November2022 Baca

Karena kau perempuan, Nduk. Cah ayu yo kudune menikah, punya suami lantas mengabdi. Kuwi kodrate wong wedhok.” – Tabula Rasa, Ratih Kumala

Bulan Anniversary ini dilewati dengan banyak degub mengkhawatirkan. Pekerjaan menuntut untuk keluar kota hampir setiap minggu. Piala Dunia sudah dimulai, kini memasuki partai-partai akhir grup, hingga kesibukan di rumah yang memang butuh perhatian. Yang paling menyedihkan, teman istriku divonis sakit parah, #GWSAbu sakit kepalanya ternyata tak sekadar sakit kepala.

Lalu keputusan mengambil sepeda listrik (4.4 juta tunai, dari koperasi) merupakan langkah maju untuk membantu transpotasi, tapi langkah mundur dengan cicilan sejutaan di koperasi, makin banyak utangnya.

Dan hilangnya Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2022, setelah kepergiaan Richard Oh, belum ada yang meneruskan. Sehingga November yang biasanya rekap baca buku lokal melimpah, kini sedikit sekali. Saat menyadarinya, baru baca fiksi lokal 21 buku. Jauh dari rekap tahunan, makanya Desember ini saya fokus mengejarnya. Namun tetap, semuanya mengalir sahaja…

#1. A Dash of Magic by Kathryn Littlewood

Kisahnya tampak klise. Kompetisi masak Internasional di Paris dengan sihir menyertai, dan peserta finalnya adalah saudaraan. Kemungkinan seperti itu sangat amat kecil terjadi di dunia nyata. Seperti kompetisi catur dunia, apakah pernah terjadi final dalam satu keluarga? Atau mungkin satu Negara? Sekalipun fiksi, tetap pijakan utama adalah kehidupan kita. Sekalipun sihir, tetap logika kehidupan harus dijadikan acuan. Dan banyak sekali trik yang disampaikan juga tak se-majic yang diagungkan, atau seseru buku satu. Trik-trik curang demi menjadi nomor satu, disajikan dengan plot kanak-kanak. Cara pemilihan pemenang juga begitu sederhana, tak serumit kompetisi Chef memasak tingkat RT, apalagi tingkat TV Nasional yang lebai. Jelas, kisah di buku ini sebuah penurunan. Dengan bekal kata, “Mengalir saja”, semuanya memuncak di Paris yang glamor. Nyaris tak ada kejutan berarti. Mungkin keunggulan utama buku ini adalah cover yang ciamik. Enak dipandang mata saat disusun rapi di rak.

“Kita selesaikan masalah satu-satu, Mi Hermana, pertama kita dapatkan bunyi lonceng dulu.”

#2. How the World Works by Noam Chomsky

Lega. Itulah perasaanku setelah bertahun-tahun coba menyelesaikan baca buku ini. Kubeli tahun 2015, sempat menggebu membaca di awal. Down di tengah jalan,. Tahun 2016 sempat pula coba kulanjutkan, dan kembali tertunda. Dan begitulah, tertimbun buku-buku lain. Terlupakan. Memang bukan buku yang santuy, bahasannya berat. Politik, dan begitu kritisnya banyak ungkapan-ungkapan yang bikin pemerintah panas.

“Ada kasus yang sangat solid untuk didakwa setiap presiden Amerika sejak Perang Dunia Kedua bertanggung jawab atas berbagai peristiwa berdarah di seantero dunia. Mereka semua merupakan penjahat perang atau setidaknya dalam kejahatan perang yang serius.”

#3. Marxisme, Seni, Pembebasan by Goenawan Muhammad

Penuh dengan kutipan. Sampai-sampai tak tahu mana pemikiran asli penulis, mana kutipannya. Buanyaaaak banget. Aneh rasanya membaca kutipan bertumpuk-tumpuk dalam satu paragraph panjang. Menelusur masa lalu dengan Marx sebagai pusatnya, didedah dan diuji ketahanannya oleh masa. Dan setelah lebih seabad Marx rasanya abadi, dilihat dari sudut manapun, layak didiskusikan. Sosialisme mengklaim, reliji juga, seni, ideology hingga manzhab lebih tinggi terkait tafsirnya sungguh liar. Dan buku ini hanya sebagian kecil darinya. Apalagi saya sedang baca Teori Sosiologi Modern, di mana Marx menyita halaman (otomatis perhatian) sangat tinggi.

“… keindahan yang benar-benar, yang tertinggi adalah keindahan yang dijumpai oleh manusia di dalam dunia kenyataan dan bukanlah keindahan yang diciptakan seni.” – Chernishevski

#4. The Hundred Secret Sense by Amy Tan

Ini jelas lebih mudah dicerna ketimbang The Joy Luck Club yang plot-nya berlapis. The Hundred Secret Senses sekalipun menyertakan dunia yin yang absurd dan mengundang arwah untuk berdiskusi, mengunjungi hantu-hantu masa lalu untuk membantu memahami masa kini, setidaknya alurnya masih runut. Sudutnya fokus pada Olivia, yang lainnya hanya sempalan, atau kalaupun keluar jalur, hanya mencerita detail yang menunjang. Kwan jelas begitu dominan menemani, sebagai kakak-nya yang paling setia, Kwan justru tokoh terpenting, terutama aspal cerita yang padat, dan eksekusi kunci di endingnya yang tak terduga.

“Janji mengajakku ke bioskop atau kolam renang akan mudah terhapus dengan dalih lupa, atau lebih buruk lagi, variasi-variasi licik mengenai apa yang dikatakan dan dimaksud.”

#5. The Art of Novel by Milan Kundera

Kundera menulis dengan semangat merayakan lelucon. Dari judul-judulnya sudah terlihat. Harus membaca buku-bukunya dulu untuk bisa menikmati secara maksimal buku ini. Saya baru membaca empat: Pesta Remeh Temeh, Kitab Lupa dan Gelak Tawa, Identitas, dan Kealpaan. Dan itu tak cukup. Selain mengupas novel-novelnya, kita juga diajak bersafari ke novel-novel hebat sebelumnya. “Kita sering mendengar trinitas suci novel modern: Proust (belum baca), Joyce (Ulysses belum baca), Kafka (sudah baca). Menurut saya, trinitas itu tak ada. Kafka memberikan orientas baru, yaitu orientas post-Proustian. Caranya memahami diri sungguh-sungguh mengejutkan.” Ya, ketiganya sangat dominan dikupas, ditambah Cervantes (belum kubaca), Schweik (sudah kubaca), hingga Balzac. Sayangnya, hanya sebagian kecil yang kunikmati. Ada tiga kebijakan utama yang wajib dikembangkan manusia: toleransi, humor, dan imajinasi.

“Novel memiliki kekuatan untuk menggabungkan puisi dan filsafat, bukan sebaliknya.”

#6. Menyingkap Rahasia Akhirat by Al Ghazali

Luar biasa. Karena ini hal yang baru, saya terpesona. Alam akhirat yang misterius itu dijelaskan dengan gamblang, bagaimana kehidupan setelah kematian. Dari mulai detik-detik kematian, hingga putusan akhir penghakiman pada-Nya. Ini versi Islam, artinya segalanya bersumber pada Al Quran dan Hadist sehingga, diluar itu tak disinggung sama sekali.

“Tak ada yang bisa menyingkap rahasia-rahasia akhirat kecuali orang yang menguasai ilmu-ilmu keakhiratan.”

#7. Tabula Rasa by Ratih Kumala

Kisah sedih di Rusia, kisah sedih di Yogyakarta, kisah sedih di Kanada. Asmara yang yang melilit para karakter. Temanya berat, sebab melibat homo dan lesbi serta kematian-kematian orang terkasih. Mainnya jauh, sampai Benua Amerika dan Eropa. Bagi jelata macam saya, jelas tak relate. Banyak kejanggalan, atau mungkin tak nyaman dinikmati orang kebanyakan. Mahasiswa pintar yang mengikuti kemanapun ayahnya ditempatkan bekerja, tak main-main antar kota, tapi sudah melintang ke Rusia. Dan sesuai catatan sejarah di awal 1990-an terjadi perebutan kekuasaan yang mengambil banyak nyawa warga, termasuk sang kekasih. Lalu masa merentang sedasawarsa di Yogya, kini ia sudah dewasa dan menjadi dosen. Menemui rasa cinta lagi kepada salah satu mahasiswinya. Gayung seolah disambut, tapi enggak juga sebab, sang kekasih memiliki penyimpangan seksual. Dan begitulah, aliran kisahnya berkutat di masalah hati, dan tindakan. Mengikuti kata hati ataukah menjadi warga kebanyakan yang legowo?

“Kamu jangan mondar-mandir aja, kayak setrikaan.”

#8. Jejak Sufi Modern by Abu Fajar Alqalami

Lucu. Mungkin tak seberat buku-buku sufi kebanyakan, mungkin pula dan sak-klek sama aturan Islam yang kaku. Ini malah jadi sejenis diskusi, seorang awam agama, bertanya kepada pendiri pondok pesantren. Rasanya tepat, sebab biar ahlinya yang menjawab. Maka kiai Badrun memberi petuah-petuah hidup, yang mungkin bagi kita sudah umum (atau malah usang). Dasar agama, tuntunannya, hingga rasa syukur. Yang menarik, diskusi itu mengalir nyaman, dan apa adanya.

“Hujan sudah reda, kita jalan lagi.”

#9. Poison by Sara Poole

Novel renaisans di Italia. Tentang hari-hari menuju penunjukan Paus baru. Ini bisa jadi fiksi di sisian sejarah. Paus lama, yang sudah tua dan sakit-sakitan segera mengeluarkan dekrit yang sama dengan perintah dari Spanyol bahwa warga Yahudi akan dimusnahkan, atau diusir dari negerinya, tapi sebelum dektrit itu dirilis, drama terjadi di dalam istana. Racun menjadi alat bunuh yang umum, dan begitulah Francesca Giordano, ahli racun itu melaksanakan tugasnya. Di Roma yang panas, dan sejarah mencatat Rodrigo Borgia menapaki puncak kekuasaan.

“Apakah kauyakin ingin melakukan semua ini?”

#10. Wasripin & Satinah by Kuntowijoyo

Tak menyangka arah buku ini akan ke sana. Ini adalah novel kedua Kuntowijoyo yang kubaca, setelah Pasar yang fenomenal itu. Yang ini tampak lebih kompleks dengan ending yang lebih berani. Kritik politik dari arus bawah hingga pusaran pusat yang njelimet. Pasangan yang saling mencinta, dengan segala kekurangan dan segala kehebatan masing-masing, di puncak ketenaran dan kegemilangan, segalanya berbalik. Wasripin yang bak nabi, dan Satinah yang secantik merak, akhir yang tak terduga. Benar-benar dibawakan dengan sangat bagus, mengalir dengan sangat nyaman dan begitu rapinya. Ah, rasa itu, kenapa terlambat disampaikan, dalam lamaran aneh dengan hasil pancing di pantai sepi ikan, dan jelmaan indah, lantas dihempaskan.

“Ah, pasti kura-kura dalam perahu.”

#11. Logika Falus by Tomy F Awuy

Kumpulan cerpen dari penebit Metafor yang legendaris. Temanya lebih banyak menelusup di area psikologi. Dari hubungan lesbi, pemikiran liar para lelaki, hingga kehidupan malam para Jakartan. Sebagai cerpen yang diambil judul, Logika Falus justru malah yang paling biasa, di mana dua pria mendebat seorang penyanyi kafe yang elok. Lalu berjudi, dan bagaimana diakhiri dengan antiklimaks.

“Ayahmu converso. Apakah kau tidak tahu itu?”

#12. Ranah 3 Warna by A. Fuadi

Buku lanjutan Negeri Lima Menara yang sungguh biasa sekali. Sebuah penurunan drastis, ini seperti orang yang menceritakan pengalaman hidupnya, dari lulus pesantren hingga meraih impian keluar negeri. Kuliah di jurusan Hubungan Internasional, ke Kanada impian itu diwujudkan. Tersebab saya sudah membaca Laskar Pelangi dan lanjutan, seolah ini pengulangan. Dan, karena ini lebih mapan, lebih tampak menjaga image. Artinya, orang pesantren yang alim ini tak banyak mencipta konfliks, sungguh main aman. Jadi tentu saja, membaca novel dengan minim konfliks adalah sebuah pengalaman standar.

“Logika bahasa penutup kau tidak jalan, terlalu lemah. Tapi yang lain sudah baik.”

#13. Prey by Michael Crichton

Keren banget. Partikel dan bakteri dicipta, dengan kamera berukuran nano, dan jadilah penemuan dahsyat. Awalnya jinak, lalu lepas, dan pada akhirnya mereka dengan cepat beradaptasi, menjadi makhluk hidup yang menuntut eksistensi. Di sebuah lab di tengah gunung, Jack sang perancang program, seorang IT expert itu tercengang sebab kode yang ia cipta kini menjadi liar dan mengancam umat manusia. Ternyata penyebabnya justru istrinya sendiri yang juga seorang penemu, Julia yang beberapa hari tak waras. Pasangan ini saling silang, dan sebelum makhluk itu membunuh orang lebih banyak, harus dimatikan, harus dimusnahkan.

“Jadi kesimpulannya sederhana. Mengelompoklah dan jangan menonjol.”

#14. Sepotong Hati di Sudut Kamar by Pipiet Senja

Buku harian yang jadi buku. Luar biasa. Kita tahu kehidupan pribadi Pipiet Senja yang menderita leukemia. Namun detail bagaimana kehidupannya dari kecil, remaja, hingga awal mula meraih impian membuat buku, jelas tak banyak yang tahu, kecuali lingkar pertemanan/saudaranya. Nah, dari buku inilah kalian akan menemukan banyak hal pribadi beliau. Kehidupan keluarga, percintaan awal, hingga perkenalan dalam dunia teater, sandiwara nulis novel, dst. Di era Orde Baru yang minimalis, konvesional, di mana karya ditulis tangan atau diketik di mesin ketik, perjuangan seorang penderita leukemia menjadi penulis sungguh sangat inspiratif.

Karawang, 011222 – Bon Jovi – Always

The Batman: Deklamasi Sinema

“Ketakutan adalah alat. Saat cahaya itu menerpa langit, itu bukan sekadar panggilan. Itu peringatan.”

Di sebuah kota yang selalu ditempa hujan… Darah dan kata-kata pasti meluap bersamaan. Gotham yang basah dalam berkah limpahan kata-kata sang superhero seolah penyair pelamun, ia murung dan lelah. Apakah perlu kita menghitung air hujan yang diguyur langit, yang umlahnya tak terhingga, seperti penderitaan yang harus Batman pikul. Jalan yang harus ditapaki seorang pahlawan tidaklah semulus yang kita bayangkan: berliku-liku dan melewati kerasnya gunung pengorbanan.

Ini adalah deklamasi sinema, drama panggung dengan syair meluap. Saya tidak pernah dengan sengaja berniat menghafal puisi Batman, tetapi puisi ini masuk ke pikiranku seperti wahyu tuhan turun kepada para nabi. Gelap dan semakin gelap. Penonton dijejali bergalon-galon kata sambil mencoba menautkan klu, serta bualan itu yang makin lama makin ngelatur. Puisi itu seolah filosofis, samar-samar mencoba membentuk benak para penonton, kata-kata melayang di baris subtitle yang menggugah, bermakna, bermanfaat, dan sepertinya siap dipraktikkan. “Mereka pikir saya bersembuyi di balik bayangan, tapi akulah bayangannya.” Cocok dikutip, dibagikan di sosial media, dijadikan status motivasi ala ala Arnold P. Bolang. Ini jelas Batman yang beda, maka lebih tepatnya, saat topeng dibuka ternyata Bruce Wayne adalah alter ego Widji Thukul.

Mendendam dan saat pembunuhan orang-orang penting terjadi tiap malam jelang pilihan umum walikota, Batman menemukan tautan penting ke arahnya. Titik-titik hubung itu mengarah padanya, surat cinta berisi klu ‘To The Batman’, pembunuh serial ini gila, walaupun dasarnya pembaruan kota, pembersihan atas para pejabat yang salah menggunakan wewenang, pembunuhan ini harus dihentikan, bersama sahabat malamnya Catwoman, Gotham butuh pahlawan, sebelum meledak.

Bruce Wayne (Robert Pattinson) anak yatim piatu dengan kekayaan besar diasuh oleh Alfred (Andy Serkis), hobinya berkenala malam hari, dengan penanda Batman di langit. Saat senjakala jatuh di kota yang ramai dan sibuk ini, kereta malam menderu membelah keriuhan, kejahatan-kejahatan terjadi. Matahari terbenam menyorotkan jubah hitamnya di atas gedung. Di Gotham Batman belum dikenal, di malam Helloween gerombolan, berandal yang akan menghajar orang asing malah bertanya, “siapa kau”. Secara bersamaan terjadi pembunuhan wali kota, kematian tokoh besar mencipta sensasi. Batman turut serta ke TKP untuk menyelidiki atas ajakan sobatnya di kepolisian Gordon (Jeffrey Wright). Banyak klu, tapi pesan terpenting adalah amplop untuknya. Malam kedua pembunuhan terjadi lagi, Komisaris Pete Savage (Alex Ferns). Klu kembali ditebar dan mengarah pada mobil korban, ada file di sana. Sudah mulai terlihat di sini, target korban adalah orang-orang penting yang menyalahgunakan jabatan.

Penyelidikan lanjut ke bar tertutup milik Penguins (Colin Farrell). Bar penuh orang-orang penting, separuh kejari ada di sana. Mabuk dan terbang sama pil koplo The Drop. Di sana ia mendapati pramusaji Selina Kyle (Zoe Kravitz) yang setelah diikuti ternyata memiliki hobi yang sama. Kucing berkelana di malam hari. Keduanya kini satu arah memburu pelaku, walau tujuan utama jelas beda. Batman ingin memecahkan kasus, Selina ingin menyelamatkan teman sekos Annika. Yang ternyata adalah gadis di foto walikota.

Malam ketiga korbannya adalah Pengacara Colson (Peter Sarsgaard), ia dijerat di mobilnya. Esoknya saat hari pemakanan wali kota, gempar mobil menerjang masuk masuk di pelataran duka, dengan Colson di sana, leher terikat, bom ditanam, dan sebuah panggilan telepon dari Riddler (Paul Dano) yang memberi teka-teki, dua pertama dibantu jawab Batman, tapi pertanyaan ketiga siapa sang informan, tak mau, dan yang akhirnya menewaskannya.

Begitulah, film terus bergulir menuju hari pemilihan umum. Kedok Riddle dan kroninya baru terungkap saat informan ditangkap, dan itu juga belum usai sebab semuanya malah kembali ke Batman, dan sekalipun otak kejahatan sudah diamankan di Arkham. Motifnya lebih besar, Gotham dirudung ancaman lebih dahsyat. Siapa berani memberantas lingkaran KKN di pemerintahan?

Durasinya terlampau lama, entah kenapa seolah dipanjang-panjangkan. Pembacaan puisi bagus, tapi kalau terus dilakukan, malah mencipta kantuk. Dalam deklamasi, pembaca yang memakai baju hitam artinya puisi duka. Batman yang ini sedihnya kebangetan. Bersuara parau dan gemar menyanyikan lagu tentang ketidakadilan, kejadian lampau yang mengecewakan, tentang rasa yang ditinggalkan, dan neraka. Mencoba gelap, ada satu adegan layar benar-benar gelap. Hanya sesekali muncul cahaya dari salakan tembakan, di lorong Batman sedang menghajar mush-musuhnya.

Setalah berpanjang-panjang, inti cerita ternyata hanya mengarah pada pembaruan kota, dibersihkan dari sampah masyarakat, orang-orang yang menyalahgunakan wewenang dibunuh satu per satu, sampai akhirnya arah senjata ke Batman, masa lalu ayahnya yang pernah mencalonkan diri jadi pejabat. Klu-klu itu menarik? Biasa saja. Jaring mereka makin merapat menit demi menit. Semua petunjuk sudah digaris, titik-titik disambungkan. Ternyata tak ada twist, kalau boleh bilang, dua setengah jam lebih lalu bilang, ‘hah, gitu aja?’

Ada tiga adegan yang cukup menghibur, seolah menjadi obat lelah dan ngantuk dalam penantian. Pertama jelas adegan kejar-kejaran versus Oz. mobil keren yang dinanti-nanti itu akhirnya keluar garansi. War-biasa aksinya, melawan arah, kebut sampai gaaasnya mentok, dan akhirnya ledakan dengan dramatis mobil Bat terbang. Dan kamera yang dibalik dengan gaya. Nah begitulah adegan film action dibuat, keseruan nampak dan bergetar.

Kedua saat teka-teki kematian, bagaimana bisa infomasi sang informan tetap ditahan saat nyawa terancam, hitungan detik dan dramatis, betapa berat menyangga rahasia gelap dan berisiko. Saya sudah prediksi bakalan tetap mati sih, sebab temanya pembunuhan berantai, jadi begitu tahu korban nomor tiga masih hidup, hanya tinggal eksekusinya saja.

Ketiga, saat Batman berciuman dengan latar cahaya mentari subuh yang masih asri, warna oranye dominan bersemburat. Saya tak tahu di komiknya bagaimana, apakah ada asmara di antara kucing dan kelelawar, tapi romansa mereka tampak saling melengkapi. Jadi sejatinya sudah cocok, walau adegan cheezy Batman diselamatkan dramatis tampak malah merusak mood, dan perpisahan sendu di ujung dengan arah berlawannya, dengan iringan skoring ciamik, jelas keduanya bisa akur memburu penjahat. Sebagaimana kucing dan kelelawar, binatang malam yang selalu lebih senang bergaul dengan benda-benda mati daripada makhluk hidup. Batman tetap tenang dan diam lama setelah menawarkan kebersamaan, tetapi ekspresi keyakinan di wajahnya tidak menghilang. Percayalah, kucing ini akan balik. Dengan catatan kontraknya Zoe diperpanjang.

Harus diacungi jempol usaha reboot kali ini, pembaruan itu bukan Gotham sejatinya tapi Batmannya sendiri, sangat manusiawi. Ini jelas jauh lebih baik dari Batman encok. Pattinson sangat pantas, ia masih sangat muda, dan sebagai orang yang memproklamirkan diri sendiri berjiwa merdeka, ia sudah selalu berusaha tampil hebat, beda, avant-garde, canggih. Dan sekaligus pemurung. Dalam wawancara dengan the Hollywood Reporter yang muncul di beranda sosmed, ia mendeskripsikan dalam tiga kata: crazy, sexy, cool. Sepakat?

Seperti kebanyakan orang Indonesia yang muak akan kelakuan warganya yang tak disiplin, mudah marah, bermuka dua, pejabat yang bloon, hingga berhianat, pada dasarnya tetap saja mencintai kota kelahiran, kota tempat dibesarkan, kota berpijak mengais harta. Begitulah, sebobrok apapun, Batman mencintai Gotham dan akan selalu menjaganya. Kota ini adalah perkuburan, mengapa aku harus tetap di sini? Apa yang harus tetap membuatku di sini? Puisi Batman tak kurang daripada pencarian makna hidup dan kecintaan akan tempat ia dibesarkan. Apakah tindakan Riddler dapat dibenarkan? Menyingkirkan orang-orang jahat di pemerintahan lalu menenggelamkan kota demi pembaruan? Tentu saja tidak, kita harus bersepakat, seburuk apapun kota dan penghuninya, kekerasan dan pembersihan massal tak bisa diterima. Sama seperti Real Madrid yang muak sama panitia Liga Champions yang korup, lalu mencipta Liganya sendiri. Jelas itu salah. Atau para radikal yang tiap hari mengumbar kata-kata kasar semua kebijakan tak bijak pemerintahan, lalu esoknya antri paling depan subsidi beras. Tidak, tidak, sistemnya sudah salah, butuh waktu bertahun-tahun untuk revolusi, memotong generasi lama tak bisa dengan seketika memutus rantai pemerintahan. Pejabat korup tumbang, pajabat korup lainnya akan naik. Di manapun berada, ada. Hanya levelnya saja yang beda, paling tidak mengikisnya, memperbaiki sistem dengan teknologi terbaru, aturan win-win solution, hingga menempatkan orang yang tepat di tempat yang tepat. Dus, gue nulis apa ini bro… maaf ngelantur.

Dunia ini sepanjang masa akan seperti ini; kita boleh mengejeknya, mengkritisinya kalau perlu, ketika kepentingan seseorang menjadi terlalu dominan, tak ada yang patut diperjuangkan. Banyak hal tak bisa kita rubah, kita di luar lingkaran itu. Maka, mengubah diri sendiri lebih masuk akal ketimbang mengubah mindset warga twitter. Para legistalif yang mencari uang dengan menyalahgunakan kedudukan apakah bisa kita rubah langsung? Apakah tetangga kamu yang ngeselin motong keramik di hari Minggu bisa kamu hentikan langsung? Apakah chat ngeselin dari grup WA bisa kamu kendalikan dan atur seketika untuk jadi memihakmu? Banyak hal tak bisa kita modifikasi, peran kita di dunia ini kecil. Peran kita dalam keluargalah yang utama, dan berpengaruh, dan masih dalam kendali. Bangsat! Gue nulis apa lagi ini…

Siapapun yang bisa bertahan dari rasa lelah akan keluar dari perburuan ini dengan penuh kemenangan. Selamat, The Batman berhasil memesonaku.

The Batman | 2022 | USA | Directed by Matt Reeves | Screenplay Matt Reeves, Peter Craig | Cast Robert Pattison, Zoe Kravitz, Jeffrey Wright, Collin Ferrell, Paul Dano, Andy Serkis, Peter Sarsgaards | Skor: 4/5

Karawang, 010422 – Billie Holyday

Thx to Rubay. One down, Four to go.

Kusala Sastra Khatulistiwa 2021: Bentang-kan Hingga Langit

Kejari KSK nih.” / “WA wae virtual account e.” – Chat ig dengan Titus P.

Rak bukuku baru, tinggi menjulang hingga langit-langit. Bisa menampung sepuluh ribu buku, kalau mau, dan sungguh rapi walau aku masih kesulitan mencari letak buku yang kuingin baca tiba-tiba. Sedap dipandang, betah berlama-lama bercengkerama dengannya. Warna putih cerah dengan penerangan lampu terang, mencipta nyaman duduk terpekur di perpustakaan keluarga. Ini tak serta merta, rak ini sudah kubayangkan doeloe pas masih sekolah. Koleksi bukuku terus bertambah, tapi tenang saja ada garasinya…

Koleksi itu tentu saja termasuk buku-buku prosa Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK). Tahun ini terdiri dari: Enam kumpulan cerpen, empat novel. Pengumuman kandidat agak terlambat, sampai kunyalakan notif twitter Richard Oh, yang akhirnya pada 23 September muncul juga. Kamis malam itu sepulang kerja langsung ke Gramedia Karawang, hanya nemu Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga. Lumayan, sembari cari daring setidaknya sudah kumulai baca. Kesepuluh nominasi belum baca semua, jadi benar-benar start mula, dan sebagian besar nama-nama asing. Well, kurasa salah satu fungsi KSK adalah kita sudah disarikan, sudah dipilih dan dipilah para sastrawan, sehingga tinggal menikmati saja. Terlepas hasil akhir bagus/buruknya kualitas belakangan. Mirip film-film Oscar, lha wong sudah dijaring, tinggal duduk nikmati. Enak to.

Dan syukurlah kita hidup di zaman digital. Cari barang lebih mudah, termasuk buku. Toko buku langganan rerata tak sedia bukunya. Aku pengen beli buku sebanyak mungkin dalam sekali transaksi, selain hemat ongkir juga ada stok baca bila cepat usai. Dema Buku, Sentaro Book, Kedai Buku ternyata tak ready stock setelah kujapri, sembilan sisanya berburu bertahap. Kloter kedua buku baru muncul dari Dojo Buku, Jakarta Barat. Beli empat buku, kepending lama sekali, setelah tiktokan berkali-kali akhirnya bilang hanya ada tiga, yo wes gegas saja yang ada karena Haniyah dan Ala sudah selesai baca lama. Yogya Yogya, Damar Kambang, dan Rekayasa Buah baru kupegang pada 29 September.

Kloter ketiga dari Basa Basi Store yang mewakilkan satu buku Revolusi Nuklir di Prosa, menawarkan paket tiga buku, dua buku puisi KSK-pun tak mengapa kubeli dan kuterima 4 Oktober. Secara bersamaan pesan dari Stanbuku, Sleman. Ini teman lama, teman grup diskusi buku WA, pengalaman pertama beli daring justru dari sini. Mas Olih sedia Anak Asli Asal Mappi dan Segala yang Diisap Langit yang kuterima 9 Oktober.

Kloter kelima adalah Bunga Kayu Manis dari Jalan Literasi, Bandung yang bersamaan beli kandidat puisi sebagai ‘teman’ pengiriman. Buku kesembilan dan kesepuluh beli dari dua tempat beda lagi, Cerita-cerita yang Sedih dan Menakjubkan dikirim dari Yogya (Jual Buku Sastra) dan Ramuan Penangkal Kiamat dari Bogor (Aiakawa Books). Keduanya kupesan tentu saja ada barengan, keduanya Non KSK.

Jangan beranggap wah mudah sekali ya cari buku dan selalu ada duit. Oh tak sesederhana itu, bujet memang sudah kusiapkan, menabung dari beberapa bulan sebelumnya untuk dibelanjakan September. Aku juga tak punya m-banking jadi sering umpet-umpetan ATM sama Meyka, istriku. Maka sering kali minta tolong temanku Titus P. untuk talangi bayar ke Tokopedia/transfer BCA. Direkap, baru kuganti. Lihat, tak sederhana juga kan, tapi tak rumit juga. Kalau sudah berkeluarga, kalian pasti tahu betapa kebutuhan banyak, dan pendapatan harus dipilah pilah menyesuaikan kepentingan anak-istri. Dan buku, bagi istriku bukan di urutan prioritas.

Tepat 28 Oktober semuanya selesai baca ulas, maka mari kita simak. Berikut bacaan 10 besar prosa, diurutkan berdasar selesai lahap.

#1. Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga – Erni Aladjai

Pembuka Kusala Sastra Khatulistiwa yang kurang OK. Temanya beragam, tapi intinya bisa jadi budaya lokal dengan kritik sosial dalam lingkar kebun cengkih. Pelukisan perkebunan dan tradisi setempat bisa saja menjadi daya saing yang menjanjikan, tapi tetap intinya sederhana. Hantu anak yang baik, walau kehidupannya tragis bisa memunculkan berbagai kemungkinan horror, jagoan yang sakti juga bisa saja meledakkan amarah ke warga, tidak. Kisah ini berakhir dengan tenang. “Tanaman bertenaga-baik membuat manusia yang memakannya berjiwa baik.”

#2. Damar Kambang – Muna Masyari

Aku baca sekali duduk di Jumat pagi yang cerah. Untungnya, suami-istri di pembuka identitasnya tak dikuak, fakta ini akan jadi semacam tautan yang ditaruh di tengah kecamuk adu sihir perdukunan. Perhatikan sahaja, buku yang berhasil salah satu faktornya para tokoh memiliki motif yang kuat untuk mengambil tindakan, tindakan dijalankan dengan logika dasar. Tak perlu muluk-muluk, tak perlu ndakik-ndakik. “Kau tidak percaya atau justru takut memercayainya?”

#3. Yogya Yogya – Herry Gendut Janarto

Cerita hanya berisi nostalgia. Dan saya suka cerita yang menengok masa lalu ketimbang ngawang-awang ke masa depan yang tak jelas. Orang Yogya yang merantau ke ibukota, sesekali mudik Yogya menekuri wilayah-wilayah yang dulu pernah disinggahi, ditelusur untuk dikenang, dengan sudut pandang orang pertama, segala yang disampaikan jelas bergaya orang bercerita satu arah. Tak ada hal-hal yang luar biasa, maksudnya nyaris tak ada ledakan… “Gayuh, kan, memang suka banget bernostalgia, sedikit-sedikit menukik ke masa silam. Benar-benar Gayuh itu manusia past tense. Mister Past Tense!”

#4. Rekayasa Buah – Rio Johan

Buku ini jeleq.

#5. Anak Asli Asal Mappi – Casper Aliandu

Cerita mini, mirip fiksi mini. Dan karena ini berdasarkan pengalaman penulis selama mengajar di Mappi, Papua, maka bisa disebut fakta mini sahaja. Ceritanya terlampau biasa, terlampau sederhana, pengalaman sehari-har. Dan selain cerita mini, buku cetaknya juga, hanya seratusan halaman. Namun harganya tak mini. “Terlalu asyik, Teman. Alamnya terlalu indah.”

#6. Segala yang Diisap Langit – Pinto Anugrah

Ringkas nan memikat. Hanya seratusan halaman, kubaca sekali duduk selama satu setengah jam pada Sabtu, 16 Oktober 2021 selepas Subuh. Langsung ke poin-poin apa yang hendak dituturkan. Tentang Islamisasi di tanah Sumatra di masa Tuanku Imam Bonjol. Mengambil sudut pandang sebuah keluarga lokal yang kalah dan tersingkir. Segalanya jelas, tapi akan mencipta keberpihakan abu-abu. “Atas nama agama, katanya!”

#7. Revolusi Nuklir – Eko Darmoko

Yang bagus menurutku adalah bagian-bagian yang sederhana. Malaikat pencabut nyawa yang mengambil kembarannya, itu kisah mudah dicerna, walau memilukan, terasa emosional. Atau pencabut nyawa yang mau berkunjung malah diusir oleh PSK, klenik yang membuncah kan masih banyak berlaku di masyarakat. Atau Ayam Kampus yang memandang hina keset kampus, tenang, diam, dan malah langsung in kan? Tak perlu melingkar pusing untuk berfantasi. “Kau harus ke Nordlingen!”

#8. Bunga Kayu Manis – Nurul Hanafi

Pada dasarnya manusia menyukai hal-hal bagus, hal-hal indah bagi kita sungguh nyaman dirasa mata atau telinga. Seni memberinya banyak jenis kenikmatan. Dan dari hal-hal yang dicecap itulah kita lari sementara dari kejenuhan rutinitas. Bunga Kayu Manis menawarkan jenis keindahan kata-kata (atau di sini berarti tulisan), dipilih dan dipilah dengan mujarab oleh Bung Nurul Hanafi. “Seperti apapun penampilanmu, kau tetap cantik.”

#9. Cerita-cerita yang Sedih dan Menakjubkan – Raudal Tanjung Banua

Cerita-cerita masa kecil dari orangtua, paman sampai neneknya, kita melangkah lanjut ke tema-tema masa lalu yang lebih umum, menorehkan kenangan. Menulis tentang masa lalu, sekali lagi kubilang sungguh aktual. Dan lebih mudah diimajinasikan. Sungguh nyaman, asyik sekali diikuti, seolah membacai memoar, menelisik nostalgia. “Sering-seringlah memandang Bukit Talau. Banyak gunanya. Melihat awan, meninjau hujan.”

#10. Ramuan Penangkal Kiamat – Zelfeni Wimra

Tentang ramuan darurat yang bisa digunakan saat terjepit. Sejak zaman Perang Padri sampai ear PRRI, bergenerasi digunakan. Sejarah Sumatra yang panjang nan berliku, zaman kolonial, zaman pasca merdeka, hingga kini. Setiap daerah memiliki kebiasaanya sendiri. Termasuk dua mangkuk ramuan rahasia… “Mengapa ayah menangis?”

Sebelum lanjut, mau bilang bahwa tahun ini penulis favorit Mahfud Ikhwan merilis lanjutan Dawuk, Anwar Tohari Mencari Mati kukasih skor sempurna (lima bintang). Kukira bakal masuk KSK, nyatanya tak tercantum. Apakah sekuel otomatis tak terjaring, atau nama Cak Mahfud sudah terlalu besar, entahlah…

Tahun lalu tebakan meleset jauh. Novel Orang-orang Oetimu tuh sempurna, sampai kulabeli buku terbaik lokal yang kubaca tahun 2020. Satu-satunya novel lima bintang KSK, masuk lima besar dan dengan pede sekali kutebak menang. Dalam podcast Mokondo-nya Bung Takdir panjang lebar kujelaskan sampai berbuih-buih, betapa indah cerita karya Felix K. Nesi ini. Sebagai pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta sebelumnya, kukira bakalan berstempel ganda, karena di waktu yang hampir bersamaan Marjin Kiri menyiapkan kover baru.

Burung Kayu sejatinya sungguh biasa, prinsipku adalah novel bagus itu menghibur, bahasanya ga ngawang-awang, plot jelas, cerita bagus, pembaca senang. Burung Kayu mencoba nyeni yang malah menghilangkan esensi isi, dan aku tak suka hal-hal yang tak nyaman. Hanya kukasih 3.5 bintang, buku pertama yang kubaca setelah pengumuman nominasi. Aneh, sungguh aneh.

Tahun ini tampak lebih aneh. Saat pengumuman lima besar, satu-satunya buku lima bintang bahkan sudah tak tercantum. Cerita-cerita yang Sedih dan Menakjubkan benar-benar menakjubkan, indah dilihat dari berbagai sisi. Campur aduk perasaan, dijabarkan dengan sabar, disajikan dengan istimewa. Kok bisa? Entahlah, sedikit mengejutkanku atas keputusan dewan juri menyingkirkan dini.

Dan memang masa depan itu sulit ditebak. Kejutan juga perlu dalam hidup, seperti semalam Bayern Muenchen dibantai 5-0, banyak orang suka ‘kan sama kegaduhan. Jadi mari kita susun kepingan tebak.

Yang tersingkir lima buku, dalam penilaianku buku bagus selain karya Raudal Tanjung Banua ada tiga: Revolusi Nuklir (empat bintang), Yogya Yogya (empat bintang). Namun masih dikoridor yang tepat, sebab di awal buku keduanya boring, baru meledak di pertengahan dan akhir. Serta Bunga Kayu Manis (empat bintang) yang juga indah, memang mendayu seperti tahun lalu dalam Makan Siang Okta yang juga melaju kencang di fantasi.

Satu buku lainnya memang pantas dihapus, sudah pas. Buku jeleq.

Daftar pendek mencantum Anak Asli Asal Mappi (tiga bintang), rasanya enggak banget. Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga sama saja, terlampau biasa (tiga bintang). Tiga lainnya berskor sama (empat bintang); jadi sejak kuikuti KSK, untuk pertama kalinya aku tak bisa yakin menebak. Ketiganya bagus, dan indah di porsinya masing-masing. Dua buku tentang Sumatra versus Madura.

Damar Kambang laik menang, cekam yang disaji bisa konsisten. Kental budaya Madura, taiye… selamat. Segala yang Diisap Langit to the point, apa-apa yang disaji memang sepantasnya disaji. Babat sana-sini demi tegaknya tauhid. Laik menang, selamat. Ramuan Penangkal Kiamat, tak perlu banyak bualan, mayoritas cerpen sudah disaring koran Nasional, dan jiwa-jiwa yang renta dalam kenangan menambah pikatnya, laik menang, selamat. Jadi tahun ini nebak mana?

Prediksiku: Buku-buku Bentang banyak sekali yang memuaskan, rerata bagus. Untuk kali ini sahaja, aku berdoa penerbit ini lebih diapresiasi atas kurasi mereka. Salam literasi dari Karawang yang damai.

Karawang, 281021 – 291021 – Michael Franks – Rendezvous in Rio

Thx to Titus P, sobatku yang selalu ada saat butuh tolong talangan transfer buku. Beeeest… (kecup kecup kecup)

Mengapa Ayah Menangis


Ramuan Penangkal Kiamat oleh Zelfeni Wimra

“Kita dilahirkan tidak untuk mengeluh. Kehidupan tidak menerima para pengeluh. Selalu ada jalan keluar. Saya saja yang belum menemukan!”

Kumpulan cerpen yang bervitamin. Dirangkai dari cerpen-cerpen yang sudah terbit di media masa. Rerata bagus sebab memang sudah dikurasi oleh tim handal, tinggal dilihat saja cerpen bagus atau kurang di Koran atau media daring mana, terlampir di akhir buku. Jawa Pos, Tempo, Republika, Padang Express…

Ada dua yang sungguh biasa, atau dikata kurang, atau malah cenderung jelek. Dan kebetulan dua-duanya belum terbit, lantas mencipta tanya, jangan-jangan keduanya ini sudah dikirim ke media tapi tak tayang? Maka diinput saja ke dalam buku. Dua itu adalah Ramuan Penangkal Kiamat, mencoba menelusur sejarah nenek moyang, tapi lemah dalam penyajian. Satu lagi tentang kucing lapar di rumah, plotnya lemah dan standar saja.

Favoritku jelas, Gantungan Baju Buya. Kiai selalu ingin pulang ke rumah mengisi ceramah di manapun, dengan anekdot gantungan baju saja sudah terdengar unik, agak aneh. Memang ketebak, sudah jelas keluarga adalah segalanya. Nah, endingnya yang keren di mana sogokan itu memakai anekdot lama yang otomatis mengingatkan pada gurunya. Satu lagi, Guru Nalu, teman masa kanak menjadi gila tersebab idealism kebablasan. Mengingat aku pernah punya teman seperti itu, terasa sekali emosiku turut. Temanku sembuh dengan dinikahkan dan ganti nama yang lebih sederhana, tak muluk-muluk atau keberatan kata, mungkin ini salah dua solusi buat Nalu.

Kuulas singkat-singkat sebagai apresiasi.

#1. Bila Jumin Tersenyum

Tentang kesulitan keuangan dan gigi yang tanggal, upaya untuk menutupinya mencipta iuran uang warga. Dilemma urgenitas. Namun memang anak atau di sini pendidikan anak urutan kebutuhan ada di urutan tinggi, dunia akan memakluminya.

#2. Madrasah Kunang-kunang

“Bila kampung sudah tidak memiliki orang disegani ibarat ijuk tak bersagar; bagai lurah tak berbatu. Kawan dan lawan akan bersilantasangan kepada kita.” Profesi penceramah menjadi diskusi menarik. Ayah tak suka anaknya bekerja seperti itu, diundang ke rumah-rumah, ke kantor-kantor untuk membacakan doa. Membiayai hidup dari upah mengajarkan agama seperti menjadi penceramah atau pendoa tidak berkah! Kita dikaruniai tubuh dan tenaga yang kuat.

#3. Gantungan Baju Buya

Tentang Buya Mukaram yang nekad tetap pulang seusai ceramah sekalipun sudah larut malam, walaupun sudah ditawarkan tempat menginap. Alasannya, di mana Buya akan menggantung bajunya? Yang secara tersirat terimplementasi di masa kini, saat ia mendampingi Pak Menteri ke provinsi terjauh, mendapat hadiah dan tawaran gantung baju.

#4. Kopiah yang Basah

Profesi dukun penggugur anak atau aborsi menjadi petaka saat Johan, kemenakannya mendapati kesalahan, pasiennya meninggal dunia. Ia ditangkap polisi, diperkara, dan Aku sebagai yang dituakan mencoba membebaskannya, mencoba damai. Datuak Basa Marajao dengan kopiah basah pulang naik angkuta umum.

#5. Guru Nalu

Orang gila yang mendaku guru. Kenangan masa kecil, serta upaya untuk mau mandi. Idealism pendidikan yang tak menelurkan manusia robot siap kerja, segalanya malah runyam. Kebablasan, mendekam di rumah sakit jiwa Pak Guru Nalu.

#6. Mengasah Lidah Murai

Belajar pidato atau bicara di depan umum dengan mahir itu tak hanya diasah dan belajar dari pengalaman, tapi juga ada syarat istimewa dari seorang sesepuh desa yang terkenal jago. Dengan mahar burung yang ditangkap dan tak hanya itu kerbau yang di-angon setiap hari harus dipastikan tercukupi asupan rumputnya. Belajar memang mahal.

#7. Urat Leher Burhan

Jodoh kebentur banyak kepentingan, doa ibu yang mujarab dan segala keinginannya yang ideal. Burhan seorang aktivis, berpacaran dengan wartawan, sudah pas dan wajar. Pranita di mata ibu terlalu vocal. Muncullah Evalisa, perawan tua yang tampak ideal mengingat Burhan yang juga sudah sangat matang. Namun lagi-lagi, Burhan memilih prioritas yang lain.

#8. Rumah Berkucing Lapar

Paling biasa dari semuanya. Suara meow di rumah yang mengindikasi ada kucing lapar yang suka mencuri lauk. Lantas membuat geram seisi rumah, dan tamunya.

#9. Ramuan Penangkal Kiamat

Sebagai judul buku, ini juga biasa. Sejarah Sumatra yang pernah ada penyebaran agama, warga asli yang terdesak dan upaya mencipta ramuan penangkal kematian. Dari generasi ke generasi, banyak jalan manusia untuk bertahan hidup, menahan gempuran kerasnya hidup.

#10. Dua Keping Kisah Pikun

Masa kecil memang terbaiq. Mahmud dan Zahara sudah berkawan akrab, sudha main kawin-kawinan. Sudah asyik madu dengan menangkap burung dan betapa akan mewujud nyata saat mereka bertunangan. Lantas takdir jahat menimpa, di usia senja adakah kesempatan kedua?

#11. Si Mas yang Pendusta

Si Mas yang melambaikan pergi dari geladak kapal untuk kembali ke Jawa seusai tugas menggempur gerakan PRRI di Sumatra. Janji-janji manis yang disampaikan dihianati, janji mau mengawini. Dicerita oleh neneknya Namimah yang makin renta kepada Neli yang penasaran cerita kakeknya. Oh tak seperti itu ternyata sebenarnya.

#12. Rentak Kuda Manggani

Kenangan oh kenangan. Di masa sulit, ia meninggalkan istri dan anaknya. Merantau jauh dan menikah lagi. Saat tua mengunjungi lagi tempat lama itu, ditemui anaknya yang juga sudah menua, dan juga mantan istrinya, kunjungan ini tak hanya meminta maaf, sebab sejatinya sudah dimaafkan, kunjungan ini adalah perjalanan menekuri ingatan, perjalanan religi di senjakala.

#13. Air Tanah Abang

Kalau kalian lihat gelandangan di Tanah Abang, bisa jadi itu adalah Langang. Ia adalah perantau yang ambisius, dulunya. Pergi dari tanah kelahiran sejak usia 15 tahun, menikah dengan warga pinggiran Bandung hingga memiliki anak, lantas diminta pulang oleh emaknya. Utang dan beban seolah dilepas secara bersamaan, dengan surat penting dan KTP ibu kota dilarung di selat Sunda. Lantas tekanan sosial malah mencipta ulang perjalanan.

#14. Gadis Bermata Gerimis

Nek Gadis yang sendu. Dikunjungi aku Jalito, mahasiswi pascasarjana. Sanad keluarga menyisa mereka berdua, banyak anggota kelurga meninggal di bencana tsunami Aceh 2004. Pesan nenek, memintanya segera menikah agar keturunannya berlanjut. Lantas seolah tanda-tanda senjakala yang mana menipis waktu hidup, sang nenek bercerita masa mudanya yang terlambat menikah. Betapa perjuangan laki-laki di zaman kemerdekaan itu penuh pengorbanan, begitu juga perempuan yang menanti, dobel pengorbanan.

#15. Rendang Kumbang

Ramuan untuk mengembalikan suami dari godaan janda tetangga. Suaminya Kari seorang sopir truk pasir, tergoda sama Marina janda beranak dua yang meminta pesan membangun dapur. Keakraban itu mencipta cemburu dan gemanya malah semakin terasa. Marini meminta dukun Pati buat bikin ramuan pikat sukma. Hasilnya? Alamak…

#16. Tukang Beri Makan Kucing

Suami kesepian walaupun sudah punya lima, semuanya merantau, punya banyak cucu, otomatis mengikuti orangtuanya. Dari Bandung hingga Papua. Istrinya ikut ke Si Bungsu yang baru saja memberi cucu, dan setiap saat istrinya meminta untuk kasih makan kucing kesayangan. Namun suatu ketika si kucing malah memberantakkan dapur, bikin kzl. Wait… rasa sepi itu seharunya dibelai si meow…

#17. Sihir Batu Bata

Ibunya yang cerai mencipta kekesalan. Sebagai anak SD ia rindu belaian ayah, dan kala ada sopir yang mampir ke warungnya menggoda ibunya, ia berjanji akan membalas dengan kepal tangan kuat. Pendidikannya hancur, tapi tak bisa dijadikan alasan sebab kakaknya di posisi sama tetap berprestasi. Kala masalah dewasa dilihat dari sudut anak-anak memang tak sinkron, dunia itu semua ada masanya, Nak.

#18. Diri Juga Ingin Pulang

Seolah ini adalah gelandangan di ‘Air Tanah Abang’. Diri yang kere, sementara teman-teman sebayanya sudah sukses secara materi. Ia lantas menelusur masa lalunya, timbul tenggelam dalam kenangan.

#19. Tuan Alu dan Nyonya Lesung

Memakai anekdot alu dan lesung, sejoli yang saling mengisi. Seolah pohon stek, dibabat tapi bisa tumbuh lagi setelah coba ditanam lagi. tuan Alu dan Nyonya Lesung dalam lanskap surealis bdi taburan biji kopi.

Sebagai buku terakhir, Ramuan Penangkal Kiamat sudah dkutahui masuk lima besar. Laik, skor 4 masih bisalah untuk teman ngopi, lebih dari ekspektasi. Sulit memang membuat cerpen bagus. Salah satu ciri Bung Zelfeni adalah, riwayat karakter tergambar jelas dari mula hingga senja. Lihat saja, para tokoh utama sering kali mengingat masa lalu, meriwayat dari kecil atau dari muda, lantas ke masa kini. Balutan tradisi daerah adalah hal wajar, dan sudah sangat lazim dibuat. Tanpa tahu siapa Zelfeni, aku sudah bisa menebak ia orang Minangkabau atau Sumatra, atau setidaknya pernah tinggal di Sumatra, merantau ke tanah Jawa, dan ekonominya lumayan (terlihat dari cerpen awal). Untuk karakter yang lusuh, bisa dicomot dari orang-orang sekitar. Lihat, banyak hal bisa dipetik dari sini.

Cerita bagus, lebih mudah ditulis dari kisah sendiri atau teman sekitar dan memodifikasinya. Secara otomatis, pembaca juga. Dengan mudah menautkan emosinya. Selamat!

Ramuan Penangkal Kiamat | oleh Zelfeni Wimra | GM 6212020001 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Penyelia naskah Teguh Afandi | Desai nisi Ryan Pradana | Desain sampul Orkha Creative | Cetakan pertama, Januari 2021 | ISBN 978-602-06-4985-6 | ISBN Digital 978-606-06-4986-3 | Skor: 4/5

Tikus dan tupai mudah dipilah sedari kecil hanya dengan melihat ekornya.

Karawang, 281021 – Michael Franks – Time Together

Akhirnya selesai. 10 dari 10 prosa KSK selesai baca dan ulas.

Thx to Aiakawa Books, Bogor

Puisi tuh Bukan Gini Bro…


Jakarta Breaking Poetry by Foentry.com

Duduk diam tak menentu / Memikirkan waktu yang terus berjalan tak tentu / Dimana loudspreaker bersuara maaf selalu / Jajanan pasar biasanya segera keluar sebagai hidangan penyumbat malu / Kadang roti isi yang beredar sebagai peredam emosi penumpang yang / menggebu-gebu / Kadang juga nasi bungkus yang dibagikan sebagai alternative / pencegah demo yang lebih seru – Poetry #22: Maskapai Penerbangan Terhebat Sepanjang Sejarah Perjuangan Bangsa

Kumpulan puisi mbeling yang payah. Tampil beda tak selalu keren. Buku ini mencerita segala aktivitas dan kritik sosial di ibu kota, dibawakan dengan aneh dan nyeleneh dan dalam konotasi negatif. Entah maunya apa, puisi yang sudah kita ketahui itu memang agak sulit dimaknai, walaupun memang tak ada yang salah. Mau dirubah dengan gaya gaul, oh tidak. Puisi tuh ga gini bro. Sungguh buruk.

Identitas penulis dirahasiakan, seolah memang sudah malu sama karyanya. Lihat saja identitas bukunya, semua oleh Foentry, kecuali Joshua Santoso, dan bisa saja jangan-jangan dia sendiri yang bikin juga? Semua kerjaan diborong, dan itulah mengapa perlunya editing, proof reader, dst sehingga jika tulisan melenceng ada yang meluruskan. Ini Joshua hanya ditaruh dibagian ilustrasi. Esensi isi tulisan tak disentuh orang kedua/ketiga. Ambyar! Eka Kurniawan contohnya, bukunya diedit oleh orang lain, buku Seno Gumira Ajidarma editornya pernah orang yang masih fresh graduate, ga masalah asal dicek sama orang lain yang kompeten. Kalau tulisan gede-kecil sih memang sengaja, tapi editing kata baku saja beberapa kelewat: yang basic saja kata ‘silahkan’. Buku ini representasi sebuah karya yang tak enak dinikmati, mentah, lemah, dan boring sekali. Malah kayak Vicky Prasetyo yang terkenal suka belibet kata, di sini beneran dicetak, diedarkan, dan dijual. Kacau dari berbagai sisi.

Mau kritik sosial dan budaya, tapi jatuhnya malah penyampaian antah surantah.

Banyak sekali tulisan alay kombinasi angka dan huruf capital, ya ampun, merusak mata. Menjemukan gan, baca tulisan alay di sosmed saja rasanya muak, ini dalam buku ber-ISBN! Bukunya juga berwarna, blink-blink ala abege. Halamannya tampil beda, ditaruh di samping. Bukan di atas/bawah. Untuk penjelasan catatan kaki, tak semua di bawah, sebagian di halaman khusus belakang. Dan jujur sahaja, catatan kaki tuh tak banyak harusnya. Semakin banyak semakin kelihatan bego, yang berarti sang penulis gagal menyampaikan isi hati ke pembaca. Dan catatan kakinya basic banget pula. Contoh Dan Brown, ngapain dijelaskan ia adalah pengarang Da Vinci Code? Tak perlu, tak usah. Buasiiiic gan. Atau pas nyindir kasus korupsi yang sedang hype saat puisi dibuat, tak usah. Tak perlu seterang-terangnya. Atau menjelaskan kalau HI itu Hotel Indonesia. Duuh! Maksud hati mau kritik pengambil kebijakan pemerintah, malah penyair antah ini yang patut dihujat/kritik abis!

Mending nulis prosa saja, cerpen/novel yang narasinya panjang dan nyaman ketimbang berwujud puisi tapi bentuk dan penuturan bertele-tele. Ini sejenis curhat berparagraf-paragraf, dimodifikasi dalam bentuk puisi yang ada baitnya, ndelujur tak jelas. Mencerita kehidupan Jakarta, sayangnya berisi hal-hal yang unfaedah. Rerata malah menjelaskan betapa penulisnya berpikiran sempit. Seperti menjelaskan caddy golf, itu menjurus ke selakangan. Tak semua caddy seperti itu gan. Atau bercerita tentang kawin kontrak, cara menyampaikannya saja amburadul. Maksud hati nyinidr area Cisarua yang banyak orang Arabnya, malah bablas, bahkan ada lagi di puisi lain tentang nikah siri atau arisan sosialita tentang brondong. Dahlah! Kalau pameo, apa yang ditulis adalah bentuk pribadi penulisnya. Maka yah, begitulah sekiranya isi buku ini.

Yang lumayan ok paling ‘Muatan Kebijaksanaan Para Filsuf Buronan’. Di mana disinggung kata-kata yang tertera di belakang truk begitu aneh dan nyeleneh, nyelekiti sekaligus ada benarnya. Permainan kata yang disajikan memang unik dan menyenangkan di mata. Namun malah keseluruhan malah bahas pribadi rerata sopir truk yang kelelahan. “Biar penghasilan pas-pasan tapi istriku sehat dan juga gemuk / Apa ini saatnya aku cari perempuan lain yang lebih seksi dan mudaan, nduk?”

Atau ilustrasinya Ok-lah. Menggambar bagus itu sulit, sama sulitnya mencipta kata-kata bijak. Penggambaran tiap puisi terwakili. Cover-nya Ok, lukisan abtsrak tiap judul juga dibuat samar dan justru yang samar adalah bagian dari keindahan. Yah, masak aku baca buku puisi tapi yang kupuji gambarnya. Mending aku beli komik sekalian dah.

Dan ternyata feeling-ku bahwa ini terinpirasi Vicky Prasetyo terbukti. Di nomor 24 berjudul ‘Musik Kontraversi Hati Penderita Skizofrenia’ ada sub judul “Puisi Vickinisasi”. Ya ampun, pantas saja sudah terbaca memualkan. Ternyata rujukannya selebriti itu to. Kiss My Age! You damn twenty nine!

Keputusan aku membeli buku ini sebenarnya iseng sahaja. Pas kutanya ke grup WA grup Buku, taka da yang merespon. Lantas ku googling, hasilnya tak banyak. Hanya sejenis endorsement singkat, buruknya hal itu memicu rasa penasaran. Apa maksud puisi baru, apa terobosannya, apa yang mau dibikin nyeleneh/anti mainstream. Eh kek gini, ya ampun. Rasanya buang waktu saja. Rugi waktu, biaya, tenaga. Lantas kenapa tetap kuulas, ya semua buku baik yang menyenangkan atau yang busuk tetap kuulas, biar pembaca blog tahu seberapa rekomendasi sebuah karya. Dan jelas, Jakarta Breaking Poetry adalah sampah belaka. Nonsense. Skip keras!

Jakarta Breaking Poetry Series #1 | by Foentry.com | Copyright 2015 | Penerbit buku Foentry, April 2015 | CV. Foentry TSI | Editor Foentry.com | Desain cover Joshua Santoso | Layout & Ilustrasi Joshua Santoso | ISBN design Foentry.com | Distributor Foentry.com | ISBN 978-602-71-6300-3 | Skor: 1.5/5

Karawang, 261021 – Billie Holiday – Me My Self and I

Thx to Latifah Book, Yogya

Menakjubkan!


Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan oleh Raudal Tanjung Banua

“Kata ibuku, iblis tak penah mati!”

“… Makin jauh, makin kasih hati kepada mereka yang berpisah. / Apa yang kukenang? Masa kanak waktu tidur dekat ibu. / Dengan membawa dongeng dalam mimpi tentang bota. / Dan raksasa, peri dan bidadari. Aku teringat. / Kepada buku cerita yang terlipat dalam lemari…: (Subagyo Sastrowardoyo, “Manusia Pertama di Laur Angkasa”, 1970)

Tentu saja ada sejuta variasi bagaimana sebuah dongeng dapat dikisahkan: rasio narasi terhadap data; kecepatan, alur, dan nada. Titik dalam narasi tempat ‘menyusup’ ke dalam cerita. Kita semua akrab dengan dongeng, terutama dari orangtua, dan buku ini adalah serangkaian kisah-kisah dongeng yang dituturkan ulang dengan gaya. Entah nyata, atau banyak modifikasi, yang jelas tampak menakjubkan.

Menakjubkan! Ya, itulah komentarku seusai membacai. Campur aduk perasaan, dijabarkan dengan sabar, disajikan dengan istimewa. Cerita-cerita masa kecil dari orangtua, paman sampai neneknya, kita melangkah lanjut ke tema-tema masa lalu yang lebih umum, menorehkan kenangan. Menulis tentang masa lalu, sekali lagi kubilang sungguh aktual. Dan lebih mudah diimajinasikan. Sungguh nyaman, asyik sekali diikuti, seolah membacai memoar, menelisik nostalgia.

Wahai para penulis, Anda harus cukup menghibur pembaca hingga kita memberikan perhatian. Dan dongeng yang menghibur adalah syarat mutlak.

#1. Cerita-cerita Kecil yang Tulus dan Murni dari Ibuku

Cerita istimewa memang baiknya ditaruh di muka, cerita tentang tangga yang menghubungkan warga langit dan bumi terdengar menarik. Orang langit butuh garam tinggal turun, orang bumi butuh cahaya tinggal naik. Orang-orang justru lebih akrab lintas dimensi ini, sampai suatu ketika terjadi bencana yang pada akhirnya membentk kita dalam bertetangga.

Atau kisah Si Miskin dan Anak Raja, bagaimana seekor kumbang milik Si Miskin pada akhirnya kisah mencipta jodoh istimewa. Cerita raja bangau sungguh memilukan, ini juga bukan sekadar kisah, ini sejenis penggambaran cinta sejati yang buta. Sadis, tak berperikemanusiaan eh tak berperikebangauan.

#2. Cerita-cerita Kecil yang Sedih dan Menakutkan dari Ayahku

Selalu minta dipijat dengan imbalan cerita dari Sang Ayah. Angkut-angkut (aku gagal memahaminya pertama baca, sebab tak tahu ini binatang apa; sampai akhirnya aku googling seusai lahap) sejatinya berasal dari manusia yang menunggu padi masak buat disabit, sia-sia.

Kisah tikus betung memelihara bayi manusia menjadi inspirasi balas budi. Jangan lagi Utung masuk ke rumah orang. Utung sudah tua dan istirahat saja sekarang.” Utung, rumpun betung.

#3. Rangkaian Cerita yang Menyertai Wabah di Kampungku

“Sering-seringlah memandang Bukit Talau. Banyak gunanya. Melihat awan, meninjau hujan.” Ini kisah-kisah isyarat alam yang menjadikan informasi akan datangnya kejadian buruk sehingga warga bisa antisipasi, atau minimal persiapan. Ada saja jenisnya, suara-suara misalnya. Atau kisah lucu pasukan tikus dan babi yang menyeberangi jalan dengan saksi sopir ngantuk di malam pekat. Ada-ada saja.

#4. Cerita Kecil tentang Pohon dan Belukar Masa Kecilku

Lucunya. Batang kayu putih yang salah tangkap jadi olokan tak sopan. “Khalera, ini tidak bisa disuling! Ini kayu sampah!” dan kisah-kisah masa kecil dengan pohon, kerbau, belukar, dst ini jelas menjadikan kita kenangan masa kecil sungguh berharga dan tak ternilai.

#5. Cerita Kecil yang Menyentuh Iman dari Nenekku

Nenek adalah semesta kisah, rujukan cerita masa kecil banyak orang, terlebih jika itu menyangkut keselamatan dunia akhirat. Berkisah kehidupan sesudah kematian mencipta cekam, bagaimaian malaikat Raqib dan Aqib menggedor dinding kubur. Menanyai banyak hal, mencipta jerit bagi para pendosa, tapi tak ada manusia di atas tanah yang mendengarkan, kecuali binatang. Maka selagi masih hidup, berbuat baiklah. Duh, sungguh bijak bestari.

#6. Cerita Campur-Aduk dari Pamanku

Dari Paman Untung Sudah, nama dengan segala arti dan makna. Ia pernah cerita, mengajak mendatangi ke kota. Ke mana? Padang? Batangkapas? Jakarta? “Lebih jauh dari Jakarta; untuk apa ke sana, dulu mereka kirim tentara kemari! Kita pergi lebih jauh dari Amerika, bahkan luar negeri pun lewat, sebab ini berhubungan dengan akhirat.” Hehe, bisa-bisanya.
Jodoh paman Untung sendiri disampaiakan dengan unik, pencarian berbuah manis berkat bantuan sang kiai.

#7. Cerita Rakyat dari Daerahku atawa Dendang Membara Pirin Bana

Pandai memainkan perasaan, seolah mengaduknya dalam bejana, itulah keunggulan Pirin Gadang atau Asmara. Kritik sosio politik menjadi membara kala dicerita di atas panggung. Ada tiga Pirin di sini, pertama Pirin Gadang atau Besar; kedua Pirin Ketek atau Kecil, dan terakhir Bana nah yang ini tersingkir karena dalam penampilannya menyentil proyek jalan terbengkelai dari pemerintah. Gara-gara ‘Insiden Taman Budaya’, ia lantas menghilang, Aku lalu mencoba menyewanya untuk tampil di acara khitanan anakku. Dan drama terjadi, saat penampil muncullah mobil plat merah yang berupaya membubarkan pesta, tapi memang tak semudah itu. Hal-hal yang dirasa perlu disampaikan, tak selamanya berhasil dibungkam.

#8. Bersin

Gelitik ajaib yang meledakan hidung, niscaya bisa jadi pematik yang membalik keadaan. Sebuah malam yang keramat, rumah Bu Gendhuk yang tenang lantas geger sebab ada orang bersih di sana. Dan kedamaian dan ketenteraman mendadak sirna dari bumi. Hahaha… iso ae.

#9. Kisah Cinta Menikung si Tukang Kabung

Selalu ada jalan di lingkar adat nan bestari. Ini cerita paling lucu nan tragis. Dari pengamatan di pinggir jalan, di pasar yang riuh muncullah karakter unik. Pak Uba bersepeda jauh dengan menjual entah apa. Dia dijuluki manusia kabung, sebab hanya menjadi penyambung mantan suami istri yang telah bercerai lalu mencoba rujuk. Nikah kontrak demi sahnya ajaran agama. Lantas kasus besar terjadi sebab Marlena sang istri tak mau dicerai, fakta-fakta masa lalu sedih dan romantic-pun muncul. Luar biasa. Cinta sejati takkan pernah mati. “Ia telah menjelma jadi Gua Hantu, hahaha…”

#10. Cerita Laskar Merah dan Hilangnya Pesawat Terbang

Sedih dan begitulah bila info samar dijadikan patokan, atau bisa dibilang apes bila yang merespon galak-galak. Kisah hilangnya Merpati Nusantara Airlines dengan registrasi PK-MVS rute Jakarta-Padang membuat Kutar bin Katidin kehilangan dua gigi yang nyaris tanggal. “Kutar itu anak turunan Laskar Merah.”

#11. Kamus Cerita Abdul Muin

Kisah tragis mahasiswa mati muda yang mencoba menulis buku. Mencoba tampil beda, idealis dengan tema unik. Teman-teman kosnya di Yogya membuat buku yang laris dan mengikuti arus hype pasar, ia tak mau ikutan. Naas, Abdul Muin meninggal dunia mendadak. Dan saat kosnya dibersihkan, Aku menemukan draf bukunya. Cerita dalam bentuk kamus gaul yang sedap dibaca. Namun belum tuntas. Dan ini menjadikan Abdul Muin telah lebih memulai.

#12. Cerita Kecil tentang Jalan Masa Kecilku dan Segala yang Melintas di Atasnya

Memang, jalan yang dulu terasa jauh atau sebuah tanjakan yang dulu terasa tinggi, kini setelah dewasa ternyata tak sejauh itu, ternyata tak securam itu. Apakah karena kita yang sudah dewasa sehingga langkah dan tinggi tubuh menjulang, atau karena nostalgia itu sejatinya syahdu?

Aku sudah baca biografi Bung Karno yang mencerita perjalanan panjang di zaman mula Jepang ke Bukittinggi yang terkenal itu, nyatanya di sini jalan bersejarah itu terbengkelai, kenapa setelah merdeka bukannya diperbaiki, dijadikan rute napak tilas, atau minimal diperhatikan pemerintah (daerah saja dulu, jangan berharap pusat). Dunia memang begitu, mudah lupa, mudah terlupakan.Jalan masa kecilku sejatinya tak banyak berubah. Atau, ia menyusut ke masa lalu?

Ada satu cerita yang sayang kalau tak kusampaikan di sini, sopir truk tanki Pertamina yang mirip Raja Dangdut Rhoma Irama lewat dan cuek dari sapa warga, sampai suatu hari ia menabrak sapi Uni Jani yang mengubah gaya tengilnya.
Kubaca di sela saat pelatihan koperasi tiga hari dua malam pada 21.10.21 s/d 23.10.21, dapat separuhnya; separuhnya lagi kunikmati di akhir pekannya. Secara keseluruhan kandidat prosa KSK 2021, inilah yang terbaik. Dari Sembilan buku, hanya ini buku bernilai lima bintang. Sayang saat buku ini kupegang, pengumuman lima besar tak mencantumkannya. Cerita Kecil tersingkir justru saat kutemukan prosa yang istimewa.

Catatan ini kututup dengan kutipan dari Ishak Bashevis Singer, pemenang Nobel Sastra yang menulis berbagai genre, termasuk buku anak-anak, dia menjelaskan bahwa anak-anak membaca buku, bukan ulasan/ mereka tidak peduli sama sekali dengan kritik. Cerita-cerita Kecil walau tak seluruhnya cerita anak-anak, tapi Bung Raudal dengan efektif menelusur masa kanak-kanak, dan berhasil.

Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan Menakjubkan | oleh Raudal Tanjung Banua | xi + 192 halaman, 13.5 x 20 cm | Penerbit Akar | ISBN 978-602-50433-5-2 | Cetakan 1. Oktober 2020 | Desai nisi Framearts | Desain cover Nur Wahida Idris | Gambar cover dan isi diolah dari lukisan pada kap lampu | Skor: 5/5

Karawang, 241021 – Manhattan Jazz Quartet

9 down, 1 to go.

Thx to Jual Buku Sastra (JBS), Yogyakarta

Cerita Mini dari Kota Sejuta Rawa

Anak Asli Asal Mappi oleh Casper Aliandu

“Terlalu asyik, Teman. Alamnya terlalu indah.”

Cerita mini, mirip fiksi mini. Dan karena ini berdasarkan pengalaman penulis selama mengajar di Mappi, Papua maka bisa disebut fakta mini sahaja. Ceritanya terlampau biasa, terlampau sederhana, pengalaman sehari-har. Dan selain cerita mini, bukunya juga, hanya seratusan halaman. Namun harganya tak mini. Contoh buku mini harga mini yang kubeli tahun ini, Sumur-nya Eka Kurniawan. Satu cerpen dicetak, dijual dengan harga masih sungguh wajar 50 ribu. Anak Asli lebih dari itu. Sumur kubaca tak sampai setengah jam, Anak Asli hanya sejam pada Rabu, 13 Oktober 2021 selepas Subuh, ditemani kopi dan serentet lagu Sherina Munaf dalam album My Life. Serba mni, skor juga? Mari kita lihat.

Tak ada inti atau benang merah yang patut dikhawatirkan laiknya novel, tak ada alur yang patut diikuti dengan teliti, tak ada emosi di dalamnya, ngalir saja, tanpa riak sama sekali. Ini fakta mini, bertutur bagaimana keseharian Casper Aliandu mendidik, menjadi guru di pedalaman Mappi yang mendapat julukan kota sejuta rawa. Sah-sah saja, pernah baca beberapa kisah sejenis ini, tapi rerata memang biasa kalau tak mau dibilang jeleq. Termasuk ini. ditulis dengan sederhana, tanpa jiwa meletup, tanpa tautan penting ke jiwa pelahapnya. Cerita tak ada sinyal misalnya, yang mengharuskan ke kabupaten/kota hanya untuk terhubung internet, tak istimewa dan tak ada hal yang baru, wajar dong kan pedalaman. Kecuali saat cari sinyal bertemu singa dengan aumaaan terpekik, atau ketemu gadis jelita dan aku jatuh hati padanya, langit seakan runtuh. Atau cerita gaji yang terlambat, bukankah di sini di negeri ini hal ini sudah terbiasa sehingga apa yang harus dipetik hikmahnya? Korupsi atau alur yang panjang sehingga bocor bisa saja terjadi, dan memang sering terjadi; mau kritik sosial birokrasi juga tak mengarah dengan pas. Ngambang.

Atau cerita anak-anak dengan cita-citanya, dari pengen jadi perawat, dokter, guru, dst. Hal-hal yang juga bisa temui di sepanjang pulau di Indonesia. Kecuali bilang, pengen bercita menjadi bajak laut, atau penyihir wilayah Timur, atau penakluk naga, mungkin juga bilang ingin jadi pengusaha kayu gelondong, atau pengen jadi pendekar penjaga hutan, baru terdengar beda. Tidak, cerita-cerita di sini wajar dan apa adanya. Tanpa ledakan, tanpa letupan. Pemilihan diksi juga tak ada yang istimewa, tanpa kata-kata puitik, tanpa sentuhan bahasa sastrawi.

Tiap cerita dengan judul bahasa Inggris, nah ini. aku pernah komplain dulu penulis remaja bernarasi keseharian bersekolah dengan tiap bab dibuka dengan bahasa Inggris, hal ginian cuma buat gaya dengan esensi kedalaman rendah. Dengan dalil diambil dan terinspirasi dari pakaian yang dikenakan, judulnya malah terbaca ‘walaaah…’, kalau tak mau dibilang norak. Akan lebih eksotik bila judul-judulnya memakai bahasa asli Papua, atau yang biasa saja. Misal ‘Noken is Papua’, kenapa ga jadi ‘Noken adalah Papua’. Tak ada yang salah dengan bahasa Nasional. Namun ya itu tadi, gaya dikedepankan dengan cerita biasa. Coba aku ketik ulang lima judul pertama dalam daftar isi: Making magic happen, creating something from nothing, we started with trust, not just see but observe, life is nothing without love. Kalian bisa simpulkam, terdengar norak ‘kan? Seperti belajar bahasa Inggris level beginner. Ayolaaahh, ini KSK. Ini penghargaan sastra Nasional.

Sistem berceritanya juga dibuat beda, tiap karakter berbicara digambarkan dengan simbol; positif (+), negative (-), lingkaran (Ŏ), sampai sama dengan (=). Sah-sah saja, tapi tetap tak terlalu berpengaruh sama cerita. Tak ada tanda kutip untuk kalimat langsung juga sah-sah saja, mau dibuat aneh-aneh bentuk kodok, jerangkong, kuda nil juga monggo aja, sah-sah saja yang penting ada hal bagus yang didapat pembaca pasca-membaca. Ini negeri demokrasi, bebas berekspresi.

Ada dua cerita yang lumayan bagus. Tentang mencari ikan dan udang. Casper tidak bisa berenang, ia mengajak muridnya untuk berburu di tengah sungai. Takut riak dan khawatir perahu oleng. Hhhmmm… di kelas dialah gurunya, di alam, muridnyalah gurunya. Saling melengkapi. Begitu juga saat muridnya itu sudah lulus, dan ganti murid lainnya. Sama saja, keberanian naik perahu untuk seorang yang tak bisa renang saja sudah patut diapresiasi, tak semua orang berani di tengah air dalam dengan pengamanan minim, atau sekalipun dengan pelampung untuk lebih  tenang, tetap saja patut dikasih jempol. Pengabdian dan pengalaman serunya. Nah, cerita itu disampaikan ke sahabatnya. Bagaimana Casper apakah sudah move on dari pujaan hati yang terlepas, ataukah tetap tertambat. Hal-hal biasa, hal-hal yang wajar dan normal dialami semua pemuda. Pengabdiannya ke pedalaman untuk pendidikanlah yang luar biasa, tak semua orang mampu dan mau. Dan untuk itu, mungkin buku ini terjaring.

Buku ini terlampau tipis, mudah dicerna, mudah dipahami, cepat selesai, tak sebanding dengan harganya. Penutupnya mungkin akan membuat beberapa pembaca terharu, yah minimal tersentuh, perjuangan di pedalaman untuk menulis dan mengirimnya, tapi tetap bagiku biasa saja. Perjuangan yang lebih keras dan berpeluh keringat sangat banyak dilakukan pengarang lain. Haruki Murakami untuk menelurkan karya debut, begadang dari tengah malam sampai subuh lantas siangnya kerja keras sampai tengah malam lagi. penulis dari Timur Tengah dalam gejolak perang, menulis dengan suara dentuman bom sebagai teman. Maka, seperti kubilang, epilog itu juga biasa saja bagiku. Namun, keteguhannyalah yang tetap harus diapresiasi.

Prediksiku jelas, buku ini hanya sebagai pelengkap hingar bingar pesta KSK. Sudah masuk 10 besar saja sudah sungguh beruntung. Mungkin kedepannya harus lebih padat, tebal, dan dalam, yah setidaknya ada benang merah dari awal sampai akhir yang memancing rasa penasaran pembaca. cerita nyata pun harus tetap memesona.

Anak Asli Asal Mappi, Cerita-cerita Mini dari Papua | oleh Casper Aliandu | © 2020 | Penerbit IndonesiaTera | Cetakan pertama, Oktober 2020 | Penyunting Dorothea Rosa Herliany | Desain sampul Regina Redaning & Sabina Kencana Arimanintan | Lay out Irwan Supriyono | ISBN 978-9797-7531-46 | Skor: 3/5

Karawang, 141021 – Sherina Munaf – Sebuah Rahasia

Lima sudah, lima belum.

Thx to Stan Buku, Yogya. Thx to Titus, Karawang.

Love Strikes Twice: Aku Menyadari Segalanya tapi Segalanya Agak Terdistorsi, Seperti dalam Mimpi

 “You’re only young once.”

Do-Over. Mengulang lalu mengubah fakta. Mustahil rasanya di dunia linier ini. namun dalam sinema segalanya bisa. Menyenangkan menyaksikan film keluarga dengan keceriaan membuncah seperti ini. Konfliksnya dari dalam, tapi peluang penyelesaiannya dari aura luar dengan dibumbui fantasi dan kenangan. Film tentang perjalanan ke masa lalu dan mengubah apa-apa yang salah, tentu bukan tema baru. Sudah sangat banyak dan umum. Cara kembalinya juga variatif dan kreatif. Mungkin ini lebih mirip Sweet 20, minus lagu-lagu dan materi-nya yang dibalik. Dalam Sweet, orangnya yang jadi muda dan setting tetap di masa sekarang, di Love Strikes Twice orangnya kembali muda, dan memang waktu mencipta mundur ke tahun 1990-an, dengan lagu klasik, HP monoponik, dst. Namun yang tak berubah adalah otaknya, memori dan ilmu dan segala yang sudah didapat di usia 37 tahun itu masih nempel dan melekat sehingga di usia 22 tahun, ia terlihat hebat dan sungguh cerdas. Tema hura-hura bukan? Bisa jadi, tapi di sini sungguh manis sebab tujuan sesungguhnya bukan sekadar cinta, tapi sebuah perpustakaan umum Elmhurst yang disingkirkan, kini coba dipertahankan. Sebuah pilhan pararel untuk menghidupi harapan.

Kisahnya tentang Maggie Turner (Katie Findlay) yang sukses secara finansial dan karier, tapi mengalami kebosanan dan rasa hambar dalam keluarga. Di tempat kerja, bosnya memuji atas kecermelangan penyelesaian tugas, big bos pemilik bahkan kesemsem padanya. Bekerja di kantor bantuan hukum prestise di Chichago, ia sejatinya memenuhi impian masa muda, menjadi pengacara. Suaminya Josh Turner (Wyatt Nash) agak defensive, mungkin bosan. Ayahnya sakit, kakinya keselo sebab jatuh dari tangga. Ibunya terlihat murung. Adiknya jadi IT game, tapi merasa kesepian sebab belum menikah juga. Ada yang kurang, ada yang janggal.

Suatu hari mereka mudik untuk merayakan ulang tahun pernikahan orangtuanya yang ke-10 tahun: Estelle Hartman (Sharon Bajer) dan George Hartman (Alex Poch Goldin), disambut meriah. Ayah – ibunya masih romantis, masih sangat mesra, mencipta rasa iri sebab percintaannya sendiri di tepi bosan. Malam itu bahkan meminya pisah ranjang, ia ingin tidur di tempat tidur masa remajanya, dan jalan-jalan. Melihat suasana kota di malam hari yang sunyi, mendapati air mancur, yang iseng berdoa melempar koin. Jreng jreng jreng… keajaiban terjadi. Ia terbangun di kamarnya, kembali ke masa lalu.

HP jadul, bagaiman model lama, dan kota khas tahun 1990-an. Rambutnya pendek, tapi tetap modis, sederhana. Hubungan asmara dengan Rick Morgan (Marshall Williams) yang kaya raya, sahabat dengan Josh pengelola perpustakaan kota (calon suaminya), mereka sedang berjuang melawan dewan kota yang akan menghancurkan perpus, menggantinya dengan gdeung komersial. Komunitas baca melawan, demo dan menghalangi petugas, mereka ditangkap polisi dan diadili.

Dewan kota diwakili oleh Malcom Baxter (Erik Athavale), ayah pacarnya sementara Maggie tak menyewa pengacara, ia maju dengan pede dan lantang. Yo jelas, di masa depan ia jago debat, juara dah di panggung persidangan, ia bisa mengorganiasi dan ia bisa bernegosiasi. Maka penuntut yang notabene adalah Malcom (calon bosanya di masa depan), jadi saling silang dilema massa. Kita tahu dan yakin Maggie dan komunitas bacanya menang sebab pikiran, cederdasan, kedewasaan itu terbawa ke masa lalu. Maka hal-hal yang salah itu diperbaiki, benar-benar kesempatan kedua. Lantas kalau segala yang di masa lalu sudah keren, akankah di masa kini yang nyata juga turut keren?

Aku tandai bintang utamanya Katie Findlay, di sini cantik sekali. Tampil rambut pendek ataupun digerai menjuntai sebahu tetap menawan. Film-film berikutnya bakal kuikuti. Setelah ku googling, ternyata usianya baru 21 tahun dan CVnya belum banyak, belum pernah main film bisokop, kebanyakan hanya tv seri, dan sesekali main Film-TV seperti ini. nah, kabar baiknya ia menyumbang soundtrack di Zoey’s Extraordinary Playlist, empat seri. Ok, kukejar Kate!

Judulnya bisa berarti pilihan juga, sebab Maggie dilamar oleh orang kaya raya, dan diterima cincin tunangannya, ataukah tetap kembali ke sobatnya, yang di masa depan adalah suaminya. Sulit? Tergantung perpektif. Namun drai acara makan malam sama calon mertua kita bisa ambil kesimpulan dengan tegas. Ini masalah prinsip. Tanpa perlu ketemu atau bicara dengan mereka pun kita sudah bisa benci pada mereka. Orang kaya, dengan uang seolah bisa membeli segalanya. Membujuk Maggie untuk legowo. Di sini jelas Maggie memantabkan diri, oh ini pilihan yang jelas dan ternyata memang tak sulit. Uang hanya materi, kepuasan menggenggam idealism sungguh besar harganya, perjuangan tetap berdiri perpus kota saja terlihat eksotik, dan aduhai. Ucapan calon mertuanya memilin-memilin hatinya. Sulit berpaling sepanjang layar menyaksi ia dengan meyakinkan di persidangan menghajar bosnya, bayangkan. Pirang, muda, cantik, cerdas, anggun. Luar biasa, terlihat sempurna.

Temanya mengulang masa lalu. Premis akrab bagi penggila genre pengelana waktu, tapi tetap menyenangkan dan asyik sekali. Maggie terbangun muda dan menyadari pengulangan, seorang time-traveler. Aku menyadari segalanya tapi segalanya agak terdistorsi, seperti dalam mimpi. Ini semacam obat penawar setelah menyaksikan film Beyond Sixty yang melelahkan, orang-orang tua curhat. Love Strikes jelas penuh kebahagiaan dan kreatif, seru dan meluap-luap. Hal-hal percintaan yang terdengar fantastis, tetapi cukup layak.

Kita dapat menyesali diri karena melakukan tindakan tertentu, memberi komentar tertentu, tetapi kita tidak bisa menyesali perasaan. Tiap pilihan menciptakan mentalitasnya sendiri untuk mengada. Ingatan harus disiram seperti pohon bunga dalam pot, dan untuk menyiram itu dibutuhkan keteguhan hati, dan sahabat sekaligus calon suami sekaligus suami itu dengan gemilang berhasil meyakinkannya. Ingatan tak usang, dan cinta itu menyuburkan. Love Strikes Twice benar-benar meluap-luap penuh konvetti, ceria dan sendu bahagia. Kalian harus coba saksikan. Serius!

Love Strikes Twice | Year 2021 | USA | Directed by Jeff Beesley | Screenplay C. Jay Cox, Neal H. Dobrofsky, Tippi Dobrofsly | Cast Katie Findlay, Wyatt Nash, Marshall Williams | Skor: 4/5

Karawang, 121021 – Al Jarreau – Midnight Sun

Love Strikes Twice diproduksi oleh Cartel Pictures dan bisa disaksikan di Hallmark Channel Homepage

The Autopsy of Jane Doe: Aku Tidak Percaya Hantu, tapi Aku Takut Padanya

Tommy: “Jadi kalau kamu dengar bunyi ‘ting’ (di kaki), maka dia masih hidup.”

Aku tidak percaya hantu, tapi aku takut padanya. Dunia gaib berserta arwah gentayangan menghantui keluarga petugas otopsi. Ayah, anak, dan pacar anaknya dilingkupi horror, mencekam. Hal-hal mistis terjadi saat otopsi mayat istimewa, keganjilan bagaimana dibalik kulit mayat ada simbol sebuah sekte sihir dari masa lampau mendirikan bulu roma. Langkah antisipasi diambil, tapi segalanya berantakan.

Kisahnya dibuka dengan mendebarkan, sesosok mayat ditemukan ditimbun dalam lantai basemen rumah tua. Mayat masih utuh dan tampak baru walau sekelilingnya lusuh. Pihak kepolisian mengirimnya ke rumah keluarga Tilden untuk diotopsi.

Tommy (Brian Cox) dan anaknya Austin (Emile Hirsch) sebenarnya baru saja selesai tugas, tapi karena sobat polisi Sherif Burke (Michael McElhatton) meminta hasilnya esok pagi harus ada, mereka lembur. Sementara acara kencan nonton bioskop sama Emma (Ophelia Lovibond), pacar Austin diminta pulang lagi dan balik jemput nanti. Well, kengerian dimulai dari sini.

Mayat itu diberi identitas Jane Doe (Olwen Catherine Kelly), semua prosedur otopsi dilakukan. Kamera nyala, rekaman jalan, pembedahan dimulai dari pengecekan fisik luar lalu kepala dibuka. Turun ke tubuh, hingga tuntas di anggota kaki. Semua memang tampak janggal. Mayat yang sudah dikubur puluhan atau ratusan tahun ini masih utuh, darah segar muncul. Ngeri, seolah baru kemarin malaikat maut menjemput.

Makin mengerikan, mereka menemukan simbol di balik kulitnya. Simbol sihir dari masa lampau. Ini jelas bencana, teror digalakkan. Lampu mati, badai menerjang, pohon rubuh menimpa atap, pintu terkunci sendiri, bayangan hitam menyelingkupi, kabut sesaat menari, hingga terdengar suara asing meritih. Kita semua menyaksi efek bedah jenasah. Sebuah lonceng yang dipasang di ujung jari kaki sejatinya untuk memastikan tubuh ini sudah jadi mayat, maka saat pisau bedah menyentuh kulit, akan ada urat syaraf yang tertarik, menyalurkan energi itu untuk memberi tahu para petugas bahwa jiwanya masih ada.

Maka saat anak-bapak ini mencoba kabur dan sembunyi di kamar lain, dan muncul asap disertai bunyi lonceng yang bergerak, tahulah, mereka benar-benar menemukan mayat penyihir yang mengancam. Dengan celah yang terbuka, Tommy menghantamkan golok. Fatal!

Tommy yang frustasi bahkan meminta anaknya untuk langsung menembaknya bila ia nanti kesakitan dalam sekarat, ia lebih baik mati draipada menderita. Maka saat kembali ke ruang otopsi, dan tragedi berikutnya muncul, keberanian Austin diuji. Tak sampai di situ saja, saat ia mendengar langit-langit berderak dan mengira bantuan datang, adegan itu malah menjadi bencana berikutnya sekaligus penutup. Keapesan keluarga berurusan dengan mayat yang salah.

Olwen Catherine Kelly hanya berakting tidur sejak mula, dan saat layar ditutup ia tak ada dialog. Mayat memerankan karakter penting yang menghantui, ia memberi makna kalau lagi apes, masalah memang kadang mendatangi.

Genre horror memang ada di ujung daftarku, tapi dari beberapa referensi menganjurkan menikmati. Sesuai saran, kumatikan lampu, ditutup pintu dan jendela, kusaksikan tengah malam. Ditambah saat itu hujan. Aroma mistis coba dipanggungkan, mencipta suasana cekam. Memang mengerikan, walau temanya teror dari Dunia Lain, sejatinya plotnya masih bisa diterima.

Banyak cara untuk menakuti penonton. Para hantu adalah makhluk abadi sejati, di mana yang mati ‘dihidupkan’ sepanjang masa. Hantu-hantu memiliki vitalitas yang lebih besar pada masa kini daripada sebelumnya. Semakin hari semakin banyak, semakin variatif bentuknya. Para hantu yang menyatroni sinema, dan akan selalu seperti itu. Seolah para hantu tak pernah habis atau mati. Jane Doe, mungkin bukan hantu sebab ia tak menampakkan diri dalam samar. Kedokteran medis merupakan suatu ilmu terapan yang empiris. Ia bahkan benda padat yang dioprek tubuhnya, ia tak melakukan panampakan yang mengagetkan. Ia sekadar badan mati yang rebahan. Jenis horror yang tampak lain kan? Itulah, hantu-hantu modernitas. Setting di ruang otopsi, aura takut menguar dengan kuat. Hantu-hantu masa kini memiliki ketertarikan aktif bukan hanya dalam masalah publik, tapi juga seni.

Semakin manusia mengenal hukum alam, semakin tekun manusia mencari tahu masalah supranatural. Bisa saja mengklaim tak percaya takhayul, tapi tak benar-benar meninggalkannya. Sekalipun telah meninggalkan dunia sihir dan alkimia, manusia akan selalu masih memiliki waktu yang melimpah dalam penelitian yang bersifat psikis. Mereka telah mencampurkan horror dengan realitas.

Kehidupan memiliki geometri rahasia yang tidak dapat diolah oleh akal sehat.

The Autopsy of Jane Doe | Year 2016 | England | Directed by Andre Ovredal | Screenplay Ian Goldberg, Richard Naing | Cast Brian Cox, Emile Hirsch, Ophelia Lovibond, Olwen Catherine Kelly | Skor: 4/5

Karawang, 220921

Rekomendasi Lee dan Handa, Thx.

I and the Stupid Boy: Seorang yang Pikirannya Semrawut akan Melakukan Tindakan Secara Semrawut Pula

“Dalam hidup ini kita tidak akan berhasil, kalau kita tidak berani mengambil risiko.” Agatha Christie dalam Nemesis

Peradaban manusia sangat berutang pada ilmu dan teknologi. Teknologi selalu bermata dua, tajam menyayat kepedihan dan fungsi guna kemajuan. Di tangan para remaja bermasalah, yang mengedepankan penasaran dan pertalian sahabat, bisa memicu pornografi. Lihat saja, iklan aplikasi temu syahwat yang bersliweran di beranda sosmed, rerata menawarkan kemudahan kopi darat untuk mencari pasangan. Bisa dipilah apa saja bersadarkan kriteria, dari sekadar hobi, jual beli, pengembangan pergaulan, hingga cari pasangan. Namun sisi negatifnya, tersebab hati orang tak ada yang tahu, orang jahat juga bertebaran. I and The Stupid Boy menawarkan plot sejenis itu, efek buruk gadget yang dengan mudahnya pornografi tersaji. Apalagi kamu bersahabat dengan pemuda IQ jongkok. Waspadalah!

Kisahnya tentang Nora (Oulaya Amamra) siap kopi darat, ia berdandan, ia memiliki agenda bersama seorang pemuda yang tampak ideal. Ia mengirim banyak gambar ke orang asing, yang sayangnya beberapa menampakkan dirinya berpakaian minim atau bahkan bugil, kita tak tahu karena hanya mengetahuinya dari dialog. Setelah tampak rapi dan modis ia berangkat.

Di tengah jalan ketemu sahabatnya, mantan kekasih Kevin (Kaouther Ben Hania) yang menggoda. Berkomunikasi berbasa basi, lantas kepo sejatinya ketemu siapa sih? Saat ia membuka handphone-nya, apes Kevin langsung menyambar. Sambil petak umpet, kejar sana-sini, teriak meminta balik, dan jangan buka file ini itu, Kevin menemukan foto-foto yang di-sher. Ia tampak cemburu, kesal, sekaligus memanfaatkan moment. File-file itu diteruskan ke handphone-nya.

Ia memasuki gedung kosong, gelap, dan tampak menakutkan. Tak ada jalan lain, Nora harus meminta balik handphone tersebut. Banyak hal-hal pribadi dan sensitif. Semakin ke sini semakin mengesalkan tingkah sang lelaki, lantas karena sabarnya habis dan ia memiliki kesempatan menghajarnya. Ia terpaksa melakukan.

Kukira ia tewas, tapi hanya pingsan. HP-nya diambil balik, lantas Kevin difoto dalam keadaan berdarah dan limbung, kali ini sekaligus balas dendam, menggunakan HP pelaku, sembari diancam disebarkan ke semua kontak, Nora meminta Kevin meminta maaf. Ancaman itu tak digubris, dan saat klik dilakukan kehebohanlah yang terjadi. Baik kehebohan dari para penerima file maupun di gedung itu. Lihat, satu klik menimbulkan gema panjang mengerikan. Kalau sudah terjadi dan kacau, lantas apa yang kita banggakan?

Seorang yang pikirannya semrawut akan melakukan tindakan secara semrawut pula. Memang lebih baik jadi ‘penakut’ dalam arti berhati-hati daripada terlalu berani lalu lengah. Ada pepatah yang berbunyi ‘banyak lalat tertangkap dengan madu, daripada dengan asam.’ Kenyataannya banyak yang terperangkap dalam nafsu justru dengan madu ‘kan. Orang-orang asing di luar sana banyak yang bermental tempe, memanfaatkan situasi dan teknologi untuk kepentingan pribadi. Nafsu dikedepankan, logika disembunyikan, nurani hitam. Walaupun ini bukan hal baru, tapi teknologi digital telah menjadi ladang maksiat yang subur.

Pada umumnya pertumbuhan jasmani wanita lebih cepat daripada pria. Dan pertumbuhan ini tidak selalu disertai dengan kematangan pikiran. Kematangan pikiran akan tumbuh belakangan dan biasanya dipengaruhi oleh pendidikan, pergaulan, dan sebagainya. Wanita, secara naluriah akan memilih lelaki yang tahan uji, tekun, dan sabar. Maka masa remaja menuju dewasa menjadi sungguh krusial. I and the Stupid Boy menawarkan plot yang kurang lebih seperti itu. Lingkungan dan pergaulan yang baik akan membentuk karakter yang baik.

Seperti kata Voltaire, “Pemikiran seperti jenggot. Tidak tumbuh sebelum dewasa.”

I and The Stupid Boy | Year 2021 | Italy | Short Film 14m | Directed by Kaouther Ben Hania | Screenplay Kaouther Ben Hania | Cast Oulaya Amamra, Sandor Funtek | Skor: 3/5

Karawang, 220921 – Michael Fanks – The Camera Never Lies

Film ini diproduksi oleh Miu Miu, dan bisa dinikmati di Youtube