Mencipta Surga yang Memenjara

Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children by Ransom Riggs

“Aku memberitahukan semua ini padamu karena kau berhak tahu.”

Mengejutkanku, foto-foto yang ditampilkan adalah asli. Sedari mula, kukira ini menjadi penunjang cerita, khas buku-buku lain. Ternyata, kita lebih cocoknya menyebut: foto-foto itulah yang menjadi dasar cerita. Kata-kata dicipta untuk menunjangnya. Penggambaran cerita, jelas dikembangkan dari sebaran frame. Dengan terang sang penulis bilang, ada ribuan foto lain yang tak bisa masuk, kudu selektif. Dan dengan ending menggantung, foto-foto yang tak ditampilkan kemungkinan muncul di Hollow City.

Ide mencipta surga yang terpenjara, tampak menarik. Memerangkap ruang dan waktu, melakukan kegiatan di saat yang sama, dengan suasana sama. Unik, sangat menarik. Rasanya seolah-olah ada yang memencet tombol ‘reset’ pada seisi kota, dan esoknya diulang. “Kenapa orang-orang sanggup menjalani hari yang sama berulang kali selama berpuluh-puluh tahun tanpa menjadi gila. Ya di sini memang indah dan kehidupan pun terasa nyaman, tapi kalau setiap hari selalu persis sama dan anak-anak ini tak bisa pergi, berati tempat ini bukan sekadar surga, tetapi juga semacam penjara.”

Kisahnya tentang Jacob Portman, yang di sela sekolahnya menjalankan magang di toko milik orangtuanya. Ayahnya sedang menulis buku tentang fauna burung, “Mengungkit-ungkit tentang proyek-proyek bukunya yang baru setengah jadi adalah masalah sensitif.” Dan ibunya yang sibuk berbisnis sering mengesampingkannya. Hanya kakek Abe Portman yang begitu dekat, kakeknya yang sudah pikun sering merancau tentang fantasi masa lalu. Lolos dari kamp konsentrasi NAZI, lalu hidup tenteram di Wales. Hingga akhirnya terbang ke Amerika. Rancauannya sama, sebuah periode hidup di sebuah pulau di Britania. Yang ukurannya tak lebih dari sebutir pasir di peta, terlindung pegunungan-pegunungan berkabut. Bagaimana masa remajanya berwarna. Cairn, semacam piramida dari batu-batu kasar, salah satu makam Neolithik yang menjadi asal muasal Cairnholm.

Suatu sore, kakeknya telepon Jacob di toko, ia dalam ancaman dan meminta tolong. Keadaan darurat ini, memaksanya pulang cepat untuk memastikan kondisinya. Dan benar saja, ada makhluk mengerikan membunuh kakeknya di hutan. “Aku ingin pura-pura tak peduli tentang ucapan terakhir kakekku, tapi kenyataannya aku peduli.” Sang kakek meninggalkan barang-barang warisan yang aneh, salah satunya perintah ditaruh di buku puisi Ralph Waldo Emerson. Perintah aneh untuk ke pulau masa lalunya. “Temukan burung itu. Dalam loop. Pada sisi lain makam pria tua, 3 September 1940.”

Dengan dalih untuk mengobati sakitnya, setelah konsul ke psikolog Dr. Golan. Akhirnya Jacob dianjurkan menghabiskan masa liburnya untuk menjelajah kastil di pulau tersebut. Bersosialisasi bisa membantu penyembuhannya. Ditemani sang ayah untuk meneliti burung, mereka ke pulau terpencil dengan akses luar terbatas. Listrik sudah padam saat jam sepuluh, sinyal HP tidak ada, dan segala keterbatasannya. Jalanan-jalanan dengan pondok-pondok kusam artistik yang berjajar hingga ke kejauhan sana, bersambung dengan padang-padang hijau yang dijahit jadi satu oleh tembok-tembok karang berliku-liku, sementara awan-awan berarak-arak.

Dan misi ke kastil itupun dilakukan. Awalnya, Jacob kecewa sebab kastil itu kotor dan tak banyak yang bisa diharapkan untuk diteliti. Tidak terlalu sulit membayangkan tempat ini mengandung sihir. Namun di hari kedua, segalanya berubah. Jacob masuk ke lantai atas, membuka dokumen-dokumen, menemukan hal-hal jadul di dalamnya, lalu sebuah peti yang sudah dibuka, diputuskan buka paksa dengan dijatuhkan, tembus ke lantai basement. Di sinilah segala kegilaan fantasi dimulai. “Aku tahu kedengarannya gila, namun banyak hal yang lebih gila ternyata benar.”

Ada remaja yang melihatnya, saat meneliti di dasar. Ia kejar, dan wuuuzzz… melewati rawa hutan. Rawa-rawa merupakan jalan masuk ke dunia dewa-dewa, tempat yang sempurna untuk memberikan persembahan paling berharga: diri mereka sendiri. Keluar darinya, dunia tak sama lagi. Ia nantinya tahu, ia ada di tahun 1940. Dan dari gadis yang dikejar bernama Emma Bloom, lalu malah menahannya itulah, ia tahu ia terjebak di ruang dan waktu. Ia dikira makhluk wight. Dibawa ke kastil, diperkenalkan dengan teman-teman lainnya. Dan terutama Miss Peregrine, dang pengasuh panti.

Mereka mencipta dunia tertahan di tanggal 3 September 1940. Akan berulang setiap hari, dan seolah abadi. Dulu kakeknya memutuskan pergi, maka ia menua dan mati. Mereka adalah manusia istimewa, memiliki keunikan/keanehan masing-masing, di sini disebut peculiar. Dan tahulah, Jacob ternyata diwarisi kekuatan kakeknya, bisa melihat monster. Hingga akhirnya, para monster itu menyerang kastil.

Dulu pas nonton filmnya di Pasific Place Mal, penasaran sekali sama buku ini. butuh waktu lima tahun untuk memenuhi hasrat. Kutonton berdua sama Topan, teman kerja PPIC yang sekarang sudah pindah kerja. Salah satu yang mencipta penasaran adalah lagu Orchestra Flight of the Bumblebees. Di sini ada, baik, esok kucari lagunya.

Foto-foto yang ditampilkan menarik. Tampak editan, yang nyatanya asli seolah sihir. Dari perempuan melayang, gadis karet yang bisa menekuk badan, kilat besar, santaklaus tatapan kosong di pesta natal, sopir bus sekolah yang seram, hingga si kembar berbaju putih berangkulan. Ini menjadi dasar untuk mencipta nama-nama karakter. Berikut beberapa anak istimewa: Emma dengan tangan yang mengeluarkan api, Millard yang tak terlihat, Horace bisa meramal masa depan, Olive mengambang di udara sehingga perlu diikat, Claire makan dengan mulut di belakang kepala, Enoch bisa mencipta makhluk dari benda mati, Bronwyn punya kekuatan besar, hingga Fiona bisa menumbuhkan flora dalam waktu singkat. Jangan lupakan juga Jacob, sang protagonist bisa melihat monster. Dan sang pengasuh panti Miss Alma Lefay Peregrine yang bisa memerangkap waktu. Bisa mengubah diri jadi burung elang. Variant hebat ini juga ada di daerah lain, dan mereka saling mengirim kabar. Jadi di tempat lain, ada juga kehidupan yang diabadikan.

Nah, antagonisnya adalah para pemburu peculiar. Mereka memangsa, menangkapinya. Membunuh. Monster yang dilihat Jacob, yang membunuh kakeknya adalah wight. Mereka melacak anak-anak istimewa ini. Maka saat menemukan loop, mereka menghancurkan kastil, menangkap Alma, dan endingnya menggantung. Bagus sekali, dengan latar laut perahu berlayar, siap membalas ke kota Hollow.

Kuselesaikan baca hanya dalam sehari, kurang dari 24 jam. Dari 15.07.22 jam 20:00 di malam Sabtu yang gerimis sampai kutuntaskan esoknya sebab libur, dan tak ada acara ke manapun. Di taman Perumahan, hujan berlindung di gazebo sampai tengah hari, dilanjutkan ke gazebo taman kota Galuh Mas sampai selepas duhur, lantas ke Masjid belakang Festive Walk hingga sore. Sebelum adzan Magrib, jam 16:30 saya tuntaskan di halte Galuh Mas saat perjalanan pulang jalan kaki. Hebat, 500 halaman tuntas seketika. Memang buku bagus, awalnya tak kuniatkan usai di bulan ini, icip saja. Sempat lama mengendap di rak meja kerja, 2020. Akhirnya malah gegas beres. Buku yang ok, selalu mencipta penasaran tiap lembarnya. Buku ringan dan menarik. Selalu tertarik sama buku fantasi anak, apalagi seliar dan seimajinatif ini. Dan sebuah kebetulan, hari ini saya dapat edisi sekuel Hollow City. Asyik… bisa langsung kulanjutkan Agustus ini.

Rumah Miss Peregrine untuk Anak-anak Aneh | by Ransom Riggs | Diterjemahkan dari Miss Peregrine’s Home For Peculiar Children | Copyright 2011 | First Published in English by Quirk Books, Philadelphia, Pennsylvania, USA | GM 616185023 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Alih bahasa Tanti Lesmana | Desain sampul Eduard Iwan Mangopang | Jakarta, 2016 | 544 hlm; 20 cm | ISBN 978-602-03-3388-5 | Skor: 5/5

Karawang, 280722 – Stan Getz – The Girl From Ipanema

Thx to Ora Danta, Jakarta

Ada Hantu di Rumahku

Mr. Midnight #10 by James Lee

“Orangtuaku membawaku ke pemakaman tapi aku terpisah dan tersesat. Mereka pasti mencemaskanku…”

Khas R.L. Stine. Seolah bagian dari kasih horror remaja karya Stine, terutama Goosebumps. Templatenya sama, mengambil sudut pandang orang pertama, para remaja/anak-anak ini dihantui. Karena ini buku pertama James Lee yang kubaca, jadi sempat menebak hantu-nya mungkin hanya pengalihan isu, atau pemancing saja. Ternyata, beneran ada. Dan fun, jangan berharap horror penuh darah dan menakutkan, ini sekadar kisah hura-hura. Seperti rangkaian buku Goosebumps, memang terbuka untuk dikoleksi. Kalau dapat ya, diambil, kalau tak nemu tak mengapa.

Terdiri dua cerita.

#1. Siapa Penghuni Lain Rumah Kami?

Samantha Ming Yan dan adiknya Ashley mendapati kejanggalan di rumahnya. Saat Sam sedang ngumpul sama teman-teman untuk merayakan ulang tahun Katherine, Samantha baru teringat bahwa alamat tempat acara ditulis di kertas dekat telepon rumah. Maka, ia pun menghubunginya.  Bukan ibunya yang angkat, suara mendesah mengeja namanya, saaa… maaaan… tha… lalu ditutup. Saat dihubungi lagi, tak diangkat. Maka, saat sisa hari dengan muram mengikuti acara ulang tahun kawannya. Kawan-kawannya Erma, Cyril, Jet menenangkannya.

Ketika pulang, adiknya Ashley juga bercerita hal yang sama. Saat menelpon, hanya suara gemerisik dan mendesah. Ada hantu di rumah ini? keadaan makin gawat, saat kamar Samantha berantakan, dari jauh lampunya nyala, padahal ketika keluar kamar selalu dimatikan. Saat sampai rumah, lampu sudah padam.

Ditambah, banyak makanan di kulkas hilang, terutama daging. Jelas, ada orang asing yang masuk ke rumah ini. Maka, suatu ketika saat Samantha pulang drai lomba basket, mengambil jalur cepat melewati kuburan saat senja, ia melihat ada yang mengejarnya, entah anjing atau serigala, ia mendapat trauma ketakutan. Benarkan ada hantu yang meneror rumah ini?

Dia diberi nama William. Hhmmm… gitu ya, dinamai penghuni lainnya.

#2. Hantu Sekolah Kami

Tim Hantu yang terdiri dari Diyanah Atiqah, Serene Siow, Gukkan dan aku sang pencerita: Khairi. Suatu ketika mendapati hantu gadis di sekolah. Cantik sih, tapi bikin gidik sebab bisa menembus tembok. Mereka yang mencari hantu, saat bertemu beneran malah takut. Lalu ditemukan kasus pencurian. Komputer, sepeda, dan lainnya di sekolah hilang.

Anehnya, barang-barang itu ada di rumah Khairi. Jelas ia panik, kasus pencurian konsekuensinya berat. Merasa tak mengambil, mereka gegas ingin mengembalikan barang-barang tanpa ketahuan. Namun tiba-tiba muncullah si hantu gadis. Ialah pelakunya, dan ternyata ia ingin berteman.

Menyamar jadi adiknya, ikut sekolah. Ia di dunia hantu kzl sebab diperlakukan bak budak oleh sang master. Ia mengancam, menyuruh-nyuruh. Saat kenyamanan tercipta. Si gadis diberi nama Michelle Girl, menjuarai segala lomba olahraga, dari lari, lompat, hingga segala hal mustahil lainnya, sang master muncul. Ia menuntut balik, ancamannya mengerikan. Berhasilkah?

Buku yang lumayan, karena sudah tahu ini buku remaja, maka saya menempatkan diri di posisi remaja. Mengalir saja, dan berhasil. Terlepas kekurangan ini itu, plotnya yang sederhana, kejanggalan hantu sekolah, hingga bagaimana musuh utama manusia serigala terlampau mudah dikalahkan, apa yang disampaikan langsung in. Tak perlu membelit panjang lebar, langsung ke inti-intinya. Unsur humor juga kental, dihadirkan oleh kawan kocak Jet. Unsur drama juga muncul, bagaimana portal secara dramatis dibuka dan mereka melompat. Uniknya, karakter hantu/makhluk itu, keduanya diberi nama langsung oleh mereka. Jadi seolah mencomot langsung dari udara, nama yang terlintas, dan itulah namanya, seperti memberi nama binatang peliharaan.

Diterbitkan oleh penerbit Genera, baru dengar. Cara cetaknya mirip dengan karya R.L. Stine. Bahkan dibagian akhir, diberi sinopsis atau potongan adegan satu bab penuh buku berikutnya, yang berarti buku ke #11.

Kalau kalian suka Goosebumps, saya jamin kalian juga suka Mr. Midnight. Horror remaja dengan kaget-kagetan setiap ganti bab. Dan beruntung, saya dapat seri kesatu sampai lima bulan ini. langsung satu bundel. Mari kita nikmati…

Mr. Midnight #10 | Who Else Living in Our House?; Our School Ghost | by James Lee | Terbitann Angsama Book, Singapura, 2004 | Copyright 2004 by Flame Of The Forest Publishing Pte Ltd | Penerjemah Yohanes | Penyunting Anisa Ami | Proof reader Tim | Layouter D.A. Muharam | Desaigner Mangoteen Designs | Penerbit Genera Publishing, 2010 | ISBN 978-602-9395-09-9 | Skor: 3.5/5

Karawang, 190722 – Eagles – Hotel California

Thx to Ade Buku, Bandung

Tiga #25

“Apa yang diberikan dunia fotografi bagi hidup Anda?” / “Kepuasan, uang dan kebebasan.”

Novel remaja lagi, hufh… sekalipun kubaca saat remaja, buku sejenis ini takkan kusuka. Banyak hal tak relate, terlalu lebai, terlalu lo gue end, terlalu sinetron. Atau malah persis sinetron, plot, karakter, cara penyampaian. Sungguh tak enak dibaca. Cari duit segampang itu, cari pacar seindah itu, cari penyakit sesederhana itu. Sekalipun buku remaja, banyak hal tak pantas disebarkan ke remaja, persis sinetron kita kan. Sayangnya, hal-hal buruk sejenis ini laku, cerita tak mendidik yang meracuni generasi muda. Miris.

Kisahnya tentang tiga saudara dalam keluarga Wibowo. Semua problematik. Masalah orang kaya, tak akan kalian temui masalah cara bertahan hidup dengan makan sehari-hari, tak kalian dapati bagaimana cara bayar biaya pendidikan, atau rumah sakit. Enggak ada, adanya masalah hubungan antar manusia, itupun yang dimata jelata tampak tak perlu. Cinta yang putus, pilihan pasangan, kehidupan selebrita yang hura-hura, dst.

Rachel adalah designer ternama, rancangan bajunya dipakai banyak nama ternama. Dipakai para pesohor, maka muncul isu kedekatan dengan model muda yang sedang naik daun Alvino Vivaldi. Isu itu tak diiyakan tak pula ditolak, mungkin semacam mumpung tenang dan diberitakan, sehingga kesempatan diliput media.

Alexie Wibowo alias Lexie adalah sang adik yang punya masalah di masa lalu. Pergaulan bebas, nge-drug hingga hubungan seks telah menciptanya error. Kini ia bertobat. Dan dengan mudahnya ditawari menjadi artis. Manager Bugi, melihat peluang itu. Berwajah tamvan, tampak bersahaja. Dan buruknya cerita, dengan sekejap sukses menjadi model dan bintang film. Majalah remaja banyak pampang wajahnya di halaman fashion dan cober. Sosok unik pun sering penuhi profil majalah. Dipuja puji fans, dikasih review positif, singkatnya ternama dengan hebat dalam tempo sesingkat-singkatnya. Image Lexie simple, cool, dan misterius. Nicholas Saputra? Lewaaat… Padahal dalam dialog mula ditawari artis, ia menolak. Dan saat mengiyakan, seolah magnet rejeki, segalanya nempel seketika.

Paxie adalah saudara lainnya yang sebenarnya agak lurus, tapi menemukan pasangan bermasalah Sheria yang mengidap kanker. Manager marketing yang meluangkan banyak waktu untuk pacarnya, mengorbankan banyak hal demi cinta. Dalam sebuah adegan dramatis ala sinetron jam utama di tv lokal, pernikahan absurd disajikan berlembar-lembar. Kejadian hanya satu dari sejuta ini, sungguh aneh sekalipun niatnya drama air mata. Nyatanya tak mencipta sama sekali titik air di pipi. Lebai, atau mungkin cara penyampaiannya yang amburadul.

Terlalu banyak lemah yang bisa dikupas. Cerita buruk, cara bercerita buruk, pola cerita buruk. Dialog gaul yang tak nyaman, pilihan kata ala kadarnya, editingnya juga buruk. Sekali lihat, tanpa banyak telaah langsung ketemu typo, tak perlu jadi editor handal untuk untuk seketika menemukan, tak perlu menjadi pembaca profesional untuk mendapati bahwa kualitas tata bahasa jelek.

Menggampangkan kehidupan mungkin paling pas untuk merangkum hal-hal di sini. Perjalanan Jakarta ke Bandung misalnya, ada kalimat terlontar yang bikin kzl. “Bandung-Jakarta kurang dari 2 jam! Gue nggak ngerasa buang waktu untuk itu!” Hanya orang sombong yang ngomong gitu, atau orang yang sok berkorban, seolah tak mengapa jalan sejauh itu demi cinta.

Atau kalimat, “Agama, bahasa non satra, logika, hidup dan pergaulan.” Yang secara langsung bilang, bahasa sastra itu tak perlu. Yang umum dan tak nyeni sahaja. Apakah ini relate dengan cara penyampaian kisah secara keseluruhan? Ya, saya melihat pandangan penulis ini dituangkan dengan cara bercerita, apa adanya dan (maaf) ga bisa menarik emosi pembaca.

Pemilihan nama karakter lebih ajaib lagi, seolah ini di negeri antah, bukan Indonesia, padahal nyata-nyata kejadian di Jakarta, Bandung sekitarnya. Deka, Deva, Viandra, Lingga, Vino, Rachel, Paxie, Lexie, Sheira, Diar, Leonard adalah pilihan nama yang tak bijak. Terlihat alay kan? Walaupun ada nama-nama Wisnu, Budi, Gita, Gunawan, Rendra, Yogi, hingga Shinta tapi tak memberi peran signifikan. Bahkan salah satunya mati tragis sepintas lewat dalam sehalaman, seolah tak penting. Sedih sih.. hiks.

Kalimat ceplas-ceplos juga banyak didapati, seenaknya sendiri. Misal, “Percuma lo sempat hidup di Aussie! Pikiran lo kayak orang Kubu!” Sejatinya, mau tinggal di manapun, etiket pergaulan ada dan kurasa tergantung lingkungan. Ingat, pelajaran dasar etika moral, attitude yang utama. Apapun profesinya, dari manapun asalnya, lulusan dari manapun, singkatnya sehebat apapun, kalau tak punya attitude baik ya percuma. Jadi bukan Aussie-nya bukan pula Kubu-nya, tapi hatinya.

Terakhir, mungkin buku sejenis ini masih laku untuk kalangan alay. Buktinya sinetron kita sekalipun dicaci maki, tetap laku. Sekalipun dibahas sampai berbusa-busa efeknya buruk, tetap diproduksi. Begitu pula buku remaja dengan kelemahan seperti ini, tetap laku dan dibaca.

Saya tak membeli buku ini, ini adalah bonus beli buku fantasi dari teman facebook. Yang namanya bonus, ya terima saja. Dan benar saja, amburadul. Tetap kubaca, tetap kuulas, tapi sayangnya negatif. Saya tak mau mengulas kebohongan, apa adanya, bahwa buku remaja dengan plot buruk seperti jelas tak rekomendasi. Mending baca buku remaja ‘genre’ yang lebih baik. Maafkan daku…

Kalau kata temanku, Jemy K buku jenis seperti ini layak dilempar ke tempat sampah. Teman sekosku dulu ini berpendapat, buku buruk sejatinya akan memberi pengalaman buruk sama pembacanya, jadi saat kalian mendapati alangkah baiknya langsung dibuang. Saya kurang sependapat, bukan karena kualitasnya, sayang saja melempar karya ke bak sampah, siapa tahu pembaca lain punya sudut pandang lain, dan menemukan sesuatu yang baik, walaupun sulit.

Tiga | by regagalih.pHe | Editor Husein S | Desain Cover Ega Positive Thinking | Layout Hush | Cetakan I, 2010 | Penerbit LadangIde | 145 x 210 mm, 160 halaman | ISBN 978-602-97180-1-0 | Skor: 1.5/5

Dedicated to Imanuel Rafael Trisno Sakti Herwanto

Karawang, 250622 – Westlife – Beautiful in White

Thx to Agus Ora, Jakarta

#30HariMenulis #ReviewBuku #25 #Juni2022

Meet Your Maker #11

“Ketika aku menjelaskan bahwa serangan itu bukan perang, memang itu benar. Manusia tidak perlu perang untuk menjadi monster… kita adalah monster yang berada di dunia yang salah, saat oenghakiman pertama datang sampai penghakiman terakhir muncul…”

Cerita horror tanpa hantu. Sebenarnya pembuka hingga adegan ditemukan kejanggalan, buku ini bagus sekali. Pengenalan karakter dan penggambaran suasana lelaki jomblo menyendiri, jauh dari keluarga dan rekan-rekan, dan karakter pemalas tapi tak malas seperti ini bijaknya dikembangkan jadi karakter umum, dengan problematika kebutuhan sehari-hari. Sayang, sejak adegan terkunci, jendela macet, dan ditemukan banyak darah di luar kamar, kisah jadi ala film kelas C, yang suka mengkaget-kagetkan penonton. Mencoba filosofis, tapi tak sepenuh hati.

Jazz Timor, desainer freelance kere yang tinggal sebuah apartemen murah Capital Malrose, siang itu bangun tidur dengan kepala pening tak keruan. Belum sarapan, dan saat gegas berangkat kerja, ia terjebak. Tinggal di lantai tiga kamar 3B, dan tak terlalu mengenal para tetangga, mereka semua dihantui para pembunuh mengerikan.

Pertama, monster dengan kepala terbelah. Kedua, monster dengan pedang besar. Dan ketiga, monster dengan tangan besar. Mereka membantai para penghuni apartemen. Satu per satu dibunuh seolah tanpa motif, sampai banjir darah. Jazz lantas mencoba menyelamatkan tetangganya Tania dan Kate dengan mengalihkan konsentrasi, ke lift yang terbuka, hingga meluncur turun. Namun ia tak mati, sebab bersama monster tangan besar bak adegan Bruce Willis di Die Hard, dengan tali lift terjerebab di lantai basement. Ternyata di bawah-pun semua tertutup. Gerbang, pintu, jendela, segala akses keluar benar-benar rapat.

Di lobi, Jazz bertemu Hans dan Richard yang juga kebingungan. Dicerita bagaimana pagi itu memang tak wajar, segalanya remuk redam mencari pertolongan. Bergabung pula di lobi, para penghuni yang selamat. Dari Cindy, Rosi, Linda, Matt, sampai sang samurai Ryusuke dan anaknya. Karena HP tak ada sinyal.. HT juga tak bisa menghubungi keluar, lalu bisa meminta tolong bagaimana? Usulan Jazz untuk ke lantai atap untuk mencari sinyal, terdengar konyol sebab, kudu naik lagi, yang berarti ketemu para monster lagi, dan begitulah, memang tak ada opsi yang lebih bijak.

Kenekadan mereka, perjuangan mereka untuk bertahan hidup, hingga fakta-fakta yang terungkap lantas disajikan. Siapa selamat?

Ekspektasi saya memang tak tinggi dan terpenuhi, buku-buku horror atau sejenis bukan genre saya. Sembari mengisi waktu sahaja menikmatinya. Kubaca cepat, dan begitulah. Kasha-kisah mistis kalau diramu benar memang menarik, dan ini hampir diramu benar. Namun nyatanya malah tak mistis, hehe. Teringat Thanos malah, atau The Maze Runner, atau film-film serial yang booming kemarin: Alice in Borderline atau Squid Game. Hebatnya, ini diramu tahun 2014, jadi Meet Your Maker bukan mengekor, malah mendahului. Tetap saja, idenya tetap sebuah ATM. Hanya, sayangnya tergesa. Akan beda penilaian overall, kalau jumlah halaman jadi 500 atau lebih, sehingga ada penjelasan bagaimana Pak Tua mencipta skema, bagaimana para monster bermotif, hingga makna hidup dijelaskan secara filosofis.

Pertama, nama-nama karakter yang kebaratan. Hampir semuanya, kecuali tentu saja karakter dari Jepang. Kedua, horror yang memiliki beban. Temanya berat, tapi eksekusinya sederhana. Terlalu cepat, kalau tema melawan populasi misalkan, penjabarannya tak bisa sekadar dua bab belasan lembar. Tanggung jadinya. Atau tema uji coba, harus ada riset yang njelimet, penelitian ilmiah yang panjang kali lebar. Bukan penjelasan duduk manis dengan ulasan, mengapa. Namun tenang saja, saya juga tak suka pondasi The Maze Runner. Ketiga, ini seperti sinetron horror dengan bujet minim. Tergesa, mengada, suka yang kaget-kagetan. Boleh saja kalau bentuk visual, untuk menghibur abege labil, tapi tak  kan ini tulisan. Modalnya tarian tangan di atas keyboard, tak perlu mencipta tata setting mahal untuk ditampikan di layar, kenapa tak dicipta wow sekalian. Penjelasan naik turun gedung misalkan, mudah sekali. Jejerit para karakter malah merusak suasana.

Ini adalah buku pertama yang saya baca dari Jacob Julian, sobat lama yang pernah tidur bareng di Kemah Sastra 2011. Dari Jatim naik kereta, dijemput di stasiun gaas naik angkot ke Cibubur. Beliau adalah satu dari sekian teman yang berhasil menelurkan karya, salah duanya adalah Ari Keling dari Bekasi. Berteman di sosmed, walau tak sering bersapa, malah di grup film BM yang sering berinteraksi. Genre bukunya tak hanya horror, komedi dan percintaan juga ada. Satu lagi bukunya sudah ada di rak juga sudah tersedia, siap santap. Well, awal yang bagus untuk JJ di blog ini, selamat. Halla Madrid, Bravo Benzema!

Meet Your Maker | by Jacob Julian | Penyunting Dian Nitami N. | Proofreader Irwan Rouf | Ilustasi isi Indra Fauzi | Desain cover Budi Setiawan | Penata letak Di2t | Penerbit Mediakita | Cetakan pertama, 2014 | iv + 188 hlm.; 13 x 19 cm | ISBN 979-794-459-X | Skor: 3/5

Karawang, 110622 – Gregory Porter – Don’t Lose Your Steam

Thx to Anita Damayanti, Jakarta

#30HariMenulis #ReviewBuku #11 #Juni2022

Happy Birthday Sinna Sherina Munaf 32 Tahun. Best wishes…

Flipped: Alur Rasional Ciuman Pertama

Somehow the silence seemed to connect us in a way like words never could.” – Juli Baker

Ini kisah cinta remaja yang jatuh hati sama tetangganya, teman sekelas, teman bermain. Ini tentang cinta yang serba pertama. Pandangan pertama, getaran pertama, hingga detak degubnya mendorong jungkir balik hati remaja yang dilanda gairah. Alurnya sangat rasional, proses menuju ciuman pertama yang berliku selama satu setengah jam.

Kisahnya bersetting mulai tahun 1957 sampai 1960an, dimula dengan kepindahan keluarga Loski ke Ann Arbor, Michigan. Setelah adegan syahdu dalam tatapan mata dengan slo-mo, Juli Baker kecil (Morgan Lily) berinisiatif membantu memindahkan barang dari mobil ke rumah, Bryce Loski kecil (Ryan Ketzner) kecil yang kaget menolak dengan kode ayahnya untuk membantu ibu dalam rumah, kabur yang malah menjadi pegangan tangan tak sengaja, tatapan mata biru Bryce membuat hati kecil Juli berdesir jatuh hati. Apalagi esoknya tahu mereka satu kelas, menjadikan bully-an pacar. Dengan sudut pandang Bryce kita tahu, ia merasa dasar cewek aneh!

Sudut pandang lalu berganti ke Juli Baker remaja (Madeline Carroll) yang menuturkan tetangganya Bryce Loski remaja (Callan McAuliffe) bagaimana perkenalan dan rasa yang tertinggal, mencipta kesan. Berikutnya film akan gantian sudut pandang mereka berdua. Jungkir balik rasa, proses menuju saling melengkapi. Awalnya Juli yang jatuh hati, berjuang demi mendapat respon positif, nantinya gantian Bryce yang kesemsem sementara Juli muak. Tumpang tindih rasa, karena definisi rasa ada di dalam kepala, kita tak bisa mengetahui isi setiap orang. Dari sinilah, momen dibolak-balik. Dengan adegan yang sama, penonton melihat sudut pandang yang berbeda.

Juli yang hobi manjat pohon, sampai masuk Koran lokal suatu hari menangis karena pohon di dekat halte bus sekolah itu ditebang demi pembangunan. Dalam tugas sekolah, ia mengambil proyek penetasan telur ayam, hingga memeliharanya di kebun belakang menghasilkan banyak telur. Tetangganya membeli, tapi untuk keluarga Bryce free, tapi karena alasan salmonella dan betapa joroknya kandang ayam, langsung dibuang. Hiks, kejam. Perbuatan ini akhirnya kepergok, melukainya. Berjalannya waktu, hanya kakek Chet Duncan (film terakhir alm. John Mahoney) yang bisa menyentuh hatinya karena suatu ketika Juli mencipta kebun bunga di halaman depan, dibantu sang kakek sehingga ada koneksi istimewa. Kelakuan unik Juli mengingatkannya pada almarhum istrinya.

Lalu kita tahu ada masalah apa di keluarga Baker. Seorang pelukis yang miskin, rumah saja nyewa. Berniat sementara, ternyata tak tahu sampai kapan. Paman Juli, mengidap penyakit mental yang selalu bersikap anak-anak. Juli suatu ketika di hari Minggu yang cerah, ikut bapaknya mengunjungi dan setelah hari itu semua tak sama lagi. Konsep populer mengenai ‘cinta yang keras’ adalah Anda membiarkan anak untuk mengalami penderitaan karena dengan menyadari hal-hal yang penting di saat berhadapan duka, anak akan meraih nilai yang lebih tinggi dan berkembang. Es krim dan gejolak itulah yang membuka mata, hidup ini keras Lur.

Di sekolah, Bryce demi menghindar Juli sampai kencan dengan Shelly Stalls, walau menurut temannya Garrett itu bukan cinta. Hubungan ini timbul tenggelam pula, dan betapa demi makan siang bersama untuk amal, Bryce menjadi yang tertinggi rasanya belumlah cukup sehingga Juli walau dag-dig-dug bukan memilihnya, alasannya? Laiknya sinetron Indonesia yang sering bergumam dalam hati tapi teks dibacakan ke pemirsa, adalah Eddie Trulock, nomor 8 yang aneh mencipta karya. Kasihan. Lantas akankah Juli dan Bryce akhirnya bersatu? Kita memang suka bertikai untuk hal-hal kecil, Nak.

Tanpa tahu ini film tentang apa, tak ada aktor besar yang benar-benar hadir di jajaran cast, berdasarkan novel, bahkan judulnya rancu, flipped – dibalik. Rekomendasi Bung HandaBank Movie, akhirnya Senin pagi pasca sahur kutuntaskan sebagai nutrisi sebelum berangkat kerja. Seolah ini adalah versi remaja (500) Days of Summer dengan akhir manis. Kisah cinta remaja yang menyentuh hati, membayangkan hari-hari remaja SD jatuh hati, mematik pikir masa lalu, bagaimana perjalanan hidup saya dulu. Beberapa relate seperti hobi panjat pohon, beternak ayam, cinta monyet, dunia anak-anak yang merdeka pikir dan materi. Cinta hanyalah wadah terjadinya pertukaran perasaan, di mana masing-masing diri kalian membawa apa pun yang dipunyai untuk ditawarkan dan saling menjajakannya hingga mendapat keuntungan transaksi masuk akal.

Flipped menjadi film romansa yang asyik karena cinta itu masih hijau, saling raba perasaan disertai tebak sikap. Ending-nya sendiri lebih manis lagi, walaupun adegan cium yang dinanti tak kunjung muncul. Masa-masa yang menyenangkan karena tak ada beban cicilan, haha…

Adegan makan malamnya sendiri walau sederhana malah yang paling nyaman diikuti. Sebuah presentasi basa-basi dengan tetangga, manis di mulut, pahir di hati. Bagaimana kedua kakak Juli yang berjuang untuk rekaman, malah menohok bapaknya Bryce yang seorang sukses materi tapi seolah kehilangan cita menjadi pemain saxophone. Dari makan malam itu pula kita tahu, betapa hubungan harmonis dalam keluarga jauh lebih penting ketimbang kesuksesan individu. Komitmen yang lebih besar mendatangkan kedalaman yang lebih berkualitas. Semakin membingungan kehidupan ini, bersikap rendah hati menjadi semakin berharga. Turut senang memandang hangatnya hati Juli ketika melangkah pulang.

Represi Sigmund Freud bahwa hidup ini kita jalani dengan menekan ingatan-ingatan masa kecil yang menyakitkan, dan dengan mengangkatnya lagi ke dalam kesadaran, kita membebaskan emosi-emosi negatif yang terpendalam di dalam diri kita. Akhir yang menyenangkan dan lagu klasik berkumandang menutup layar.

Kalian tak kan pernah lupa perasaan dan sensasi ciuman pertama, itu. Tangan yang mendekap dalam menabur tanah saat menanam, waktu seolah membeku. Dunia ini berputar mengelilingi satu hal: perasaan.

Beautiful teenage romance.

Flipped | Year 2010 | Directed by Rob Reiner | Screenplay Rob Reiner, Andrew Scheinman | based on a novel Wendelin van Draanen | Cast Madeline Carroll, Callan McAuliffe, Rebecca De Mornay, Anthony Edwars, John Mahoney, Penelope Ann Miller, Aidan Quinn, Kevin Weisman, Morgan Lily | Skor: 4/5

Karawang, 270420 – Bill Withers – Friend of Mine (Live)

Thx to Bung Handa Lesmana dan Bung Huang atas rekomendasinya.

Blue Summer: Cinta Biru dari Negeri Sakura

Cinta remaja di masa liburan di desa, terkesan. Ketika liburan berakhir akankah ini hanya cinta sesaat?

Gadis kota liburan ke kampung halaman, ke rumah neneknya bareng adiknya. Saat turun dari bus di pinggir sungai, berkenalan dengan pemuda desa yang lugu, yang menawarkan tur dengan gambar pamflet eksotis, si gadis terpesona, sang pemuda kesemsem. Lalu pas sampai rumah sang nenek, ternyata pemuda itu adalah saudaranya, penjaga toko kelontong. Ada kebencian karena dari tutur nenek, cucunya pergi meninggalkan kampung mencipta kesepian. Liburan yang seharusnya penuh warna menjadi agak renggang awalnya, sampai tak kurang dari ¼ film di mula, saya sudah bisa memprediksi endingnya. Dan tepat! Blue Summer adalah cerita manis, semanis-manisnya.

Kisahnya berpusat pada siswi cantik Rio (Wakana Aoi). Pembukanya adalah adegan jelang libur sekolah, ketika Rio mau pulang disapa cowok si jangkung yang secara halus tersamar mencintainya, sempat akan meminta kontak, tapi terlewat. Liburan sekolah musim panas ini akan dilewatinya di kampung halaman sang nenek, berangkat bersama adiknya, ibunya seorang desain grafis akan menyusul nanti. Sampai di pedesaan berkenalan dengan Ginzo (Hayato Sano), pemuda desa yang sedari muncul juga sudah bisa ditebak akan meluluhkan hati Rio.

Benar saja, walau ia dibenci Ginzo karena meninggalkan neneknya, Rio melewati hari-hari galau dengan melihat bintang bertebaran indah di malam hari, bermain air di sungai, main sepeda menghirup udara segar pegunungan, memetik bunga. Lalu berkenalan dengan teman-temannya Ginzo yang sepanjang waktu pegang kamera, ada tantangan terjun ke jernihnya air sungai dari jembatan. Rio dengan meyakinkan berani, jangan sepelekan anak kota ya.

Lalu beberapa teman sekolahnya menyusul liburan ke sana, bikin tenda di pinggir sungai, panggang daging, sampai main air. Terlihat jelas si jangkung mencintai Rio, maka ia mengajak kencan, dan ‘mengancam’ Ginzo. Rio sendiri lalu secara terbuka bilang suka pemuda desa, sehingga kini tercipta cinta segitiga dengan pusat yang protagonist.

Kebetulan ada event sekolah, mendatangkan band nasional. Semakin merekatkan mereka berdua, mendesain promo, mencipta erat, menghabiskan malam dengan lanskap kembang api, menangkap ikan di bazar, cinta itu perlahn tumbuh kembang bak musim semi, sampai akhirnya mendekati hari terakhir liburan di puncak pesta musik. Apakah kedekatan mereka berlanjut? Ataukah dengan berakhirnya masa di desa, berakhir pula hubungan ini. Lalu Rio mengambil tindakan berani sebab ada kekhawatiran mengucap kata ‘selamat tinggal.

Ini jenis film warna-warni mencolok mata. Semua ditampilkan indah, ga cocok buat kaum merenung, tak cocok pula buat kaum hippy. Ternyata berdasar manga populer. Yah ini sih manga remaja yng so sweet. Bunga matahari kuning terhampar, pemandangan gunung asri sepanjang mata memandang. Suara jernih sungai mengalir. Gemerlap bintang di langit yang ditingkahi tembakan kembang api. Benar-benar film romantis khas remaja. Saya justru jatuh hati sama Seika Furuhata, cantik dan tampak dewasa ketimbang tokoh utamanya yang childish. Sebagai gadis ‘penghamba cinta’ yang mencinta, berharap jodoh keluarga tapi kandas. Duuuh manisnya, catet yes Seika!

Plot semacam gini sudah banyak dibuat FTV kita. Cinta-cintaan dengan penampil cantik dan tampan, konfliks ringan, lagu-lagu indah, gadis kota tergoda pemuda desa, sudah melimpah ruah. Blue Summer menawarkan hal yang mirip, kalau tak mau dibilang sama. Dengan template seperti itu, wajar saya agak kecewa. Keistimewaan film justru di technical. Banyak kamera ditaruh di beberapa sisi. Contoh adegan jembatan itu, saya catat ada minimal lima kamera menyorot adegan terjun. Dari kedua jembatan, kamera terbang, dari sisi sungai bawah, dan pas masuk ke air kamera terendam. Nah, secara teknikal tampak anggun. Kelopak air itu menyejukkan, benar-benar film memanjakan mata.

Memang sebuah perjudian menonton film tanpa rekomendasi, ngasal karena muncul di beranda. Blue Summer sekadar hura-hura remaja yang akan cepat terlupakan, kecuali gemerlapnya yang tertahan lama di balik retina. Eyes candy alert!

Tentu saja pertemuan kita terkadang tidak lebih dari sekadar liburan, tapi beberapa hari itu bertemu dengan orang yang kaucinta sangat besar artinya. Kau ajarkan aku apa itu kenyataan.

Blue Summer | Judul asli Ao-Batsu: Kimi ni Koi Shita30-Nichi | Japan | 2018 | Directed by | Screenplay Yukiko Mochiji | Manga Atsuko Nanba | Cast Shiori Akita, Wakana Aoi, Seika Furuhata, Takumi Kizu, Rinka Kumada, Atom Mizuishi, Hayato Sano, Reo Shimura, Aimi Terakawa | Skor: 3.5/5

Karawang, 230420 – Bill Withers – Railroad Man