November2022 Baca

Karena kau perempuan, Nduk. Cah ayu yo kudune menikah, punya suami lantas mengabdi. Kuwi kodrate wong wedhok.” – Tabula Rasa, Ratih Kumala

Bulan Anniversary ini dilewati dengan banyak degub mengkhawatirkan. Pekerjaan menuntut untuk keluar kota hampir setiap minggu. Piala Dunia sudah dimulai, kini memasuki partai-partai akhir grup, hingga kesibukan di rumah yang memang butuh perhatian. Yang paling menyedihkan, teman istriku divonis sakit parah, #GWSAbu sakit kepalanya ternyata tak sekadar sakit kepala.

Lalu keputusan mengambil sepeda listrik (4.4 juta tunai, dari koperasi) merupakan langkah maju untuk membantu transpotasi, tapi langkah mundur dengan cicilan sejutaan di koperasi, makin banyak utangnya.

Dan hilangnya Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2022, setelah kepergiaan Richard Oh, belum ada yang meneruskan. Sehingga November yang biasanya rekap baca buku lokal melimpah, kini sedikit sekali. Saat menyadarinya, baru baca fiksi lokal 21 buku. Jauh dari rekap tahunan, makanya Desember ini saya fokus mengejarnya. Namun tetap, semuanya mengalir sahaja…

#1. A Dash of Magic by Kathryn Littlewood

Kisahnya tampak klise. Kompetisi masak Internasional di Paris dengan sihir menyertai, dan peserta finalnya adalah saudaraan. Kemungkinan seperti itu sangat amat kecil terjadi di dunia nyata. Seperti kompetisi catur dunia, apakah pernah terjadi final dalam satu keluarga? Atau mungkin satu Negara? Sekalipun fiksi, tetap pijakan utama adalah kehidupan kita. Sekalipun sihir, tetap logika kehidupan harus dijadikan acuan. Dan banyak sekali trik yang disampaikan juga tak se-majic yang diagungkan, atau seseru buku satu. Trik-trik curang demi menjadi nomor satu, disajikan dengan plot kanak-kanak. Cara pemilihan pemenang juga begitu sederhana, tak serumit kompetisi Chef memasak tingkat RT, apalagi tingkat TV Nasional yang lebai. Jelas, kisah di buku ini sebuah penurunan. Dengan bekal kata, “Mengalir saja”, semuanya memuncak di Paris yang glamor. Nyaris tak ada kejutan berarti. Mungkin keunggulan utama buku ini adalah cover yang ciamik. Enak dipandang mata saat disusun rapi di rak.

“Kita selesaikan masalah satu-satu, Mi Hermana, pertama kita dapatkan bunyi lonceng dulu.”

#2. How the World Works by Noam Chomsky

Lega. Itulah perasaanku setelah bertahun-tahun coba menyelesaikan baca buku ini. Kubeli tahun 2015, sempat menggebu membaca di awal. Down di tengah jalan,. Tahun 2016 sempat pula coba kulanjutkan, dan kembali tertunda. Dan begitulah, tertimbun buku-buku lain. Terlupakan. Memang bukan buku yang santuy, bahasannya berat. Politik, dan begitu kritisnya banyak ungkapan-ungkapan yang bikin pemerintah panas.

“Ada kasus yang sangat solid untuk didakwa setiap presiden Amerika sejak Perang Dunia Kedua bertanggung jawab atas berbagai peristiwa berdarah di seantero dunia. Mereka semua merupakan penjahat perang atau setidaknya dalam kejahatan perang yang serius.”

#3. Marxisme, Seni, Pembebasan by Goenawan Muhammad

Penuh dengan kutipan. Sampai-sampai tak tahu mana pemikiran asli penulis, mana kutipannya. Buanyaaaak banget. Aneh rasanya membaca kutipan bertumpuk-tumpuk dalam satu paragraph panjang. Menelusur masa lalu dengan Marx sebagai pusatnya, didedah dan diuji ketahanannya oleh masa. Dan setelah lebih seabad Marx rasanya abadi, dilihat dari sudut manapun, layak didiskusikan. Sosialisme mengklaim, reliji juga, seni, ideology hingga manzhab lebih tinggi terkait tafsirnya sungguh liar. Dan buku ini hanya sebagian kecil darinya. Apalagi saya sedang baca Teori Sosiologi Modern, di mana Marx menyita halaman (otomatis perhatian) sangat tinggi.

“… keindahan yang benar-benar, yang tertinggi adalah keindahan yang dijumpai oleh manusia di dalam dunia kenyataan dan bukanlah keindahan yang diciptakan seni.” – Chernishevski

#4. The Hundred Secret Sense by Amy Tan

Ini jelas lebih mudah dicerna ketimbang The Joy Luck Club yang plot-nya berlapis. The Hundred Secret Senses sekalipun menyertakan dunia yin yang absurd dan mengundang arwah untuk berdiskusi, mengunjungi hantu-hantu masa lalu untuk membantu memahami masa kini, setidaknya alurnya masih runut. Sudutnya fokus pada Olivia, yang lainnya hanya sempalan, atau kalaupun keluar jalur, hanya mencerita detail yang menunjang. Kwan jelas begitu dominan menemani, sebagai kakak-nya yang paling setia, Kwan justru tokoh terpenting, terutama aspal cerita yang padat, dan eksekusi kunci di endingnya yang tak terduga.

“Janji mengajakku ke bioskop atau kolam renang akan mudah terhapus dengan dalih lupa, atau lebih buruk lagi, variasi-variasi licik mengenai apa yang dikatakan dan dimaksud.”

#5. The Art of Novel by Milan Kundera

Kundera menulis dengan semangat merayakan lelucon. Dari judul-judulnya sudah terlihat. Harus membaca buku-bukunya dulu untuk bisa menikmati secara maksimal buku ini. Saya baru membaca empat: Pesta Remeh Temeh, Kitab Lupa dan Gelak Tawa, Identitas, dan Kealpaan. Dan itu tak cukup. Selain mengupas novel-novelnya, kita juga diajak bersafari ke novel-novel hebat sebelumnya. “Kita sering mendengar trinitas suci novel modern: Proust (belum baca), Joyce (Ulysses belum baca), Kafka (sudah baca). Menurut saya, trinitas itu tak ada. Kafka memberikan orientas baru, yaitu orientas post-Proustian. Caranya memahami diri sungguh-sungguh mengejutkan.” Ya, ketiganya sangat dominan dikupas, ditambah Cervantes (belum kubaca), Schweik (sudah kubaca), hingga Balzac. Sayangnya, hanya sebagian kecil yang kunikmati. Ada tiga kebijakan utama yang wajib dikembangkan manusia: toleransi, humor, dan imajinasi.

“Novel memiliki kekuatan untuk menggabungkan puisi dan filsafat, bukan sebaliknya.”

#6. Menyingkap Rahasia Akhirat by Al Ghazali

Luar biasa. Karena ini hal yang baru, saya terpesona. Alam akhirat yang misterius itu dijelaskan dengan gamblang, bagaimana kehidupan setelah kematian. Dari mulai detik-detik kematian, hingga putusan akhir penghakiman pada-Nya. Ini versi Islam, artinya segalanya bersumber pada Al Quran dan Hadist sehingga, diluar itu tak disinggung sama sekali.

“Tak ada yang bisa menyingkap rahasia-rahasia akhirat kecuali orang yang menguasai ilmu-ilmu keakhiratan.”

#7. Tabula Rasa by Ratih Kumala

Kisah sedih di Rusia, kisah sedih di Yogyakarta, kisah sedih di Kanada. Asmara yang yang melilit para karakter. Temanya berat, sebab melibat homo dan lesbi serta kematian-kematian orang terkasih. Mainnya jauh, sampai Benua Amerika dan Eropa. Bagi jelata macam saya, jelas tak relate. Banyak kejanggalan, atau mungkin tak nyaman dinikmati orang kebanyakan. Mahasiswa pintar yang mengikuti kemanapun ayahnya ditempatkan bekerja, tak main-main antar kota, tapi sudah melintang ke Rusia. Dan sesuai catatan sejarah di awal 1990-an terjadi perebutan kekuasaan yang mengambil banyak nyawa warga, termasuk sang kekasih. Lalu masa merentang sedasawarsa di Yogya, kini ia sudah dewasa dan menjadi dosen. Menemui rasa cinta lagi kepada salah satu mahasiswinya. Gayung seolah disambut, tapi enggak juga sebab, sang kekasih memiliki penyimpangan seksual. Dan begitulah, aliran kisahnya berkutat di masalah hati, dan tindakan. Mengikuti kata hati ataukah menjadi warga kebanyakan yang legowo?

“Kamu jangan mondar-mandir aja, kayak setrikaan.”

#8. Jejak Sufi Modern by Abu Fajar Alqalami

Lucu. Mungkin tak seberat buku-buku sufi kebanyakan, mungkin pula dan sak-klek sama aturan Islam yang kaku. Ini malah jadi sejenis diskusi, seorang awam agama, bertanya kepada pendiri pondok pesantren. Rasanya tepat, sebab biar ahlinya yang menjawab. Maka kiai Badrun memberi petuah-petuah hidup, yang mungkin bagi kita sudah umum (atau malah usang). Dasar agama, tuntunannya, hingga rasa syukur. Yang menarik, diskusi itu mengalir nyaman, dan apa adanya.

“Hujan sudah reda, kita jalan lagi.”

#9. Poison by Sara Poole

Novel renaisans di Italia. Tentang hari-hari menuju penunjukan Paus baru. Ini bisa jadi fiksi di sisian sejarah. Paus lama, yang sudah tua dan sakit-sakitan segera mengeluarkan dekrit yang sama dengan perintah dari Spanyol bahwa warga Yahudi akan dimusnahkan, atau diusir dari negerinya, tapi sebelum dektrit itu dirilis, drama terjadi di dalam istana. Racun menjadi alat bunuh yang umum, dan begitulah Francesca Giordano, ahli racun itu melaksanakan tugasnya. Di Roma yang panas, dan sejarah mencatat Rodrigo Borgia menapaki puncak kekuasaan.

“Apakah kauyakin ingin melakukan semua ini?”

#10. Wasripin & Satinah by Kuntowijoyo

Tak menyangka arah buku ini akan ke sana. Ini adalah novel kedua Kuntowijoyo yang kubaca, setelah Pasar yang fenomenal itu. Yang ini tampak lebih kompleks dengan ending yang lebih berani. Kritik politik dari arus bawah hingga pusaran pusat yang njelimet. Pasangan yang saling mencinta, dengan segala kekurangan dan segala kehebatan masing-masing, di puncak ketenaran dan kegemilangan, segalanya berbalik. Wasripin yang bak nabi, dan Satinah yang secantik merak, akhir yang tak terduga. Benar-benar dibawakan dengan sangat bagus, mengalir dengan sangat nyaman dan begitu rapinya. Ah, rasa itu, kenapa terlambat disampaikan, dalam lamaran aneh dengan hasil pancing di pantai sepi ikan, dan jelmaan indah, lantas dihempaskan.

“Ah, pasti kura-kura dalam perahu.”

#11. Logika Falus by Tomy F Awuy

Kumpulan cerpen dari penebit Metafor yang legendaris. Temanya lebih banyak menelusup di area psikologi. Dari hubungan lesbi, pemikiran liar para lelaki, hingga kehidupan malam para Jakartan. Sebagai cerpen yang diambil judul, Logika Falus justru malah yang paling biasa, di mana dua pria mendebat seorang penyanyi kafe yang elok. Lalu berjudi, dan bagaimana diakhiri dengan antiklimaks.

“Ayahmu converso. Apakah kau tidak tahu itu?”

#12. Ranah 3 Warna by A. Fuadi

Buku lanjutan Negeri Lima Menara yang sungguh biasa sekali. Sebuah penurunan drastis, ini seperti orang yang menceritakan pengalaman hidupnya, dari lulus pesantren hingga meraih impian keluar negeri. Kuliah di jurusan Hubungan Internasional, ke Kanada impian itu diwujudkan. Tersebab saya sudah membaca Laskar Pelangi dan lanjutan, seolah ini pengulangan. Dan, karena ini lebih mapan, lebih tampak menjaga image. Artinya, orang pesantren yang alim ini tak banyak mencipta konfliks, sungguh main aman. Jadi tentu saja, membaca novel dengan minim konfliks adalah sebuah pengalaman standar.

“Logika bahasa penutup kau tidak jalan, terlalu lemah. Tapi yang lain sudah baik.”

#13. Prey by Michael Crichton

Keren banget. Partikel dan bakteri dicipta, dengan kamera berukuran nano, dan jadilah penemuan dahsyat. Awalnya jinak, lalu lepas, dan pada akhirnya mereka dengan cepat beradaptasi, menjadi makhluk hidup yang menuntut eksistensi. Di sebuah lab di tengah gunung, Jack sang perancang program, seorang IT expert itu tercengang sebab kode yang ia cipta kini menjadi liar dan mengancam umat manusia. Ternyata penyebabnya justru istrinya sendiri yang juga seorang penemu, Julia yang beberapa hari tak waras. Pasangan ini saling silang, dan sebelum makhluk itu membunuh orang lebih banyak, harus dimatikan, harus dimusnahkan.

“Jadi kesimpulannya sederhana. Mengelompoklah dan jangan menonjol.”

#14. Sepotong Hati di Sudut Kamar by Pipiet Senja

Buku harian yang jadi buku. Luar biasa. Kita tahu kehidupan pribadi Pipiet Senja yang menderita leukemia. Namun detail bagaimana kehidupannya dari kecil, remaja, hingga awal mula meraih impian membuat buku, jelas tak banyak yang tahu, kecuali lingkar pertemanan/saudaranya. Nah, dari buku inilah kalian akan menemukan banyak hal pribadi beliau. Kehidupan keluarga, percintaan awal, hingga perkenalan dalam dunia teater, sandiwara nulis novel, dst. Di era Orde Baru yang minimalis, konvesional, di mana karya ditulis tangan atau diketik di mesin ketik, perjuangan seorang penderita leukemia menjadi penulis sungguh sangat inspiratif.

Karawang, 011222 – Bon Jovi – Always

Pengantar Ilmu Antropologi

“Makhluk manusia berevolusi dalam jangka waktu kurang-lebih empat juta tahun lamanya.”

Kepentingan antropologi sebagai ilmu bantu dalam penelitian. Buku non fiksi yang bergizi, saking bergizinya saya sampai sepintas membandingkannya dengan Sapiens. Namun ternyata setelah ditelaah lebih lanjut, tidak. Sapiens dibawakan dengan fun dan sangat luar biasa. Buku ini lebih banyak teori-nya, rerata dinukil dari buku-buku sebelumnya, buku-buku antropologi lama, teori yang sudah ada disusun dan dijadikan acuan. Sedang Sapiens malah banyak yang mengandalkan spekulasi, banyak yang berdasar pemikiran, dan ‘sejarah’ manusianya tampak fiksi. Maka, hanya beberapa yang laik disandingkan.

Banyak ilmu baru kudapat, misal tentang naluri manusia. Manusia memang tak banyak dipimpin oleh nalurinya dalam hidup. Paling sedikit ada tujuh naluri manuasia: 1) dorongan untuk bertahan hidup. 2) dorongan seks. 3) dorongan untuk usaha mencari makan. 4) dorongan untuk begaul atau berinteraksi dengan sesama manusia. 5) dorongan untuk meniru tingkah-laku sesamanya. 6) dorongan untuk berbakti. 7) dorongan akan keindahan, dalam arti keindahan bentuk warna, suara, gerak.

Atau tentang sel organisme. Pada makhluk yang organismanya kompleks seperti kera atau manusia, jumlah selnya mencapai sampai sepuluh trilyun banyaknya, dan bentuk serta macam dari ke 10 (pangkat 13) sel itu berbeda menurut fungsi dan tugasnya masing-masing dalam organisme. Seluruh tubuh organisme baru akan timbul dari zygote, dengan proses yang disebut mitosis. Termasuk ilmu turunannya tentang genetik. Walau dasarnya saja. Percabangan itu terjadi karena beberapa proses evolusi yang menurut analisa para ahli biologi dapat dibagi ke dalam tiga golongam: (1) proses mutasi; (2) proses seleksi dan adaptasi; (3) proses menghilangnya gen secara kebetulan (random genetic drift).

Suatu ras baru dengan ciri-ciri baru telah ‘bercabang’ daru suatu ras yang lama. Dari ciri-ciri ayah dan ibu yang kebetulan dibawa oleh sel-sel seks tadi, juga tidak semua akan tampak dalam organisme yang baru melainkan hanya ciri-ciri pada gen yang kuaym atau dominan, yang akan tampak, sedangkan ciri-ciri pada gen yang tidak kuat, atau resesif, tidak tampak pada organisme yang baru.

Kebetulan kemarin saya baca sejarah bumi menurut Al Quran, jadi bisa saya sandingkan merunut ilmu pengetahuan. Menurut ahli geologi, bumi telah berkali-kali mengalami zaman ekspansi lapisan-lapisan es.

Indonesia tentu saja juga disebut. Kita punya museum fosil di Trinil. Pada tahun 1898 seorang dokter Belanda, Eugene Du Bois telah mendapatkan di lembah Sungai Bengawan Solo sekelompok tengkorak atas, rahang bawah, dan sebuah tualng paha yang lantas fosil itu diberi nama Pithecanthropus Erectus (manusia kera yang berjalan tegak), yang menganggapnya contoh nenek moyang manusia zaman sekarang.

Ahli paleoantropologi Indonesia, Teuku Jacob meneliti 14 fosil tersebut sebelum Perang Dunia Kedua, dan menyebutnya Pichecanthropus Soloensis. Teuku Jacob menyebut kedua unsur dalam kehidupan manusia, yaitu akal dan bahasa merupakan landasan memungkinkan kebudayaan berevolusi.

Kapasitas otak yang unggul berupa akal menyebabkan ia dapat mengembangkan sistem pengetahuan yang menjadi dasar dari kemampuannya membuat bermacam-macam alat hidup seperti senjata, alat-alat produksi, alat-alat berlindung, alat-alat transportasi dan sebagainya serta sumber-sumber energi yang lainnya.

Tentang ingatan dan kenangan yang samar. Unsur-unsur pengetahuan tadi sebenarnya tidak hilang lenyap begitu saja, melainkan hanya terdesak masuk ke dalam bagian dari jiwa manusia yang dalam ilmu psikologi disebut alam bawah sadar (sub-conscious). Dalam alam bawah sadar manusia banyak pengetahuan indiividu larut dan terpecah-pecah menjadi bagian-bagian yang seringkali tercampur satu sama lain dengan tak teratur.

Budaya Timur dan Barat yang bersinggungan. Kepribadian Timur mementingkan kehidupan rohani, mistik, pikiran prelogis, keramah-tamahan, dan kehidupan kolektif. Sedang Barat, mementingkan kehidupan material, logis, hubungan berdasarkan azas-guna, dan individualism. Ada tujuh unsur kebudayaan: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencarian hidup, sistem reliji, dan kesenian.

H. Spencer menyatakan azas egoism atau azas ‘mendahulukan kepentingan diri sendiri atas kepentingan orang lain’, mutlak perlu bagi jenis-jenis makhluk untuk dapat bertahan dalam alam yang kejam.

Kelakuan binatang dan kelakuan manusia yang prosesnya telah direncanakan dalam gen-nya dan merupakan milik dirinya tanpa belajar, seperti refleks, kelakuan naluri, dan kelakuakn membabi buta, tetap disebut kelakuan (behavior). Sedang tingkah laku yang tak terencana dalam gen-nya tapi harus dijadikan milik dirinya dengan balajar, disebut tindakan atau tingkah-laku (action).

Antropologi yang luas, juga menyinggung tema pergaulan dalam sosial. Tiap individu masyakarat ada dua macam kedudukan, kedudukan yang dapat diperoleh dengan sendirinya (kedudukan tergariskan; ascribed status), dan kedudukan yang hanya dapat diperoleh dengan usaha (kedudukan diusahakan; achieved status). Pemerincian dari tema budaya dan pola sosial ke dalam gagasan dan tindakan.

Dan juga segala tindakan atas efek lanjut pemikiran. Hampir seluruh tindakan manusia adalah ‘kebudayaan’ karena hanya amat sedikit tindakan manusia dalam rangka kehdiupan masyarakat yang tak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu tindakan refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan apabila dengan membabi buta.

E Durkheim beranggapan bahwa aktivitas-aktivitas dan proses-proses rohaniah seperti penagkapan pengalaman, rasa, sensasi, kemauan, keinginan, dan lainya terjadi dalam organisma fisik dari manusia dan khususnya berpangkal di otak dan sistem syaraf. Juga berpendapat bahwa pikiran kolektif apabila suatu kompleks terbentuk dan menjadi mantab, maka seluruh konpleks itu berada di luar diri si individu, sebab keseluruhan pikiran kolektif serta gagasan-gagasan yang merupakan unsur-unsurnya tersimpan dalam bahasa, jadi kalau individu meninggal maka pikiran itu tetap hidup dimiliki manusia berikutnya.

Kebudayaan rupa-rupanya hanya ada pada makhluk manusia, bahwa kebudayaan mula-mula hanya merupakan satu aspek dari proses evolusi, lalu menyebabkan ia dapat lepas dari alam kehidupan makhluk primate lain.

Individu tidak dapat menyesuaikan kepribadiannya dengan lingkungan sosial sekitarnya akan menjadi kaku dalam pergaulan, dan codong untuk senantiasa menghindari norma-norma dan aturan masyarakat, menghindari konfliks, individu seperti ini disebut deviants.

Teknologi muncul dalam cara-cara manusia melaksanakan mata pencaharian hidupnya dalam cara-cara ia mengorganisasi masyarakat, dalam cara-cara ia mengekspesikan rasa keindahan dalam memproduksi hasil-hasil kesenianannya. Makanan dibagi empat golongan: makanan dalam arti khusus (food), minuman (bevegages), bumbu-bumbuan (spices), dan bahan yang dipakai untuk kenikmatan saja seprti tembakau, madat dan sebagainya (stimulants).

Benar-benar buku non fiksi yang kompleks pembahasannya. Ilmunya melebar ke mana-mana. karena itu, saya sampai harus memilah mana yang wajib masuk memori jangka panjang, mana yang masuk sebentar lalu dilupakan. Ingat, ini buku pengantar. Bayangkan, jika masuk ke intinya. Bakalan jauh lebih rumit dan mendalam. Termasuk menyinggung agama, reliji. Topik yang gaib. Reliji, masalah mengapa manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib yang dianggap lebih tinggi daripadanya, dan mengapa manusia itu melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beraneka ragam untuk berkomunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi.

Apapun itu, bersyuku saya berhasil menamatkan buku bagus dan rekomendasi ini. buku-buku Koentjaraningrat rasanya laik dikejar dan dinikmati. Ini sekadar permulaan… dan saya suka buku-buku jadul.

Pengantar Ilmu Antropologi | by Koentjaraningrat | AB-028-A-6-86 | Copyright 1979 | Cetakan keenam, Juni 1986 | Penerbit Angkasa Baru | Setting BOSTONICA | Layout A. Sungguh | Cover diambil dari majalah Swiss Air | Dicetak oleh Radar Jay Offset, Jakarta | Skor: 4/5

Karawang, 200222 – 110322 – 140422 – 310522 – Karrin Allyson – All or Nothing at All

Thx to Ade Buku, Bandung

*) catatan ini kutulis dan edit sampai empat kali sebelum akhirnya hari ini berhasil pos di blog.

Kusala Sastra Khatulistiwa 2021: Bentang-kan Hingga Langit

Kejari KSK nih.” / “WA wae virtual account e.” – Chat ig dengan Titus P.

Rak bukuku baru, tinggi menjulang hingga langit-langit. Bisa menampung sepuluh ribu buku, kalau mau, dan sungguh rapi walau aku masih kesulitan mencari letak buku yang kuingin baca tiba-tiba. Sedap dipandang, betah berlama-lama bercengkerama dengannya. Warna putih cerah dengan penerangan lampu terang, mencipta nyaman duduk terpekur di perpustakaan keluarga. Ini tak serta merta, rak ini sudah kubayangkan doeloe pas masih sekolah. Koleksi bukuku terus bertambah, tapi tenang saja ada garasinya…

Koleksi itu tentu saja termasuk buku-buku prosa Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK). Tahun ini terdiri dari: Enam kumpulan cerpen, empat novel. Pengumuman kandidat agak terlambat, sampai kunyalakan notif twitter Richard Oh, yang akhirnya pada 23 September muncul juga. Kamis malam itu sepulang kerja langsung ke Gramedia Karawang, hanya nemu Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga. Lumayan, sembari cari daring setidaknya sudah kumulai baca. Kesepuluh nominasi belum baca semua, jadi benar-benar start mula, dan sebagian besar nama-nama asing. Well, kurasa salah satu fungsi KSK adalah kita sudah disarikan, sudah dipilih dan dipilah para sastrawan, sehingga tinggal menikmati saja. Terlepas hasil akhir bagus/buruknya kualitas belakangan. Mirip film-film Oscar, lha wong sudah dijaring, tinggal duduk nikmati. Enak to.

Dan syukurlah kita hidup di zaman digital. Cari barang lebih mudah, termasuk buku. Toko buku langganan rerata tak sedia bukunya. Aku pengen beli buku sebanyak mungkin dalam sekali transaksi, selain hemat ongkir juga ada stok baca bila cepat usai. Dema Buku, Sentaro Book, Kedai Buku ternyata tak ready stock setelah kujapri, sembilan sisanya berburu bertahap. Kloter kedua buku baru muncul dari Dojo Buku, Jakarta Barat. Beli empat buku, kepending lama sekali, setelah tiktokan berkali-kali akhirnya bilang hanya ada tiga, yo wes gegas saja yang ada karena Haniyah dan Ala sudah selesai baca lama. Yogya Yogya, Damar Kambang, dan Rekayasa Buah baru kupegang pada 29 September.

Kloter ketiga dari Basa Basi Store yang mewakilkan satu buku Revolusi Nuklir di Prosa, menawarkan paket tiga buku, dua buku puisi KSK-pun tak mengapa kubeli dan kuterima 4 Oktober. Secara bersamaan pesan dari Stanbuku, Sleman. Ini teman lama, teman grup diskusi buku WA, pengalaman pertama beli daring justru dari sini. Mas Olih sedia Anak Asli Asal Mappi dan Segala yang Diisap Langit yang kuterima 9 Oktober.

Kloter kelima adalah Bunga Kayu Manis dari Jalan Literasi, Bandung yang bersamaan beli kandidat puisi sebagai ‘teman’ pengiriman. Buku kesembilan dan kesepuluh beli dari dua tempat beda lagi, Cerita-cerita yang Sedih dan Menakjubkan dikirim dari Yogya (Jual Buku Sastra) dan Ramuan Penangkal Kiamat dari Bogor (Aiakawa Books). Keduanya kupesan tentu saja ada barengan, keduanya Non KSK.

Jangan beranggap wah mudah sekali ya cari buku dan selalu ada duit. Oh tak sesederhana itu, bujet memang sudah kusiapkan, menabung dari beberapa bulan sebelumnya untuk dibelanjakan September. Aku juga tak punya m-banking jadi sering umpet-umpetan ATM sama Meyka, istriku. Maka sering kali minta tolong temanku Titus P. untuk talangi bayar ke Tokopedia/transfer BCA. Direkap, baru kuganti. Lihat, tak sederhana juga kan, tapi tak rumit juga. Kalau sudah berkeluarga, kalian pasti tahu betapa kebutuhan banyak, dan pendapatan harus dipilah pilah menyesuaikan kepentingan anak-istri. Dan buku, bagi istriku bukan di urutan prioritas.

Tepat 28 Oktober semuanya selesai baca ulas, maka mari kita simak. Berikut bacaan 10 besar prosa, diurutkan berdasar selesai lahap.

#1. Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga – Erni Aladjai

Pembuka Kusala Sastra Khatulistiwa yang kurang OK. Temanya beragam, tapi intinya bisa jadi budaya lokal dengan kritik sosial dalam lingkar kebun cengkih. Pelukisan perkebunan dan tradisi setempat bisa saja menjadi daya saing yang menjanjikan, tapi tetap intinya sederhana. Hantu anak yang baik, walau kehidupannya tragis bisa memunculkan berbagai kemungkinan horror, jagoan yang sakti juga bisa saja meledakkan amarah ke warga, tidak. Kisah ini berakhir dengan tenang. “Tanaman bertenaga-baik membuat manusia yang memakannya berjiwa baik.”

#2. Damar Kambang – Muna Masyari

Aku baca sekali duduk di Jumat pagi yang cerah. Untungnya, suami-istri di pembuka identitasnya tak dikuak, fakta ini akan jadi semacam tautan yang ditaruh di tengah kecamuk adu sihir perdukunan. Perhatikan sahaja, buku yang berhasil salah satu faktornya para tokoh memiliki motif yang kuat untuk mengambil tindakan, tindakan dijalankan dengan logika dasar. Tak perlu muluk-muluk, tak perlu ndakik-ndakik. “Kau tidak percaya atau justru takut memercayainya?”

#3. Yogya Yogya – Herry Gendut Janarto

Cerita hanya berisi nostalgia. Dan saya suka cerita yang menengok masa lalu ketimbang ngawang-awang ke masa depan yang tak jelas. Orang Yogya yang merantau ke ibukota, sesekali mudik Yogya menekuri wilayah-wilayah yang dulu pernah disinggahi, ditelusur untuk dikenang, dengan sudut pandang orang pertama, segala yang disampaikan jelas bergaya orang bercerita satu arah. Tak ada hal-hal yang luar biasa, maksudnya nyaris tak ada ledakan… “Gayuh, kan, memang suka banget bernostalgia, sedikit-sedikit menukik ke masa silam. Benar-benar Gayuh itu manusia past tense. Mister Past Tense!”

#4. Rekayasa Buah – Rio Johan

Buku ini jeleq.

#5. Anak Asli Asal Mappi – Casper Aliandu

Cerita mini, mirip fiksi mini. Dan karena ini berdasarkan pengalaman penulis selama mengajar di Mappi, Papua, maka bisa disebut fakta mini sahaja. Ceritanya terlampau biasa, terlampau sederhana, pengalaman sehari-har. Dan selain cerita mini, buku cetaknya juga, hanya seratusan halaman. Namun harganya tak mini. “Terlalu asyik, Teman. Alamnya terlalu indah.”

#6. Segala yang Diisap Langit – Pinto Anugrah

Ringkas nan memikat. Hanya seratusan halaman, kubaca sekali duduk selama satu setengah jam pada Sabtu, 16 Oktober 2021 selepas Subuh. Langsung ke poin-poin apa yang hendak dituturkan. Tentang Islamisasi di tanah Sumatra di masa Tuanku Imam Bonjol. Mengambil sudut pandang sebuah keluarga lokal yang kalah dan tersingkir. Segalanya jelas, tapi akan mencipta keberpihakan abu-abu. “Atas nama agama, katanya!”

#7. Revolusi Nuklir – Eko Darmoko

Yang bagus menurutku adalah bagian-bagian yang sederhana. Malaikat pencabut nyawa yang mengambil kembarannya, itu kisah mudah dicerna, walau memilukan, terasa emosional. Atau pencabut nyawa yang mau berkunjung malah diusir oleh PSK, klenik yang membuncah kan masih banyak berlaku di masyarakat. Atau Ayam Kampus yang memandang hina keset kampus, tenang, diam, dan malah langsung in kan? Tak perlu melingkar pusing untuk berfantasi. “Kau harus ke Nordlingen!”

#8. Bunga Kayu Manis – Nurul Hanafi

Pada dasarnya manusia menyukai hal-hal bagus, hal-hal indah bagi kita sungguh nyaman dirasa mata atau telinga. Seni memberinya banyak jenis kenikmatan. Dan dari hal-hal yang dicecap itulah kita lari sementara dari kejenuhan rutinitas. Bunga Kayu Manis menawarkan jenis keindahan kata-kata (atau di sini berarti tulisan), dipilih dan dipilah dengan mujarab oleh Bung Nurul Hanafi. “Seperti apapun penampilanmu, kau tetap cantik.”

#9. Cerita-cerita yang Sedih dan Menakjubkan – Raudal Tanjung Banua

Cerita-cerita masa kecil dari orangtua, paman sampai neneknya, kita melangkah lanjut ke tema-tema masa lalu yang lebih umum, menorehkan kenangan. Menulis tentang masa lalu, sekali lagi kubilang sungguh aktual. Dan lebih mudah diimajinasikan. Sungguh nyaman, asyik sekali diikuti, seolah membacai memoar, menelisik nostalgia. “Sering-seringlah memandang Bukit Talau. Banyak gunanya. Melihat awan, meninjau hujan.”

#10. Ramuan Penangkal Kiamat – Zelfeni Wimra

Tentang ramuan darurat yang bisa digunakan saat terjepit. Sejak zaman Perang Padri sampai ear PRRI, bergenerasi digunakan. Sejarah Sumatra yang panjang nan berliku, zaman kolonial, zaman pasca merdeka, hingga kini. Setiap daerah memiliki kebiasaanya sendiri. Termasuk dua mangkuk ramuan rahasia… “Mengapa ayah menangis?”

Sebelum lanjut, mau bilang bahwa tahun ini penulis favorit Mahfud Ikhwan merilis lanjutan Dawuk, Anwar Tohari Mencari Mati kukasih skor sempurna (lima bintang). Kukira bakal masuk KSK, nyatanya tak tercantum. Apakah sekuel otomatis tak terjaring, atau nama Cak Mahfud sudah terlalu besar, entahlah…

Tahun lalu tebakan meleset jauh. Novel Orang-orang Oetimu tuh sempurna, sampai kulabeli buku terbaik lokal yang kubaca tahun 2020. Satu-satunya novel lima bintang KSK, masuk lima besar dan dengan pede sekali kutebak menang. Dalam podcast Mokondo-nya Bung Takdir panjang lebar kujelaskan sampai berbuih-buih, betapa indah cerita karya Felix K. Nesi ini. Sebagai pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta sebelumnya, kukira bakalan berstempel ganda, karena di waktu yang hampir bersamaan Marjin Kiri menyiapkan kover baru.

Burung Kayu sejatinya sungguh biasa, prinsipku adalah novel bagus itu menghibur, bahasanya ga ngawang-awang, plot jelas, cerita bagus, pembaca senang. Burung Kayu mencoba nyeni yang malah menghilangkan esensi isi, dan aku tak suka hal-hal yang tak nyaman. Hanya kukasih 3.5 bintang, buku pertama yang kubaca setelah pengumuman nominasi. Aneh, sungguh aneh.

Tahun ini tampak lebih aneh. Saat pengumuman lima besar, satu-satunya buku lima bintang bahkan sudah tak tercantum. Cerita-cerita yang Sedih dan Menakjubkan benar-benar menakjubkan, indah dilihat dari berbagai sisi. Campur aduk perasaan, dijabarkan dengan sabar, disajikan dengan istimewa. Kok bisa? Entahlah, sedikit mengejutkanku atas keputusan dewan juri menyingkirkan dini.

Dan memang masa depan itu sulit ditebak. Kejutan juga perlu dalam hidup, seperti semalam Bayern Muenchen dibantai 5-0, banyak orang suka ‘kan sama kegaduhan. Jadi mari kita susun kepingan tebak.

Yang tersingkir lima buku, dalam penilaianku buku bagus selain karya Raudal Tanjung Banua ada tiga: Revolusi Nuklir (empat bintang), Yogya Yogya (empat bintang). Namun masih dikoridor yang tepat, sebab di awal buku keduanya boring, baru meledak di pertengahan dan akhir. Serta Bunga Kayu Manis (empat bintang) yang juga indah, memang mendayu seperti tahun lalu dalam Makan Siang Okta yang juga melaju kencang di fantasi.

Satu buku lainnya memang pantas dihapus, sudah pas. Buku jeleq.

Daftar pendek mencantum Anak Asli Asal Mappi (tiga bintang), rasanya enggak banget. Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga sama saja, terlampau biasa (tiga bintang). Tiga lainnya berskor sama (empat bintang); jadi sejak kuikuti KSK, untuk pertama kalinya aku tak bisa yakin menebak. Ketiganya bagus, dan indah di porsinya masing-masing. Dua buku tentang Sumatra versus Madura.

Damar Kambang laik menang, cekam yang disaji bisa konsisten. Kental budaya Madura, taiye… selamat. Segala yang Diisap Langit to the point, apa-apa yang disaji memang sepantasnya disaji. Babat sana-sini demi tegaknya tauhid. Laik menang, selamat. Ramuan Penangkal Kiamat, tak perlu banyak bualan, mayoritas cerpen sudah disaring koran Nasional, dan jiwa-jiwa yang renta dalam kenangan menambah pikatnya, laik menang, selamat. Jadi tahun ini nebak mana?

Prediksiku: Buku-buku Bentang banyak sekali yang memuaskan, rerata bagus. Untuk kali ini sahaja, aku berdoa penerbit ini lebih diapresiasi atas kurasi mereka. Salam literasi dari Karawang yang damai.

Karawang, 281021 – 291021 – Michael Franks – Rendezvous in Rio

Thx to Titus P, sobatku yang selalu ada saat butuh tolong talangan transfer buku. Beeeest… (kecup kecup kecup)

Mengapa Ayah Menangis


Ramuan Penangkal Kiamat oleh Zelfeni Wimra

“Kita dilahirkan tidak untuk mengeluh. Kehidupan tidak menerima para pengeluh. Selalu ada jalan keluar. Saya saja yang belum menemukan!”

Kumpulan cerpen yang bervitamin. Dirangkai dari cerpen-cerpen yang sudah terbit di media masa. Rerata bagus sebab memang sudah dikurasi oleh tim handal, tinggal dilihat saja cerpen bagus atau kurang di Koran atau media daring mana, terlampir di akhir buku. Jawa Pos, Tempo, Republika, Padang Express…

Ada dua yang sungguh biasa, atau dikata kurang, atau malah cenderung jelek. Dan kebetulan dua-duanya belum terbit, lantas mencipta tanya, jangan-jangan keduanya ini sudah dikirim ke media tapi tak tayang? Maka diinput saja ke dalam buku. Dua itu adalah Ramuan Penangkal Kiamat, mencoba menelusur sejarah nenek moyang, tapi lemah dalam penyajian. Satu lagi tentang kucing lapar di rumah, plotnya lemah dan standar saja.

Favoritku jelas, Gantungan Baju Buya. Kiai selalu ingin pulang ke rumah mengisi ceramah di manapun, dengan anekdot gantungan baju saja sudah terdengar unik, agak aneh. Memang ketebak, sudah jelas keluarga adalah segalanya. Nah, endingnya yang keren di mana sogokan itu memakai anekdot lama yang otomatis mengingatkan pada gurunya. Satu lagi, Guru Nalu, teman masa kanak menjadi gila tersebab idealism kebablasan. Mengingat aku pernah punya teman seperti itu, terasa sekali emosiku turut. Temanku sembuh dengan dinikahkan dan ganti nama yang lebih sederhana, tak muluk-muluk atau keberatan kata, mungkin ini salah dua solusi buat Nalu.

Kuulas singkat-singkat sebagai apresiasi.

#1. Bila Jumin Tersenyum

Tentang kesulitan keuangan dan gigi yang tanggal, upaya untuk menutupinya mencipta iuran uang warga. Dilemma urgenitas. Namun memang anak atau di sini pendidikan anak urutan kebutuhan ada di urutan tinggi, dunia akan memakluminya.

#2. Madrasah Kunang-kunang

“Bila kampung sudah tidak memiliki orang disegani ibarat ijuk tak bersagar; bagai lurah tak berbatu. Kawan dan lawan akan bersilantasangan kepada kita.” Profesi penceramah menjadi diskusi menarik. Ayah tak suka anaknya bekerja seperti itu, diundang ke rumah-rumah, ke kantor-kantor untuk membacakan doa. Membiayai hidup dari upah mengajarkan agama seperti menjadi penceramah atau pendoa tidak berkah! Kita dikaruniai tubuh dan tenaga yang kuat.

#3. Gantungan Baju Buya

Tentang Buya Mukaram yang nekad tetap pulang seusai ceramah sekalipun sudah larut malam, walaupun sudah ditawarkan tempat menginap. Alasannya, di mana Buya akan menggantung bajunya? Yang secara tersirat terimplementasi di masa kini, saat ia mendampingi Pak Menteri ke provinsi terjauh, mendapat hadiah dan tawaran gantung baju.

#4. Kopiah yang Basah

Profesi dukun penggugur anak atau aborsi menjadi petaka saat Johan, kemenakannya mendapati kesalahan, pasiennya meninggal dunia. Ia ditangkap polisi, diperkara, dan Aku sebagai yang dituakan mencoba membebaskannya, mencoba damai. Datuak Basa Marajao dengan kopiah basah pulang naik angkuta umum.

#5. Guru Nalu

Orang gila yang mendaku guru. Kenangan masa kecil, serta upaya untuk mau mandi. Idealism pendidikan yang tak menelurkan manusia robot siap kerja, segalanya malah runyam. Kebablasan, mendekam di rumah sakit jiwa Pak Guru Nalu.

#6. Mengasah Lidah Murai

Belajar pidato atau bicara di depan umum dengan mahir itu tak hanya diasah dan belajar dari pengalaman, tapi juga ada syarat istimewa dari seorang sesepuh desa yang terkenal jago. Dengan mahar burung yang ditangkap dan tak hanya itu kerbau yang di-angon setiap hari harus dipastikan tercukupi asupan rumputnya. Belajar memang mahal.

#7. Urat Leher Burhan

Jodoh kebentur banyak kepentingan, doa ibu yang mujarab dan segala keinginannya yang ideal. Burhan seorang aktivis, berpacaran dengan wartawan, sudah pas dan wajar. Pranita di mata ibu terlalu vocal. Muncullah Evalisa, perawan tua yang tampak ideal mengingat Burhan yang juga sudah sangat matang. Namun lagi-lagi, Burhan memilih prioritas yang lain.

#8. Rumah Berkucing Lapar

Paling biasa dari semuanya. Suara meow di rumah yang mengindikasi ada kucing lapar yang suka mencuri lauk. Lantas membuat geram seisi rumah, dan tamunya.

#9. Ramuan Penangkal Kiamat

Sebagai judul buku, ini juga biasa. Sejarah Sumatra yang pernah ada penyebaran agama, warga asli yang terdesak dan upaya mencipta ramuan penangkal kematian. Dari generasi ke generasi, banyak jalan manusia untuk bertahan hidup, menahan gempuran kerasnya hidup.

#10. Dua Keping Kisah Pikun

Masa kecil memang terbaiq. Mahmud dan Zahara sudah berkawan akrab, sudha main kawin-kawinan. Sudah asyik madu dengan menangkap burung dan betapa akan mewujud nyata saat mereka bertunangan. Lantas takdir jahat menimpa, di usia senja adakah kesempatan kedua?

#11. Si Mas yang Pendusta

Si Mas yang melambaikan pergi dari geladak kapal untuk kembali ke Jawa seusai tugas menggempur gerakan PRRI di Sumatra. Janji-janji manis yang disampaikan dihianati, janji mau mengawini. Dicerita oleh neneknya Namimah yang makin renta kepada Neli yang penasaran cerita kakeknya. Oh tak seperti itu ternyata sebenarnya.

#12. Rentak Kuda Manggani

Kenangan oh kenangan. Di masa sulit, ia meninggalkan istri dan anaknya. Merantau jauh dan menikah lagi. Saat tua mengunjungi lagi tempat lama itu, ditemui anaknya yang juga sudah menua, dan juga mantan istrinya, kunjungan ini tak hanya meminta maaf, sebab sejatinya sudah dimaafkan, kunjungan ini adalah perjalanan menekuri ingatan, perjalanan religi di senjakala.

#13. Air Tanah Abang

Kalau kalian lihat gelandangan di Tanah Abang, bisa jadi itu adalah Langang. Ia adalah perantau yang ambisius, dulunya. Pergi dari tanah kelahiran sejak usia 15 tahun, menikah dengan warga pinggiran Bandung hingga memiliki anak, lantas diminta pulang oleh emaknya. Utang dan beban seolah dilepas secara bersamaan, dengan surat penting dan KTP ibu kota dilarung di selat Sunda. Lantas tekanan sosial malah mencipta ulang perjalanan.

#14. Gadis Bermata Gerimis

Nek Gadis yang sendu. Dikunjungi aku Jalito, mahasiswi pascasarjana. Sanad keluarga menyisa mereka berdua, banyak anggota kelurga meninggal di bencana tsunami Aceh 2004. Pesan nenek, memintanya segera menikah agar keturunannya berlanjut. Lantas seolah tanda-tanda senjakala yang mana menipis waktu hidup, sang nenek bercerita masa mudanya yang terlambat menikah. Betapa perjuangan laki-laki di zaman kemerdekaan itu penuh pengorbanan, begitu juga perempuan yang menanti, dobel pengorbanan.

#15. Rendang Kumbang

Ramuan untuk mengembalikan suami dari godaan janda tetangga. Suaminya Kari seorang sopir truk pasir, tergoda sama Marina janda beranak dua yang meminta pesan membangun dapur. Keakraban itu mencipta cemburu dan gemanya malah semakin terasa. Marini meminta dukun Pati buat bikin ramuan pikat sukma. Hasilnya? Alamak…

#16. Tukang Beri Makan Kucing

Suami kesepian walaupun sudah punya lima, semuanya merantau, punya banyak cucu, otomatis mengikuti orangtuanya. Dari Bandung hingga Papua. Istrinya ikut ke Si Bungsu yang baru saja memberi cucu, dan setiap saat istrinya meminta untuk kasih makan kucing kesayangan. Namun suatu ketika si kucing malah memberantakkan dapur, bikin kzl. Wait… rasa sepi itu seharunya dibelai si meow…

#17. Sihir Batu Bata

Ibunya yang cerai mencipta kekesalan. Sebagai anak SD ia rindu belaian ayah, dan kala ada sopir yang mampir ke warungnya menggoda ibunya, ia berjanji akan membalas dengan kepal tangan kuat. Pendidikannya hancur, tapi tak bisa dijadikan alasan sebab kakaknya di posisi sama tetap berprestasi. Kala masalah dewasa dilihat dari sudut anak-anak memang tak sinkron, dunia itu semua ada masanya, Nak.

#18. Diri Juga Ingin Pulang

Seolah ini adalah gelandangan di ‘Air Tanah Abang’. Diri yang kere, sementara teman-teman sebayanya sudah sukses secara materi. Ia lantas menelusur masa lalunya, timbul tenggelam dalam kenangan.

#19. Tuan Alu dan Nyonya Lesung

Memakai anekdot alu dan lesung, sejoli yang saling mengisi. Seolah pohon stek, dibabat tapi bisa tumbuh lagi setelah coba ditanam lagi. tuan Alu dan Nyonya Lesung dalam lanskap surealis bdi taburan biji kopi.

Sebagai buku terakhir, Ramuan Penangkal Kiamat sudah dkutahui masuk lima besar. Laik, skor 4 masih bisalah untuk teman ngopi, lebih dari ekspektasi. Sulit memang membuat cerpen bagus. Salah satu ciri Bung Zelfeni adalah, riwayat karakter tergambar jelas dari mula hingga senja. Lihat saja, para tokoh utama sering kali mengingat masa lalu, meriwayat dari kecil atau dari muda, lantas ke masa kini. Balutan tradisi daerah adalah hal wajar, dan sudah sangat lazim dibuat. Tanpa tahu siapa Zelfeni, aku sudah bisa menebak ia orang Minangkabau atau Sumatra, atau setidaknya pernah tinggal di Sumatra, merantau ke tanah Jawa, dan ekonominya lumayan (terlihat dari cerpen awal). Untuk karakter yang lusuh, bisa dicomot dari orang-orang sekitar. Lihat, banyak hal bisa dipetik dari sini.

Cerita bagus, lebih mudah ditulis dari kisah sendiri atau teman sekitar dan memodifikasinya. Secara otomatis, pembaca juga. Dengan mudah menautkan emosinya. Selamat!

Ramuan Penangkal Kiamat | oleh Zelfeni Wimra | GM 6212020001 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Penyelia naskah Teguh Afandi | Desai nisi Ryan Pradana | Desain sampul Orkha Creative | Cetakan pertama, Januari 2021 | ISBN 978-602-06-4985-6 | ISBN Digital 978-606-06-4986-3 | Skor: 4/5

Tikus dan tupai mudah dipilah sedari kecil hanya dengan melihat ekornya.

Karawang, 281021 – Michael Franks – Time Together

Akhirnya selesai. 10 dari 10 prosa KSK selesai baca dan ulas.

Thx to Aiakawa Books, Bogor

Puisi tuh Bukan Gini Bro…


Jakarta Breaking Poetry by Foentry.com

Duduk diam tak menentu / Memikirkan waktu yang terus berjalan tak tentu / Dimana loudspreaker bersuara maaf selalu / Jajanan pasar biasanya segera keluar sebagai hidangan penyumbat malu / Kadang roti isi yang beredar sebagai peredam emosi penumpang yang / menggebu-gebu / Kadang juga nasi bungkus yang dibagikan sebagai alternative / pencegah demo yang lebih seru – Poetry #22: Maskapai Penerbangan Terhebat Sepanjang Sejarah Perjuangan Bangsa

Kumpulan puisi mbeling yang payah. Tampil beda tak selalu keren. Buku ini mencerita segala aktivitas dan kritik sosial di ibu kota, dibawakan dengan aneh dan nyeleneh dan dalam konotasi negatif. Entah maunya apa, puisi yang sudah kita ketahui itu memang agak sulit dimaknai, walaupun memang tak ada yang salah. Mau dirubah dengan gaya gaul, oh tidak. Puisi tuh ga gini bro. Sungguh buruk.

Identitas penulis dirahasiakan, seolah memang sudah malu sama karyanya. Lihat saja identitas bukunya, semua oleh Foentry, kecuali Joshua Santoso, dan bisa saja jangan-jangan dia sendiri yang bikin juga? Semua kerjaan diborong, dan itulah mengapa perlunya editing, proof reader, dst sehingga jika tulisan melenceng ada yang meluruskan. Ini Joshua hanya ditaruh dibagian ilustrasi. Esensi isi tulisan tak disentuh orang kedua/ketiga. Ambyar! Eka Kurniawan contohnya, bukunya diedit oleh orang lain, buku Seno Gumira Ajidarma editornya pernah orang yang masih fresh graduate, ga masalah asal dicek sama orang lain yang kompeten. Kalau tulisan gede-kecil sih memang sengaja, tapi editing kata baku saja beberapa kelewat: yang basic saja kata ‘silahkan’. Buku ini representasi sebuah karya yang tak enak dinikmati, mentah, lemah, dan boring sekali. Malah kayak Vicky Prasetyo yang terkenal suka belibet kata, di sini beneran dicetak, diedarkan, dan dijual. Kacau dari berbagai sisi.

Mau kritik sosial dan budaya, tapi jatuhnya malah penyampaian antah surantah.

Banyak sekali tulisan alay kombinasi angka dan huruf capital, ya ampun, merusak mata. Menjemukan gan, baca tulisan alay di sosmed saja rasanya muak, ini dalam buku ber-ISBN! Bukunya juga berwarna, blink-blink ala abege. Halamannya tampil beda, ditaruh di samping. Bukan di atas/bawah. Untuk penjelasan catatan kaki, tak semua di bawah, sebagian di halaman khusus belakang. Dan jujur sahaja, catatan kaki tuh tak banyak harusnya. Semakin banyak semakin kelihatan bego, yang berarti sang penulis gagal menyampaikan isi hati ke pembaca. Dan catatan kakinya basic banget pula. Contoh Dan Brown, ngapain dijelaskan ia adalah pengarang Da Vinci Code? Tak perlu, tak usah. Buasiiiic gan. Atau pas nyindir kasus korupsi yang sedang hype saat puisi dibuat, tak usah. Tak perlu seterang-terangnya. Atau menjelaskan kalau HI itu Hotel Indonesia. Duuh! Maksud hati mau kritik pengambil kebijakan pemerintah, malah penyair antah ini yang patut dihujat/kritik abis!

Mending nulis prosa saja, cerpen/novel yang narasinya panjang dan nyaman ketimbang berwujud puisi tapi bentuk dan penuturan bertele-tele. Ini sejenis curhat berparagraf-paragraf, dimodifikasi dalam bentuk puisi yang ada baitnya, ndelujur tak jelas. Mencerita kehidupan Jakarta, sayangnya berisi hal-hal yang unfaedah. Rerata malah menjelaskan betapa penulisnya berpikiran sempit. Seperti menjelaskan caddy golf, itu menjurus ke selakangan. Tak semua caddy seperti itu gan. Atau bercerita tentang kawin kontrak, cara menyampaikannya saja amburadul. Maksud hati nyinidr area Cisarua yang banyak orang Arabnya, malah bablas, bahkan ada lagi di puisi lain tentang nikah siri atau arisan sosialita tentang brondong. Dahlah! Kalau pameo, apa yang ditulis adalah bentuk pribadi penulisnya. Maka yah, begitulah sekiranya isi buku ini.

Yang lumayan ok paling ‘Muatan Kebijaksanaan Para Filsuf Buronan’. Di mana disinggung kata-kata yang tertera di belakang truk begitu aneh dan nyeleneh, nyelekiti sekaligus ada benarnya. Permainan kata yang disajikan memang unik dan menyenangkan di mata. Namun malah keseluruhan malah bahas pribadi rerata sopir truk yang kelelahan. “Biar penghasilan pas-pasan tapi istriku sehat dan juga gemuk / Apa ini saatnya aku cari perempuan lain yang lebih seksi dan mudaan, nduk?”

Atau ilustrasinya Ok-lah. Menggambar bagus itu sulit, sama sulitnya mencipta kata-kata bijak. Penggambaran tiap puisi terwakili. Cover-nya Ok, lukisan abtsrak tiap judul juga dibuat samar dan justru yang samar adalah bagian dari keindahan. Yah, masak aku baca buku puisi tapi yang kupuji gambarnya. Mending aku beli komik sekalian dah.

Dan ternyata feeling-ku bahwa ini terinpirasi Vicky Prasetyo terbukti. Di nomor 24 berjudul ‘Musik Kontraversi Hati Penderita Skizofrenia’ ada sub judul “Puisi Vickinisasi”. Ya ampun, pantas saja sudah terbaca memualkan. Ternyata rujukannya selebriti itu to. Kiss My Age! You damn twenty nine!

Keputusan aku membeli buku ini sebenarnya iseng sahaja. Pas kutanya ke grup WA grup Buku, taka da yang merespon. Lantas ku googling, hasilnya tak banyak. Hanya sejenis endorsement singkat, buruknya hal itu memicu rasa penasaran. Apa maksud puisi baru, apa terobosannya, apa yang mau dibikin nyeleneh/anti mainstream. Eh kek gini, ya ampun. Rasanya buang waktu saja. Rugi waktu, biaya, tenaga. Lantas kenapa tetap kuulas, ya semua buku baik yang menyenangkan atau yang busuk tetap kuulas, biar pembaca blog tahu seberapa rekomendasi sebuah karya. Dan jelas, Jakarta Breaking Poetry adalah sampah belaka. Nonsense. Skip keras!

Jakarta Breaking Poetry Series #1 | by Foentry.com | Copyright 2015 | Penerbit buku Foentry, April 2015 | CV. Foentry TSI | Editor Foentry.com | Desain cover Joshua Santoso | Layout & Ilustrasi Joshua Santoso | ISBN design Foentry.com | Distributor Foentry.com | ISBN 978-602-71-6300-3 | Skor: 1.5/5

Karawang, 261021 – Billie Holiday – Me My Self and I

Thx to Latifah Book, Yogya

Semesta Murakami: The Art of Fiction Issue


Semesta Murakami by John Wray, dkk

“Aku suka membuat orang tertawa setiap sepuluh halaman.”

Terdiri atas tujuh cerita, plus satu pengantar dari Cep Subhan KM. menyenangkan sekali menyaksi Penulis favorit menjalani hari-harinya, ditulis dengan gaya santai dalam bentuk esai dan wawancara. Sebagian besar mungkin sudah sungguh familiar, atau karena berkali-kali dibaca, sekadar pengulangan, tapi mayoritas memang hal-hal asyik. Seperti proses kreatif menulisnya, sudah sering kubaca; bagaimana ia menulis dalam bermimpi, dan dalam daya imaji, itu adalah kegiatan mimpi yang bisa dilanjutkan. Atau bagaimana adegan drama yang memberinya ilham di lapangan olahraga dalam momen ‘eureka’ Aku bisa menulis, atau di bagian familiar hampir semua jagoannya menderita.

Sebuah Pengantar: Tenung Murakami oleh Cep Subhan KM

Bagus, isinya meringkas dan menjelaskan hal-hal yang memang harus dijelaskan. Sebagian buku yang disebutkan sudah dibaca, jadi nyaman sahaja, langsung klik. 1984 jelas rujukan utama 1Q84, keduanya sudah baca maka apa yang disampaikan mana yang lebih baik/penilaian secara keseluruhan mungkin berkebalikan bisa dengan jitu diserap. Aku sendiri sangat suka keduanya. Pengantar ditutup dengan apik dengan kalimat, “Tampaknya kekaguman kita terhadap Murakami, sedikit atau banyak, dipengaruhi oleh kekaguman kita terhadap dia sebagai subjek yang tak menyerah…” Amat langka menemukan penulis dengan keseimbangan menerapkan pola hidup sehat, dan mampu ikut marathon rutin! Hanya Murakami yang bisa.

#1. Menjadi Orang Asing di Negeri Sendiri oleh Laura Miller

Wawancara ini pertama terbit di salon.com pada 16 Desembr 1997. Bagaimana Raymond Carver memengaruhinya, adegan sumur terutama bagaimana ia terilhami anak yang terjatuh ke dalamnya seharian. Kalau kalian sudah baca, misalkan Kronik Burung Pegas; sumur menjadil simbol masuk ke dimensi lain. Menjadi tempat merenungkan kejadian antah yang merasuk ke sumsum. Termasuk adegan memilukan di Pembantaian Nanking dipindahkan ke panel Manchuria, di novel ada penggambaran prajurit yang tertangkap dikuliti hidup-hidup, atau membunuh dengan tongkat bisbol hanya untuk menghemat peluru. Lihat, imajinasi berhasil mencipta kengerian.

#2. The Art of Fiction Issue – Haruki Murakami oleh John Wray

Wawancara ini terbit pertama di tahun 2004 di The Paris Review. Tak salah penulis ini yang dipilih muncul di kover, sebab memang yang paling bagus. Panjang dan detail. Menjelaskan proses kreatif bagaimana inpirasi muncul. Jelas terpengaruh sama novel-novel lawas yang bagus. Dari The Great Gatsby, The Little Prince, buku-buku Kurt Vennegut, hingga bantahan bahwa novel-novelnya yang absurd apakah diilhami film The Spirited Away. Justru beliau sebut nama sutradara yang tak kukenal dari Finlandia: Aku Kaurismaki. Bakalan kuburu nih.

#3. Raja Kegelapan dari Dunia Mimpi oleh Stephan Phelan

Pertama terbit di harian The Age pada 5 Februari 2005. Satu dari dua yang ditulis bukan dalam bentuk wawancara. Esai tentang kekagumannya sama Murakami, menjelaskan beberapa poin yang mungkin sudah familiar. Riwayat hidup Murakami dari orang pemilik kafe, menulis, dan menjalani keseharian. Murakami pernah menyebut kisah-kisahnya sebagai ‘misteri tanpa solusi’, yang bisa kit abaca sebagai metafora dari kehidupan itu sendiri.

#4. Penangkap Mimpi oleh Sally Blundell

Dibandingkan dengan penulis pemenang Booker Prize (nantinya menang Nobel Sastra) Kazuo Ishiguro, yang bilang novelnya bernada surreal-yang berubah-menjadi-absurd; keinginan membelokkan keadaan. Namun Murakami tak setuju sebab baginya semua sangat natural.

#5. Dunia Bawah Tanah Murakami oleh Deborah Treisman.

Ada satu pembuka yang lucu. Sebelum wawancara, Murakami menjelaskan. “Menjadi novelis sejati: pertama ia tak akan membicarakan pajak penghasilan yang ia bayarkan; kedua, ia tidak menulis tentang mantan pacar atau mantan istrinya; ketiga ia tidak memikirkan soal hadiah Nobel Sastra.” Maka ia meminta tak menanyakan tiga hal itu. Hehe…

Pertama terbit di The New Yorker pada 10 Februari 2019, ini juga tulisan yang luar bias bervitamin. Aku kutip sahaja salah duanya, “Aku menulis sambil mendengarkan musik, jadi secara alami musik akan meresap ke dalam tulisan-tulisanku… ia memberi energi untuk menulis. Jadi aku sering menulis tentang musik, dan seringnya aku menulis tentang musik yang aku sukai. Ini bagus untuk kesehatanku. Ya, musik dan kucing. Mereka banyak membantuku.”

Gene Quill, musisi saksofon tahun lima puluhan hingga enam puluhan yang terinspirasi Charlie Parker pernah menjawab kritik di bar seusai tampil. Seorang pria berujar, “Hei yang Anda lakukan hanyalah bermain seperti Charlie Parker.” Gene mengulurkan saksofonnya dan berkata, “Ini. Bermainlah seperti Charlie Parker.” Dari kejadian ini, ada tiga anekdot. Pertama, mengkritik itu mudah. Kedua, menciptakan yang original itu sulit. Ketiga, seseorang tetap harus melakukannya. Begitulah, sama seperti di dunia tulis-menulis.

#6. Haruki Murakami: Melihat Kembali 40 Tahun Kerja Penulisannya oleh Kyodo News

Terbit pada 5 Juni 2019. Ini sudah diwarning berisi spoiler novel Killing Commendatore, tapi tetap kulibas habis juga walau aku belum baca, dan baru tahun ini diterjemahkan oleh KPG. Dan jelas sekali, aku pasti mengoleksinya. Tak masalah.
Sama, aku kutip sahaja dua bagian yang menurutku bagus. “Secara alami, tema dari cerita-ceritaku adalah perkara menjelajahi alam bawah sadar dan lubuk hati terdalam… bagian terdalam dari pikiran sadar. Ketika kita menggali alam pikiran sadar sedalam mungkin, kita akan menemukan makhluk-makhluk kegelapan dari dunia yang paling aneh.”

“Kekerasan di media sosial muncul secara terfragmentasi, tidak memiliki keterkaitan satu sama lain. Aku pribadi pecaya, semakin panjang suatu cerita maka semakin baik. Karena ia tidak terfragmentasi. Harus ada poros nilai yang konsisten di keseluruhan cerita. Dna ia harus bertahan dalam ujian waktu.”

#7. Akhir yang Bahagia untuk Sang Pelukis dan Penulis

Berisi percakapan antara Haruki Murakami dan pelukis dan penulis sahabatnya Mizumaru Ansei.

Murakami: Sebenarnya, setiap kali meminta bantuan, aku sudah memiliki ide di kepala. Hanya saja, aku selalu gagal menyampaikannya dengan kata-kata. Begitu juga ketika aku meminta bantuanmu.

Ini buku special untuk penggemar Haruki Murakami. Tipis, kecil, tapi sungguh berbobot. Nyaman sekali bila kita membaca orang yang sudah kita kenal, bagiku penulis terbaik yang masih hidup saat ini adalah beliau. Setiap tahun berdoa dan berharap menang Nobel Sastra, entah sampai kapan. Semoga Haruki Murakami berumur panjang dan terus menulis hingga akhir hayat. Catatan ini kututup dengan nasehatnya tentang dunia kepenulisan tentang kesabaran:

“Untuk menulis novel yang panjang, diperlukan setidaknya satu tahun dengan tingkat konsentrasi dan semangat tinggi.”

Semesta Murakami | by John Wray, dkk | Penerbit Odise | Cetakan pertama, Februari 2021 | ISBN 978-623-95462-4-3 | Penerjemah Dewi Martina | Penyunting Agata DS | Tata letak The Naked! Lab | Perancang sampul The Naked! Lab | Skor: 5/5

Karawang, 251021 – Michael Franks – Samba Do Soho

Thx to 7 teman dalam 700k untuk Juventus-nya Tuan Pirlo. Thx to Sentaro Books, Bekasi.

Menakjubkan!


Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan oleh Raudal Tanjung Banua

“Kata ibuku, iblis tak penah mati!”

“… Makin jauh, makin kasih hati kepada mereka yang berpisah. / Apa yang kukenang? Masa kanak waktu tidur dekat ibu. / Dengan membawa dongeng dalam mimpi tentang bota. / Dan raksasa, peri dan bidadari. Aku teringat. / Kepada buku cerita yang terlipat dalam lemari…: (Subagyo Sastrowardoyo, “Manusia Pertama di Laur Angkasa”, 1970)

Tentu saja ada sejuta variasi bagaimana sebuah dongeng dapat dikisahkan: rasio narasi terhadap data; kecepatan, alur, dan nada. Titik dalam narasi tempat ‘menyusup’ ke dalam cerita. Kita semua akrab dengan dongeng, terutama dari orangtua, dan buku ini adalah serangkaian kisah-kisah dongeng yang dituturkan ulang dengan gaya. Entah nyata, atau banyak modifikasi, yang jelas tampak menakjubkan.

Menakjubkan! Ya, itulah komentarku seusai membacai. Campur aduk perasaan, dijabarkan dengan sabar, disajikan dengan istimewa. Cerita-cerita masa kecil dari orangtua, paman sampai neneknya, kita melangkah lanjut ke tema-tema masa lalu yang lebih umum, menorehkan kenangan. Menulis tentang masa lalu, sekali lagi kubilang sungguh aktual. Dan lebih mudah diimajinasikan. Sungguh nyaman, asyik sekali diikuti, seolah membacai memoar, menelisik nostalgia.

Wahai para penulis, Anda harus cukup menghibur pembaca hingga kita memberikan perhatian. Dan dongeng yang menghibur adalah syarat mutlak.

#1. Cerita-cerita Kecil yang Tulus dan Murni dari Ibuku

Cerita istimewa memang baiknya ditaruh di muka, cerita tentang tangga yang menghubungkan warga langit dan bumi terdengar menarik. Orang langit butuh garam tinggal turun, orang bumi butuh cahaya tinggal naik. Orang-orang justru lebih akrab lintas dimensi ini, sampai suatu ketika terjadi bencana yang pada akhirnya membentk kita dalam bertetangga.

Atau kisah Si Miskin dan Anak Raja, bagaimana seekor kumbang milik Si Miskin pada akhirnya kisah mencipta jodoh istimewa. Cerita raja bangau sungguh memilukan, ini juga bukan sekadar kisah, ini sejenis penggambaran cinta sejati yang buta. Sadis, tak berperikemanusiaan eh tak berperikebangauan.

#2. Cerita-cerita Kecil yang Sedih dan Menakutkan dari Ayahku

Selalu minta dipijat dengan imbalan cerita dari Sang Ayah. Angkut-angkut (aku gagal memahaminya pertama baca, sebab tak tahu ini binatang apa; sampai akhirnya aku googling seusai lahap) sejatinya berasal dari manusia yang menunggu padi masak buat disabit, sia-sia.

Kisah tikus betung memelihara bayi manusia menjadi inspirasi balas budi. Jangan lagi Utung masuk ke rumah orang. Utung sudah tua dan istirahat saja sekarang.” Utung, rumpun betung.

#3. Rangkaian Cerita yang Menyertai Wabah di Kampungku

“Sering-seringlah memandang Bukit Talau. Banyak gunanya. Melihat awan, meninjau hujan.” Ini kisah-kisah isyarat alam yang menjadikan informasi akan datangnya kejadian buruk sehingga warga bisa antisipasi, atau minimal persiapan. Ada saja jenisnya, suara-suara misalnya. Atau kisah lucu pasukan tikus dan babi yang menyeberangi jalan dengan saksi sopir ngantuk di malam pekat. Ada-ada saja.

#4. Cerita Kecil tentang Pohon dan Belukar Masa Kecilku

Lucunya. Batang kayu putih yang salah tangkap jadi olokan tak sopan. “Khalera, ini tidak bisa disuling! Ini kayu sampah!” dan kisah-kisah masa kecil dengan pohon, kerbau, belukar, dst ini jelas menjadikan kita kenangan masa kecil sungguh berharga dan tak ternilai.

#5. Cerita Kecil yang Menyentuh Iman dari Nenekku

Nenek adalah semesta kisah, rujukan cerita masa kecil banyak orang, terlebih jika itu menyangkut keselamatan dunia akhirat. Berkisah kehidupan sesudah kematian mencipta cekam, bagaimaian malaikat Raqib dan Aqib menggedor dinding kubur. Menanyai banyak hal, mencipta jerit bagi para pendosa, tapi tak ada manusia di atas tanah yang mendengarkan, kecuali binatang. Maka selagi masih hidup, berbuat baiklah. Duh, sungguh bijak bestari.

#6. Cerita Campur-Aduk dari Pamanku

Dari Paman Untung Sudah, nama dengan segala arti dan makna. Ia pernah cerita, mengajak mendatangi ke kota. Ke mana? Padang? Batangkapas? Jakarta? “Lebih jauh dari Jakarta; untuk apa ke sana, dulu mereka kirim tentara kemari! Kita pergi lebih jauh dari Amerika, bahkan luar negeri pun lewat, sebab ini berhubungan dengan akhirat.” Hehe, bisa-bisanya.
Jodoh paman Untung sendiri disampaiakan dengan unik, pencarian berbuah manis berkat bantuan sang kiai.

#7. Cerita Rakyat dari Daerahku atawa Dendang Membara Pirin Bana

Pandai memainkan perasaan, seolah mengaduknya dalam bejana, itulah keunggulan Pirin Gadang atau Asmara. Kritik sosio politik menjadi membara kala dicerita di atas panggung. Ada tiga Pirin di sini, pertama Pirin Gadang atau Besar; kedua Pirin Ketek atau Kecil, dan terakhir Bana nah yang ini tersingkir karena dalam penampilannya menyentil proyek jalan terbengkelai dari pemerintah. Gara-gara ‘Insiden Taman Budaya’, ia lantas menghilang, Aku lalu mencoba menyewanya untuk tampil di acara khitanan anakku. Dan drama terjadi, saat penampil muncullah mobil plat merah yang berupaya membubarkan pesta, tapi memang tak semudah itu. Hal-hal yang dirasa perlu disampaikan, tak selamanya berhasil dibungkam.

#8. Bersin

Gelitik ajaib yang meledakan hidung, niscaya bisa jadi pematik yang membalik keadaan. Sebuah malam yang keramat, rumah Bu Gendhuk yang tenang lantas geger sebab ada orang bersih di sana. Dan kedamaian dan ketenteraman mendadak sirna dari bumi. Hahaha… iso ae.

#9. Kisah Cinta Menikung si Tukang Kabung

Selalu ada jalan di lingkar adat nan bestari. Ini cerita paling lucu nan tragis. Dari pengamatan di pinggir jalan, di pasar yang riuh muncullah karakter unik. Pak Uba bersepeda jauh dengan menjual entah apa. Dia dijuluki manusia kabung, sebab hanya menjadi penyambung mantan suami istri yang telah bercerai lalu mencoba rujuk. Nikah kontrak demi sahnya ajaran agama. Lantas kasus besar terjadi sebab Marlena sang istri tak mau dicerai, fakta-fakta masa lalu sedih dan romantic-pun muncul. Luar biasa. Cinta sejati takkan pernah mati. “Ia telah menjelma jadi Gua Hantu, hahaha…”

#10. Cerita Laskar Merah dan Hilangnya Pesawat Terbang

Sedih dan begitulah bila info samar dijadikan patokan, atau bisa dibilang apes bila yang merespon galak-galak. Kisah hilangnya Merpati Nusantara Airlines dengan registrasi PK-MVS rute Jakarta-Padang membuat Kutar bin Katidin kehilangan dua gigi yang nyaris tanggal. “Kutar itu anak turunan Laskar Merah.”

#11. Kamus Cerita Abdul Muin

Kisah tragis mahasiswa mati muda yang mencoba menulis buku. Mencoba tampil beda, idealis dengan tema unik. Teman-teman kosnya di Yogya membuat buku yang laris dan mengikuti arus hype pasar, ia tak mau ikutan. Naas, Abdul Muin meninggal dunia mendadak. Dan saat kosnya dibersihkan, Aku menemukan draf bukunya. Cerita dalam bentuk kamus gaul yang sedap dibaca. Namun belum tuntas. Dan ini menjadikan Abdul Muin telah lebih memulai.

#12. Cerita Kecil tentang Jalan Masa Kecilku dan Segala yang Melintas di Atasnya

Memang, jalan yang dulu terasa jauh atau sebuah tanjakan yang dulu terasa tinggi, kini setelah dewasa ternyata tak sejauh itu, ternyata tak securam itu. Apakah karena kita yang sudah dewasa sehingga langkah dan tinggi tubuh menjulang, atau karena nostalgia itu sejatinya syahdu?

Aku sudah baca biografi Bung Karno yang mencerita perjalanan panjang di zaman mula Jepang ke Bukittinggi yang terkenal itu, nyatanya di sini jalan bersejarah itu terbengkelai, kenapa setelah merdeka bukannya diperbaiki, dijadikan rute napak tilas, atau minimal diperhatikan pemerintah (daerah saja dulu, jangan berharap pusat). Dunia memang begitu, mudah lupa, mudah terlupakan.Jalan masa kecilku sejatinya tak banyak berubah. Atau, ia menyusut ke masa lalu?

Ada satu cerita yang sayang kalau tak kusampaikan di sini, sopir truk tanki Pertamina yang mirip Raja Dangdut Rhoma Irama lewat dan cuek dari sapa warga, sampai suatu hari ia menabrak sapi Uni Jani yang mengubah gaya tengilnya.
Kubaca di sela saat pelatihan koperasi tiga hari dua malam pada 21.10.21 s/d 23.10.21, dapat separuhnya; separuhnya lagi kunikmati di akhir pekannya. Secara keseluruhan kandidat prosa KSK 2021, inilah yang terbaik. Dari Sembilan buku, hanya ini buku bernilai lima bintang. Sayang saat buku ini kupegang, pengumuman lima besar tak mencantumkannya. Cerita Kecil tersingkir justru saat kutemukan prosa yang istimewa.

Catatan ini kututup dengan kutipan dari Ishak Bashevis Singer, pemenang Nobel Sastra yang menulis berbagai genre, termasuk buku anak-anak, dia menjelaskan bahwa anak-anak membaca buku, bukan ulasan/ mereka tidak peduli sama sekali dengan kritik. Cerita-cerita Kecil walau tak seluruhnya cerita anak-anak, tapi Bung Raudal dengan efektif menelusur masa kanak-kanak, dan berhasil.

Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan | oleh Raudal Tanjung Banua | xi + 192 halaman, 13.5 x 20 cm | Penerbit Akar | ISBN 978-602-50433-5-2 | Cetakan 1. Oktober 2020 | Desai nisi Framearts | Desain cover Nur Wahida Idris | Gambar cover dan isi diolah dari lukisan pada kap lampu | Skor: 5/5

Karawang, 241021 – Manhattan Jazz Quartet

9 down, 1 to go.

Thx to Jual Buku Sastra (JBS), Yogyakarta

Perkara Mengirim Senja


“Aku adalah potongan senja yang kau ambil untuk pacarmu. Tinggal seperempat. Tiga perempatnya telah hancur oleh hujan yang kauciptakan.”

Kumpulan cerpen keroyokan. Sebuah persembahan untuk Seno Gumira Ajidarma (SGA). Bagus-bagus, aku suka. Memang kalau ngomongin senja, pertama yang terlintas adalah SGA. Walaupaun sebelum beliau bikin cerpen yang fenomenal itu, tentu saja senja sudah jauh hari diulik banyak penulis atau seniman dan lebih sering penyair. Menampilkan 15 cerita dengan tafsir senja bebas, sebebas-bebasnya. Dibuka dengan pengantar Anton Kurnia, ditutup dengan profil para penyaji.

Beberapa kutipan dari tulisan Anton Kurnia saya ketik ulang saja. Bagus buat dibagikan.

Peneliti sastra Indonesia dari Australia, Andy Fuller menyatakan SGA menggunakan jurus-jurus postmodermnisme dalam karya-karyanya, antara lain menggunakan metanarasi, absurditas dalam penokohan, dan kedekatan dengan budaya populer. SGA juga kerap membaurkan batas-batas antara fiksi dan fakta dengan memdukan jurnalisme dan sastra.

Mengutip Pramoedya, dunia tentu saja bukan surga yang segalanya serbasempurna; dunia adalah tempat kebaikan dan keburukan berdialektika, dan setiap manusia ‘bebas’ memilih peran masing-masing.

Seperti yang dinyatakan oleh SGA dalam tulisannya, seseorang yang ingin menjadi penulis yang baik tinggal melihat lewat jendela kehidupannya dengan baik-baik, lantas menuliskan apa paun yang dianggapnya menarik atau tidak menarik, dengan cara yang menarik maupun tidak menarik. Kedunya menyumbang, keduanya mendapat tempat.

#1. Gadis Kembang – Valiant Budi Yogi

Haha, pembuka yang lucu. Info apa yang beredar belum tentu segaris lurus sama fakta. Info selingkuh dan pasangan yang dicampakkan, nyatanya tak seperti yang kita tahu. Taya dan drama ala sinetron kita yang haus sensasi. Simpan simpatimu, Kawan.

“Tapi aku senang mengendap-endap.”

#2. Perkara Mengirim Senja – Jia Effendie

Senja begini tak boleh dinikmati sendirian. Menatapnya seorang diri akan membuatmu depresi. Seperti ada jarring sepi yang dilemparkan dari langit dan merungkupimu dalam perangkapnya. Kau jadi seperti tersayap-sayat sendiri. Dipenjara kesunyian, digantung keheningan. (h. 14-15).

“Aku akan memajang senja itu di ruang tamu. Biar semua orang yang datang ke rumahmu iri.”

#3. Selepas Membaca Sebuah Pertanyaan untuk Cinta, Alina Menulis Dua CeritaPendek Sambil Membayangkan Lelaki Bajingan yang Baru Meninggalkannya – M. Aan Mansyur

Ada banyak kata-kata dalam diam. Celana besi yang mencegah selingkuh dicipta dan dipasangkan ke istri di rumah. Dan publikasi akan mencipta sensasi, hingga akhirnya kita tahu bahwa kunci tak selamanya aman.

Kalimat itu tak punya kuasa untuk meluruhkan sedihnya. Kecelakaan dan kesedihan yang tercipta setelah kemakaman istri tercinta. Dan hal-hal yang tersembuyi di baliknya.

#4. Kuman – Lala Bohang

Cinta nafsu yang menggebu ditautkan dalam cinta sejati. Beneran cinta sama dia? Lantas kenapa masih di sini bersama orang lain? Bertender gagah menjawab dengan kekuatan magisnya.

“Aku mau dua-duanya.”

#5. Ulang – Putra Perdana

Alina dan Sarman mendaki bukit dan melakukan hal-hal yang memang harus dilakukan. Melakukan perjalanan hingga ke gua untuk bertemu juru cerita misterius.

“Jawaban macam apa itu? Kalaupun sejarah ditulis ulang, semua peristiwa itu telah terjadi. Menceritakan kembali dari awal tidak mengembalikan segalanya seperti sedia kalau. Suamiku tetap tiada! Anakku tetap tiada! Semua telah terjadi.”

#6. Akulah Pendukungmu – Sundea

Satu Oktober, hari Kesaktian Pancasila. Sebuah pigura Garuda Pancasila di kelas bisa menjelma hidup dan menggunakan keajaiban di hari istimewa itu.

“Apakah hari ini aku berhasil menemukan Sandra.”

#7. Empat Manusia – Faizal Reza

Saling silang nasib manusia di kehidupan fana ini. Purba, Hendar, Yani, Susan. Oh lima, satunya Ruth Sahanaya.
“Sejak kapan kangen mengenal waktu?”

#8. Saputangan Merah – Utami Diah K.

Bagaimana cara berkenalan dengan orang asing dengan baik? Lebih pasnya bagaimana memulai perkenalan dengan orang asing dengan baik dan benar. Dan jika sudah mengenal, bagaimana memujanya dengan tak tampak begitu memuja. Oscar Wilde dan naskah teaternya mungkin tahu.

#9. Senja dalam Pertemuan Hujan – Mudin Em

Kafe. Hujan. Senja. Rasa sentimental akan menggoyahkannya. Masalahnya kamu bukan bersama istrimu, bersama kekasih gelap yang tak sepantasnya dipeluk hangat. Ahh… cinta. John Legend dengan Where Did My Baby Go biar yang menyaksi.

“Karena ia bisa menciptakan hujan. Dan mereka menyukainya. Mereka terjebak di dalamnya.”

$10. Kirana Ketinggalan Kereta – Maradilla Syachridan

Karena manusia tidak boleh terus nyaman dalam sebuah keadaan, sesekali harus melakukan perubahan. Hehe, mungkin ini yang terbaik. Cinta memang buta, dan kita berjalan dengan tertatih karenanya. Kirana dan ajakan menemani, sebab akan keluar kota. Dengan dokrin mungkin ini kali terakhir bertemu, apapun coba dilakukan. Saya kira manusia memang selalu mencari perkara.

“Ya, saya mau ikut kamu, Kirana.”

#11. Gadis Tidak Bernama – Theoresia Rumthe

Anggap saja saya hidup hanya untuk hari ini. menikmati segala sesuatu yang saya alami hari ini penuh-penuh. Besok lain cerita. Hari kemarin apalagi, mereka hanya akan lewat begitu saja. Tak ada romantisme tertentu. Enak betul kerja meneliti senja. Setiap hari disaksi dan ditelaah, berubahan, berbedaan, fenomena apa yang terjadi. Di dalam diri setiap manusia terdapat semacam kegelisahan. Dinas Penelitian Senja (DPS) siap melaporkan.

Tak usah banyak mendengarkan orang lain. Ini hidupmu dan bukan hidup mereka.

“Oke, lempar dadu. Andreas atau Lingkar?”

#12. Guru Omong Kosong – Arnelis

Dikin dan tugas dadakan mengajar kelas kosong. Terilhami novel Kitab Omong Kosong yang tergeletak di meja kelas, ia melakukan tugas mengajar, padahal ia hanya penjaga sekolah. Haha, dasar Togog!

“Judul buku ini: Kitab Omong Kosong.”

#13. Surat ke – 93 – Feby Indirani

Surat yang ditulis dengan romansa rindu, dibuka dengan Sayangku… dan kata-kata mutiara terpilih. Aku adalah mimpi-mimpinya, ia boleh membakar remah suratku jadi abu, tapi panasnya bara dari jantungku akan terus menyala. // Aku hadir di dunia untuk memberikan tanda. Dan dalam hal mendamba perhatian, nyaris tak ada bedanya apakah kau berusia sehari atau seribu datu kali lebih tua. // Konon ketika air mata pertama mengalir dari mata sebelah kiri, artinya kita menangis karena sesuatu yang menyakitkan. Sementara jika dari mata kanan, itu artinya sesuatu yang membahagiakan.

“Dan ini untuk menanyakan kehidupanku seolah kau tak tahu betapa sakitnya diabaikan…”

14. Bahasa Sunyi – Rita Achdris

Kata-kata dan segala yang berhamburan bersamanya. Emosi dan efeknya. Namun kita di era digital, kata-kata tak langsung dengan ketikan pesan instan yang terselubung.

“Selamat pagi, Tampan.”

#15. Satu Sepatu, Dua Kecoa… – Sundea

Reta dan ke-rebel-annya. Dijuluki Si Amazon, ke sekolah dengan mengenakan satu sepatu, murid baru yang aneh. Dihukum dan dicecar tetap saja tak peduli, dipelototin, berani balas melotot. Bahkan sama guru. Ternyata dia adalah sepupu Alina, sang pencerita dan ia berhasil menjelaskan kenapanya.

“Kemesraan Oom Arnold itu artifisial, Al, kelihatan banget. Abang saja suka muak melihatnya. Apalagi Reta.”

Keren ya SGA ini, profil dan karyanya sudah terbentang jauh sejak era Orde Baru. Banyak sekali tulisannya, berbagai jenis pula. Terakhir aku lihat di Zoom meeting acara Kompas penghargaan Cerpen terbaik 2020 ia menangkan. Dan responnya pas dapat bilang, biasa saja. Memang orang hebat. Pantas mendapat tribute ini, tepuk tangan…

Perkara Mengirim Senja | oleh 14 Penulis | Penyunting Jia Effendie | Penyelaras Ida Wadji | Pewajah isi Aniza Pujiati | Ilustrasi isi dan cover Lala Bohang | Penerbit Serambi Ilmu Semesta | Cetakan I: April 2012 | ISBN 978-919-024-502-0 | Skor: 4/5

Sebuah persembahan untuk Seno Gumira Ajidarma

Karawang, 201021 – George Benson – Mimosa

Thx to Bpk Saut, Jakarta

Orang-orang di Masa Lalu yang Telah Meninggalkan Cerita ke Masa Mendatang


Segala yang Diisap Langit oleh Pinto Anugrah

“Tatapanmu, tatapan pesimis dan penuh amarah! Tidak baik memelihara tatapan seperti itu! Setan-setan akan senang di dalamnya, mereka akan berpesta pora di matamu!”

Ringkas nan memikat. Hanya seratusan halaman, kubaca sekali duduk selama satu setengah jam pada Sabtu, 16 Oktober 2021 selepas Subuh. Langsung ke poin-poin apa yang hendak dituturkan. Tentang Islamisasi di tanah Sumatra di masa Tuanku Imam Bonjol. Mengambil sudut pandang sebuah keluarga lokal yang kalah dan tersingkir. Segalanya jelas, tapi akan mencipta keberpihakan abu-abu.

Kisahnya di daerah Batang Ka, negeri di tenggara Gunung Marapi, Sumatra. Dibuka dengan pasangan suami istri yang absurd. Bungi Rabiah mendamba anak perempuan sebagai penerus sebagai pelanjut lambang kebesaran dari Rumah Gadang Rangkayo, suaminya Tuanku Tan Amo yang gila perempuan sudah punya banyak istri, Bungo Rabiah sebagai istri kelima. Memang ingin dimadu sama bangsawan. Terjadi kesepakatan di antara mereka, bagaimana masa depan generasi ini harus diselamatkan.

Rabiah memiliki hubungan gelap dengan saudara kandungnya Magek Takangkang/Datuk Raja Malik, satu ibu beda bapak. Dorongan yang begitu besar dari dirinya untuk tetap menjaga kemurnian darah keturunan Rangkayo. Ia tak mau darah keturunan Rangkayo ternoda dengan darah-darah yang lain. Mereka memiliki anak Karengkang Gadang yang bandelnya minta ampun, sejak tahu hamil, Rabiah langsung mencari suami, seolah asal ambil, ia menikah dengan pekerja kasar saat Magek Takangkang sedang dalam perjalanan bisnisnya. Pilihan langsung jatuh kepada Gaek Binga, bujang lapuk yang bekerja sebagai pemecah bukit pada tambang-tambang emas di tanahnya. Sudah bisa ditebak, pernikahan ini kandas dengan mudah, memang hanya untuk status sahaja. Rabiah lalu menikah lagi dengan Tan Amo, seperti yang terlihat di adegan pembuka.

Karengkang Gadang tukang mabuk dan judi. Hidupnya kacau, sakaw karena narkoba dan nyaris mati. Tan Amo mabuk perempuan, menggoda sana-sini walau sudah punya banyak istri. Kesamaan keduanya adalah judi, ia sering kali memertaruhkan banyak harta, termasuk perkebunan. Suatu hari desa mereka kena serang. Seranganya yang memporakporandakan wilayah sekitar itu kini menyambangi mereka. Satu lagi, Jintan Itam yang merupakan anak pungut yang dibesarkan seolah anak sendiri, mengabdi tanpa pamrih. Ia mewarnai kekacauan keadaan dengan pelayanan memuaskan.

Pasukan putih, tanpa menyebut secara terbuka ini adalah pasukan Tuanku Imam Bonjol yang terkenal itu, kita tahu ini adalah Jihad penyebaran agama Islam. Mereka juga memakai sebutan Tuanku untuk orang-orang terhormat bagi mereka. Nah, di sinilah dilema muncul. Magek kini jadi bagian dari pasukan ini, Magek Takangkang, Datuk Raja Malik yang mengganti nama Kasim Raja Malik, ia menjadi panglima yang paling depan mengangkat pedang dan menderap kuda. Pilihan bagi yang kalah perang hanya dua: mengikuti ajaran baru, atau mati. Ia tak pandang bulu meratakan daerah manapun.

Sebagian warga yang sudah tahu, memilih kabur. Yang bertahan luluh lantak, adegan keluarga Bungo ini ditaruh di ujung kisah. Drama memilukan, tak perlu kita tanya apakah Sang Kasim tega membinasakan keluarganya demi agama baru ini? Ataukah hatinya tetap tersentuh. Jangankan keluarganya, pusaka pribadinya yang mencipta dosa sahaja ia siap musnahkan. Dunia memang seperti itu, penuh dengan makhluk serba unik dan aneh. Kalau sudah ngomongin prinsip hidup, segalanya memang bisa diterjang, segalanya diisap langit!

Tanpa perlu turut mendukung pihak manapun, pembunuhan adalah salah. Apalagi pembunuhan dengan membabi buta, dengan bengis dan amarah memuncak. “Kau! Kelompokmu! Tuanku-tuanku kau itu! Hanya orang-orang kalah pada kehidupan, lalu melarikan diri kepada Tuhan!”

Tanpa bermaksud mendukung atau menhujat pihak manapun, selingkuh adalah salah, hubungan incen juga salah, judi, mabuk, narkoba jelas salah. Lantas bagaimana kita menempatkan diri? Dunia memang seperti itu, mau zaman dulu dan sekarang sama saja, hanya teknologinya saja yang berubah. Kalau mau objektif, semua karakter ini pendosa, dan saat bertaubat, ia memilih jalan yang keras, dan yah, salah juga mengangkat pedang. Kalau zaman sekarang, menyandang bom untuk menegakkan bendera agama dengan meledakkan diskotik misalkan, tetap saja salah. “Atas nama agama, katanya!”

Perjuangan melawan semacam kutukan juga terlihat di sini. Rabiah! Ingat, kau adalah keturunan ketujuh dan kutukan kepunahan pada keturunan ketujuh akan menghantuimu. Munculnya karakter minor yang ternyata memiliki peran penting dirasa pas. “Apakah orang-orang mencatat apa-apa yang pernah terjadi pada masa lampau kita, Jintan?” Maka akhir yang manis dengan api berkobar sudah sungguh pas.

Overall ceritanya bagus, tak njelimet, jadi sungguh enak dilahap. Benar-benar clir semuanya, apa yang mau disampaikan juga jelas, silsilah di halaman depan mungkin agak membantu, tapi untuk kisah seratusan halaman, rasanya tak diperlukan. Mungkin salah satu saran, jangan terlalu sering menggunakan tanda perintah (!) terutama untuk kalimat langsung. Mungkin maksudnya marah, atau meminta, atau memerintah, tapi tetap kubaca jadi kurang nyaman. Atau semuanya berakhiran dengan tanda itu dan tanda tanya (?)? contoh kalimat-kalimat langsung yang sebenarnya bisa dengan tanda titik (.), atau ada yang salah dengan tanda ini. (1) “Memang kita tidak akan mengerti, jika mengerti berarti kita selamat di ambang zaman ini!”; (2) “Sebentar lagi kita akan punah! Semuanya akan habis! Saya lebih peduli akan hal itu. Saya dan Rumah Gadang ini, tidak ingin hilang begitu saja, makanya perlu ada yang mencacat! Perlu dicatat!” (3) “Saya telah memilih jalan ini, Tuanku! Maka, saya pun akan berjuang sampai titik darah penghabisan, Tuanku!”; dst…

Prediksiku, buku ini laik masuk lima besar. Kisahnya sudah sangat pas, tak perlu bertele-tele, langsung ‘masuk’ ke intinya. Kursi goyang yang mewarnai kenyamanan hidup hanya selingan bab mula, masa kolonial yang keras bahkan tak disebut dan tak dikhawatirkan. Pasukan Padri, pasukan lokal yang perkasa malah justru yang mencipta khawatir. Rasanya banyak hal yang disampaikan, dan memang sepantasnya tak disampaikan sebab bersisian sejarah. Lihat, cerita bagus tak harus njelimet dan melingkar mumet bikin pusing pembaca, inti cerita yang utama.

Aku tutup catatan ini dengan kutipan dari Matthew Pearl, penulis The Dante Club ketika diwawancarai terkait cerita fiksinya yang bersetting sejarah Amerika, ia menjawab; “Saat Anda menulis fiksi sejarah, Anda harus tahu detail-detail tokohnya: makanan apa yang mereka santap ketika sarapan, apa jenis topi yang mereka kenakan, bagaimana cara mereka beruluk salam ketika saling bertemu di jalan.”

Segala yang Diisap Langit sukses menerjemahkannya.

Segala yang Diisap Langit | oleh Pinto Anugrah | Cetakan pertama, Agustus 2021 | Penyunting Dhewiberta Hardjono | Perancang sampul Bella Ansori | Pemeriksa aksara Yusnida, Nurani | Penata aksara Labusian | Penerbit Bentang | vi + 138 hlm.; 20.5 cm | ISBN 978-602-291-842-4 | ISBN 978-602-291-843-1 (EPUB) | ISBN 978-602-291-844-8 (PDF) | Skor: 4/5

Terima kasih untuk istri tercinta, Welly Zein

Karawang, 181021 – Fourplay (feat. El Debarge) – After the Dance

*Enam sudah, empat gegas.

**Thx to Titus, Karawang. Thx to Stanbuku, Yogyakarta.

***Judul catatan kuambil dari ucapan terima kasih penulis di halaman awal berbunyi: “Dan, terima kasih untuk orang-orang di masa lalu yang telah meninggalkan cerita ke masa mendatang.”

Cerita Mini dari Kota Sejuta Rawa

Anak Asli Asal Mappi oleh Casper Aliandu

“Terlalu asyik, Teman. Alamnya terlalu indah.”

Cerita mini, mirip fiksi mini. Dan karena ini berdasarkan pengalaman penulis selama mengajar di Mappi, Papua maka bisa disebut fakta mini sahaja. Ceritanya terlampau biasa, terlampau sederhana, pengalaman sehari-har. Dan selain cerita mini, bukunya juga, hanya seratusan halaman. Namun harganya tak mini. Contoh buku mini harga mini yang kubeli tahun ini, Sumur-nya Eka Kurniawan. Satu cerpen dicetak, dijual dengan harga masih sungguh wajar 50 ribu. Anak Asli lebih dari itu. Sumur kubaca tak sampai setengah jam, Anak Asli hanya sejam pada Rabu, 13 Oktober 2021 selepas Subuh, ditemani kopi dan serentet lagu Sherina Munaf dalam album My Life. Serba mni, skor juga? Mari kita lihat.

Tak ada inti atau benang merah yang patut dikhawatirkan laiknya novel, tak ada alur yang patut diikuti dengan teliti, tak ada emosi di dalamnya, ngalir saja, tanpa riak sama sekali. Ini fakta mini, bertutur bagaimana keseharian Casper Aliandu mendidik, menjadi guru di pedalaman Mappi yang mendapat julukan kota sejuta rawa. Sah-sah saja, pernah baca beberapa kisah sejenis ini, tapi rerata memang biasa kalau tak mau dibilang jeleq. Termasuk ini. ditulis dengan sederhana, tanpa jiwa meletup, tanpa tautan penting ke jiwa pelahapnya. Cerita tak ada sinyal misalnya, yang mengharuskan ke kabupaten/kota hanya untuk terhubung internet, tak istimewa dan tak ada hal yang baru, wajar dong kan pedalaman. Kecuali saat cari sinyal bertemu singa dengan aumaaan terpekik, atau ketemu gadis jelita dan aku jatuh hati padanya, langit seakan runtuh. Atau cerita gaji yang terlambat, bukankah di sini di negeri ini hal ini sudah terbiasa sehingga apa yang harus dipetik hikmahnya? Korupsi atau alur yang panjang sehingga bocor bisa saja terjadi, dan memang sering terjadi; mau kritik sosial birokrasi juga tak mengarah dengan pas. Ngambang.

Atau cerita anak-anak dengan cita-citanya, dari pengen jadi perawat, dokter, guru, dst. Hal-hal yang juga bisa temui di sepanjang pulau di Indonesia. Kecuali bilang, pengen bercita menjadi bajak laut, atau penyihir wilayah Timur, atau penakluk naga, mungkin juga bilang ingin jadi pengusaha kayu gelondong, atau pengen jadi pendekar penjaga hutan, baru terdengar beda. Tidak, cerita-cerita di sini wajar dan apa adanya. Tanpa ledakan, tanpa letupan. Pemilihan diksi juga tak ada yang istimewa, tanpa kata-kata puitik, tanpa sentuhan bahasa sastrawi.

Tiap cerita dengan judul bahasa Inggris, nah ini. aku pernah komplain dulu penulis remaja bernarasi keseharian bersekolah dengan tiap bab dibuka dengan bahasa Inggris, hal ginian cuma buat gaya dengan esensi kedalaman rendah. Dengan dalil diambil dan terinspirasi dari pakaian yang dikenakan, judulnya malah terbaca ‘walaaah…’, kalau tak mau dibilang norak. Akan lebih eksotik bila judul-judulnya memakai bahasa asli Papua, atau yang biasa saja. Misal ‘Noken is Papua’, kenapa ga jadi ‘Noken adalah Papua’. Tak ada yang salah dengan bahasa Nasional. Namun ya itu tadi, gaya dikedepankan dengan cerita biasa. Coba aku ketik ulang lima judul pertama dalam daftar isi: Making magic happen, creating something from nothing, we started with trust, not just see but observe, life is nothing without love. Kalian bisa simpulkam, terdengar norak ‘kan? Seperti belajar bahasa Inggris level beginner. Ayolaaahh, ini KSK. Ini penghargaan sastra Nasional.

Sistem berceritanya juga dibuat beda, tiap karakter berbicara digambarkan dengan simbol; positif (+), negative (-), lingkaran (Ŏ), sampai sama dengan (=). Sah-sah saja, tapi tetap tak terlalu berpengaruh sama cerita. Tak ada tanda kutip untuk kalimat langsung juga sah-sah saja, mau dibuat aneh-aneh bentuk kodok, jerangkong, kuda nil juga monggo aja, sah-sah saja yang penting ada hal bagus yang didapat pembaca pasca-membaca. Ini negeri demokrasi, bebas berekspresi.

Ada dua cerita yang lumayan bagus. Tentang mencari ikan dan udang. Casper tidak bisa berenang, ia mengajak muridnya untuk berburu di tengah sungai. Takut riak dan khawatir perahu oleng. Hhhmmm… di kelas dialah gurunya, di alam, muridnyalah gurunya. Saling melengkapi. Begitu juga saat muridnya itu sudah lulus, dan ganti murid lainnya. Sama saja, keberanian naik perahu untuk seorang yang tak bisa renang saja sudah patut diapresiasi, tak semua orang berani di tengah air dalam dengan pengamanan minim, atau sekalipun dengan pelampung untuk lebih  tenang, tetap saja patut dikasih jempol. Pengabdian dan pengalaman serunya. Nah, cerita itu disampaikan ke sahabatnya. Bagaimana Casper apakah sudah move on dari pujaan hati yang terlepas, ataukah tetap tertambat. Hal-hal biasa, hal-hal yang wajar dan normal dialami semua pemuda. Pengabdiannya ke pedalaman untuk pendidikanlah yang luar biasa, tak semua orang mampu dan mau. Dan untuk itu, mungkin buku ini terjaring.

Buku ini terlampau tipis, mudah dicerna, mudah dipahami, cepat selesai, tak sebanding dengan harganya. Penutupnya mungkin akan membuat beberapa pembaca terharu, yah minimal tersentuh, perjuangan di pedalaman untuk menulis dan mengirimnya, tapi tetap bagiku biasa saja. Perjuangan yang lebih keras dan berpeluh keringat sangat banyak dilakukan pengarang lain. Haruki Murakami untuk menelurkan karya debut, begadang dari tengah malam sampai subuh lantas siangnya kerja keras sampai tengah malam lagi. penulis dari Timur Tengah dalam gejolak perang, menulis dengan suara dentuman bom sebagai teman. Maka, seperti kubilang, epilog itu juga biasa saja bagiku. Namun, keteguhannyalah yang tetap harus diapresiasi.

Prediksiku jelas, buku ini hanya sebagai pelengkap hingar bingar pesta KSK. Sudah masuk 10 besar saja sudah sungguh beruntung. Mungkin kedepannya harus lebih padat, tebal, dan dalam, yah setidaknya ada benang merah dari awal sampai akhir yang memancing rasa penasaran pembaca. cerita nyata pun harus tetap memesona.

Anak Asli Asal Mappi, Cerita-cerita Mini dari Papua | oleh Casper Aliandu | © 2020 | Penerbit IndonesiaTera | Cetakan pertama, Oktober 2020 | Penyunting Dorothea Rosa Herliany | Desain sampul Regina Redaning & Sabina Kencana Arimanintan | Lay out Irwan Supriyono | ISBN 978-9797-7531-46 | Skor: 3/5

Karawang, 141021 – Sherina Munaf – Sebuah Rahasia

Lima sudah, lima belum.

Thx to Stan Buku, Yogya. Thx to Titus, Karawang.