“Karena retina yang tak sengaja kutatap selama 5 detik, lahir beribu puisi yang belum juga mati.”
Apa yang bisa diharapkan dari seorang artis yang menulis buku, menulis puisi? Hanya sedikit artis yang sukses menapakinya, sayangnya debut Prilly ini tak sukses. Tertatih, dan biasa sekali. Harapan yang rendah, dan sesuai. Puisi memang sulit dipahami, susah diprediksi, kutipan-kutipan yang pantas di-sher di sosmed biasanya yang berhasil menautkan emosi pembaca, emosi pendengar, penikmat syair. Di sini, tak banyak, atau malah tak ada yang untuk dibagikan. Mengalir saja. Tema cinta dan kerinduan, jatuh cinta memang indah, akan lebih sangat indah bila tak bertepuk sebelah. Mencipta rindu, dan kenangan, yang tak sertamerta merangkul erat para pecinta.
Terbagi dalam tiga bagian: Muasal Puisi terdiri 7 puisi, Lorong Kenangan terdiri 37 puisi, dan Noktah satu pusi akhir. Seperti sebuah lakon, pembagian ini pembuka, inti, penutup. Tema utama adalah cinta, 5 detiknya, seperti yang tertera di pembuka, adalah masa penyair menatap lelaki hingga jatuh hati. Lima detik untuk sebuah pandangan, adalah lama. Bisa karena terpukau akan apa yang dilihat, bisa pula karena takjub sehingga perlu waktu untuk terus terpaku mengamati.
Ditulis besar-besar, dicetak mungil, sehingga seratusan halaman juga gegas kelar. Berikut sebagian yang terpilih untuk kuketik ulang:
Kamu: Kamu sangat populer di kepalaku / Bahkan saat aku tidur / kepalaku tetap disibukkan olehmu. / Karena kamu selalu singgah dalam mimpiku. / Gawat! Kamu itu seperti sel aktif di otakku / tak pernah berhenti.
Tuntutan: Cinta! / Satu kata tanpa definisi. / Tidak membawa Kejelasan / walau dampaknya kuat terasa
Degub Kesukaanku: Jika dia mencintaimu, dia tidak akan membiarkan / kamu berjuang sendirian. / Cinta memang sesederhana itu.
Pilihan: Jika hati bisa memilih. Pilihanku pasti akan jatuh lagi / kepada kamu. Tapi bagaimana bisa memilih kalau sudah / diahncurkan. Tinggal menunggu seseorang yang mau / membenahinya lagi.
3 Detik: Hanya 3 detik. / Retinaku dan retinamu bertemu. / 3 detik yang pernuh kekesalan, / kerinduan / dan beberapa rasa yang sulit dijelaskan. / Sesakit apapun aku karena tatapan itu. / doa terus kususun untuk kamu bahagia. / Dan detik-detikku terus dikepung rindu.
Merindu: Dan tubuh ini pun dingin. Merindu dekap hangat fatamorgana / digantikan sosok yang nyata, tetap gigil.
Tak Bisa Ku Miliki: Bagaiamanapun keadaan sekarang… / kamu pernah menjadi bagian terpenting dalam hidupku, / bagian yang ku jaga walau sekarang aku biarkan pergi / Tempatmu di hatiku seperti keharusan yang tak bisa digantikan / rinduku padamu juga enggan dialihkan. / Oh, fatamorgana / namamu akan selalu ada di dalam doaku.
Aku Memilih Mengenangmu: Beruntunglah kamu / jika dicinta oleh orang yang suka menulis sepertiku / Karena kemanapun kamu pergi / namamu, dan semua tentangmu akan abadi / dalam sajakku.
Aku Lemah: Karena sesungguhnya terluka mengajarkan kita satu hal. / Cinta tidak akan pernah salah memilih tempat / dimana dia harus berada.
Noktah: Aku itu seperti hujan ya? / Walau sejuk tetap saja kamu berteduh
Noktah #: kita… / bertemu… / jatuh hati… / hilang… / tidak ada kata perpisahan… / tidak ada akhir… / dan masih aku bertanya… / Mengapa?
Ini adalah buku pertama Prilly, dan buku pertamanya yang muncul di blog ini. dikenal sebagai artis, Prilly memang multitalent. Walaupun di percobaan pertama ini, tak terlalu mencipta kesan bagus di sini, setidaknya percobaan mengumpulkan tulisan, mengumpulkan coretan puisinya untuk dibukukan perlu diapresiasi. Tak semua artis berpikir ke situ, temanya terlalu kecinta-cintaan. Standar sekali.
Saya baca hanya dalam setengah jam di pergantian hari jam 00:05 sd. 00:30 dini hari, malam Jumat (17.06.22) kebangun dan tak bisa tidur lagi, gegas baca puisi dan prosa, keduanya kelar! Padahal ini hari kerja. Setelah dua jam nekad, akhirnya coba kupejamkan istirahat. Dini hari adalah masa yang sangat tenang, dengan kondisi pikiran fresh, tetap tak berhasil mengesankanku.
Semoga ke depannya muncul karya-karya lainnya yang lebih tertata dan lebih Ok, semoga artis lainnya yang memiliki bakat tulis membukukan karyanya. Semangat Prilly!
5 Detik dan Rasa Rindu | by Prilly Latuconsina | Copyright 2017 | Penyunting naskah Fuad Jauharudin | Ilustrasi sampul Nafan | Desain Pidi Baiq | Desai nisi Deni Sopian | Penerbit The PanasDalam Publishing | Cetakan V, September 2017 | ISBN 978-602-61007-0-2 | Skor: 2.5/5
Karawang, 170622 – Shane Filan – Beautiful in White
Thx to Sri Wisma Agustina (Literasi Rongsok), Bandung
“Wahai, Caelius, Lesbiaku, Lesbia itu, / Itu Lesbia, yang Catullus cintai lebih / Dari dirinya dan semua miliknya, / Sekarang, di perempatan-perempatan dan lorong-lorong, / Menguliti keturunan berjiwa besar dari Remus.” – Catullus 58
Berpuisi, seringkali sulit dimaknai. Ada yang menyarankan, dinikmati saja. Tak perlu berfilosofi sebab kata-kata puisi itu bait, di mana maksudnya sering kali bercabang. Maka, membaca nyaring disertai kenikmatan suara akan lebih. Ada pula yang menyarankan, selama kamu nyaman dan enak menjelajah bait, kamu sudah sukses membaca puisi. Tak perlu tafsir? Tak perlu merumitkan diri? Dunia puisi, memang harus diakui tak selempeng prosa yang berkelanjutan. Narasinya lebih acak, dan bebas. Begitulah, Catullus dibuat buat pembaca sekarang untuk lebih hati-hati, mungkin ada rasa kurang nyaman, judulnya hanya bernomor, pilihan katanya jadul dengan banyak menyeret dewa Romawi, bukan Yunani yang lebih akrab di telinga, ya, ini buku dibuat sebelum masa Masehi, banyak catatan kaki, hingga ternyata ia adalah Penyair yang galau.
Dari catatan tambahan, kita tahu Catullus atau Gaius Valerius Catullus meninggal muda, 30 tahun. Diperkirakan ia hidup tahun 84 SM – 54 SM. Total ada 30 puisi yang diterjemahkan dari 113 puisi. Untuk memberi gambaran, puisi asli berbahasa Latin jua ditampilkan, jadi kini Latin kanan Bahasa Indonesia. Walaupun, jelas saya juga tak paham Latin, dengan mencantumnya orang yang jago di Latin bia memperkira seberapa akurat alih bahasanya. Nama Lesbia, berulangkali disebut sebagai curahan bait. Baik kemarahan, terutama cinta. Siapa dia? Diperkirakan adalah Clodia, saudari Publius Clodius Pulcher. Atau psudonim Lesbia adalah ‘Lesbos’, tempat Sappho berasal. Berbagai tema disampaikan, beberapa ada yang kasar, seperti puisi 36 bari pertamanya bilang ‘Catatan-catatan tahunan Volusius, kertas tahi’. Atau atau curhat karena sedang malesi, puisi 51 kunukil, ‘Kemalasan, Catullus, adalah masalah bagimu; engkau terlalu berlarut bersenang-senang dalam kemalasan’.
Ketimbang makin tak jelas juntrung pemaknaannya, saya kutip sebagian kecil saja puisi-puisinya.
Catullus 85: Kubenci dan kucintai. Mengapa kulakukan, mungkin kautanya /Tak kupahami, tetapi aku merasakannya dan tersiksa.
Catullus 7: Kautanya berapa banyak ciuman milikmu / Yang cukup, bahkan lebih, bagiku, Lesbia? Sebanyak jumlah butir-butir pasir Libia.
Catullus 92: Lesbia selalu berkata buruk padaku, tak pernah bisa diam. / Terhadap hal tentangku: Jika Lesbia tak mencintaiku, aku binasa.
Catullus 106: Ketika seseorang melihat juru lelang bersama anak lelaki tampan, / Apa yang orang itu percaya selain hasrat untuk menjual si anak lelaki?
Kunikmati bisa saja sekali duduk, tapi saya mengingin tiap malam membacainya satu per satu agar meresap, tapi tetap gagal. Kubaca ulang Minggu sore (12/6) secara acak dan cepat, tetap blank. Memang, nyamanan prosa. Tahun lalu berhasil menamatkan 12 buku puisi, sejatinya tetap sama saja, sulit menikmati. Tahun ini lebih selow, dan ini buku puisi pertama yang saya tuntaskan, ini sudah Juni bung. Jauh secara kuantitas.
Padahal buku ini kubeli saat pre-order tahun 2019 bersama enam buku lainnya. Esai, cerpen, novel semua sudah selesai baca. Menyisa ini saja, hufh… butuh waktu tiga tahun untuk membuka dan menuntaskannya. Benar-benar kudu niat, dan dipaksa.
Kututup catatan kecil ini dengan puisi pembuka, Catullus 1 dalam dua baris terakhir: ‘Bagaimanapun; o perawan teladan, buku kecil yang / Semoga bertahan terus-menerus, lebih dari satu abad.’ Dan lihatnya, doanya terkabul. Bukan seabad, sekarang sudah dua millennium, dan orang-orang berhasil menyelamatkan karyanya. Mungkin seribu abad lagi, akan masih dinikmati generasi berikutnya.
Puisi-Puisi Pilihan Catullus | by Catullus | Penerjemah Mario F. Lawi | Penerbit Gambang Buku Budaya | Desain sampul Kaverboi | Ilustrasi sampul “Catullus at Lesbia’s” karya Sir Lawrence Alma Tadema (commons.wikipedia.org) | Desai nisi Kun Andyan Anindito | Cetakan pertama, Agustus 2019 | xii + 67 hlm. 13 x 19 cm | ISBN 978-602-677-85-3 | Skor: 4/5
Karawang, 140622 – Avril Lavigne – My Happy Ending
“Hidup hanya demi menulis mantra. Agar aksara tak sekadar menjadi kata, melainkan juga menjelma makna, mewujud daya, dan pada akhirnya menjadi upaya.” – Delapan Penjuru Taksu
Dan lagi, saya menikmati kumpulan puisi, dan sama saja. Sulit untuk dinikmati, sulit untuk direview. Tahun lalu saya paksakan membaca 12 buku puisi, ini salah satu dari dua buku akhir tahun yang terlalu lama kutunda ulas. Ini saya ketik ulasan dengan agak rancu, seadanya. Atau dalam satu kalimat, “kalian sangat boleh meragukan ulasan buku puisi di blog ini.” Namun, izinkan saya menyampaikan pandangan saya sebagai penikmat prosa ini, uneg-uneg bagaimana bait-bait yang antah coba kucerna.
Buku dibuka dengan pengantar penyair kenamaan Hasan Aspahani Di sampul ada endorsm penyair besar Joko Pinurbo. Tak cukup dengan itu, halaman pembuka ada empat endorm lagi, nama-nama tak sembarangan, sumbang suara dari Sapardi Djoko Damono, Acep Zamzam Noor, Umbu Landu Paranggui, dan Remy Sylado! Luar biasa.
Karena saya tak terlalu bisa mereview buku kumpulan puisi, maka saya ketik saja sebagian yang menurutku bagus. Kok nekad? Ya, fungsi blog ini selain untuk memberi informasi ke pembaca, juga sebagai rekap dan kesan dan hal-hal yang kudapat dari melahap buku. Jadi semua buku saya ulas, sekalipun apa adanya.
“Malkana, lama sudah ia tinggal. Di sini, di dunianya yang baru, tak ada yang ia kenal. Seluruhnya kawanan banal, selebihnya kerumunan binal. Anjing itu menua sia-sia dan gagal.” – Dari Malkana
“Mendengar pendengaran mendengar. Melihat pengelihatan melihat. Hening mengucapkan kekosongan. Telingaku berdenging, malam melafalkan sunyi paling sepi. Dini hari telah tiba. Surya menata subuh yang sebentar lagi.” – Sudut paling riskan
“Cinta dan Rindu, kau dan aku: dua yang telah menjadi satu. Cinta dan Rindu, kau dan aku: bukan bara yang menjadi abu.” – Cinta yang Tenang
“Aku mengendus relungmu perlajan, melacak jejak kita saat bersentuhan, di setiap gurtamu ada aroma pelukan, yang terasa dekat meski berjauhan.” – Dekat Meski Berjauhan
“Hal-hal yang bernama khawatir, adalah hal-hal yang kau namai sendiri.” – Kunamai Kau
“Dan, yang paling nyata dari hidupmu di dunia adalah dirimu sendiri: yang telah kau khianati.” – Paling Nyata
“Jika untuk pulang saja aku harus menunggu tua, betapa lama penantian, betapa renta kerinduan.” – Usia
“Kesedihan apakah yang kau miliki? Bolehkah untukku? Segala darimu jika kau beri, niscaya aku mau.” – Segala Darimu
“Gulita dan Cahaya hanyalah roman belaka. Ketika asyik bercinta, kita tak memerlukannya.” – Tak Perlu Nyata
“Setiap bibirku bertemu takdirmu, serta merta kusebut nama kita: dua yang sesungguhnya satu. Walau gulita telah memburamkan segala terang, pelita dari segaris senyummu cukup mengantarku pada kelegaan.” – Terima Kasih
“Jika ada kata yang lebih hakikat, dari ikrar menyatu sepanjang usia, akan kuucapkan sekalipun terlambat: akad untuk mengabadikan kita.” – Akad Abadi
Kebetulan pagi tadi saya ikut inspirasi pagi, acara mendengarkan berbagai informasi bebas, termasuk melihat video di youtube. Yang membawakan, Icha memilih sebuah video dari Narasi dengan Najwa Shihab berdeklamasi. Isinya tentang 2050, prediksi mengerikan tentang pemanasan global yang akan terjadi. Daratan ada yang tenggelam, suhu bisa mencapai 60 derajat celcius, hingga kekurangan air melanda. Intinya bukan di warning, saya melihat Mbak Nana sangat bagus menyampaikan informasi itu dengan gegap gempita, seolah pembacaan syair. Nah, seperti itulah cara yang menurutku tepat menikmati puisi. Bukan dibaca santuy di kamar dengan lirih. Menikmati puisi mencapai titik maksimal dengan mendengarkan. Via audio, bukan visual teks. Saya menikmtai Asal Muasal Pelukan dengan berbagai pose. Di perjalanan ke Jakarta saat ada tugas luar, di ruang perpus keluarga, di meja kerja, hingga saat menjadi sopir keluarga menepi di sebuah masjid. Semuanya lirih, dan dalam senyap, rasanya kurang. Feel-nya beda, dengan mendengarkan Mbak Nana menyampaikan pesan. Itu bukan syair, itu edukasi pentingnya menjaga lingkungan, bayangkan bila yang dibacakan bait-bait cinta. “Tanpa perempuan di sisinya, laki-laki hanya memeluk udara. Padahal pun bagi perempuan, lelaku itu asal muasal pelukan….” Bukankah makin jleb?!
Untuk tahun ini saya tak ada target berapa banyak buku puisi yang akan kulahap. Sampai Juni ini, tak ada satupun malah. Setiap tahun memang berbeda targetnya, 2022 so far lima buku Terbitan Atria, dan akan jadi 12. Mungkin tahun depan lagi, baru saya kejari lagi buku-buku puisi. Seperti janjiku, saya lahap semua jenis bacaan. Entah paham, entah pusing, entah melayang, selama mendapati kenikmatan membaca, saya akn lakukan.
Asal Muasal Pelukan, mungkin salah satu buku puisi yang terbaik yang kubaca. Karena memang belum banyak, butuh bimbingan menyelami bait-baitnya. Dan buku puisi menurutku layak dikoleksi, sebab setiap saat bila ingin menikmati kembali tinggal tengok di rak. Jadi, buku-buku penyair Candra Malik laik kejar? Dengan menyakinkan saya bilang, Ya!
Asal Muasal Pelukan | by Candra Malik | Cetakan pertama, Juni 2016 | Penyunting Adham T. Fusama | Perancang sampul Fahmi Ilmansyah | Ilustrasi isi Ayu Hapsari | Pemeriksa aksara Achmad Muchtar | Penata aksara Rio | Penerbit Bentang | xvi + 152 hlm., 20.5 cm | ISBN 978-602-291-231-6 | Skor: 4/5
Karawang, 020522 – Blink 182 – All the Small Things
April ini bertepatan dengan bulan puasa, dibaca disela ngaji yang sukses khatam 30 juzz, disela sahur yang mengantuk, disela tidur siang kala istirahat kerja, disela tarawih yang begitu panjang. Alhamdulillah, masih dapat 8 buku. Rerata buku agama sebenarnya, sayang tidak sampai tuntas jelang libur panjang. Bulan Mei ini paling beberapa buku agama tuntas.
Semangat tetap membara, hanya pembagian bacanya saja yang perlu diatur ulang. Benar-benar hebat rasanya hidup di serba instan ini kita masih sempatkan membaca buku, dan antrian sangat panjang.
#1. The Emerald Atlas by John Stephens
Ini buku trilogy, buku duanya sudah saya punya. Lumayan bagus, sihir dan aturan main manusia abadi tampak selalu menarik. Di dunia fana ini, fantasi manusia melalangbuana hingga tak berbatas. Maka kehidupan khayal penyihir abadi, permainan waktu, bisa acak nan non linier, sehingga makna dan arti hidup itu sendiri jadi rancu. Dengan bantuan buku album foto, tiga saudara terpilih masuk ke dimensi waktu, mundur di zaman orangtuanya masih muda, dan bertemu lawan berat, menyelamatkan masa. Karena ini berseri, saya bisa simpulkan ketiganya selamat, sekalipun sekarat.
#2. Kemerosotan Ummat Islam dan Upaya Pembangkitannya by Abul A’la Maududi
Bagus banget. Pandangan ulama di Pakistan akan kemrosotan moral muslim, tak hanya di negerinya tapi secara keseluruhan. Dunia saat ini terlampau menggampangkan, tata kelola moral jadi abu-abu. Islam sebagai agama pedoman hidup hadir, sangat relevan di semua zaman, termasuk zaman digital, zaman kita. Upaya pembangkitan, harus ada kerjasama semua pihak. Hal-hal yang jelas dilarang agama, tak perlu toleransi lagi. LGBT contohnya, jelas itu maksiat dan tak ada ampun. Kebangkitan Islam, kudu orang Islam yang menggerakkan, ya kita. Ya kalian juga.
#3. Permata Lembah Hijau by Ike Soepomo
Dua cerpen yang pernah dimuat di majalah Femina ini temanya memang cinta yang remuk. Dibaca saat ini terasa lebai, pasangan yang sudah tak mencinta, lantas kabur ke rumah orangtuanya di desa untuk menenangkan diri. Satu lagi suami yang baik hati dan tak sombong tiba-tiba runtuh sebab mengalami kecelakaan, tragedy yang merenggut semangat hidupnya. Masih enak dibaca sekalipun sudah sulit dilogika di era sekarang, tapi bukankah cinta adalah tema abadi, hanya templatenya saja yang dimodifikasi.
#4. Manusia Indonesia by Mochtar Lubis
Bagus sekali, semua ceramah tentang karakter manusia Indonesia dilontarkan, rerata sifat negative, yang sejatinya banyak benarnya. Ada sifat positif tapi tak dominan. Mengundang reaksi banyak kalangan, dari kanan atau kiri, Mochtar Lubis kena kritik. Di era itu, tahun 1970-an untuk berbalas reaksi harus lewat Koran, dan sungguh aduhai. Bayangkan, menanti terbit bisa seminggu dua minggu, lantas menunggu tanggapan lagi, menunggu lagi. Manusia Indonesia kudu punya sabar berlebih…
#5. The Spellman Files by Lisa Lutz
Hahaha, ada-ada saja. Keluarga detektif yang kocak. Ayah ibu punya biro jasa penyelidikan, si sulung yang malas dan kesal terpaksa ikut kerja usaha keluarga, nomor dua jadi punya pemikiran beda, mengambil kuliah bergengsi, kerja di biro hukum yang ada uang melimpah. Satu lagi si bungsu yang kelahirannya tak diharapkan hidup di tengah-tengahnya, istilahnya ia memiliki kemampuan negosiasi berkat tempaan waktu dan lingkungan. Lantas, ada yang jatuh hati. Kali ini seorang dokter gigi, kebohongan dirancang, dan saat si sulung ingin keluar dari bisnis ini, ia mendapat tugas terakhir yang sulit, sebuah investigasi kasus lama yang sudah beku itu, kini harus dipecahkan.
#6. Sufi Sufi Diaspora by (editor) Jamal Malik & John Hinnels
Melalangbuana ke Barat untuk menikmati perkembangan terbaru sufisme. Luar biasa, sekalipun minoritas mereka bertahan dan berkembang. Di era modern dengan segala kemudahannya, kita diajak mengenal era-era awal abad 20 hingga buku ini diterbitkan tahun 2000-an. Paling banyak disinggung di Amerika dan Inggris, dan mengingat dua Negara besar ini, rasanya dahsyat tasawuf berhasil berkembang di sana, bahkan akhir-akhir ini makin diterima, kita semua butuh ketenangan batin.
#7. Mata Penuh Darah by Faisal Oddang dkk.
Kumpulan cerpen yang diterbitkan untuk merayakan 10 tahun penerbit Shira Media, dari berbagai penulis, dan karena nama Faisal Oddang dipajang, ia adalah penulis paling sukses dan menjual. Sayangnya banyak bagian cerita menulik masa depan yang gelap, tak bisa diterima, hanya memprediksi, beberapa bahkan ada yang luar biasa buruk. Hufh…
#8. Etika-etika Dasar by Franz Magnis-suseno
Ini adalah yang sudah disahkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebagai bahan ajar, artinya sudah diterapkan kurikulum untuk dijadikan pegangan anak sekolah. Terasa memang isinya baku dan umum, hanya bagian-bagian kecil yang berani. Di akhir bab kita diajak menjawab beberapa pertanyaan, seolah quiz/tes pengetahuan seberapa paham kita. Lumayan, walau tak wow, mungkin di buku lain lebih bisa menikmati. Terima kasih.
Mulai agak malesi, beberapa kubaca di paginya, bahkan pernah siang hari berikutnya. Namun tak mengapa, saya terus berusaha melanjutkan komitmen ini, seribu itu banyak, dan ini baru 3.5% perjalanan, masih sangat panjang…
Hari 26
#1. Cerpen: Kepala Kantor Pos(Rabindranath Tagore)
Seorang petugas pos dikirim ke kantor cabang di pelosok untuk jadi kepala kantor pos. Desa yang sederhana ini memberi cerita mengharukan.
#2. Esai: How the World Work Bab Yang Kaya Sedikit dan Yang Gelisah Banyak (Noam Chomsky)
Amerika yang digdaya pasca Perang Dunia Kedua melakukan banyak invasi, menjaga harga minyak untuk menyuplai warganya. Bersekutu dengan Negara-negara ketiga, atau membumihanguskannya.
#3. Puisi: Ingin Menghilang (Triyanto Triwikromo)
Jauhilah Aku sesaat agar kau tahu betapa kita / begitu dekat. Aku ingin sendiri. Aku tak ingin kausentih / dengan cinta dan doa paling lembut sekalipun. Aku / ingin menghilang…
#4. Kata: Indonesia
Afdal: lebih baik, lebih utama; lengkap, komplet
Hari 27
#1. Cerpen: Ule Sondok So-Len (Al El Afif)
Cerpen buruk, entah kumpulan cerpen di sini makin tak jelas.
#2. Esai: Etika Dasar bab Suara Hati (Franz Magnis-suseno)
Ketika bermsyarakat kita sering memertanyakan kebebasan, tapi tak bisa seenaknya sendiri juga. Ada batasan, dan suara dalam hati berfungsi menjaganya.
#3. Puisi: Jika Kau Rupa Stasiun (Yopi Setia Umbara)
:Widzar Al-Ghifary
Jika kau serupa stasiun / merasa senantiasa ditinggalkan / lalu bagaimana dengan mereka / yang silih berganti datang / bawa wajah-wajah kisah / bukankah keberangkatan dan kedatangan / adalah rel melintang / pada dadamu / seperti garis takdirmu / terjaga dalam sunyi / jam menempel pada dinding hatimu / mencatat pada mereka yang datang dan pergi / bersama pilihannya / dalam risalah hidupmu / sebagai stasiun / kau layak menyediakan lobi sunyi / bagi segara keriuhan kisah / yang mereka bawa / juga mereka / tinggalkan padamu – 2007
#4. Kata: Indonesia
ambulans: kendaraan yang dilengkapi peralatan medis untuk orang sakit, korban kecelakaan, dll
Hari 28
#1. Cerpen: Budayut (Tony Lesmana)
Bunuh diri, gundul, masa depan yang aneh.
#2. Esai: Membangun Koperasi (Moh. Hatta)
Ceramah sang proklamator untuk kesekian kalinya untuk membangun ekonomi rakyat, membangun koperasi, dasarnya kuat.
#3. Puisi: Sang Guru (Yopi Setia Umbara)
:Riski Lesmana
Dan kau ucapkan selamat tinggal / pada keremajaan jalan / di sepanjang cekungan / yang tercipta dari kisah para hyang
di bawah garis merah lembayung / pada langit matamu / kau berjalan menuju sunyi satu kota / di mana hujan selalu turun lebih deras
mungkin di sana / namamu akan mengenang / pada tanah merah serupa tujuan hujan / yang resap ke dalam hati ibu bumi – 2007
#4. Kata: Indonesia
amendemen: usul perubahan undang-undang; penambahan pada bagian yang sudah ada
Hari 29
#1. Cerpen: Obat Mujarab (Mo Yan)
Seram. Hukuman mati dilakukan di atas jembatan di fajar yang baru merekah, satu keluarga ditembak algojo dan mayatnya dilempar di kolong jemabatan. Bapak anak menunggu di sana, untuk mencari obat mujarab.
#2. Esai: Apakah Kita Masih Perlu Ngantor? (Andina Dwifatma)
Selama pandemi kita dihadapkan nama baru: Work From Home (WFH). Banyak kantor melakukannya, juga sekolah online. Banyak keuntungannya, tanpa mandi, tanpa perlu make-up, bahkan 15 menit sebelum jam masuk kita masih bisa rebahan! Nantinya kalau sudah enddemi, apakah masih dilakukan?
#3. Puisi: Catatan Masa Kecil, 4 (Sapardi Djoko Damono)
Ia tak pernah sempat bertanya kenapa dua kali dua hasilnya sama dengan dua tambah dua sedangkan satu kali satu lebih kecil dari satu tambah satu dan tiga kali tiga lebih besar dari tiga tambah tiga. Sejak semula ia sayang pada angka nol. Dan setiap kali ia menghitung dua tambah tiga kali empat kurang dua ia selalu teringat waktu terjaga malam-malam ketika ibunya sakit keras dan ayahnya tidak ada di rumah dan di halaman terdengar langkah-langkah bakiak almarhum nenek dan ia ingin kencing tetapi takut ke kamar mandi yang dekat sumur itu dan lalu kencing saja di kasur.
Sungguh, sejak semula ia hanya mempercayai angka nol.
#4. Kata: Indonesia
amonia: gas tak berwarna, baunya menusuk, terdiri atas unsur nitrogen dan hidrogen, mudah larut dalam air, dll
Hari 30
#1. Cerpen: Lelaki Tua di Jembatan (Ernest Hemingway)
Lelaki tua yang mendaku sebagai penggembala, pemelihara binatang. Ia diminta segera pergi sebab akan ada serangan, tenang saja binatang-binatang itu akan bisa menyelamatkan dirinya sendiri, apalagi kucing. Benarkah?
#2. Esai: Filsafat Administrasi bab Planning (Dr.S.P. Siagiam, MPA)
Rencana adalah separuh keberhasilan.
#3. Puisi: Jarak (Triyanto Triwikromo)
Aku sudah di balkon. Kau masih di tanah becek. / Aku sudah jadi semacam burung. Kau masih jadi / semacam kecoa. Aku sudah asap. Kau masih api. Aku / hujan. Kau awan. Aku lima kaki. Kau dua kaki. Aku / topeng. Kau wajah busuk. Aku meninggalkan neraka / lima hari lagi. kau berjalan tertatih-tatih ke neraka / hingga tujuh hari. Aku sedih. Kau menari-nari.
#4. Kata: Indonesia
andal: dapat dipercaya, memberi hasil yang sama pada ujian atau percobaan berulang
Hari 31
#1. Cerpen: Kejadian di Michigan (Ernest Hemingway)
Cinta buta. Jill Gilmore dicintai Liz dengan membabibuta di pedesaan yang lengang, hanya lima rumah di sana. Liz tak bisa tidur saat Jill dan para lelaki berburu di hutan, dan saat kembali, terjadilah apa yang selama ini diidamkan Liz, tapi tak sepenuhnya sama.
#2. Esai: Filsafat Administrasi bab Organizing (Dr.S.P. Siagiam, MPA)
Atasan dan bawahan diatur dalam organisasi yang tepat, saling menghargai dan menjalankan tugas sesuai perannya.
#3. Puisi: Kurang Ajar (Triyanto Triwikromo)
Ada makhluk-makhluk yang kurang ajar pada-Ku. / Di laut penuh hantu, ada seekor paus yang selalu / menganngap aku hanyalah beruang kutup. Galak. / Berjalan sendirian. Di langit penuh merpati, ada seekor / rajawali yang menganggap Aku hanyalah cacing / di tanah gembur. Rapuh. Diabaikan oleh siapa pun.
“Kau hendak menghukum makhluk-makhluk itu? Katamu
#4. Kata: Indonesia
antre: berdiri berderet-deret di belakang menunggu giliran, antrean
Hari 32
#1. Cerpen: Meninggalkan Maverley (Alice Munro)
Gadis tukang sobek tiket bioskop yang lucu menghilang. Dibawa pemain musik, yang mencipta geger kota kecil Maverley. Waktu terus bergulir dan kabar itu tertimpa kabar-kabar lainnya. Namun saya tak kan melupakannya.
#2. Esai: Perkara Nama (Andina Dwifatma)
Nama anak zaman sekarang memang unik dan panjang-panjang. Saya mau complain, tapi kok ya anakku juga sebelas dua belas. Wajar, nama adalah doa. Justru yang mengagetkanku motifnya. Tak ada keinginan untuk mencipta web dengan nama anak.
#3. Puisi: Sunyi yang Lebat (Sapardi Djoko Damono)
Sunyi yang lebat: ujung-ujung jari / sunyi yang lebat: bola mata dan gendang telinga / sunyi yang lebat: lidah dan lubang hidung / sunyi yang dikenal sebagai hutan: pohon-pohon roboh, / margasatwa membusuk di tepi sungai kering, para / pemburu mencari jejak pencaindra…
#4. Kata: Indonesia
asas: dasar, dasar cita-cita, hukum dasar
Hari 33
#1. Cerpen: Kerikil (Alice Munro)
Bekas tambang di samping rumah yang kini menjelam danau sebab ditempa hujan. Keluarga ini pindah ke sana, kehidupan baru yang lebih berat. Dan tragedy dicipta dengan penuh intimidasi.
#2. Esai: Manusia Indonesia Bab Dunia Kini (Mochtar Lubis)
Modernitas yang rumit. Indonesia ingin seperti dunia barat, tapi orang-orang Eropa malah mengingin hidup sederhana seperti orang timur.
#3. Puisi: Membangun Kata (Deddy Arsya)
Memang ada kota yang didirikan dari gerutu / dari derap omong-kosong rak sudah-sudah!
Lalu mereka berkata: kita mesti atur itu siasat / masa depan hanya dapat diraih dengan gelegak hasrat / harus kau pilih jembatan antar selat atau kapal pengankut segala / pesawat-pesawat semakin sering jatuh dan orang-orang takut terbang / padahal kelak ato dan sepit akan diberi sayap / “tapi maaf, ya, penyair partikelir seperti Anda susah dibawa serta!”
Penyair-penyair mabuk menguping dari biliknya yang pengap / sebab tak punya bini, hanya bisa menggerutu pada diri sendiri. / mereka kira kata-kata seperti sak-sak semen / dan setumpuk batu-bata yang bisa bangun gedong bersusun / mereka kira puisi bisa menyelamatkan kita dari amok-murka?
Memang ada kota yang dibangun dari lentingan kata-kata?
#4. Kata: Indonesia
astronaut: antariksawan, kosmonaut
Hari 34
#1. Cerpen: Surga (Alice Munro)
Perbedaan pandangan kepercayaan, mencipta perdebatan antar keluarga. Sang dokter tak ingin mengenal kakaknya yang musisi, dan istrinya begitu taatnya.
#2. Esai: Jalan Pintas Menuju Cinta (Andina Dwifatma)
Sudah nonton film The Tinder Swindler yang menegangkan itu, dan sepakat sama tulisan di sini betapa manusia memang menyukai yang instan, bahkan cinta.
#3. Puisi: Di Radio Lokal (Deddy Arsya)
Di radio lokal / ia menunggu / menjelang akhir lagu / hujan dan waktu
Ke langit lengang ia bersuara / Kapan kau akan segera tiba?
Serupa kilau / mata kucing / hatinya nyala
Di radio lokal / Ia menunggu / menjelang datang sepi / dan mendesak ragu
Kau entah di mana berada
#4. Kata: Indonesia
autentik: dapat dipercaya; asli, tulen; sah
Hari 35
#1. Cerpen: Harga Diri (Alice Munro)
Riwayat hidup gadis bernama unik. Melewati masa perang dunia dan mencoba bertahan hidup, menjadi piatu saat remaja, kini ia yatim piatu. Dan sang aku melewatkan hari bersama, saling mengisi.
#2. Esai: Hidup yang Saling Bersinggungan (Andina Dwifatma)
Cerita burung nuri yang akan dicuri tetangga. Triknya lucu, dan seperti itulah hidup, terkadang lucu. Tetangga menjadi orang terdekat yang bersinggungan dengan kita.
#3. Puisi: Surat dari Ibu (Asrul Sani)
Pergi ke dunia luas, anakku sayang / pergi ke hidup bebas! / Selama angin masih angina buritan / dan matahari pagi menyinar daun-daunan / dalam rimba dan padang hijau
Pergi ke laut lepas, anakku sayang / pergi ke alam bebas! / selama hari belum petang / warnasenja belum kemerah-merahan / menutup pintu waktu lampau
Jika bayang telah pudar / dan elang laut pulang ke sarang / angina bertiup ke benua / Tiang-tiang akan kering sendiri . dan nahkoda sudah tak pedoman, / boleh engkau dayang padaku
Duduk diam tak menentu / Memikirkan waktu yang terus berjalan tak tentu / Dimana loudspreaker bersuara maaf selalu / Jajanan pasar biasanya segera keluar sebagai hidangan penyumbat malu / Kadang roti isi yang beredar sebagai peredam emosi penumpang yang / menggebu-gebu / Kadang juga nasi bungkus yang dibagikan sebagai alternative / pencegah demo yang lebih seru – Poetry #22: Maskapai Penerbangan Terhebat Sepanjang Sejarah Perjuangan Bangsa
Kumpulan puisi mbeling yang payah. Tampil beda tak selalu keren. Buku ini mencerita segala aktivitas dan kritik sosial di ibu kota, dibawakan dengan aneh dan nyeleneh dan dalam konotasi negatif. Entah maunya apa, puisi yang sudah kita ketahui itu memang agak sulit dimaknai, walaupun memang tak ada yang salah. Mau dirubah dengan gaya gaul, oh tidak. Puisi tuh ga gini bro. Sungguh buruk.
Identitas penulis dirahasiakan, seolah memang sudah malu sama karyanya. Lihat saja identitas bukunya, semua oleh Foentry, kecuali Joshua Santoso, dan bisa saja jangan-jangan dia sendiri yang bikin juga? Semua kerjaan diborong, dan itulah mengapa perlunya editing, proof reader, dst sehingga jika tulisan melenceng ada yang meluruskan. Ini Joshua hanya ditaruh dibagian ilustrasi. Esensi isi tulisan tak disentuh orang kedua/ketiga. Ambyar! Eka Kurniawan contohnya, bukunya diedit oleh orang lain, buku Seno Gumira Ajidarma editornya pernah orang yang masih fresh graduate, ga masalah asal dicek sama orang lain yang kompeten. Kalau tulisan gede-kecil sih memang sengaja, tapi editing kata baku saja beberapa kelewat: yang basic saja kata ‘silahkan’. Buku ini representasi sebuah karya yang tak enak dinikmati, mentah, lemah, dan boring sekali. Malah kayak Vicky Prasetyo yang terkenal suka belibet kata, di sini beneran dicetak, diedarkan, dan dijual. Kacau dari berbagai sisi.
Mau kritik sosial dan budaya, tapi jatuhnya malah penyampaian antah surantah.
Banyak sekali tulisan alay kombinasi angka dan huruf capital, ya ampun, merusak mata. Menjemukan gan, baca tulisan alay di sosmed saja rasanya muak, ini dalam buku ber-ISBN! Bukunya juga berwarna, blink-blink ala abege. Halamannya tampil beda, ditaruh di samping. Bukan di atas/bawah. Untuk penjelasan catatan kaki, tak semua di bawah, sebagian di halaman khusus belakang. Dan jujur sahaja, catatan kaki tuh tak banyak harusnya. Semakin banyak semakin kelihatan bego, yang berarti sang penulis gagal menyampaikan isi hati ke pembaca. Dan catatan kakinya basic banget pula. Contoh Dan Brown, ngapain dijelaskan ia adalah pengarang Da Vinci Code? Tak perlu, tak usah. Buasiiiic gan. Atau pas nyindir kasus korupsi yang sedang hype saat puisi dibuat, tak usah. Tak perlu seterang-terangnya. Atau menjelaskan kalau HI itu Hotel Indonesia. Duuh! Maksud hati mau kritik pengambil kebijakan pemerintah, malah penyair antah ini yang patut dihujat/kritik abis!
Mending nulis prosa saja, cerpen/novel yang narasinya panjang dan nyaman ketimbang berwujud puisi tapi bentuk dan penuturan bertele-tele. Ini sejenis curhat berparagraf-paragraf, dimodifikasi dalam bentuk puisi yang ada baitnya, ndelujur tak jelas. Mencerita kehidupan Jakarta, sayangnya berisi hal-hal yang unfaedah. Rerata malah menjelaskan betapa penulisnya berpikiran sempit. Seperti menjelaskan caddy golf, itu menjurus ke selakangan. Tak semua caddy seperti itu gan. Atau bercerita tentang kawin kontrak, cara menyampaikannya saja amburadul. Maksud hati nyinidr area Cisarua yang banyak orang Arabnya, malah bablas, bahkan ada lagi di puisi lain tentang nikah siri atau arisan sosialita tentang brondong. Dahlah! Kalau pameo, apa yang ditulis adalah bentuk pribadi penulisnya. Maka yah, begitulah sekiranya isi buku ini.
Yang lumayan ok paling ‘Muatan Kebijaksanaan Para Filsuf Buronan’. Di mana disinggung kata-kata yang tertera di belakang truk begitu aneh dan nyeleneh, nyelekiti sekaligus ada benarnya. Permainan kata yang disajikan memang unik dan menyenangkan di mata. Namun malah keseluruhan malah bahas pribadi rerata sopir truk yang kelelahan. “Biar penghasilan pas-pasan tapi istriku sehat dan juga gemuk / Apa ini saatnya aku cari perempuan lain yang lebih seksi dan mudaan, nduk?”
Atau ilustrasinya Ok-lah. Menggambar bagus itu sulit, sama sulitnya mencipta kata-kata bijak. Penggambaran tiap puisi terwakili. Cover-nya Ok, lukisan abtsrak tiap judul juga dibuat samar dan justru yang samar adalah bagian dari keindahan. Yah, masak aku baca buku puisi tapi yang kupuji gambarnya. Mending aku beli komik sekalian dah.
Dan ternyata feeling-ku bahwa ini terinpirasi Vicky Prasetyo terbukti. Di nomor 24 berjudul ‘Musik Kontraversi Hati Penderita Skizofrenia’ ada sub judul “Puisi Vickinisasi”. Ya ampun, pantas saja sudah terbaca memualkan. Ternyata rujukannya selebriti itu to. Kiss My Age! You damn twenty nine!
Keputusan aku membeli buku ini sebenarnya iseng sahaja. Pas kutanya ke grup WA grup Buku, taka da yang merespon. Lantas ku googling, hasilnya tak banyak. Hanya sejenis endorsement singkat, buruknya hal itu memicu rasa penasaran. Apa maksud puisi baru, apa terobosannya, apa yang mau dibikin nyeleneh/anti mainstream. Eh kek gini, ya ampun. Rasanya buang waktu saja. Rugi waktu, biaya, tenaga. Lantas kenapa tetap kuulas, ya semua buku baik yang menyenangkan atau yang busuk tetap kuulas, biar pembaca blog tahu seberapa rekomendasi sebuah karya. Dan jelas, Jakarta Breaking Poetry adalah sampah belaka. Nonsense. Skip keras!
Jakarta Breaking Poetry Series #1 | by Foentry.com | Copyright 2015 | Penerbit buku Foentry, April 2015 | CV. Foentry TSI | Editor Foentry.com | Desain cover Joshua Santoso | Layout & Ilustrasi Joshua Santoso | ISBN design Foentry.com | Distributor Foentry.com | ISBN 978-602-71-6300-3 | Skor: 1.5/5
Karawang, 261021 – Billie Holiday – Me My Self and I
“Aku adalah potongan senja yang kau ambil untuk pacarmu. Tinggal seperempat. Tiga perempatnya telah hancur oleh hujan yang kauciptakan.”
Kumpulan cerpen keroyokan. Sebuah persembahan untuk Seno Gumira Ajidarma (SGA). Bagus-bagus, aku suka. Memang kalau ngomongin senja, pertama yang terlintas adalah SGA. Walaupaun sebelum beliau bikin cerpen yang fenomenal itu, tentu saja senja sudah jauh hari diulik banyak penulis atau seniman dan lebih sering penyair. Menampilkan 15 cerita dengan tafsir senja bebas, sebebas-bebasnya. Dibuka dengan pengantar Anton Kurnia, ditutup dengan profil para penyaji.
Beberapa kutipan dari tulisan Anton Kurnia saya ketik ulang saja. Bagus buat dibagikan.
Peneliti sastra Indonesia dari Australia, Andy Fuller menyatakan SGA menggunakan jurus-jurus postmodermnisme dalam karya-karyanya, antara lain menggunakan metanarasi, absurditas dalam penokohan, dan kedekatan dengan budaya populer. SGA juga kerap membaurkan batas-batas antara fiksi dan fakta dengan memdukan jurnalisme dan sastra.
Mengutip Pramoedya, dunia tentu saja bukan surga yang segalanya serbasempurna; dunia adalah tempat kebaikan dan keburukan berdialektika, dan setiap manusia ‘bebas’ memilih peran masing-masing.
Seperti yang dinyatakan oleh SGA dalam tulisannya, seseorang yang ingin menjadi penulis yang baik tinggal melihat lewat jendela kehidupannya dengan baik-baik, lantas menuliskan apa paun yang dianggapnya menarik atau tidak menarik, dengan cara yang menarik maupun tidak menarik. Kedunya menyumbang, keduanya mendapat tempat.
#1. Gadis Kembang – Valiant Budi Yogi
Haha, pembuka yang lucu. Info apa yang beredar belum tentu segaris lurus sama fakta. Info selingkuh dan pasangan yang dicampakkan, nyatanya tak seperti yang kita tahu. Taya dan drama ala sinetron kita yang haus sensasi. Simpan simpatimu, Kawan.
“Tapi aku senang mengendap-endap.”
#2. Perkara Mengirim Senja – Jia Effendie
Senja begini tak boleh dinikmati sendirian. Menatapnya seorang diri akan membuatmu depresi. Seperti ada jarring sepi yang dilemparkan dari langit dan merungkupimu dalam perangkapnya. Kau jadi seperti tersayap-sayat sendiri. Dipenjara kesunyian, digantung keheningan. (h. 14-15).
“Aku akan memajang senja itu di ruang tamu. Biar semua orang yang datang ke rumahmu iri.”
#3. Selepas Membaca Sebuah Pertanyaan untuk Cinta, Alina Menulis Dua CeritaPendek Sambil Membayangkan Lelaki Bajingan yang Baru Meninggalkannya – M. Aan Mansyur
Ada banyak kata-kata dalam diam. Celana besi yang mencegah selingkuh dicipta dan dipasangkan ke istri di rumah. Dan publikasi akan mencipta sensasi, hingga akhirnya kita tahu bahwa kunci tak selamanya aman.
Kalimat itu tak punya kuasa untuk meluruhkan sedihnya. Kecelakaan dan kesedihan yang tercipta setelah kemakaman istri tercinta. Dan hal-hal yang tersembuyi di baliknya.
#4. Kuman – Lala Bohang
Cinta nafsu yang menggebu ditautkan dalam cinta sejati. Beneran cinta sama dia? Lantas kenapa masih di sini bersama orang lain? Bertender gagah menjawab dengan kekuatan magisnya.
“Aku mau dua-duanya.”
#5. Ulang – Putra Perdana
Alina dan Sarman mendaki bukit dan melakukan hal-hal yang memang harus dilakukan. Melakukan perjalanan hingga ke gua untuk bertemu juru cerita misterius.
“Jawaban macam apa itu? Kalaupun sejarah ditulis ulang, semua peristiwa itu telah terjadi. Menceritakan kembali dari awal tidak mengembalikan segalanya seperti sedia kalau. Suamiku tetap tiada! Anakku tetap tiada! Semua telah terjadi.”
#6. Akulah Pendukungmu – Sundea
Satu Oktober, hari Kesaktian Pancasila. Sebuah pigura Garuda Pancasila di kelas bisa menjelma hidup dan menggunakan keajaiban di hari istimewa itu.
“Apakah hari ini aku berhasil menemukan Sandra.”
#7. Empat Manusia – Faizal Reza
Saling silang nasib manusia di kehidupan fana ini. Purba, Hendar, Yani, Susan. Oh lima, satunya Ruth Sahanaya. “Sejak kapan kangen mengenal waktu?”
#8. Saputangan Merah – Utami Diah K.
Bagaimana cara berkenalan dengan orang asing dengan baik? Lebih pasnya bagaimana memulai perkenalan dengan orang asing dengan baik dan benar. Dan jika sudah mengenal, bagaimana memujanya dengan tak tampak begitu memuja. Oscar Wilde dan naskah teaternya mungkin tahu.
#9. Senja dalam Pertemuan Hujan – Mudin Em
Kafe. Hujan. Senja. Rasa sentimental akan menggoyahkannya. Masalahnya kamu bukan bersama istrimu, bersama kekasih gelap yang tak sepantasnya dipeluk hangat. Ahh… cinta. John Legend dengan Where Did My Baby Go biar yang menyaksi.
“Karena ia bisa menciptakan hujan. Dan mereka menyukainya. Mereka terjebak di dalamnya.”
$10. Kirana Ketinggalan Kereta – Maradilla Syachridan
Karena manusia tidak boleh terus nyaman dalam sebuah keadaan, sesekali harus melakukan perubahan. Hehe, mungkin ini yang terbaik. Cinta memang buta, dan kita berjalan dengan tertatih karenanya. Kirana dan ajakan menemani, sebab akan keluar kota. Dengan dokrin mungkin ini kali terakhir bertemu, apapun coba dilakukan. Saya kira manusia memang selalu mencari perkara.
“Ya, saya mau ikut kamu, Kirana.”
#11. Gadis Tidak Bernama – Theoresia Rumthe
Anggap saja saya hidup hanya untuk hari ini. menikmati segala sesuatu yang saya alami hari ini penuh-penuh. Besok lain cerita. Hari kemarin apalagi, mereka hanya akan lewat begitu saja. Tak ada romantisme tertentu. Enak betul kerja meneliti senja. Setiap hari disaksi dan ditelaah, berubahan, berbedaan, fenomena apa yang terjadi. Di dalam diri setiap manusia terdapat semacam kegelisahan. Dinas Penelitian Senja (DPS) siap melaporkan.
Tak usah banyak mendengarkan orang lain. Ini hidupmu dan bukan hidup mereka.
“Oke, lempar dadu. Andreas atau Lingkar?”
#12. Guru Omong Kosong – Arnelis
Dikin dan tugas dadakan mengajar kelas kosong. Terilhami novel Kitab Omong Kosong yang tergeletak di meja kelas, ia melakukan tugas mengajar, padahal ia hanya penjaga sekolah. Haha, dasar Togog!
“Judul buku ini: Kitab Omong Kosong.”
#13. Surat ke – 93 – Feby Indirani
Surat yang ditulis dengan romansa rindu, dibuka dengan Sayangku… dan kata-kata mutiara terpilih. Aku adalah mimpi-mimpinya, ia boleh membakar remah suratku jadi abu, tapi panasnya bara dari jantungku akan terus menyala. // Aku hadir di dunia untuk memberikan tanda. Dan dalam hal mendamba perhatian, nyaris tak ada bedanya apakah kau berusia sehari atau seribu datu kali lebih tua. // Konon ketika air mata pertama mengalir dari mata sebelah kiri, artinya kita menangis karena sesuatu yang menyakitkan. Sementara jika dari mata kanan, itu artinya sesuatu yang membahagiakan.
“Dan ini untuk menanyakan kehidupanku seolah kau tak tahu betapa sakitnya diabaikan…”
14. Bahasa Sunyi – Rita Achdris
Kata-kata dan segala yang berhamburan bersamanya. Emosi dan efeknya. Namun kita di era digital, kata-kata tak langsung dengan ketikan pesan instan yang terselubung.
“Selamat pagi, Tampan.”
#15. Satu Sepatu, Dua Kecoa… – Sundea
Reta dan ke-rebel-annya. Dijuluki Si Amazon, ke sekolah dengan mengenakan satu sepatu, murid baru yang aneh. Dihukum dan dicecar tetap saja tak peduli, dipelototin, berani balas melotot. Bahkan sama guru. Ternyata dia adalah sepupu Alina, sang pencerita dan ia berhasil menjelaskan kenapanya.
“Kemesraan Oom Arnold itu artifisial, Al, kelihatan banget. Abang saja suka muak melihatnya. Apalagi Reta.”
Keren ya SGA ini, profil dan karyanya sudah terbentang jauh sejak era Orde Baru. Banyak sekali tulisannya, berbagai jenis pula. Terakhir aku lihat di Zoom meeting acara Kompas penghargaan Cerpen terbaik 2020 ia menangkan. Dan responnya pas dapat bilang, biasa saja. Memang orang hebat. Pantas mendapat tribute ini, tepuk tangan…
Perkara Mengirim Senja | oleh 14 Penulis | Penyunting Jia Effendie | Penyelaras Ida Wadji | Pewajah isi Aniza Pujiati | Ilustrasi isi dan cover Lala Bohang | Penerbit Serambi Ilmu Semesta | Cetakan I: April 2012 | ISBN 978-919-024-502-0 | Skor: 4/5
Hatiku jendela yang membuka / Seperti kulihat wajahku ke dalam cermin / Maka di dalam cermin itu kulihat wajahmu juga / Yang menerangi bahwa hari ini adalah puisi indah
Ini baru buku puisi bagus. Sulit memang memahami puisi, tapi memang seyogyanya puisi itu tak harus dipahami, yang penting dinikmati. Jalan Malam memberi rona itu, apalagi di bagian akhir diberi pencerahan beberapa lembar bagaimana puisi harus disikapi. Walaupun sudah baca beberapa kutipan dan ulasan puisi, tetap saja isinya memberi wawasan kepada kita, bagaimana harus bersikap. Aku sendiri sudah mengikrarkan, mulai tahun ini membaca minimal 12 buku puisi. Sejauh ini baru dapat separuh +, melihat isi rak, aku optimis gegayuhan itu bakal terwujud. Dan, mungkin buku ini salah satu yang terbaik tahun.
Jalan Malam terbagi dalam lima, rata-rata benar-benar bagus. Kata-kata dipilih dengan jitu untuk menyampaikan maksud. Temanya beragam, ditulis merentang jauh setak tahun 1980-an hingga 2010-an. Dan yang ditampilkan menghanyutkan.sana Puisi Rumah Kecil misalnya, diambil sudut pandang seisi rumah dan karena syukur yang baik, tak mengapa rumah kecil asal ada kebersamaan. Di puisi RIndu Ibu misalnya, bikin nangis dan gegas ku telpon video call orang-orang rumah di seberang sana.
Atau tentang ziarah yang dilakukan di berbagai daerah ke tokoh-tokoh penting, syahdu dan melibatkan hati. Ziarah tak sekadar tabor bunga dan untaian doa, itu adalah perjalanan spiritual bagi peziarah. Apa-apa yang sudah terjadi di masa lampau bisa dipetik hikmahnya. Nah, apa itu hikmah, ada penjelasan panjang lebar di belakang, aku kutip sebagian di bagian bawah.
Bagian pertama ada enam puisi. Aku ambil beberapa yang kusukai. Pertemuan: bila sepasang kupu-kupu saling / berkejaran di antara bunga-bunga / bertanya lagikah kita / apa itu cinta.
Bagian kedua ada 28 puisi. Wasilah Kekasih: Tersebab engkau cahaya / Barangkali aku tak pernah mampu / Melukiskan puisi untukmu.
Rumah Kecil Untuk Orang Kecil: “Janglah ayah berpusing dengan rumah? / bukankah rumah kita ada di dalam hati / tatkala ayah da ibu selalu hadir / hati senantiasa berdesir / oleh kasih sayang yang abadi mengalir”
Jarak Kau Aku Sedemikian Dekatnya: Di atas kecantikanmu / Di bawah kecantikanmu / Di kanan kiri kecantikanmu / Kemana pun menghadap: kecantianmu
Hari ini Adalah Puisi Indah: Lalu berlalu aku menuju kran air / Kubasuh wajahku dalam urutan wudlu / Kusahadatkan hatiku agar kembali segar / Yang menyaksikan bahwa hari ini adalah puisi indah
Rindu Ibu: Ibu, / di pintu, di ramadhan ini / di pagi di saat subuh berganti mentari / kutelponkan ungkapan ampun nurani kepadamu / batu-batu kali batu-batu hati terkikis / tersedu airmata rindu
Bagian ketiga terdiri sebelas puisi. Anak Batu:Mengapa dia disapa “Anak Batu”? / Apa karena berumah di pegunungan batu / Yang dipanggang matahari dan cinta / Yang kepayang, lalu sujud di sajadah tanah dan sabda.
Sajak untuk Gus Jadul: Terbuat dari apakah hati lelaki yang / Meradang dengan tinju dan lemparan batu? / Terbalut dengan apakah hati lelaki yang / Merangsek dan merusak rumahmu?
Resonansi: Setiap hal di semesta ini, ada / getarannya, adaauranya, ada / gerakannya, sekalipun penuh lembut / sekalipun ada yang penuh kalut
Bagian keempat ada sebelas puisi. Menjelang Subuh Itu: pada akhirnya / di akar kepala itu / kembali ke dalam tanah / berumah di dalam tanah.
Jum’at Call dari Gus Mus: galilah tanahmu hingga matair / untuk airmata takjub kalbu kau aku / serupa musa di bukit tursina // membaca semesta yang maha / ulurkan tangan dengan cinta /senyum sang nabi menafasi hari
Bagian Lima ada empat puisi. Cerita Mbah Basyir: di bawah pohon jati sampai akhir nanti / hamba berkawan sunyi
Syekh Siti Jenar: banjir bandang yang / menenggelamkan aku / ke dalam samudera makrifat cinta / sekaligus hujatan sepanjang usia
Jalan Malam: aku tak ingin pulang ke yogya karena / aku tidak akan pergipergi lagi / aku mau menjagamu sepanjang waktu
Kubaca selama dua hari, Sabtu-Minggu, 16-17 Oktober 2021 selaing seling dengan buku lain. Memang paling nyaman baca setumpuk buku dalam waktu bersamaan, gantian. Sebab aura dan feel-nya akan campur aduk, setiap penulis punya gaya dan caranya sendiri dalam bercerita, Jalan Malam di hari pertama dapat dua bagian, satu bagian lagi Minggu pagi, sisanya Minggu malam. Nyaman baik dibaca nyaring atau dalam hati.
Di akhir buku, ada kata penutup yang menjelaskan panjang lebar hikmah puisi. Tulisan bagus yang harus kalian baca snediri. Aku hanya mengutip sebagian kecil sahaja. Enam paragraf berikut aku ketik ulang.
“Pembicaraan tentang puisi, pertama-tama dan terutama adalah memperlakukan puisi sebagai puisi… dengan cara mengungkapkan ciri-ciri kualitatif.” Demikian Maman S Mahayana mengutip Cleath Brooks dan Robert Penn Warren (Understanding Poets, 1967). “Teks puisi menjadi pilihan karena relatif bebas dari latar belakang sejarah, biografi, dan tradisi kesusastraan.”
Jika berorentasi fisik dan duniawi, maka samalah pula dalam menilai apapun, termasuk menilai puisi… sebuah penilaian mestilah objektif, ada bukti fisik, dan bukti fisik puisi tentukah bahasa puisi.
Pencapaian keindahan (estetika) tertinggi dalam pandang keruharian Islam ialah hikmah, sebagaimana Sabda Nabi SAW. Sejumlah puisi mengandung hikmah; hikmah adalah onta orang beriman yang hilang, apalagi dia menemukan kembali, dia memiliki kebenaran terbaiknya. (al-Hujwiri melalui Hadi W.M.; 1985: 31)
Hikmah itu merupakan ‘onta’ (kendaraan) “orang beriman” yang “hilang”, karenanya “harus dicari” sehingga dia menemukan bukan sembarangan “kebenaran”, melainkan “kebenaran terbaiknya”.
Sebagai penyair bahwa realitas alam semesta dan manusia adalah lambang, yang harus dimaknai secara ilahiah. Muhammad Iqbal, penyair profentik dari Pakistan bilang, “Suara seruling yang indah itu bukanlah karena mutu bamboo dari seruling itu, tetapi disebabkan oleh keindahan yang bergetar sedari hati ruhani si peniupnya.”
Senang rasanya bisa menikmati puisi. Banyak puisi yang kurang Ok (atau akunya yang belum bisa menikmatinya?), trial berkali-kali.
Beberapa kali bisa mendapatkan buku baik,tapi seringnya tidak. Nah, Jalan Malam ini dengan pede kubilang bagus, sebab feel-nya dapet. Bisa membuat terbawa, dan berhasil menautkan emosi pembaca. Senyam-senyum sendiri, sedih, atau mendapat anggukan kepala. Sebagai tambahan, puisi juga enak juga menyentuh agama. Sisi reliji memang jarang kudapati di puisi, makanya bagian-bagian sembah sujud kusuka.
Ziarah juga ada porsinya. Kukira puisi memang bisa untuk sisi apapun, menembus batas bahasan. Segalanya…
Jalan Malam | Oleh Abdul Wachid B.S. | Penyunting Arco Transept | Pemeriksa aksara | Daruz Armedian | Tat sampul Mita Indriani | Tata isi @kulikata_ | Lukisan Cover Widya Prana Rini | Pracetak Kiki | Cetakan pertama, April 2021 | Penerbit Basabasi | vi + 142 halaman; 12 x 19 cm | ISBN 978-623-305-209-2 | Skor: 4/5
… aku membujukmu dengan bibir entah milik siapa: / “di sini, kami sama-sama sedang berbahagia!”… – Doa Para Pasien
Alurnya agak lambat, untung di tengah sampai akhir langsung kebut seru. Bagus banget saat halaman mulai di 50-an. Hufh… lega. Dimula dengan Jembatan Ambruk, meninggi dalam Sapi dari dalam Kitab Suci, lalu meledak bungah dalam Revolusi angsa Putih. Saya memang masih sulit menikmati puisi, tapi setidaknya di Penyair Revolusioner mendapat hikmat dan cumpuan asyik. baca baik-baik ini, “Hidup kadang-kadang saja lembut maka senjatamu teruslah asah, aku berdiam pada gagangnya!”
Seperti sebelumnya saat ulas puisi, saya ambil beberapa yang memikat. Saya kutip sebagian dan kuselingi komentar. Satu kutipan, satu paragraf komentar. Enjoy it!
Musa di Sinai: Kami telah lewati / badai-badai kecil / diaku pendek saja: / Tuhan, kami ini hendak apakan?
Mungkin yang menjadi saran atau kritik adalah, dalam penyampaian kalimat langsung, sering kali ditutup dengan tanda perintah (!) seolah marah atau meminta perhatian, itu sah-sah saja tapi ya agak mengganggu kalau keseringan. Kutemui, banyak sekali. Seperti penulis mula yang sering menggunakan tiga tanda perintah (!!!), awalnya mungkin biasa, tapi jelas itu kurang nyaman.
Kota yang Terkunci dari Dalam: Pintu-pintu dari baja / engsel-engsel besar / dan kunci dengan gembok berkarat / dinding-dinding berwarna cokelat / lumut-lumut yang menjalar / dipisahkan oleh gang-gang / sunyi seketika menyergap / suara Anda lama bersipongang / seakan sedang berada dalam gua – atau gulag? / ketika melihat keluar, betapa hidup terasa terpisah dari keriuhan…
Janji, sumpah, maklumat. Sering kali kita temui dalam puisi. Cerita yang diberikan adalah sebuah kalimat terlontar yang dipegang, memegang angin? Seolah kata-kata bisa diperas, kali ini terlambat.
Nubuat yang Datang Terlambat: … “Aku bersumpah demi awan gelap ini / yang turun setelah petang hari / Aku sama sekali tidak benci padamu / aku berkata begini agar hatimu senang / tapi Aku mesti menyingkir / tapi bukan pertanda mangkir!”…
Paling suka puisi yang bercerita, maka narasi bagiku penting. Setiap bait yang diketik, memberi aura, bukan sekadar pilihan diksi. Maka saya suka puisi ini:
Membangun Kota: Memang ada kota yang didirikan dari gerutu / dari derap omong-kosong tak sudah-sudah! / Lalu mereka berkata: kita mesti atur itu siasat, / masa depan hanya diraih dengan gelegak hasrat / harus kau pilih jembatan antar selat atau kapal pengangkut / segala / pesawat-pesawat semakin sering jatuh dan orang-orang / takut terbang / padahal kelak oto dan sepur akan diberi sayap / “tapi maaf, ya, penyair partikelir seperti anda susah dibawa serta!”…
Karya sastra lama juga disenggol, sudah sangat sering kusaksi dan nikmati. Kali ini dari Marah Rusli yang dikomplain oleh tokohnya.
Sitti Nurbaya di Pasar Gadang: … Aku bayangkan ruh Nurbaya berkata: / pengarang celaka telah mendorongku ke jurang neraka!…
Beberapa terasa pengulangan, seperti sapi betina yang ada di kitab. Awalnya wah, ayat suci dikutip, tapi terulang di belakang, dan lagi.
Sapi dari dalam Kitab Suci: … Sapi betina yang luka pada pantat / menggoyang-goyangkan telinganya / yang kempis-kembang bagai hasrat pada kerampang / dia terpancang pada tambang / hingga larut malam / di padang-padang kuning / dikebat gelap begini lindap / kau tinggikan obormu ingin menangkap / “wujud, wujudmu, kami hendak!”…
Ini yang bagiku ironi, jam 12 tutup saat adzan dhuhur, lantas kegiatan lanjut sampai adzan asar? Bagiku, bait terakhir adalah asar sebab dua adzan disandingkan di tengah hari.
Bank Tutup Jam 12 Siang: Bank tutup jam 12 siang, suara azan bagai bunyi perut lapar, / (banyak kejadian tertuang; puisi ditutup dengan begini) / suara azan terdengar lagi bagai suara kentut yang tertahan
Ini tentang fantasi, tukang bakso yang dikerumun pembeli, merdu sekali gema gentanya.
Gunung Api Fantasi: Ada tukang bakso lewat setiap sore / membunyikan genta sebagai tanda, aku mengira yang lewat / gerombolan sapi, orang-orang memburunya bagai arak- / arakan ke kuburan. Tia ada di antara / riuh karnaval itu, para pembeli berbicara dengan ibu / sambil menutup kedua telinga,…
Nah, narasi itu penting. Tak hanya di puisi, dalam prosa penyampaian yang tepat dan nyaman juga menjadi nilai lebih. Ini juga bagus sekali, bagaimana mudik menjadi petaka. Lantas diakhiri dengan semacam pemakluman kata ‘jihad’, padahal ia melontarkan sendiri dari kereta yang bergerak.
Kereta Lebaran: Dari atas kereta yang lewat malam / seorang pemudik yang penat berdesak-desakan / memutuskan / lompat kea tap rumah, melesat, bagai batu dilontarkan / orang-orang dalam rumah terpekik, ‘sialan!’, ‘anjing hutan!’ / mereka mengira sedang terjadi kerusuhan antarsuporter / sepakbola / mereka mulai menghitung-hitung berapa nilai kerugian / harus mengganti plafond an genteng-genteng yang rusak / sementara ‘si batu’ yang terlontar itu berguling-guling ke tepi / rel / persis batu, beradu dengan batu lain yang lebih besar / nun di kampung, keluarga yang mati berkata: / Dia wafat dalam berjihad!
Kutemui kata baru ‘aur’, belum kubuka kamus, dari web google artinya emas (bahasa Rumania). Namun dari web sinomim artinya: bambu/buluh. Mungkin pulang kerja nanti saya buka KBBI kertas sahaja.
Kau Tebing Aku Aur: … tetap tak bisa ia dilerai / katanya kau tebing aku aur / tiap runtuh padamu / riuh rusuh padaku…
Kenapa saya pilih kutip ini, sebab pagi disiram mentari itu nyaman dan segar sekali. Bahagia itu sederhana walaupun masih ngontrak.
Cinta Musim Panas (1): Kau boleh mencintaiku dengan rasa jijik / yang terus-menerus naik ke kerongkonganmu / tapi aku akan tetap membajak luas sawahmu, menjadi sapi, atau kerbau untukmu… / Kita akan bahagia disiram cahaya matahari jam tujuh pagi, / kita akan bahagia memiliki rumah / yang bukan milik pribadi…
Sederhana tapi pas, cinta yang dimetamor dalam salak aning malam.
Cinta Musim Panas (2): … Cintaku adalah kasmaran sepanjang waktu. / Cintaku semata salak anjing dalam kegelapan!
Pemilihan kata beriak, lalu berdebur, lalu melipur. Enak didengar bukan?
Selesai ke Laut: … yang aku kira lebih ganas dari ombak memukul / Rasanya tak kutinggalkan engkau / yang beriak, yang berdebur, lebih melipur…
Ini lebih ke realistis, ayolah kita hidup di kerasnya keadaan. Omong kosong lebih pas ketimbang angan-angan.
Pulang Malam: … Aku tak percaya pada impian yang menggebu-gebu. / Kita sebaiknya memelihara omong-kosong untuk bisa / berbahagia / aku tidak bisa menangkapmu lebih jauh lagi.
Demikian pengamatan dan komentar penikmat puisi amatir. Semoga berkenan. Seperti biasa pula, setiap buku debut baca kuketik ulang profil penulis/penyairnya.
Deddy Arsya lahir di Bayang, Pantai Barat Sumatera, 15 Desember 1987. Banyak tulisannya di media massa: esai, puisi, cerpen, tinjauan buku dan film. Buku pertamanya kumpulan puisi Odong-odong Fort de Kock (Padang, Kabarita, 2013) merupakan lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2013, dan merupakan Buku Satra Terbaik 2013 versi Majalah Tempo. Bukunya yang lain, Mendisiplinkan Kawula Jajahan (Yogyakarta, Basabasi, 2017), Rajab Syamsuddin si Penabuh Dulang (Yogyakarta, Divapress, 2017). Ini buku pertama bung Deddy yang saya baca, dan rasanya laik dinanti buku-buku berikutnya.
Tahun ini target melahap 12 buku puisi, masih empat bulan lagi, dan percayalah, akan kukejar walau para ‘Penyair Revolusioner.’
Penyair Revolusioner | Kumpulan Puisi | by Deddy Arsya | 57.17.1.0037 | Penyunting Septi Ws | Desainer sampul Studio Broccoli | Penerbit Grasindo, 2017 | ISBN 978-602-375-961-3 | Cetakan pertama, Juni 2017 | Skor: 4/5
“Kita harus menikah dan melarikan diri dari tempat ini secepat yang mungkin dilakukan oleh manusia. Apa kautahu betapa kita akan bahagia di Frankfurt?” Ini adalah kata-kata Ka kepada Ipek. Selama sesaat, dia mencoba membayangkan mereka berdua di Frankfurt, menyusuri Kaisertrasse, berjalan pulang setelah menikmati malam di gedung bisokop. Namun manusia hanya bisa merencana. Ka meyakini bahwa kebahagiaan terdiri atas kebaikan dan keburukan dalam jumlah yang seimbang, sehingga dia siap memandang pemukulan itu sebagai penderitaan yang harus dijalani supaya dirinya layak memboyong Ipek ke Jerman.
Buku dimula dengan empat kutipan di bawah ini, rasanya sangat laik diketik ulang dan dibagikan. Mewakili isi cerita, dan saya suka kutipan bagus gini. Seumur hidup Ka, seluruh pengalaman cintanya selalu disaput rasa malu dan derita, dehingga kemungkinan jatuh cinta lagi membuatnya begitu tenang. Pemandangan-pemandangan itu mengisahkan rasa kesepian yang aneh dan kuat.
“Kita tertarik pada sisi berbahaya setiap hal. Pencuri yang jujur, pembunuh yang lembut, ateis yang beriman.” – Robert Brwoning,“ Bishop Blougram’s Apology
“Politik dalam karya sastra adalah sebuah pistol yang ditembakkan di tengah-tengah sebuah konser, sebuah tindakan kejam yang mustahil diabaikan. Kita hendak membicarakan sebuah urusan gelap.” – Stendhal, The Charterhouse of Parma
“Baiklah jika begitu, singkirkan saja manusia, batasi tindakan mereka, paksa mereka untuk diam. Karena pencerahan Eropa jauh lebih penting daripada manusia.” – Fyodor Dostoevsky, The Brother ‘s Karamozov
“Orang Barat di dalam diriku telah membusuk.” – Joseph Conrad,Under Western Eyes
Ini kisah tentang cinta sejati yang membuncah, dibelit sesak keadaan.
Ka dan kehidupan yang dijalaninya di usia jelang tua. Penyair terkenal yang menjadi pelarian ke Eropa. Terkenal di Turki, tapi juga jadi bulan-bulanan sebab ideologinya dianggap membahayakan Negara, bahkan dianggap ateis, maka ia pergi ke Eropa, ke Jerman yang menampung. Nama aslinya Kerim Alakusoglu, nama kerennya Ka. Judul buku bisa saja Ka dan Cintanya, tapi akan tampak klise. Kepala mereka terasa pusing akibat impian-impian liar itu sehingga mereka tidak lagi merasa malu.
Kisah ini dimulai dengan tenang, kedatangannya kembali ke Turki setelah lama pergi, ke desa kecil Kars, di mana ia diundang dan dijadwalkan membacakan puisi. Ka melihat sisa-sisa masa lalu di kereta-kereta kuda yang masih terlihat di sana-sini, tersimpan di garasi-garasi, tapi kota itu sendiri tampak lebih kumuh dan menyedihkan daripada yang melekat dalam kenangannya.
Dia tak mengharap sambutan sehangat ini, dan dia takut ketenangannya akan goyah. Inilah yang ia takutkan selain menulis puisi yang buruk. Dia membaca apapun yang ingin dibacanya, dan dia membaca semuanya dengan kebahagiaan layaknya bocah yang menganggap kematian adalah hal yang terlalu jauh untuk dibayangkan.
Di sanalah ia kembali bertemu dengan teman kuliahnya, juga cinta sejatinya Ipek. Ipek seorang janda, mantan suaminya juga teman Ka. “Tidak”, jawab Ka. “Saat di Instanbul, aku mendengar bahwa kau dan Muhtar telah berpisah, aku datang kemari untuk menikahimu.”
Dan drama panjang bergesekan dalam gelegar politik, budaya, serta kemampuan bertahan dalam tekanan penguasa melawan pemberontak. Ka diombang-ambing kebimbangan, yang mana keputusan-keputusan yang ia ambil nantinya menjadi martir kematiannya di negeri jauh.
Ka, penyair muram yang memandang hidup dengan opmitisme penuh cinta, kembali ke Kars demi cinta. Kedatangannya dinanti penggemarnya, tapi juga dipandang sinis oleh kalangan agamamis, bahkan ia dituduh sebagai mata-mata Barat. “… mereka mengira Bapak sedang menjalankan sebuah misi rahasia dari pemerintah atau dikirim oleh pihak Barat…”
Ada satu pemuda tulus nan lugu. Nasibnya terakhir tragis, mati muda dalam keadaan tersenyum bahagia dalam hingar bingar tepuk tangan. “Mereka minum karena merasa tidak bahagia,” kata Necip. “Tapi, Bapak memabukkan diri supaya bisa menahan kebahagiaan tersembunyi yang sedang membuncah dalam diri Bapak.” Dia dapat mengingat setiap deskripsinya kata demi kata, seolah-olah cerita Necip adalah sebuah puisi.
Konfrotasi Lazuardi tampak memuakkan. “Hati Anda begitu rapuh dan mungkin tidak akan cukup kuat untuk menerima apa yang akan saya ceritakan, tapi izinkanlah saya menyingkirkan semua keraguan yang mungkin Anda miliki.”
Setiap kehidupan menyerupai sebuah kepingan salju: setiap individu mungkin terlihat sama saja dari jauh, tapi untuk memahami keunikan misterius seseorang, kita harus memecahkan misteri dari kepingan salju pribadi orang itu.
Kebetulan sedang ada kasus bunuh diri beruntun, para gadis yang mengakhiri hidup dengan berbagai alasan. Dari yang dipaksa kawin, diminta lepas jilbab, sampai kasus tak terang yang seolah tahu-tahu memutuskan bebas. Enam insiden bunuh diri dalam waktu singkat. Kesederhanaan motif tindakannya sungguh mengecewakan. “Tapi, jika ketidakbahagiaan menjadi alasan utama tindakan bunuh diri, maka setengah dari seluruh wanita Turki akan bunuh diri.” Dibelai dengan bacaan-bacaan Barat, dan dalam khayalannya, ruang dan waktu adalah faktor amat penting untuk bunuh diri.
Di sana ada ektrimis bernama Lazuardi, mengkoordinasi para pemberontak, melakukan teror, gerakan Islam radikal. Melakukan banyak serangan ke Pemerintahan yang terlalu liberal. Menuntut Turki kembali ke Negara Islam.
Bersamaan pula sedang ada gerakan Turki moderat yang dipimpin oleh kelompok teater Sunay, dengan kebebasan dan nuansa dunia baru, mendorong Turki untuk lebih terbuka terhadap Barat dan bahkan memainkan sandiwara kontroversial, di mana tokoh utamanya wanita yang membuka jilbab di atas panggung, lalu melakukan pembunuhan. Saat mendengar bahwa sandiwara itu berjudul Tanah Airku dan Jilbabku, mereka mengira ceritanya akan menyinggung masalah politik kontemporer. Hegel adalah orang pertama yang melihat bahwa sejarah dan teater terbuat dari bahan yang sama. Aku membaca semua yang pernah ditulis oleh Sartre dan Zola, dan aku yakin bahwa masa depan kita terbentang bersama Eropa.
Sunay sebenarnya aktor berbakat dan menjanjikan. Ia banyak melakukan improvisasi, pintar menyesuaikan diri, lalu menjadi terkenal sebab pemilihan peran. Dirinya besar dengan situasi Turki yang juga menjadi Republik. Namun, seseorang tak tahu batasan apa yang laik dan tidak disampaikan. “Mungkin suatu hari nanti jika public menghendaki, saya akan memainkan peran sebagai Nabi Muhammad.” Bersama kalimat inilah masalah mulai menderanya.
Nah, Ka ada di tengah itu. Cinta, politik, agama, teater, dan segala pusaran membingungkan. Kasihan sekali ia terjebak, padahal hatinya tulus dan baik sekali. Pria pendiam dan suka merenung yang sejatinnya hanya mengingin cinta dan bahagia. Kasihnya yang meluap terhadap Ipek menjadi tonggak penggerak mau ke arah mana ia berpijak. Ipek adalah anak sulung pemilik hotel, di mana Ka tinggal. Bersama pula si bungsu yang tak kalah cantik, Kadife. Apesnya, belitan kisah ini menekan nasib buruk pada Ka sebab Kadife adalah kekasih Lazuardi. Nantinya bahkan ada kejutan besar, kisah cinta ini. Rumit rek! “Ketidakbahagiaanku melindungiku dari kehidupan.” Kata Ka. “Jangan cemaskan aku.”
Beberapa kali Ka diminta ketemu dengan sang ekstrimis dengan naik kereta, ia naik dengan sembunyi di jok belakang tertutup, di tempat tersembunyi. Pertemuan berkali-kali ini dilihat sebagai persetujuan Ka mendukung Lazuardi, padahal ia hanya melakukan tugas. Begitu juga nantinya ia diminta sebagai penghubung Sunay yang melakukan pemberontakan di panggung, lalu menyusun strategi naskah yang menyatakan ia ditembak mati live di atas penggung dengan pemeran utama Kadife.
Sensasi yang selalu dirasakan Ka saat masih kanak-kanak dan remaja ketika mendapatkan kebahagiaan luar biasa membuncah di dalam dirinya: prospek masa depan yang diliputi keputusasaan dan penderitaan. “Apa aku harus mengunjungi semua orang gila di Kars?”
Ka yang sudah menemukan cintanya, Ipek yang sepakat ikut ke Jerman, dan segala ombang-ambing nasib itu, bagaimana akhirnya sungguh mengerikan. Betapa hidup memang kejam, Ka yang malang. “Satu-satunya hal yang menyatukan kita adalah fakta bahwa kita berdua merendahkan harapan kita akan kehidupan.”
Ka baru seminggu kembali di negeri ini, dan ia belum memiliki cukup keahlian sekuler untuk mendeteksi motif politik setiap melihat seorang wanita berjilbab. Pergolakan pemakaian jilbab menjadi tema penting di sini. Dari pelaku bunuh diri, promo akan pentingnya wanita melindungi diri, sampai puncaknya dalam pentas dengan tokoh melepas jilbab secara live. “Copotlah jilbabmu, karena Negara mengingin-kamu melakukannya.” Adalah kalinat yang sempat muncul, tapi Pamuk tak condong ke sisi manapun. Ia hanya berkisah, ia melakukan dengan jitu di tengah-tengahnya.
Penggambaran setting tempat juga ciamik sekali. Salju yang dingin menghampar luas di setiap mata memandang. Pepohonan dari masa kecilnya telah layu atau ditebang; gedung bioskop yang sudah ditutup selama sepuluh tahun, masih berdiri dikelilingi oleh deretan toko-toko pakaian kecil yang tampak suram.
Ka yang ateis memandang hidup ngalir aja, asal bahagia. Kebahagiaan terbesar akan datang jika dia tidak bertindak demi kebahagiaan pribadi. Ada pembunuhan dengan Ka sebagai saksi. Pembunuhan direktur Institut Pendidikan dengan tebakan jarak dekat, ia membawa sebuah alat perekam, yang ditempel di dadanya oleh seorang agen dari badan intelejen MIT cabang Kars. Harapan akan keselamatan mendatangkan kebahagiaan di dalam hatiku.
Sebagai penyair, setiap momen begitu berharga sebab inspirasi bisa datang kapan dan di mana saja, maka ia membawa buku catatan. Sebagian pikirannya masih bekerja dengan cara berbeda, dengan cara Barat, dan dia membenci dirinya sendiri karenanya. Hujan salju tak kunjung usai, begitu pula daftar topik yang harus kita diskusikan Hal ini terjadi karena benaknya terlalu sibuk memimpikan Ipek, perutnya masih kosong, dan kebahagiaannya meledak-ledak. “Aku tidak tahu bagaimana caraku menulis puisi, puisi yang bagus selalu hadir dari luarm dari jauh…”
Seolah memang tak peduli keadaan, ia hanya ingin cinta pada Ipek terbalaskan. Maka saat itu terwujud, ia melampung tinggi. “Aku sedang sangat bahagia sekarang ini. aku tidak butuh agama,” kata Ka. “Dan lagi pula, bukan karena itulah aku kembali ke Turki. Hanya satu hal yang mampu mendorongku kembali ke sini: cintamu… apakah kita akan menikah?”
Saya sempat terlintas pikiran, apakah mungkin Ka dengan Kadife saja yang lebih moderat sekaligus terkekang cinta itu? Lebih cantik dan wawasan lebih luas. Ka sedang sangat masuk, mereka semua menyangka pernyataan ini sebagai ceracau belaka. Kehidupan memiliki geometri rahasia yang tidak dapat diolah oleh akal sehat. “Kakaknya jauh lebih cantik,” kata Ka, “Kalau memang kecantikan yang kita bicarakan.” Saya tahu semua itu tidak mungkin terjadi, tapi saya masih mencita-citakannya. Namun pada akhirnya, cintanya pada Ipek luar biasa indah dikenang.
Hanya orang-orang yang sangat pintar dan sangat tidak bahagia bisa menulis puisi bagus. Dan Ka dengan tepat menggambarkan itu. Saya belum bisa menikmati puisi, sulit dan dalam. Ternyata resep utama memang tak bahagia. Hahahaha… Tak seorang pun mengerti, menyangka mereka adalah bagian dari sandiwara yang sedang dipentaskan. Jelas terlihat dari ekspresi wajah mereka bahwa sesuatu yang luar biasa telah terjadi. Salah satu dari topic penting dalam sebuah puisi adalah kemampuan si penyair untuk menutup sebagian pikirannya meskipun dunia sedang kalau balau. Tapi ini berarti bahwa penyair tidak memiliki hubungan dengan masa kini, sama seprti hantu. Itulah harga yang harus dibayar oleh seorang penyair demi menghasilkan karya.
Satu lagi, dalam novel seorang penulis harus bisa mengandaikan adegan bukunya. “Ya. Akan ada adegan yang tepat seperti ini dalam novel fiksi-ilmiah yang akan saya tulis suatu hari nanti…”
Dia memenangkan diri dengan berpura-pura bahwa dirinya hanyalah seorang tamu hotel biasa di sebuah kota asing. Dan baru ketika itulah dia mulai menyatukan segala hal yang sebelumnya diabaikan oleh pikirannya. Kedamaian jalan yang kosong mengingatkan Ka pada jam malam yang diberlakukan saat masa kanak-kanaknya. Secara samar-samar hidungnya juga menangkap aroma iodin dan rumah sakit, teror dan kematian. Tepat ketika itulah sebuah puisi baru menempa benaknya; begitu kuat, begitu membahagiakan dengan cara yang ganjil. “Tapi, aku tak bisa mengejar diriku sendiri. Yang bisa kulakukan hanyalah bertahan. Semua yang dilakukan dengan baik akan berakhir baik.”
Aku menyambar kesempatan besar yang hanya mendatangi orang-orang yang dikaruniai kejeniusan dan pada hari ketika aku akan menggunakan karyaku untuk melibatkan diri dalam arus sejarah, tiba-tiba ada yang menarik karpet yang kupijak, dan aku mendapati diriku terjerebab dalam kubangan lumpur terjorok.
Jika kita tidak membiarkan tentara dan Negara mengurus para fanatik berbahaya ini, kita akan berakhir dengan kembali lagi ke Abad Pertengahan, terjerumus dalam anarki, menyusuri jalan terkutuk yang telah dilewati oleh begitu banyak bangsa terbelakang di Asia dan Timur Tengah. Kau harus meyakini Tuhan dengan cara seperti orang miskin, kau harus menjadi salah seorang dari mereka.
Misi melelahkan dan membosankan ini tidak hanya mematahkan sol sepatu si detektif tetapi juga semangatnya. Seperti seorang pria tua murung yang tersesat di lautan impian dan hantu, dia membicarakan tentang kenangan-kenangan politik yang menghampirinya saat menonton Marianna, dan tentang ketakutannya kembali ke penjara, dan tentang tanggungjawabnya sebagai seorang pria.
Dia sedang merayakan fakta bahwa pada akhirnya dia dapat mewujudkan berbagai fantasi yang selama ini bermain-main di dalam pikirannya. Diagram kepingan salju antara logika dan imajinasi dengan Ka di titik pusat.
Kecemburuan semacam ini wajar terjadi dalam tahap awal hubungan asmara yang belum teruji, mtapi sebuah suara batin yang lebih kuat menyuruhnya untuk memeluk Ipek dengan sekuat daya dimilikinya… “Mengapa dia menangis?” / “Dia sedang jatuh cinta.”
Ka tidak berpendapat bahwa Surga adalah masa depan yang kami impikan: bagi Ka, Surga adalah tempat mimpi-mimpi dalam kenangan dilestarikan. “Kami miskin dan sepele. Kehidupan merana kami tidak mendapatkan tempat dalam sejarah manusia. Suatu hari nanti, semua yang ada di Kars akan mati dan pergi. Tak seorang pun akan mengingat kami, tak ada yang memedulikan kami…
Dia terlempar dari waktu, dilumpuhkan oleh gairah; satu-satunya penyesalannya hanyalah karena dia telah menghabiskan kehidupannya selama ini tanpa menemukan surge itu. Ini kedamaian yang dirasakan jauh melampaui apa pun yang pernah dialaminya. Dengarkan kau, kehidupan bukan melulu soal prinsip, kehidupan adalah soal mencari kebahagiaan.
Orang-orang yang membuat keputusan buruk dalam kehidupan mereka gara-gara gejolak kekeraskepalaan sesaat, dan kemudian seumur hidup menyesalinya. “Dan, bagaimana Anda mendefinisikan kebahagiaan.” / “Kebahagiaan adalah menemukan sebuah dunia lain untuk ditinggali, sebuah dunia tempat kita bisa melupakan kemiskinnan dan tirani. Kebahagiaan adalah memeluk seseorang dan mengetahui bahwa dunialah yang sedang kita peluk.”
Anda tidak mengikuti perkataan hati kecil Anda sendiri; Anda hanya menerka-nerka apa yang akan dilakukan oleh seorang Eropa dalam situasi yang sama, lalu Anda bertindak seperti itu juga. Keputusan akhir buku juga sudah sangat pas tampak realistis. Sang kolonel bilang, mereka telah mencampurkan seni dan realitas.
Penganut agama radikal di manapun sama saja, menuntut kebebasan beragam, tapi hanya untuk kaumnya. “Mengapa ada begitu banyak orang yang tiba-tiba berpaling ke agama?” adalah pertanyaan umum. Ayatollah Khomeini bilang, “Yang terpenting untuk dilakukan sekarang ini bukanlah menunaikan salat atau berpuasa melainkan melindungi Islam.”
Ada penjelasan asyik, walau sekadar astronomi iseng bahwa pasangan yang paling cocok untuk pria Gemini adalah wanita Virgo. Sherina dan aku nih, walau jenis kelamin dibalik. Pada akhirnya buku ini seolah biografi teman Pamuk. Ditulis dengan gaya sastra yang sangat bagu. “Karena nantinya Ka akan menggambarkan secara mendetail kebahagiaan tak berbatasnya ini dalam buku catatannya, aku tahu pasti perasaan apa yang sedang menderanya malam ini…” Yap, Pamuk melakukan penelusuran hidup Ka.
Hasil cetaknya bagus, walau tebal sekali, terlihat sangat kuat tak mudah rontok. Hanya saja saya menemukan dua lembar di halaman 633-636 diilid terbalik. Lucu juga sih jadinya. Mulai dibaca 23.03.21 selesai 18.04.21, hampir sebulan. Melelahkan sekali seperti bercinta dengan durasi lama, 600 halaman dalam hingar bingar Turki yang dingin.
Ini adalah buku kedua Orhan Pamuk yang kubaca setelah Wanita Berambut Merah. Suka banget penggambaran adegan final di kamar hotel. Ka melihat Ipek bagaikan sesosok patung, di jendela Kamar 203 di Hotel Istana Salju, masih mengenakan gaun beledu hitamnya… seolah Ka ingin menangkap momen itu dan tak mau beranjak.
Hal terpenting dalam kehidupan adalah kebahagiaan, tapi sebagian dari diri kita mengetahui bahwa kita harus merajut kebohongan, jauh lebih siap berkorban. Sediah sekali ya nasib Ka. Seperti di dalam mimpi buruk, semua orang merasa sendirian. Aku menolak untuk tunduk pada keputusasaan. Mimpi-mimpi heroik adalah tempat berpaling bagi mereka yang tidak bahagia.
Betapa Ipek jauh lebih cantik dalam kenyataan daripada dalam ingatannya. Ka tahu betul bahwa kehidupan adalah rangkaian tanpa arti dari berbagai kejadian acak.
Salju | by Orhan Pamuk | Diterjemahkan dari Snow | terjemahan bahasa Turki dari Maureen Freely, terbitan Faber and Faber, London, 2005 | Penerbit Serambi Ilmu Semesta | Penerjemah Berliani M. Nugrahani | Penyerasi Qamaruddin SF dan Anton Kurnia | Pewajah isi Sitqom | Cetakan I: Agustus 2015 | ISBN 978-602-290-043-6 | Skor: 5/5
Untuk Ruya
Karawang, 230721 – 030821 – 090821 – Bill Withers – Grandma’s Hand