Kronik Singkat Pasca Tragedi 1965 di Bali dan Kisah lainnya

Rindu Terluka by Putu Oka Sukanta

“Dan sabungnya ini kan di Pura kita. Tentu dewa memihak kita.”

Ngeri. Permulaan cerpen ini banyak mencerita pasca tragedi 1965 di Bali. Bagaimana tokoh utama bisa selamat, dengan berbagai juang, dengan ke pulau Jawa sebagai tahanan, dengan legowo dan menyisihkan egoism, dengan banyak cara. Termasuk bagaimana ada adegan setelah masa genting lewat, ia pulang ke Bali dan bertemu dengan para algojo, walau tak sampai dibunuh juga sebab sudah lewat jauh, kengerian itu masih sangat terasa. Mengherankan, sungguh heran bagaimana bisa dunia bisa berputar dengan keganasan dan tata kelola sadis membantai teman/saudaranya sendiri.

Sebagian lagi tema lain, tema umum bisa sampai Batam atau kehidupan sehari-hari yang biasa mistik. Ini Bali, dunia seberang dengan sering disinggung dan dupa dinyalakan lebih tajam.

#1. Pan Blayan

Rapat desa untuk memutuskan masuknya industry ke desa mereka, Pan Blayan antusias sebab tanahnya yang kena gusur dapat ganti rugi dan ia bisa mendapati jalan mulus dekat rumahnya. Begitu pula rencana membuka usaha, tapi harapan tak semulus kenyataan.

“Hidupmu di jalan becek berlumpur. Bukan jalan licin beraspal.”

#2. Made Jepun

Kehidupan sehari-hari warga Bali, ibu jualan, ayah kerja, adik kakak sekolah, dst. Lalu segalanya berubah tersebab tragedi 1965. Segala yang berbau PKI dihilangkan, tak peduli kamu orang mana, siapa, dan mengapa.Made Jepun dituduh anggota Gerwani, dan ia kena coduk, tapi tak sembarangan, karena nantinya ia menggila dan ‘sakit kotor’. Ada karma di sana.

“Bilang aku tidak ada. Mati.”

#3. Rindu Terluka

“Jangan dulu.” Melarikan diri ke Jawa untuk bertahan hidup, sampai kapan? Dipenjara sampai kapan? Kerinduan di tanah kelahiran Bali berulang kali dipendam, sebab setiap saat bisa saja kena ciduk. Putu Sarka yang bertahan dan menyadari semua temannya sudah dibunuh.

“Semua orang bilang kamu sudah mati. Meme tidak percaya. Meme tidak membolehkan orang membuatkan pengabenan untuk kamu. Ada balian goblog yang juga bilang kamu sudah dibunuh, jauh di sana.”

#4. Kerbau Betanduk Emas

Ini seperti lanjutan, sebuah surat ditujukan kepada I Putu Mustika, bila jika sudah bebas dan ingin bertemu I Plutut bisa menemui saya, Suaeb. Dan begitulah, ia memutuskan mudik ke Bali, katanya zaman sekarang sudah berubah dan ia tak akan diburu. Dan ia bertemu dengan teman-temannya, yang dianggap PKI tapi tak PKI bisa bertahan hidup, dilecehkan. Seih.

“Ah, kalau dulu kamu menemuiku, pasti kelewangmu yang menghabisi nyawaku. Apa yang mereka pikirkan tentang diriku sekarang?”

#5. Tukang Kebon

Lucu, bisa jadi ini cerita terbaik. Sederhana tapi sangat mengena. Putu Mastra mencita anaknya bisa sekolah sampai SMA dan bisa kerja menjadi pegawai di kantor. Terus berdoa padaNya. Galang yang sudah lulus tak kunjung mendapat kesempatan, jadi ikut ayahnya ke sawah. Sampai suatu hari tukang kebon kantor Gubernuran meninggal, Putu Mastra bertemu Nengah Sandi, dan meminta tolong anaknya untuk bisa bekerja di sana. Mulanya optimis, sebab memang harus dari bawah. Namun suatu hari, bukan kenaikan pangkat yang Galang terima, tapi pukulan telak tersebab hal esensial.

“Berat mana Galang, jadi pegawai kantor atau di sawah?”

#6. Batu

Batu dan mitos keramatnya, ditaruh sesajen, ada penghuninya, dan orang yang berani menghina, apalagi mengencinginya akan kena kutuk. Cerita masa lalu, yang kini bisa jadi banyak yang sudah tak percaya. Batu itu masih ada, dan kembali ke masing-masing orang untuk percaya atau tidak, hingga suatu hari ada yang sakit keras.

“Tergantung kacamata yang kau pakai melihatnya.”

#7. Lengking Puisi

Ini cerita tentang kelahiran bayi terkasih, dibuat dengan syahdu meliuk-liuk puitik. Kahadiran yang dinanti, buah hati perempuan yang mengalir dalam syair.

“Dalam semua hal, anakku yang perempuan dan laki-laki adalah sama.”

#8. Mangku Dauh

Sabung ayam yang dilarang, tapi tetap dilakukan. Bambu-bambu disiapkan, jagoan sudah siap bertarung, penonton pun sudah menanti. Ah, judi, sering kali berujung petaka. Kali ini sungguh besar pengorbannya.

“Tidak ada penjudi yang aman hidupnya, berhentilah berjudi sebelum hidupmu sengsara.”

#9. Dewi Bulan Jatuh di Batam

Niah dan kegiatan medis masyarakat melawan penindasan di Batam. LSM mungkin identik dengan image negatif, tapi memang kalau dijalankan benar akan benar-benar bermanfaat. Dan perjuangan pembela kaum perempuan di tanah rantau yang sibuk di Batam terjadi.

“Ya, orang hidup, sering kayak burung, hinggap sebentar di dahan pohon, kemudian terbang lagi.”

#10. Beny

Beny si bungsu yang nakal, sering kena tegur tetangga sampai Pak RT, sering jail ke anak-anak lain, dan orangtuanya sering kena kritik. Begitu pula di sekolah, orangtua dipanggil sebab nakal sekali. Karena masalah bertumpuk, dan tak ada solusi bagus yang bisa dilakukan, muncullah ide untuk menitipka Beny ke kakeknya di Jawa Timur. Dan begitulah, si nakal itu malah jadi dirindukan.

“Mereka menangis, Kek.” / “Mereka kehilangan kau, Beny.”

#11. Bermula dari Lidia

Lidia sang penyanyi keliling, dalam sebuah seminar ia-lah yang bermula mendaku menderita Aids, masih muda dan menjadi bahan diskusi. Apakah ada kesempatan kedua? Bagaimana kalau menikah, dan pasangan akan turut kena? Anaknya juga, dunia berjalan dengan anehnya.

“Kok ada lelaki yang mau?”

#12. Bongkar

Ini masalah empati, tinggal nyaman di rumah tapi melihat sekeliling yang tak hidup susah, tak punya rumah. Kadang nitip jemur, kadang minta barang. Kasihan, tinggal di pondok bambu. Hingga suatu hari, terjadi penggusuran. Mereka akan tinggal dimana?

“Kasihan mereka, Pa.”

#13. Jembatan Cahaya

Lubang buaya dan misteri sejarah. Ketika ke museum Lubang Buaya, dengan relief dan segala detail yang disajikan, apakah bisa dipercaya catatan sejarah itu? Menelusuri sejarah dari berbagai sudut, menuntut kebenaran.

“Saya mencari apa yang tidak saya temukan.”

Kubaca santuy, sudah dua bulan tapi terbengkelai sama bacaan lain, nah awal pekan lalu, kebetulan dapat tugas luar kantor ke Bandung, bawa dua buku. Diluar duga Menembus Kabut bisa kuselesaikan baca cepat sewaktu berangkat, maka separo buku ini kutuntaskan selama perjalanan baliknya. Lumayan asyik, memang teman baca perjalanan tuh idealnya yang sederhana, cerpen sejenis ini, jangan yang berat kek bahas filsafat atau tasawuf.

Ini buku pertama Bung Putu Oka Sukanta yang kubaca, dari identitas penulis, terlihat beliau adalah salah satu korban tragedi 1965, dipenjara tanpa diadili. Terliaht cerpen-cerpen ditulis berdasar pengalaman pribadi. Bagus, terasa nyata, tak ngawang-awang. Terlebih, ini terbitan Metafor yang memang terkenal bagus di tahun 2000-an yang konsen di sastra. Semoga ada kesempatan menikmati buku-buku lain beliau.

Rindu Terluka | by Putu Oka Sukanta | Penerbit Metafor Publishing | 2004 | 13579108642 | Penyunting SiSi Arsianti | Cover dan Layout Muhammad Roniyadi | ISBN 979-3019-22-0 | Skor: 4/5

Kupersembahkan kepada Ibu dan Bapak di khayangan: Made Sukanta, Ketut Taman, dan Ketut Sringanis

Karawang, 311022 – Ella Fitzgerald – Indian Summer (Live)

Thx to Anita Damayatnti, Jakarta

Rumah Kawin dan Hikayat Lainnya

Rumah Kawin by Zen Hae

“Nggak pakai mantra-mantra?” / “Aku bukan juru tenung.”

Bagus. Kumpulan cerita yang menyenangkan. Memainkan kata-kata dengan indah, plotnya berjalan dengan sangat rapi nyaman sehingga tak terasa selesai. Ini buku pertama Zen H?ae yang kubaca, dikumpulkan dari cerpen-cerpen yang sudah terbit di Koran Nasional. Dan seperti biasa, kalau sudah muncul di Koran Nasional, seolah jaminan. Sudah melalui kurasi, sudah dipilah dan dipilih orang-orang kmpeten, maka Rumah Kawin benar-benar mengalir bebas, asyik, dan berkelok-kelok syahdu.

“Pertanyananya tentang perempuan itu terus bergulung. Memintal-mintal hasratnya menjadi benang yang tak putus-putus. Makin panjang makin kuat.”

#1. Taman Pemulung

Dengan setting Indonesia sebelum merdeka, Koran yang dinukil masih menggunakan ejaan lama, dan sang Radja Djoesta beraksi. Sang pemulung yang mengais sampah, apapun asal jadi duit, Sakit bengek dan keluhan kemiskinan. Ah di taman itulah, ada bangku-bangku terbuat dari semen, di bawah pohon kosambi, framboyan, beringin, dan asam jawa. Patung gajah dan dinosaurus, dan tampungan orang tunawisma, anak-anak pengamen, pengemis, dan tentu saja sebagian besar pemulung.

Lalu kicau burung dan petualangan yang tersaji. Diasahnya lagi kicaunya, tetapi ada yang tak ikut sirna besama hembusan nafas, kibasan saya, dan kicau garing: geliat lidah api, asap gimbal, jerit nyawa sekarat, kata-kata iblis, kota tua di utara…

“Diseretnya terus diri yang mulai dirundung rasa putus asa. Ia berjalan sempoyongan menahan letih dan kantuk mahaberat.”

#2. Rumah Jagal

Mitos dan hikayat selalu menemai keseharian masyarakat kita. Orang kesurupan, dari pohon angker atau rumah kosong bisa saja masih kantal. Di era modern yang mana listrik sudah banyak tersedia, ahh… ada saja alasannya. “Setakn takut listrik. Mereka mengungsi ke pinggiran kampung yang belum masuk listrik dan masih banyak pohon besarnya.”

Ceu Tarni sering kerasukan, dan konon katanya orang yang memiliki ‘iga jarang’. Pengalamannya yang aneh ini diakuinya saat kesurupan yang ketiga. Dan anehnya, di akhir kesurupan, kalimat yang terlontar adalah, “… Kau akan hancur, wahai sang Minotour.” Kok bisa, masyarakat awam, sampai menyebut makhluk mitologi Yunani?

Begitulah, lalu masa lalu ditelusur. Sampai titik terang itu ketemu, ada masa lalu kelam dari seorang pendiam yang menghilang. “Kini kami datang dengan sepotong firman Tuahn. Pergilah dari lembah nista! Selamatkan dirimu dari neraka. Sebab di sana kau akan berkali hangus, wahai, perempuan lacur.”

#3. Rumah Kawin

Sebagai cerpen yang dipinjam judul, saya setuju ini yang paling bagus. Sudah pernah kubaca doloe di Koran, dan saat menelusur kata lagi, rasanya nyaman sekali. Ini tentang pendekar tua yang tak lekas sadar bahwa masa jayanya sudah berakhir. Mamat Jago yang merindu Sarti, penyinden wayang golek idola masyarakat. Di pagelaran terakhir, waktu sudah malam, izin keramaian sudah lewat, dan lagu terakhir sudah selesai. Mamat tetap menginginkan pesta berlanjut, membuat gerah banyak orang. \”Jangan takut, Koh. Mereka semua teman saya. Ayo, main lagi. Saya akan mati kalau gambang berhenti. Ayo, panjak.”

Sekarang sudah lain, kekayaan dan kehormatannya rontok sudah, seperti pohon kelapa disambar petir. Meranggas dan mati. Tanahnya yang dulu hektaran kini tinggal sepetak, menciut bagai kelaras terbakar. Rumah megahnya kini tingga sarang kumbang, ngengat, dan laba-laba. Kosong, kusam, sepi. Ah betapa sesaknya kehilangan ini, Mamat terbatuk, dan sulit menerima kenyataan.

“Nggak, Abang pengen ke rumah kawin saja. Ke Dokter Sarti.”

#4. Hikayat Siti Rahima

Ini seperti reinkarnasi, dulu manusia. Perempuan kaya, dengan sawah dan kebun membujur. Dan kini ia adalah sebatang pohon asam. Dan ia suka sekali bercerita kepada siapapun yang berteduh di bawahnya. Cara bercerita yang unik, hanya orang-orang yang tertidur yang bisa ditenggarai kisah. Masa lalu, Siti Rahima yang sedih.

“Tapi pohon asam itu angker. Ingat, Rahima…”

#5. Kereta Ungu

Seperti dalam puisi paling murung, hujan terus terus di sepanjang stasiun. Menanti yang tak pasti itu tak mengenakan. Kereta dan perempuan, orang membawa kabar datang dan pergi, dan pemberontakan terjadi menyelingkupi. “Ada kereta dalam diriku, warnanya ungu.”

Seorang anak muda yang kurang makan dan banyak berpikir. Ini tentang revolusi, Rezim berganti-ganti, presiden datang dan pergi. Para perampok mengankangi parlemen, kini saatnya pergi. Menengguk anggur kenangan.

“Kau merasa diremehkan. Kau marah dan menyumpah.”

#6. Kota Anjing

Ada lelaki menenteng karung yang bergarak-gerak, dilempar ke tempat sampah lalu memukulinya, buk buk buk. Kaing-kaing terdengar, dan begitulah. Ada orang tega membuang dan menyiksa anjing. Saya, sebagai saksi lalu bermimpi buruk, berulang kali tentang anjing yang tersakiti. Lalu saya datang ke psikiater, berkonsultasi. Itu sesuautu yang naluriah, biasa. Namun sampai kapan, bangkai anjing itu menghuni kepalanya?

“Pada akhirnya, manusia modern akan merayakan keterasingannya dengan naluri-naluri kebinatangan yang purba, lebih dari sekadar pemanfaatan waktu luang (leisure time). Dengan begitu ia telah kembali kepada akar-akar hidupnya yang asli dan asali.” – Rojek

#7. Segalanya Terbakar di Matamu

Sebuah janji temu dengan perempuan asing, pengarang yang diberi nomor telepon, dengan harapan berdebar, mengubungi dan mengajak kopi darat, “Aku memakai bandana.” Janji temu di restoran Cina di tepi kali besar yang bermuara di Pelabuhan Sunda Kelapa. Bagaimana resposnnya? Apakah ia cantik? Apakah ia akan kecewa bertemu saya? Apakah akan berlanjut? Ah, dasar ikan tawes.

“Seks adalah tema yang bermasalah. Suatu ketika dalam sastra kita ia pernag hadir dengan cara yang samar-samar, penuh perlambang. Tetapi kini sangat terang-terangan. vulgar malah…”

#8. Kelawang Batu

Si Naga Merah di kampung tua, Kampung Naga. Hikayatnya, dulu ada kelewang atau gergaji batu dimiliki seseorang yang ditemukan saat menggali sumur, lalu setelah dikumpulkan dan diteliti, itu benda purbakala, penggalian dilakukan, dan barang-barang museum ditemukan. “Aku akan mengundang kalian di pesta malam kematian ini. Mengapa kalian datang juga?”

Lalu muncullah berbagai cerita membentuk hikayat, masa-masa penuh pertarungan serta makhluk mistis. “Kini kita berada pada persimpangan antara ilmu pengetahuan dan dongeng. Keduanya sama-sama ingin menemukan satu masa yang hilang dan mengawetkannya.”

#9. Hikayat Petarung Kampung

Ini tentang legenda tarung, jagoan-jagoan kampung dengan nama beken dan termasyur. Jurus-jurus dilakukan, silat dengan gaya, dan begitulah Hikayat Petarung Kampung menaklukkan 15 jagoan dari Tanjung Burung. Sepuluh orang mati di tempat, lima orang mati dua-tiga hari kemudian. Sebuah pengakuan mahal dari era silat lama.

“Tusukkan golok itu ke jantungku. Beri aku kematian paling terhormat.”

Keputusan beli, lebih kepada ini terbitan Katakita, penerbit ini seringkali menerbitkan karya-karya bagus, baik terjemahan ataupun lokal. Kebetulan kemarin pas beli, ada buku lain dari Katakita, jadi seolah sepaket. Tema yang diusung adalah karifan lokal, sebagai orang Jakarte, tema pendekar Betawi jelas diapungkan, setting waktu bisa kapan saja, tapi setting tempat kokoh di ibukota. Mencerita keseharian jelas lebih mudah, dan nyaman. Apalagi dituturkan dengan bahasa enak. Semoga ke depan bisa menikmati buku-buku lainnya. Terima kasih.

Rumah Kawin | by Zen Hae | ISBN 979-98302-5-7 | Cetakan pertama, Oktober 2004 | Penyunting Sitok Srengenge | Tata letak Cyprianus Jaya Napiun | Desain sampul Iksaka Banu | Penerbit Katakita | Skor: 4/5

Karawang, 241022 – 281022 – Fats Waller – Handful of Keys (Remastered)

Thx to Mas Daniel, Yogyakarta

Menembus Kabut

“Tugas manusia yang beriman adalah menyeru dirinya, kemudian keluarganya, kemudian handai tolannya, kemudian masyarakatnya – untuk berbakti kepada Tuhan dan menjauhi larangannya…”

Novel tipis yang dengan cepat selesai kubaca. Dalam perjalanan tugas luar kantor hari ini ke Bandung, kumulai baca saat masuk tol Karawang Timur, dan sebelum sampai tol Buah Batu, 50 halaman itu sudah tandas. Memang tipis, kecil, dan ceritanya sangat sederhana. Dan karena ini buku proyek Departemen Agama, di mana ada misi di sana, maka apa yang disampaikan lurus-lurus saja. Novel, tapi berisi petuah. Ada hikmah dalam cerita, pesan-pesannya tersurat. Jelas dan sangat blak-blakan. Manusia harus hidup lurus, yang baik menang, yang jahat kalah, dan begitulah. Pesan moral itu disampaikan, apa adanya.

Kisahnya tentang Ismail anak yatim piatu yang hidup di gubuk liar Jakarta, merantau ke sana dengan bermodal nekad. Ia tinggal dengan tukang becak yang sudah tua dan sakit-sakitan Mang Simin. Hidup sebatang kara, maka untuk saling melengkapi: Ismail menganggap Mang Simin ayahnya, Mang Simin menganggap Ismail anaknya. Mereka saling menguatkan akan kejamnya dunia.

Dibuka dengan Ismail yang pulang kerja sebagai penyemir sepatu di warung makan Surya. Dicegat oleh preman Sam’un. Dengan penghasilan seribu perak diembat separonya, padahal awalnya mau buat beli obat demam Mang Simin. Keapesan ini dicerita pada bapaknya, dan mereka hanya bisa pasrah. Apa yang bisa diperbuat oleh orang miskin seperti mereka.

Malam itu, Mang Simin serasa tergugah mendengar suara adzan. Maka ia memutuskan untuk menunaikan salat berjamaah ke Masjid An-Nur. Di usianya yang sudah senja, ia menemukan kedamaian. Dimbimbing oleh Ustaz Makmun Razak, dan jamaah yang mendukung. Ismail sempat heran, sebab ayahnya tak ada di rumah saat kembali dari membelikan buah. Dan sekembali dari masjid berpetuahlah.

Besoknya, saat subuh ia kembali salat. Dan begitulah, ia akan berkomitmen menjalankan perintah Allah. Hari itu, Ismail dengan Yono yang sama-sama mencari nafkah menyemir sepatu, dan dari sopir-sopir truck yang baik mendapat rejeki lebih, beberapa karyawan yang makan di warung makan Surya memberi tips. Alahkah senangnya mereka.

Malamnya, Ismail pulang terlambat, dan preman Sam’un sudah menanti di gang tak menemukannya. Ia lalu ke gubuk langsung, mengobrak-abrik isi rumah, memaki, mencari ybs. Dan saat Ismail dan Mang Simin pulang mendapati gubuk mereka berantakan, terjadilah cekcok. Untung ada jagoan lokal, Mang Jalal yang menghantam balik sang preman. Terkaing-kainglah begundal tersebut.

Sementara aman, tapi sampai kapan? Besoknya saat tahu Jalal ada acara di kampung sebelah, preman ini kembali datang. Dan terjadi lagi kegegeran, tapi secara dramatis jagoan kita datang, melempar preman berengsek ini ke sungai. Kisah makin klise, saat di masjid ada lowongan untuk tukang bersih-bersih, dan sang tuan rumah makan mengulurkan tangannya untuk mengentaskan buta huruf. Sederhana, dan sangat klise. Kata-kata, “Jangan malu mengerjakan yang halal”, “Jadi orang jangan sangka buruk kepada orang lain”, “Menyantuni anak yatim yang sebagai mana anjuran Nab Muhammad SAW.” dst.. Isinya begitu penuh petuah.

Karena ini buku proyek pemerintah, jelas upaya untuk mengarahkan rakyat untuk bersyukur. Apalagi masa-masa setelah penumpasan PKI, maka agama diapungkan. Buku-buku lama banyak yang cari aman. Dulu pernah beberapa kali baca yang temanya, wirausaha, masyarakat yang aman dan sentosa, ketahanan pangan yang hebat, sampai pembangunan yang bagus dan laik dapat pujian. Ah, Orde Baru yang hebat. Nah, tema-tema sejenis itu sudah tak laku di era Reformasi. Sudah digerus oleh banyak fakta pahit. Namun, sejujurnya saya juga tak terlalu ikuti buku-buku proyek pemerintah saat ini, kurang mendapat perhatian untuk literasi. Sayang sekali…

Kubaca santuy sepanjang tol, ditemani Raisto. Bacaan ringan seperti ini cocok dilahap kala perjalanan. Tak butuh konsentrasi lebih, ngalir saja, intinya dapat. Memang sudah direncana, pas dapat tugas keluar kantor, langsung kupilih. Terima kasih.

Menembus Kabut | by Tim Penyusun | Ketua Drs. H. Zainal Arifin | Anggota Sukendar BA, Moh. Thohir | Proyek Pembinaan Generasi Muda Departemen Agama 1980/1981 | Skor: 2/5

Karawang, 241022 – Michael Buble – At This Moment

Thx to Derson, Jkt

Pemufakatan Jahat dalam Penjara

The Brethren  by John Grisham

“Momentum adalah binatang aneh dalam politik… Uang mengikuti momentum”

Diluardugaku, ini jadi buku pertama John Grisham yang selesai kubaca tahun ini, padahal tahun lalu dan sebelumnya sangat antusias dan banyak menyelesaikannya. Di rak juga numpuk buku-buku beliau. Untuk kali ini, tak ada twist. Lebih sederhana, tak rumit, dan mengalir tenang. Mungkin karena tokoh utamanya, para kakek-kakek, penghuni penjara yang membentuk majelis kejahatan, sementara di luar sana sedang hiruk pikuk menuju pemililhan Presiden USA. Dan dua tiga kepentingan itu bersinggungan, di tengahnya ada pengacara yang galau, dan terhimpit berbagai masalahnya sendiri.

Kisahnya terfokus pada sebuah majelis dalam penjara, terdiri atas tiga mantan hakim, di mana mereka melakukan kesalahan sehingga terjerumus di dalam jeruji besi. Mereka adalah Joe Roy Spincer, Finn Yarber, dan Hatlee Beech. Mereka melakukan sidang sederhana Pengadilan Rendah North Florida, lebih dikenal engan Majelis di Trumble. Keamanan di sana minimum, tak terlalu ketat sehingga banyak celah untuk melakukan negosiasi persekongkolan.

Dengan pengalaman melimpah, mereka tahu di luar sana ada noda yang bisa dimanfaatkan. Metodenya selalu sama, menjerat lelaki dengan memasang iklan di Koran, memancing lelaki dengan umpan pemuda yang depresi, tampan, dan butuh teman. Memasang kotak surat, dan berikutnya penghubungnya adalah L. Trevor Carson, pengacara dan penasihat hukum. Dia menjual etiknya, normanya, bahkan moralnya demi uang. Setelah terjerat, para korban lalu diancam akan disebarkan identitasnya ke publik bahwa dia gay. Ancaman dan permintaan uang tutup mulut itu lalu diolah oleh Carson, dibagi empat. Dalam sebulan ia memperoleh  sekitar $800.000 dalam bentuk uang gelap bebas pajak. Bisakah kecepatan datangnya uang ini berlanjut? Korban-korban majelis tidak buka mulut karena malu. Mereka tidak melanggar hukum, mereka cuma takut. Mangsanya adalah nafsu manusia dan imbalannya diperoleh dari perasaan takut.

Mereka merencanakan serangan mereka dengan baik, yang selalu merupakan unggulan nereka, karena mereka punya begitu banyak waktu. Tiga pria yang sangat pintar, dengan waktu kosong. Tidak adil memang, tapi begitulah. Gerakan ini menuntut ketelitian dan pengalaman. Sampai akhirnya mereka menemukan korban kelas kakap.

Amerika jelang pemilihan presiden. Direktur CIA Teddy Maynard yang kejam mengatur strategi untuk kemenangan kandidat yang ia pilih, Aaron Lake. Mengupaya segala siasat dengan menebar ancaman terorisme, Amerika butuh dana lebih, membutuhkan anggaran perang plus plus. Lake dimanipulasi untuk menang, maka segala yang mengganggu disingkirkan. “Saya rasa Anda sebaiknya mengumumkan dua hari setelah New Hampshire. Biarkan para pemenang menikmati kemenangannya dan biarkan para pecundang ribut sendiri dulu, lalu umumkan.”

Begitulah, luapan kampanye jelang pilpres, itu suatu hari harus tersandung noda. Sebab Sebuah surat sederhana bisa menghancurkan tatanan papan catur. Lalu Argrow ditugaskan Teddy melacak surat-surat Lake, dan menuntun ke Carson. Begitulah, akhirnya nasib mempertemukan mereka. Entah bagaimana caranya majelis harus disingkirkan, dank arena Majelis memiliki nilai tawar, mereka lantas menantang balik. “Tiga hakim kotor di penjara federal di Florida dapat mempengaruhi keamanan nasional? Aku ingin mendengar pembicaraan kalian.”

Sebuah kesepakatan win-win solution dilontarkan, dan segalanya lantas berakhir tenang dan tenteram.

Karena saya sudah berkali-kali baca buku Grisham, endingnya agak mengecewakan. Masih hebatan The Partner yang mengejutkan. Majelis seolah menjadi obat tawar untuk para manula yang pensiun, memberinya bekal di hari tua dengan jutaan dollar, lantas menikmati sisa hidup dengan fun. Walau di ujung sekali permufakatan jahat tetap dilakukan, dan beda regional, tetap saja ending-nya kurang OK.

Hal-hal yang diangkat juga umum. Kampanye perang contohnya, sudah pernah ada dan walau tampak jahat, logikanya seolah benar. Atau tentang aborsi, yang mana perdebatan masih relevan. “Anda dicecar soal aborsi, tapi Anda bukan yang pertama.”

Saya justru malah merasa simpati sama hakim tua yang apes. Seolah sudah tak ada guna. Tak seorang pun membela Yang Mulia Hatlee Beech. Ia dihukum, diceraikan, dipecat, dipenjara, dituntut, bangkrut. Beech kehilangan begitu banyak, jatuh begitu dalam. Maka terasa wajar mereka melakukan penawaran tinggi, “Mr. Lake punya uang yang lebih banyak uang daripada yang bisa dihabiskan. Enam juta dollar Cuma setetes air dalam ember.”

Untuk Lake, mungkin kalian muak. Bergitulah politik, kejam dan seringkali menghilangkan kemanusiaan. Saat kempanye, penuh senyum “Lake memeluk orang-orang yang belum pernah ditemuinya dan melambai pada orang-orang yang belum pernah ditemuinya lagi, lalu menyampaikan pidato kemenangan yang menggelora tanpa teks.” Pilpresnya sendiri, duel antara Gubernur Wendell Tarry melawan Congressman Aaron Lake tak disebutkan banyak, hanya sepintas lalu setelah segala gemuruh usai.

Memamg bukan buku terbaik Grisham, tapi jelas keunggulannya adalah plot yang sangat rapi, baik, dan begitu hidup. Masih, Grisham adalah penulis terbaik masalah pengadilan menurutku. Piawai memainkan kata, memainkan emosi pembaca, sampai-sampai kita percaya kasus seperti ini bisa terjadi. Pemufakatan jahat ini bisa berjalan. Kita tak tahu, di luar sana banyak sekali orang jahat, sehingga kejahatan turut update mengikuti perkembangan teknologi. Entah, buku-buku Grisham yang di atas 2010-an apakah juga memainkan kejahatan sesuai era sekarang.

Maka Majelis menurutku adalah sebuah tribute dari Grisham untuk para hakim. Memberi ending nyaman dan adil: materi, bebas, menuruti hobi di hari tua. Bukankah kita semua menginginkan tiga hal itu? Keadilan yang coba ditegakkan.

Dunia akan jadi jauh lebih gila, dan kita harus kuat untuk melindungi cara hidup kita.

Majelis | by John Grisham | Diterjemahkan dari The Brethren | Copyright 2000 by Belfry Holding, Inc. | Alih bahasa Diniarty Pandia | GM 402 00.651 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Maret 2000 | 496 hlm.; 18 cm | ISBN 979-655-651-0 | Skor: 4/5

Karawang, 290922 – 211022 – The Cranberries – Loud and Clear

Thx to Kahima Mahima, Jkt

Riwayat Singkat Hawking

Stephen Hawking and Black Holes by Paul Strathern

“Jika kita bisa menemukan jawabannya maka itu berarti kemenangan besar nalar manusia, karena saat itu kita akan tahu pikiran Tuhan.”

Buku tipis yang bervitamin. Saya belum baca satu bukupun milik Stephen Hawking, walau di rak ada buku karya istrinya, The Theory of Everything, tapi sampai sekarang belum gegas baca. Makanya, hal-hal yang disampaikan begitu penuh asupan. Buku ini lebih mirip biografi singkat, sebab mengupas kehidupan Hawking secara umum dari lahir, hingga puncak kariernya, dan update kabar hingga buku ini terbit. Hal-hal yang sejatinya mungkin mudah saja kita temui di internet, tapi pendapat dan tulisan kesan sang penulis justru yang nyaman dan asyik. Seperti Hawking yang suka humor, dan poster Marilyn Moonroe di dinding, Paul Strathern menbawakan buku ini dengan fun.

Terbagi dalam satu bab utuh yang membentang, buku ini lebih sebagai pengenalan sang tokoh. Pembukanya saja sudah terbaca komedi,”Stephen Hawking lahir saat Perang Dunia II tengah seru-serunya…” Dan begitulah, orangtua Stephen, Frank dan Isobel memindahkannya ke Oxford dan Cambridge untuk menghindari serbuan bom Jerman. Di situ ada kekayaan arsitektur yang tak ternilai, dan lucunya pihak Sekutu juga takkan mengembom Heidelberg dan Gottingen. “Sayang sekali, persetujuan yang beradab seperti ini tidak diperluas di tempat-tempat lain.” kata Isobel.

Frank seorang dojter yang terlibat dalam penelitian medis, sementara Isobel pernah sebagai petugas pajak, sekretaris di beberapa perusahaan. Dan saat perang, kaum wanita dipekerjakan dalam urusan pemerintahan. Isobel yang awalnya pemegang komunisme, lalu melunak, dan berkomitmen pada sosialis. Lantas ia ikut dalam kampanye penolakan senjata nuklir, melakukan long march dari Aldermaston hingga London.

Tahun 1950, keluarga Hawking pindah ke St. Albans, kota katredal 30 mil dari London. Kota terpencil yang tenang, Frank bekerja sebagai kepala divisi parasitology di Nasional Institute for Medical Research. Dan begitulah, keluarga ini dipandang eksentrik dengan mempertahankan kehidupan intelektual ortodoks. Mendengarkan Third Programme (acara drama dan musik klasik yang disiarkan khusus bagi kaum awam di pembuangan). Di waktu luang, Frank menulis novel yang tak pernah dipublikasikan, dan diledek istrinya sebagai hasil bualan belaka. Tokoh idola Stephen adalah Gandhi bukan bintang olehraga atau bintang film.

Stephen lahir di keluarga berada, dan bisa dibilang di sekolah mapan dengan asupan ilmu melimpah. Ia mulai tertarik pada kegiatan penelitian di laboratorium, dan kamarnya penuh dengan tabung uji, sisa-sisa eksperimen, hingga bubuk mesiu, racun, sampai gas air mata. Jelas, Stephen adalah manusia cerdas. Juara kelas yang aneh, teman sekelasnya Micahel menyebutnya ‘Jenius kecil yang aneh’. Suatu hari saat berdiskusi tentang hidup dan filsafat, Michael menyadari kehebatan temannya, “Saat itu aku menyadari untuk pertama kalinya bahwa ia tidak hanya cerdas, tidak hanya pintar, namun luar biasa.” Jenius kecil yang aneh tampak menghabiskan waktu cukup lama untuk memikirkan segala sesuatu: berusaha mencari arti tentang dunia. dan begitulan, Stephen menganggap, “Itulah tugas yang sesungguhnya dari filsafat: kosmologi.”

Berjalannya waktu, lalu ia membatasi diri pada usaha untuk mempelajari struktur semesta. Selama bertahun-tahun kosmologi dianggap sebagai ilmu semu, dan secara otomatis juga banyak menarik minat para ilmuwan-semu. Layaknya gagasan-gagasan dinosaurus ilmu pengetahuan modern: besar, sederhana, dan hampir punah. Relativitas berarti bahwa ruang adalah melengkung (kurva) dan semesta memiliki batas.

Ilmuwan Soviet membuktikan bahwa singularitas ruang-waktu (lubang hitam) sesungguhnya tidak mungkin ada. Menurut mereka, singularitas ruang-waktu semacam itu hanyalah dugaan teoritis yang salah dan muncul karena ada yang mengansumsikan  bahwa bintang-bintang besar yang runtuh menyusut secara simetris.

Menurut teori Hoyle, semesta meluas bahwa bintang dan galaksi secara terus-menerus tercipta di angkasa, karena itu memang sudah menjadi property semesta. Dan untuk melengkapinya, ia menambahkan bahwa bintang dan galaksi secara terus menerus juga menghilang ke dalam kegelapan jauh di sana.

Sebuah singularitas yang diciptakan oleh runtuhan gravitasional memiliki arti bahwa semua hukum fisika tidak berlaku. Ini mengejutkan, gila! Namun karena ini terjadi di lubang hitam, maka kita tidak bisa mengamati: kita tidak diizinkan mengamati peristiwa tersebut oleh semacam ‘badan sensor kosmik’, kita tak bisa memprediksi apa yang terjadi akan datang. Teori ini menandai ‘akhir’ dari teori fisika teoritis. Hawking mengakui bahwa setelah ini memang masih ‘banyak yang harus dilakukan’, tapi itu seperti ‘mendaki gunung setelah Everest’.

Tidak ada filsafat dan tidak ada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan dan filsafat hanyalah sistem yang kita tentukan, dan pandangan kita atas sistem-sistem tersebut terus berkembang. Kata Pytagoras, pikiran Tuhan pastilah sejalan dengan matematika. Para ilmuwan pusing karena banyaknya komplektivitas.

Saat Stephen divonis sakit syaraf, ia membatasi diri. Orangtuanya membutuhkan biaya besar dalam perawatan, sempat divonis takkan bisa bertahan hidup lama, tapi semangat Stephen berhasil meruntuhkannya. Ia menderita sclerosis lateral amiotrof (ALS) yang lambat dna langka, melumpuhkan tubuhnya secara perlahan selama puluhan tahun. Stephen berhasil membalikkan keadaan saat karyanya yang paling fenomenal rilis. A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Holes, pertama terbit April Mop 1988. Batam mengira buku akan terjual beberapa ribu kopi, tapi nyatanya malah meledak. Sisanya adalah sejarah.

Buku ini ditutup di tahun 2004, saat rilis. Tahun 2018, seperti yang kita tahu, Stephen Hawking mangkat, mewariskan Lubang Hitam yang akan ditelaah dan dikembangkan untuk umat manusia di masa depan. Apakah alien benar-benar ada?

Stephen Hawking dan Lubang Hitam | by Paul Strathern | Diterjemahkan dari Stephen Hawking and Black Holes (The Big Idea Series) | Anchor Books Edition: August 1998 Penerbit Ikon Teralitera | v + 83 glm.; 20 cm | ISBN 979-3016-37-X | Penerjemah Basuki Heri Winarno | Penyunting Maghastria A. | Desain dan ilustrasi sampul Tim Ikon Teralitera | Cetakan pertama, Juni 2004 | Skor: 4/5

Karawang, 290922 – 071022 – 2010222 – Dizzy Gillespie & His Orchestra – Night in Tunisia (Interlude)

Thx to Daniels, Yogyakarta

Mencari Tuan Black

Extremely Loud & Incredibly Close by Jonathan Safran Foer

“Tidak ada yang indah sekaligus nyata.”

Dicetak dengan tak biasa. Dipenuhi kepadatan kata-kata, kalimat langsung bertumpuk dalam satu paragraf, ada gambar-gambar, bisa foto atau ilustrasi tangan, warna-warni sesuai mood Oscar, hingga aturan tak baku bagaimana lembar nyaris kosong hanya berisi satu dua kalimat, kata-kata tumpang tindih tak beraturan. Menabrak banyak aturan bahasa, tapi memang isinya sungguh bagus. Misinya terdengar sederhana, mencari Tua/Nyonya Black yang memiliki lubang kunci. Kunci peninggalan ayahnya yang meninggal dalam tragedi 11/9. Namun tak seserhana itu sebab berapa peluangmu menemukan lubang kunci dari seantero New York? Ada berapa orang bernama Black di sana? Maka Oscar mencari, menemui satu per satu, menanyakan, berkenalan, hingga petualang-petualang tak terduga.

Oscar Schell yang berduka, ditinggalkan ayahnya yang menjadi korban teroris 11/9. Ia mengalami insomnia, sakit kepala, depresi. Anak lelaki, tentu saja sangat dekat dengan ayah. Dan rasa kehilangan itu makin membentuk Oscar yang pada dasarnya pendiam aneh, makin terkucil. Keadaan makin menyebalkan, saat ibunya kini dekat dengan lelaki lain, Ron yang coba menggantikan kedudukan orang terkasih.

Dalam penguburan, di sebuah limousine mewah bersama keluarga lain yang berduka. Mereka mengubur peti kosong sebagai penghormatan. Oscar tak terima, tapi ia hanya anak Sembilan tahun. Ayahnya yang hebat, lenyap bagai debu. “Aku senang memiliki ayah yang lebih pintar dari New York Times, dan aku senang saat pipiku bisa merasakan bulu-bulu di dadanya menembus kausnya, aku masih bisa mencium aroma krim cukurnya meskipun hari telah malam. Menghabiskan waktu bersamanya menenangkan otakku. Aku tidak harus menciptakan apa-apa.”

Suatu hari secara tak sengaja sebuah van di kamar ayahnya yang ada di lemari ia pecahkan, menemukan kunci milik Black. Dan begitulah, petualangan dimulai. Rasa kasih pada ayahnya tak mau ia lenyapkan, dan ingin bersemanyam selama mungkin sekalipun digerus waktu. “Semakin banyak yang kutemukan, semakin sedikit yang kupahami. Aku menghubungkan semuanya, seperti seorang astrolog.”

Oscar berkenalan dengan manusia Tuan Black yang berusia lebih dari seabad. “Aku lahir pada tanggal 1 Januari 1900! Aku sudah menjalani semua hari di abad jedua puluh.” Bertemu dengan Nyonya Black yang berusia 48 tahun, dan berteman dengannya. Dan yang paling banyak menyita halaman, adalah narasi neneknya, ibu dari ayahnya. Masa lalunya dikupas dengan sangat mendalam.

Neneknya, dulu berkenalan dan berpacaran diam-diam dengan pendatang Thomas Schell Sr. Sejatinya Thomas jatuh hati sama Anna, kakak neneknya. Malang, Anna meninggal di peristiwa pengeboman Dresden saat Perang Dunia Kedua. Maka lantas menikahi neneknya, dan Thomas Sr. lalu menghilang saat kehamilan Thomas Jr.. Dari narasi neneknya, kita tahu, kakeknya terluka dan niat mula tak menginginkan anak, tapi kenyataan berkata lain.

Dalam penelusuran, ada seorang penyewa apartemen baru, yang begitu akrabnya walaupun tak pernah bertemu. Oscar dan Sang penyewa lalu mengubar kata-kata (dengan kode tangan ‘Ya’ dan ‘Tidak’). Dan begitulah, mereka sepakat melakukan misi terakhir. Sebuah penyampaian kata-kata yang tertunda, penyelesaian kata rindu yang membuncah. Mengubur apa yang sejatinya dikubur, yang secara harfiah, titik akhir perjalanan panjang ini.

Ini adalah novel dengan gaya. Ceritanya mungkin di tengah antara berat dan sederhana, berat sebab ini tentang anak yang kehilangan ayahnya, sederhana sebab misinya ‘hanya’ mencari lubang kunci demi rasa berkesinambungan. Namun jelas, cara penyampaiannya yang dahsyat. Sungguh mewah, detialnya mengagumkan. Enak sekali menelusur masa lalu orang-orang di sekeliling kita. “Aku sungguh-sungguh merasakan sepatu botku memberat saat memikirkan betapa kehidupan itu realtif sepele, dan betapa, jika dibandingkan dengan alam semesta dan waktu, keberadaanku sama sekali tidak penting.”

Ini buku pertama Foer yang kubaca. Satu buku lagi tentang vegetarian? ada di rak dan jelas gegas masuk daftar baca. Endingnya sendiri menurutku sempurna. Apa-apayang diperlukan kehidupan, apa yang perlu direspons dan yang biarkan segalanya berlalu. Dan sebuah fakta, bagaimana sebuah telepon berbunyi seharusnya ditanggapi, tapi malah jadi sejenis angin lalu, ahh… masa tak bisa ditarik kembali. “Manusia adalah satu-satunya binatang yang bisa tersipu malu, tertawa, memeluk agama, memecahkan perang, dan mencium dengan bibir… semakin banyak kamu mencium dengan bibirmu semakin manusiawi kamu.”

“Aku senang melihat ciuman dan tangisan, aku senang melihat ketergesaan, kisah-kisah yang meluncur lebih cepat daripada kecepatan mulut, telinga-telinga yang tidak cukup besar, mata-mata yang tidak mampu menyerap semua perubahan, aku menyukai pelukan, penyatuan, akhir dari merindukan seseorang.”

“Untuk pertama kalinya seumur hidupku, apakah kehidupan ini layak mendapatkan seluruh kerja keras untuk menjalaninya. Apakah tepatnya yang membuat layak? Apakah yang sangat buruk dari mati selamanya, dan tidak merasakan apa pun, dan bahkan tidak bermimpi? Apakah yang sangat hebat dari merasakan dan bermimpi?”

Suka sekali sama petikan puisi ini: “Aku merindukanmu bahkan ketika aku bersamamu. / Kami menghabiskan kehidupan kami untuk bekerja. / Setahun berlalu, setahun lagi, setahun lagi. lagi. / Kebutuhan itu muncul sebelum penjelasannya. / Semuanya baik-baik saja. Bahkan baik-baik saja tidak cukup. Semuanya akan sempurna.”

Atau percakapan ini: “Kenapa kamu berteriak-teriak?” / “Ceritanya panjang.” / “Aku punya banyak waktu.” Karena apa pun bisa membawaku lebih dekat dengan Dad adalah sesuatu yang ingin kutehaui,  bahkan meskipun itu akan menyakitiku. // “Jadi apa yang berarti?” / “Menjadi seseorang yang bisa diandalkan. Menjadi seseorang yang baik.”

Yang menyedihkan, sebuah fakta bahwa Ayah dan ibunya yang bentar lagi merayakan anniversary pernikaha. “Dia akan merayakan ulang tahun pernikahan seminggu lagi. 14 September, dia akan memberi kejutan untuk ibumu.”

Bergitulah, rasanya kok malah benar adanya, di dunia ini ya, bawah “Aku terus memikirkan betapa semua ini adalah nama orang yang sudah meninggal, dan betapa nama pada dasarnya adalah satu-satunya hal yang masih tetap bisa dimiliki oleh orang yang sudah meninggal.”

Bisa jadi Foer jadi penulis favorit terbaruku, tapi apakah bisa berharap buku-bukunya banyak dialihbahasakan Indonesia? Kalau ada, jelas layak sekali dikoleksi dan dinikmati. Semoga makin banyak penerbit melakukannya. Suatu saat, siapa tahu ia jadi pemenang Man Booker. Terima kasih.

Oiya, saya pernah nonton filmnya. Dibintangi Tom Hanks, tapi saya lupa detailnya karena saat nonton terputus-putus dan tak selesai. Setelah baca buku ini, jelas akan kutonton ulang sepenuhnya. Film Oscars.

Benar-benar Nyaring & Sungguh-sungguh Dekat | by Jonathan Safran Foer | Diterjemahkan dari Extremely Loud & Incredibly Close | Copyright 2005 | Penerjemah Antie Nugrahani | Penyunting Abu Ibrahim | Cover & Ilustrasi Penguin Books | Pewajah isi Muhammad Husen | Cetakn I: Maret 2010 | ISBN 978-979-19926-3-3 | Penerbit Mahda Books | Skor: 5/5

Untuk NICOLE, gagasanku tentang kecantikan

Karawang, 230922 – 280922 – 061022 – Tony Bennett – Let There be Love

Thx to Sri Purnawati

Fiksi Sejarah Myanmar dan Sekitarnya

The Glass Palace by Amitav Ghosh

“Orang-orang berpikir bahwa ini menyedihkan dan memang begitu. Tapi itu juga berarti bahwa aku tak punya pilihan lain kecuali memilih keterikatanku sendiri. Ini tidak mudah, seperti yang kaulihat. Tapi itu semacam kebebasan, dan oleh sebab itu, tidak tak bernilai.”

Penerbit Hikmah lagi, beberapa kali terjemahan Hikmah (grup Mizan) begitu memuaskan. Yang ini sungguh tebal, kumulai baca 3 Juni, dan diharapkan selesai akhir Juli, ternyata mbablas panjang sampai 17 September 2022. Buku tebal, lebar, walaupun fiksi ini bisa jadi adalah fiksi dengan sisipan sejarah yang sangat kental. Karena saya tak tahu sejarah Myanmar, maka banyak fakta sejarah yang fresh. Beberapa bagian malah membuatku mencipta kerut kening, terutama bagian awal bagaimana sang raja yang menyerah dengan mudah terhadap tentara Inggris (yang jua menjajah India), sehingga saat serbuan kompeni itu campuran Inggris – India. Di sana sampai mencipta sentiment anti-India. Begitu juga fakta sejarah, bagaimana tentara Inggris warga asli India lalu membelot membentuk tentara Nasional India, masa tahun 1940-an yang riuh akan kemerdekaan.

Kisahnya bisa jadi tentang Rajkumar, lelaki Burma (sekarang Myanmar) keturuan India. Ia adalah keturunan terakhir dalam silsilah keluarganya sebab dalam perjalanan perahu ke Mandalay, ibunya meninggal di atas sungai, namun sejatinya buku berkisah tentang sejarah Myanmar, Kolkota, Malaysia, hingga India. Semenajung Asia Tenggara di akhir abad Sembilan belas hingga seabad kemudian.

Seperti kita tahu, abad dua puluh riuh akan Perang Dunia pertama dan kedua, dan ini adalah salah satu efeknya. Perang sering menimbulkan benturan antara sejarah dan kehidupan individu. Dalam keadaan perang, situasi seperti revolusi, evakuasi massal, pemindahan populasi secara paksa, dan seterusnya, tak ada yang bisa memilih untuk menjauh dari sejarah. Abad dua puluh menjadi saksi atas berbagai malapetaka di Asia dan The Glass Palace mencoba mengisahkan dampak peristiwa tersebut terhadap keluarga dan individu.

Rajkumar muda, 11 tahun sampai di Mandalay untuk menjadi pelayan kedai Ma Cho. sebagai asisten pelayan kedai makanan yang dekat dengan Istana Kaca Raja Thebaw. banyak desas-desus tentang kehidupan kerajaan, rakyat jelata sekalipun di belakang sering mengeluhkan kemlaratan, mereka tetap mencintai kehidupan para bangsawan. Hormat hingga sembah sinuhun. Maka saat serangan Inggris tiba-tiba datang, Mandalay berubah total. Anehnya, kerajaan yang compang-camping mengeluarkan edaran yang kontradiksi, “Bangsa kita akan berpacu bersama para jenderalnya, kapten-kaptennya disertai kekuatan besar indanteri, artileri, pasukan gajah, dan kavaleri, lewat darat dan air, dan dengan keperkasaan tentaranta akan menghadapi orang-orang kafir ini…”

Dari kedai itulah, Rajkumar jadi saksi perubahan pepindahan kekuasaan, dengan mudah kepemimpinan raja dirampas, dan Burma menjadi tanah jajahan Inggris. Saat raja, Ratu Supayalat, dan segala pemangkunya dipaksa keluar untuk diasingkan, sebuah momen romansa tercipta, Rajkumar jatuh hati pada pandangan pertama kepada Dolly, salah satu pelayan putri. ia menandai, ia memberi hadiah, dan walau tak seindah harapan, ia menjaga asa api. Raja dan segala pasukannya diasingkan ke sebuah pantai di Ratnagiri India Barat, sejauh ribuan mil, jauh dari rakyatnya.

Rajkumar telah melihat terlalu banyak hal di Mandalay dan menemukan terlalu banyak ambisi baru. Rajkumar dengan semangat membaja, ikut dan berguru pada Saya John, seorang wirausahawan yang seolah menjadi bapak angkatnya. Bisnis kayu jati, dan menjadi saksi betapa balok-balok kayu bisa mencipta darah mengalir di berbagai sudut. Singkat kata singkat cerita, Rajkumar sukses besar. Ia berhasil dalam perjudian bisnis, meminjam uang dan memutarnya dengan jitu, dan tersebab ia ingin merekrut orang-orang India, ia meminta tolong sama orang dalam, Uma sang istri Kolektor. Ia ingin bertemu Dolly, dan menyampaikan cintanya. Pengasingan yang dikira sebentar, ternyata lama. Di tahun 1905, 21 tahun pengasingan sang raja. Dan nantinya Ratnagiri menjadi tempat tiada pula bagi snag raja terakhir Burma.

Rajkumar di usia matang, Dolly yang cekatan dan begitu mengabdi awalnya tak tahu sejarah sang pemuja. Bahkan saat diminta untuk menjadi istri sang juragan, ia menolak. “Dia mencintai apa yang diingatkanya. Itu bukan aku.” Uma menjadi mak comblang, meyakinkannya, memintanya mengambil kesempatan. Ini hanya satu kali peluang, bila ia menolak maka, Dolly bisa jadi akan menghabiskan sisa hidupnya sebagai pelayan di tanah pengasingan. Dan dengan dramatis, lewat kapal yang beranjak, ia berlari mengejar masa depannya sendiri.

Begitulah, kisah ini lalu menuturkan kehidupan Rajkumar yang bahagia, dan segala turunannya. Memiliki dua anak, Neel  yang melanjutkan bisnis keluarga, dan Dinu yang suka fotografi. Lalu satu cucu yang menyatukan keluarga ini nantinya karena terpecah akibat perang, Jaya. Si bayi, Jaya menjadi pengikat yang menyatukan seluruh keluarga. Kisahnya sendiri menjadi pencarian di bab akhir, bagaimana Jaya mencari pamannya di sebuah kota kecil sang asing.

Plotnya sendiri jadi sangat liar kemana-mana. Uma yang janda menjadi seorang revolusioner. Bagi Uma, pemberontkan dan cara penumpasannya merupakan kulminasi mimpi buruk sebulan lamanya. Ia nantinya bergabung dengan Mahatma Gandhi. Ia menjadi saksi kejahatan Rajkumar melakukan tindakan asusila terhadap perempuan bawahannya, dan ia pula nantinya di hari tua menghabiskan malam-malam hening dengan yang ia kutuk. Tampak absurd sebenarnya, Uma yang sungguh kuat dan saking hebatnya, terlihat tak masuk akal.

“Bagaimanakah kau akan melawan musuh yang bertempur bukan karena kebencian maupun kemarahan, tetapi karena rasa patuh pada perintah atasan, tanpa protes maupun kesadaran?”

Bagian yang bikin salut adalah perjuangan India mengusir Inggris. Salah satu keturuan Rajkumar nantinya jadi tentara Inggris, dan bersama rekannya terbelah antara berdiri sendiri menjadi pribumi (sehingga disebut penghianat, pemberontak) ataukah bergabung dengan tentara baru, India. Yang merka inginkan hanyalah mengusir Inggris supaya mereka bisa melangkah masuk dan menggantikan posisi Inggris. Bahkan masuknya Jepang makin membelah kubu. Yah,  kita harus ingat bahwa mereka adalah generasi pertama tentara India yang terdidik. Mirip Indonesia tahun 1940 s/d 1945, terpecah dan rumit. Dia telah membentuk unit independen – Tentara Nasional India. “Kapten Mohun Singh telah mengambil langkah besar. Dia memutuskan untuk berpisah dengan Inggris.”

Tak ada penguasa yang baik dan penguasa yang buruk, semakin baik seorang penguasa, semakin buruk kondisi sang budak, karena dia berhasil membuat sang budak melupakan siapa dirinya. “Apa mereka juga bicara soal politik? Ya, sepanjang waktu. Mustahil untuk tak melakukannya, di Myanmar.”

Mengutip Weston, atau Trotsky bahwa bentuk seni dan revolusioner bisa menyentakkan orang atau mengusik rasa puas diri mereka atau menantang ide-ide lama berkat ramalan konstruktifnya mengenai perubahan.

Nilai novel sebagai suatu tulisan, kemampuannya untuk menginkorporasikan berbagai elemen yang terkandung dalam setiap aspek kehidupan – sejarah, sejarah alam, retorika, politik, keyakinan, agama, keluarga, cinta, seksualitas.

Ini adalah buku pertama Amitav Ghosh yang kubaca. Lahir di Kolkota (sejak 2001 ejaan Inggris Calcutta diubah menjadi Kolkota, karena begitulah sebutan dalama bahasa Bengali, sekaligus menghapus pengaruh kekuasaan Inggris), kecil di Bangladesh, Sri Langka, da India Utara. Ia tinggal di New York bersama istri dan kedua anaknya.

Mungkin kurang sreg sama pemilihan penyampaian kisah, terlalu klise dan mudah ditebak, panjang berliku dan isinya kurang nendang. Hanya bagian-bagian tertentu yang mencipta wow, rerata biasa. Nilai lebihnya ini buku fiksi sejarah yang nyaman dan mudah diikuti, nilai kurangnya, bahasanya kurang satrawi, umum, dan sangat mudah dicerna. Tak sampai meluap-luap seperti buku Hikmah lainnya, tapi sudah cukup sebagai permulaan Amitav Ghosh, pemennag penghargaan Satra Italia, Grinzane Cavour Prize. Kalau ada buku lainnya, siap dinikmati.

Istana Kaca | by Amitav Ghosh | Diterjemahkan dari The Glass Palace | Terbitan Random House Trade Paperbacks, Inc. New York, 2000 | Penerjamah Reni Indardini | Penyunting Suhindrati a. Shinta | Penyelarasa aksara Alfiyah, Indah | Pewajah sampul Andreas Kusumahadi | Penata letak elcreative26@yahoo.com | Penerbit Hikmah (Pt. Mizan Publika) | ISBN 978-979-114-220-5 | Cetakan I: September 2008 | Skor: 4/5

Untuk Kenangan tentang Ayahku

Karawang, 200922 – Gerry Mulligan – Capricious

Thx to Ade Buku, Bdg

Rumah Boneka

“Mencintai Anda dengan begitu besarnya lebih daripada orang lain. Apanya yang kejam?”

Buku sandiwara lagi. seperti Menunggu Godot yang begitu hidup, buku ini begitu berhasil membuat pembaca begidik. Ingat, ini adalah buku sandiwara dengan kekuatan ngobrol sepenuhnya. Tokohnya ada delapan + tiga anak, sejatinya hanya lima yang meninjol. Tolvard Helmer sang suami; Nora istirnya; Dokter Rank, dokter keluarga yang sudah dianggap saudara sendiri karena sering ikut pesta dan makan malam; Nyonya Linde, teman lama Nora yang hadir setelah lama berpisah; dan Nils Krogstad, seorang petugas bank yang jahat. Semuanya diaduk di ruang tamu keluarga Helmer. Dan sungguh memikat, hanya dari kata-kata, kita turut tegang, dan pilu.

Terbagi dalam tiga babak, dipisahkan hari. Semuanya di rumah Helmer. Kisahnya bermula Nora pulang berbelanja untuk keperluan Natal, masuk rumah dengan pembantunya, dan meminta menyimpannya agar tidak dilihat anak-anak hadiahnya. Lalu muncul sang suami Tolvard yang begitu mencintai istrinya sampai dipersonifikasikan seperti burung murai, tupai, bahkan sepertui sang boneka. Memang Nora snagat cantik. Pintar bernyanyi dan menari, pandai berdandan. Suka belanja, istri yang dimanja. Delapan tahun pernikahan, tiga orang anak.

Nora tampak boros berbelanja, ditegur (dengan halus) bahwa uangnya tak banyak, ia akan naik jabatan di tahun baru sebagai manajer bank, Nora dengan gaya ngeles, nanti uangnya juga pasti ada kan, bisa pinjam dulu, bisa ditalangi alokasi biaya lain, dst. Suaminya memang tak marah, ia nurut saja, ia begitu memuja Nora. Tolvard itu begitu tergila-gilabya kepada Nora sehingga ia menginginkan dia hanyalah baginya semata-mata, seperti yang ia katakana. Bukan hanya memperoleh yang kita perlukan saja, tetapi tumpukan dan tumpukan uang. “Sungguh menggembirakan, suamiku diangkat, menjadi manajer bank.”

Nyonya Linde lalu hadir, teman semasa sekolah ini pindah kota untuk mencari pekerjaan. Janda tanpa anak ini seperti iri sama Nora. Setelah mengabdi kepada keluarga, ia kini sebenarnya sudah bebas, kedua adiknya sudah mentas, ia tak punya tanggungan orangtua lagi, tak bersuami dan taka da buntut. Ia ke kota ini untuk memulai petualang baru. Setelah bergosip ria, masuklah ke masalah serius. Ia akan dibanti Nora untuk kerja di bank yang dikepalani suaminya. “Aku tidak tahan untuk hidup tanpa pekerjaan. Seluruh hidupku, sepanjang yang dapat kuingat, aku telah bekerja, dan itu merupakan satu-satunya kesenangan dan kebanggaanku.”

Sementara dokter Rank yang sudah tua, mengeluhkan sakit pinggang dan kini di masa tua bangkrut menjadi penengah kasih. Beberapa waktu yang lalu ia telah memeriksa keadaan ekonomi rumah tangga. Bangkrut! Sempat terbesit sebuah paradoksial, ialah impian Nora sebab Nora keceplosan bilang: “Kemudian aku duduk di situ dan membayangkan adanya seorang lelaki tua yang kaya telah jatuh cinta padaku. Bahwa ia kemudian meinggal dan ketika surat wasiatnya dibuka, isinya tertulis dengan huruf-huruf yang besar memerintahkan: “Kepada Nyonya Helmer yang cantik harus segera diserahkan segala yang aku miliki secara tunai.” Namun, tak seserhana itu.

Nah, masalah muncul saat Nils Krogstad datang ke rumah ini. ia mencari Helmer, tapi sedang keluar. Maka ia berbincang dengan Nora, mengenai kemungkinan minta tolong agar dipertahankan. “Nyonya Helmer, sudikah kiranya Anda berbuat baik untuk menggunakan pengaruh Anda demi keperluanku?”

Dan masa lalu dkuak. Betapa Nora melakukan kejahatan, ia bisa saja dipenjara karena kasus ini. dan yang tahu kasus ini hanya Krogstad (lalu Linde, sebab dicurhati). Tarik ulur kesepakatan, negosiasi situasi, hingga ancaman diapungkan. Keluarga harmonis ini terancam, padahal di muka tampak cerah dengan jabatan menterengnya. Apakah berhasil dipertahankan? Atau runtuh bak banguan renta dan rapuh?

Keluarga ini lapisan luar tampak bahagia. Perjuangan membangunnya penuh dedikasi. “Tetapi di tahun-tahun pertama ia harus bekerja melampaui batas. Lihat, ia harus mencari uang dengan berbagai cara, dan ia bekerja sejak dini hari sampai larut petang, tetapi ia tidak dapat bertahan dan jatuh sakit, dan para dokter mengatakan bahwa baginya sangat perlu untuk pergi ke daerah selatan.”

Namun setelah berlembar-lembar kita tahu kerapuhannya. Pertama Nora itu perempuan manja. Cantik dan memandang seolah dunia ini indah-indah saja. “Kau ini masih seperti anak kecil.” Kata Linde. Dan Nora marah, maka membalasnya, “Bahwa aku ini hidup tanpa mengenal dunia yang penuh persoalan.” Dari sanggahan itulah, kata-kata menguar, dan rahasia diungkap.

Sanggahan penting pertama adalah, saat Helmer sakit parah dan harus ke selatan, Nora bilang dapat uang dari ayahnya untuk berobat. Padahal ayahnya tidak memberikan satu shilling pun, dan Noralah yang mencari uang itu. Dari mana? Berutang! Parahnya tanpa sepengetahuan suaminya. Kok bisa? Segi baiknya punya sesuatu sebagai simpanan. Ia berdalih, “Nanti apabila Torvard sudah tidak begitu memperhatikan aku lagi seperti sekarang ini.”

Kemudian ia telah bekerja keras agar bisa menutupi, menentukan jalan yang lain untuk memperoleh uang. Musim dingin yang lalu merasa beruntung mendapatkan pekerjaan menyalin yang banyak sekali. Namun tidak akan tertutup sepenuhnya. Kemarahan mencuat, dan arti cinta diperuhkan. “Kau tidak pernah mencintaiku. Kau cuma pikir sebagai sebuah kesenangan untuk mencintaiku.”

Kerapuhan kedua, seorang ahli hukum bernama Krogstad, menderita penyakit akhlak-lah aktor peminjam kala itu. Secara umum, pinjaman sah-sah saja. Namun ada sebuah kesalahan. Ada pemalsuan, ada kecurangan dalam sepekatan. Dan itu sungguh berat. Pinjaman uang sebesar dua ratus lima puluh pound bisa jadi bola salju yang menyapu banyak hal yang dilewatinya. Sekali badai di rumah itu sudah terhenti, ia punya sepucuk surat untuk sang suami dalam saku baju. “Apabila aku kehilangan jabatanku untuk kedua kalinya, Anda juga akan kehilangan yang Anda miliki, bersama aku.”

Kerapuhan ketiga, Nora yang manja begitu tampak taat, tapi tidak. Contoh dalam mendidik anak, tak boleh ada macaroon, gula-gula, permen, makanan di rumah. Itu adalah makanan dilarang. Nyatanya, sering berdalih, sering melonggarkan aturan, dan sering dinikmati secara sembunyi. Istri yang melawan, tapi tak secara langsung.

Keempat, sang suami. Ternyata ia memiliki sisi egoism tinggi. Dan itu sangat melukai. “Karena lingkungan dengan suasana penuh kebohongan itu akan menular dan meracuni seluruh kehidupan di rumah, setiap helaan napas yang diisap anak-anak di dalam rumah macam begitu itu adalah penuh dengan bibit-bibit kejahatan.”

Semua orang memang tak pernah siap menemui kata pisah, memeluk kehancuran. Hiks, “Kasihan, kawan tuaku. Tentu saja saku tahu bahwa memang dia tak akan lama lagi bersama kita. Tetapi mengapa begitu cepat! Dan begitu ia akan menyembunyikan diri seperti binatang yang terluka.”

Malam Tarian Tarantella menjadi puncak cerita, dan endingnya keren banget! Tak menyangka sang boneka melawan. Rumah itu dipertaruhkan. Rumah boneka yang malang. Jadi apa definisi bahagia? “Tidak, aku tidak pernah merasa bahagia. Aku pikir memang begitu, tetapi sesungguhnya tidak pernah begitu.

Rumah Boneka | by Hendrik Ibsen | Diterjemahkan dari A Doll’s House | Penerjemah Amir Sutaarga | Ed. 1, 2007 | vii + 156 hlm” 11 x 17 cm | ISBN 978-979-461-132-6 | Penerbit Yayasan Obor Indonesia | Edisi pertama: Mei 1993 | Edisi kedua November 2007 | YOI 174.11.15.93 | Desain sampul T. Ramadhan Bouqie, Jean Kharis Design Graphic | Skor: 4.5/5

Karawang, 160922 – Charles Mingus – Self Portrait in Three Colors

Thx to Dede H, Bdg

Cell

“Dengan menggunakan ponsel, yang sudah menjadi alat komunikasi dominan dalam kehidupan sehari-hari, kau secara simultan bisa mengubah seluruh populasi menjadi pasukan boneka, pasukan yang tak takut apa pun, karena mereka gila…”

Gelombang telepon mencipta penggunanya jadi zombie. Mereka kehilangan kesadaran, makan apa saja yang ada, membunuh sesama. Hanya orang berpikiran jadul tanpa seluler yang selamat. Lantas mereka melakukan perjalanan ke area yang dijanjikan. Dengan motivasi berbeda, ada yang mencari selamat, ada yang mencari anaknya, ada yang mencoba memecahkan misteri gelombang. Tebal sekali bukunya, butuh kesabaran ekstra untuk cerita perjalanan yang sejatinya bisa lebih diringkas.

Dibuka dengan tiga kutipan:

Ego tak akan pernah merasakan kepuasan. Ia selalu merasakan ketegangan akibat keinginan yang tak terpenuhi. Sigmund Freud

Agresi pada manusia bersifat naluriah. Amnesia tidak mengalami evolusi dalam hal mekanisme ritual penekanan agresi untuk menjamin kelangsungan spesies mereka. Karena alasan inilah manusia dianggap sebagai binatang yang sangat berbahaya.Konrad Lorenz

Bisakah kau mendengarku sekarang? Verizon

Cerita mangambil sudut Clayton Riddell, seniman yang sejatinya sedang bahagia. Ia baru saja mendapat deal novel barunya akan rilis. Di tanggal 1 Oktober sore itulah sebuah serangan antah terjadi, di sini disebut serangan Gelombang. Ia sedang di Boston Common, dekat truk es krim, dan serangan mendadak itu mencipta kegemparan. Semua pengguna ponsel mendadak jadi zombie, semua tanpa kecuali yang menggunakan telepon kehilangan kesadaran, kehilangan kewarasan. Dan karena Clay tak punya seluler ia selamat.

Bertemu dengan Tom McCourt yang berpikiran jadul, tak punya HP juga, dan Alice Maxwell remaja cantik. Ketiganya yang karena tak tahu harus bagaimana, memutuskan berlindung sementara ke rumah Tom. “Apa menurumu besok akan lebih baik, di saat terang? Maksudku rasa takut itu?” Tak ada yang tahu. Clay membuka mulut untuk mengatakan hal semacam itu pada Tom, dalam pikirannya celetukan itu akan lucu dan cerdik, namun yang keluar dari mulutnya hanyalah suara serak terisak.

Kita ini tiga pendekar Tom, Semua untuk satu dan satu untuk semua. “Alice. Nama yang cantik. Artinya ‘diberkahi Tuhan’”.

Besoknya, para zombie ini mulai mencari mangsa. Saling terkam, apapun yang ada di depannya. Mereka ternyata juga berserikat, bersatu saling bantu. Tampak aneh sebab kewarasan dan kesadaran sudah tercerabut. Dalam kebimbangan, bertiga memutuskan ke Maine, ke utara mencari anak Clay: Johnny yang masih kecil. Tom dan Alice ikut saja, sebab tak tahu harus ngapain? Bukankah bersatu akan lebih kuat?

Di sana sini terlihat ponsel tergeletak ditinggalkan di jalan, setiap beberapa meter mereka melewati ponsel yang tergeletak dan tak satu pun utuh. Ponsel-ponsel itu kalau tidak terlindas pasti terinjak sehingga hanya tinggal serpihan kabel dan plastik, seperti ular berbahaya yang sudah dibunuh sebelum mereka bisa menggigit lagi.

Begitulah, novel ini sebagian besar berisi perjalanan. Melewati berbagai rintangan, seperti di sekolah Akademi Gaiten dengan kepala sekolah Charles Ardai dan satu murid langka Jordan. Menambah pasukan, jadi setiap bertemu dengan orang asing yang selamat, opsinya bersekutu kalau sepemikiran. Kota ini akan terbakar habis dan tak ada yang akan bertahan kecuali orang gila. “Bisakah kota modern terbakar habis? Yang terbuat dari beton, logam, dan kaca? Bisakah kota semacam ini terbakar seperti Chicago yang terbakar setelah sapi Mrs. O’Leary menendang lentera?”

Karena mereka juga menemukan fakta-fakta baru, bahwa para zombie telah menemukan koloni pikiran, mereka tak bicara tapi bisa telepati, sehingga koloni zombie ini bisa melihat potensi melawan manusia normal.

Begitu pula fakta bahwa, zombie bergerak bebas siang hari, mereka cari makan, berkumpul, berbagi makanan, hingga akhirnya bisa mencipta sidang. Mereka berevolusi dengan cepat. Sehingga kelompk Clay hanya bisa bergerak bebas malam, melakukan perjalanan, mencari makan, hingga mencari tempat bernaung. “Malam-malam mungkin masih jadi milik kira untuk sementara, tapi siang hari jadi milik mereka, dan kaulihat sendiri apa yang bisa mereka lakukan.”

Apes, mereka bertemu manusia normal yang selamat, tapi kaum yang hura-hura, sebab sudah frustasi, memperebutkan makanan dan segala yang dibawa. Perjalanan itu banyak sekali hambatannya, dan setelah menemukan fakta keadaan anaknya, Tidak begitu mudah melupakan istri walaupun ada amarah di sana, yang hidup terpisah tapi masih kaucintai, yang mungkin saja sudah mati, dan terutama anak. Johnny dan Sharon tinggal di Livery Lane saat gelombang menyerbu. Clay tak bisa berbuat apapun selain, melanjutkan misi menyelamatkan umat. Generasi manusia, mereka menuju ke KASHWAK NO-FO, sebuah janji sekaligus ancaman. Kashwak sama dengan No-Fo bisa dibilang sebagai area tak berotak. Zona mati/ taka da menara ponsel. Tak ada tower menara mikro.

Pemicu yang bermutasi. Semua itu tak mungkin terjadi tanpa ini, yang bisa dibilang penghapusan total besar-besaran. Akhirnya semuanya seperti efek domino. “Primata berevolusi jadi manusia, manusia ke orang ponsel, orang ponsel berevolusi menjadi kaum telepatis yang bisa mengambang dengan sindrom Tourette. Dan evolusi pun lengkap.”

Ada satu lagu yang sering disebut berjudul, Baby Elephant Walk. Sebuah Musik instrumental band besar dari zaman dulu. Les Brown dan His Band of Renown. Namun ada versi baru, Don Costa atau Henry Mancini. Dua versi yang populer. Atau versi Lawrence Welk. Musik ini mengalun di koloni zombie seolah jadi panduan hidup. Musik raya para manusia ponsel?

Orang bukanlah komputer, tapi komputer bisa dibilang seperti orang, kan? Karena kita membangun apa yang kita tahu, kau tahu tentang reboot dan worm itu. Masa depan yang misterius, apa yang akan terjadi dengan teknologi. Komputer yang kita cipta bisa berpikir? Ledakan gelombang ini bisa saja kisah fiksi, tapi kekhawatiran akan makhluk udara antah yang menyerang balik para penciptanya tentu membuat kita gidik. Ini demia anak cucu kita, ini demi masa depan manusia. Siapa yang bisa jamin manusia masih ada dua abad mendatang?

Justitia Est Commodatum, keadilan telah ditegakkan.

Seluler | by Stephen King | Diterjemahkan dari Cell | Copyright 2006 | c/o Ralph M. Vicinanza, Ltd. | Alih bahasa Esti Ayu Budihabsari | GM 402 08.041 | Desain cover Eduard Iwan Mangopang | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | 568 hlm; 20 cm | ISBN-10: 978-22-3910-3 | ISBN-13: 978-797-22-3910-2 | Skor: 4/5

Untuk Richard Matheson dan George Romero

Karawang, 140922 – Benny Goodman & His Orchestra – King Porter Stomp

Thx to Derson, Jkt

Selalu ada Tradisi Makanan yang tak Diketahui Orang

Aruna dan Lidahnya by Laksmi Pamuntjak

“Kuah babat karena memberi bodi dan aroma, kacang kedelai karena membuat ekstra renyah, timun karena menambah asam dan segar.”

Karena saya sudah melihat filmnya, apa yang dilakukan dan diucapkan Aruna sudah tercetak wajah Dian Sastrowardoyo. Apalagi gerak-geriknya mirip, atau perasaanku saja yang mengikuti? Entahlah. Ini novel dengan citarasa makanan melimpah, pemakaian kata lezat pada tempatnya. Perhatikan, “Sebuah dunia yang telah terbentuk lama sekali, sebelum musik, sajak, dan gambar, dan yang pagi malam mengisi penuh kepalanya, mengisi dan menaungi.”

Secara cerita mungkin agak kurang, kalangan atas sedang kerja dan makan-makan, motif dan pengembangannya yang kurang relate sama kebanyakan kita, atau kurang pas sama jelata. Pejabat pemerintah, dan lingkarannya melakukan kejahatan, Aruna terseret pusaran, dan begitulah ia mengikuti decak kenikmatan makanan dari kota ke kota. Keistimewaan buku ini jelas, cara penyampaiannya yang luar biasa. Lezat di tiap lembarnya. Memang ini hidangan istimewa, nikmatnya berlapis-lapis. “Selalu ada tradisi makanan yang tak diketahui orang.”

Aruna Rai adalah ahli wabah dengan spesialisasi Flu unggas, diperbantu dalam kasus flu burung yang melanda Indonesia. Bekerja sebagai konsultan epidemiologi, menyebut diri sebagai ‘Ahli Wabah.’ Ada delapan kota yang akan dikunjunginya, kota-kota yang mendapati positif pasien flu burung, dicek dan analisis untuk kemudian dilaporkan ke bosnya. Apakah perlu mendirikan pabrik vaksin? Apakah perlu mencegah penularan dengan proteksi lebih tinggi. Dan tentu saja semua itu perlu biaya. Satu kasus di delapan kota, terjadi secara serentak. Bahaya wabah masih jauh di bawah tingkat siaga? “Sebuah virus akan akan pernah takluk, ia kecil, ia sabar, ia mengganda dalam diam. Tak ada yang menghitung umurnya, tapi ia tak pernah lupa. Suatu hari ia akan datang, menyerang, dan kita tak berdaya menangkalnya.”

Dalam tim Aruna sama lelaki yang sejatinya nyebelin, tapi akrab dan mencoba masuk lingkaran pertemanan. Farish mungkin bukan cowok idealnya Aruna, tapi mereka satu tim dan kebersamaan mencipta hubungan lebih lanjut.

Sejatinya dua sobat kental Aruna-lah penggerak cerita: Bono yang seorang chef lulusan luar negeri yang obsesif sama makanan. Ia begitu hebat menganalisis kualitas makanan, hapal sama kota-kota dengan kekhasan sajian. Manusia yang hidup untuk optimism, harapan, sihir resep yang mengejutkam, retoran yang tak terlupakan, kisah yang tak selesai, kata-kata yang tak terucapkan, malam yang membuka alam setengah mimpi. Bono a.k.a. Johannes Bonafide Natalegawa, chef muda berbakat internasional. “Tak hentinya mengumpulkan fakta remeh temeh tentang makanan tapi yang jika dilontarkan sesekali dalam sebuah pembicaraan membuat sang pembicara semakin menarik dan misterius.”

Satu lagi, si cantik Nadezhda Azhari. Penulis kuliner yang tak mau menikah. Memiliki hubungan dengan lelaki bersuami dari Eropa. Dan karena seorang penulis, hubungan gelap itu sama penulis juga. Suka sama prinsipnya, “Dia tidak pernah menonjolkan kelebihannya terhadap orang-orang yang tak dikenal baik.”

Keduanya turut serta tim Aruna, sekaligus jalan-jalan ke tempat makan. Kuliner ke delapan kota, dari Surabaya, Pamekasan, Singkawang, hingga Pontianak. Dengan dalih menemukan resep makanan lokal yang otentik. Dalam pelaksanaannya, banyak hal meragu, tampak sesuatu yang salah, konspirasi macam apa ini? Dan pada akhirnya Aruna harus mengambil tindakan, dalam keragu-raguan, ketetapan hati harus diambil.

Ada beberapa kalimat panjang yang bagus untuk di-sher. Salah satunya: “Yang melihat poster Macedonia dan bukan membayangkan kemiskinan dan musim kemarau berkepanjangan melainkan sepiring salad dengan mentimun dan tomat termontok di jagat raya, yang melihat poster Venezia dan membayangkan bukan air yang menyapu kaki dan dengkul, melainkan aneka hasil laut yang berlimpah-limpah di Pasar Rialto, manusia yang tahu bahwa mereka bahagia saat lidah mereka bersentuhan dengan pandan dan gula Jawa, saat hidung mereka menghirup gulai yang lekat.”

Atau kesimpulan yang bagus, bagaimana setiap resep kuliner selalu ada yang hilang tak tercatat. Pahlawan lokal. “Akan sekian banyak pahlawan kuliner yang tak tercatat, yang tak mungkin tercatat karena begitulah budaya rakyat, yang namanya tertelan oleh roda waktu dan perputaran zaman, yang resepnya entah bagaimana kekal dalam tafsir beratus beribu tangan.”

Kesamaan para karakter selain obsesi makanan adalah, di usia matang 30-an semuanya memilih lajang. Aruna yang galau di angka 35, merasa gendut dan tak pede. Bono yang kalau dilihat kaca mata umum, sudah mapan, ia terlalu fokus sama karier dan bisnis makanannya. Dan Nadez yang berpendidikan luar, menikmati hidup sampai keblabasan sehingga memilih tak menikah.

Ada satu lagi, bagian yang mengingatkanku pada novel-novel John Grisham. Di mana seorang pekerja, muak sama kehidupan, kesal sama rutinitas sehingga ingin kabur dari segalanya. Nah, di sini Aruna sempat terbesit. “Mungkin bisa aku minggat saja setelah investigasi ini selesai, ke Lima, ke Luanda, ke Lesotho, pokoknya ke kota yang tak akan pernah terlintas dalam benak siapa pun, dan suatu saat, lima tahun lagi, baru pulang ke Jakarta untuk menata ulang hidupku.” Wajar sih, kita semua bosan. Dan impian liar sejenis itu selalu ada.

Hingga tercipta tragedi. Kucatat ada tiga masalah pelik di akhir. Pertama tentang Leon sang mantan yang tragic, bagaimana menanggapi seorang yang kini bukan seseorang lagi di hatinya? Sedih sekali, lenyap jadi debu dan tak bisa menziarahi secara langsung. Kedua, keputusan bosnya yang berdiri di tengah-tengah. Kasus ini pelik, korupsi tak boleh dimaafkan. Dan rasanya berat saat tahu, temanmu, sekaligus bosmu terjerat. Kamu ada di tengah-tengah dan bimbang. Ketiga, keputusan akhir Aruna menambatkan hati. Ia malah mengalah, ia menyerah pada jiwa lelaki yang sejatinya tak klop 100%. Namun lelaki ini siap mendampingi, bahkan saat ke pulau Nusa, bisa menyediakan waktu dan tempat untuk bernaung. Terkadang memang kita harus mengalah pada keadaan. “Hal-hal yang kita lakukan dan hal-hal yang kita impikan. Aku masih ingin hidup di dalam keduanya.”

Novel pertama Laksmi Pamuntjak yang kubaca, keren banget. Pemilihan kata, nyaman dan puitik. Salah satu novel lokal dengan liukan kata terkeren yang kubaca. Cerita mungkin agak kurang, sebab memainkan orang-orang kalangan atas yang tak relate sama jelata. Pilihan dengan makanan sebagai tunggangan utama, baru pilihan bagus. Berapa banyak sih novel dengan citarasa makanan sebagai tema dicipta di Indonesia? Tak banyak. Apalagi dibuat dengan gemuruh diksi sekeren ini. Pengalaman pertama yang akan mematik karya-karya berikutnya untuk dilahap. Next, Amba?

Aruna dan Lidahnya | by Laksmi Pamuntjak | GM 201 01 14 0032 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Desain sampul SOSJ Design Bureau & Consultancy | Ilustrasi sampul Barata Dwiputra | Foto Pengarang Bona Soetirto | ISBN 978-602-03-0852-4 | Skor: 4.5/5

Buat D.S.K. (1968-2013)

Karawang, 210822 – 070922 – Miles Davis – Once Upon a Summertime

Thx to Derson S, Jkt