Fiksi Sejarah Myanmar dan Sekitarnya

The Glass Palace by Amitav Ghosh

“Orang-orang berpikir bahwa ini menyedihkan dan memang begitu. Tapi itu juga berarti bahwa aku tak punya pilihan lain kecuali memilih keterikatanku sendiri. Ini tidak mudah, seperti yang kaulihat. Tapi itu semacam kebebasan, dan oleh sebab itu, tidak tak bernilai.”

Penerbit Hikmah lagi, beberapa kali terjemahan Hikmah (grup Mizan) begitu memuaskan. Yang ini sungguh tebal, kumulai baca 3 Juni, dan diharapkan selesai akhir Juli, ternyata mbablas panjang sampai 17 September 2022. Buku tebal, lebar, walaupun fiksi ini bisa jadi adalah fiksi dengan sisipan sejarah yang sangat kental. Karena saya tak tahu sejarah Myanmar, maka banyak fakta sejarah yang fresh. Beberapa bagian malah membuatku mencipta kerut kening, terutama bagian awal bagaimana sang raja yang menyerah dengan mudah terhadap tentara Inggris (yang jua menjajah India), sehingga saat serbuan kompeni itu campuran Inggris – India. Di sana sampai mencipta sentiment anti-India. Begitu juga fakta sejarah, bagaimana tentara Inggris warga asli India lalu membelot membentuk tentara Nasional India, masa tahun 1940-an yang riuh akan kemerdekaan.

Kisahnya bisa jadi tentang Rajkumar, lelaki Burma (sekarang Myanmar) keturuan India. Ia adalah keturunan terakhir dalam silsilah keluarganya sebab dalam perjalanan perahu ke Mandalay, ibunya meninggal di atas sungai, namun sejatinya buku berkisah tentang sejarah Myanmar, Kolkota, Malaysia, hingga India. Semenajung Asia Tenggara di akhir abad Sembilan belas hingga seabad kemudian.

Seperti kita tahu, abad dua puluh riuh akan Perang Dunia pertama dan kedua, dan ini adalah salah satu efeknya. Perang sering menimbulkan benturan antara sejarah dan kehidupan individu. Dalam keadaan perang, situasi seperti revolusi, evakuasi massal, pemindahan populasi secara paksa, dan seterusnya, tak ada yang bisa memilih untuk menjauh dari sejarah. Abad dua puluh menjadi saksi atas berbagai malapetaka di Asia dan The Glass Palace mencoba mengisahkan dampak peristiwa tersebut terhadap keluarga dan individu.

Rajkumar muda, 11 tahun sampai di Mandalay untuk menjadi pelayan kedai Ma Cho. sebagai asisten pelayan kedai makanan yang dekat dengan Istana Kaca Raja Thebaw. banyak desas-desus tentang kehidupan kerajaan, rakyat jelata sekalipun di belakang sering mengeluhkan kemlaratan, mereka tetap mencintai kehidupan para bangsawan. Hormat hingga sembah sinuhun. Maka saat serangan Inggris tiba-tiba datang, Mandalay berubah total. Anehnya, kerajaan yang compang-camping mengeluarkan edaran yang kontradiksi, “Bangsa kita akan berpacu bersama para jenderalnya, kapten-kaptennya disertai kekuatan besar indanteri, artileri, pasukan gajah, dan kavaleri, lewat darat dan air, dan dengan keperkasaan tentaranta akan menghadapi orang-orang kafir ini…”

Dari kedai itulah, Rajkumar jadi saksi perubahan pepindahan kekuasaan, dengan mudah kepemimpinan raja dirampas, dan Burma menjadi tanah jajahan Inggris. Saat raja, Ratu Supayalat, dan segala pemangkunya dipaksa keluar untuk diasingkan, sebuah momen romansa tercipta, Rajkumar jatuh hati pada pandangan pertama kepada Dolly, salah satu pelayan putri. ia menandai, ia memberi hadiah, dan walau tak seindah harapan, ia menjaga asa api. Raja dan segala pasukannya diasingkan ke sebuah pantai di Ratnagiri India Barat, sejauh ribuan mil, jauh dari rakyatnya.

Rajkumar telah melihat terlalu banyak hal di Mandalay dan menemukan terlalu banyak ambisi baru. Rajkumar dengan semangat membaja, ikut dan berguru pada Saya John, seorang wirausahawan yang seolah menjadi bapak angkatnya. Bisnis kayu jati, dan menjadi saksi betapa balok-balok kayu bisa mencipta darah mengalir di berbagai sudut. Singkat kata singkat cerita, Rajkumar sukses besar. Ia berhasil dalam perjudian bisnis, meminjam uang dan memutarnya dengan jitu, dan tersebab ia ingin merekrut orang-orang India, ia meminta tolong sama orang dalam, Uma sang istri Kolektor. Ia ingin bertemu Dolly, dan menyampaikan cintanya. Pengasingan yang dikira sebentar, ternyata lama. Di tahun 1905, 21 tahun pengasingan sang raja. Dan nantinya Ratnagiri menjadi tempat tiada pula bagi snag raja terakhir Burma.

Rajkumar di usia matang, Dolly yang cekatan dan begitu mengabdi awalnya tak tahu sejarah sang pemuja. Bahkan saat diminta untuk menjadi istri sang juragan, ia menolak. “Dia mencintai apa yang diingatkanya. Itu bukan aku.” Uma menjadi mak comblang, meyakinkannya, memintanya mengambil kesempatan. Ini hanya satu kali peluang, bila ia menolak maka, Dolly bisa jadi akan menghabiskan sisa hidupnya sebagai pelayan di tanah pengasingan. Dan dengan dramatis, lewat kapal yang beranjak, ia berlari mengejar masa depannya sendiri.

Begitulah, kisah ini lalu menuturkan kehidupan Rajkumar yang bahagia, dan segala turunannya. Memiliki dua anak, Neel  yang melanjutkan bisnis keluarga, dan Dinu yang suka fotografi. Lalu satu cucu yang menyatukan keluarga ini nantinya karena terpecah akibat perang, Jaya. Si bayi, Jaya menjadi pengikat yang menyatukan seluruh keluarga. Kisahnya sendiri menjadi pencarian di bab akhir, bagaimana Jaya mencari pamannya di sebuah kota kecil sang asing.

Plotnya sendiri jadi sangat liar kemana-mana. Uma yang janda menjadi seorang revolusioner. Bagi Uma, pemberontkan dan cara penumpasannya merupakan kulminasi mimpi buruk sebulan lamanya. Ia nantinya bergabung dengan Mahatma Gandhi. Ia menjadi saksi kejahatan Rajkumar melakukan tindakan asusila terhadap perempuan bawahannya, dan ia pula nantinya di hari tua menghabiskan malam-malam hening dengan yang ia kutuk. Tampak absurd sebenarnya, Uma yang sungguh kuat dan saking hebatnya, terlihat tak masuk akal.

“Bagaimanakah kau akan melawan musuh yang bertempur bukan karena kebencian maupun kemarahan, tetapi karena rasa patuh pada perintah atasan, tanpa protes maupun kesadaran?”

Bagian yang bikin salut adalah perjuangan India mengusir Inggris. Salah satu keturuan Rajkumar nantinya jadi tentara Inggris, dan bersama rekannya terbelah antara berdiri sendiri menjadi pribumi (sehingga disebut penghianat, pemberontak) ataukah bergabung dengan tentara baru, India. Yang merka inginkan hanyalah mengusir Inggris supaya mereka bisa melangkah masuk dan menggantikan posisi Inggris. Bahkan masuknya Jepang makin membelah kubu. Yah,  kita harus ingat bahwa mereka adalah generasi pertama tentara India yang terdidik. Mirip Indonesia tahun 1940 s/d 1945, terpecah dan rumit. Dia telah membentuk unit independen – Tentara Nasional India. “Kapten Mohun Singh telah mengambil langkah besar. Dia memutuskan untuk berpisah dengan Inggris.”

Tak ada penguasa yang baik dan penguasa yang buruk, semakin baik seorang penguasa, semakin buruk kondisi sang budak, karena dia berhasil membuat sang budak melupakan siapa dirinya. “Apa mereka juga bicara soal politik? Ya, sepanjang waktu. Mustahil untuk tak melakukannya, di Myanmar.”

Mengutip Weston, atau Trotsky bahwa bentuk seni dan revolusioner bisa menyentakkan orang atau mengusik rasa puas diri mereka atau menantang ide-ide lama berkat ramalan konstruktifnya mengenai perubahan.

Nilai novel sebagai suatu tulisan, kemampuannya untuk menginkorporasikan berbagai elemen yang terkandung dalam setiap aspek kehidupan – sejarah, sejarah alam, retorika, politik, keyakinan, agama, keluarga, cinta, seksualitas.

Ini adalah buku pertama Amitav Ghosh yang kubaca. Lahir di Kolkota (sejak 2001 ejaan Inggris Calcutta diubah menjadi Kolkota, karena begitulah sebutan dalama bahasa Bengali, sekaligus menghapus pengaruh kekuasaan Inggris), kecil di Bangladesh, Sri Langka, da India Utara. Ia tinggal di New York bersama istri dan kedua anaknya.

Mungkin kurang sreg sama pemilihan penyampaian kisah, terlalu klise dan mudah ditebak, panjang berliku dan isinya kurang nendang. Hanya bagian-bagian tertentu yang mencipta wow, rerata biasa. Nilai lebihnya ini buku fiksi sejarah yang nyaman dan mudah diikuti, nilai kurangnya, bahasanya kurang satrawi, umum, dan sangat mudah dicerna. Tak sampai meluap-luap seperti buku Hikmah lainnya, tapi sudah cukup sebagai permulaan Amitav Ghosh, pemennag penghargaan Satra Italia, Grinzane Cavour Prize. Kalau ada buku lainnya, siap dinikmati.

Istana Kaca | by Amitav Ghosh | Diterjemahkan dari The Glass Palace | Terbitan Random House Trade Paperbacks, Inc. New York, 2000 | Penerjamah Reni Indardini | Penyunting Suhindrati a. Shinta | Penyelarasa aksara Alfiyah, Indah | Pewajah sampul Andreas Kusumahadi | Penata letak elcreative26@yahoo.com | Penerbit Hikmah (Pt. Mizan Publika) | ISBN 978-979-114-220-5 | Cetakan I: September 2008 | Skor: 4/5

Untuk Kenangan tentang Ayahku

Karawang, 200922 – Gerry Mulligan – Capricious

Thx to Ade Buku, Bdg

Sisipan Cerita lain Sejarah

Bagaimana Madelijn Mempertahankan Redoute Hollandia by Miguel Angelo Jonathan

“Kakek, kami tak mungkin membakar rumah! Kami bermain untuk senang-senang, dan membakar rumah tidaklah menyenangkan!”

Sehimpuna cerita yang rerata menyinggung sejarah. Dari penelitian ke Indonesia Timur sampai serangan benteng di Batavia. Dari legenda ular yang merupakan jelmaan putri, sampai sejarah kata mangkrak. Dari serangan yang berhasil meluluhlantakkan kota akibat kesalahan gerbang yang dibuka kecil, sampai bagaimana ikan lele berkembang biak. Semuanya diramu bebas merdeka. Sah-sah saja, tapi sayangnya rerata cerita pendek yang benar-benar pendek, jadinya belum panas, sudah keburu selesai.

#1. Hainuwele

Peneliti dari Jerman memasuki hutan di Kepulauan Maluku, dan mendengar mitos Hainuwele. Bahwa legenda itu bilang Hainuwele adalah gadis yang berasal dari buah kelapa, ia memiliki kekuatan bisa mengeluarkan barang-barang berharga saat sedang buang hajat, dan dianggap merupakan ilmu hitam. Maka iapun dibunuh dan tubuhnya dipotong-potong dikubur di sekeliling pulau Seram, dan bagian-bagian tubuh itu menjelma tanaman baru.

Keputusan aneh justru diambil, sebab saat ia mendapati fakta ketemu gadis telanjang buang hajat mengeluarkan permata, sang gadis diboyongnya pulang ke kampung halaman, dan dinikahi resmi. Namun kejengkelan tak hanya sampai di situ. Awalnya dikira, rejeki jangan ditolak, ujungnya tak nyaman.

“… Aku rasa aku benar-benar mencintainya, tidak akan kubiarkan orang lain menyakitintya. Rahasianyya aman bersamaku.”

#2. Bagaimana Madelijn Mempertahankan Redoute Hollandia

Benteng Batavia diserbu pasukan Mataram. Dan saat para bos keluar kota, Jan Pieterszoon Coen menyerahkan kepadanya, benteng itu rasanya hanya menunggu waktu buat dikuasai. Serbuan maut, sudah habis-habisan Madelijn yang orang Jerman kesal, ia bukan orang Belanda woy. Namun karena mendapat tugas itu, ia mencoba memimpin bertahan dengan pasukannya. Hingga muncullah ide gila, saat ia sedang buang air besar, terlintas pikiran setan. Tata cara melawan balik, apakah pasukan bantuan bisa hadir terpat waktu atau ide gila itu berhasil?

“Mundur semua! Mundur! Lupakan benteng bajingan itu!”

#3. Siluman Ular dari Rawa Atarja

Legenda ular yang dihormati, bahkan barangsiapa yang dipatok dipersalahkan. Di kota Atarja, ular itu jelmaan sang putri yang menyepi, pada tak berani buang air besar di rawa-rawa Atarja. Harus perjalanan jauh demi buang hajat. Namun saat era berganti, kini jadi kota besar, dan para pengembang mencipta modernitas, kepercayaan adanya siluman ular terkikis. Hingga suatu hari ada orang buang hajat di kakus umum dan dipatok. Suparman yang kaget dan marah, kemudian mati dengan luka gigitan di pantat. Lantas kepercayaan lama diapungkan. Namun saat toilet itu diledakkan, hujan lelelah yang terjadi. Ada apa gerangan?

“Siluman ular bangkit kembali! Dia bangkit kembali! Siluman ular tengah murka!

#4. Raja Mangkarak

Raja yang arif meninggal dunia, mewariskan takhta Kerajaan Palapa kepada si sulung Mangkarak. Kebetulan adiknya Jayawidata tak berminat politik, lebih suka bermain seni dan mencipta karya. Raja Mangkarak hobinya bikin bangunan demi pengakuan publik. Punya proyek besar mencipta candi, bangunan kerajaan yang elok. Padahal bujetnya kurang, tapi tetap dipaksakan. Ia lantas memaksakan kehendak, memungut pajak lebih besar, mencari uang dengan segala cara agar proyeknya terealisasi. Ia kena batunya.

Maka mulailah pembangunan candi raksasa itu.

#5. Kontradiksi Zangi dan Bagaimana Akhirnya Mati

Imanuddin Zangi yang memiliki sifat kontradiksi. Ia atabeg (gubernur) kota Mosul dan Aleppo kebangsaan Turki. Seorang jenderal perang yang berpengalaman, sudah banyak menaklukkan kota, dan ia begitu kejam, kasar, brutal.

Seorang pemabuk berat, boros di kedai tapi sekaligus sangat sederhana. Namun kontradiksi sifat itu suatu ketika membawa petaka, sebotol anggur mahal, dan ironi efek berikutnya.

Hidungnya lebih tajam dari penciuman seribu anjing digabungkan. Tentu hanya dalam kasus aroma anggur saja.

#6. Hanya Gerbang Kecil

Ini kisah Sultan Mehmet II di Turki yang terkenal itu. Sang Penakluk Kontatinopel dan bagaimana pengepungan itu berhasil meruntuhkan kota. Sebuah gerbang kecil yang disepelekan, terkadang terlupa untuk ditutup, dan menjadi titik lemah serangan lawan. Adalah Raynor yang kena tegur Jenderal Loukas untuk tak melalaikannya. Pastikan terkunci.

“Boom!”

#7. Aul

Di Pasundan lampau, tersebutlah petarung hebat dengan julukan Serigala Sunda bernama Aul. Ia bisa menyembuhkan luka seketika bak Wolverine. Bahkan kalau anggota badannya ada yang terlepas, bisa disatukan kembali. Ia asli Purbalingga, dan datang ke tanah Sunda untuk menantang sang jawara Asep Sunandar. Dan tarik ulur kekuasaan terjadi. Sampai akhirnya sebuah kekonyolan dilakukan asisten Aul.

“Grrrrr!”

#8. Membakar Monyet demi Sang Naga

Dua ribu tahun yang lalu, Xiang Yu komandan perang Chu dan lawan bebuyutannya Liu Bang melakukan tindakan heorik. Dan turun temurun hikayat membakar petasan sebagai kegiatan bersenang-senang, ketimbang membakar rumah. Menyerang musuh dengan monyet dipasangi kembang api, bagaimana kalau diganti dengan bom?

“Hei, ada apa ini? mengapa para monyet bisa meledak? Jelaskan.”

#9. Hou Yi dan Pembunuhan Sembilan Saudara

Manusia adalah perusak, melakukan hal buruk pula dengan sesamanya. Bahkan matahari di langit pun turut dirusak. Dulu, ada sepuluh sebelum Nuwa mencipta ras manusia, dan seorang pemuda dengan busurnya membidik matahari.

“Setelah sekian lama! Kini seseorang tersenyum memandang siang, bukan karena ada bulan di langit, tetapi karena ada matahari.”

Mencipta cerpen kudu lebih panjang. Standar cerpen bagus bagiku sudah tersemat pada karya-karya Haruki Murakami, atau Alice Munro. Atau kalau lokal ada Triyanto Triwikromo atau A.S. Laksana. Baik lokal maupun terjemahan, cerita yang bagus memang kudu ‘in’ sama plot, dan kebetulan nama-nama yang kusebut rerata cerpennya panjang dan meliuk-liuk. Beberapa menipu plot, ada twist, atau kalaupun biasa, pembaca berhasil ditautkan emosinya setelah diajak jalan-jalan panjang. Tak bisa sekadar seribu kata. Di buku ini rerata cerpen disajikan pendek, terlepas dari tema sejarahnya, apapun itu hampir semuanya belum panas dan sudah diakhiri.

Ini adalah buku pertama Bung Miguel yang kubaca. Buku kedua setelah novel Si Pembunuh Elemen (2019). Memiliki minat pada sejarah, dan beberapa kali kulihat menerjemahkan cerpen. Rusa Merah adalah toko buku beliau, baru dua atau tiga kali berbelanja di sana. Rekomendasi, buku-buku bagus dengan harga diskon. Terima kasih.

Bagaimana Madelijn Mempertahankan Redoute Hollandia | by Miguel Angelo Jonathan | Sehimpunan cerita | Copyright 2020 | 12.5 x 18.5 cm, viii + 130 halaman | Cetakan pertama, Mei 2020 | ISBN 978-623-7258-59-9 | Tata letak dan desain Gans, Ativ Yola | Desain sampul Fariddudin | Penyunting Ganjar Sudibyo | Pemeriksa aksara Marcel | Penerbit Rua Aksara | Skor: 3.5/5

Karawang, 200722 – 100822 – Clark Terry – Mumbles

Happy Birthday Calista Yumna 8 tahun

Thx to Rusa Merah, Jakarta

Engkau Sendiri Hanya Sarana, namun Tidak Lama, untuk Disejajarkan dengan Leluhur

Kuasa Ramalan Jilid 1 by Peter Carey

Engkau sendiri hanya sarana, namun tidak lama, untuk disejajarkan dengan leluhur.” – Ramalan Parangkusumo, sekitar 1805

Sejarah berkata: ‘Jangan berharap di sisi makam sebelah sini. tapi kelak sekali seumur hidup, Gelombang pasang keadilan yang didamba bisa tiba. Hingga harapan dan sejarah sirna.’ Maka berharaplah pada perubahan samudera, Di ujung dendam sebelah sana. Yakinlah bahwa pantai nun jauh Dapat dicapai dari sini.”Seamus Heaney

“Zaman edan. Terkutuklah nasibku, karena aku lahir untuk meluruskanmu.” Willaim Shakespeare, Hamlet, Babak I Adegan V

Catatan saya buka dengan tiga kutipan pembuka buku. Layak dibagikan dan dinikmati, mewakili isi cerita. Buku ini dimulai dari era sebelum kelahiran Pangeran dan ditutup tahun 1812, era sebelum Perang Jawa. Bayangkan, pengantar saja sekeren itu, bagaimana nantinya masuk ke inti. Salut sama Penulis, perlu dedikasi tinggi, perlu pengorbanan waktu dan tenaga lebih untuk merampungkan seribu halaman yang padat dan sangat menarik.

Game of Thrones (GOT), adalah kata pertama yang terlintas setelah ussai membacanya. Ini seperti novel rekaan GRR Martin. Bedanya setting Jawa, dan ini nyata. Wow, setelah baca GOT saya berkomentar, susah juga hidup di masa itu. Gerak apapun terasa salah. Mau bela kerajaan manapun tetap akan sulit bertahan, semua akan serba salah. Semua punya ambisi, dan harapannya masing-masing. Perang di mana-mana, dan nyawa begitu murahnya. Di Kuasa Ramalan, konfliks terjadi di banyak arah. Mau para penjajahnya sendiri, Belanda Inggris Prancis yang mempunyai tanah rampasan, berniat memetik sebesar-besarnya keuntungan di Negara kita. Pun, kerajaan Jawa yang saling curiga dan tak saling dukung. Sultan dan Sunan tak bisa bersatu, apalagi pasca Perjanjian Giyanti, Jawa mudah diadu domba, dan ini jelas menguntungkan pendatang.

Abad 19 sebenarnya mulai muncul persatuan. Cikal bakal gerakan kebangsaan disadari oleh Frans Gerhardus Valck (1799-1842), pejabat tinggi Belanda yang berdinas di Jawa selama dua dasawarsa yang mencakup masa Perang Jawa dan sesudahnya. Ia menulis, “Masa tugas (saya) selama hampir dua puluh tahun di berbagai keresidenan telah memberi saya pelajaran bahwa semngat rakyat biasa Jawa bersifat menentang kita, bukan karena kita orang Belanda memperlakukan dia dengan buruk tapi karena dia diresapi rasa kebangsaan… Kendati segala ekuntungan yang ia dapat dari kita, ia tidak dapat meniadakan hasrat untuk diperintah oleh penguasanya sendiri meski mereka mungkin akan memerintah dengan lebih buruk (daripada kita)…”

Dalam kata pengantarnya, Peter Carey menulis: Sultan Hamengkubuwono IX (bertakhta 1939-1988) dalam pidatonya yang tersohor saat naik takhta pada Oktober 1940, ‘Al ben ik Westers opgevoes, ik ben en bliff een Javaan.’ Yang artinya, “Mesti berpendidikan Barat, saya adalah Jawa dan akan tetap orang Jawa.” Dan digubah oleh Peter bahwa meski berpendidikan timur, saya adalah orang Inggris dan akan tetap jadi orang Inggris.

Banyak hal bisa dipetik dan ditelaah. Seperti asal kata pajak. Pajak dan cukai utama, dari kata pajeg (Jawa ajeg = “tetap”), pajak tetap atas hasil tananh yang biasanya diserahkan dalam bentuk bahan mentah dan disebut “pajak tanah”.

Karena saya belum baca Babad Diponegoro versi manapun. Baru tahu bahwa beliau sungguh agamis. Seperti saat akan diasingkan, ia meminta syarat. “Naskah-naskah yang diminta Diponegoro kepada pemerintah kolonial agar disalin di Surakarta untuk keperluan pendidikan anak-anaknya yang lahir di tempat pengasingan di Manado (1830-1833) dan Makassar (1833-1855), adalah seluruh kisah wayang Purwa hingga Bratayudha (perang saudara akbar). Termasuk kisah-kisah kepahlawan Islam terkenal, Menak Amir Hamzah, Asmoro Supi, suatu kisah percintaan yang berkaitan dengan cerita-cerita Menak, Serat Manikmoyo, suatu naskah tentang kosmogoni atau kisah asal usul alam semesta yang berasal dari kurun mistik Islam di Kartosuro (1680-1745) yang berkaitan dengan dongeng-dongeng pertanian dan tradisi wayang, Serat Gondokusimo (Angling Driyo) dan Serat Anggraeni, satu bagian dalam cerita Panji.”

Saat perjalanan laut, pengawalnya dinasehti untuk menjaga kesehatan dan pola makan yang benar sebab beberapa awak tewas di atas kapal. Pangeran menggantungkan obat tradisional dan ramuan rempah-rempah (jamu) seperti beras kencur dan kedawung. Sang pengawal, Letnan dua Justus Heinrich Knoerle mencatat perjalanan Diponegoro, perwira Jerman kelahiran Luxemburg di atas laut selama tujuh minggu ke Manado. Serta kehidupan sehari-harinya di pengasingan, memiliki catatan paling lengkap. Sebuah rujukan berharga.

Dari Knoerle pula kita tahu, pengenalan Diponegoro terhadap watak para pejabat Eropa yang ia temui sebelum Perang Jawa di Yogya dan sesudahnya juga snagat tajam dan tepat. Diponegoro punya jiwa penyelidik dan pengetahuan yang luas mengenai apa pun, khususnya sejarah dan cerita-cerita Jawa.

Diponegoro meminum anggur putih jika ada jamuan orang Eropa, dan menurutnya tak mengapa mengingat kenyataan bahwa orang Eropa meminumnya sebagai obat penangkal mabuk akibat minum Madeira atau anggur merah, suatu pandangan yang menunjukkan Diponegoro punya penafsiran sendiri atas larangan Nabi. Tentang madat, yang dipasok orang Tionghoa, tak ada bukti Pangeran pernah menyentuhnya.

Diponegoro menyarankan agar dia melakukan dzikir rangkap empat (napi-isbat, isim, isim gaib, isim gaib-qanaib) yang cocok untuk manusia sempurna (insan kamil) dan akan membawanya pada akhir pemisahan antara hamba dan Tuhan (kawula lan gusti). Bagi yang akrab sama kesastraan mistik Jawa, jelas tak ada yang baru sebab sudah ada dalam primbon Jawa (kitab ramalan).

Diponegoro mendapat ilham kerohaniannya dari sumber-sumber tradisional dan jelas tidak tergugah dengan gerakan pembaruan Wahabi fanatic yang selama hampir dasawarsa (1803-1812) pada awal kesembilan belas menguasai jazirah Arabia, yang kemudian berpengaruh ke pulau Sumatra Barat sebelum dan selama Perang Padri (1812-1838).

Ada bagian yang luar biasa keren bab IV Ziarah ke Pantai Selatan tahun 1805 (usia 20 tahun), seolah mencari jati diri. Melakukan serangkaian kunjungan untuk menyempurnakan pendidikan kagamaan dan menemukan guru-guru yang layak membimbing perkembangan rohaninya. Dan muncullah bisikan gaib yang terkenal itu di Parang Kusomo. Dengan baju biasa, pakaian warga kebanyakan dengan sarung kasar, dan kebaya dan sorban, ia menanggalkan baju Jawa berkerah tinggi, kainm dan penutup kepala. Rutenya dari Tegalrejo ke Dhongkelan, Gua Seluman, Parang Kusomo, Samas, lalu ke Selarong, dan pulang.

Terjadi dialog dengan Nyai Roro Kidul, tentang bantuan yang akan dikirim, tapi ia menolak sebab hanya dari Allah ia berharap. Sebuah keluhuran cita-citanya dan pengorbanan yang begitu banyak untuk mewujdukannya, namun demikian, ia tetap terpesona dengan kecantikan dewi yang tak pudar.

Sebuah ramalan Sultan Agung bahw aBelanda akan menjajah Jawa selama 300 tahun setelah ia wafat pada 1646 dan bahwa walaupun seorang di antara keturunannya akan bangkit melawan, ia akan dikalahkan. Ramalan ini disampaikan ibunda Diponegoro oleh sultan Mangkubumi yang sudah sepuh.

Setiap wakil pemerintah penjajah Letnan Jenderal atau yang setara yang ditempatkan di Jawa memberi ketegangan dan kewaspadaan masing-masing. Ada yang memberi harapan, salah satunya saat Waterloo bikin janji bahwa pemerintahnnya mewakili pemerintahan baru Eropa pasca Revolusi yang arif, suatu pemerintahan yang jantung hatinya adalah “kesejahteraan” rakyat. Tentu saja, pernyataan ini adalah omong kosong belaka.

Salah satu tokoh panutan Pangeran adalah Raden ronggo yang menolak menyerah. Ia melakukan perlawanan dan menghimpun kekuatan pemberontakan, dalam suratnya kepada Notodiningrat, ia berujar, “…Saya benar-benar memohon hal ini dengan sangat dari segenap sukma dna lubuk hati saya yang paling dalam. Sungguh saya benar-benar bertujuan menyingkirkan kecemaran dari Jawa dan saya akan sangat bersyukur pada Allah sekiranya saya berhasil melakukan apa yang akan membawa kemaslatan…” Walau akhirnya tumbang juga, ia memberi teladan mati syahid. Melawan penindasan, tak mau menyerah begitu saja.

Dan sekali lagi, ketidakmampuan kalangan atas Yogya membaca tanda-tanda zaman dalam percaturan sejarah dunia dan menyesuaikan diri dengan tata internasional yang berubah cepat akan mengakibatkan malapetaka. Buku ini diakhiri jatuhnya kerajaan Yogya pada bulan Juni 1812 setelah dibombardir artileri beberapa hari. Sebuah ujung tahap awal. Inggris yang digdaya, tapi tak lama sebab ini adalah tatanan mula, sebuah pra perang besar sedekade kemudian. Mari kita simak jilid 2-nya.

Di rak sudah ada Jilid 2 dan 3, mungkin tak terlalu tergesa, santuy saja. Tak seperti buku ini yang lebih semangat memulai, seri berikutnya akan kubaca disela bacaan lain. Nama Raffles berulang kali disebut, bukunya The History of Java yang tebal itu jadi rujukan. Begitu juga Babad Tanah Jawa dan Babad Diponegoro (banyak versi) sering dikutip. Rasanya keduanya masuk daftar wajib kejar. Buku tebal nan mahal, mungkin bisa setahun kemudian masuk rak, kudu nabung dulu.

Sulit memilih antara kenyataan dan mitos mengenai Pangeran. Seorang pengeran dengan sosok manusia biasa yang snagat jauh dari sempurna dan penggemar perempuan tentulah tak cocok dengan ‘sejarah nasional’ Indonesia dewasa ini.

Luar biasa. Buku bagus, hampir 400 halaman kubaca dalam tempo dua hari. Sabtu (30/07/22) pagi sebelum nyupir ke SDIT al Madinah, kulanjutkan di sana di gazebo taman belakang di lantai atas, lalu malam Minggu di Blok H hingga hampir tengah malam. Minggu pagi (31/07/22) kugas lagi di rumah, dan seharian dalam cuaca Karawang yang panas, akhirnya selesai setelah Isya di lantai atas Blok H. Padahal ini buku non fiksi, buku sejarah yang biasanya sulit ditelaah. malah setiap lembarnya mencipta penasaran. Beginilah buku harusnya dibuat, buku sejarah dicipta fun dan sangat amat bervitamin. So lucky, bisa menikmati buku bagus, setiap menitnya menghujam kenyamanan hati. Love, love, love.

Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785 – 1855 Jilid 1 | by Peter Carey | Judul asli The Power of Prophect: Pince Dipanagara and the end of an old order in Java, 178-1855, second edition | Copyright 2007 Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde | Penerjemah KPG | KPG 901110487 | November 2011 | Cetakan kedua, April 2012 | Penerjemah Parakitri T. Simbolon | Penyunting Christina M. Udiani | Perancang sampul Wendie Artswenda | Penataletak Dadang Kusmana | XLVI + 397 hlm.; 15 cm x 23 cm | ISBN 978-979-91-0393-2 | Ilustrasi sampul “De onderwerping van Diepo Negoro aan Luitenant-General De Kock, 28 Maart 1830” (Penyerahan diri Diponegoro kepada Letnan-Jenderal De Kock, 28 Maret 1830) oleh Nicolaas Pieneman (1809-1860) | Foto seizing Rijksmuseum, Amsterdam | Skor: 5/5

Karawang, 020822 –Sarah Vaughan – But Not for Me

Dipersembahkan kepada keluarga dan keturunan Pangeran Diponegoro. Dengan penuh hormat dan takzim

Thx to Justin Secondbook, Jakarta

130 Buku Rentang Setahun

Orang-orang dari masa lalu ini memang benar-benar berkomplot untuk membingungkanku.”Mahfud Ikhwan dalam Anwar Tohari Mencari Mati

Tahun 2020 saya buat daftar terbaik-terbaik dalam dua versi: Fiksi dan Non-Fiksi. Kali ini akan saya pecah lagi untuk fiksi jadi lokal dan terjemahan, kalau tidak kupecah yang terjemahan terlalu mendominasi.
130 buku yang kulahap dengan nyaman. Padahal kalau mau hitung belanja bukunya bisa empat kali lipat, artinya hanya seperempat yang selesai. Betapa banyak yang numpuk. Tahun ini, saya coba rem belanja buku, yah beberapa toleransi tetap gas, tapi kalau rutin tak akan segila. Berikut rekap baca 2021.

*I. Januari – 10 buku
Awal tahun sengaja kumulai dengan bacaan bagus, Pi memenuhi ekspektasi itu.

#1. The Life of Pi by Yann Martel

Tentang bertahan hidup di tengah samudera.

#2. Dari Kekalahan ke Kematian by Mahfud Ikhwan

Tentang Timnas kita yang payah.

#3. Oliver’s Story by Erich Segal

Tentang pilihan pasangan setelah menduda.

#4. My Beautiful Feeling by Walter & Ingrid Trobisch

Tentang remaja dan kegalauannya.

#5. Mata dan Riwayat Semesta by Wija Sasmaya

Tentang puisi dan pewayangan.

#6. Memoar Ronny Patinasarany by Andreas J. Waskito

Tentang perjuangan sang legenda.

#7. Pembunuh by Rayni N Massardi

Tentang jiwa yang marah.

#8. Kuntilanak Pondok Indah by Lovanisa

Tentang rumah angker di tanah elite.

#9. Zarathursta by Frederick Nietschie

Tentang falsafah hidup sang petualang.

#10. Si Lugu by Voltaire

Tentang pertaruhan hidup di penjara.
*II. Februari –10 buku
Terbaik, memoar Bung Karno akhirnya berhasil kutuntaskan. Tentu saja jadi terbaik bulan ini.

#11. Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat by Cindy Adams

Tentang riwayat sang proklamator.

#12. Menumis itu Gampang, Menulis Tidak by Mahfud Ikhwan

Tentang sulitnya menulis. Apa saja.

#13. Mencari Setangkai Daun Surga by Anton Kurnia

Tentang sastra dan ruang lingkupnya.

#14. White Tiger by Aravind Adiga

Tentang sopir kere yang merdeka.

#15. Tanah Tabu by Anindita S. Thayf

Tentang Papua yang bergolak.

#16. Pribadi Mempersona by La Rose

Tentang tips-tips wanita menghadapi pria.

#17. Rahasia Nama-nama Islam by Annemarie Schimmel

Tentang sejarah nama-nama bangsa Arab.

#18. Lockwood and Co. by Jonathan Stoud

Tentang fantasi mengatasi hantu.

#19. The Joy Luck Club by Amy Tan

Tentang imigran Amerika dalam perkumpulan.

#20. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer by Jujun S. Suriasumantri

Tentang filsafat dibuat fun.
*III. Maret – 10 buku
Maret ini baca ulang Narnia 4 yang luar biasa sama Hermione, dan sekuel Dawuk yang dahsyat.

#21. The Chronicles of Narnia: The Silver Chair C.S. Lewis

Tentang perjalanan ke Utara jauh.

#22. Anwar Tohari Mencari MatiMahfud Ikhwan

Warto Kemplung kembali membual.

#23. The Last JurorJohn Grisham

Tentang pemilihan juri, ada warga kulit hitam pertama.

#24. Negeri SenjaSeno Gumira Ajidarma

Tentang negeri antah surantah.

#25. The Alchemist Paulo Coelho

Tentang perjalanan ke Mesir mencari harta karun.

#26. Dubi Dubi DumaEsthy Wika

Tentang tata kelola mengasuh buah hati.

#27. Tasawuf Dipuja Tasawuf DibenciMukhlis, S.Pd.I., M.Ag

Tentang para sufi dari masa ke masa.

#28. Pendeta YonasLa Rose

Tentang pendeta muda yang tergoda janda.

#29. Kuda Kayu TerbangYanusa Nugroho

Tentang keluh kesah naik bianglala.

#30. Q & ASherina Salsabila

Tentang romansa anak SMA.
*IV. April – 4 buku
Penuh salju, tebal, keren, lelah.

#31. Kitab Writer Preneur by Sofie Beatrix

Tentang perjalanan penyair pulang kampung Turki, dan efeknya.

#32. Pinky Promise by Kireina Enno

Tentang perempuan-perempuan tegar.

#33. Snow by Orhan Pamuk

Tentang syair yang dingin dan beku.

#34. Belajar Mencintai Kambing by Mahfud Ikhwan

Tentang pilihan sepeda atau kambing?
*V. Mei – 11 buku
Haruki Murakami tetap melaju dengan nyaman dan indah.

#35. Luka Batu by Komang Adyana

Tentang tradisi dan keseharian di Bali.

#36. Angel of Darkness (Sheldon’s Series) by Tilly Bagshawe

Tentang pembunuhan berantai dengan tertuduh si innocent.

#37. Tsukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya by Haruki Murakami

Tentang cinta lama dan persahabatan, selamanya.

#38. Renungan Kloset by Rieke Dyah Pitaloka

Tentang kritik dan opini yang dihasilkan dari toilet.

#39. Civilization and Its Discontents by Sigmund Freud

Tentang budaya dan muatannya.

#40. The Man Who Loved Books Too Much by Allison Hoover Bartlett

Tentang pencuri buku yang gila.

#41. Aku dan Film India Melawan Dunia Buku I by Mahfud Ikhwan

Tentang kegemaran film India, melawan arus.

#42. Kritikus Adinan by Budi Darma

Tentang pengadilan yang tak adil.

#43. Seni Menulis by Haruki Murakami

Tentang tips menulis dari maestro.

#44. Cinta Bagai Anggur by Syaikh Muzaffer Ozak

Tentang sufi awal ke Amerika.

#45. Narsisme by Sigmund Freud

Tentang kebiasaan menampakkan diri ke publik.
*VI. Juni – 14 buku
Banyak baca, sebab melakukan isoman. Mayoritas ternyata tipis-tipis, pantas banyak. Terbaik jelas Pasar, buku pertama Bung Kontowijoyo.

#46. The Street Lawyer by John Grisham

Tentang kebaikan memihak para gelandangan dengan jadi pengacara mereka.

#47. Kanuku Leon by Dicky Senda

Tentang kehidupan mistik di tengah modernitas.

#48. Pasar by Kuntowijoyo

Tentang orang-orang pasar dan pusarannya.

#49. The Mummy by Anne Rice

Tentang mumi yang bangkit di masa kini setelah tertidur panjang.

#50. Putri Cina by Sindhunata

Tentang legenda putri Cina dan keturunannya di Indonesia.

#51. Isinga: Roman Papua by Dorothea Rosa Herliany

Tentang cinta diputus paksa dan dirajut ulang.

#52. Mati Bahagia by Albert Camus

Tentang pencarian makna hidup yang lapang.

#53. Lotre by Shirley Jackson

Tentang kebiasaan main lotre di tengah masyarakat yang manjemuk.

#54. Bisik Bintang by Najib Mahfuz

Tentang orang-orang Mesir dalam berbagai silang pendapat.

#55. Komune Paris 150

Tentang masa revolusi, kudeta gagal dan efek panjangnya.

#56. Misa Ateis by Honore de Balzac

Tentang kematian yang abadi.

#57. Sumur by Eka Kurniawan

Tentang cinta bersemi di sumur lalu ditenggelamkan masa.

#58. 100 Film by Ibnu M. Zain

Tentang rekap film terbaik sepanjang masa.

#59. Therese Desqueyroux by Francois Charles Mauriac

Tentang cinta dan kegilaan, pasangan aneh saling mengisi.
*VII. Juli – 5 buku
Terbaiknya tentu Geisha, tapi memang tertebak kan. Yang mengejutkan Pseudonim, lokal yang bagus. Rekomendasi.

#60. Memoirs of Geisha by Arthur Golden

Tentang memoar geisha zaman sebelum dan sesudah Perang Dunia II.

#61. Who Moved my Cheese? By Spencer Johnson

Tentang keberanian melawan kebiasaan, berani mengambil tindakan radikal.

#62. The March by E.L. Doctorow

Tentang perang saudara Amerika.

#63. Pseudonim by Daniel Mahendra

Tentang penulis galau yang jatuh hati sama calon dokter.

#64. Kampus Kabelnaya by Koesalah Subagyo Toer

Tentang pengalaman kuliah di Rusia.
*VIII. Agustus – 12 buku
The Dante Club terbaik, lika-liku proses alih bahasa buku legendaris.

#65. The Summons by John Grisham

Tentang panggilan mendadak orangtua untuk mudik, dan misteri besar di baliknya.

#66. Malapetaka Indonesia by Max Lane

Tentang sejarah kelam ’65.

#67. Dari Belakang Gawang by Mahfud Ikhwan & Darmanto Simaepa

Tentang rona-rona bola dalam esai duet.

#68. Sosiologi by Drs. Soedjono D. SH

Tentang teori sosiologi yang panjang merentang.

#69. Upacara Bakar Rambut by Dian Hartati

Tentang adat dan efeknya.

#70. Jalan Udara by Boris Pasternak

Tentang gejolak Rusia di masa perang dingin.

#71. The Dante Club by Matthew Pearl

Tentang Amerika yang mencoba menerima puisi Dante, biasalah selalu ada yang menentang, atau terinspirasi?

#72. Kota Kucing by Haruki Murakami

Tentang kota antah misterius, kereta berhenti di negeri aneh.

#73. Penyair Revolusioner by Deddy Arsya

Tentang syair-syair meledak.

#74. Firebelly by J.C. Michaels

Tentang katak yang menekuri hidup.

#75. Zahiya by Najib Mahfuz

Tentang kafe dan masyarakat di sekitarnya.

#76. The Things They Carried by Tim O’Brien

Tentang perang Vietnam, barang-barang seberat itu dibawa menjelajah.
*IX. September – 10 buku
Buku-buku bagus, terbaik Eichmann in Yerusalem. Dibuat dengan intensitas ketegangan proses pengadilan.

#77. Breaking PoetryAntologi

Jelex.

#78. The NotebookNicholas Spark

Tentang manula yang hilang ingatan, dan coba dingatkan pasangan.

#79. Eichmann in YerusalemHannah Arendt

Tentang proses pengadilan kejahatan perang di tubuh Nazi.

#80. IdentityMilan Kundera

Tentang pasangan galau, krisis identitas.

#81. The Silence of the LambsThomas Harris

Tentang pembunuh berantai membantu memecahkan kasus pembunuhan berantai.

#82. Think Like a FreaksSteven D. Levitt & Stephen J. Dubner

Tentang pemikiran aneh untuk hasil luar biasa.

#83. The Return of the Young PrinceAG Roemmers

Tentang pangeran dan sopirnya dalam perenungan di jalan.

#84. BibirKrishna Mihaedja

Tentang ucapan yang mencipta dengung apa saja.

#85. Perkara Mengirim Senja –Tribute untuk SGA

Tentang senja dan segala isinya.

#86. Haniyah dan Ala di Rumah TeterugaErni Aladjai

Tentang kehidupan di kebun teh.
*X. Oktober – 14 buku
Rerata bacaan Kusala Sastra, terbaiknya tetap Haruki. Akhirnya buku 900 halaman itu selesai baca.

#87. Damar KambangMuna Masyari

Tentang adat Madura yang keras.

#88. Yogya YogyaHerry Gendut Janarto

Tentang nostalgia ke Yogya.

#89. Rekayasa BuahRio Johan

Buku jelex lagi.

#90. Looking for AlaskaJohn Green

Tentang pencarian jati diri remaja.

#91. Semesta MurakamiJohn Wray, dkk

Tentang kehidupan yang idola.

#92. Anak Asli Asal MappiCasper Aliandu

Tentang pengalaman mengajar di Papua.

#93. Jalan MalamAbdul Wachid B.S

Tentang muhasabah dan ziarah dalam bait.

#94. Segala yang Diisap LangitPinto Anugrah

Tentang Islamisasi di Sumatra.

#95. Revolusi NuklirEko Damono

Tentang masa depan yang misterius.

#96. Bunga Kayu ManisNurul Hanafi

Tentang pasangan saling menghargai.

#97. Cerita-cerita yang Sedih dan MenakjubkanRaudal Tanjung Banua

Tentang masa lalu dalam dongeng.

#98. Kronik Burung PegasHaruki Murakami

Tentang suami yang ditinggal istri.

#99. Ramuan Penangkal Kiamat Zelfeni Wimra

Tentang dahwah yang hakiki.

#100. The Homeless BirdGloria Whelan

Tentang remaja janda yang kehilangan rumah.
*XI. November – 15 buku
Nama besar Terry Pratchett, ini novel pertamanya yang kuselesaiakan. Memang warbiasa.

#101. Moby DickHerman Merville

Tentang perburuan paus istimewa.

#102. The Great Guest RescueEva Ibbotson

Tentang penyelamatan hantu-hantu terusir.

#103. The Black CatEdgar Allan Poe

Tentang mitos dan horror tersaji.

#104. Pria Cilik MerdekaTerry Pratchett

Tentang perjuangan menyelamatkan saudara di negeri berantah.

#105. BuddhaDeepak Chopra

Tentang riwayat Buddha dari lahir hingga mencapai nirwana.

#106. Melipat JarakSapardi Djoko Damono

Tentang waktu yang relatif.

#107. Cara Mencari Kawan dan Mempengaruhi OrangDale Carnegie

Tentang upaya membuat takjub orang lain.

#108. Kembang SepasangGunawan Maryanto

Tentang budaya Jawa dalam pentas.

#109. Klik!Nick Hornby, dkk

Tentang kamera bergenerasi berikut.

#110. 1 Perempuan 14 Laki-lakiDjenar Maesa Ayu

Tentang kopi dan cipta karya per kalimat.

#111. Arang PerempuanArini Hidajati

Tentang perempuan tegar dan sendu.

#112. Seekor Anjing Mati di Bala MurghabLinda Christiany

Tentang perang dan efeknya.

#113. Puisi Baru Sutan Takdir Alisjahbana

Tentang puisi lama tahun 40-an ke bawah.

#114. A Golden WebBarbara Quick

Tentang dokter perempuan pertama yang menemukan alir darah dalam tubuh.

#115. DepresiDr Paul Hauck

Tentang tata cara menghadapi stress.
*Desember – 15 buku
Akhir tahun terbaik sekuel Little Women. Keren abis.

#116. Kau Gerimis dan Aku Badai by Wahyu Heriadi

Tentang puisi kehidupan.

#117. Rumah Mati di Siberia by Fyodor Dostoevsky

Tentang orang-orang terpenjara di sana.

#118. The March’s Captain by Geraldine Brooks

Tentang detail ayah/suami di medan perang.

#119. Jatisaba by Ramadya Akmal

Tentang kehidupan desa yang keras dalam pemilihan Lurah.

#120. Asal Muasal Pelukan by Candra Malik

Tentang pelukan melibat dua individu, ada sejarahnya.

#121. Nama Saya Tawwe Kabota by Mezra E. Pellondou

Tentang pria nakal yang menyesali banyak hal.

#122. Adu Jotos Lone Ranger dan Tonton di Surga by Sherman Alexie

Tentang kehidupan di revervasi.

#123. Cinderella Man by Marc Cerasini

Tentang petinju 30-an yang fenomenal.

#124. The Runaway Jury by John Grisham

Tentang pemilihan juri dan kasus rokok heboh.

#125. Sang Belas Kasih by Haidar Bagir

Tentang tafsir surat Ar-Rahman.

#126. Manajemen Strategik Koperasi (kolabs)

Tentang koperasi dan strategi pengembangan.

#127. My Grandmother asked me to tell you She’s Sorry by Frederick Backman

Tentang cucu yang memiliki tugas menyampaikan surat-surat Sang Nenek.

#128. My Sister’s Keeper by Jodi Picoult

Tentang Si Bungsu yang melawan.

#129. Penjual Bunga Bersyal Merah by Yetti A. KA

Tentang penjual bunga di pinggir jalan.

#130. Malam ini Aku Tidur di Matamu by Joko Pinurbo

Tentang rona-rona dalam bait.

Lakukan apa yang kamu senangi, selama tak menyusahkan orang lain itu baik. Membaca buku jelas ada di urutan atas daftar kenikmatan hidup. Saya takkan mengeremnya, saya jalani dengan nyaman dan damai. Bagaimana tahun ini? sepertinya tak akan jauh beda. Sehat-sehat semuanya. Salam Literasi dari Karawang, dengan cinta.

Karawang, 030221 – Steve Goodman – The Dutchman

Terima kasih buat seluruh penjual buku, kalian luar biasa, kalian keren!

Orang-orang di Masa Lalu yang Telah Meninggalkan Cerita ke Masa Mendatang


Segala yang Diisap Langit oleh Pinto Anugrah

“Tatapanmu, tatapan pesimis dan penuh amarah! Tidak baik memelihara tatapan seperti itu! Setan-setan akan senang di dalamnya, mereka akan berpesta pora di matamu!”

Ringkas nan memikat. Hanya seratusan halaman, kubaca sekali duduk selama satu setengah jam pada Sabtu, 16 Oktober 2021 selepas Subuh. Langsung ke poin-poin apa yang hendak dituturkan. Tentang Islamisasi di tanah Sumatra di masa Tuanku Imam Bonjol. Mengambil sudut pandang sebuah keluarga lokal yang kalah dan tersingkir. Segalanya jelas, tapi akan mencipta keberpihakan abu-abu.

Kisahnya di daerah Batang Ka, negeri di tenggara Gunung Marapi, Sumatra. Dibuka dengan pasangan suami istri yang absurd. Bungi Rabiah mendamba anak perempuan sebagai penerus sebagai pelanjut lambang kebesaran dari Rumah Gadang Rangkayo, suaminya Tuanku Tan Amo yang gila perempuan sudah punya banyak istri, Bungo Rabiah sebagai istri kelima. Memang ingin dimadu sama bangsawan. Terjadi kesepakatan di antara mereka, bagaimana masa depan generasi ini harus diselamatkan.

Rabiah memiliki hubungan gelap dengan saudara kandungnya Magek Takangkang/Datuk Raja Malik, satu ibu beda bapak. Dorongan yang begitu besar dari dirinya untuk tetap menjaga kemurnian darah keturunan Rangkayo. Ia tak mau darah keturunan Rangkayo ternoda dengan darah-darah yang lain. Mereka memiliki anak Karengkang Gadang yang bandelnya minta ampun, sejak tahu hamil, Rabiah langsung mencari suami, seolah asal ambil, ia menikah dengan pekerja kasar saat Magek Takangkang sedang dalam perjalanan bisnisnya. Pilihan langsung jatuh kepada Gaek Binga, bujang lapuk yang bekerja sebagai pemecah bukit pada tambang-tambang emas di tanahnya. Sudah bisa ditebak, pernikahan ini kandas dengan mudah, memang hanya untuk status sahaja. Rabiah lalu menikah lagi dengan Tan Amo, seperti yang terlihat di adegan pembuka.

Karengkang Gadang tukang mabuk dan judi. Hidupnya kacau, sakaw karena narkoba dan nyaris mati. Tan Amo mabuk perempuan, menggoda sana-sini walau sudah punya banyak istri. Kesamaan keduanya adalah judi, ia sering kali memertaruhkan banyak harta, termasuk perkebunan. Suatu hari desa mereka kena serang. Seranganya yang memporakporandakan wilayah sekitar itu kini menyambangi mereka. Satu lagi, Jintan Itam yang merupakan anak pungut yang dibesarkan seolah anak sendiri, mengabdi tanpa pamrih. Ia mewarnai kekacauan keadaan dengan pelayanan memuaskan.

Pasukan putih, tanpa menyebut secara terbuka ini adalah pasukan Tuanku Imam Bonjol yang terkenal itu, kita tahu ini adalah Jihad penyebaran agama Islam. Mereka juga memakai sebutan Tuanku untuk orang-orang terhormat bagi mereka. Nah, di sinilah dilema muncul. Magek kini jadi bagian dari pasukan ini, Magek Takangkang, Datuk Raja Malik yang mengganti nama Kasim Raja Malik, ia menjadi panglima yang paling depan mengangkat pedang dan menderap kuda. Pilihan bagi yang kalah perang hanya dua: mengikuti ajaran baru, atau mati. Ia tak pandang bulu meratakan daerah manapun.

Sebagian warga yang sudah tahu, memilih kabur. Yang bertahan luluh lantak, adegan keluarga Bungo ini ditaruh di ujung kisah. Drama memilukan, tak perlu kita tanya apakah Sang Kasim tega membinasakan keluarganya demi agama baru ini? Ataukah hatinya tetap tersentuh. Jangankan keluarganya, pusaka pribadinya yang mencipta dosa sahaja ia siap musnahkan. Dunia memang seperti itu, penuh dengan makhluk serba unik dan aneh. Kalau sudah ngomongin prinsip hidup, segalanya memang bisa diterjang, segalanya diisap langit!

Tanpa perlu turut mendukung pihak manapun, pembunuhan adalah salah. Apalagi pembunuhan dengan membabi buta, dengan bengis dan amarah memuncak. “Kau! Kelompokmu! Tuanku-tuanku kau itu! Hanya orang-orang kalah pada kehidupan, lalu melarikan diri kepada Tuhan!”

Tanpa bermaksud mendukung atau menhujat pihak manapun, selingkuh adalah salah, hubungan incen juga salah, judi, mabuk, narkoba jelas salah. Lantas bagaimana kita menempatkan diri? Dunia memang seperti itu, mau zaman dulu dan sekarang sama saja, hanya teknologinya saja yang berubah. Kalau mau objektif, semua karakter ini pendosa, dan saat bertaubat, ia memilih jalan yang keras, dan yah, salah juga mengangkat pedang. Kalau zaman sekarang, menyandang bom untuk menegakkan bendera agama dengan meledakkan diskotik misalkan, tetap saja salah. “Atas nama agama, katanya!”

Perjuangan melawan semacam kutukan juga terlihat di sini. Rabiah! Ingat, kau adalah keturunan ketujuh dan kutukan kepunahan pada keturunan ketujuh akan menghantuimu. Munculnya karakter minor yang ternyata memiliki peran penting dirasa pas. “Apakah orang-orang mencatat apa-apa yang pernah terjadi pada masa lampau kita, Jintan?” Maka akhir yang manis dengan api berkobar sudah sungguh pas.

Overall ceritanya bagus, tak njelimet, jadi sungguh enak dilahap. Benar-benar clir semuanya, apa yang mau disampaikan juga jelas, silsilah di halaman depan mungkin agak membantu, tapi untuk kisah seratusan halaman, rasanya tak diperlukan. Mungkin salah satu saran, jangan terlalu sering menggunakan tanda perintah (!) terutama untuk kalimat langsung. Mungkin maksudnya marah, atau meminta, atau memerintah, tapi tetap kubaca jadi kurang nyaman. Atau semuanya berakhiran dengan tanda itu dan tanda tanya (?)? contoh kalimat-kalimat langsung yang sebenarnya bisa dengan tanda titik (.), atau ada yang salah dengan tanda ini. (1) “Memang kita tidak akan mengerti, jika mengerti berarti kita selamat di ambang zaman ini!”; (2) “Sebentar lagi kita akan punah! Semuanya akan habis! Saya lebih peduli akan hal itu. Saya dan Rumah Gadang ini, tidak ingin hilang begitu saja, makanya perlu ada yang mencacat! Perlu dicatat!” (3) “Saya telah memilih jalan ini, Tuanku! Maka, saya pun akan berjuang sampai titik darah penghabisan, Tuanku!”; dst…

Prediksiku, buku ini laik masuk lima besar. Kisahnya sudah sangat pas, tak perlu bertele-tele, langsung ‘masuk’ ke intinya. Kursi goyang yang mewarnai kenyamanan hidup hanya selingan bab mula, masa kolonial yang keras bahkan tak disebut dan tak dikhawatirkan. Pasukan Padri, pasukan lokal yang perkasa malah justru yang mencipta khawatir. Rasanya banyak hal yang disampaikan, dan memang sepantasnya tak disampaikan sebab bersisian sejarah. Lihat, cerita bagus tak harus njelimet dan melingkar mumet bikin pusing pembaca, inti cerita yang utama.

Aku tutup catatan ini dengan kutipan dari Matthew Pearl, penulis The Dante Club ketika diwawancarai terkait cerita fiksinya yang bersetting sejarah Amerika, ia menjawab; “Saat Anda menulis fiksi sejarah, Anda harus tahu detail-detail tokohnya: makanan apa yang mereka santap ketika sarapan, apa jenis topi yang mereka kenakan, bagaimana cara mereka beruluk salam ketika saling bertemu di jalan.”

Segala yang Diisap Langit sukses menerjemahkannya.

Segala yang Diisap Langit | oleh Pinto Anugrah | Cetakan pertama, Agustus 2021 | Penyunting Dhewiberta Hardjono | Perancang sampul Bella Ansori | Pemeriksa aksara Yusnida, Nurani | Penata aksara Labusian | Penerbit Bentang | vi + 138 hlm.; 20.5 cm | ISBN 978-602-291-842-4 | ISBN 978-602-291-843-1 (EPUB) | ISBN 978-602-291-844-8 (PDF) | Skor: 4/5

Terima kasih untuk istri tercinta, Welly Zein

Karawang, 181021 – Fourplay (feat. El Debarge) – After the Dance

*Enam sudah, empat gegas.

**Thx to Titus, Karawang. Thx to Stanbuku, Yogyakarta.

***Judul catatan kuambil dari ucapan terima kasih penulis di halaman awal berbunyi: “Dan, terima kasih untuk orang-orang di masa lalu yang telah meninggalkan cerita ke masa mendatang.”

#Januari2021 Baca

Saya masih memberi kesempatan kepada klub-klub untuk kembali ke kompetisi yang resmi. Paling tidak sampai Senin ini. Ya, paling lambat Senin malamlah.”Johar Arifin dalam buku Dari Kekalahan ke Kematian (Mahfud Ikhwan)

Awal tahun yang padat. Saya sudah coba baca santai, tapi kondisi malah mencipta waktu luang lebih banyak. Saya kena shift seminggu masuk jam 12:00 karena pembatasan skala besar Karawang. Maka punya waktu baca pagi lebih panjang habis subuh sampai jam 09:00, luar biasa pagiku benar-benar melimpah.

Dimula dengan Zarathustra di tanggal 1 selesai tepat 31, lalu diselingi buku-buku lain yang lebih ringan. Gila, buku berat dan melelahkan. Namun kelar juga, tepat sebulan! Buku baru sudah Sembilan paket, jadi tumpukan masih sangat tinggi. Semangat!

Segala genre saya lahap!

#1. Life of Pi by Yann Martel

Fantasi atau fakta? Ada dua cerita, yang pertama bersama sesekoci sama macan yang tak bisa dilogika, yang kedua bersama pembunuh yang terbunuh. Endingnya dijelaskan, tapi tetap absurd. Begini seharusnya cerita sebuah perjalanan dibuat. Kalau kita, para warga negara, tidak memberikan dukungan kepada seniman-seniman kita, berarti kita telah mengorbankan imajinasi kita di altar realitas yang kejam, dan pada akhirnya kita jadi tidak percaya pada apa pun, dan mimpi-mimpi kita tidak lagi berarti. Jelas novel yang laik didiskusikan lanjut.

Jangan sampai patah semangat, boleh merasa kecil hati tapi jangan menyerah. Ingat semangat sangat penting, melebihi lain-lainnya. Kalau Anda memiliki kemauan untuk hidup, Anda pasti bisa bertahan.”

#2. Dari Kekalahan ke Kematian by Mahfud Ikhwan

Cak Mahfud memang jaminan, sejauh ini. Ini buku kedua tentang sepakbola yang kunikmati, jelas lebih baik ketimbang rangkuman review per pekan sepakbola Eropa dalam ‘Sepakbola Tak Akan Pulang’. Kali ini fokus ke cerita lokal, mayoritas diangkut dari blog-nya belakanggawang.blogspot.com yang diampu bersama Bung Darmanto Simaepa. Sobatnya tersebut, ternyata sobat kental beberapa kali disebut menjadi teman curhat dan nonton bareng. Setara Grandong yang jadi sobat misuhi Liverpool dengan kepleset Gerard-nya. Masih ingat review buku Tamasya Bola? Kata Pengantarnya keren sekali oleh Cak Mahfud, di Dari Kekalahan, dibalik. Pengantarnya oleh Darmanto, panjang meliuk-liuk liar, dan muatan isi bukunya segaris lurus.

Barangkali sepakbola unik karena ia bisa memberikan harapan berulang kali.”

#3. Oliver’s Story by Erich Segal

Kisah cinta lanjutan. Memang sulit melanjutkan cerita wow, atau setidaknya menyamai. Sekuel yang mengalami penurunan kualitas, tapi masih bagus sebab endingnya pahit, cara berceritanya bagus, pemilihan plotnya lumayan juga. Tak seperti kebanyakan cerita romantis yang mellow. Sesuai harapan, untung sekali mereka ambyar. Walau alasannya terlalu politis, terlalu kurang alami, sekalipun itu terkait aturan birokrasi, menentang prinsip hidup, idealism yang dipegang, sebagai Sarjana Hukum ia jelas menentang eksploitasi anak-anak untuk bekerja, tapi kisah ini jadinya malah muluk, dan adegan Hongkong itu jauh dari kesan asyik seperti eksekusi di Rumah Sakit, ending luluh lantak sebelumnya. Seperti kata Jimi Hendrix waktu Woodstock.

Keadaan cukup buruk dan dunia ini perlu dibersihkan.”

#4. My Beautiful Feeling by Walter & Ingrid Trobisch

Masturbasi perempuan. Tema yang tabu dari dulu, bahkan sampai era digital ini. Di sini dikupas panjang, dari surat-surat remaja Jerman di masa SMA hingga kuliah, surat-surat pribadi itu dikirim ke seorang psikolog yang biasa mengisi rubrik di Koran nasional tentang tanya-jawab pembaca. Lalu, entah apakah surat ini ditayangkan atau tidak, malah dibukukan. Ini adalah buku kedua terbitan BPK yang kubaca, setelah curhat masa muda Indonesia tahun 1980-an dengan Suhartin, apa yang harus saya lakukan?

Kalau kau tahu tujuannya, kau dapat menemukan jalannya.”

#5. Mata dan Riwayat Semesta by Wija Sasmaya

Buku tipis yang aslinya hanya berisi 75 halaman. Namun menjadi dua kali lipatnya sebab buku ini bilingual, diterjemahkan jua ke dalam Bahasa Inggris. Dicetak bolak-balik, tapi karena saya saat ini nyaman dengan Bahasa Indonesia, dan celetuk, ‘kurasa buat apa membaca Inggris-nya toh, isinya sama’, maka buku ini hanya kunikmati separuh. Separuhnya bagaimana, mungkin suatu hari nanti kubaca lagi, entah kapan, yang jelas bukan dalam waktu dekat. Dua kali saya memiliki dua sejenis ini, yang pertama karya Marga T, versi separuh asing jelas ku-skip. Benar-benar tak rekomendasi deh ide bikin bilingual gini, boros kertas. Kecuali diterjemahkan, lalu dijual terpisah, jelas itu lain soal sebab tak menempel langsung.

Hidup itu ibarat cuma mampir minum, dan sebaik-baiknya minum tentu minum air jernih yang menyejukkan jiwa.

#6. Memoar Ronny Patinasarany by Andreas J. Waskito

Memoar yang berkesan, jadi tahu detail era emas Timnas Indonesia-pun penuh intrik politik. Bagaimana ia dilarang merokok, tak mau nurut dicoret dari skuat, lalu hukuman lama itu dikurangi menjadi beberapa bulan. Buku ini gambaran umum saja, dari karier bolanya yang cemerlang dari Makassar, Surabaya, hingga Jakarta. Bagaimana ia menjadi pegawai Bank BNI, menjadi pencari bakat, lalu musibah kanker yang dialami. Sepertiga akhir adalah masa sulit, pengobatan ke China hingga akhir hidupnya. Lalu sebelum epilog sang istri, kita menyimak pendapat beberapa rekan, keluarga, dan bosnya. Buku yang padat dan emosional.

Kalaupun anak saya meninggal, dia meninggal dalam kasih sayang saya. Saya rela menghilangkan harga diri, popularitas, hidup… tapi saya tidak pernah rela kehilangan kasih sayang saya kepada keluarga.”

#7. Pembunuh by Rayni N Massardi

Dengan kata pengantar oleh maestro sastra kita, Seno Gumira Ajidarma, sesuatu yang sangat menjual dicetak tahun 2005, di mana dunia sedang mengalami proses transisi ke data digital besar-besaran, apa yang disampaikan secara garis besar mewakili kehidupan kaum urban kebanyakan. Wanita karier yang bosan di ibukota, kekejaman vonis keluarga atas nasib tak bagus saudara dalam acara ngumpul rutin, gadis desa yang merantau, keputusan penting jadi mudik ke Indonesia atau menetap di tanah orang, istri yang cerewet atas kesetiaan suami, kehidupan pagi di stasiun kereta, sampai kehidupan rutin di kantor yang mencipta ‘demo’ akan mesin pencatat kehadiran.

Kita tidak mungkin bangga akan orang lain, tapi dapat bangga pada diri kita sendiri.”

#8. Kuntilanak Pondok Indah by Lovanisa

Cerita yang aneh, tapi lumayan menghibur juga. Nama-nama karakter utamanya kebarat-baratan semua: pearly (putih dan berkilau seperti mutiara), Cherie (siapanya Cher?), Shena x Xena, dst. Pola hidup orang kota yang kental, jelas kalangan menengah atas: rutin ke salon, makan pizza, naik Yaris, kos? Sewa pembantu merangkap chef merangkap intel dong, mainnya bilyar, di sini disebut Four Hole, mungkin diselingi miras dan obat, tapi tak boleh disebut kena rating ntar. Lupakan logika sebab memang ini buku fun aja, bedakan ‘di’ disambung dan ‘di’ dipisah saja sulit. Bahasanya gaul, lo gue end, No Prob. Melamar pakai cincin berlian dengan mata berwarna putih dikelilingi permata-permata kecil. Romantis itu pakai kawat yang disambung, tapi ya tak level-lah. Liburan? Ke Bali sewa vila, semudah mengucapkan pesan nasi orek di Warteg.

Mana gue tahu, lo sih Conan bukan, FBI juga bukan, sok-sokan main selidik-selidik aja.”

#9. Zarathustra by Frederick Nietzschie

Buku yang luar biasa (membingungkan). Kubaca ditanggal 1 Januari di rumah Greenvil sebagai pembuka tahun, di tengah mulai kehilangan arah (bosan dan mumet), maka kuselipkan bacaan-bacaan lain yang setelah bulan berganti kuhitung ada 9 buku, tapi tetap target baca kelar buku ini di bulan Januari terpenuhi tepat di tanggal 31 di lantai 1 Blok H, walau tersendat dan sungguh bukan bacaan yang tepat dikala pikiran mumet. Awal tahun ini banyak masalah di tempat kerja, pandemik harus ini itu, aturan baru semakin meluap, dan tindakan-tindakan harus diambil. Di rumah, lagi mumet urusan buku yang menggunung. Maka lengkap sudah Sang Nabi menambah kesyahduan hidup ini dengan sabda aneh nan rumitnya.

Kita mencintai kehidupan, bukan sebab kita sudah biasa hidup tapi sebab kita biasa mencintai.”

#10. Si Lugu by Voltaire

Buku kecil yang luar biasa. Padat, renyah, sesak, dan pace-nya sangat cepat. Kubaca hanya dalam tempo sesingkat-singkatnya pada hari Sabtu pagi, 30 Januari 2021 di teras rumah langsung kelar. Seperti inilah novelet harusnya dibuat, ga bertele-tele, gayanya dapat, plotnya bagus, endingnya nyesek, dan ada motivasi yang bisa dipetik. Paket lengkap setengah hari.

Aneh juga. Kok air mata bisa menimbulkan rasa lega? Saya kira malahan bisa menimbulkan akibat sebaliknya.”

Karawang, 050221 – Dewa 19 – Kamulah Satu-satunya

Jamaloke – Zoya Herawati

Dalam pandangan paling sempit sekalipun, manusia cenderung mempertahankan hak hidupnya. Kalau kesalahan itu terletak pada seni mengukir nasib, apa gunanya manusia punya pikiran.”

Peperangan sepanjang sejarah manusia, adalah kebiadaban yang direstui, setidaknya oleh kekuatan yang dapat dengan mudah menggilas pihak yang lemah. Novel sejarah dari zaman kemerdekaan sampai zaman awal Orde Baru. Premisnya menarik, menawarkan gejolak yang terjadi di dalam, seteru lebih banyak dengan orang-orang kita sendiri, bukan Belanda atau Jepang, garis besarnya kita semua sudah tahu. Bagaimana Hari Pahlawan tercipta, bagaimana Belanda coba lagi mendompleng ke Negara kita pasca Jepang runtuh, bagaimana kita mengalami masa sulit setelah Proklamasi justru saling sikut antar etnis dan golongan. Sebagian besar sudah tertera di buku sejarah. Aku memandangnya tanpa ekspresi, bagiku gambar-gambar tersebut tak lebih dari sekadar benda mati. Kalau orang lain mengekspresikan dengan arti lain, itu urusan mereka.

Sebagai pembuka, kita sudah dikasih tahu bahwa novel ini diangkat dari pengalaman seorang veteran perang. Walau tidak seluruhnya, jalan ceritanya mirip dengan perjalanan hidupnya. Selebihnya, jalan cerita dalam novel ini adalah atas dasar imajinasi penulis. Catatan sejarah ada di mana-mana, di benakku juga.

Kisahnya adalah tentang aku, karakter tanpa nama yang memiliki dua saudara, terlahir miskin di era kolonial. Kesadaran muncul secara tiba-tiba. Dalam situasi seperti ini, hal yang paling remeh sekalipun sulit dilaksanakan. Sekolah adalah hal langka, maka ketika ia berhasil lulus Vervolk School dengan biaya penuh perjuangan, aku melanjutkan HIS. Melewatkan masa remaja di tahun 1940an, saksi sejarah berdirinya Indonesia. Bagaimana kedatangan Jepang yang berhasil mengusir Belanda disambut sorak sorai, sebagai saudara tua. Saat pendudukan Jepang itulah ayahku meninggal. Ga sempat mengalami kemerdekaan. Secara pelan-pelan, kucoba untuk meredam semua kekecewaan yang ditimbulkan keadaan.

Untuk menyibukan diri, aku bergabung dengan PETA, kesatuan militer bentukan Jepang, masuk sebagai Pelopor. Tanggal 14 Februari 1945, PETA melakukan pemberontakan, untuk menagih janji merdeka. Saat itulah masa-masa krusial kita. Aku selalu mencoba menenangkan Emak, yang kini sendiri setelah dua saudaranya menghilang tanpa jejak. Toh setiap lakon dalam hidup menjadi bagian yang tidak lagi penting setelah kita mampu melepaskannya dari pikiran-pikiran. Sampailah kita di hari penting, 17 Agustus 1945. Perjuangan, apapun maknanya, menurut perasaan mereka tak akan pernah usai. Tiba-tiba saja kebencianku pada perang makin menjadi, melebihi waktu-waktu sebelumnya. Karena peperangan telah secara paksa berhasil mengoyak-koyak impian remajaku, karena peperangan telah dengan bengis merenggutkan seluruh harapanku atas orang-orang kucintai.

Masalah kini adalah mempertahankannya, tipu muslihat, kekecewaan, ketidakjujuran, sewaktu waktu bisa mengecoh siapa saja yang lengah. Jiwa mudaku juga meronta, maka pencarian jodoh dilaksanakan. Wanita, bagiku selalu saja menambah persoalan yang sudah ada menjadi bertambah ruwet, karena wanita sendiri adalah sebuah masalah yangtak terselesaikan. Sayang di era peralihan dengan banyak permasalahan ekonomi ini, cinta itu kandas. Kuletakkan seluruh persoalan pada pikiran, bukan pada perasaan. Seseorang yang mampu melecehkan dan mencemooh diri sendiri, menertawakan dan mengejek diri sendiri, adalah satria bagi nuraninya.

Surabaya, seperti kita tahu menggelar perang paling akbar Republik ini dalam mempertahankan kemerdekaan. Kebanggaan membuat bulu-bulu di tanganku berdiri, walau tidak kuingkari terselip juga sepercik keraguan-keraguan dalam benak. Beberapa percobaan menggulingkan pemerintahan juga terjadi. Aku tak bisa mengerti mengapa orang harus melakukan penghianatan. Apakah krisis itu sudah sedemikian parah?! Sebegitu jauh aku tak bisa meraba sampai dimana krisis kepercayaan kepada diri sendiri melanda para prajurit.

Perjuangan belum berakhir. Aku bergabung dengan tentara gabungan Pemerintah, bersama pasukan Serigala. Agaknya nama Serigala mempunyai kekuatan khusus bagi semangat prajurit-prajurit. Kesedihan bisa datang setiap saat. Kesengsaraan dan kemiskinan menyertai dengan kesetiaan sempurna sampai ke liang lahat. Emak meninggal dengan dramatis ketika isu kematianku menyeruak, padahal dalam Agresi Militer Belanda, saya hanya terluka dan tinggal dalam perawatan. Pasang surut sejarah terus mengalir, sementara gerilya-gerilya masih terus menghantui Belanda dengan ketegarannya menembus benteng-benteng pertahanan mereka. Sesungguhnya mereka tidak memahami apa yang sebenarnya tengah terjadi. Yang mereka ketahui adalah mengapa mereka selalu dapat dikalahkan oleh kekuatan, mereka menyesali nasib, mengapa mereka tetap bodoh walau terdapat pengajaran dimana-mana…

Kata Jamaloke baru muncul di halaman 116. Jamaloke, sandang pangan goleko dewe, tak ada arti khusus hanya dipakai untuk melengkapi keindahan pada kata sandang pangan goleko dewe yang artinya, sandang pangan cari sendiri. Kata jamaloke sering dipakai kaum gerilya yang beroperasi di daerah di Jawa Timur. Sebuah permainan kata untuk para prajurit yang diminta bertahan dengan pakaian dan makanan dengan upaya sendiri.

Susahnya dalam dunia logika, semua permainan bisa diterima, bertolak dari apa dasar pijakan tindakan-tindakan penghianatan itu bermula. Setelah negara sedikit tenang, para sahabat yang merangkul dalam era perjuangan, ada yang menjilat demi uang atau takhta. Kecurangan itu ada di mana-mana, sama seperti penghianatan, ia tumbuh subur tanpa bisa dicegah. Khotbah yang keluar dari mulut penghianat adalah bagai racun yang memastikan hanya dalam beberapa detik. Sang aku tetap pada kemandirian, mengayuh becak, menyewakan ruang dalam rumahnya, bertahan hidup di rakyat bawah. Manusia telah menjadi budak dirinya sendiri dalam satu ruang hampa. Penduduk desa yang lugu, menganggap semua yang keluar dari mulut pamong, merupakan kebijaksanaan yang tak perlu dikaji terlalu njelimet.

Hanya orang gila yang tak tertarik pada kesempatan dan peluang, aku dan dia punya hak untuk menentukan jalan hidup. Pasangan penyewa rumah memang tampak bermasalah, banyak selebaran, banyak menyelenggarakan pelatihan/seminar dan desas desus menyebar. Secara refleks, oh ini Partai Komunis. Dan sayangnya, Penulis ga menyimpan cadangan kemungkinan lain. Ya, semua datar. Maka saya langsung berasumsi, menuju tragedi tahun 1965 itu. Tak mudah bagiku untuk mempercayai orang lain, sebab di balik manisnya wajah, tersembunyi prasangka-prasangka buruk.

Orang tak akan pernah tahu jalan pikiran kita, jika bukan diri kita sendiri berusaha untuk menunjukkan. Ada satu teman yang ternyata senasib sepenanggungan, juga memutuskan mandiri, Masran teman perang. Pemahaman tentang nasib merupakan misteri yang sampai kapanpun tak bakalan mampu terkuakkan. Dengan kesadaran penuh, orang lebih menyukai kepalsuan, karena kepalsuan dapat dinikmati dengan mata wadag, bukan mata batin. Aku bahagia karena dapat menertawakan diri, melecehkan nasib, dan memandang dengan lucu segala kesulitan yang menghadang.

Di tahun genting 1965, kisah ini masih saja mengapungkan prasangka, menawarkan tanya apa yang akan terjadi. Bukan gitu sih seharusnya. Ingat, ini sebenarnya bukan buku sejarah, ini novel olahan imaji, cerita tak akan menarik bila menjelaskan hal-hal yang sudah pasti. Dan Jamaloke malah mengikuti garis itu. Pemahaman terhadap nafsu dan kehendak yang hanya sebatas daging dan kulit saja, membawa pikiranku ke arah pengertian lain tentang kehendak dan jiwa yang telah didasari dengan pikiran-pikiran bersih tentang nurani.

Overall: Apa gunanya mencerita sejarah yang sudah umum? Menuturkan ulang dengan sudut pandang yang sedikit berbeda. Tak ada kejutan, tak ada sesuatu yang wow mau dipertunjukkan, detail perang juga nanggung, drama sangat kurang, semua serba nanggung. Ekspektasiku adalah gelora Perang Surabaya yang legendaris, adegan penyobekan warna biru dalam bendera Belanda, pidato Bung Tomo, semangat membara Jenderal Sudirman, tak ditampailkan dengan bagus, semua nyaris tanpa ekspresi. Mungkin karena tokoh aku, hanya prajurit, tapi tetap, cerita yang bagus adalah cerita yang bisa mengungkapkan daya upaya karakter untuk memberikan warna lebih buat pembaca. Sang aku pasif, pasrah akan hidup, merasa tak dihargai negara. Dan pada akhirnya mati tanpa tanda jasa pahlawan, ataupun penyebutan namanya di buku sejarah. Dalam buku-buku Christie, pelayan atau pembantu rumah tangga selalu punya peran penting. Seharunya sekalipun prajurit, ledakan yang terdengar lebih nyaring karena ada di front perang terdepan. Sayang sekali…

Karena keyakinanku akan karma, aku ingin mengingkari sebuah janji, dengan harapan tak seorangpun akan berbuat serupa terhadapku. “Perang dan kewajiban mengajarkan seseorang untuk bersikap hati-hati terhadap segala bentuk tipu muslihat.”

Ia pasrah karena ia sudah merasa menang atas dirinya sendiri. Seperti ending-nya yang menyedihkan, betapa miskin, betapa kesendirian, betapa sunyi. Wanita seperti yang selama ini kubayangkan, tampaknya mampu bersikap tegas, meski sebenarnya agak naif. Hanya ada beberapa hal yang membedakan gadis itu dengan emak, selebihnya, mereka semua sama persis sama, egois dan serba membingungkan. Ternyata kesendirian bagiku merupakan karunia. Dalam situasi yang sulit ini aku merasa bersyukur karea taka da siapa-siapa yang harus menjadi tanggunganku. Berbahagialah perempuan yang pernah menolakku, dengan demikian, ia telah terhindar dari kemiskinan. Budaya diam serta pasrah terhadap lakon dan nasib, masih kuat dala, tatanan masyarakat, meski kedengarannya hal itu, amat merendahkan budi.

Tujuh sudah, tiga menuju.

“Itulah sepenggal lakon sejarah.”

Jamaloke | Oleh Zoya Herawati | Copyright 2019 | Halaman: xii + 224 | Ukuran: 13 cm x 19 cm | Editor S. Jai | Desain Ferdi Afrar | Penerbit Pagan Press | Cetakan pertama, November 2018 | ISBN 978-602-5934-26-1 | Skor: 3/5

Kupersembahkan Buat para Srikandi Indonesia

Karawang, 101019 – Sherina Munaf –Simfoni Hitam

Dicetak oleh Penerbit Indie, Pagan Press dengan kualitas cetak ala kadar, seolah buku hasil foto copy kertas buram pinggir jalan. Buku ini bisa menyeruak ke dalam kandidat Kusala Sastra Khatulistiwa 2019. Hebat. Ada ratusan typo, awalnya akan saya koreksi dan tampilkan, tapi saking banyaknya yo weslah.

Thx to TB Buruh Membaca