Kronik Singkat Pasca Tragedi 1965 di Bali dan Kisah lainnya

Rindu Terluka by Putu Oka Sukanta

“Dan sabungnya ini kan di Pura kita. Tentu dewa memihak kita.”

Ngeri. Permulaan cerpen ini banyak mencerita pasca tragedi 1965 di Bali. Bagaimana tokoh utama bisa selamat, dengan berbagai juang, dengan ke pulau Jawa sebagai tahanan, dengan legowo dan menyisihkan egoism, dengan banyak cara. Termasuk bagaimana ada adegan setelah masa genting lewat, ia pulang ke Bali dan bertemu dengan para algojo, walau tak sampai dibunuh juga sebab sudah lewat jauh, kengerian itu masih sangat terasa. Mengherankan, sungguh heran bagaimana bisa dunia bisa berputar dengan keganasan dan tata kelola sadis membantai teman/saudaranya sendiri.

Sebagian lagi tema lain, tema umum bisa sampai Batam atau kehidupan sehari-hari yang biasa mistik. Ini Bali, dunia seberang dengan sering disinggung dan dupa dinyalakan lebih tajam.

#1. Pan Blayan

Rapat desa untuk memutuskan masuknya industry ke desa mereka, Pan Blayan antusias sebab tanahnya yang kena gusur dapat ganti rugi dan ia bisa mendapati jalan mulus dekat rumahnya. Begitu pula rencana membuka usaha, tapi harapan tak semulus kenyataan.

“Hidupmu di jalan becek berlumpur. Bukan jalan licin beraspal.”

#2. Made Jepun

Kehidupan sehari-hari warga Bali, ibu jualan, ayah kerja, adik kakak sekolah, dst. Lalu segalanya berubah tersebab tragedi 1965. Segala yang berbau PKI dihilangkan, tak peduli kamu orang mana, siapa, dan mengapa.Made Jepun dituduh anggota Gerwani, dan ia kena coduk, tapi tak sembarangan, karena nantinya ia menggila dan ‘sakit kotor’. Ada karma di sana.

“Bilang aku tidak ada. Mati.”

#3. Rindu Terluka

“Jangan dulu.” Melarikan diri ke Jawa untuk bertahan hidup, sampai kapan? Dipenjara sampai kapan? Kerinduan di tanah kelahiran Bali berulang kali dipendam, sebab setiap saat bisa saja kena ciduk. Putu Sarka yang bertahan dan menyadari semua temannya sudah dibunuh.

“Semua orang bilang kamu sudah mati. Meme tidak percaya. Meme tidak membolehkan orang membuatkan pengabenan untuk kamu. Ada balian goblog yang juga bilang kamu sudah dibunuh, jauh di sana.”

#4. Kerbau Betanduk Emas

Ini seperti lanjutan, sebuah surat ditujukan kepada I Putu Mustika, bila jika sudah bebas dan ingin bertemu I Plutut bisa menemui saya, Suaeb. Dan begitulah, ia memutuskan mudik ke Bali, katanya zaman sekarang sudah berubah dan ia tak akan diburu. Dan ia bertemu dengan teman-temannya, yang dianggap PKI tapi tak PKI bisa bertahan hidup, dilecehkan. Seih.

“Ah, kalau dulu kamu menemuiku, pasti kelewangmu yang menghabisi nyawaku. Apa yang mereka pikirkan tentang diriku sekarang?”

#5. Tukang Kebon

Lucu, bisa jadi ini cerita terbaik. Sederhana tapi sangat mengena. Putu Mastra mencita anaknya bisa sekolah sampai SMA dan bisa kerja menjadi pegawai di kantor. Terus berdoa padaNya. Galang yang sudah lulus tak kunjung mendapat kesempatan, jadi ikut ayahnya ke sawah. Sampai suatu hari tukang kebon kantor Gubernuran meninggal, Putu Mastra bertemu Nengah Sandi, dan meminta tolong anaknya untuk bisa bekerja di sana. Mulanya optimis, sebab memang harus dari bawah. Namun suatu hari, bukan kenaikan pangkat yang Galang terima, tapi pukulan telak tersebab hal esensial.

“Berat mana Galang, jadi pegawai kantor atau di sawah?”

#6. Batu

Batu dan mitos keramatnya, ditaruh sesajen, ada penghuninya, dan orang yang berani menghina, apalagi mengencinginya akan kena kutuk. Cerita masa lalu, yang kini bisa jadi banyak yang sudah tak percaya. Batu itu masih ada, dan kembali ke masing-masing orang untuk percaya atau tidak, hingga suatu hari ada yang sakit keras.

“Tergantung kacamata yang kau pakai melihatnya.”

#7. Lengking Puisi

Ini cerita tentang kelahiran bayi terkasih, dibuat dengan syahdu meliuk-liuk puitik. Kahadiran yang dinanti, buah hati perempuan yang mengalir dalam syair.

“Dalam semua hal, anakku yang perempuan dan laki-laki adalah sama.”

#8. Mangku Dauh

Sabung ayam yang dilarang, tapi tetap dilakukan. Bambu-bambu disiapkan, jagoan sudah siap bertarung, penonton pun sudah menanti. Ah, judi, sering kali berujung petaka. Kali ini sungguh besar pengorbannya.

“Tidak ada penjudi yang aman hidupnya, berhentilah berjudi sebelum hidupmu sengsara.”

#9. Dewi Bulan Jatuh di Batam

Niah dan kegiatan medis masyarakat melawan penindasan di Batam. LSM mungkin identik dengan image negatif, tapi memang kalau dijalankan benar akan benar-benar bermanfaat. Dan perjuangan pembela kaum perempuan di tanah rantau yang sibuk di Batam terjadi.

“Ya, orang hidup, sering kayak burung, hinggap sebentar di dahan pohon, kemudian terbang lagi.”

#10. Beny

Beny si bungsu yang nakal, sering kena tegur tetangga sampai Pak RT, sering jail ke anak-anak lain, dan orangtuanya sering kena kritik. Begitu pula di sekolah, orangtua dipanggil sebab nakal sekali. Karena masalah bertumpuk, dan tak ada solusi bagus yang bisa dilakukan, muncullah ide untuk menitipka Beny ke kakeknya di Jawa Timur. Dan begitulah, si nakal itu malah jadi dirindukan.

“Mereka menangis, Kek.” / “Mereka kehilangan kau, Beny.”

#11. Bermula dari Lidia

Lidia sang penyanyi keliling, dalam sebuah seminar ia-lah yang bermula mendaku menderita Aids, masih muda dan menjadi bahan diskusi. Apakah ada kesempatan kedua? Bagaimana kalau menikah, dan pasangan akan turut kena? Anaknya juga, dunia berjalan dengan anehnya.

“Kok ada lelaki yang mau?”

#12. Bongkar

Ini masalah empati, tinggal nyaman di rumah tapi melihat sekeliling yang tak hidup susah, tak punya rumah. Kadang nitip jemur, kadang minta barang. Kasihan, tinggal di pondok bambu. Hingga suatu hari, terjadi penggusuran. Mereka akan tinggal dimana?

“Kasihan mereka, Pa.”

#13. Jembatan Cahaya

Lubang buaya dan misteri sejarah. Ketika ke museum Lubang Buaya, dengan relief dan segala detail yang disajikan, apakah bisa dipercaya catatan sejarah itu? Menelusuri sejarah dari berbagai sudut, menuntut kebenaran.

“Saya mencari apa yang tidak saya temukan.”

Kubaca santuy, sudah dua bulan tapi terbengkelai sama bacaan lain, nah awal pekan lalu, kebetulan dapat tugas luar kantor ke Bandung, bawa dua buku. Diluar duga Menembus Kabut bisa kuselesaikan baca cepat sewaktu berangkat, maka separo buku ini kutuntaskan selama perjalanan baliknya. Lumayan asyik, memang teman baca perjalanan tuh idealnya yang sederhana, cerpen sejenis ini, jangan yang berat kek bahas filsafat atau tasawuf.

Ini buku pertama Bung Putu Oka Sukanta yang kubaca, dari identitas penulis, terlihat beliau adalah salah satu korban tragedi 1965, dipenjara tanpa diadili. Terliaht cerpen-cerpen ditulis berdasar pengalaman pribadi. Bagus, terasa nyata, tak ngawang-awang. Terlebih, ini terbitan Metafor yang memang terkenal bagus di tahun 2000-an yang konsen di sastra. Semoga ada kesempatan menikmati buku-buku lain beliau.

Rindu Terluka | by Putu Oka Sukanta | Penerbit Metafor Publishing | 2004 | 13579108642 | Penyunting SiSi Arsianti | Cover dan Layout Muhammad Roniyadi | ISBN 979-3019-22-0 | Skor: 4/5

Kupersembahkan kepada Ibu dan Bapak di khayangan: Made Sukanta, Ketut Taman, dan Ketut Sringanis

Karawang, 311022 – Ella Fitzgerald – Indian Summer (Live)

Thx to Anita Damayatnti, Jakarta

Rumah Kawin dan Hikayat Lainnya

Rumah Kawin by Zen Hae

“Nggak pakai mantra-mantra?” / “Aku bukan juru tenung.”

Bagus. Kumpulan cerita yang menyenangkan. Memainkan kata-kata dengan indah, plotnya berjalan dengan sangat rapi nyaman sehingga tak terasa selesai. Ini buku pertama Zen H?ae yang kubaca, dikumpulkan dari cerpen-cerpen yang sudah terbit di Koran Nasional. Dan seperti biasa, kalau sudah muncul di Koran Nasional, seolah jaminan. Sudah melalui kurasi, sudah dipilah dan dipilih orang-orang kmpeten, maka Rumah Kawin benar-benar mengalir bebas, asyik, dan berkelok-kelok syahdu.

“Pertanyananya tentang perempuan itu terus bergulung. Memintal-mintal hasratnya menjadi benang yang tak putus-putus. Makin panjang makin kuat.”

#1. Taman Pemulung

Dengan setting Indonesia sebelum merdeka, Koran yang dinukil masih menggunakan ejaan lama, dan sang Radja Djoesta beraksi. Sang pemulung yang mengais sampah, apapun asal jadi duit, Sakit bengek dan keluhan kemiskinan. Ah di taman itulah, ada bangku-bangku terbuat dari semen, di bawah pohon kosambi, framboyan, beringin, dan asam jawa. Patung gajah dan dinosaurus, dan tampungan orang tunawisma, anak-anak pengamen, pengemis, dan tentu saja sebagian besar pemulung.

Lalu kicau burung dan petualangan yang tersaji. Diasahnya lagi kicaunya, tetapi ada yang tak ikut sirna besama hembusan nafas, kibasan saya, dan kicau garing: geliat lidah api, asap gimbal, jerit nyawa sekarat, kata-kata iblis, kota tua di utara…

“Diseretnya terus diri yang mulai dirundung rasa putus asa. Ia berjalan sempoyongan menahan letih dan kantuk mahaberat.”

#2. Rumah Jagal

Mitos dan hikayat selalu menemai keseharian masyarakat kita. Orang kesurupan, dari pohon angker atau rumah kosong bisa saja masih kantal. Di era modern yang mana listrik sudah banyak tersedia, ahh… ada saja alasannya. “Setakn takut listrik. Mereka mengungsi ke pinggiran kampung yang belum masuk listrik dan masih banyak pohon besarnya.”

Ceu Tarni sering kerasukan, dan konon katanya orang yang memiliki ‘iga jarang’. Pengalamannya yang aneh ini diakuinya saat kesurupan yang ketiga. Dan anehnya, di akhir kesurupan, kalimat yang terlontar adalah, “… Kau akan hancur, wahai sang Minotour.” Kok bisa, masyarakat awam, sampai menyebut makhluk mitologi Yunani?

Begitulah, lalu masa lalu ditelusur. Sampai titik terang itu ketemu, ada masa lalu kelam dari seorang pendiam yang menghilang. “Kini kami datang dengan sepotong firman Tuahn. Pergilah dari lembah nista! Selamatkan dirimu dari neraka. Sebab di sana kau akan berkali hangus, wahai, perempuan lacur.”

#3. Rumah Kawin

Sebagai cerpen yang dipinjam judul, saya setuju ini yang paling bagus. Sudah pernah kubaca doloe di Koran, dan saat menelusur kata lagi, rasanya nyaman sekali. Ini tentang pendekar tua yang tak lekas sadar bahwa masa jayanya sudah berakhir. Mamat Jago yang merindu Sarti, penyinden wayang golek idola masyarakat. Di pagelaran terakhir, waktu sudah malam, izin keramaian sudah lewat, dan lagu terakhir sudah selesai. Mamat tetap menginginkan pesta berlanjut, membuat gerah banyak orang. \”Jangan takut, Koh. Mereka semua teman saya. Ayo, main lagi. Saya akan mati kalau gambang berhenti. Ayo, panjak.”

Sekarang sudah lain, kekayaan dan kehormatannya rontok sudah, seperti pohon kelapa disambar petir. Meranggas dan mati. Tanahnya yang dulu hektaran kini tinggal sepetak, menciut bagai kelaras terbakar. Rumah megahnya kini tingga sarang kumbang, ngengat, dan laba-laba. Kosong, kusam, sepi. Ah betapa sesaknya kehilangan ini, Mamat terbatuk, dan sulit menerima kenyataan.

“Nggak, Abang pengen ke rumah kawin saja. Ke Dokter Sarti.”

#4. Hikayat Siti Rahima

Ini seperti reinkarnasi, dulu manusia. Perempuan kaya, dengan sawah dan kebun membujur. Dan kini ia adalah sebatang pohon asam. Dan ia suka sekali bercerita kepada siapapun yang berteduh di bawahnya. Cara bercerita yang unik, hanya orang-orang yang tertidur yang bisa ditenggarai kisah. Masa lalu, Siti Rahima yang sedih.

“Tapi pohon asam itu angker. Ingat, Rahima…”

#5. Kereta Ungu

Seperti dalam puisi paling murung, hujan terus terus di sepanjang stasiun. Menanti yang tak pasti itu tak mengenakan. Kereta dan perempuan, orang membawa kabar datang dan pergi, dan pemberontakan terjadi menyelingkupi. “Ada kereta dalam diriku, warnanya ungu.”

Seorang anak muda yang kurang makan dan banyak berpikir. Ini tentang revolusi, Rezim berganti-ganti, presiden datang dan pergi. Para perampok mengankangi parlemen, kini saatnya pergi. Menengguk anggur kenangan.

“Kau merasa diremehkan. Kau marah dan menyumpah.”

#6. Kota Anjing

Ada lelaki menenteng karung yang bergarak-gerak, dilempar ke tempat sampah lalu memukulinya, buk buk buk. Kaing-kaing terdengar, dan begitulah. Ada orang tega membuang dan menyiksa anjing. Saya, sebagai saksi lalu bermimpi buruk, berulang kali tentang anjing yang tersakiti. Lalu saya datang ke psikiater, berkonsultasi. Itu sesuautu yang naluriah, biasa. Namun sampai kapan, bangkai anjing itu menghuni kepalanya?

“Pada akhirnya, manusia modern akan merayakan keterasingannya dengan naluri-naluri kebinatangan yang purba, lebih dari sekadar pemanfaatan waktu luang (leisure time). Dengan begitu ia telah kembali kepada akar-akar hidupnya yang asli dan asali.” – Rojek

#7. Segalanya Terbakar di Matamu

Sebuah janji temu dengan perempuan asing, pengarang yang diberi nomor telepon, dengan harapan berdebar, mengubungi dan mengajak kopi darat, “Aku memakai bandana.” Janji temu di restoran Cina di tepi kali besar yang bermuara di Pelabuhan Sunda Kelapa. Bagaimana resposnnya? Apakah ia cantik? Apakah ia akan kecewa bertemu saya? Apakah akan berlanjut? Ah, dasar ikan tawes.

“Seks adalah tema yang bermasalah. Suatu ketika dalam sastra kita ia pernag hadir dengan cara yang samar-samar, penuh perlambang. Tetapi kini sangat terang-terangan. vulgar malah…”

#8. Kelawang Batu

Si Naga Merah di kampung tua, Kampung Naga. Hikayatnya, dulu ada kelewang atau gergaji batu dimiliki seseorang yang ditemukan saat menggali sumur, lalu setelah dikumpulkan dan diteliti, itu benda purbakala, penggalian dilakukan, dan barang-barang museum ditemukan. “Aku akan mengundang kalian di pesta malam kematian ini. Mengapa kalian datang juga?”

Lalu muncullah berbagai cerita membentuk hikayat, masa-masa penuh pertarungan serta makhluk mistis. “Kini kita berada pada persimpangan antara ilmu pengetahuan dan dongeng. Keduanya sama-sama ingin menemukan satu masa yang hilang dan mengawetkannya.”

#9. Hikayat Petarung Kampung

Ini tentang legenda tarung, jagoan-jagoan kampung dengan nama beken dan termasyur. Jurus-jurus dilakukan, silat dengan gaya, dan begitulah Hikayat Petarung Kampung menaklukkan 15 jagoan dari Tanjung Burung. Sepuluh orang mati di tempat, lima orang mati dua-tiga hari kemudian. Sebuah pengakuan mahal dari era silat lama.

“Tusukkan golok itu ke jantungku. Beri aku kematian paling terhormat.”

Keputusan beli, lebih kepada ini terbitan Katakita, penerbit ini seringkali menerbitkan karya-karya bagus, baik terjemahan ataupun lokal. Kebetulan kemarin pas beli, ada buku lain dari Katakita, jadi seolah sepaket. Tema yang diusung adalah karifan lokal, sebagai orang Jakarte, tema pendekar Betawi jelas diapungkan, setting waktu bisa kapan saja, tapi setting tempat kokoh di ibukota. Mencerita keseharian jelas lebih mudah, dan nyaman. Apalagi dituturkan dengan bahasa enak. Semoga ke depan bisa menikmati buku-buku lainnya. Terima kasih.

Rumah Kawin | by Zen Hae | ISBN 979-98302-5-7 | Cetakan pertama, Oktober 2004 | Penyunting Sitok Srengenge | Tata letak Cyprianus Jaya Napiun | Desain sampul Iksaka Banu | Penerbit Katakita | Skor: 4/5

Karawang, 241022 – 281022 – Fats Waller – Handful of Keys (Remastered)

Thx to Mas Daniel, Yogyakarta

Mencari Tuan Black

Extremely Loud & Incredibly Close by Jonathan Safran Foer

“Tidak ada yang indah sekaligus nyata.”

Dicetak dengan tak biasa. Dipenuhi kepadatan kata-kata, kalimat langsung bertumpuk dalam satu paragraf, ada gambar-gambar, bisa foto atau ilustrasi tangan, warna-warni sesuai mood Oscar, hingga aturan tak baku bagaimana lembar nyaris kosong hanya berisi satu dua kalimat, kata-kata tumpang tindih tak beraturan. Menabrak banyak aturan bahasa, tapi memang isinya sungguh bagus. Misinya terdengar sederhana, mencari Tua/Nyonya Black yang memiliki lubang kunci. Kunci peninggalan ayahnya yang meninggal dalam tragedi 11/9. Namun tak seserhana itu sebab berapa peluangmu menemukan lubang kunci dari seantero New York? Ada berapa orang bernama Black di sana? Maka Oscar mencari, menemui satu per satu, menanyakan, berkenalan, hingga petualang-petualang tak terduga.

Oscar Schell yang berduka, ditinggalkan ayahnya yang menjadi korban teroris 11/9. Ia mengalami insomnia, sakit kepala, depresi. Anak lelaki, tentu saja sangat dekat dengan ayah. Dan rasa kehilangan itu makin membentuk Oscar yang pada dasarnya pendiam aneh, makin terkucil. Keadaan makin menyebalkan, saat ibunya kini dekat dengan lelaki lain, Ron yang coba menggantikan kedudukan orang terkasih.

Dalam penguburan, di sebuah limousine mewah bersama keluarga lain yang berduka. Mereka mengubur peti kosong sebagai penghormatan. Oscar tak terima, tapi ia hanya anak Sembilan tahun. Ayahnya yang hebat, lenyap bagai debu. “Aku senang memiliki ayah yang lebih pintar dari New York Times, dan aku senang saat pipiku bisa merasakan bulu-bulu di dadanya menembus kausnya, aku masih bisa mencium aroma krim cukurnya meskipun hari telah malam. Menghabiskan waktu bersamanya menenangkan otakku. Aku tidak harus menciptakan apa-apa.”

Suatu hari secara tak sengaja sebuah van di kamar ayahnya yang ada di lemari ia pecahkan, menemukan kunci milik Black. Dan begitulah, petualangan dimulai. Rasa kasih pada ayahnya tak mau ia lenyapkan, dan ingin bersemanyam selama mungkin sekalipun digerus waktu. “Semakin banyak yang kutemukan, semakin sedikit yang kupahami. Aku menghubungkan semuanya, seperti seorang astrolog.”

Oscar berkenalan dengan manusia Tuan Black yang berusia lebih dari seabad. “Aku lahir pada tanggal 1 Januari 1900! Aku sudah menjalani semua hari di abad jedua puluh.” Bertemu dengan Nyonya Black yang berusia 48 tahun, dan berteman dengannya. Dan yang paling banyak menyita halaman, adalah narasi neneknya, ibu dari ayahnya. Masa lalunya dikupas dengan sangat mendalam.

Neneknya, dulu berkenalan dan berpacaran diam-diam dengan pendatang Thomas Schell Sr. Sejatinya Thomas jatuh hati sama Anna, kakak neneknya. Malang, Anna meninggal di peristiwa pengeboman Dresden saat Perang Dunia Kedua. Maka lantas menikahi neneknya, dan Thomas Sr. lalu menghilang saat kehamilan Thomas Jr.. Dari narasi neneknya, kita tahu, kakeknya terluka dan niat mula tak menginginkan anak, tapi kenyataan berkata lain.

Dalam penelusuran, ada seorang penyewa apartemen baru, yang begitu akrabnya walaupun tak pernah bertemu. Oscar dan Sang penyewa lalu mengubar kata-kata (dengan kode tangan ‘Ya’ dan ‘Tidak’). Dan begitulah, mereka sepakat melakukan misi terakhir. Sebuah penyampaian kata-kata yang tertunda, penyelesaian kata rindu yang membuncah. Mengubur apa yang sejatinya dikubur, yang secara harfiah, titik akhir perjalanan panjang ini.

Ini adalah novel dengan gaya. Ceritanya mungkin di tengah antara berat dan sederhana, berat sebab ini tentang anak yang kehilangan ayahnya, sederhana sebab misinya ‘hanya’ mencari lubang kunci demi rasa berkesinambungan. Namun jelas, cara penyampaiannya yang dahsyat. Sungguh mewah, detialnya mengagumkan. Enak sekali menelusur masa lalu orang-orang di sekeliling kita. “Aku sungguh-sungguh merasakan sepatu botku memberat saat memikirkan betapa kehidupan itu realtif sepele, dan betapa, jika dibandingkan dengan alam semesta dan waktu, keberadaanku sama sekali tidak penting.”

Ini buku pertama Foer yang kubaca. Satu buku lagi tentang vegetarian? ada di rak dan jelas gegas masuk daftar baca. Endingnya sendiri menurutku sempurna. Apa-apayang diperlukan kehidupan, apa yang perlu direspons dan yang biarkan segalanya berlalu. Dan sebuah fakta, bagaimana sebuah telepon berbunyi seharusnya ditanggapi, tapi malah jadi sejenis angin lalu, ahh… masa tak bisa ditarik kembali. “Manusia adalah satu-satunya binatang yang bisa tersipu malu, tertawa, memeluk agama, memecahkan perang, dan mencium dengan bibir… semakin banyak kamu mencium dengan bibirmu semakin manusiawi kamu.”

“Aku senang melihat ciuman dan tangisan, aku senang melihat ketergesaan, kisah-kisah yang meluncur lebih cepat daripada kecepatan mulut, telinga-telinga yang tidak cukup besar, mata-mata yang tidak mampu menyerap semua perubahan, aku menyukai pelukan, penyatuan, akhir dari merindukan seseorang.”

“Untuk pertama kalinya seumur hidupku, apakah kehidupan ini layak mendapatkan seluruh kerja keras untuk menjalaninya. Apakah tepatnya yang membuat layak? Apakah yang sangat buruk dari mati selamanya, dan tidak merasakan apa pun, dan bahkan tidak bermimpi? Apakah yang sangat hebat dari merasakan dan bermimpi?”

Suka sekali sama petikan puisi ini: “Aku merindukanmu bahkan ketika aku bersamamu. / Kami menghabiskan kehidupan kami untuk bekerja. / Setahun berlalu, setahun lagi, setahun lagi. lagi. / Kebutuhan itu muncul sebelum penjelasannya. / Semuanya baik-baik saja. Bahkan baik-baik saja tidak cukup. Semuanya akan sempurna.”

Atau percakapan ini: “Kenapa kamu berteriak-teriak?” / “Ceritanya panjang.” / “Aku punya banyak waktu.” Karena apa pun bisa membawaku lebih dekat dengan Dad adalah sesuatu yang ingin kutehaui,  bahkan meskipun itu akan menyakitiku. // “Jadi apa yang berarti?” / “Menjadi seseorang yang bisa diandalkan. Menjadi seseorang yang baik.”

Yang menyedihkan, sebuah fakta bahwa Ayah dan ibunya yang bentar lagi merayakan anniversary pernikaha. “Dia akan merayakan ulang tahun pernikahan seminggu lagi. 14 September, dia akan memberi kejutan untuk ibumu.”

Bergitulah, rasanya kok malah benar adanya, di dunia ini ya, bawah “Aku terus memikirkan betapa semua ini adalah nama orang yang sudah meninggal, dan betapa nama pada dasarnya adalah satu-satunya hal yang masih tetap bisa dimiliki oleh orang yang sudah meninggal.”

Bisa jadi Foer jadi penulis favorit terbaruku, tapi apakah bisa berharap buku-bukunya banyak dialihbahasakan Indonesia? Kalau ada, jelas layak sekali dikoleksi dan dinikmati. Semoga makin banyak penerbit melakukannya. Suatu saat, siapa tahu ia jadi pemenang Man Booker. Terima kasih.

Oiya, saya pernah nonton filmnya. Dibintangi Tom Hanks, tapi saya lupa detailnya karena saat nonton terputus-putus dan tak selesai. Setelah baca buku ini, jelas akan kutonton ulang sepenuhnya. Film Oscars.

Benar-benar Nyaring & Sungguh-sungguh Dekat | by Jonathan Safran Foer | Diterjemahkan dari Extremely Loud & Incredibly Close | Copyright 2005 | Penerjemah Antie Nugrahani | Penyunting Abu Ibrahim | Cover & Ilustrasi Penguin Books | Pewajah isi Muhammad Husen | Cetakn I: Maret 2010 | ISBN 978-979-19926-3-3 | Penerbit Mahda Books | Skor: 5/5

Untuk NICOLE, gagasanku tentang kecantikan

Karawang, 230922 – 280922 – 061022 – Tony Bennett – Let There be Love

Thx to Sri Purnawati

Hati Seorang Anak

A Child’s Heart by Herman Hesse

=== tulisan ini mengandung spoiler ===

“Setiap udara yang kita hirup dikendalikan oleh suatu kekuatan dari luar dan peranan takdir.”

Ini adalah cerpen yang dibukukan. Hanya satu cerpen, kubaca kilat semalam, dan terjeda tidur, subuh selesai. Tak sampai seratus halaman, dicetak mungil, dan plotnya yang sederhana, tapi sangat berkesan. Ini tentang hati murni yang memaafkan, sangat manusiawi anak-anak tergoda, lalu menyembunyikan kejahatan, lalu saat terdesak, ‘mengakui’ dan karena buku ini didedikasikan untuk sang ayah yang baru saja meninggal, jelas sang ayah di sini memaafkannya. Hangat, hangat sekali menyaksi hubungan ayah-anak ini sekalipun berpijak pada tindakan kurang baik.

Kisahnya bermula saat Emil Sinclair kembali dari sekolah, tak ada siapapun di rumah. Ia bermaksud menemui ayahnya di lantai atas, kamar rahasia yang jarang sekali ia masuki sekalipun ia tinggal di sana sebelas tahun. Dalam penggambarannya sebagai pegangan betapa familiar rumah itu, ia sudah memandangi pintunya ribuan kali, dan seperti hal-hal umum lainnya, banyak hal luput dari perhatian saking biasanya.

Nah, di kamar atas, ayahnya taka da setelah ia mengetuk dan memberi salam. Harusnya, ia balik badan dan nanti ke sana lagi. Namun tidak, siang itu, ia dirasuki rasa penasaran. Ia nekad masuk dan melakukan hal-hal terlarang. Membuka-buka laci, memeriksa lemari, melihat-lihat benda pribadi. Dan begitulah, rasa penasaran itu berbuah tindakan jahat. Ia mengambil mata pena, mengantongi buah ara, dan merasainya. Betapa manisnya. Sejatinya ia takut, dan sudah prediksi akan ketahuan, tapi entah ada kelebat setan mana yang memasukinya, ia tetap saja mencurinya. Ah, apapun itu, sekalipun dari kamar ayahnya, mengambil barang bukan miliknya sendiri tanpa izin tetap saja mencuri. Sekalipun, ia mencoba mengatur tata letak buah, dan benda-benda lainnya. Ah, hati seorang anak yang penasaran. Betapa polosnya.

Itu Sabtu siang, nantinya ada pelajaran sore olahraga. Maka setelah keluar kamar, dan lalu gegas keluar rumah, hatinya mengalami kebimbangan. Seharusnya ke sekolah, ia malah berkelana. Dan dalam pengelanaan bertemu dengan temannya, Weber. Sobatnya yang orang miskin, yang akrab sering bermain ini menjadi semacam pelampiasan kebimbangan. Uang yang dikumpulkan bersama untuk membeli pistol, dikembalikan, mereka saling caci, dan akhirnya berkelahi. Jadi tontonan orang-orang, menjadi aneh, seorang Emil yang polos menjadi beringas dan nakal seketika.

Malamnya, saat makan malam, orangtuanya tampak curiga akan gerak-gerik Emil. Dan Emil yang gugup menambahkan rasa itu. Minggu, hari bebas bangun siang, ia mau ke gereja atau ke sekolah minggu, tentu saja ke gereja sebab tak banyak tuntutan, menyanyikan himme, dst. Dan begitulah, hari itu ia ditemui ayahnya untuk ‘diinterogasi’.

Awalnya tak mengaku, ia membeli buah ara di toko kue Haager. Ayahnya memastikan, mengajaknya ke toko tersebut. Dengan kebimbangan, mereka ke sana, tapi saat di tengah jalan emil bilang tokonya hari Minggu tutup. Semakin mengelak, semakin panik. Maka diajak ke rumah penjualnya, dan begitulah, di depan pintu ia meragu. Dan pengakuan disampaikankan. Menggeleng dengan hati mengabu.

Bagaimana respons seorang ayah yang mendapati anaknya melakukan kesalahan patut diacungi jempol. Sang ayah mengajarkan kesabaran, pengakuan, berjiwa besar, dan tindakan dan ucapan yang sangat pas.

Emil sendiri di Minggu malam itu merasakan kedamaian, ya ia salah, dan ia dihukum. Namun respons ayahnyalah yang menciptanya, maka tepat rasanya ia bilang, “Ketika berbaring di tempat tidur aku yakin ia telah benar-benar memaafkanku, lebih daripada aku memaafkan dirinya.”

Ini buku ketiga Herman Hesse yang kubaca setelah Siddharta dan Steppenwolf. Suka semua. Ini karena cerpen yang dibukukan, sangat tipis, maka ya anggap saja membaca cerpen. Pemenang nobel sastra, yang patut dikejari baca.

Hati Seorang Anak | by Herman Hesse | Diterjemahkan dari A Child’s Heart | Diterjemahkan dari bahasa Jerman oleh Richard dan Clara Winston | Edisi Picador, 1973 oleh Pan Books Limited | Penerjemah Anton WP. | Desain sampul Yudhi Herwibowo | Copyright 2006 | Penerbit Katta | Dicetaj Percetakan eL torros | Cetakan pertama, Juli 2006 | ISBN 979-99017-9-0 | 64 halaman, 12 x 18 cm | Skor: 4/5

Karawang, 041022 – Louis Armstrong feat Ella Fitzgerald – Summer

Thx to Erii, Jakarta

Rumah Boneka

“Mencintai Anda dengan begitu besarnya lebih daripada orang lain. Apanya yang kejam?”

Buku sandiwara lagi. seperti Menunggu Godot yang begitu hidup, buku ini begitu berhasil membuat pembaca begidik. Ingat, ini adalah buku sandiwara dengan kekuatan ngobrol sepenuhnya. Tokohnya ada delapan + tiga anak, sejatinya hanya lima yang meninjol. Tolvard Helmer sang suami; Nora istirnya; Dokter Rank, dokter keluarga yang sudah dianggap saudara sendiri karena sering ikut pesta dan makan malam; Nyonya Linde, teman lama Nora yang hadir setelah lama berpisah; dan Nils Krogstad, seorang petugas bank yang jahat. Semuanya diaduk di ruang tamu keluarga Helmer. Dan sungguh memikat, hanya dari kata-kata, kita turut tegang, dan pilu.

Terbagi dalam tiga babak, dipisahkan hari. Semuanya di rumah Helmer. Kisahnya bermula Nora pulang berbelanja untuk keperluan Natal, masuk rumah dengan pembantunya, dan meminta menyimpannya agar tidak dilihat anak-anak hadiahnya. Lalu muncul sang suami Tolvard yang begitu mencintai istrinya sampai dipersonifikasikan seperti burung murai, tupai, bahkan sepertui sang boneka. Memang Nora snagat cantik. Pintar bernyanyi dan menari, pandai berdandan. Suka belanja, istri yang dimanja. Delapan tahun pernikahan, tiga orang anak.

Nora tampak boros berbelanja, ditegur (dengan halus) bahwa uangnya tak banyak, ia akan naik jabatan di tahun baru sebagai manajer bank, Nora dengan gaya ngeles, nanti uangnya juga pasti ada kan, bisa pinjam dulu, bisa ditalangi alokasi biaya lain, dst. Suaminya memang tak marah, ia nurut saja, ia begitu memuja Nora. Tolvard itu begitu tergila-gilabya kepada Nora sehingga ia menginginkan dia hanyalah baginya semata-mata, seperti yang ia katakana. Bukan hanya memperoleh yang kita perlukan saja, tetapi tumpukan dan tumpukan uang. “Sungguh menggembirakan, suamiku diangkat, menjadi manajer bank.”

Nyonya Linde lalu hadir, teman semasa sekolah ini pindah kota untuk mencari pekerjaan. Janda tanpa anak ini seperti iri sama Nora. Setelah mengabdi kepada keluarga, ia kini sebenarnya sudah bebas, kedua adiknya sudah mentas, ia tak punya tanggungan orangtua lagi, tak bersuami dan taka da buntut. Ia ke kota ini untuk memulai petualang baru. Setelah bergosip ria, masuklah ke masalah serius. Ia akan dibanti Nora untuk kerja di bank yang dikepalani suaminya. “Aku tidak tahan untuk hidup tanpa pekerjaan. Seluruh hidupku, sepanjang yang dapat kuingat, aku telah bekerja, dan itu merupakan satu-satunya kesenangan dan kebanggaanku.”

Sementara dokter Rank yang sudah tua, mengeluhkan sakit pinggang dan kini di masa tua bangkrut menjadi penengah kasih. Beberapa waktu yang lalu ia telah memeriksa keadaan ekonomi rumah tangga. Bangkrut! Sempat terbesit sebuah paradoksial, ialah impian Nora sebab Nora keceplosan bilang: “Kemudian aku duduk di situ dan membayangkan adanya seorang lelaki tua yang kaya telah jatuh cinta padaku. Bahwa ia kemudian meinggal dan ketika surat wasiatnya dibuka, isinya tertulis dengan huruf-huruf yang besar memerintahkan: “Kepada Nyonya Helmer yang cantik harus segera diserahkan segala yang aku miliki secara tunai.” Namun, tak seserhana itu.

Nah, masalah muncul saat Nils Krogstad datang ke rumah ini. ia mencari Helmer, tapi sedang keluar. Maka ia berbincang dengan Nora, mengenai kemungkinan minta tolong agar dipertahankan. “Nyonya Helmer, sudikah kiranya Anda berbuat baik untuk menggunakan pengaruh Anda demi keperluanku?”

Dan masa lalu dkuak. Betapa Nora melakukan kejahatan, ia bisa saja dipenjara karena kasus ini. dan yang tahu kasus ini hanya Krogstad (lalu Linde, sebab dicurhati). Tarik ulur kesepakatan, negosiasi situasi, hingga ancaman diapungkan. Keluarga harmonis ini terancam, padahal di muka tampak cerah dengan jabatan menterengnya. Apakah berhasil dipertahankan? Atau runtuh bak banguan renta dan rapuh?

Keluarga ini lapisan luar tampak bahagia. Perjuangan membangunnya penuh dedikasi. “Tetapi di tahun-tahun pertama ia harus bekerja melampaui batas. Lihat, ia harus mencari uang dengan berbagai cara, dan ia bekerja sejak dini hari sampai larut petang, tetapi ia tidak dapat bertahan dan jatuh sakit, dan para dokter mengatakan bahwa baginya sangat perlu untuk pergi ke daerah selatan.”

Namun setelah berlembar-lembar kita tahu kerapuhannya. Pertama Nora itu perempuan manja. Cantik dan memandang seolah dunia ini indah-indah saja. “Kau ini masih seperti anak kecil.” Kata Linde. Dan Nora marah, maka membalasnya, “Bahwa aku ini hidup tanpa mengenal dunia yang penuh persoalan.” Dari sanggahan itulah, kata-kata menguar, dan rahasia diungkap.

Sanggahan penting pertama adalah, saat Helmer sakit parah dan harus ke selatan, Nora bilang dapat uang dari ayahnya untuk berobat. Padahal ayahnya tidak memberikan satu shilling pun, dan Noralah yang mencari uang itu. Dari mana? Berutang! Parahnya tanpa sepengetahuan suaminya. Kok bisa? Segi baiknya punya sesuatu sebagai simpanan. Ia berdalih, “Nanti apabila Torvard sudah tidak begitu memperhatikan aku lagi seperti sekarang ini.”

Kemudian ia telah bekerja keras agar bisa menutupi, menentukan jalan yang lain untuk memperoleh uang. Musim dingin yang lalu merasa beruntung mendapatkan pekerjaan menyalin yang banyak sekali. Namun tidak akan tertutup sepenuhnya. Kemarahan mencuat, dan arti cinta diperuhkan. “Kau tidak pernah mencintaiku. Kau cuma pikir sebagai sebuah kesenangan untuk mencintaiku.”

Kerapuhan kedua, seorang ahli hukum bernama Krogstad, menderita penyakit akhlak-lah aktor peminjam kala itu. Secara umum, pinjaman sah-sah saja. Namun ada sebuah kesalahan. Ada pemalsuan, ada kecurangan dalam sepekatan. Dan itu sungguh berat. Pinjaman uang sebesar dua ratus lima puluh pound bisa jadi bola salju yang menyapu banyak hal yang dilewatinya. Sekali badai di rumah itu sudah terhenti, ia punya sepucuk surat untuk sang suami dalam saku baju. “Apabila aku kehilangan jabatanku untuk kedua kalinya, Anda juga akan kehilangan yang Anda miliki, bersama aku.”

Kerapuhan ketiga, Nora yang manja begitu tampak taat, tapi tidak. Contoh dalam mendidik anak, tak boleh ada macaroon, gula-gula, permen, makanan di rumah. Itu adalah makanan dilarang. Nyatanya, sering berdalih, sering melonggarkan aturan, dan sering dinikmati secara sembunyi. Istri yang melawan, tapi tak secara langsung.

Keempat, sang suami. Ternyata ia memiliki sisi egoism tinggi. Dan itu sangat melukai. “Karena lingkungan dengan suasana penuh kebohongan itu akan menular dan meracuni seluruh kehidupan di rumah, setiap helaan napas yang diisap anak-anak di dalam rumah macam begitu itu adalah penuh dengan bibit-bibit kejahatan.”

Semua orang memang tak pernah siap menemui kata pisah, memeluk kehancuran. Hiks, “Kasihan, kawan tuaku. Tentu saja saku tahu bahwa memang dia tak akan lama lagi bersama kita. Tetapi mengapa begitu cepat! Dan begitu ia akan menyembunyikan diri seperti binatang yang terluka.”

Malam Tarian Tarantella menjadi puncak cerita, dan endingnya keren banget! Tak menyangka sang boneka melawan. Rumah itu dipertaruhkan. Rumah boneka yang malang. Jadi apa definisi bahagia? “Tidak, aku tidak pernah merasa bahagia. Aku pikir memang begitu, tetapi sesungguhnya tidak pernah begitu.

Rumah Boneka | by Hendrik Ibsen | Diterjemahkan dari A Doll’s House | Penerjemah Amir Sutaarga | Ed. 1, 2007 | vii + 156 hlm” 11 x 17 cm | ISBN 978-979-461-132-6 | Penerbit Yayasan Obor Indonesia | Edisi pertama: Mei 1993 | Edisi kedua November 2007 | YOI 174.11.15.93 | Desain sampul T. Ramadhan Bouqie, Jean Kharis Design Graphic | Skor: 4.5/5

Karawang, 160922 – Charles Mingus – Self Portrait in Three Colors

Thx to Dede H, Bdg

Selalu ada Tradisi Makanan yang tak Diketahui Orang

Aruna dan Lidahnya by Laksmi Pamuntjak

“Kuah babat karena memberi bodi dan aroma, kacang kedelai karena membuat ekstra renyah, timun karena menambah asam dan segar.”

Karena saya sudah melihat filmnya, apa yang dilakukan dan diucapkan Aruna sudah tercetak wajah Dian Sastrowardoyo. Apalagi gerak-geriknya mirip, atau perasaanku saja yang mengikuti? Entahlah. Ini novel dengan citarasa makanan melimpah, pemakaian kata lezat pada tempatnya. Perhatikan, “Sebuah dunia yang telah terbentuk lama sekali, sebelum musik, sajak, dan gambar, dan yang pagi malam mengisi penuh kepalanya, mengisi dan menaungi.”

Secara cerita mungkin agak kurang, kalangan atas sedang kerja dan makan-makan, motif dan pengembangannya yang kurang relate sama kebanyakan kita, atau kurang pas sama jelata. Pejabat pemerintah, dan lingkarannya melakukan kejahatan, Aruna terseret pusaran, dan begitulah ia mengikuti decak kenikmatan makanan dari kota ke kota. Keistimewaan buku ini jelas, cara penyampaiannya yang luar biasa. Lezat di tiap lembarnya. Memang ini hidangan istimewa, nikmatnya berlapis-lapis. “Selalu ada tradisi makanan yang tak diketahui orang.”

Aruna Rai adalah ahli wabah dengan spesialisasi Flu unggas, diperbantu dalam kasus flu burung yang melanda Indonesia. Bekerja sebagai konsultan epidemiologi, menyebut diri sebagai ‘Ahli Wabah.’ Ada delapan kota yang akan dikunjunginya, kota-kota yang mendapati positif pasien flu burung, dicek dan analisis untuk kemudian dilaporkan ke bosnya. Apakah perlu mendirikan pabrik vaksin? Apakah perlu mencegah penularan dengan proteksi lebih tinggi. Dan tentu saja semua itu perlu biaya. Satu kasus di delapan kota, terjadi secara serentak. Bahaya wabah masih jauh di bawah tingkat siaga? “Sebuah virus akan akan pernah takluk, ia kecil, ia sabar, ia mengganda dalam diam. Tak ada yang menghitung umurnya, tapi ia tak pernah lupa. Suatu hari ia akan datang, menyerang, dan kita tak berdaya menangkalnya.”

Dalam tim Aruna sama lelaki yang sejatinya nyebelin, tapi akrab dan mencoba masuk lingkaran pertemanan. Farish mungkin bukan cowok idealnya Aruna, tapi mereka satu tim dan kebersamaan mencipta hubungan lebih lanjut.

Sejatinya dua sobat kental Aruna-lah penggerak cerita: Bono yang seorang chef lulusan luar negeri yang obsesif sama makanan. Ia begitu hebat menganalisis kualitas makanan, hapal sama kota-kota dengan kekhasan sajian. Manusia yang hidup untuk optimism, harapan, sihir resep yang mengejutkam, retoran yang tak terlupakan, kisah yang tak selesai, kata-kata yang tak terucapkan, malam yang membuka alam setengah mimpi. Bono a.k.a. Johannes Bonafide Natalegawa, chef muda berbakat internasional. “Tak hentinya mengumpulkan fakta remeh temeh tentang makanan tapi yang jika dilontarkan sesekali dalam sebuah pembicaraan membuat sang pembicara semakin menarik dan misterius.”

Satu lagi, si cantik Nadezhda Azhari. Penulis kuliner yang tak mau menikah. Memiliki hubungan dengan lelaki bersuami dari Eropa. Dan karena seorang penulis, hubungan gelap itu sama penulis juga. Suka sama prinsipnya, “Dia tidak pernah menonjolkan kelebihannya terhadap orang-orang yang tak dikenal baik.”

Keduanya turut serta tim Aruna, sekaligus jalan-jalan ke tempat makan. Kuliner ke delapan kota, dari Surabaya, Pamekasan, Singkawang, hingga Pontianak. Dengan dalih menemukan resep makanan lokal yang otentik. Dalam pelaksanaannya, banyak hal meragu, tampak sesuatu yang salah, konspirasi macam apa ini? Dan pada akhirnya Aruna harus mengambil tindakan, dalam keragu-raguan, ketetapan hati harus diambil.

Ada beberapa kalimat panjang yang bagus untuk di-sher. Salah satunya: “Yang melihat poster Macedonia dan bukan membayangkan kemiskinan dan musim kemarau berkepanjangan melainkan sepiring salad dengan mentimun dan tomat termontok di jagat raya, yang melihat poster Venezia dan membayangkan bukan air yang menyapu kaki dan dengkul, melainkan aneka hasil laut yang berlimpah-limpah di Pasar Rialto, manusia yang tahu bahwa mereka bahagia saat lidah mereka bersentuhan dengan pandan dan gula Jawa, saat hidung mereka menghirup gulai yang lekat.”

Atau kesimpulan yang bagus, bagaimana setiap resep kuliner selalu ada yang hilang tak tercatat. Pahlawan lokal. “Akan sekian banyak pahlawan kuliner yang tak tercatat, yang tak mungkin tercatat karena begitulah budaya rakyat, yang namanya tertelan oleh roda waktu dan perputaran zaman, yang resepnya entah bagaimana kekal dalam tafsir beratus beribu tangan.”

Kesamaan para karakter selain obsesi makanan adalah, di usia matang 30-an semuanya memilih lajang. Aruna yang galau di angka 35, merasa gendut dan tak pede. Bono yang kalau dilihat kaca mata umum, sudah mapan, ia terlalu fokus sama karier dan bisnis makanannya. Dan Nadez yang berpendidikan luar, menikmati hidup sampai keblabasan sehingga memilih tak menikah.

Ada satu lagi, bagian yang mengingatkanku pada novel-novel John Grisham. Di mana seorang pekerja, muak sama kehidupan, kesal sama rutinitas sehingga ingin kabur dari segalanya. Nah, di sini Aruna sempat terbesit. “Mungkin bisa aku minggat saja setelah investigasi ini selesai, ke Lima, ke Luanda, ke Lesotho, pokoknya ke kota yang tak akan pernah terlintas dalam benak siapa pun, dan suatu saat, lima tahun lagi, baru pulang ke Jakarta untuk menata ulang hidupku.” Wajar sih, kita semua bosan. Dan impian liar sejenis itu selalu ada.

Hingga tercipta tragedi. Kucatat ada tiga masalah pelik di akhir. Pertama tentang Leon sang mantan yang tragic, bagaimana menanggapi seorang yang kini bukan seseorang lagi di hatinya? Sedih sekali, lenyap jadi debu dan tak bisa menziarahi secara langsung. Kedua, keputusan bosnya yang berdiri di tengah-tengah. Kasus ini pelik, korupsi tak boleh dimaafkan. Dan rasanya berat saat tahu, temanmu, sekaligus bosmu terjerat. Kamu ada di tengah-tengah dan bimbang. Ketiga, keputusan akhir Aruna menambatkan hati. Ia malah mengalah, ia menyerah pada jiwa lelaki yang sejatinya tak klop 100%. Namun lelaki ini siap mendampingi, bahkan saat ke pulau Nusa, bisa menyediakan waktu dan tempat untuk bernaung. Terkadang memang kita harus mengalah pada keadaan. “Hal-hal yang kita lakukan dan hal-hal yang kita impikan. Aku masih ingin hidup di dalam keduanya.”

Novel pertama Laksmi Pamuntjak yang kubaca, keren banget. Pemilihan kata, nyaman dan puitik. Salah satu novel lokal dengan liukan kata terkeren yang kubaca. Cerita mungkin agak kurang, sebab memainkan orang-orang kalangan atas yang tak relate sama jelata. Pilihan dengan makanan sebagai tunggangan utama, baru pilihan bagus. Berapa banyak sih novel dengan citarasa makanan sebagai tema dicipta di Indonesia? Tak banyak. Apalagi dibuat dengan gemuruh diksi sekeren ini. Pengalaman pertama yang akan mematik karya-karya berikutnya untuk dilahap. Next, Amba?

Aruna dan Lidahnya | by Laksmi Pamuntjak | GM 201 01 14 0032 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Desain sampul SOSJ Design Bureau & Consultancy | Ilustrasi sampul Barata Dwiputra | Foto Pengarang Bona Soetirto | ISBN 978-602-03-0852-4 | Skor: 4.5/5

Buat D.S.K. (1968-2013)

Karawang, 210822 – 070922 – Miles Davis – Once Upon a Summertime

Thx to Derson S, Jkt

Mati, Truk, Menggeliat Keluar, Lompat, Lari, Seseorang, Pesan, Polisi, Obor Las

Room by Emma Donoghue

“Dan tempat-tempat itu juga nyata, seperti ladang dan hutan dan pesawat dan kota-kota…” “…” | “Tak mungkin. Mana mungkin semua itu muat?” | “Di sana, di luar.” | “Di luar dinding tempat tidur?” | “Di luar kamar.”

Buku dibuka dengan kutipan bagus yang mewakili sudut pandang Jack, sang anak.

Anakku: Kesukaran yang kumiliki. | Sementara kau tertidur, hatimu tenteram; | Kau bermimpi dalam rimba kesedihan; | Dalam malam berselimut merah tua; | Dalam biru kelam kau berbaring geming dan bersinar. Simonides (abad 556-468 SM), “Danae” (terj. Richmond Lattimore)

Lima tahun untuk selamanya. Mengubah segala hal yang selama ini ditempa. Buku ini, bisa jadi renungan ilmu psikologi. Lingkungan membentuk seseorang. Kita dicipta oleh keadaan sekitar, pendidikan sekitar. Makanya, yang kaya makin kaya sebab diolah oleh pendidikan dan pergaulan orang kaya, begitu juga yang miskin, pola pikirnya tetap miskin. Ya, pahit, tapi nyatanya seperti itu.

Novel dan film (baca di sini ulasannya) sama saja, bagus semua. Dibuat dalam dua babak utama, di dalam kamar dan adaptasi di kehidupan sesungguhnya. Dengan cerdas mengambil sudut pandang seorang anak lima tahun yang polos dan menggemaskan. Pendidikan itu penting, tapi lingkungan jauh lebih penting. Bagaimana sifat dan karakter dibangun di ruang sekecil itu. Dari lahir dan pada akhirnya kabur, bagaimana Jack beradaptasi sama hidup baru. Polos dan tampak sangat menyentuh. Seperti filmnya, menurutku bagian pertama luar biasa. Keren abnget, ide memenjara dan dengan segala keterbatasannya. Bagian kedua menurut drastis. Itulah mengapa orang suka drama pahit, sebab cerita pahit selalu mematik penasaran. Nah, untungnya, ending buku ini bagus banget. Pamit itu menampar teori-teori sosiologi, mengukuhkan betapa sempit dan lega itu sangat subjektif.

Kisahnya tentang Ma yang dikurung di kamar. Ia adalah korban penculikan, sang pelaku kita sebut saja namanya Nick Tua. Diculik sejak masa sekolah, dan kini ia sudah tujuh tahun berlalu. Diculik dijadikan budak seks, hingga melahirkan anak. Anak pertama meninggal dunia, dan dikuburkan di kebun belakang. Anak kedua, kini berulang tahun kelima. Jack, yang polos dan sangat menginspirasi.

Mengambil sudut pandang anak lima tahun, semua tampak penuh tanya. Bagaimana mendidik anak, itu sangat berpengaruh. Ma, dikurung di ruangan dengan kunci digital di bekalang rumah. Berbagai percobaan kabur sudah dibuat. Sedih sekali, menempatkan diri sebagai korban kekerasan seksual. Nick Tua, tiap beberapa malam mendatangi, bercinta dan Jack diminta sembunyi di almari.

Setiap minggu, ada traktiran. Artinya Ma dan Jack meminta barang, dan akan dicarikan. Dari obat, mainan, makanan, hingga kebutuhan mendesak lainnya. Dan begitulah, pola pikir Jack dibentuk. Sempit, dan sangat terbatas.

Tv menjadi hiburan utama, maka dirinya dibentuk oleh film-film kartun. Dora adalah yang paling sering disebut, maka ia suka menirunya, mengidolainya. Semua karakter kartun yang disaksi menjadi panutan. Kehidupannya benar-benar dibentuk dari kartun TV. “TV tidak menyala, aku rindu teman-temanku.”

Bacaan buku-buku klasik juga jadi hiburan, pengantar kehidupan Jack. Alice yang terjebak di negeri ajaib menjadi metafora kehidupannya. Kita seperti orang-orang di buku, dan dia tidak akan membiarkan orang lain membacanya. Maka Ma dengan sedih bilang, “Nah, aku seperti Alice.”

Segalanya dikira fiksi, dan Ma berulang kali menjelaskan di Luar banyak hal fakta. Tak hanya khayal, hal-hal yang tak bisa dipahami Jack. “Di luar ada segalanya. Setiap kali aku memikirkan sesuatu sekarang seperti ski atau kembang api atau pulau atau elevator atau yoyo, aku harus mengingat kalau semua itu nyata, mereka semua benar-benar terjadi di Luar bersamaan.”

Maka di ulang tahunnya kelima, sebuah misi penyelamatan disusun. Awalnya dibuat dengan scenario, Jack sakit keras dan minta Nick untuk mengantarnya ke rumah sakit. Demam, mual, dan tampak kritis. Nick diomeli, dan dibuat panik, tapi tak boleh menyentuhnya. Namun, berjalannya waktu, Ma mengubah rencana. Malam berikutnya, saat Nick datang, Ma memberitahunya Jack meinggal dunia. Digulung bungkus tikar, dan dengan akting sesenggukan, kesedihan kehilangan anak kesayangan, meminta Jack menguburnya jauh-jauh dari rumah, tak boleh dilihat. Permohonan terakhir yang jadi kunci utama misi.

Saat pertama kali di Luar, Jack ketakutan. Menghitung tikungan, dan mencoba kabur dari truk. Bertemu orang asing dengan anjingnya, menjadi penyelamat. Nick yang baru sadar ditipu, panik. Sempat mau menangkap Jack, tapi mendapat perlawanan si Bapak. Dan gegas telelpon polisi. Misi itu sukses besar, dan segalanya lalu berputar cepat. Impian Ma kembali menghirup udara bebas kesampaian, berkah aksi heroik Jack.

Lucu, bagaimana Jack menghadapi ketakutan dengan menghitung gigi, bolak-balik. Ada 20 pcs, tapi kadang terlewatkan. Kepolosannya saat mengambil lima mainan, bukan empat malah tampak betapa anak ini tak gegas paham dunia barunya. “Aku tidak mau menghitung deritan tapi aku melakukannya.”

Nah, kehidupan sesungguhnya dimulai di sini. mendadak terkenal. Beerapa hari dirawat di rumah sakit, mendatangkan psikiater, melakukan visum, perawatan intensif. Hubungan sama ibunya kembali tersambung, ibunya yang memanggilnya Gadis Kecil-nya kini sudah menikah lagi, ayahnya kini tinggal di Australia dengan kehidupan barunya. Begitu pula, dengan sang kakak, Palu yang kini sudah menikah dengan Deana dan punya anak Bronwyn. Yeay, Jack punya saudara.

Segalanya kembali terhubung. Jack berpikir keras sampai kepalanya sakit. “Aku tidak di dalam kamar. Apakah aku masih aku?”

Bagian ini, di film terasa boring. Sebab cekam kengerian sudah lewat, hanya bagian saat minum pil over itu yang bikin panik. Di buku sama saja. Separuh buku ini, melelahkan. Dari satu pengobatan ke pengobatan lain, dari pengenalan dunia baru Jack ke pengalaman lainnya, segalanya tampak baru, dan membingungkan. “Hanya ide yang sama yang berputar-putar seperti tikus di roda.”

Namun di buku, tampak lebih bagus. Terutama bagian saat Jack memaksa kembali ke Kamar. Ia memaksa Ma, yang tentu saja trauma, untuk kembali ke sana. Setidaknya mengucapkan selamat tinggal. Dan begitunya, novel ini terselamatkan ending yang luar biasa mengintimidasi. Lebih bagus bukunya, kalau yang ini. feel-nya beda.

Kubaca santuy bulan Agustus, dari tanggal 4 di malam selepas Isya sampai tanggal 21 lewat tengah malam. Buku pertama Emma yang kubaca, dan aku suka. Catatan saya tutup dengan kalimat filosofis ini, “Hanya karena kau belum pernah bertemu mereka, tidak berarti mereka tidak nyata. Ada lebih banyak hal di dunia daripada yang pernah kau bayangkan.” Bukankah begitu juga dengan Tuhan?

Room | by Emma Donoghue | Diterjemahkan dari Room | Terbitan Little, Brown and Company, Hachette Book Group, New York | Copyright 2010 | Penerjemah Rina Wulandari | Penyunting Jie Effendie | Cetakan ke-1, Agustus 2016 | 420 hlm; 14×21 cm | ISBN 978-602-385-136-2 | Penerbit Noura (PT. Mizan Publika) | Skor: 4.5/5

Room dipersembahkan untuk Finn dan Una, karya terbaikku

Karawang, 050922 – Tasya – Ketupat Lebaran

Thx to Andryan, Bekasi

Dan Apakah yang Membangun Pengalaman Manusia jika Bukan Ingatan?

Larung by Ayu Utami

“Kalau kamu bersama orang yang kamu suka dan kamu tahu cara menikmatinya, maka seks akan menyenangkan. Tapi kalau kamu tahu cara menikmatinya, seks juga menyenangkan tanpa orang yang kamu suka.” – Shakuntala

Sekuel yang biasa. Bab-bab awal sungguh cantik Larung Lanang mau membunuh neneknya yang seolah abadi, sudah berusia seabad lebih, dan memiliki jimat yang kudu dilepas agar bisa ke alam seberang. Benar-benar ciamik bagian ini. Sampai sempat membuang jauh-jauh ‘teguran’ temanku bahwa kamu akan kecewa. Sayangnya saat masuk ke dunia Saman, melanjutkan kisah sejatinya, malah down. Mbulet-mbulet sampai lelah cuma mau membenarkan main seks sama pasangan orang lain. Ya, selingkuh itu malah diudal-udal panjang. Dan bagaimana mengatasinya, benar-benar tak bagus ditiru. Seolah kewajaran, teman-temannya yang hedon ke New York turut membantu para perempuan ini untuk bertemu lelaki beristri. Dan Yasmin yang sudah bersuami, dibantu bertemu lelaki lain. Gerombolan si berat, mau maksiat, mau bagaimanapun disampaikan tetap saja itu zina dan dilarang agama, tak bagus untuk norma. Dibuat dengan bahasa se-sastra apapun, tata kelola selingkuh tetaplah busuk.

Larung Lanang dalam perjalanan kereta api ke luar kota. Ia memiliki misi untuk melepas jimat neneknya Anjani yang sudah lebih seabad. Ada yang mengganjal kehidupannya sehingga ia tak mati-mati, maka dari satu kota ke kota lain Larung mencari kunci kematian. Dari hutan ke pantai, dari remang kota sampai ke kegelapan gua. Semua dijabani demi misi itu. Sejatinya bukan hanya ia yang menginginkan kematian neneknya, ibunya dan sebuah kepentingan mendesaklah yang juga mengganduli tindakannya. Ketika orang menjadi tua maka keindahan pergi ke luar dirinya.

Setelah hampir setengah buku, lalu kita diajak ke New York bertemu gerombolan wanita sukses secara material. Laila Gagarinam sang fotografer yang mengingin Sihar yang sudah beristri. Yasmin Moningka, yang tampak sempurna: cantik dan baik, istri solehan tampaknya, tapi tentu saja tidak. Ia adalah Pengacara yang sudah surat-suratan dengan Saman, janji temu kangen. Cokorda Gita Mageresa, pengusaha hotel yang hedon keluar negeri. Dipanggil Cok Gita. Dan Shakuntala sang penampil yang biseksual. ACDC Ok, tersentuhlah sama Laila yang kangen Sihar.

Mereka memang ada perlu pameran, ada bisnis di sana, tapi dibaliknya terjadi misi perselingkuhan. Atas nama cinta dan kebebasan kehendak! Melawan nurani? Oh tidak bisa. “Kamu bukan nggak bisa, kamu nggak mau.”

Lalu sebuah misi penyelamatan diemban. Para aktivis di era 1997-1998, masa akhir Orde Baru itu diburu. Maka Saman yang pernah dibantu kabur, kini memiliki tugas mulia membantu para aktivis yang tersudut di pulau Sumatra menuju Singapura, yang lantas ke luar negeri lebih jauh. Togog, Bilung, dan Koba. Potret aktivis Solidarlit, dibantu Larung Lanang sebagai penghubung.

Misinya tak semulus yang dikira, sebab ada kecurigaan di antara mereka. Ada kekhawatiran akan keluarga yang ditinggalkan. Hanya melihat orang berseragam tentara jalan di pantai saja mereka saling tunjuk, adakah penghianat? Larangan komunikasi pakai pager atau telepon malah dilanggar. Dan di tengah ketegangan itu, tindakan genting harus dilakukan. Berhasilkah Saman meloloskan mereka?

Banyak bagian yang disajikan dengan diksi bagus. Dipilih dan diolah secara estetik. Seperti kalimat, “Janganlah kau tertawa dan menganggapnya sebagai kedunguan yang puitis. Tak banyak orang mendengar cerita ini.” Atau, “Akan mengalami yang takterkatakan: semacam gangguan jiwa bahkan alam tak punya tujuan.” Atau, “Lalu tiba saatnya ketika bunga-bunga api itu semakin tak beraturan. Bertubrukan satu sama lain dalam imaji-imaji yang aneh.” Atau, “Seperti tunas yang baru mengayu.” Dst. Sejujurnya buku-buku dengan pola seperti ini benar-benar mengasyikkan. Enak ditelaah, enak dilahap.

Kepercayaan akan klenik juga banyak disaji. Terutama bagian pertama, sebab memang misinya melawan malaikat maut. “Tetapi burung dadang-haus tetap berkitar-kitar meski fajar akan segera menelanjangi segala yang muncul dari permukaan bumi ke dalam cahayanya yang conak. Orang menyebut kehadirannya tanda buruk.” Atau, “Sayup-sayup kudengar orang membaca lontar di kebun belakang. Sebuah kisah tua tentang rangda yang menghirup darah.” Atau, “Tetapi alangkah ganjil jika segala hal diputuskan oleh akal.” Dst. Sama, membaurkan realita itu menarik, novel mistik dengan tata cara membumi. Masuk akal, dan tampak masuk logika. Sebuah kontradiksi yang mengejutkan? Atau kelumrahan?

Novel kedua Ayu Utami yang kubaca setelah Saman. Sebuah penurunan, sayang sekali. Endingnya bagus sebenarnya, saya suka ending yang menghentak seperti itu. Awal bagus, tengah lemah, akhir biasa, tapi ujung akhir-nya luar biasa. Dua lembar akhir yang sangat layak diberi aplaus. Jelas, Ayu Utami masuk daftar penulis lokal favorit, di rak sudah beberapa bukunya tersedia. Next, Bilangan Fu yang legendaris itu. Mari kita buktikan…

Larung | by Ayu Utami | KPG 901 13 0663 | Gambar sampul Lukisan kaca oleh Ayu Utami | Desain sampul Wendie Artwenda | Cetakan ke-1 November 2001 | Cetakan ke-4 Mei 2013 | viii + 295; 13.5 cm x 20 cm | ISBN 978-979-91-0569-1 | Skor: 3.5/5

Karawang, 290822 – Avril Lavigne – My Happy Ending

Untuk G.M. & Putri

Thx to Lifian, Jakarta

Dan Benar saja, Cantik itu Luka

Cantik itu Luka by Eka Kurniawan

Menanti Pangeranku datang, untuk membebaskanku dari kutukan wajah buruk rupa.” – Si Cantik

Riwayat Halimunda. Kalau saya memulai tulisan ulas novel-nya Jorge Amado: Gabriela, Cengkih, dan Kayu Manis dengan kalimat: “The Chronicles of Ilheus,” maka saya membuka ulasan Cantik Itu Luka dengan kalimat itu. Di kota fiksi inilah, kita diajak bersafari dari sebelum, saat, dan setelah Indonesia merdeka. Memiliki tanggal cantik sendiri untuk dirayakan sendiri, 23 September sebab informasi proklamasi terlambat sampai, kebusukan moral polisi penjahat di setiap sudutnya, hingga tokoh fiksi yang sejajar Jenderal Sudirman. Fakta dikaburkan imaji, dibubuhi segala penyedap kegemparan masa itu, dan taa-daa… jadilah novel liar.

Dibuka dengan kutipan berikut, “Dan kini, setelah baju zirahnya dibersihkan, bagian kepalanya diperbaiki jadi sebuah topi baja, kuda dan dirinya sendiri punya nama baru, ia berpikir tak ada lagi yang ia inginkan kecuali seorang nyonya, pada siapa ia anugerahkan kekaisaran hatinya; sebab ia sadar bahwa seorang ksatria tanpa seorang istri adalah sebatang pohon tanpa buah dan daun, dan sebongkah tubuh tanpa jiwa.” – Miguel de Cervantes, Don Quixote

Kisahnya merentang jauh sebelum Indonesia merdeka. Semuanya tentang manusia-manusia patah hati, hampir semuanya ding karena ada satu dua orang yang begitu nyamannya menjalani hidup ini, mengalir saja. Yang jelas, ketika cinta membuncah, apapun akan dilakukan, apapun akan dikorbankan. Dan ini terus berulang, tata cara bercerita bagus, di mana kita dibocori sedikit kejadian akhir, baru dijelaskan kronologinya. Maka polanya campur, beberapa dilakukan flashback per bab. Dan karena ini novel tebal, banyak karakter yang memiliki riwayatnya sendiri dengan rentangan panjang. Titik hidup tiap tokoh diolah sedemikian rupa sehingga pembaca diseret serta emosinya. Tak ada tanda tanya, semua nasibnya jelas. Hanya beberapa yang samar, saat melibatkan dunia mistik. Dan itu, kembali lagi ke basic absurditas: tafsir bebas.

Pusat cerita sejatinya ada di Dewi Ayu, tapi kita disuguhi pondasi yang sama kuatnya pada masa orang-orang sekelilingnya. Terlahir dari orang Belanda yang menjajah kita. Dengan drama memilukan sebab pasangan wong cilik Ma Iyang yang dipaksa keadaan jadi gundik dan terpisah sama kekasihnya Ma Gendik. Sejarah dua bukit yang dibangun dengan pondasi bunuh diri. Saat Dewi usia remaja, Indonesia diduduki Jepang, dan kehidupan mewahnya mendadak longsor. Para gadis keturunan kala itu adalah tawanan, dan dijadikan pelacur oleh Mama Kalong.

Tak seperti para gadis lainnya yang khawatir dan ketakutan, Dewi Ayu menghadapi kenyataan dengan tegar dan lantang. Entah ide dari mana, menyimpan emas di kubangan kotoran? Penjajahan Jepang yang secara tahun hanya berhitung jari, mencipta kegetiran hingga masa kemerdekaan menjulang. Di Halimunda, karena informasi proklamasi terlambat maka diperingati RI-nya tiap 23 September. Perang kemerdekaan pecah, setiap warga memiliki kewajiban melawan Belanda yang kembali ke Indonesia. Begitu juga Halimunda, tersebutlah para karakter unik yang mengelilinginya.

Dewi Ayu memiliki tiga anak: Alamanda, Adinda, dan Maya Dewi. Dan ketiganya saling silang membelit rumit.

Maman Gendeng seorang jagoan yang mengingin menikahi wanita tercantik di Halimunda yang ternyata sudah jadi mitos. Ia tetap tinggal di sana dengan menantang kepala preman, manusia kuat yang berhari-hari tarung di pantai menjadikan Maman penguasa. Ia lantas menikah dengan Maya Dewi, anak paling baik, yang polos dan baik hati. Menikah tak seserhana itu, di usia 12 tahun dan harus menunggu balig untuk malam pertama!

Shodanco adalah pejuang kemerdekaan. Turut serta mengusir penjajah, ia setara Jenderal Sudirman. Namun keputusannya bertahan di Halimunda membuatnya hanya sekelas kepala Rayon, maka ialah pihak berwajib tertinggi di sana. Mengatur kota yang busuk. Menikah dengan Alamda dengan drama menjijikkan. Shodanco tahu Alamanda punya kekasih yang sedang kuliah di Jakarta, Kliwon. Maka saat lengah ia melakukan perbuatan bejat di hutan. Pasangan yang tampak ideal ini memiliki noda di dalam rumah tangga. Hubungan suami istri tak bisa serta merta senormal pasangan lain, sebab Alamanda melakukan protes. Bahkan saat lengah, dan akhirnya ia hamil, terjadi kegemparan sebab jabang bayi di perutnya secara misterius raib.

Shodanco dan Maman malah berteman, mereka sering main dadu di pasar. Keduanya memiliki kekuasaan, yang satu polisi yang lain preman. Keduanya memiliki mertua palacur kondang. Saling silang saling mengisi hari-hari pasca merdeka.

Sementara manusia cerdas Kliwon yang patah hati melengkapi kepahitan. Kliwon digambarkan idealis, tokoh komunis yang tegar dan cerdas. Hanya keadaan yang memaksanya terpuruk.  Menikah dengan Adinda. Kliwon adalah kepala Serikat Nelayan. Bayangkan, ketiga saudari ini memiliki pasangan yang tak lazim. Polisi, ketua serikat, kepala preman. Gmana rasanya pas ngumpul arisan keluarga, apa tak riuh dan jotos-jotosan?

Namun drama sejatinya dicipta di ujung. Para cucu Dewi Ayu yang membuat onar, cucu pertama Nur Aini dari Alamanda digambarkan begitu mengayomi saudara-saudaranya. Cucu kedua Krisan dari Adinda yang seperti ayahnya, begitu lantang isi kepalanya, imajinatif. Cucu ketiga dari Maya Dewi, Rengganis yang paling cantik dari semua yang tercantik. Dan benar saja, cantik itu luka.

Di suatu siang terjadi kehebohan di sekolah sebab Rengganis masuk ke kelas dalam kondisi telanjang dan mengaku diperkosa anjing di toilet kumuh sekolah. Inilah mula malapetaka keluarga ini. Carut marut kehidupan fana dengan pijakan hikayat kota Halimunda. Kalian mungkin bisa menebak siapa pelakunya, tapi yakinlah kalian pasti turut terluka akan tragedi bertubi ini.

Oiya, Dewi Ayu pada akhirnya memiliki anak keempat, yang lain daripada yang lain: Si Cantik. Mantra jahat dilempar, adu kekuatan gaib dilakukan. Hanya yang terkuat yang berhasil berdiri kokoh di ujung cerita.

Sudah memilikinya sejak Februari 2018, waktu itu sampul baru warna merah, tersebab ingin koleksi saya ambil yang hard cover, baru kubuka segelnya awal Juli 2022 sebab lihat edisi anniversary 20 tahun dengan sampul biru, dan gegas kubaca. Target selesai bulan Juli bisa terealisasi di akhir bulan. Dibaca santai sehari per bab, atau saat jeda dari bacaan lain.

Novel ini dengan cerdas memainkan sisi psikologi semua karakter. Saat jatuh cinta, sejatuh-jatuhnya seolah cewek incaran itu seolah segala-galanya. Sekalipun esok berubah pikiran, dan bercinta dengan cewek lain dengan dalih tanpa rasa cinta. Dan juga mengisi kepahitan di setiap generasi, kesedihan ditabur di segala keadaan. Tak ada manis-manisnya. Kliwon dan Adinda misalnya, pasangan ideal yang dipaksa pisah karena memang tak dijodohkan oleh penulis.

Sebagai novel paling unggul Eka Kurniawan, jelas ini paling kompleks permasalahannya, dan yang paling keren. Ini adalah buku kelima yang kubaca setelah: Lelaki Harimau, yang terkamannya menghebat itu. Seperti Dendam, yang penuh makian. O, si monyet dangdut. Kumpulan Budak Setan, yang terinspirasi Abdullah Harahap. Dan cerpen Sumur yang dicetak mungil. Polanya menurutku: dua novel pertama ditulis dengan semangat pemuda membara sehingga Cantik dan Lelaki memakai pola bab panjang yang nyaman dan detail mengagumkan, sangat mengagumkan. Novel ketiga, Seperti Dendam malah penurunan sebab memakai pola penggalan kalimat-kalimat seolah fiksi mini yang dirajut acak. Begitu pula novel keempat, O. Kenyamanan itu terdistorsi. Dan itulah kurasa, jelas tak sebombastis duo pertama. Kesamaannya, semua adalah fiksi dewasa dengan makian bebas, adegan percintaan bebas, serta kebebasan meneriakan hal tabu. Untuk itulah fiksi jadi menarik.

Novel berikutnya kuharap kembali memakai pola duo mula, sabar, telaten mencipta alur, sehingga panjang meliuk-liuk. Kutunggu dengan tak sabar.

Cantik itu Luka | by Eka Kurniawan | GM 617202031 | Copyright 2002 | Penyelia naskah Mirna Yulistianti | Pemeriksa aksara Sasa Galih, Arasy | Desain sampul Orkha | Setter Fitri Yuniar | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Pertama kali diterbitkan oleh AKYPress dan Penerbit Jendela, Desember 2002 | Cetakan pertama, Mei 2004 | Cetakan ketiga belas (Hard Cover) Desember 2017 | ISBN 978-602-03-6651-7 | Skor: 5/5

Karawang, 030822 – 090822 – 240822 – Billie Holiday – God Bless the Child

Thx to Gramedia World Karawang & Widi Satiti

Cerpen dengan Judul Protagonist

Tuan Gendrik by Pamusuk Eneste

“Bila membagi derita dengan orang lain pun, sudah merupakan suatu obat.” – Kitti

Semua cerpen memakai judul karakter utama. Semuanya pendek, belum ‘in’ sama cerita sudah selesai. Namun hebatnya, semua ending menggantung. Keputusan akhir diserahkan ke pembaca. Dari kepala media yang diminta ceramah kepahlawanan, tak tahu ngomong apa. Karyawan yang diancam, diperas duit sebab istrinya diculik, dan kita tak tahu apakah ia melapor polisi atau memenuhi tuntutan dengan uang pinjaman. Lalu Tuan Gendrik, bos kantor yang baik hati dan tak sombong, yang suatu hari kehilangan semua karyawannya, misterius. Hingga warga baik-baik yang dituntut untuk menikahi perempuan yang tiba-tiba mampir ke apartemennya, lalu menyatakan hamil anaknya. Semua diramu dengan tanda tanya di akhir. Begitulah, sederhana nan memikat. Tak sampai meledak-ledak, tapi sungguh efektif meluluhkan hati pembaca.

Hampir semua bersetting di Jerman, terutama di Anustadt, ibukota Anuland. Kecuali nomor 2 mantan kekasih yang diajak ke Jakarta tak mau, pilih tinggal di Yogya, lalu nomor 7 yang ingin pulang ke rumah ibu di Jakarta, dan nomor 10 yang di pinggiran Jakarta seolah diteror istri.

#1. Barero

Barero yang apes, entah kenapa ia yang dipilih sebagai korban. Sebuah telepon tak dikenal mengancamnya, istrinya diculik, ia tak boleh lapor polisi, dan diminta menyiapkan sejumlah uang. Istrinya yang hamil, sampai malam belum pulang juga. Dan saat menit-menit menuju waktu yang ditentukan ia masih saja lemas.

“Jangan coba-coba menelepon siapapun juga dalam urusan ini.”

#2. Bugatti

“Terus terang, aku tak tahu harus menyapamu dengan apa. Mas, dengan kau, dengan kamu, atau dengan Anda. Tapi itu tak penting bagiku, yang terlebih penting adalah persoalan yang akan kubeberkan di bawah ini.”

Bugatti, seorang istri yang mengeluhkan suaminya yang bergaji kecil. Ia bercerita pada aku, mantannya yang kini sudah di ibu kota. Melalui surat penuh cerita pahit, bagaimana rumah tangga Bugatti begitu hampa. Meminta saran pada mantan? Alamak!

#3. Mekeba

Makeba, istri yang kesal dan menyesal. Menanti suaminya pulang kerja, memasakkan istrimewa, dan siap menyambut di teras. Namun sampai waktu yang biasa pulang, tak kunjung terlihat. Ternyata mereka habis bertengkar semalam. Perkara anak yang tak kunjung hadir, sudah coba berbagai cara, dari memungut anak angkat, ke dokter spesialis, konsul ke manapun, nihil. Dan dalam suasana panas, sebuah saran kemarahan yang terlontar di keluarga kecil ini.

“Apa pun kemauan suami saat berhubungan, turuti saja.”

#4. Tuan Gendrik

Bos Gendrik yang kebingungan. Ia heran, bagaimana bis asuatu pagi semua karyawannya lenyap. Entah apa yang terjadi. Apakah secara massal mereka ngambek, cari kerja di tempat lain? Ataukah terjadi sesuatu yang luar biasa yang membuat serentak kabur? Atau entah apa. Padahal ia adalah bos yang ideal, baik, wibawa, ramah.

“Hari ini agaknya mendung, Pak.”

#5. Molli

Molli, sang sekretaris yang ‘sakit’ dan mencoba membolos. Ia penasaran, bagaimana sebuah mesin tik di kosnya hilang. Mesin tik pinjaman kantor itu, benar-benar tak ada di kamarnya. Mau lapor polisi, takut tanggung. Lapor pak RT, belum kenal sama beliau, mau lapor kantor, nanti dikira tak tanggungjawab, malah disangka pencuri. Dan bekerja di lingkungan seperti ini, bukankah neraka?

“Sungguh mati, saya tak mendengar sesuatu yang aneh tadi malam. Padahal, bunyi tikus lari di loteng saja, biasanya sudah membikin saya bangun.”

#6. Benino

Benino besok pagi jam 10 diundang ke balai kota untuk menerima penghargaan. Padahal ia tak tahu jadi pahlawan macam apa dia. Istrinya mendesak datang, siapa tahu selain sertifikat ada uangnya. Padahal ia di kantor sering bolos, tak kompeten, tak berintegritas tinggi. Makanya heran, apa yang menyebabkannya jadi pahlawan sejak jam 24 malam nanti.

“Jangan khawatir, majalah kami cukup makmur kok. Tak mungkin kami menipu Saudara.”

#7. Kitti

Kitti, cantik, jual malah. Ia adalah istri yang teraniaya. Di usia semuda itu, 22 tahun sudah punya segala materi yang memadai. Rumah, mobil, vila, perhiasan. Cuma, tekanan batin dari suaminya yang tak menafkasi batiniahnya. Ia nikah karena materi, dalam keterangan di media, ia siap menikahi pria manapun yang siap kasih materi. Kariernya yang bagus seolah mendadak lenyap, sebab jadi istri di rumah saja, me time melimpah. Ada penyesalan, kenapa dulu tak menuruti kata ibunya. Dan di puncak kesadarannya, ia memutuskan pulang menemui ibunda terkasih, kasih ibu memang sepanjang masa. Tak terhingga.

“Kamu toh bukan anak kecil lagi, dan sudah bisa mencari pemecahan sendiri.”

#8. Bruno Paparici

Seorang teman lama, teman sekolah yang dulu bodohnya minta ampun kini menjadi terkenal dan kaya raya. Suatu hari Bruno Paparici meneleponnya, “Apa betul ini kantor koran Anuzeitung?” dijawab ya, dan mereka pun nostalgia. Bruno lantas memintaku menjadikannya pahlawan. Ia sudah melakukan apa pun sebagai syarat orang baik, dan meminta menulis profilnya dengan ‘baik’. Permintaan aneh, dan janggal. Hingga suatu hari, aku diberitahu Bruno meninggal dunia, di mana surat wasiatnya memintaku jadi pembicara salam terakhir sebelum jasadnya dikebumikan. Pahlawan macam apa ini?

#9. Harlem

Margot, perempuan nakal yang menuntut Harlem untuk menikahinya. Harlem tak paham, ia hanya sekali saja bercinta, suatu malam Margot menghubunginya, ingin cerita, lalu main ke apartemennya, menginap, dan terjadilah. Hingga beberapa bulan kemudian, Margot datang, bilang hamil anaknya. Aneh sekali. Bagaimana memberitahu kabar ini ke istrinya di tanah air? Bagaimana menghindari masalah ini?

Frua Muller: “Katanya, anak yang dia kandung itu anakmu.”

#10. Panderos

Panderos, si istri galau. Ia selalu meminta suaminya lebih. Masose yang punya pendidikan baik, diminta lulus kuliah menikah saja, toh kalau berdua berjuang akan lebih baik. Awalnya, tinggal sama orangtua, lalu Panderos gerah, meminta kos saja, lalu beli rumah mencicil, berisik sebab perumahan yang padat, tetangga begitu bising. Lalu meminta beli rumah di luar kota yang asri dan jauh dari kantor, sepi, malah kangen suasana ramai, dan begitulah, ia menuntut lebih dan tak pernah puas. Ia lalu cerita padaku.

“Tolonglah aku, aku betul-betul tak tahu harus bagaimana lgai. Semua telah aku lakukan demi istriku, tapi tak pernah puas.”

Buku pertama Pamusuk Eneste yang kubaca, ia sudah terkenal. Salah satu pentolan sastrawan lokal kita. Buku-bukunya sudah ada di rak, baru kali ini kuselesaikan baca. Lumayan bagus, tapi kurang panjang. Terlampau sederhana. Keistimewaannya jelas, ending yang terpotong. Indah lho, cara seperti ini. Tafsirnya liar, dan bebas. Saya suka.

Tuan Gendrik | by Pamusuk Eneste | Seri Sastra Pembangunan | No. 93002 | Kumpulan Cerita Pilihan | Pewajah Gatot B.W. | Penerbit Puspa Suara; Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara | Editor seri Eka Budianta | Percetakan Pr. Penebar Swadaya, Jakarta | Cetakan pertama, 1993 | vi+ 104 hlm; 18 cm | ISBN 979-9312-20-I | Skor: 4/5

Karawang, 160822 – Noah – Di Atas Normal

Thx to Sri Purnawati