-laki itu mendadak tak bisa melihat. Matanya diselimuti putih, dan ia harus diantar pulang ke apartemennya. Istrinya memeriksakan ke dokter mata, yang malah bikin heran. Dan begitulah, (nantinya) menyebar.
“Kalau nyatanya anda buta, maka kebutaan anda saat ini tidak bisa dijelaskan.”
#5. Dadu by Nirwan Dewanto
Cerita wayang atau drama perwayangan dengan selubung nasihat kehidupan.
“Si pengarang (seorang pengarang yang tak mencantumkan namanya), memang sengaja merancang sejumlah jebakan untuk membingungkan (atau memabukkan) pembaca.”
#6. Tiga Kisah by Sapardi Djoko Damono
Tiga cerita yang (seolah) taka da keterkaitan. Testamen tentang anjing kampung yang baik, Jalan Lurus yang bernarasi, dan Membaca Konsultasi Psikologi tentang suami seorang PNS yang pening.
“Mungkin saya ini seorang suami yang berpandangan kuno, tidak begitu memahami perubahan zaman.”
#7. Penangkaran Binatang by Whani Darmawan
Ini adalah uneg-uneg para binatang yang ditangkar, dan bagaimana proses serta prosedurnya. Banyak bahasa Jawa-nya, hingga dibuatkan banyak catatan di akhir.
“Bisakah engkau menangkarkan landak, lele, dan ikan pari di dalam hati?”
#8. Bertemu Hemingway by Gabriel Garcia Marquez
Wawancara bersejarah dengan George Plimpton di Paris Review, Hemingway mengatakan bahwa berlawanan dengan gagasan Romantik tentang kreativitas – kenyamanan ekonomi dna kesehatan yang terjaga, sampai kapan pun merupakan hal yang kondusif untuk menulis bahwa salah satu kesulitan utama pengarang adalah mengatur susunan kata sebaik-baiknya.
Satu hari kerja hanya boleh berhenti ketika pengarang telah mengetahui dari mana ia akan memulai esok harinya. Saya kira tidak ada nasehat yang lebih berguna yang bisa diberikan tentang kegiatan mengarang.
Karya Hemingway penuh dengan penemuan-penemuan sederhana dan memesonakan seperti ini, yang menegaskan perumpamaan yang dipakainya sebagai acuan untuk menyusun definisinya sendiri tentang penulisan sastra, bahwa seperti gunung es, karya sastra hanya akan bisa berdiri kokoh jika ditopang di bawahnya oleh tujuh-perdelapan bagian dari keseluruhan rancang-bangunnya.
Sebagaimana diutarkannya sendiri, karya Across the River semula dimaksudkan untuk menjadi sebuah cerita pendek dan terperosok ke dalam ‘hutan bakau’ sebuah novel.
Jika orang begitu lama menyelami karya seorang penulis dengan intensitas dan kecinaan yang demikian besar, niscaya ia akan kehilangan cara membedakan fiksi dengan kenyataan.
#9. Dunia di Sebutir Pasir by Hasif Amini
Karya sastra memang sering menemukan dayanya justru dari semacam ketiadaan pesan, atau kekaburan amanat (kata yang lebih baik adalah ambiguitas), yang sekaligus berarti bahwa pembaca bisa bekerja atau bermain membubuhkan bayang-bayang baru pada setiap pembacaan.
Menyediakan ceruk-ceruk remang yang bisa dihuni hantu-hantu makna
#10. Ingatan, “Tidak”, Cinta dialog dengan Katherine Vas
Keren banget. Wawancara hebat, sederhana tapi memikat.
“Saya biasanya hanya menulis di rumah. Saya tidak bisa menulis di hotel, atau di rumah teman. Sama sekali tidak mungkin, saya hanya tidak mampu melakukannya, taka da yang bisa keluar. Itu saja.”
“Ketika ide sudah saya dapatkan, segera saja itu menjadi obsesi… Saya telah mengarang sebuah kisah cinta tanpa sepatah katapun cinta.”
#11. Cerita yang Hidup dan Hantu Ilmu Sosial by Umar Kayam
Keren ini sih, wawancara pada 22 Januari 2002 yang nantinya (atau sudah) legendaris antara AS Laksana, Sitok, dan Hasif kepada Umar Kayam. Kita jadi tahu pandangan sastra sang penulis Para Priyayi ini. Saya kutip saja sebagian kalimat-kalimat bagus ini:
“Bahasa Indonesianya bagus tapi ruwet. Enigmatik. Sajak-sajak yang baik itu menurut saya harus bisa menggugah imajinasi. Meskipun imajinasi yang kita dapat tidak sama dengan sang penulis.”
“Pertimbangan utama editing: wagu opo ora? (janggal apa tidak?)”
“Mana yang lebih penting menurut Anda, logika atau keindahan bahasa. Sama-sama penting.”
“Terhadap Rendra memang saya subjektif, seperti juga terhadap Goenawan. Tidak bisa objektif sata pada dua orang itu, karena hubungan pribadi kita terlalu dekat.”
Tulisan ini ditutup dengan kabar, pada 16 Maret 2002 sang legenda meninggal dunia. “Pak Kayam meninggal dunia.” al-fatihah.
Prosa #1 – 2002 | Redaksi Sitok Srengenge (Kerua), Hasif Amini, Arif B. Prasetyo, Rani Elsanti (sektertaris) | Desain Muhammad Roniyadi | Penerbit Metafor | Skor: 5/5
Karawang, 100622 – Westlife – I Lay My Love On you
“Aku adalah potongan senja yang kau ambil untuk pacarmu. Tinggal seperempat. Tiga perempatnya telah hancur oleh hujan yang kauciptakan.”
Kumpulan cerpen keroyokan. Sebuah persembahan untuk Seno Gumira Ajidarma (SGA). Bagus-bagus, aku suka. Memang kalau ngomongin senja, pertama yang terlintas adalah SGA. Walaupaun sebelum beliau bikin cerpen yang fenomenal itu, tentu saja senja sudah jauh hari diulik banyak penulis atau seniman dan lebih sering penyair. Menampilkan 15 cerita dengan tafsir senja bebas, sebebas-bebasnya. Dibuka dengan pengantar Anton Kurnia, ditutup dengan profil para penyaji.
Beberapa kutipan dari tulisan Anton Kurnia saya ketik ulang saja. Bagus buat dibagikan.
Peneliti sastra Indonesia dari Australia, Andy Fuller menyatakan SGA menggunakan jurus-jurus postmodermnisme dalam karya-karyanya, antara lain menggunakan metanarasi, absurditas dalam penokohan, dan kedekatan dengan budaya populer. SGA juga kerap membaurkan batas-batas antara fiksi dan fakta dengan memdukan jurnalisme dan sastra.
Mengutip Pramoedya, dunia tentu saja bukan surga yang segalanya serbasempurna; dunia adalah tempat kebaikan dan keburukan berdialektika, dan setiap manusia ‘bebas’ memilih peran masing-masing.
Seperti yang dinyatakan oleh SGA dalam tulisannya, seseorang yang ingin menjadi penulis yang baik tinggal melihat lewat jendela kehidupannya dengan baik-baik, lantas menuliskan apa paun yang dianggapnya menarik atau tidak menarik, dengan cara yang menarik maupun tidak menarik. Kedunya menyumbang, keduanya mendapat tempat.
#1. Gadis Kembang – Valiant Budi Yogi
Haha, pembuka yang lucu. Info apa yang beredar belum tentu segaris lurus sama fakta. Info selingkuh dan pasangan yang dicampakkan, nyatanya tak seperti yang kita tahu. Taya dan drama ala sinetron kita yang haus sensasi. Simpan simpatimu, Kawan.
“Tapi aku senang mengendap-endap.”
#2. Perkara Mengirim Senja – Jia Effendie
Senja begini tak boleh dinikmati sendirian. Menatapnya seorang diri akan membuatmu depresi. Seperti ada jarring sepi yang dilemparkan dari langit dan merungkupimu dalam perangkapnya. Kau jadi seperti tersayap-sayat sendiri. Dipenjara kesunyian, digantung keheningan. (h. 14-15).
“Aku akan memajang senja itu di ruang tamu. Biar semua orang yang datang ke rumahmu iri.”
#3. Selepas Membaca Sebuah Pertanyaan untuk Cinta, Alina Menulis Dua CeritaPendek Sambil Membayangkan Lelaki Bajingan yang Baru Meninggalkannya – M. Aan Mansyur
Ada banyak kata-kata dalam diam. Celana besi yang mencegah selingkuh dicipta dan dipasangkan ke istri di rumah. Dan publikasi akan mencipta sensasi, hingga akhirnya kita tahu bahwa kunci tak selamanya aman.
Kalimat itu tak punya kuasa untuk meluruhkan sedihnya. Kecelakaan dan kesedihan yang tercipta setelah kemakaman istri tercinta. Dan hal-hal yang tersembuyi di baliknya.
#4. Kuman – Lala Bohang
Cinta nafsu yang menggebu ditautkan dalam cinta sejati. Beneran cinta sama dia? Lantas kenapa masih di sini bersama orang lain? Bertender gagah menjawab dengan kekuatan magisnya.
“Aku mau dua-duanya.”
#5. Ulang – Putra Perdana
Alina dan Sarman mendaki bukit dan melakukan hal-hal yang memang harus dilakukan. Melakukan perjalanan hingga ke gua untuk bertemu juru cerita misterius.
“Jawaban macam apa itu? Kalaupun sejarah ditulis ulang, semua peristiwa itu telah terjadi. Menceritakan kembali dari awal tidak mengembalikan segalanya seperti sedia kalau. Suamiku tetap tiada! Anakku tetap tiada! Semua telah terjadi.”
#6. Akulah Pendukungmu – Sundea
Satu Oktober, hari Kesaktian Pancasila. Sebuah pigura Garuda Pancasila di kelas bisa menjelma hidup dan menggunakan keajaiban di hari istimewa itu.
“Apakah hari ini aku berhasil menemukan Sandra.”
#7. Empat Manusia – Faizal Reza
Saling silang nasib manusia di kehidupan fana ini. Purba, Hendar, Yani, Susan. Oh lima, satunya Ruth Sahanaya. “Sejak kapan kangen mengenal waktu?”
#8. Saputangan Merah – Utami Diah K.
Bagaimana cara berkenalan dengan orang asing dengan baik? Lebih pasnya bagaimana memulai perkenalan dengan orang asing dengan baik dan benar. Dan jika sudah mengenal, bagaimana memujanya dengan tak tampak begitu memuja. Oscar Wilde dan naskah teaternya mungkin tahu.
#9. Senja dalam Pertemuan Hujan – Mudin Em
Kafe. Hujan. Senja. Rasa sentimental akan menggoyahkannya. Masalahnya kamu bukan bersama istrimu, bersama kekasih gelap yang tak sepantasnya dipeluk hangat. Ahh… cinta. John Legend dengan Where Did My Baby Go biar yang menyaksi.
“Karena ia bisa menciptakan hujan. Dan mereka menyukainya. Mereka terjebak di dalamnya.”
$10. Kirana Ketinggalan Kereta – Maradilla Syachridan
Karena manusia tidak boleh terus nyaman dalam sebuah keadaan, sesekali harus melakukan perubahan. Hehe, mungkin ini yang terbaik. Cinta memang buta, dan kita berjalan dengan tertatih karenanya. Kirana dan ajakan menemani, sebab akan keluar kota. Dengan dokrin mungkin ini kali terakhir bertemu, apapun coba dilakukan. Saya kira manusia memang selalu mencari perkara.
“Ya, saya mau ikut kamu, Kirana.”
#11. Gadis Tidak Bernama – Theoresia Rumthe
Anggap saja saya hidup hanya untuk hari ini. menikmati segala sesuatu yang saya alami hari ini penuh-penuh. Besok lain cerita. Hari kemarin apalagi, mereka hanya akan lewat begitu saja. Tak ada romantisme tertentu. Enak betul kerja meneliti senja. Setiap hari disaksi dan ditelaah, berubahan, berbedaan, fenomena apa yang terjadi. Di dalam diri setiap manusia terdapat semacam kegelisahan. Dinas Penelitian Senja (DPS) siap melaporkan.
Tak usah banyak mendengarkan orang lain. Ini hidupmu dan bukan hidup mereka.
“Oke, lempar dadu. Andreas atau Lingkar?”
#12. Guru Omong Kosong – Arnelis
Dikin dan tugas dadakan mengajar kelas kosong. Terilhami novel Kitab Omong Kosong yang tergeletak di meja kelas, ia melakukan tugas mengajar, padahal ia hanya penjaga sekolah. Haha, dasar Togog!
“Judul buku ini: Kitab Omong Kosong.”
#13. Surat ke – 93 – Feby Indirani
Surat yang ditulis dengan romansa rindu, dibuka dengan Sayangku… dan kata-kata mutiara terpilih. Aku adalah mimpi-mimpinya, ia boleh membakar remah suratku jadi abu, tapi panasnya bara dari jantungku akan terus menyala. // Aku hadir di dunia untuk memberikan tanda. Dan dalam hal mendamba perhatian, nyaris tak ada bedanya apakah kau berusia sehari atau seribu datu kali lebih tua. // Konon ketika air mata pertama mengalir dari mata sebelah kiri, artinya kita menangis karena sesuatu yang menyakitkan. Sementara jika dari mata kanan, itu artinya sesuatu yang membahagiakan.
“Dan ini untuk menanyakan kehidupanku seolah kau tak tahu betapa sakitnya diabaikan…”
14. Bahasa Sunyi – Rita Achdris
Kata-kata dan segala yang berhamburan bersamanya. Emosi dan efeknya. Namun kita di era digital, kata-kata tak langsung dengan ketikan pesan instan yang terselubung.
“Selamat pagi, Tampan.”
#15. Satu Sepatu, Dua Kecoa… – Sundea
Reta dan ke-rebel-annya. Dijuluki Si Amazon, ke sekolah dengan mengenakan satu sepatu, murid baru yang aneh. Dihukum dan dicecar tetap saja tak peduli, dipelototin, berani balas melotot. Bahkan sama guru. Ternyata dia adalah sepupu Alina, sang pencerita dan ia berhasil menjelaskan kenapanya.
“Kemesraan Oom Arnold itu artifisial, Al, kelihatan banget. Abang saja suka muak melihatnya. Apalagi Reta.”
Keren ya SGA ini, profil dan karyanya sudah terbentang jauh sejak era Orde Baru. Banyak sekali tulisannya, berbagai jenis pula. Terakhir aku lihat di Zoom meeting acara Kompas penghargaan Cerpen terbaik 2020 ia menangkan. Dan responnya pas dapat bilang, biasa saja. Memang orang hebat. Pantas mendapat tribute ini, tepuk tangan…
Perkara Mengirim Senja | oleh 14 Penulis | Penyunting Jia Effendie | Penyelaras Ida Wadji | Pewajah isi Aniza Pujiati | Ilustrasi isi dan cover Lala Bohang | Penerbit Serambi Ilmu Semesta | Cetakan I: April 2012 | ISBN 978-919-024-502-0 | Skor: 4/5
“Bersamaku membuatnya merasa menjadi suami yang baik untuk orang lain. Ini membuatku sedih” – G
Kesedihan terdalam adalah mengingat kebahagiaan masa lalu. Cerita cinta yang hilang dan respon menghadapinya. Drama dengan kekuatan akting dikedepankan, karena ceritanya sederhana, kalau dibagi dalam babak ada tiga: kehilangan, pencarian dan penemuan fakta, legowo. Dunia duka dengan segala isinya. Kematian mendadak orang terkasih memicu tanya beruntun saat menemukan isi chat mesra di HP almarhum. Menemukan sebuah kartu identitas wanita lain diselipkan dalam dompet, dan inilah inti dari After Love, perjalanan menemukan jawaban kehidupan lain sang suami. Ini kisah tentang tautan dua wanita dalam satu hati lelaki.
Kisahnya dibuka dengan tenang, Mary (Joanna Scanlan) seorang muslim keturunan Pakistan dan suaminya Ahmed (Nasser Memarzia_ menyatakan diri kepada istrinya dengan identitas: Love), kapten kapal feri jalur Dover – Calais. Mereka tinggal di Dover, Inggris. Mereka pulang dari kondangan. Sang istri melepas hijab, memanaskan air untuk ngopi, mencuci gelas untuk persiapan. Membuka berkat, “apakah isinya ada daging?” oh tidak ada hanya lauk dan sayur. Sang suami duduk santai di ruang tamu, sembari nunggu untuk kopi disajikan, ia membuka HP dan bicara sambil lalu.
Lalu tiba-tiba ia meninggal dunia. Jangankan yang mendadak, orang sakit keras bertahun-tahun saja masih banyak yang tak siap menghadapi kematian. Adegan berikutnya menyaksi penyajian doa bersama yaa siin-an dan hulu ledak tangis dalam duka.
Barang-barang almarhum dirapikan, lantas menemukan kejanggalan. Chat tak selesai dengan wanita bernama Genevieve (Nathalie Richard), di kontak diberi nama ‘G’. Kartu identitasnya ada dalam dompet. Jadi selama ini suaminya selingkuh dengan wanita Prancis hingga memiliki anak. Mary yang kini sendirian lantas menyelidiki sisi lain hidup belahan hatinya. Berkendara jauh ke apartemen Gene, mengikuti rute feri tempat kerja almarhum, lantas menjelma tukang bersih-bersih, tenaga bantu, Sabtu ini mereka akan pindahan.
Hubungan mereka menghasilkan seorang anak lelaki Solomon (Talid Ariss) yang suka memberontak, di usia remaja dengan pikiran liarnya. Betapa ia merindukan kasih sayang seorang ayah. Ia pernah kabur dari study tour ke Dover untuk bertemu ayahnya. Setelah berhari-hari menjadi pendengar dan pengamat keluarga, mereka belum juga mengetahui identitas asli Mary. Karena memang Mary-lah yang mengorek kehidupan. Hal-hal tabu diungkap, suaminya minum minuman keras tampak saat video kenangan diputar di tv, ideologi Gene bahwa ia memang jadi WIL, tapi semua ga papa kok. Setelah itu, perhatikan gesture Mary, menggeleng dan ekspresi tak percaya! Terdeteksi getar halus rasa sedih dan marah dalam nada suaranya. Benaknya kosong dari pikiran apa pun, seakan-akan berpikir adalah sebuah kemewahan.
Gene dan Ahmed tak menikah, walau dalam Islam diperbolehkan poligami. Gene tak mempersalahkan berbagi suami, jelas muncul tekanan di sana tapi ya ngalir aja, menyadari status ia pacaran sama suami orang. Ya Mary sedih, tapi rasa sedih itu menjadi sangat saat menemukan fakta bahwa Solomon menjalin kasih sesama jenis, ini jelas menghancurkan hati setiap ibu. Ia yang memimpikan seorang anak, menemukan anak suaminya memiliki penyimpangan seksual sungguh mencipta pilu.
Semakin hari, Mary semakin mengerti mengapa suaminya memiliki sisi lain. Mereka tak punya anak, ia gendut, ia kurang cantik; ditampilkan dengan galau dalam cermin tatapan pasrah, ditampilkan pula dalam pembaringan pasir dicium ombak bak paus terdampar. Ia tak lugas dalam diskusi ilmu, ia memang taat ibadah dan selalu salat, bahkan menangis dalam sujudnya. Namun ia juga menyadari penampilan dan kepribadian wanita lain yang lugas dan terbuka, hingga fakta-fakta kecil bahwa kekurangan yang ada di dirinya bisa ditemukan dalam selingkuhannya. Singkatnya mereka melengkapi.
Hingga akhirnya, Mary mengakui statusnya, nama Islamnya Fatima, identitas yang diketahui Gene, lantas ledakan amarah tersaji, keduanya marah, keduanya kesal. Mary menyampaikan kematian mendadak Ahmed, mereka tak siap, HP-nya ditelpon, ada dalam tasnya, dan kekalutan itu wajar, memang pantas membuncah, waktu juga yang mengantar mereka kembali membumi karena dunia terus berjalan, dan setelah kepergian Cinta, ada hal-hal yang laik diperjuangkan, diperbaiki. Fakta mengembuskan napas kekhawatiran dan juga kelemahan, yang dapat membelenggu dan juga membebaskan.
Ini drama sentimental, Mary bercerita masa pacaran pada ‘anaknya’ bahwa zaman dulu komunikasi pakai surat, membuat rekaman kaset pita untuk dikirim dan diperdengarkan bila rindu melanda. Klasik. Tak seperti sekarang, dengan HP kendala rindu menjadi sederhana untuk disampaikan. Nah, berkali-kali kita menjadi Mary untuk mendengarkan rekaman voice mail dari Love. Pesan-pesan sederhana sehari-hari, Mary menikmatinya sebagai kenangan yang sungguh bernilai, sedikit mengobati rindu. Ini jadi adegan touching sekali, saat pesan suara itu hangus. Fufufu… begitu juga saat menemukan pakaian-pakaian almarhum, diciumi, dipeluk. Hal-hal sentimental yang rasanya tak bisa dengan mudah dilepas, termasuk bau khas baju tersebut. Rasanya sayang, karena setelah dicuci arti jejak itu hilang, menguap. Kami merindukanmu bak halilintar.
Sempat memunculkan tanya, “Kapan terakhir kali kalian salat hingga sesenggukan meneteskan air mata?” Lupa saking jarangnya? Banyak alasan untuk menangis, banyak cara mendekatkan diri dengan Yang Mahakuasa, betapa lemah dan rapuhnya manusia.
Banyak sekali pengambilan gambar alam disajikan. Lautan dengan ombaknya, pohon-pohon hijau yang berkejaran saat naik bus, angin berdesir menyapu ombak, dengan sang protagonist tiduran di pasir pantai, dibelai ombak, diraba hembusan. Langit cerah yang menawarkan obat duka, hingga rentetan butir debu berterbangan jatuh dari langit-langit. Semua ditampilkan dengan lembut seolah penting, seolah hal-hal kecil yang ada di sekitar kita menyokong kehidupan fana ini. Mary duduk di kursi depan rumah, melihat kegiatan di sekitar dengan HP di tangan saja sudah tampak menarik, sebab kamera sesekali mengambil dari depan yang artinya Mary menonton penonton, menampilkan kerutan kening kesedihan di wajahnya.
Walau disesaki kisah duka, pada akhirnya ceritanya selesai dengan bahagia, semua berdamai dengan keadaan, berziarah, mendoakan, memaklumkan. Ini berkebalikan dengan awal mula saat fakta-fakta pahit diungkap, saling marah saling tampar, saling teriak. Alih-alih berusaha mengubah riak-riak konfliks dari sesuatu yang asing dan artifial, After Love membiarkan adegannya mengalir sendiri dari dalam pikiran, lantas kamera menyorot mereka bertiga di tepi pantai, menjauh perlahan seolah mengucap ‘Goodbye‘ guna menutup film.
Mereka akhirnya menyerahkan diri pada ketiadaan beban.
After Love | Tahun 2020 | Inggris | Directed by Allem Khan | Screenplay Allem Khan | Cast Joanna Scanlan, Nathalie Richard, Talid Ariss, Nasser Memarzia | Skor: 4/5
Karawang, 150921 – Shirley Horn – I Got Lost in his Arms
“Kita harus menikah dan melarikan diri dari tempat ini secepat yang mungkin dilakukan oleh manusia. Apa kautahu betapa kita akan bahagia di Frankfurt?” Ini adalah kata-kata Ka kepada Ipek. Selama sesaat, dia mencoba membayangkan mereka berdua di Frankfurt, menyusuri Kaisertrasse, berjalan pulang setelah menikmati malam di gedung bisokop. Namun manusia hanya bisa merencana. Ka meyakini bahwa kebahagiaan terdiri atas kebaikan dan keburukan dalam jumlah yang seimbang, sehingga dia siap memandang pemukulan itu sebagai penderitaan yang harus dijalani supaya dirinya layak memboyong Ipek ke Jerman.
Buku dimula dengan empat kutipan di bawah ini, rasanya sangat laik diketik ulang dan dibagikan. Mewakili isi cerita, dan saya suka kutipan bagus gini. Seumur hidup Ka, seluruh pengalaman cintanya selalu disaput rasa malu dan derita, dehingga kemungkinan jatuh cinta lagi membuatnya begitu tenang. Pemandangan-pemandangan itu mengisahkan rasa kesepian yang aneh dan kuat.
“Kita tertarik pada sisi berbahaya setiap hal. Pencuri yang jujur, pembunuh yang lembut, ateis yang beriman.” – Robert Brwoning,“ Bishop Blougram’s Apology
“Politik dalam karya sastra adalah sebuah pistol yang ditembakkan di tengah-tengah sebuah konser, sebuah tindakan kejam yang mustahil diabaikan. Kita hendak membicarakan sebuah urusan gelap.” – Stendhal, The Charterhouse of Parma
“Baiklah jika begitu, singkirkan saja manusia, batasi tindakan mereka, paksa mereka untuk diam. Karena pencerahan Eropa jauh lebih penting daripada manusia.” – Fyodor Dostoevsky, The Brother ‘s Karamozov
“Orang Barat di dalam diriku telah membusuk.” – Joseph Conrad,Under Western Eyes
Ini kisah tentang cinta sejati yang membuncah, dibelit sesak keadaan.
Ka dan kehidupan yang dijalaninya di usia jelang tua. Penyair terkenal yang menjadi pelarian ke Eropa. Terkenal di Turki, tapi juga jadi bulan-bulanan sebab ideologinya dianggap membahayakan Negara, bahkan dianggap ateis, maka ia pergi ke Eropa, ke Jerman yang menampung. Nama aslinya Kerim Alakusoglu, nama kerennya Ka. Judul buku bisa saja Ka dan Cintanya, tapi akan tampak klise. Kepala mereka terasa pusing akibat impian-impian liar itu sehingga mereka tidak lagi merasa malu.
Kisah ini dimulai dengan tenang, kedatangannya kembali ke Turki setelah lama pergi, ke desa kecil Kars, di mana ia diundang dan dijadwalkan membacakan puisi. Ka melihat sisa-sisa masa lalu di kereta-kereta kuda yang masih terlihat di sana-sini, tersimpan di garasi-garasi, tapi kota itu sendiri tampak lebih kumuh dan menyedihkan daripada yang melekat dalam kenangannya.
Dia tak mengharap sambutan sehangat ini, dan dia takut ketenangannya akan goyah. Inilah yang ia takutkan selain menulis puisi yang buruk. Dia membaca apapun yang ingin dibacanya, dan dia membaca semuanya dengan kebahagiaan layaknya bocah yang menganggap kematian adalah hal yang terlalu jauh untuk dibayangkan.
Di sanalah ia kembali bertemu dengan teman kuliahnya, juga cinta sejatinya Ipek. Ipek seorang janda, mantan suaminya juga teman Ka. “Tidak”, jawab Ka. “Saat di Instanbul, aku mendengar bahwa kau dan Muhtar telah berpisah, aku datang kemari untuk menikahimu.”
Dan drama panjang bergesekan dalam gelegar politik, budaya, serta kemampuan bertahan dalam tekanan penguasa melawan pemberontak. Ka diombang-ambing kebimbangan, yang mana keputusan-keputusan yang ia ambil nantinya menjadi martir kematiannya di negeri jauh.
Ka, penyair muram yang memandang hidup dengan opmitisme penuh cinta, kembali ke Kars demi cinta. Kedatangannya dinanti penggemarnya, tapi juga dipandang sinis oleh kalangan agamamis, bahkan ia dituduh sebagai mata-mata Barat. “… mereka mengira Bapak sedang menjalankan sebuah misi rahasia dari pemerintah atau dikirim oleh pihak Barat…”
Ada satu pemuda tulus nan lugu. Nasibnya terakhir tragis, mati muda dalam keadaan tersenyum bahagia dalam hingar bingar tepuk tangan. “Mereka minum karena merasa tidak bahagia,” kata Necip. “Tapi, Bapak memabukkan diri supaya bisa menahan kebahagiaan tersembunyi yang sedang membuncah dalam diri Bapak.” Dia dapat mengingat setiap deskripsinya kata demi kata, seolah-olah cerita Necip adalah sebuah puisi.
Konfrotasi Lazuardi tampak memuakkan. “Hati Anda begitu rapuh dan mungkin tidak akan cukup kuat untuk menerima apa yang akan saya ceritakan, tapi izinkanlah saya menyingkirkan semua keraguan yang mungkin Anda miliki.”
Setiap kehidupan menyerupai sebuah kepingan salju: setiap individu mungkin terlihat sama saja dari jauh, tapi untuk memahami keunikan misterius seseorang, kita harus memecahkan misteri dari kepingan salju pribadi orang itu.
Kebetulan sedang ada kasus bunuh diri beruntun, para gadis yang mengakhiri hidup dengan berbagai alasan. Dari yang dipaksa kawin, diminta lepas jilbab, sampai kasus tak terang yang seolah tahu-tahu memutuskan bebas. Enam insiden bunuh diri dalam waktu singkat. Kesederhanaan motif tindakannya sungguh mengecewakan. “Tapi, jika ketidakbahagiaan menjadi alasan utama tindakan bunuh diri, maka setengah dari seluruh wanita Turki akan bunuh diri.” Dibelai dengan bacaan-bacaan Barat, dan dalam khayalannya, ruang dan waktu adalah faktor amat penting untuk bunuh diri.
Di sana ada ektrimis bernama Lazuardi, mengkoordinasi para pemberontak, melakukan teror, gerakan Islam radikal. Melakukan banyak serangan ke Pemerintahan yang terlalu liberal. Menuntut Turki kembali ke Negara Islam.
Bersamaan pula sedang ada gerakan Turki moderat yang dipimpin oleh kelompok teater Sunay, dengan kebebasan dan nuansa dunia baru, mendorong Turki untuk lebih terbuka terhadap Barat dan bahkan memainkan sandiwara kontroversial, di mana tokoh utamanya wanita yang membuka jilbab di atas panggung, lalu melakukan pembunuhan. Saat mendengar bahwa sandiwara itu berjudul Tanah Airku dan Jilbabku, mereka mengira ceritanya akan menyinggung masalah politik kontemporer. Hegel adalah orang pertama yang melihat bahwa sejarah dan teater terbuat dari bahan yang sama. Aku membaca semua yang pernah ditulis oleh Sartre dan Zola, dan aku yakin bahwa masa depan kita terbentang bersama Eropa.
Sunay sebenarnya aktor berbakat dan menjanjikan. Ia banyak melakukan improvisasi, pintar menyesuaikan diri, lalu menjadi terkenal sebab pemilihan peran. Dirinya besar dengan situasi Turki yang juga menjadi Republik. Namun, seseorang tak tahu batasan apa yang laik dan tidak disampaikan. “Mungkin suatu hari nanti jika public menghendaki, saya akan memainkan peran sebagai Nabi Muhammad.” Bersama kalimat inilah masalah mulai menderanya.
Nah, Ka ada di tengah itu. Cinta, politik, agama, teater, dan segala pusaran membingungkan. Kasihan sekali ia terjebak, padahal hatinya tulus dan baik sekali. Pria pendiam dan suka merenung yang sejatinnya hanya mengingin cinta dan bahagia. Kasihnya yang meluap terhadap Ipek menjadi tonggak penggerak mau ke arah mana ia berpijak. Ipek adalah anak sulung pemilik hotel, di mana Ka tinggal. Bersama pula si bungsu yang tak kalah cantik, Kadife. Apesnya, belitan kisah ini menekan nasib buruk pada Ka sebab Kadife adalah kekasih Lazuardi. Nantinya bahkan ada kejutan besar, kisah cinta ini. Rumit rek! “Ketidakbahagiaanku melindungiku dari kehidupan.” Kata Ka. “Jangan cemaskan aku.”
Beberapa kali Ka diminta ketemu dengan sang ekstrimis dengan naik kereta, ia naik dengan sembunyi di jok belakang tertutup, di tempat tersembunyi. Pertemuan berkali-kali ini dilihat sebagai persetujuan Ka mendukung Lazuardi, padahal ia hanya melakukan tugas. Begitu juga nantinya ia diminta sebagai penghubung Sunay yang melakukan pemberontakan di panggung, lalu menyusun strategi naskah yang menyatakan ia ditembak mati live di atas penggung dengan pemeran utama Kadife.
Sensasi yang selalu dirasakan Ka saat masih kanak-kanak dan remaja ketika mendapatkan kebahagiaan luar biasa membuncah di dalam dirinya: prospek masa depan yang diliputi keputusasaan dan penderitaan. “Apa aku harus mengunjungi semua orang gila di Kars?”
Ka yang sudah menemukan cintanya, Ipek yang sepakat ikut ke Jerman, dan segala ombang-ambing nasib itu, bagaimana akhirnya sungguh mengerikan. Betapa hidup memang kejam, Ka yang malang. “Satu-satunya hal yang menyatukan kita adalah fakta bahwa kita berdua merendahkan harapan kita akan kehidupan.”
Ka baru seminggu kembali di negeri ini, dan ia belum memiliki cukup keahlian sekuler untuk mendeteksi motif politik setiap melihat seorang wanita berjilbab. Pergolakan pemakaian jilbab menjadi tema penting di sini. Dari pelaku bunuh diri, promo akan pentingnya wanita melindungi diri, sampai puncaknya dalam pentas dengan tokoh melepas jilbab secara live. “Copotlah jilbabmu, karena Negara mengingin-kamu melakukannya.” Adalah kalinat yang sempat muncul, tapi Pamuk tak condong ke sisi manapun. Ia hanya berkisah, ia melakukan dengan jitu di tengah-tengahnya.
Penggambaran setting tempat juga ciamik sekali. Salju yang dingin menghampar luas di setiap mata memandang. Pepohonan dari masa kecilnya telah layu atau ditebang; gedung bioskop yang sudah ditutup selama sepuluh tahun, masih berdiri dikelilingi oleh deretan toko-toko pakaian kecil yang tampak suram.
Ka yang ateis memandang hidup ngalir aja, asal bahagia. Kebahagiaan terbesar akan datang jika dia tidak bertindak demi kebahagiaan pribadi. Ada pembunuhan dengan Ka sebagai saksi. Pembunuhan direktur Institut Pendidikan dengan tebakan jarak dekat, ia membawa sebuah alat perekam, yang ditempel di dadanya oleh seorang agen dari badan intelejen MIT cabang Kars. Harapan akan keselamatan mendatangkan kebahagiaan di dalam hatiku.
Sebagai penyair, setiap momen begitu berharga sebab inspirasi bisa datang kapan dan di mana saja, maka ia membawa buku catatan. Sebagian pikirannya masih bekerja dengan cara berbeda, dengan cara Barat, dan dia membenci dirinya sendiri karenanya. Hujan salju tak kunjung usai, begitu pula daftar topik yang harus kita diskusikan Hal ini terjadi karena benaknya terlalu sibuk memimpikan Ipek, perutnya masih kosong, dan kebahagiaannya meledak-ledak. “Aku tidak tahu bagaimana caraku menulis puisi, puisi yang bagus selalu hadir dari luarm dari jauh…”
Seolah memang tak peduli keadaan, ia hanya ingin cinta pada Ipek terbalaskan. Maka saat itu terwujud, ia melampung tinggi. “Aku sedang sangat bahagia sekarang ini. aku tidak butuh agama,” kata Ka. “Dan lagi pula, bukan karena itulah aku kembali ke Turki. Hanya satu hal yang mampu mendorongku kembali ke sini: cintamu… apakah kita akan menikah?”
Saya sempat terlintas pikiran, apakah mungkin Ka dengan Kadife saja yang lebih moderat sekaligus terkekang cinta itu? Lebih cantik dan wawasan lebih luas. Ka sedang sangat masuk, mereka semua menyangka pernyataan ini sebagai ceracau belaka. Kehidupan memiliki geometri rahasia yang tidak dapat diolah oleh akal sehat. “Kakaknya jauh lebih cantik,” kata Ka, “Kalau memang kecantikan yang kita bicarakan.” Saya tahu semua itu tidak mungkin terjadi, tapi saya masih mencita-citakannya. Namun pada akhirnya, cintanya pada Ipek luar biasa indah dikenang.
Hanya orang-orang yang sangat pintar dan sangat tidak bahagia bisa menulis puisi bagus. Dan Ka dengan tepat menggambarkan itu. Saya belum bisa menikmati puisi, sulit dan dalam. Ternyata resep utama memang tak bahagia. Hahahaha… Tak seorang pun mengerti, menyangka mereka adalah bagian dari sandiwara yang sedang dipentaskan. Jelas terlihat dari ekspresi wajah mereka bahwa sesuatu yang luar biasa telah terjadi. Salah satu dari topic penting dalam sebuah puisi adalah kemampuan si penyair untuk menutup sebagian pikirannya meskipun dunia sedang kalau balau. Tapi ini berarti bahwa penyair tidak memiliki hubungan dengan masa kini, sama seprti hantu. Itulah harga yang harus dibayar oleh seorang penyair demi menghasilkan karya.
Satu lagi, dalam novel seorang penulis harus bisa mengandaikan adegan bukunya. “Ya. Akan ada adegan yang tepat seperti ini dalam novel fiksi-ilmiah yang akan saya tulis suatu hari nanti…”
Dia memenangkan diri dengan berpura-pura bahwa dirinya hanyalah seorang tamu hotel biasa di sebuah kota asing. Dan baru ketika itulah dia mulai menyatukan segala hal yang sebelumnya diabaikan oleh pikirannya. Kedamaian jalan yang kosong mengingatkan Ka pada jam malam yang diberlakukan saat masa kanak-kanaknya. Secara samar-samar hidungnya juga menangkap aroma iodin dan rumah sakit, teror dan kematian. Tepat ketika itulah sebuah puisi baru menempa benaknya; begitu kuat, begitu membahagiakan dengan cara yang ganjil. “Tapi, aku tak bisa mengejar diriku sendiri. Yang bisa kulakukan hanyalah bertahan. Semua yang dilakukan dengan baik akan berakhir baik.”
Aku menyambar kesempatan besar yang hanya mendatangi orang-orang yang dikaruniai kejeniusan dan pada hari ketika aku akan menggunakan karyaku untuk melibatkan diri dalam arus sejarah, tiba-tiba ada yang menarik karpet yang kupijak, dan aku mendapati diriku terjerebab dalam kubangan lumpur terjorok.
Jika kita tidak membiarkan tentara dan Negara mengurus para fanatik berbahaya ini, kita akan berakhir dengan kembali lagi ke Abad Pertengahan, terjerumus dalam anarki, menyusuri jalan terkutuk yang telah dilewati oleh begitu banyak bangsa terbelakang di Asia dan Timur Tengah. Kau harus meyakini Tuhan dengan cara seperti orang miskin, kau harus menjadi salah seorang dari mereka.
Misi melelahkan dan membosankan ini tidak hanya mematahkan sol sepatu si detektif tetapi juga semangatnya. Seperti seorang pria tua murung yang tersesat di lautan impian dan hantu, dia membicarakan tentang kenangan-kenangan politik yang menghampirinya saat menonton Marianna, dan tentang ketakutannya kembali ke penjara, dan tentang tanggungjawabnya sebagai seorang pria.
Dia sedang merayakan fakta bahwa pada akhirnya dia dapat mewujudkan berbagai fantasi yang selama ini bermain-main di dalam pikirannya. Diagram kepingan salju antara logika dan imajinasi dengan Ka di titik pusat.
Kecemburuan semacam ini wajar terjadi dalam tahap awal hubungan asmara yang belum teruji, mtapi sebuah suara batin yang lebih kuat menyuruhnya untuk memeluk Ipek dengan sekuat daya dimilikinya… “Mengapa dia menangis?” / “Dia sedang jatuh cinta.”
Ka tidak berpendapat bahwa Surga adalah masa depan yang kami impikan: bagi Ka, Surga adalah tempat mimpi-mimpi dalam kenangan dilestarikan. “Kami miskin dan sepele. Kehidupan merana kami tidak mendapatkan tempat dalam sejarah manusia. Suatu hari nanti, semua yang ada di Kars akan mati dan pergi. Tak seorang pun akan mengingat kami, tak ada yang memedulikan kami…
Dia terlempar dari waktu, dilumpuhkan oleh gairah; satu-satunya penyesalannya hanyalah karena dia telah menghabiskan kehidupannya selama ini tanpa menemukan surge itu. Ini kedamaian yang dirasakan jauh melampaui apa pun yang pernah dialaminya. Dengarkan kau, kehidupan bukan melulu soal prinsip, kehidupan adalah soal mencari kebahagiaan.
Orang-orang yang membuat keputusan buruk dalam kehidupan mereka gara-gara gejolak kekeraskepalaan sesaat, dan kemudian seumur hidup menyesalinya. “Dan, bagaimana Anda mendefinisikan kebahagiaan.” / “Kebahagiaan adalah menemukan sebuah dunia lain untuk ditinggali, sebuah dunia tempat kita bisa melupakan kemiskinnan dan tirani. Kebahagiaan adalah memeluk seseorang dan mengetahui bahwa dunialah yang sedang kita peluk.”
Anda tidak mengikuti perkataan hati kecil Anda sendiri; Anda hanya menerka-nerka apa yang akan dilakukan oleh seorang Eropa dalam situasi yang sama, lalu Anda bertindak seperti itu juga. Keputusan akhir buku juga sudah sangat pas tampak realistis. Sang kolonel bilang, mereka telah mencampurkan seni dan realitas.
Penganut agama radikal di manapun sama saja, menuntut kebebasan beragam, tapi hanya untuk kaumnya. “Mengapa ada begitu banyak orang yang tiba-tiba berpaling ke agama?” adalah pertanyaan umum. Ayatollah Khomeini bilang, “Yang terpenting untuk dilakukan sekarang ini bukanlah menunaikan salat atau berpuasa melainkan melindungi Islam.”
Ada penjelasan asyik, walau sekadar astronomi iseng bahwa pasangan yang paling cocok untuk pria Gemini adalah wanita Virgo. Sherina dan aku nih, walau jenis kelamin dibalik. Pada akhirnya buku ini seolah biografi teman Pamuk. Ditulis dengan gaya sastra yang sangat bagu. “Karena nantinya Ka akan menggambarkan secara mendetail kebahagiaan tak berbatasnya ini dalam buku catatannya, aku tahu pasti perasaan apa yang sedang menderanya malam ini…” Yap, Pamuk melakukan penelusuran hidup Ka.
Hasil cetaknya bagus, walau tebal sekali, terlihat sangat kuat tak mudah rontok. Hanya saja saya menemukan dua lembar di halaman 633-636 diilid terbalik. Lucu juga sih jadinya. Mulai dibaca 23.03.21 selesai 18.04.21, hampir sebulan. Melelahkan sekali seperti bercinta dengan durasi lama, 600 halaman dalam hingar bingar Turki yang dingin.
Ini adalah buku kedua Orhan Pamuk yang kubaca setelah Wanita Berambut Merah. Suka banget penggambaran adegan final di kamar hotel. Ka melihat Ipek bagaikan sesosok patung, di jendela Kamar 203 di Hotel Istana Salju, masih mengenakan gaun beledu hitamnya… seolah Ka ingin menangkap momen itu dan tak mau beranjak.
Hal terpenting dalam kehidupan adalah kebahagiaan, tapi sebagian dari diri kita mengetahui bahwa kita harus merajut kebohongan, jauh lebih siap berkorban. Sediah sekali ya nasib Ka. Seperti di dalam mimpi buruk, semua orang merasa sendirian. Aku menolak untuk tunduk pada keputusasaan. Mimpi-mimpi heroik adalah tempat berpaling bagi mereka yang tidak bahagia.
Betapa Ipek jauh lebih cantik dalam kenyataan daripada dalam ingatannya. Ka tahu betul bahwa kehidupan adalah rangkaian tanpa arti dari berbagai kejadian acak.
Salju | by Orhan Pamuk | Diterjemahkan dari Snow | terjemahan bahasa Turki dari Maureen Freely, terbitan Faber and Faber, London, 2005 | Penerbit Serambi Ilmu Semesta | Penerjemah Berliani M. Nugrahani | Penyerasi Qamaruddin SF dan Anton Kurnia | Pewajah isi Sitqom | Cetakan I: Agustus 2015 | ISBN 978-602-290-043-6 | Skor: 5/5
Untuk Ruya
Karawang, 230721 – 030821 – 090821 – Bill Withers – Grandma’s Hand
Satu cerpen dalam satu buku. Terdengar gila ‘kan? Gila nggak? Ya aja deh. Biasanya kita disuguhi kumpulan cerpen, minimal dua atau tiga cerpen. Berarti ini diluar biasanya, hanya Eka Kurniawan yang bisa. Penulis lokal dengan ketenaran dan jaminan mutu. Hebatnya lagi, laris. Dari beranda sosmed saat masa pre-order dibuka dari harga 50k menjadi 40k, banyak sekali toko buku daring yang pajang sold out. Mendekati hari H penutupan, saya yang penasaran malah ikutan klik beli. Dan, setelah #unboxing, ini benar-benar satu cerpen dijual lima puluh ribu rupiah! Dibaca lima menit. Kalau value biaya (saat ini) jelas kurang worth it, tapi kembali ke kualitas yang utama. Eka adalah brand, di mana namanya yang tercetak di sampul memberi rasa penasaran, minimal ada keinginan menikmatinya.
Cerpen ini pertama terbit dalam bahasa Inggris di antologi Tales of Two Planets dengan judul ‘The Well’ yang diterbitkan oleh Penguins Books tahun 2020. Kisahnya tentang hikayat sejoli yang saling mencinta tapi kandas karena keadaan. Lihat, tema usang kasih tak sampai kalau dicerita dengan mantab menghasilkan thriller bermutu.
Adalah Toyib yang sedari kecil mencintai Siti dari kampung sebelah. Setiap pagi berangkat sekolah bersama, kadang berdua, kadang ramai-ramai. Garis nasib mencipta, ayah keduanya berduel hingga ayah Siti mati. Gara-gara sepele, masalah pembagian pengairan sawah. Ayah Toyib setelah kabur ke hutan, berhasil ditangkap lalu dibui. Keadaan ini jelas turut serta membawa sejoli ini merenggang, ada aib dan sengsara yang memisahkan mereka.
Setelah empat tahun delapan bulan, ayah Toyib bebas. Ia banyak belajar memperbaiki mesin semasa di penjara. Ia bahkan berhasil mengumpulkan uang dengan jasanya, dan uang itu ingin diberikan kepada Siti, lewat Toyib. Berat, tapi diiyakan.
Nah, ada sebuah sumur di lembah, di balik bukit seberang perkampungan. Satu-satunya sumber air yang bisa diandalkan. Siti melaksanakan tugas mengambil air, Toyib juga. Kesempatan ini dipakai untuk menyampaikan niatnya. Sore itu mereka bertegur sapa dalam canggung. Saat niat utama disampaikan, hanya satu kata yang terucap dari sang gadis, “Tidak.”
Siti yang coba menghindar terjatuh dan luka kakinya, Toyib mencoba membantu. Berikutnya seolah mendapat amanat memikul dua ember untuk dua keluarga ini. Siti diam, dan dianggap sepakat saja. Waktu lalu mencipta perubahan, Toyib diterima masuk rumah dan ibu Siti yang menerima bungkusan tersebut. Saat ditanya di mana Siti? Ternyata sudah berangkat merantau ke kota. Pupus sudah harapan itu…
Dan begitulah, perpisahan tanpa kata-kata itu mencipta jarak yang sungguh lebar. Kabar satu tertimbun kabar lainnya, masa membawa manusia-manusia ini dewasa dengan sangat cepat. Siti menikah, Toyib patah hati dan berniat mencari kerja ke kota, tragedi lain terjadi, dan sekali lagi saat ada kesempatan kedua, akankah cinta pertama ini dapat dipersatukan?
Pertanyaan mendasar orang yang menikah, “Apakah kamu bahagia dengan pernikahanmu?” Sejatinya bukan khusus untuk orang-orang pacaran yang kandas ke pelaminan. Ini pertanyaan umum, bahkan bagi pasangan yang saling mencinta, saling berjanji sejati, saling sepakat untuk setia, menikahi orang terkasih. Masa akan melindas banyak sekali kenyataan pahit manis, dan pertanyaan itu layak diapungkan juga. Dunia fana yang membuncah tanya, masa depan yang misterius.
Dihadiahi jaket buku yang manis dan pembatas buku sederhana dengan pesan makjleb dari Penerbit. “Terima kasih telah membawa pulang Sumur karya Eka Kurniawan. Buku ini hanya dicetak sekali. Pada suatu saat nanti dia akan menjadi langka. Semoga kamu senang membacanya. Seperti kami yang bersuka cita saat menyiapkan kelahirannya.” Semoga saja benar hanya dicetak sekali, karena antusiasme yang tinggi dan gegap gempitanya terasa, setelah sebulan terbit hypenya masih meriah, akankah suatu masa berubah pikiran? Ya, saya sepakat suatu hari akan langka. Kriteria langka itu bagaimana? Burt Auerback, juru tafsir buku langka di Manhattan pernah bilang, “Buku langka adalah buku yang harganya jauh lebih mahal sekarang daripada saat diterbitkan.”
Kolektor buku dari Amerika, Robert H. Taylor berkata, “Buku langka adalah buku yang sangat kuinginkan dan tidak bisa kutemukan.” Saat orang-orang menjawab serius, mereka semua sependapat bahwa ‘rare’ – langka, adalah istilah yang sangat subjektif. Satu-satunya kualitas ‘langka’ yang disepakati para kolektor adalah kombinasi kejarangan, kepentingan, dan kondisinya.
Ada kasih unik masalah ini, buku langka Tamerlane and Others Poems ditulis oleh pengarang tanpa nama yang hanya diidentifikasi sebagai, “Seorang Warga Boston.” Lalu berjalannya waktu baru diketahui ternyata adalah karya Edgar Allan Poe saat berusia 14 tahun. Buku setelah 40 halaman yang dicetak tahun 1827 oleh percetakan yang biasa mencetak resep, harga awalnya hanya 12 sen, dan kini setelah ratusan tahun berselang harga dalam lelang bisa mencapai 200 ribu dollar! Nilai Tamerlane yang biasa-biasa saja saat pertama terbit, tampak biasa saja, dibuat hanya 50 sampai 500 eksemplar, kini menjadi legenda dan tercatat hanya ditemukan 14 buku. Lihat Sumur, kita bukan cenayang, tapi kalau Penerbit komitmen tak mencetaknya lagi, tak sampai seratus tahun lagi bukankah tak mustahil berwujud prediksinya? Mirip semua ‘kan, kecuali nama Eka yang memang sudah sungguh terkenal.
Kasus dalam negeri yang paling terkenal tentu saja buku-buku awal Pram, harganya menggila. Semakin lama cetakannya semakin mahal. Saya pernah lihat di posting Facebook, ‘Arus Balik ‘dihargai sejuta lebih, kukira penjualnya gila. Eh ternyata ada komentar pembeli, itupun disusul komen lainnya yang turut antri!
Dalam buku, The Man Who Loved Books Too Much karya Allison Hoover Bartlett, “Selain menjadi kendaraan untuk menyampaikan kisah (dan puisi, informasi, referensi, dll) buku merupakan artefak sejarah dan tempat berkumpulnya kenangan. Kita senang mengingat-ingat siapa yang memberi buku kepada kita, di mana saat kita membacanya, berapa usia kita, dan sebagainya.” Jadi semakin jelas alasan kenapa Sumur harus dicetak. Sepuluh dua puluh tiga puluh tahun lagi, buku ini akan jadi semacam artefak, dimana keunikan dan rare tadi akan lebih menonjol daripada isinya.
Sumur dan misteri diam. Kebetulan saya lagi baca Kronik Burung Pegas-nya Haruki Murakami. Ada kisah bersisian, bagaimana sang protagonist merenung ke dasar sumur tua yang sudah tak mengeluarkan air. Menapaki kesunyian dan mencapai ketenangan luar biasa, semadi yang menghasilkan tompel dan segala tanya dunia antah di dimensi lain. Sumur yang ini lebih kalem, perannya seolah hanya menjadi saksi biru cinta kandas dan membuncah. “Kamu bertemu Siti di sumur?”
Sumur | by Eka Kurniawan | GM 621202009 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Editor Mirna Yulistianti | Desain sampul & ilustrasi Umar Setiawan | Setting Sukoco | Cetakan pertama, Juni 2021 | ISBN 978-602-06-5324-2 | Skor: 3.5/5
Karawang, 160721 – The Cranberries – Animal Instinct
#30HariMenulis #ReviewBuku #16 #Juli2021
Buku ini kubeli di Kedai Boekoe, Bekasi. Saya ambil sepaket sama Misa Ateis-nya Honore de Balzac. Kunikmati saat isoman, menjadikan serangkai buku (dan film) yang berhasil kutuntaskan.
Seorang gadis jatuh hati pada laki-laki beristri, dan memperjuangkan cinta itu demi apa pun. Gayung bersambut.
“Matt, aku cinta padamu dan aku tidak peduli dengan yang lainnya.” – Darrel
Duh! Hujan di hari pengantin, pertanda ga bagus untuk pasangan Susan dan Frank. Dan benar saja, pesawat yang menerbangkan mereka untuk berbulan madu mengalami kecelakaan yang menewaskan keduanya. Kecelakaan pesawat terbang di dekat Palma. Kematian selalu datang dengan tak disangka-sangka. Pembukanya bagus banget. Bagaimana masalah pelik mencipta sikap para anggota keluarga, dan seorang teman. Membelit dalam asmara menggelora di Sedgeley, Yorkshire Utara.
Kisahnya tentang Darrel Anderson yang galau. Seorang perawat rumah sakit, teman sekamarnya Susan menikah. Pesta pernikahan itu berlangsung meriah dan penuh ucapan selamat. Darrel yang sudah mengenal keluarga Lawford turut gembira sahabat baiknya telah menemukan jodoh. Karena kedekatan mereka, Darrel juga mengenal semua anggota keluarga Lawford terutama Nyonya Lawford, bahkan menjadi teman curhat seolah ibu kandung. Si sulung yang secara materi sukses, mencuri hatinya. Matthew Lawford, sudah menikah. Nah, kalau kisah ini dibawa di era sosmed, bisa jadi Darrel dihujat serentak sebagai seorang pelakor – perebut laki orang. Namun berhubung ia sebagai sudut pandang sekaligus protagonist, julukan kejam itu sirna dengan sendirinya. “Kalau begitu ceraikan Celine.” / “Kau sudah tahu bahwa aku tak dapat melakukan itu. Jangan meminta ku melakukannya.”
Pernikahan Matt dan Celine jelas tak bahagia. Bayangkan saja, di hari pernikahan adik ipar, ia gusar akan suasana desa, mengingin cepat balik ke kota London. “Teh teh terus itulah yang mereka pikirkan. Obat mujarab di seluruh dunia. Tapi tak mempan bagiku.” Bahkan beberapa hari kemudian kabar suka cita menjelma duka cita, ia bukannya turut di acara pemakaman, malah meminta izin balik! Sungguh terlalu. Menikah Sabtu, dan semingggu kemudian dimakamkan.
Darrel memang gadis idealis. Masih muda dan menggebu, prinsipnya Ia tak bisa menikah dengan pria tanpa membawa rasa cinta di hatinya. Karena ia jatuh hati sama Matt, maka ia perjuangkan. “Aku tak hanya mengira mencintainya, aku memang mencintainya.” Dengan asumsi umum, kita bisa saja menyebut suatu saat Darrel akan menikah dengan orang lain untuk melarikan diri dari rasa sepi yang begitu mencekam ini. Well, saya tak memprediksi gitu karena ini cerita roman picisan. Akan ada jalan keluar menyatukan kedua tokoh utama.
“Kalau begitu kita bertemu lagi besok, di pemakaman.” Kejadian utama cerita ini ada di pasca pemakaman akan berkutat di rumah Lawford dan kosan Darrel (di Inggris sebut saja flat), dan keputusan sesudahnya. Matt mengantar pulang dan pergi, Jeff adiknya muncul menggoda. Jelas ia juga kesemsem, tapi emang sang protagonist sudah memutuskan, cintanya hanya untuk Matt yang sudah nikah. Tentu saja ada beberapa adegan panas, dua anak manusia berlainan jenis saling mencinta, walau itu buah terlarang. Laki-perempuan di kamar, jelas bukan hanya main monopoli. “Kita harus bersikap seperti orang yang berakal sehat. Kita tidak akan dapat terus saling bertemu kalau keadaannya selalu begini. Kau memang pantas waspada terhadapku Darrel, aku terbukti amoral seperti yang kau sangka.” Nafsu dan cinta terlarang.
Bagi Matt yang sudah menikah. “Keadaan itu bisa saja baru bagiku, tetapi kebutuhan itu bukan baru bagiku.” Dan kenyataan bahwa Darrel masih gadis menjadi gunjingan di luar. Semuanya tidak dipersiapkan atau direncanakan terlebih dahulu.
Benarkah perkawinan Matt tak bahagia? Tak harmonis? Untuk membalas sikap Celine ataukah karena kehidupan perkawinan mereka yang sudah sedemikian tidak harmonis? Matthew bilang ia tidak pernah tidak setia pada istrinya. Maka benar saja, suatu ketika Darrel dan Barry, sahabat lamanya sedang makan malam bertemu dengan Celine yang menggandeng lelaki lagi. Ternyata sudah taka da kecocokan. “Dunia yang sempit bukan?” Terdengar gombal tiap Matt merayu. Aku tidak tahu apakah cinta yang terlihat olehku – atau terasa olehku, perasaan padamu belum pernah kurasakan kepada wanita lain. Aku sudah hidup lebih lama darimu, aku bukanlah seorang idealis macam dirimu, dan seperti katamu, aku sinis.
Lalu pecahlah adegan saling tuduh. Mengingat peristiwa di Lanmark Square, membuat tubuhnya menggigil sampai ke tulang sumsum. Jadi Matt menjanji Darrel untuk kehidupan baru ke tanah Amerika, tampaknya dunia yang menunggunya sungguh fantastis, sungguh indah memesona. Tubuhnya gemetar, semua itu rasanya bagaikan impian yang indah. “Jadi apa sesungguhnya kebenaran itu? Kau katakan kau mencintaiku, apa artinya? Maukah kau meninggalkan duniamu yang kecil demi aku? Maukah kau ikut bersamaku, hidup bersamaku, sekalipun itu berarti mengelilingi separuh bola dunia tanpa cincin di jarimu?” Berdua jalan ke pantai, menyusun masa depan yang indah-indah, seolah Matt lupa sudah punya istri di rumah. Nah, pas pulang untuk ganti baju demi makan malam romantis, istrinya ada di rumah. Terjadilah cek cok panas. Darrel memutuskan menjauh, melepas segalanya ketika Celine bilang ia sedang hamil. Betapa kejamnya suami yang berbohong, merayu gadis kala istrinya sedang mengandung. Apa pun itu, ia pergi. Menjauh dari segalanya.
Matron (kepala perawat) mengira ia sakit efek meninggalnya sobat kental, maka diminta cuti dua minggu. Ia mudik di kota Upminster, tempat ibunya Edwina Anderson tinggal sendiri setelah bercerai. Suaminya menikah lagi dengan wanita lain bernama Delia. Menyepi di kampung halaman, menyusun rencana lain. Termasuk kemungkinan menikahi Barry. “Dua orang tidak dapat menikah hanya karena kedua orang tuanya merasa cocok dengan calon menantu.” Kau dan aku tidak akan berhasil mencobanya, kita tidak sepaham. Sedih sih, cintanya tak menemukan klik. Keterangan Barry tentang Matthew menimbulkan semacam dugaan di hatinya, walau tak mengubah cintanya. Kini ia lebih banyak berpikir. Luar biasa, ini sih cinta buta.
Diperlukan waktu untuk menyembuhkan luka. Bersama ibunya liburan ke pantai, liburannya diperpanjang yang berarti ia mengundurkan diri sebagai perawat. Dari Dr. Morison kita tahu, dedikasi dan performa kerja Darrel sungguh baik, bahkan pintu masih terbuka lebar. “Tak seorangpun lelaki yang patut untuk diratapi, percayalah padaku.” Nasihat ibunya, mengingat ia juga dihianati. Darrel tetap bersikukuh pada feeling-nya sekalipun jelas lelaki itu tampak jahat.
Karena seolah menemui jalan buntu, Anne Mather mencipta bencana. Celine dikabarkan meninggal dunia keguguran, terjatuh pendarahan. Ini menjadi jalan pintas untuk menyatukan dua insan yang terpisah. Sejak dari adegan ini, semua tampak sungguh mengada-ada. Kebahagiaan menjadi keharusan, bersatunya dua protagonist adalah keniscayaan. “Ya Tuhan, putriku satu-satunya mau saja dibodohi lelaki yang sudah menikah.” Kata ibunya, tapi Anne mencipta solusi seenaknya sendiri. Keputusan akhir ketika diskusi sama meminta Robert keluar. Menyusul di dua bab akhir, ibunya, ayah Celine, dan Darrel sendiri, meminta Barry pulang. Sebuah mocil terparkir di Corrtney Road. Bertiga rembug menemukan segala tanya. Sir Paul Galbraith membawa potongan puzzle selama ini. Akhir yang sungguh sempurna (bagiku justru agak merusak) di Peternakan Moorfoot.
Buku kedua Anne Mather yang kubaca bulan ini. Genre-nya memang drama romantis dengan happy ending menyelingkupi. Dengan tokoh cantik tentunya karena Darrel menjadi magnet banyak pria. Di sini tercatat ada tiga laki-laki yang luluh lumer hatinya: Jeff dan Matthew, saudara teman kosnya. Barry, sahabat dari kampung halaman. Jeff bisa saja dicoret lebih dini karena memang sekadar terpesona, percobaan pedekate nya termasuk gagal. Barry yang kasihan, mencinta mengharap dapat menikahi setelah kedua orang tua sudah OK, ia bahkan mendapat Warisan rumah di Harrogate, hanya lima belas mil dari Sedgeley, tapi tetap tak bisa. Barry seolah menjadi teman curhat saja kala ia suntuk. Hanya berteman sahaja. Huhuhu…
Kegugupan karena ketegangan. Sama seperti Ricuhnya Hidup Bersama Adam, kisah Cinta Rahasia menjalin orang kaya dan berwajah rupawan menjalani kegalauan, asmara di lingkaran orang berada. Sarapan dengan kiju (keju) dan selai. Makan malam di restoran mewah. Dan perjalanan kerja siang ini di London, besoknya sudah di New York, lusa ada di Tokyo, minggu berikutnya meeting di Seoul. Cinta sudah cukup menjadi bahan pertimbangan. Dalam asmara. jangan bersikap ambisius, tak banyak gunanya.
Cinta Rahasia | by Anne Mather | Diterjemahkan dari Come Running | Alih bahasa Sofia N | Penerbit Indah Jaya, Bandung | Cetakan pertama, April 1980 | Skor: 3.5/5