Mengerikan, Semua Mengerikan

Night Shift by Stephen King

“Rumah ini dibangun dalam ketidakbahagiaan, ditempati ketidakbahagiaan, darah telah ditumpahkan di lantai-lantainya (sebagaimana kau mungkin sudah atau belum tahu, Bones, pamanku Randolph terlibat dalam kecelakaan di tangga menuju ruang bawah tanaj yang mengakibatkan kemarian putrinya Marcella; sang paman kemudian bunuh diri karena teramat menyesal…”

King lagi, dulu rasanya sulit sekali menuntaskan baca ini. Padat, terjemahan yang terlipat, hingga pembahasan horror yang tampak aneh, tapi entah kenapa seusai ulas Cell, saya ambil dari rak hari Minggu, 18 Sep dan berhasil dibaca cepat. Senin tak tersentuh karena ada tugas keluar kota, Selasa kubaca dua bab, Rabu, 21 Sep 2022 pagi sebelum kerja saya tuntaskan. Saya tak memahami aturan baca cepat/kilat, saya hanya baca saya, menikmati waktu. Santuy, hanya waktu luangnya diperbanyak aja. Nyaman, sangat nyaman sekalipun temanya horror.

#1. Jerusalem’s Lot

kisah digulirkan dengan cara surat-menyurat. Sang aristrokat Charles Boone dan pelayannya Calvin McCann baru saja tiba di Chapelwaite, rumah saudaranya Stephen. Rumah tua dan terabaikan itu dibersihkan, tetangga pada heran, berani-beraninya mereka datang dan akan tinggal di mansion tua dan angker tersebut. Banyak desas-desus yang beredar, bahwa rumah itu dikutuk, banyak hal buruk terjadi, suara-suara gaib, hingga tuah jahat menyelimuti.

Sampai akhirnya mereka menemukan peta tua di perpustakaan, peta Jerusalem’s Lot. Daerah dekat hutan yang dihindari semua warga. Dipatik rasa penasaran yang kuat mereka ke sana, dan menemukan banyak kegajilan. Kota hantu yang puluhan tahun tak disentuh kehidupan, debu, aroma busuk, hingga aura hitam. Di gereja yang juga terbengkelai, mereka menemukan kitab terbuka berjudul De Vermis Mysteriis (Misteri-misteri Sang Cacing). Saat dipegang, gereja bergetar dan serangan antah lewat. Sebuah peringatan keras sebenarnya untuk gegas pergi, tapi segalanya terlambat.

“Tuan Boone, Anda harus meninggalkan Chapelwaite dengan segera!”

#2. Gilir Kerja Pekuburan

Ini yang terbaik, bagaimana horror tikus dipadu dengan kelelawar menghantui. Bagaimana kalau tikus dan kelelawar bersatu, artinya ada kelelawar berbuntut panjang tikus! Serem. Dan begitulah, urusan uang jadi pemicu, tapi sekali lagi segalanya terlambat untuk dimengerti.

Warwick seorang mandor bangunan yang keras merekrut Hall, seorang gelandang yang sejatinya cerdas, pernah kuliah soalnya. Mereka dan tim sedang melakukan tugas membersikan gedung di baseman pabrik tua yang terbengkelai. Ada ribuan tikus, dan mereka harus membersihkannya.

Di ruang bawah tanah yang gelap itulah, mereka menarik selang, mengusir tikus-tikus jahanam yang sudah berevolusi. Tak disangka, ada ratu tikus sebesar anak sapi! Mengerikan, awalnya bertiga, tapi yang satu sudah kabur duluan karena takut, tinggal Warwick dan Hall, berhasilkah melarikan diri?

 “Jika ada tikus, hantam mereka!”

#3. Gelombang Pasang Malam

Virus A6 atau “Kapten Trips” yang menyapu kota. Sekelompok mahasiswa yang tersisa dan selamat pada malam bulan Agustus di pantai Anson, New Hampshire. Bernie percaya bahwa mereka bisa bertahan berkat antivirus A2. Virus yang bermula dari Asia Tenggara itu telah membunuh banyak orang. Saat di pantai menemukan manusia sekarat yang mengigau, langsung dibakar hidup-hidup, mengurangi resiko. Sampai akhirnya ditemukan fakta di antara mereka ternyata sudah terjangkit A6.

Sebuah dunia baru yang dibentuk, ataukah mereka turut musnah?

“Aku tidak merasa tidak enak, dalam pikiranku, maksudku. Kamu, lain lagi. Kamu banyak berpikir tentang itu. Aku bisa menebak.”

#4. Si Lubang Pintu

Perjalanan ke luar angkasa dan efek yang menjangkit para astronotnya sekembali ke bumi. Arthur yang sudah menginjak Venus kini memberi saran untuk tak melanjutkan jelajah ke sana. Ia gatal-gatal, bisa jadi karena terpapar mutagen alien yang berbahaya. Bermula dari ujung jarinya muncul mata alien, lalu lubang dicipta untuk mengintip kehidupan bumi. Para alien sendiri takut akan keberadaan manusia, sehingga mereka juga menunggu reaksi kehidupan.

Namun berjalannya waktu, bertahun-tahun setelah menghuni tubuh Arthur, mereka bermutasi dan makin besar menguasai tubuhnya. “Mereka menggunakan aku, sebenarnya memanipulasi aku.” Dari jari, merembet ke badan, dan sebelum terlambat Arthur harus membunuhnya, yang artinya bunuh diri. Apakah sisi kemanusiaanya yang unggul, ataukah egoism kehidupan? Mengerikan.

“Berapa banyak mantan astronot secara teratur menulis ke pejabat-pejabat di Washington dengan saran agar uang untuk penjelajahan ruang angkasa itu digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat?”

#5. Sang Pengoyak

Ini tampak absurd, mesin yang bisa berpikir dan membantai orang—orang yang menjalankannya. Mesin cuci binatu di sebuah industri pakaian baru saja membunuh karyawan. The mangle, nama mesinya bisa keluar dari prosedur penggunaan. Ada palang yang menghalangi orang di pintunya, bila ada anggota tubuh masuk, ada sensor yang seharusnya otomatis mesin mati.

John Hunton yang menyelidiki kasus ini semakin heran, saat kasus lain mengakibatkan kematian terjadi lagi. Dan dengan penelusuran lebih lanjut, mereka harus melakukan ritual pengusiran hantu dalam mesin. Dengan ugo rampe disertai mantra, mereka melakukannya. Oh, penghuni mesin ini sungguh kuat, dan mengerikan!

“Ayo, sebelum keberanian kita raib.”

#6. Suangi

Ini tragis, sungguh mengerikan membayangkan seorang ayah kehilangan ketiga anaknya karena makhluk gaib mengambilnya. Dr. Harper adalah psikiater yang menangani kasus Lester Billing. Lester mengaku melakukan pembunuhan terhadap anak-anaknya, dari diagnosis adalah penyakit kejang, jantung, dll. Kematian mendadak itu, sebenarnya di malam hari dimulai dengan igauan, atau teriakan sang anak: “Suangi… ada suangi, Papa.”

Sang anak menunjuk lemari terbuka, atau toilet terbuka. Dan begitulah esoknya mati. Begitulah, saat sesi terapi sejam sudah selesai, Lester keluar tak mendapati perawat, dan saat kembali, ia menemukan fakta mengejutkan lainnya.

“Jika tujuh ratus ekor monyet mengetik untuk tujuh ratus tahun, salah satu dari mereka akan menghasilkan karya-karya Shakespeare.”

#7. Sesuatu yang Kelabu

Ini tragedy keluarga. Seorang pensiunan yang gila minuman keras, menganggur dan mabuk-mabukan dari pesangon. Richie yang malang, menyepi dan jauh dari hiruk pikuk. Buat mabuk, ia selalu menaruh uang di atas lemari, anaknya akan membelikannya, menaruhnya, dan sang anak masuk kamar mengerjakan PR.

Henry yang pemilik bar, lantas tahu beberapa detail mengerikan dari cerita sang anak. Bahkan pernah memergoki ayahnya makan kucing hidup. Bau menyengat, hingga nafsu makannya yang luar biasa, Henry dan kawan-kawan lantas gegas ke rumah Richie untuk mengetahui apa yang terjadi. Mengerikan, Richie kini sudah jadi sejenis mutan, ia seolah makhluk jamur yang kosong, ia diminta keluar, dan gambaran ganjil itu membuat mereka ragu, apakah senapan akan ditembakkan atau tidak, sebab mereka tak tahu Richie apakah masih Richie atau sudah jadi monster?

“Pada suatu hari semua pintu dalam rumah terbuka lebar…”

#8. Ajang Pertempuran

Pembunuh bayaran yang galau dan menemukan diri diteror balik. Setelah melakukan tugasnya, Renshaw mendapat paket mainan berisi G.I. Joe Vietnam Footlock dari ibu sang korban. Sempat curiga berisi paket bom, tapi setelah dikocak tak ada suara detak jam, atau hal aneh lainnya, dibukanya paket.

Berisi mainan tentara-tentaraan, jip, tank, pesawat, dll. Paket mainan itu diluarduga hidup, mereka menyerang Renshaw hingga babak belur. Walaupun kecil, mereka banyak. Ia kalah senjata, kalah jumlah, kalah pengalaman perang. Dengan panik sembunyi di pinggi jendela, setelah jeda 15 menitan, ia menemukan kalimat dari para tentara, “Menyerahlah.” Oh tentu saja tidak, ia kini tersulut untuk melawan balik, dan meledakkan mereka semua. Hihi, mengerikan sekali pokoknya.

Hei anak-anak! khusus dalam koper Vietnam ini!

#9. Armada Truk

Sebuah rest area truk menjadi ajang bertahan hidup dari serangan aneh. Truk-truk itu hidup sendiri, menabrak apa saja yang ada di jalan tol. Seolah mesin pembunuh, menghancurkan apa saja di depannya. Di restoran itulah, enam orang bertahan hidup ala kadarnya, bersembunyi dan coba kontak tempat lainnya meminta bantuan. Sang aku, penjaga konter, sopir truk yang selamat, Jerry sang pemuda dan pacarnya, dan penjual bernama Snodgrass.

Mereka bertahan di restoran dari gempuran truk, dengan makanan seadanya, air seadanya, listrik yang tiba-tiba padam menambah suram. Saat genting kehabisan air bersih, dan truk-truk mulai jejer mengklakson, mereka pikir tamat sudah. Ternyata klason itu kode morse yang bilang, mereka kehabisan bensin, maka meminta para survival ini mengisinya dari pom yang ada atau mereka menabrakkan diri menghancurkan semuanya. Negosiasi itu alot terutama dalam resto tentu saja tarik ulur ambil tidaknya, dan setelah dipertimbangkan, mereka sepakat mengisi bahan bakar para truk.

Hingga akhirnya mereka mendengar suara deru dua pesawat terbang, apakah ada pilot di atas sana? Jangan-jangan…

“Aku pikir semua itu hanya gertakan saja!”

Sudah beberapa buku King saya baca, mungkin tak sampai menjadikannya penulis favoritku, tapi selalu bisa memuaskan, semua ceritanya Ok untuk ukuran genre yang bukan di andalanku. Polanya sama, horror psikologi. Mau cerpen atau novel, semuanya ndelujur bebas, bahasannya ke mana-mana. Sering kali keluar tema utama, mengalir bebas bak air bah, makanya rerata bukunya tebal-tebal. Untuk jilid 1 ini, ada dua pengantar. Pertama dari, John D. MacDonald, sebuah prawacana yang memicu untuk menjadi penulis. Pesan King selalu sama, “Jika anda ingin menjadi penulis, maka menulislah.” Tak ada rumus lainnya. Kedua Prakata dari sang penulis, panjang sekali, bisa jadi pembuka buku non fiksi sendiri. Poinnya, King menyukai tema-tema takut, berbagai penulis yang menjadi rujukannya, banyak membaca, hingga tips mencari ide bisa dari pengalaman. Sungguh nasehat yang jitu dan bermanfaat. Prakata ditulis di Bridgton, Maine tanggal 27 Februari 1977.

Banyak buku King di rak, dan akan terus kubacai. Bukunya melimpah, dan semoga waktuku juga. Terima kasih King, Anda hebat.

Bayang-bayang Temaram (jilid 1) by Stephen King | Diterjemahkan dari Night Shift | Copyright 1978 | Alih bahasa Wim Salampessy | Editor Dra. Y. Titik Lestari | Hak cipta terjemahan tahun 2004 | Penerbit Alice Saputra Communications, Co., | Skor: 5/5

Karawang, 210922 – The Cranberries – Promises

Thx to Toko buku Kharisma, KCP Karawang @ Feb’13

Mati, Truk, Menggeliat Keluar, Lompat, Lari, Seseorang, Pesan, Polisi, Obor Las

Room by Emma Donoghue

“Dan tempat-tempat itu juga nyata, seperti ladang dan hutan dan pesawat dan kota-kota…” “…” | “Tak mungkin. Mana mungkin semua itu muat?” | “Di sana, di luar.” | “Di luar dinding tempat tidur?” | “Di luar kamar.”

Buku dibuka dengan kutipan bagus yang mewakili sudut pandang Jack, sang anak.

Anakku: Kesukaran yang kumiliki. | Sementara kau tertidur, hatimu tenteram; | Kau bermimpi dalam rimba kesedihan; | Dalam malam berselimut merah tua; | Dalam biru kelam kau berbaring geming dan bersinar. Simonides (abad 556-468 SM), “Danae” (terj. Richmond Lattimore)

Lima tahun untuk selamanya. Mengubah segala hal yang selama ini ditempa. Buku ini, bisa jadi renungan ilmu psikologi. Lingkungan membentuk seseorang. Kita dicipta oleh keadaan sekitar, pendidikan sekitar. Makanya, yang kaya makin kaya sebab diolah oleh pendidikan dan pergaulan orang kaya, begitu juga yang miskin, pola pikirnya tetap miskin. Ya, pahit, tapi nyatanya seperti itu.

Novel dan film (baca di sini ulasannya) sama saja, bagus semua. Dibuat dalam dua babak utama, di dalam kamar dan adaptasi di kehidupan sesungguhnya. Dengan cerdas mengambil sudut pandang seorang anak lima tahun yang polos dan menggemaskan. Pendidikan itu penting, tapi lingkungan jauh lebih penting. Bagaimana sifat dan karakter dibangun di ruang sekecil itu. Dari lahir dan pada akhirnya kabur, bagaimana Jack beradaptasi sama hidup baru. Polos dan tampak sangat menyentuh. Seperti filmnya, menurutku bagian pertama luar biasa. Keren abnget, ide memenjara dan dengan segala keterbatasannya. Bagian kedua menurut drastis. Itulah mengapa orang suka drama pahit, sebab cerita pahit selalu mematik penasaran. Nah, untungnya, ending buku ini bagus banget. Pamit itu menampar teori-teori sosiologi, mengukuhkan betapa sempit dan lega itu sangat subjektif.

Kisahnya tentang Ma yang dikurung di kamar. Ia adalah korban penculikan, sang pelaku kita sebut saja namanya Nick Tua. Diculik sejak masa sekolah, dan kini ia sudah tujuh tahun berlalu. Diculik dijadikan budak seks, hingga melahirkan anak. Anak pertama meninggal dunia, dan dikuburkan di kebun belakang. Anak kedua, kini berulang tahun kelima. Jack, yang polos dan sangat menginspirasi.

Mengambil sudut pandang anak lima tahun, semua tampak penuh tanya. Bagaimana mendidik anak, itu sangat berpengaruh. Ma, dikurung di ruangan dengan kunci digital di bekalang rumah. Berbagai percobaan kabur sudah dibuat. Sedih sekali, menempatkan diri sebagai korban kekerasan seksual. Nick Tua, tiap beberapa malam mendatangi, bercinta dan Jack diminta sembunyi di almari.

Setiap minggu, ada traktiran. Artinya Ma dan Jack meminta barang, dan akan dicarikan. Dari obat, mainan, makanan, hingga kebutuhan mendesak lainnya. Dan begitulah, pola pikir Jack dibentuk. Sempit, dan sangat terbatas.

Tv menjadi hiburan utama, maka dirinya dibentuk oleh film-film kartun. Dora adalah yang paling sering disebut, maka ia suka menirunya, mengidolainya. Semua karakter kartun yang disaksi menjadi panutan. Kehidupannya benar-benar dibentuk dari kartun TV. “TV tidak menyala, aku rindu teman-temanku.”

Bacaan buku-buku klasik juga jadi hiburan, pengantar kehidupan Jack. Alice yang terjebak di negeri ajaib menjadi metafora kehidupannya. Kita seperti orang-orang di buku, dan dia tidak akan membiarkan orang lain membacanya. Maka Ma dengan sedih bilang, “Nah, aku seperti Alice.”

Segalanya dikira fiksi, dan Ma berulang kali menjelaskan di Luar banyak hal fakta. Tak hanya khayal, hal-hal yang tak bisa dipahami Jack. “Di luar ada segalanya. Setiap kali aku memikirkan sesuatu sekarang seperti ski atau kembang api atau pulau atau elevator atau yoyo, aku harus mengingat kalau semua itu nyata, mereka semua benar-benar terjadi di Luar bersamaan.”

Maka di ulang tahunnya kelima, sebuah misi penyelamatan disusun. Awalnya dibuat dengan scenario, Jack sakit keras dan minta Nick untuk mengantarnya ke rumah sakit. Demam, mual, dan tampak kritis. Nick diomeli, dan dibuat panik, tapi tak boleh menyentuhnya. Namun, berjalannya waktu, Ma mengubah rencana. Malam berikutnya, saat Nick datang, Ma memberitahunya Jack meinggal dunia. Digulung bungkus tikar, dan dengan akting sesenggukan, kesedihan kehilangan anak kesayangan, meminta Jack menguburnya jauh-jauh dari rumah, tak boleh dilihat. Permohonan terakhir yang jadi kunci utama misi.

Saat pertama kali di Luar, Jack ketakutan. Menghitung tikungan, dan mencoba kabur dari truk. Bertemu orang asing dengan anjingnya, menjadi penyelamat. Nick yang baru sadar ditipu, panik. Sempat mau menangkap Jack, tapi mendapat perlawanan si Bapak. Dan gegas telelpon polisi. Misi itu sukses besar, dan segalanya lalu berputar cepat. Impian Ma kembali menghirup udara bebas kesampaian, berkah aksi heroik Jack.

Lucu, bagaimana Jack menghadapi ketakutan dengan menghitung gigi, bolak-balik. Ada 20 pcs, tapi kadang terlewatkan. Kepolosannya saat mengambil lima mainan, bukan empat malah tampak betapa anak ini tak gegas paham dunia barunya. “Aku tidak mau menghitung deritan tapi aku melakukannya.”

Nah, kehidupan sesungguhnya dimulai di sini. mendadak terkenal. Beerapa hari dirawat di rumah sakit, mendatangkan psikiater, melakukan visum, perawatan intensif. Hubungan sama ibunya kembali tersambung, ibunya yang memanggilnya Gadis Kecil-nya kini sudah menikah lagi, ayahnya kini tinggal di Australia dengan kehidupan barunya. Begitu pula, dengan sang kakak, Palu yang kini sudah menikah dengan Deana dan punya anak Bronwyn. Yeay, Jack punya saudara.

Segalanya kembali terhubung. Jack berpikir keras sampai kepalanya sakit. “Aku tidak di dalam kamar. Apakah aku masih aku?”

Bagian ini, di film terasa boring. Sebab cekam kengerian sudah lewat, hanya bagian saat minum pil over itu yang bikin panik. Di buku sama saja. Separuh buku ini, melelahkan. Dari satu pengobatan ke pengobatan lain, dari pengenalan dunia baru Jack ke pengalaman lainnya, segalanya tampak baru, dan membingungkan. “Hanya ide yang sama yang berputar-putar seperti tikus di roda.”

Namun di buku, tampak lebih bagus. Terutama bagian saat Jack memaksa kembali ke Kamar. Ia memaksa Ma, yang tentu saja trauma, untuk kembali ke sana. Setidaknya mengucapkan selamat tinggal. Dan begitunya, novel ini terselamatkan ending yang luar biasa mengintimidasi. Lebih bagus bukunya, kalau yang ini. feel-nya beda.

Kubaca santuy bulan Agustus, dari tanggal 4 di malam selepas Isya sampai tanggal 21 lewat tengah malam. Buku pertama Emma yang kubaca, dan aku suka. Catatan saya tutup dengan kalimat filosofis ini, “Hanya karena kau belum pernah bertemu mereka, tidak berarti mereka tidak nyata. Ada lebih banyak hal di dunia daripada yang pernah kau bayangkan.” Bukankah begitu juga dengan Tuhan?

Room | by Emma Donoghue | Diterjemahkan dari Room | Terbitan Little, Brown and Company, Hachette Book Group, New York | Copyright 2010 | Penerjemah Rina Wulandari | Penyunting Jie Effendie | Cetakan ke-1, Agustus 2016 | 420 hlm; 14×21 cm | ISBN 978-602-385-136-2 | Penerbit Noura (PT. Mizan Publika) | Skor: 4.5/5

Room dipersembahkan untuk Finn dan Una, karya terbaikku

Karawang, 050922 – Tasya – Ketupat Lebaran

Thx to Andryan, Bekasi

Ada Hantu di Rumahku

Mr. Midnight #10 by James Lee

“Orangtuaku membawaku ke pemakaman tapi aku terpisah dan tersesat. Mereka pasti mencemaskanku…”

Khas R.L. Stine. Seolah bagian dari kasih horror remaja karya Stine, terutama Goosebumps. Templatenya sama, mengambil sudut pandang orang pertama, para remaja/anak-anak ini dihantui. Karena ini buku pertama James Lee yang kubaca, jadi sempat menebak hantu-nya mungkin hanya pengalihan isu, atau pemancing saja. Ternyata, beneran ada. Dan fun, jangan berharap horror penuh darah dan menakutkan, ini sekadar kisah hura-hura. Seperti rangkaian buku Goosebumps, memang terbuka untuk dikoleksi. Kalau dapat ya, diambil, kalau tak nemu tak mengapa.

Terdiri dua cerita.

#1. Siapa Penghuni Lain Rumah Kami?

Samantha Ming Yan dan adiknya Ashley mendapati kejanggalan di rumahnya. Saat Sam sedang ngumpul sama teman-teman untuk merayakan ulang tahun Katherine, Samantha baru teringat bahwa alamat tempat acara ditulis di kertas dekat telepon rumah. Maka, ia pun menghubunginya.  Bukan ibunya yang angkat, suara mendesah mengeja namanya, saaa… maaaan… tha… lalu ditutup. Saat dihubungi lagi, tak diangkat. Maka, saat sisa hari dengan muram mengikuti acara ulang tahun kawannya. Kawan-kawannya Erma, Cyril, Jet menenangkannya.

Ketika pulang, adiknya Ashley juga bercerita hal yang sama. Saat menelpon, hanya suara gemerisik dan mendesah. Ada hantu di rumah ini? keadaan makin gawat, saat kamar Samantha berantakan, dari jauh lampunya nyala, padahal ketika keluar kamar selalu dimatikan. Saat sampai rumah, lampu sudah padam.

Ditambah, banyak makanan di kulkas hilang, terutama daging. Jelas, ada orang asing yang masuk ke rumah ini. Maka, suatu ketika saat Samantha pulang drai lomba basket, mengambil jalur cepat melewati kuburan saat senja, ia melihat ada yang mengejarnya, entah anjing atau serigala, ia mendapat trauma ketakutan. Benarkan ada hantu yang meneror rumah ini?

Dia diberi nama William. Hhmmm… gitu ya, dinamai penghuni lainnya.

#2. Hantu Sekolah Kami

Tim Hantu yang terdiri dari Diyanah Atiqah, Serene Siow, Gukkan dan aku sang pencerita: Khairi. Suatu ketika mendapati hantu gadis di sekolah. Cantik sih, tapi bikin gidik sebab bisa menembus tembok. Mereka yang mencari hantu, saat bertemu beneran malah takut. Lalu ditemukan kasus pencurian. Komputer, sepeda, dan lainnya di sekolah hilang.

Anehnya, barang-barang itu ada di rumah Khairi. Jelas ia panik, kasus pencurian konsekuensinya berat. Merasa tak mengambil, mereka gegas ingin mengembalikan barang-barang tanpa ketahuan. Namun tiba-tiba muncullah si hantu gadis. Ialah pelakunya, dan ternyata ia ingin berteman.

Menyamar jadi adiknya, ikut sekolah. Ia di dunia hantu kzl sebab diperlakukan bak budak oleh sang master. Ia mengancam, menyuruh-nyuruh. Saat kenyamanan tercipta. Si gadis diberi nama Michelle Girl, menjuarai segala lomba olahraga, dari lari, lompat, hingga segala hal mustahil lainnya, sang master muncul. Ia menuntut balik, ancamannya mengerikan. Berhasilkah?

Buku yang lumayan, karena sudah tahu ini buku remaja, maka saya menempatkan diri di posisi remaja. Mengalir saja, dan berhasil. Terlepas kekurangan ini itu, plotnya yang sederhana, kejanggalan hantu sekolah, hingga bagaimana musuh utama manusia serigala terlampau mudah dikalahkan, apa yang disampaikan langsung in. Tak perlu membelit panjang lebar, langsung ke inti-intinya. Unsur humor juga kental, dihadirkan oleh kawan kocak Jet. Unsur drama juga muncul, bagaimana portal secara dramatis dibuka dan mereka melompat. Uniknya, karakter hantu/makhluk itu, keduanya diberi nama langsung oleh mereka. Jadi seolah mencomot langsung dari udara, nama yang terlintas, dan itulah namanya, seperti memberi nama binatang peliharaan.

Diterbitkan oleh penerbit Genera, baru dengar. Cara cetaknya mirip dengan karya R.L. Stine. Bahkan dibagian akhir, diberi sinopsis atau potongan adegan satu bab penuh buku berikutnya, yang berarti buku ke #11.

Kalau kalian suka Goosebumps, saya jamin kalian juga suka Mr. Midnight. Horror remaja dengan kaget-kagetan setiap ganti bab. Dan beruntung, saya dapat seri kesatu sampai lima bulan ini. langsung satu bundel. Mari kita nikmati…

Mr. Midnight #10 | Who Else Living in Our House?; Our School Ghost | by James Lee | Terbitann Angsama Book, Singapura, 2004 | Copyright 2004 by Flame Of The Forest Publishing Pte Ltd | Penerjemah Yohanes | Penyunting Anisa Ami | Proof reader Tim | Layouter D.A. Muharam | Desaigner Mangoteen Designs | Penerbit Genera Publishing, 2010 | ISBN 978-602-9395-09-9 | Skor: 3.5/5

Karawang, 190722 – Eagles – Hotel California

Thx to Ade Buku, Bandung

Hello Ghost: Manfaatkan Masa Kini dengan Baik, dan Kau akan Ditempanya

“Apa yang kulakukan sekarang akan menciptakan siapa aku nanti.” Jean-Paul Sartre (1905 – 1980) dalam “Nausea”

Pentingnya menjaga kejutan tak bocor. Film lama yang sungguh nikmat dilahap saat kita tak tahu obsesi apa yang dijalani para tokoh ini, motif yang disimpan rapat sepanjang film dibuka jelang akhir. Segala yang tampak dan diperjuangkan, terlihat masuk akal, walau membantu hantu sendiri tak masuk akal. Hiburan sejati, seolah kita tercerahkan, ada hikmah yang bisa ditangkap saat credit title muncul, cieee…, di mana dukacita lama dipoles dan diubah menjadi harapan. Orang-orang di dimensi lain biasanya dalam film bisa mengamati kegiatan kita, lantas bila karakter utama kita bisa balik mengamati mereka, apakah semenakutkan yang dikira? Oh tidak, mereka orang-orang baik, maksudnya hantu-hantu baik dengan keingina aneh-anah sahaja, tak ada salahnya dipenuhi. Dan apa konsekuensinya? Harapan! Harapan adalah bahan bakar untuk mesin mental kita. Hello Ghost menawarkan air mata pengorbanan yang sangat pantas dipeluk seerat-eratnya, sehangat-hangatnya.

Kisahnya tentang Sang-Man (Tae-hyung Cha) yang gagal bunuh diri. Ia frustasi menjalani hidup, sebatang kara tertekan keadaan. Ada di titik lelah, disintegrasi pribadi. Berbagai cara dilakukan, terbaru, setelah minum banyak obat dan tak jadi mati, ia mengalami sejenis halusinasi. Hati kecilnya terjeblos ke dalam sunyi yang meresahkan. Di rumah sakit melihat hantu, bukan hanya satu tapi empat. Keempatnya meminta tolong padanya untuk melakukan hal-hal yang tak tuntas di masa hidup. Pertama seorang lelaki parlente sopir taksi (Chang-Seok Ko) dengan rambut sigrak pinggir dan hobi merokok. Ia semena-mena duduk di tempat tidur pasien. Ia jorok dan suka mengintip rok para perawat dengan melakukan tiupan hantu sehingga roknya terangkat terayun dikit. Hantu cabul dengan senyum genit nyaris sepanjang film. Hantu ini ternyata cukup arif, untuk menjaga agar kepribadiannya, kehidupannya (di masa lampau), perasaan-perasaannya, dorongan-dorongan keinginannya, tak terkuak langsung. Ia menginginkan kembali taksinya.

Kedua, seorang ibu (Young-nam Jang) yang menangis mulu. Ia hobi masak dan ingin menyediakan masakan keluarga spesial, melewatkan makan malam istimewa. Makhluk Tuhan yang menangis sampai terlelap kini bersiap-siap menguras air mata lagi dan lagi, sementara para tukang teriak pun akan segera kembali bersuara, dialah yang ketiga, seorang anak kecil (Bo-Geun Cheon) yang merengek minta ke bioskop dan makan permen segede ikan, dalam artinya sebenarnya. Terakhir lelaki tua (Moon-su Lee) berharap Sang membantunya menemukan kamera yang belum dikembalikan.

Karena Sang yang memang tak tahu mau ngapain lagi hidup, dan rasanya tak ada salahnya memenuhi harap para hantu gentayangan itu, serta ia ingin gegas terlepas dari kewajiban nyeleneh itu, (dan mungkin agar bisa segera mati tenang) maka satu per satu keinginan itu coba dikabulkan. Mereka ikut tinggal di apartemennya dan mengikuti kegiatan sehari-hari. Pikiran Sang jumpalitan ketika ia mulai diganduli, tapi itu belum seberapa, ia nantinya juga jadi penyampai pesan dari orang mati.

Dalam prosesnya, kita malah mendalami masa lalunya. Menemukan hal-hal umum, betapa hidup masih layak diperjuangkan. Apalagi ia jatuh hati sama perawat Jung Yun-Soo (Kang Ye-won), yang tentu saja memberinya ‘ada sesuatu di masa depan yang diperjuangkan’ seolah berbisik, ayooolaaahhh semangat. Cintanya bersambut, dan misi-misi itu segera dituntaskan. Roman mukanya yang bodoh itu memang tampak meyesatkan, hantu-hantu itu seolah tampak familiar dan mereka say hello, menyapa untuk tujuan mulia.

Lantas saat mendekati akhir, keheningan seakan berdenyut. Kita menemukan sebuah titik di mana mereka yang menghantui tak asing. Sang butuh beberapa detik untuk menyusun kepingan segala informasi itu, lantas saat ia menemukan klik, harus gegas sebelum terlambat. Saat kejutan ini ditampilkan di layar, dalam adegan dramatis berlari sebelum segalanya terlambat, kita malah menemukan hikmah yang pas dari film ini. Sayangilah mereka, orang-orang tercinta yang ada di sekeliling kita sebelum perpisahan ke alam berikutnya terjadi. Sedih ya? Ya, saya sampai menitikan air mata. Lega kan? Jelas. Hal-hal yang tak tuntas kini bisa ditutup kembali dengan rapat. Betapa berharga kesempatan. Betapa dunia fana yang ada batasnya ini begitu sempit, dan bersyukurlah semua orang yang memiliki kesempatan tumbuh dalam kasih sayang orangtua serta sanak famili.

Manfaatkan masa kini dengan baik, dan kau akan ditempanya. Suka sekali sama adegan akhir saat Sang dan Yun-Soo di kursi taman, seolah perjuangan sepanjang film ini dibayar lunas. Suasana taman masih tampak lembayung, dengan rona nada bahagia. Waktu seolah berjalan lambat dan menyebar. Nada-nada musik seakan-akan saling merenggangkan tanpa kehilangan tempo. Tidak semua film happy ending itu malesi, Hello Ghost justru film mencerahkan. Ide hantu-hantu baik yang menolong mengingatkanku pada Sartre tentang keberadaan. Ia pernah bilang, “Apa yang tersisa kalau Anda menyingkirkan warna, ukuran, bentuk, tekstur, dan baunya? Apa yang tersisa ketika Anda menyingkirkan emosi dan perasaan, rekaan dan gagasan fantastis? Ketika semua yang bisa Anda sebutkan hilang dan disingkirkan dari kehidupan, apa yang tersisa?” Sartre menjawab: keberadaan.

Manusia sebenarnya adalah makhluk yang diboncengi perasaan bersalah. Maka akhir yang indah ini meluap-luap. Melegakan semua orang, keberadaan orang-orang tercinta di manapun berada di dimensi lain sekalipun.

Hello Ghost | Year 2010 | Korea | Directed by Young-Tak Kim | Screenplay Young-Tak Kim | Cast Tae-Hyun Cha, Ye-won Kang, Moon-su Lee, Chang-Seok Ko | Skor: 4.5/5

Karawang, 290921 – Billie Holiday – A Foggy Day

Rekomendasi Lee, Thx.

Ready or Not: Petak Umpet Pengantin Baru


Grace: “In-Laws”


Cerita pengantin baru yang diburu dalam kastil keluarga di malam pertama, sungguh tampak mendebarkan dan eksotik bukan? Dibintangi si seksi Samara Weaving yang menebar pesona kecantikan nakal, pirang, dan penuh darah. Lihat saja posternya, menenteng senapan dengan dada penuh peluru bak Rambo. Di sekeliling oleh keluarga barunya yang tak kalah mengerikan mengancam dengan berbagai senjata. Malam yang seharusnya membahagiakan menjelma teror mematikan, dikejar waktu untuk sembunyi atau ketemu dan mati. Sebuah plot yang sejatinya kelihatan seram nan memikat, sayangnya jualan utama adalah pamer darah dan kengerian, dan eksekusi yang standar. Cerita sesungguhnya yakni motif di baliknya, hingga persembahan sihir yang dibuka ternyata berakhir biasa saja.


Dibuka dengan masa lalu di tahun 1989 dalam keluarga Le Domas yang mengerikan, pembunuhan kejam dalam silsilah keluarga baru. Merentang 30 tahun kemudian, kita dihadapkan pada kegembiraan gadis jelita Grace (Samara Weaving) dari keluarga biasa. Calon suaminya adalah keluarga kaya raya, Alex (Mark O’Brien). Sebelum Waktu-W janji suci, ia ragu dan gagu. Bisakah memasuki kalangan elit ini dengan tak memalukan? Kekasihnya meyakinkan, walau ada intimidasi dari ibu mertua. Begitu juga dari saudara-saudaranya. Bahkan ada yang genit. Muda dan bebal.


Setelah resmi, maka seolah beban berat itu sudah terangkat. Namun tidak, pesta sesungguhnya baru akan dimulai. The Game Begins.


Tepat tengah malam, saat seluruh keluarga besar Le Domas berkumpul, mereka memainkan undian dengan sang pempelai mengambil kocokan. Muncul opsi Hide and Seek, yang ditingkahi dengan nada huuufhh… Grace tak paham, ini hanya petak umpet kan? Ya, ia harus menghindar, bersebunyi dari kejaran mereka semua, sampai subuh, atau mati.


Dikira bercanda, tapi tidak. Ini jenis film gore di mana darah dan kekerasan diumbar. Seluruh keluarga bersekutu untuk membunuhnya. Gerbang ditutup, pintu dikunci, jendela dirapatkan. Cctv dimatikan, dan acara petak umpet pengantin baru pun resmi dimulai.


Aturannya, Grace harus berhasil bertahan hidup sampai subuh. Kalau berhasil tak mati maka para pemburu akan mati, sesuai mitos dan kutukan keluarga besar. Acara meriah ini lalu meliar dan sayangnya konyol. Sang suami benarkah sayang? Saudaranya yang suka menggoda, benarkah ia genit? Dan rangkaian kejadian yang tak masuk akal. Bagaimana bisa, menangkap satu tamu dalam perangkap sahaja bisa gagal? Konyol sekali bukan? Keberuntungan seharusnya tak akan bertahan selamanya. Kecuali sang pengantin memiliki kekuatan sihir dahsyat yang bisa menghilang pakai jubah gaib. Yang jelas mereka takut mati, tapi lebih takut lagi untuk memerlihatkan ketakutan mereka akan kematian. Diskusi panjang lebar, membagi tugas, menjalin kerja sama. Ini kisah horror, ini juga cerita jenaka dan juga ledakan aksi, tapi memang pesona utama adalah Samara Weaving walau tetap terjaga, terasa yaah… datar. Jadi di mana ujung kehidupan? Subuh yang merekah? Ataukah sihir hitam itu berhasil bekerja?


Ketika akhirnya adegan pecah kita pun rasanya memaklumi kengototan para anggota keluarga untuk membunuh sang tamu, tapi sekaligus tidak memaklumi sang suami yang mencoba menyelamatkan lantas di detik akhir melakukan hal lainnya. Tampak aneh memilih sisi dengan dramatis gitu. Sebagai penonton kita tak tahu hal-hal yang tersembunyi dibaliknya. Apakah sihir turun temurun itu benar-benar bekerja, atau sekadar ritual omong kosong. Sayangnya untuk sampai ke sana, kita terlampau banyak disajikan adegan kejar-tangkap ‘tak mendebarkan’.


Orang boleh kehilangan segalanya kecuali harapan, Grace masih berharap bertahan hidup hingga titik terjauh dan ia melawan balik dengan kekuatan maksimal. Pernikahan yang sejatinya memberi awal yang baik menjelma subtansi horror yang memabukkan. Kalian lihat, bintang-bintang di sana, ia berpihak pada sang protagonist malam ini. Ketakutan adalah bahan bakar untuk bertahan hidup. Ia mendengarkan suara malam. Bahkan kelelahannya pun tidak menjadi masalah, otot kaku dan perasaan tidak nyaman pada tubuhnya. Ia menikmati ketidakmatian dirinya. Ini sial nyawa dan ia melawan abis!


Seperti lautan api di atas daratan, mansion itu dibakar hebat. Seperti kilasan petir dalam awan, kita hidup kerlap-kerlip. Cemerlang bersimbah darah. Datang dengan ragu, pergi dengan gaya. Dengarkanlah bisikan-bisikannya, maka kamu tak perlu mendengar teriakannya. Siap? Aaaaarggghhhh….


Ready or Not | Tahun 2019 | Directed by Matt Bettinelli & Tyler Gillett | Screenplay Guy Busick, R. Christopher Murphy | Cast Samara Weaving, Adam Brody, Mark O’Brien, Henry Czerny | Skor: 3.5/5


Karawang, 160821 – 080921 – New York Jazz Lounge


Bisa disaksikan di Disney +

Seni Lukis dalam Frame Horor Mengelabuhi

Rumah Hujan by Dewi Ria Utari

Bagaimana mungkin aku tidak menyayangi ibu dari anakku.”

Kubeli Senin (9/12/19), kubaca kilat dua hari berikutnya (10-11/12/19) langsung kelar. Salah satu ciri buku bagus memang memberi penasaran pada pembaca. Mencipta kengerian – dalam tanda kutip, sehingga terhanyut dalam pusaran problematika sang protagonist. Sebuah dunia itu berupa kamar fantasi tempat semua benda-benda melayang.

Buku ini juga membuatku ketakutan akan fakta, bahwa salah satu karakter menurut kepercayaannya melakukan ritual, sebelum pada hari bertuah tepat pada jam satu malam, berkeliling rumah sambil menabur garam sambil mengucap mantra. Mengingatkanku pada (almarhum) ayahku Poncowirejo yang setiap magrib mengelilingi rumah, menabur garam dan membaca doa di depan pintu. Bahkan ayahku tak peduli sekalipun cuaca badai, hujan lebat. Pernah kutanyakan langsung apa yang dilakukan, beliau hanya jawab, ‘ritual jaga rumah dan penghuninya menurut Islam Kejawen.’ Karena memang doa yang dibacakan adalah doa yang dinukil dari ayat Al Quran. Sampai sekarang rumah joglo di kampungku masih asri, masih nyaman buat kumpul keluarga tiap Lebaran, dan hubungan semua saudaraku sangat baik. Ga pernah ada cekcok, ga pernah ada rebutan warisan, bahkan ketika kakakku minta garis tanah warisannya ditarik lebih lebar dari bagiannya, kita santuy saja. Saya sendiri tak terlalu peduli warisan, kita semua merasa berkecukupan. Tanah di Palur, dan rumah Joglonya asri.

Kisahnya tentang Dayu, pelukis yang sedang mencari rumah inspirasi buat mencipta karya. Dia mendapat informasi ada rumah bagus, ideal akan sepi dan murah. Rumah joglo di daerah Purwodadi itu milik janda yang baru meninggal. Sempat akan dirubuhkan, tapi sayang sehingga ketika sahabatnya Nilam menawarkan langsung diambil. Alasan Dayu mengingin joglo sendiri terlihat sentimental. Melalui manajernya Ariaji proses pembelian berjalan cepat dan lancar.

Kisah lalu begulir ke masa lalu, bagaimana Dayu menghabiskan waktu bersama keluarga. Ia begitu mirip dengan ibunya, Anjali. “Dayu? Wah kamu… sangat mirip ibumu.” Kata Cakra, yang lalu mengisi hari-hari remajanya. Cakra ternyata mencintai ibunya, tapi cinta itu tak menyatu. Ia adalah sahabat Mahesa, pamannya yang juga menghubungkan bisnis perkebunan dan segala alur asmara ini. “Dengan apa lagi kamu mengukur kesuksesan jika kamu tidak menilainya dengan uang yang kamu dapatkan?” Mungkin kalimat klasik orang tua kepada anak, hal yang sama disampaikan ayah Cakra yang lebih ingin mewujudkan impian jiwa mudanya ketimbang melanjutkan usaha keluarga. Namun cintanya pada ibu Dayu memang sangat besar, sehingga ketika ada kemiripan padanya ia jatuh hati. Dayu sendiri menyambutnya dan terjadilah percumbuan. Shock itu ketika Cakra ternyata sudah bertunangan dan gadis pilihan orang taunya yang menang. Diam adalah cara Cakra untuk membiarkan semuanya terurai oleh waktu meski selalu ada desakan kuat dalam diri Dayu untuk menjadi perempuan yang diinginkan, dikejar, dirayu. Ia sebenarnya gugup apakah ia cukup berani untuk melihat kesedihan di mata perempuan itu.

Mahesa sendiri sama saja, ingin mengikuti kata hati dengan merantau ke Bali membuka toko surfing ketimbang bersentuhan dengan perkebunan. Mana pernah aku peduli sama aturan baku atau yang mainstream. Ah… jiwa muda yang menggelora.

Misteri Narpati yang sering muncul di mimpinya perlahan namun pasti dikuak. Para penghuni rumah hujan, begitu akhirnya Dayu menyebutnya dituturkan dengan sudut yang nyaman dituturkan. Penampakan di studio lukis, jenis lukisan Dayu yang semakin hari semakin menakutkan – dalam artian artistik – sehingga makin laku di pameran-pameran, banyak dorongan mencipta karya istimewa, dan memori hubungannya dengan Cakra kembali timbul di rumah itu.

Dayu yang sering tak sadarkan diri, tampak menikmati luka. Justru ia merawatnya dengan intens. Arwah Narpati menawarkan sesuatu, dari alam bahwa sadar ia meminta semacam ‘kesalahan’ masa lalunya dituntaskan. Karena doa pada dasarnya mantra dan mantra melindungi rohnya. Memori alam gaib yang misterius itu menjelma dalam seni gambar di atas kanvas. Hanya kesadaran yang bisa mencegah tubuh kita dimasuki unsur lain. Dayu malah menemukan titik ilham ketika dalam tak kesadaran, di dunia antara. Yup, sekali lagi Doa itu sebenarnya sama dengan mantra. Ada teori yang meyakini bahwa harapan yang ketika diucapkan berkali-kali, seperti dalam doa, akan menjadi semacam mekanisme peringatan yang membentengi diri kita dalam bentuk medan magnet. Dayu harus berpacu untuk menyelesaikan permintaan Narpati atau korban-korban orang terdekatnya akan kembali terjatuh.

Selalu ada batas tipis antara menjaga diri khas dengan keenganan untuk melakukan terobosan yang bisa beresiko tidak diterima pasar. Sebuah karya, entah dalam bentuk apapun setelah dilepas ke pasar adalah milik publik untuk dinilai. Lukisan sendiri terlihat agung karena memang terbatas. Hanya kalangan elit yang bisa membeli karya terbatas yang aduhai. Kelas jelata jelas hanya mampu membeli, mengoleksi lukisan umum. Bahkan kalau kalian perhatikan, kaum jelata yang coba memasuki area kolektor lukis, tampak norak. Karya sederhana yang lebih murah, dan yang paling parah lukisan cetak yang dipajang di dinding ruang tamu. See…, seni ya gitu. Kita membeli keotentikan karya, sadis sih tapi faktanya seni lukis memang mahal. Alasan seni sering kali digunakan orang untuk menjelaskan keanehan orang.

Kalimat yang jleb salah satunya adalah ini: “Sudah jadi sifat manusia yang takut akan sesuatu yang tidak mereka pahami.” Benar banget, terutama generasi tua yang menghadapi banyak perubahan zaman. Perubahan digital itu menakutkan, percepatan teknologi sungguh luar biasa. ‘Dunia butuh perlambatan’, kata Bli De Coy sahabatku. Saya jelas sepakat. Penemuan-penemuan baru terus bermunculan dengan gagah dalam dua dekade ini. Manusia akan mendapat yang sepadan dengan yang diharapkan ketika ia mengatur hidupnya sedemikian rupa untuk mencapai harapannya tersebut.

Waktu dini hari yang sakral, sepertiga malam sering disebut di sini. Terutama jam tiga pagi sampai subuh karena menurut kepecayaan, itulah saat-saat roh kita sangat rentan. Buku ini terbagi dalam tiga bagian utama, O sebagai pembuka lalu sebelum, ketika dan setelah hujan. Setelah itu ada lima cerita pendek lagi. Pantas saja sub judulnya bertulis: ‘sebuah novel dan cerita-cerita lainnya.’ Dan syukurlah, cerpen yang disaji juga horor berkualitas. Puas.

Saya bukan penikmat cerita horor, baik medium buku atau visual gerak. Ga banyak kisah menakuti yang kuikuti, Rumah Hujan pun saya beli bukan karena genre itu, tapi lebih kepada sang penulis yang beberapa kali muncul di beranda sosmed, dan buku ini merupakan pengembangan dari cerpen ke novel. Beberapa buku yang kunikmati dari pengembang itu, mayoritas memuaskan, asal penulis sendiri yang mengembangkannya. Gentayangan, Kura-Kura Berjanggut, sebagian contoh sukses. Rumah Hujan, ternyata masuk ke golongan sukses itu. Daya pikat yang ditebar sepanjang halaman, mencekam gigil dengan interaksi pembaca, endingnya keren bagaimana jati diri seorang seniman yang dijual adalah seni dengan tanda langka, megah dan tak bisa dijelaskan. Sukses mengelabui pembaca, sukses mengelabui para kolektor seni lukis tentunya.

Ini memang kisah orang berpunya, enggak relate sama saya atau kaum jelata kebanyakan. Dayu terlahir sebagai anak tunggal yang memiliki kelimpahan materi, ga dekat sama ibunya ga bisa curhat nyaman sama ayahnya. Menciptanya sebagai pelukis, ga pelukis kere ya. Gaul sama golongan Kaya. Punya usaha keluarga di perkebunan, punya sahabat-sahabat yang mengisi ketika dibutuhkan. Berlimpah ruah kasih sayang sahabat, dari gambaran Cakra yang mencinta mati saja kita bisa bayangkan betapa tokoh utama kita sangat cantik. Sulit memang mencipta suasana orang-orang kaya mengeluhkan keadaan, sedikit karya cerita orang kaya yang sukses menyentuh penikmatnya. Dan ternyata Rumah Hujan, termasuk yang sedikit itu. Sebuah seni dalam cerita horor yang mengelabuhi.

Kegelapan yang membuatnya mengigil dan meniadakan kesadaran. Kesedihan sering kali melarungkan harapan dalam pelayaran tak bertepi. “Aku baru menyadari bahwa dari semua yang ada di dalam manusia, ingatan adalah hal yang terapuh.”

Rumah Hujan dan Cerita-cerita Lainnya | Oleh Dewi Ria Utari | 6 16 1 75 002 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Desain sampul Lambok Hutabarat | Editor Hetih Rusli | ISBN 978-603-03-2899-7 | 256 hlm; 20 cm | Skor: 4/5

Untuk almarhum eyang kakung, Siwidodo Sastrodikromo, yang memberiku kenangan akan perjalanan membonceng sepeda ontel, melintasi malam dan kuburan.

Karawang, 141219 – 130120 – Roxette – Sleeping in My Car

Jeritan Dari Pintu Kubur – Abdullah Harahap

“…di kota banyak kami dengar kabar-kabar aneh tentang kampung ini. Pencurian mayat bayi, tempat perampok berkumpul, kematian-kematian ganjil…”

Buku kedua Abdullah Harahap yang kubaca, setelah terpesona dengan Kolam Darah, saya memang memastikan akan membaca karyanya lagi. Sayang sekali, untuk kali ini kurang memuaskan. Saya sudah bersiap ketakutan, saya sudah was-was aura mistisnya, saya sudah antispasi membaca dalam remang Malam Minggu sendiri dan kutuntaskan hari ini (27/10/19). Sayang sekali, gagal terpenuhi. Jeritan Dari Pintu Kubur malah berjalan klise, dramanya bak sinetron azab yang tayang di tv tiap malam, endingnya ketebak, yang baik pada akhirnya menang, yang kalah ya yang jahat. Aura mistis yang kunanti juga nyaris ga muncul, hanya segelintir tanpa bikin merinding. Tumbal bayi malam Jumat Kliwon, jimat untuk pengasihan, tapi justru malah dendam kematian yang utama. Bagaimana arwah penasaran mencipta kengerian untuk menuntut balas.

Kisahnya tentang Parman, perampok yang selesai menjalani hukuman. Mendapati istrinya meninggal secara tak wajar. Ditemukan tewas nyaris telanjang di sungai, info yang beredar karena bunuh diri. Namun jelas bukan karena itu, pembaca sudah diberitahu bahwa kematian Lila karena ulah Pak Lurah (karakter tanpa nama) yang mencoba memperkosanya, dalam kamarnya ada lubang yang mengarah ke top roof, Lila lari dan di atap itulah, Lila terjun ke sungai. Lila menjadi arwah penasaran. “Persetan! Biar halusinasi, kalau itu jerit arwah isteriku, aku tak peduli.”

Parman adalah pembantu pak Lurah, maka karena ia akan diusir warga, ia minta bantuan perlindungan. Pak Lurah punya asisten Pak Bejo yang kekar dan plontos, gambaran jahat seorang antagonis yang bengis. Pak Lurah yang walau gugup, mencoba membantu. Namun suatu pagi, saat Parman sedang merenungi nasib di tempat ditemukannya Lila nyangkut di akar pohon sungai, ia menemukan keganjilan. Di tepian rumah Pak Lurah, di sungai itu ia menemukan kutang Lila, maka spekulasi Pak Lurahlah yang melakukan pembunuhan berkecamuk di kepala. Subuh itu, ia mendatangi rumah orang terkaya di desa itu. Teriak-teriak kayak orang gila, warga berkumpul, malah massa itu lalu mengeroyok Parman yang seperti orang gila. Lalu dirawat di klinik, Bejo diminta membereskan oleh bosnya. Malam itu, arwah Lila menolong Parman, karena menampakan diri dan membuatnya bersembunyi di semak menyaksikan Bejo yang coba membunuhnya pulang tanpa hasil.

Parman kabur ke Bu Lasmi, mantan istri Pak Lurah. Di sana ia cerita bagaimana kronologinya, karena pernah ada asmara diantara mereka, ada sendu yang menguar, tapi Bu Lasmi sudah berencana menikah, maka godaan Parman ditampik. Ia membantu perawatan Parman ke kota, dengan bus yang dalam perjalanan ia pingsan berkat banyak darah keluar. Naas, kaki kanannya harus amputasi karena sudah kena inspeksi, ia hampir putus aja. Sekarang bagaimana ia bisa menuntut balas dengan satu kaki?

Maka Bung Abdullah mencipta karakter bernama Dorothea, seorang suster yang wajahnya mirip Lila. Parman mengejarnya, mengeja Lila untuk perempuan yang merawatnya, nyaris membuatnya gila. Antara halusinasi ataukah penampakan ataukah ia sudah beneran edan. Nah, dari sinilah keklisean kisah dimulai. Sungguh kebetulan yang konyol dicipta, Tea yang bercerita pada kedua orang tuanya, lalu kita tahu identitas Tea yang ternyata bersaudara dengan Lila, lalu membantu Parman membalas kematian kakaknya, lalu amburadullah kengerian yang sudah disusun itu. “Hantu? Tidak ada hantu di dunia ini bung. Apalagi di siang bolong seperti kemarin, waktu kau kejar-kejar suster Dorothea…”

Pak Lurah seorang bisex, Bejo wakilnya adalah pasangan tidur, mereka memiliki jimat dari mayat bayi yang mati di malam Jumat, diawetkan dan disimpan dalam sebuah kotak. Barang siapa memilikinya, ia bisa tembus pandang. Dari situlah kekayaan Pak Lurah, merampok dalam senyap. Parman sendiri tertangkap dalam aksinya karena setelah melacur, ada rambut perempuan yang terselip sehingga ajian itu hilang.

Kisah menjadi makin tak jelas saat, Pak Lurah dengan mudah memecat Bejo, orang kepercayaan yang sudah lama mengabdi demi pemuda bernama Kardi yang mencari kerja, mengantar surat untuk Bejo agar pulang. Pak Lurah terkesima kemudaan Kardi dan nafsunya membumbung, Bejo sendiri saat sampai di kampung menemukan kejanggalan karena alasan ia diminta pulang, ayahnya sekarat dan akan membagikan warisan. Bagaimana ini merupakan jebakan, ibunya buta huruf dan adik-adik perempuannya hanya bisa bersolek. “Mengapa kau pandangi aku begitu? Mata pak lurah membayangkan ketakutan.”

Kisah berakhir dengan nyaris tanpa pukau, Pak Lurah menuai kejahatan, Parman menuai kerja kerasnya, Tea menemukan kejutan, bagaimana ia belum tampil tapi ada penampil lain yang ternyata arwah Lila sendiri yang muncul menuntut balas. “Aku bukan membanggakan diri, isteriku memang cantik. Itu salah satu sebab mengapa aku teramat mendambakannya.”

Agak janggal membayangkan Tea menolak dokter atau banyak lelaki yang menggodanya, ia adalah semacam perawat idola. Kalau dokter yang sudah beristri wajar, tapi begitu banyak pemuda lajang mengantre, lalu menjatuhkan pilihan kepada Parman yang terlihat gila? Semakin tercurah perhatian perempuan terhadap laki-laki, semakin tertumpah pula harapan lelaki lain yang justru mengharapkan perhatian itu ditunjukkan hanya pada dirinya seorang. Atau inikah yang dinamakan cinta? Cinta buta.

Cerita tampak terlalu mengada-ada, seolah orang jahat itu harus menuai kepahitan di akhir. Hati manusia abu-abu, kebaikan mengurus Lila dan ibunya memang tampak lumrah, tapi ia mengharap balas nafsu yang terlihat agak konyol. Legenda urban, dimana pencurian mayat yang dikubur malam Jumat Kliwon atau malam Selasa Kliwon memang ada, di kampungku dulu juga gitu. Keluarga akan mendirikan tenda di dekat kubur sampai 40 hari setelah penguburan. Serem? Begitulah nyatanya. Seolah ini memberi gambaran kisah semacam ini memang mungkin terjadi. Tapi jelas, ga sesinetron ini. Semua dendam apakah harus terbalas? “Aku akan datang untuk membalasmu!

Ini adalah buku bekas persewaan dan perpustakaan. Hurufnya sebagian kabur, kertas buram yang sudah berusia lebih dari 30 tahun. dari penerbit indi, dicetak tanpa ISBN dengan ukuran sedikit lebih besar dari buku saku. Ada stempel merah ‘Perpustakaan NIKA’ Delanggu dan ‘Taman Batja Galiuk’ Kauman 120 Pati. Sayang sekali halaman hilang dua, halaman 63-63 bagian yang agak panas ketika Parman berkunjung ke Bu Lasmi, perempuan yang merenggut perjakanya. Bagian itu jelas disobek, kepingan kisah menjadi tak lengkap.

Dengan kekecewaan ini apakah saya tak berniat lagi akan kisah horor Abdullah Harahap? Nope, sesekali memang perlu terpeleset untuk menggapai harap lagi. Jeritan Dari memang gagal memenuhi harap, tapi jelas ini hanyalah pijakan horor kecil untuk letupan seram selanjutnya.

Dorothea tertengadah. Takjub.

Jeritan Dari Pintu Kubur – Abdullah Harahap | Cetakan pertama, Agustus 1984 | Penerbit ‘GULTOM’ Agency | Skor: 2.5/5

Karawang, 271019 – Bee Gees – You Should Be Dancing

Buku dibeli di lapak buku bekas Gladag, Solo pada tanggal 29 September 2019 beli 5 hanya 20k bareng Damar Laziale

13 Buku Baru

image

Well, ditengah gempuran Sidney Sheldon yang kini memasuki buku keempat dan lima buku baru bulan ini baru selesai datu buku, saya kembali membeli buku baru. Tak tanggung-tanggung, 13! Terlihat seperti angka sialan, tapi yasu dahlah. Seperti yang sudah saya bilang, saya adalah pembaca segala. Di rak saya ada buku Budha, Injil, kumpulan Hadist sampai ratusan kisah fiksi, novel mendominasi. Kenapa saya membeli 13 buku baru sementara ada antrian panjang baca? Jawabnya ada dua. Pertama bulan ini ada rejeki lebih yang memungkinkan untuk menambah koleksi buku. Walau ditengah cekikan cicilan rumah dan mobil, Alhamdulillah kalau disyukuri selalu saja ada jalan buat beli buku. Kedua saat main FB ada teman lama, Ari (TB Rindang) dari Klaten yang sedang menawarkan promo bundel buku 100.000. kebetulan ada buku incaran, jadinya sekalian saja ditumpuk.

#1. Relentless Tak Kenal Ampun (Dean Koontz)
Ini adalah alasan utama kenapa saya ambil buntelan itu. Pengalaman pertama saya dengan Dean Koontz berujung ketakjuban dalam Intensity. Membaca back-covernya sepintas jelas ini akan semenarik yang pertama. Tak akan jauh dari kekejaman penuh darah, pembunuhan berencana dan adu cerdik antar tokoh. Pasti secepatnya ingin kulahap.

#2. A Werewolf Boy (Kim Mi Ri)
Tak banyak cerita dari Korea yang saya ikuti. Berdasarkan film drama sukses (di sana) apakah benar Cinta adalah bahasa pertama yang dikenalnya? Kenapa saya kurang minat produk Korea, pertama kendala Bahasa. Sekalipun ada subtitle dan sesekali dubbing, kurasa tak senikmat mendengar English yang sedikit banyak dikenal telinga. Satu lagi, nama-nama karakternya yang mirip atau susah diucapkan apalagi dihafal. Apakah senorak Twilight?!

#3. Me Versus High Heels (Maria Ardelia)
Ya, saya menonton filmnya di bioskop 10, 9, 8, 7 tahun lalu? Mungkin akan jadi salah satu kenangan yang mudah terlupa saat menontonnya karena cerita yang sangat biasa. Sayangnya sampai sekarang masih ingat. Kisahnya klise tentang cewek tomboy yang jatuh hati dengan cowok keren (kalian tahu kan arti keren masa kini dimata remaja?) lalu mencoba segala hal bisa memikatnya. Namun rasanya perlu dicoba versi cetak seberapa lebai penuturannya. Ehem.. bukan karena filmnya yang biasa sih kenapa tak langsung lupa. Ya karena teman nontonnya yang tak biasa.

#4. Dan Surga Pun Tersenyum (Satria Nova dkk)
Kisah ketulusan dan rasa syukur wong cilik. Dari sinopsis back-cover sepertinya menarik tentang lika-liku laki-laki rakyat biasa dalam menghadapi kehidupan. Dari Penulis Permata Dalam Lumpur yang tak saya tahu. Sejauh ini belum ada terbitan Noura yang mengecewakanku, semoga ini juga.

#5. Bacalah Surat Al-Waaqi’ah Maka Engkau akan Kaya! (Muhammad Makhdlori)
Inilah kandidat terkuat buku yang tak selesai kubaca dari daftar ini. Dari judulnya sendiri terdengar bombastis walau tak dipungkiri bisa terjadi. Judul sudah memberitahunya jadi apalagi yang mau dijelaskan? Kuncinya adalah segera letakkan buku dan lakukan sekarang. Sisanya biar alam yang menyelesaikan. Ingin kaya, kerja kerja kerja!

#6. Diary Playgirl Kambuhan (Joshua Riwu Kaho)
Pernah dengar namanya? Tidak? Saya juga. Saya tak anti-teenlit karena pernah dibuat terpesona juga kisah anak sekolah yang bagus. Tapi saya tak akan berharap banyak akan buku ini. Dari judulnya saja sudah pesimis. Namun sepertinya cocok nih dibuat sebagai buku pembuka dari daftar ini.

#7. Sentuh Dia Di Titik Nikmatnya (Dr. Ali Isma’il Abdurahman)
Kandidat terkuat kedua yang tak kan selesai dilahap. Membangun hubungan seks suami istri yang indah dan harmonis. Yah, kita semua tahu di mana titk yang dimaksud. Jadi apa menariknya membaca buku semacam ini? Dan lagi, saya tak tertarik pelajaran anatomi.

#8. Mission Pocongible (Andhika Wandana)
Wah saya selalu ilfil kisah plesetan. Ada beberapa yang pernah saya baca tak ada yang bagus. Sepertinya ini juga akan sama. Buku semacam ini memang cepat kelahap karena bobot isinya yang ringan dan sambil lalu. Ya ya ya…

#9. Russell Troy The Monster’s Ring – Cincin Monster (Bruce Coville)
Akan jadi buku pertama kisah ‘A Magic Shop Book’ yang akan saya baca. Back-cover-nya terdengar seru ala Goosebump. Ketika Russell Troy membeli sebuah cincin si penjual bilang itu bisa mengubah orang menjadi mosnter. Merasa kalau itu hanyalah bohong, dia mencobanya. Tapi, Russell tidak membaca petunjuknya dengan cermat!

#10. The Day I Die – Suatu Hari Ketika Aku Mati (Fannie Flagg)
Saya tahu buku ini 4 atau 5 tahun yang lalu. Sempat ditimang-timang nyaris saja masuk ke keranjang beli andai saja budget saat itu mencukupi. Ternyata kalau memang jodoh tak kemana, karena sekarang saya mendapatkannya dengan harga jauh lebih murah. Semoga seru.

#11. Kuntilanak Pondok Indah (Lovanisa)
Setiap saya lihat buku horror semacam ini saya selalu ingat teman seangkatan dari KCB (Keluarga Cendol Bekasi) Ari Keling. Saat pertama bertemu dengannya dia belum punya karya satu-pun. Kini bukunya ada banyak yang nyaris semuanya horror. Embel-embelnya sih keren, “Awas Mencekam”. Oke mari kita lihat.

#12. All Through The Night – Sepanjang Malam (Mary Higgins Clark)
#1 bestseller international bukanlah jaminan kualitas. Namun sepertinya ini akan menyenangkan, akan jadi pengalaman pertama saya dengan Mary Higgins. Petualangan menjelang Natal. Oke, kalau ini bisa memuaskanku akan saya buru buku Mary Higgins yang lain.

#13. Saga No Gabai Bachan – Nenek Hebat Dari Saga (Yoshichi Shimada)
Daripada Korea saya lebih memilih Jepang. Ini bisa jadi pertempuran yang pas dengan A Werewolf Boy. Dulu pernah belajar bahasa Jepang walau bisa dasarnya saja (apa kabar Hiragana? Apa kabar Katakana?). Pernah kerja di Perusahaan milik Jepang walau sekedar lewat jadi buruh. Dan asal tahu saja, Dragon Ball asalnya dari Jepang. Sepertinya saya akan sangat berharap pada sang Nenek untuk menyeimbangkan kualitas daftar ini.

Karawang, 031115 – Cinta Yang Dungu dan Hantu-Hantu