#Juli2022 Baca

“Betapa sekejap usia kebahagiaan.” – Tiga Cinta, Ibu by Gus TF Sakai

Dua buku tebal di bulan Juli berhasil kubaca cepat, 500 halaman dalam sehari! Dan 400 halaman non fiksi, dua hari. Waktu libur memang waktu yang tepat untuk menuntaskan bacaan. Nyaman sekali, enak sekali, sampai lupa waktu dan ruang. Sampai lupa kegiatan keluarga atau acara ke mana. Kalau sudah pegang buku, sudahlah, lupa segalanya. Bulan yang santuy dapat 12 buku. Semangat membara.

#1. Tiga Cinta, Ibu by Gus TF Sakai

Sederhana, dan menarik. Pusat cerita sejatinya bukan sang ibu, tapi cinta yang kandas dengan berbagai sebab. Pertama di Padang, dengan kegalauan akut mudik untuk meminta restu dan kelonggaran adat demi sang kekasih. Kedua, mahasiswa galau mencinta perempuan aneh yang di persimpang jalan. Ketiga, kali ini bukan rentang asmara kekasih, tapi kegalauan pasangan yang mendamba anak tapi belum siap program punya anak. Ribet ya? Enggak juga, manusia memang pusatnya kegalauan. Atas nama eksistensi, ketiganya dibaur samar. Padang, Banjarmasin, dan kembali ke Padang. Secara tak langsung ketiganya tak berhubung, tapi cinta ibu menentukan langkah antisipasi untuk diambil di kemudian hari.

“Hanya di Lembah inilah segala omong kosong masih mendapat tempat!”

#2. Laki-laki tanpa Perempuan by Haruki Murakami

Akhirnya saya berhasil menikmati buku asal film terbaik 2021. Ternyata banyak sekali modifikasi. Tim kreatifnya terlampau kreatif. Drive My Car versi cerpen sungguh berbeda dengan versi filmnya. Hanya poin-poin utama seperti nama karakter, fakta aktor teater, sopir wanita, hingga perselingkuhan sang istri. Mayoritas benar-benar dikembangkan sendiri. Pembunuhan terutama, itu tak ada. Hanya untuk menambah dramatisasi. Atau bagian film ‘dipaksa’ disediakan sopir, itu bukan keinginan tuan Yusuke Kafuku, padahal di buku, jelas-jelas dia sedang cari sopir sebab SIM-nya dicabut.

“Tidak perlu. Saya pernah bekerja sebagai sopir jasa antar paket. Peta Kota Tokyo sudah tercetak di kepala saya.”

#3. The Royal Game by Stefan Zweig

Menakjubkan. Bagaimana bisa dua buah cerita pendek, tapi tak terlalu pendek, bernarasi di atas kapal. Polanya sama, bertemu orang asing, lalu bercerita. Dua drama yang menakjubkan. Untuk buku ini, kekuatan cerita yang utama. Menegangkan, bahkan hanya dari dua orang duduk ngobrol kita turut khawatir dan ketakutan. Yang pertama, curhat dokter yang ketakutan sebab menyimpan rahasia gelap. Kedua, curhat mantan tahanan Nazi yang jenius aneh, sebab dalam penjara secara tak sengaja menanamkan buku catur di otaknya. Keduanya sungguh brilian cara penyampaiannya, cara menyelesaikan masalahnya, cara mengakhiri cerita.

“Bila Anda telah kehilangan segalanya, Anda berjuang mati-matian untuk yang terakhir yang tersisa, dan yang terakhir adalah warisannya kepada saya, kewajiban saya untuk menjaga rahasianya.”

#4. In a Strange Room by Damon Galgut

Dibagi dalam tiga bagian, perjalanan di tiga benua. Afrika sebagai home town sang penulis, ke Eropa ke tempat kenalan saat petualang, dan terakhir ke Asia, tepatnya Bombay, India. Secara umum, kisahnya acak, seenaknya bagaimana menyampaikan kisah, tak fokus ke mana arah mau dibawa cerita, makanya terbaca aneh, atau inti cerita mau ngapain jadinya tak jelas. Terlalu lama berkeliling tanpa menetap di suatu tenpat telah membuatnya jauh dari dunia nyata, bahkan ketika sejarah digoreskan di mana-mana.

“Aku sudah minum dua gelas kopi hari ini. aku tidak minum lebih dari dua gelas kopi tiap dua belas jam.”

#5. Mr. Midnight #10 by James Lee

Khas R.L. Stine. Seolah bagian dari kasih horror remaja karya Stine, terutama Goosebumps. Templatenya sama, mengambil sudut pandang orang pertama, para remaja/anak-anak ini dihantui. Karena ini buku pertama James Lee yang kubaca, jadi sempat menebak hantu-nya mungkin hanya pengalihan isu, atau pemancing saja. Ternyata, beneran ada. Dan fun, jangan berharap horror penuh darah dan menakutkan, ini sekadar kisah hura-hura. Seperti rangkaian buku Goosebumps, memang terbuka untuk dikoleksi. Kalau dapat ya, diambil, kalau tak nemu tak mengapa.

“Orangtuaku membawaku ke pemakaman tapi aku terpisah dan tersesat. Mereka pasti mencemaskanku…”

#6. Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children by Ransom Riggs

Mengejutkanku, foto-foto yang ditampilkan adalah asli. Sedari mula, kukira ini menjadi penunjang cerita, khas buku-buku lain. Ternyata, kita lebih cocoknya menyebut: foto-foto itulah yang menjadi dasar cerita. Kata-kata dicipta untuk menunjangnya. Penggambaran cerita, jelas dikembangkan dari sebaran frame. Dengan terang sang penulis bilang, ada ribuan foto lain yang tak bisa masuk, kudu selektif. Dan dengan ending menggantung, foto-foto yang tak ditampilkan kemungkinan muncul di Hollow City.

“Aku tahu kedengarannya gila, namun banyak hal yang lebih gila ternyata benar.”

#7. Bagaimana Madelijn Mempertahankan Redoute Hollandia by Miguel Angelo Jonathan

Sehimpuna cerita yang rerata menyinggung sejarah. Dari penelitian ke Indonesia Timur sampai serangan benteng di Batavia. Dari legenda ular yang merupakan jelmaan putri, sampai sejarah kata mangkrak. Dari serangan yang berhasil meluluhlantakkan kota akibat kesalahan gerbang yang dibuka kecil, sampai bagaimana ikan lele berkembang biak. Semuanya diramu bebas merdeka. Sah-sah saja, tapi sayangnya rerata cerita pendek yang benar-benar pendek, jadinya belum panas, sudah keburu selesai.

“Kakek, kami tak mungkin membakar rumah! Kami bermain untuk senang-senang, dan membakar rumah tidaklah menyenangkan!”

#8. Enough by John. C. Bogle

Investasi. Sebuah kata yang sering kita dengar. Butuh perjuangan untuk merealisasikannya. Butuh konsistensi, apalagi buat buruh, di mana gaji ketika turun gegas dialokasikan ke kebutuhan apa saja. Buat kebutuhan sehari-hari, bayar cicilan, memenuhi hobi, tabungan, dan investasi. Buku ini tak membahas tata kelola investasi, tapi langsung ke pokok-pokok pentingnya. Ditulis langsung oleh seorang founder Reksadana terbesar di dunia, asli dari negeri kapitalis Amerika. Dan memang terbaca sungguh beda, misalnya hanya membahas dasarnya saja, atau orang Indonesia sekalipun pengalaman. Ini buku sungguh-sungguh bervitamin. Sekalipun saya sudah terjun dan menekuni saham, apa yang ditulis melalangbuana hebat ke teori finansial dan tepekur telaahnya.

“Ya, tetapi saya memiliki sesuatu yang tidak akan pernah ia miliki… rasa cukup.”

#9. Cantik itu Luka by Eka Kurniawan

Kisahnya merentang jauh sebelum Indonesia merdeka. Semuanya tentang manusia-manusia patah hati, hampir semuanya ding. Yang jelas, ketika cinta membuncah, apapun akan dilakukan, apapun akan dikorbankan. Dan ini terus berulang, tata cara bercerita bagus, di mana kita dibocori kejadian akhir, baru dijelaskan kronologinya. Sebagian dilakukan flashback. Dan karena ini novel tebal, banyak karakter yang memiliki riwayatnya sendiri dengan rentangan panjang. Tak ada tanda tanya, semua nasibnya jelas. Hanya beberapa yang samar, saat melibatkan dunia mistik. Dan itu, tafsir bebas.

“Ia sebenarnya waras bukan main, yang gila adalah dunia yang dihadapinya.”

#10. Aqidah Islam Ibnu Taymiyah by Mustafa Al’alim

Buku agama, ini seperti buku pelajaran sekolah dengan pendahuluan, inti, lalu penutup dengan pertanyaan dari isi bab. Tertata dan terstruktur. Sebagian besar jelas sudah kita dapati sewaktu pelajaran Agama Islam. Berisi pokok agama, enam Iman kepada dan rukun Islam. Yang membedakan, ini disarikan oleh Ibnu Taimiyah dengan penjelasan lebih panjang, sekaligus mematahkan aliran menyimpang, di masa itu.

“Katakanlah, Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadanya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”

#11. Larung by Ayu Utami

Sekuel yang biasa. Bab-bab awal sungguh cantik Larung Lanang mau membunuh neneknya yang seolah abadi, sudah berusia seabad lebih, dan memikili jimat yang kudu dilepas agar bisa kea lam seberang. Sayangnya saat masuk ke dunia Saman, melanjutkan kisah sejatinya, malah down. Selingkuh dan bagaimana mengatasinya, benar-benar tak bagus ditiru. Seolah kewajaran, teman-temannya yang hedon ke New York turut membantu para perempuan ini untuk bertemu lelaki beristri. Dan Yasmin yang sudah bersuami, dibantu bertemu lelaki lain. Dibuat dengan bahasa sesastra apapun, tata kelola selingkuh tetaplah busuk.

“Betapa anehnya ukuran, di manakah kita meletakkan patokan?”

#12. Kuasa Ramalan Jilid 1 by Peter Carey

Game of Thrones (GOT), adalah kata pertama yang terlintas setelah ussai membacanya. Ini seperti novel rekaan GRR Martin. Bedanya setting Jawa, dan ini nyata. Wow, setelah baca GOT saya berkomentar, susah juga hidup di masa itu. Gerak apapun terasa salah. Mau bela kerajaan manapun tetap akan sulit bertahan, semua akan serba salah. Semua punya ambisi, dan harapannya masing-masing. Perang di mana-mana, dan nyawa begitu murahnya. Di Kuasa Ramalan, konfliks terjadi di banyak arah. Mau para penjajahnya sendiri, Belanda Inggris Prancis yang mempunyai tanah rampasan, berniat memetik sebesar-besarnya keuntungan di Negara kita. Pun, kerajaan Jawa yang saling curiga dan tak saling dukung. Sultan dan Sunan tak bisa bersatu, apalagi pasca Perjanjian Giyanti, Jawa mudah diadu domba, dan ini jelas menguntungkan pendatang.

“…Saya benar-benar memohon hal ini dengan sangat dari segenap sukma dan lubuk hati saya yang paling dalam. Sungguh saya benar-benar bertujuan menyingkirkan kecemaran dari Jawa dan saya akan sangat bersyukur pada Allah sekiranya saya berhasil melakukan apa yang akan membawa kemaslatan…”

Karawang, 030822 –  Sherina Munaf – Singing Pixie

Tiga #25

“Apa yang diberikan dunia fotografi bagi hidup Anda?” / “Kepuasan, uang dan kebebasan.”

Novel remaja lagi, hufh… sekalipun kubaca saat remaja, buku sejenis ini takkan kusuka. Banyak hal tak relate, terlalu lebai, terlalu lo gue end, terlalu sinetron. Atau malah persis sinetron, plot, karakter, cara penyampaian. Sungguh tak enak dibaca. Cari duit segampang itu, cari pacar seindah itu, cari penyakit sesederhana itu. Sekalipun buku remaja, banyak hal tak pantas disebarkan ke remaja, persis sinetron kita kan. Sayangnya, hal-hal buruk sejenis ini laku, cerita tak mendidik yang meracuni generasi muda. Miris.

Kisahnya tentang tiga saudara dalam keluarga Wibowo. Semua problematik. Masalah orang kaya, tak akan kalian temui masalah cara bertahan hidup dengan makan sehari-hari, tak kalian dapati bagaimana cara bayar biaya pendidikan, atau rumah sakit. Enggak ada, adanya masalah hubungan antar manusia, itupun yang dimata jelata tampak tak perlu. Cinta yang putus, pilihan pasangan, kehidupan selebrita yang hura-hura, dst.

Rachel adalah designer ternama, rancangan bajunya dipakai banyak nama ternama. Dipakai para pesohor, maka muncul isu kedekatan dengan model muda yang sedang naik daun Alvino Vivaldi. Isu itu tak diiyakan tak pula ditolak, mungkin semacam mumpung tenang dan diberitakan, sehingga kesempatan diliput media.

Alexie Wibowo alias Lexie adalah sang adik yang punya masalah di masa lalu. Pergaulan bebas, nge-drug hingga hubungan seks telah menciptanya error. Kini ia bertobat. Dan dengan mudahnya ditawari menjadi artis. Manager Bugi, melihat peluang itu. Berwajah tamvan, tampak bersahaja. Dan buruknya cerita, dengan sekejap sukses menjadi model dan bintang film. Majalah remaja banyak pampang wajahnya di halaman fashion dan cober. Sosok unik pun sering penuhi profil majalah. Dipuja puji fans, dikasih review positif, singkatnya ternama dengan hebat dalam tempo sesingkat-singkatnya. Image Lexie simple, cool, dan misterius. Nicholas Saputra? Lewaaat… Padahal dalam dialog mula ditawari artis, ia menolak. Dan saat mengiyakan, seolah magnet rejeki, segalanya nempel seketika.

Paxie adalah saudara lainnya yang sebenarnya agak lurus, tapi menemukan pasangan bermasalah Sheria yang mengidap kanker. Manager marketing yang meluangkan banyak waktu untuk pacarnya, mengorbankan banyak hal demi cinta. Dalam sebuah adegan dramatis ala sinetron jam utama di tv lokal, pernikahan absurd disajikan berlembar-lembar. Kejadian hanya satu dari sejuta ini, sungguh aneh sekalipun niatnya drama air mata. Nyatanya tak mencipta sama sekali titik air di pipi. Lebai, atau mungkin cara penyampaiannya yang amburadul.

Terlalu banyak lemah yang bisa dikupas. Cerita buruk, cara bercerita buruk, pola cerita buruk. Dialog gaul yang tak nyaman, pilihan kata ala kadarnya, editingnya juga buruk. Sekali lihat, tanpa banyak telaah langsung ketemu typo, tak perlu jadi editor handal untuk untuk seketika menemukan, tak perlu menjadi pembaca profesional untuk mendapati bahwa kualitas tata bahasa jelek.

Menggampangkan kehidupan mungkin paling pas untuk merangkum hal-hal di sini. Perjalanan Jakarta ke Bandung misalnya, ada kalimat terlontar yang bikin kzl. “Bandung-Jakarta kurang dari 2 jam! Gue nggak ngerasa buang waktu untuk itu!” Hanya orang sombong yang ngomong gitu, atau orang yang sok berkorban, seolah tak mengapa jalan sejauh itu demi cinta.

Atau kalimat, “Agama, bahasa non satra, logika, hidup dan pergaulan.” Yang secara langsung bilang, bahasa sastra itu tak perlu. Yang umum dan tak nyeni sahaja. Apakah ini relate dengan cara penyampaian kisah secara keseluruhan? Ya, saya melihat pandangan penulis ini dituangkan dengan cara bercerita, apa adanya dan (maaf) ga bisa menarik emosi pembaca.

Pemilihan nama karakter lebih ajaib lagi, seolah ini di negeri antah, bukan Indonesia, padahal nyata-nyata kejadian di Jakarta, Bandung sekitarnya. Deka, Deva, Viandra, Lingga, Vino, Rachel, Paxie, Lexie, Sheira, Diar, Leonard adalah pilihan nama yang tak bijak. Terlihat alay kan? Walaupun ada nama-nama Wisnu, Budi, Gita, Gunawan, Rendra, Yogi, hingga Shinta tapi tak memberi peran signifikan. Bahkan salah satunya mati tragis sepintas lewat dalam sehalaman, seolah tak penting. Sedih sih.. hiks.

Kalimat ceplas-ceplos juga banyak didapati, seenaknya sendiri. Misal, “Percuma lo sempat hidup di Aussie! Pikiran lo kayak orang Kubu!” Sejatinya, mau tinggal di manapun, etiket pergaulan ada dan kurasa tergantung lingkungan. Ingat, pelajaran dasar etika moral, attitude yang utama. Apapun profesinya, dari manapun asalnya, lulusan dari manapun, singkatnya sehebat apapun, kalau tak punya attitude baik ya percuma. Jadi bukan Aussie-nya bukan pula Kubu-nya, tapi hatinya.

Terakhir, mungkin buku sejenis ini masih laku untuk kalangan alay. Buktinya sinetron kita sekalipun dicaci maki, tetap laku. Sekalipun dibahas sampai berbusa-busa efeknya buruk, tetap diproduksi. Begitu pula buku remaja dengan kelemahan seperti ini, tetap laku dan dibaca.

Saya tak membeli buku ini, ini adalah bonus beli buku fantasi dari teman facebook. Yang namanya bonus, ya terima saja. Dan benar saja, amburadul. Tetap kubaca, tetap kuulas, tapi sayangnya negatif. Saya tak mau mengulas kebohongan, apa adanya, bahwa buku remaja dengan plot buruk seperti jelas tak rekomendasi. Mending baca buku remaja ‘genre’ yang lebih baik. Maafkan daku…

Kalau kata temanku, Jemy K buku jenis seperti ini layak dilempar ke tempat sampah. Teman sekosku dulu ini berpendapat, buku buruk sejatinya akan memberi pengalaman buruk sama pembacanya, jadi saat kalian mendapati alangkah baiknya langsung dibuang. Saya kurang sependapat, bukan karena kualitasnya, sayang saja melempar karya ke bak sampah, siapa tahu pembaca lain punya sudut pandang lain, dan menemukan sesuatu yang baik, walaupun sulit.

Tiga | by regagalih.pHe | Editor Husein S | Desain Cover Ega Positive Thinking | Layout Hush | Cetakan I, 2010 | Penerbit LadangIde | 145 x 210 mm, 160 halaman | ISBN 978-602-97180-1-0 | Skor: 1.5/5

Dedicated to Imanuel Rafael Trisno Sakti Herwanto

Karawang, 250622 – Westlife – Beautiful in White

Thx to Agus Ora, Jakarta

#30HariMenulis #ReviewBuku #25 #Juni2022

Yang Berjanji di Jembatan Kayu Kala Hari Beranjak Senja

Bunga Kayu Manis oleh Nurul Hanafi

“Tentu saja aku tahu. aku tahu bermacam-macam jenis bunga, dan itu wajar. Aku ‘kan perempuan.”

Pada dasarnya manusia menyukai hal-hal bagus, hal-hal indah bagi kita sungguh nyaman dirasa mata atau telinga. Seni memberinya banyak jenis kenikmatan. Dan dari hal-hal yang dicecap itulah kita lari sementara dari kejenuhan rutinitas. Bunga Kayu Manis menawarkan jenis keindahan kata-kata (atau di sini berarti tulisan), dipilih dan dipilah dengan mujarab oleh Bung Nurul Hanafi. Beberapa bagian mungkin tampak terlampau lebai, atau ngapain melihat senja dari jembatan saja meloankolis, itukan hal yang lumrah taka da yang istimewa dari matahari jelang terbenam, umpamanya. Namun memang itulah keunggulan kata-kata, banyak hal dicipta berlebihan, dan terasa sentimental. Memang sulit kalau kita sudah bicara kenangan, angan dalam kepala tentang masa lalu, setiap orang beda-beda, dan semakian mendayu, semakin terasa feel-nya.

Kunikmati dalam dua hari, di pagi kerja 19 Oktober 2021 (tanggal merah yang ditukar), dan esoknya sampai siang seusai jalan-jalan ke Cikarang (ban mobil kempes). Semuanya mencoba menyentuh hati, kejadian-kejadian biasa yang coba dituturkan dengan keindahan syair terpilih. Aku kupas satu per satu, biar bisa kuingat hingga masa depan gambarannya tanpa perlu membuka buku.

#1. Aku tak bisa Mengatakannya

Pembuka yang ciamik. Pasangan tua yang saling silang pendapat nama bunga. Jelas cerpen ini yang diambil sebagai cover buku. Si Suami bukannya menghina istrinya, melainkan sebaliknya, yaitu menghina dirinya sendiri. Oh bukan, lebih tepatnya: menghina masa lalunya sendiri. Memang mirip ya, bunga kulit bawang dan bunga nawangsari? Aku belum pernah lihat atau sudah melihat tapi belum tahu namanya. Hanya dari penggambarannya saja kita tersentuh, betapa bijaknya suami.

#2. Duduk dalam Senja

Aku tahu, kau juga sedang membayangkan aku berkhayal selayak prajurit muda. Pohon, domba-domba dan segala kecamuk pikiran di senja hari. Udara lemas memelukku. Dingin. Tak terasa tentu.

#3. Kenangan tentang Kebiasaan Merawat Bunga

Kenangan orang terkasih yang telah meninggal dunia, kebiasaanya merawat bunga krisan. Maka saat istrinya pergi, bunga-bunga itu tak terawatt. Ia selalu ragu-ragu. Ia selalu bimbang.

#4. Musik Kamar

Aku menanggung rindu, dan aku tak bisa berbuat apa-apa. Lihat, tampak mellow bukan? Kenangan it uterus menggerogoti hari-hariku… kemudian aku menikmati indahnya berharap pada suatu ketidakpastian.
Ini curhat kepada Ran tentang masa yang sudah lewat, dan betapa sahabatnya Yusuf masuk dan meminangnya. Dijawab ya ataukah menanti Ran?

#5. Pinangan

Pintar juga, sebuah lagu yang benar-benar ada seolah tak diketahui identitasnya, hanya kenal nada dan liriknya di radio, lantas dicari dan ketemu. Di sini lagunya Kau Seputih Melati oelh Dian Pramana Putra. Pernah juga mengalami, terutama era 90-an dimana internet belum begitu akrab.

#6. Kancing Baju

Ini bagus banget. Kancing baju berburu, penembak jitu, dan adegan menginap di pondok berisi ibu dan anak kecil. Kicau burung dan perumpamaan yang absurd. Merasuk dalam rumpun mimpi.

#7. Rambut

Terselip nada murung dalam pujiannya. “Seperti apapun penampilanmu, kau tetap cantik.” Si Nona dan pelayannya Tamar yang sibuk menata rambut, lama dalam berdandan. Dan segala keributan penampilan cantik perempuan.

#8. Bunga Kayu Manis

Ini hanya adegan pemuda memberi kuntum bunga kayu manis kepada gadis. Dah itu saja, tapi merentang 4 halaman. Apakah yang membuat beda satu perasaan, antara terjalin bersama kenangan bunga flamboyan dengan bunag kayu manis? Lalu sang gadis menemukan bunga lain. “Hai, tunggu aku.”

#9. Bernyayilah

Nyanyi. Kalau yang benyanyi orang yang disayangi, apapun bentuk dan lagunya akan disukai. “Bernyanyilah, seluruh tubuhmu penuh nyanyian.”

#10. Impian Sarang Burung

Narasi utuh tentang gadis yang bermimpi tentang sarang burung, dan anak-anak burung yang berisik memanggil paruh induknya.

#11. Hari ke Tiga Ratus

Ini cerita lintas masa, disatukan dalam kenang dan fakta-fakta tentang bocah penggembala domba yang beristirahat di tepi sumur. Dengan pohon akasia yang menaungi.

#12. Jejak Duri

Warih dan seruan kepada gadis yang berlalu. Gadis itu memendam rasa kesal padanya. Ia tak tahu mengapa. Berlalu, lantas mengaduh sebab kaki sang gadis tertusuk duri. Semakin dekat Warih, sang gadis malah cabut dengan keranjang yang ditinggalkan. Apakah gadis itu meninggalkan keranjangnya seperti seorang kekasih yang melepaskan pelukan?

#13. Yang Berjanji di Jembatan Kayu Kala Hari Beranjak Senja

Lebih tepatnya berjudul, seorang istri menanti kekasih gelapnya di jembatan. Hehe… janji temu itu gagal terwujud sesuai kesepakatan tersebab hal-hal yang dijelaskan dengan ringan seolah wajar. Padahal ada bogem yang melayang, dan kemarahan yang terselubung. Sadriyya dengan senyum melamun.

#14. Gadis Pencari Sarang Burung dan Bocah Pemain Layang-layang

Mimpi dan bangun, bangun dan ia bermimpi. Bocah dan gadis kecil saling silang. Bagaimana ciap burung-burung kecil di sarang, layang-layang yang dipegang, dan perjalanan pulang di hari gelap.

#15. Payung

Udara dingin dan putih. Paying Alin yang ketinggalan di bawah pohon. Sani dan temannya yang ngobrol, mengapa ada musim rontok? “Karena semakin banyak orang yang kehilangan sesuatu.”

#16. Trayek Pegunungan

Ini salah satu yang terbaik. Perjalanan di kendaraan umum, menyaksi seorang istimewa yang dalam hati muncul kecamuk untuk menyapa, betapa sulitnya memulai. Perjalanan gunung yang naik turun turut serta mencipta hati yang bergolak. Dan tetap geming saat finish?

#17. Seekor Kumbang

Kumbang dan belalang. Satu ditangkap yang lain. Betapa ringannya udara.

#18. Surat dalam Hujan

“Kesepian lebih dekat pada hujan namun menyukai ledakan.” – Acep Zamzam Noor.
Surat yang hilang. Surat hanya jejak kaki di hamparan salju dan ia begitu tak kenal pada hujan yang menguburnya. Semua lenyap.

#19. Burung-burung dan Perawan

Perawan-perawan seperti juga burung-burung, seperti juga bunga-bunga, seperti juga kupu-kupu. Mereka mau dan mendamba dikirim salam. Rumah perawan penuh kicau burung yang menyampaikan salam. Apa isi pesannya?

#20. Selimut

Tidur tanpa selimut dan drama menciptanya. Ah, dalam hawa sedingin ini memang hanya selimutlah barang yang paling kubutuhkan. Dengan perasaan diri telah menjadi seseorang yang dicintai, kurebahkan kepalaku kembali dan mengeratkan diri dalam pelukannya yang hangat dan menyeluruh.

20 cerita yang sebagian besarnya (kalau tak mau disebut semuanya) bermetafora, dijelaskan dengan tak gamblang, dimainkan kata-katanya secantik mungkin. Dipoles dengan diksi pilihan, dan sesantun mungkin. Buku kedua Bung Nurul Hanafi setelah Makan Siang Okta, keduanya masuk 10 besar KSK dan tak masuk daftar pendek. Saat buku masih kubaca, pengumuman sudah muncul, tapi tetap tak mengurangi penilaianku bahwa karya yang cantik selalu memuaskan pembaca. Tak biasa, tak lazim, tapi tak sampai membuat kerut kening berlipat-lipat. Seolah membacai puisi dalam bentuk narasi panjang.

“Hujan terlalu larut dan luka.” Satu kalimat pembuka paragraph dalam Surat dalam Selimut misalnya. Hanya menyampaikan cuaca dalam penyampaian makna dibentuk bagus. Semua terkubur, semua tak menyambut kerinduan.

Dengan keberhasilannya memukauku, jelas buku-buku lainnya akan kubaca dan kukoleksi lengkap. Termasuk karya-karya berikutnya, dengan antusias kunanti. Tq.

Bunga Kayu Manis dan cerita-cerita lainnya | oleh Nurul Hanafi | Penyunting Indrian Koto | Lukisan smapul “Opera Figures” by Gao Made (1917-2007) | Ink and color on paper, hanging scroll | Repro oleh Alfiyan Harfi | Desain dan tata letak Kaverboi | Penerbit Jualan Buku Sastra (JBS) | ISBN 978-623-2872022 | Cetakan pertama, April 2021 | 131 hlm.; 13 x 19 cm | Skor: 4/5

Karawang, 211021 – Billie Holiday – Me My Self and I

Delapan sudah, dua sedang berlangsung.

Thx to Jalan Literasi, Bandung. Thx to Titus, Karawang

Harapan telah Ditegakkan dalam Hidup dan Sajak


Jalan Malam oleh Wachid B.S.

Hatiku jendela yang membuka / Seperti kulihat wajahku ke dalam cermin / Maka di dalam cermin itu kulihat wajahmu juga / Yang menerangi bahwa hari ini adalah puisi indah

Ini baru buku puisi bagus. Sulit memang memahami puisi, tapi memang seyogyanya puisi itu tak harus dipahami, yang penting dinikmati. Jalan Malam memberi rona itu, apalagi di bagian akhir diberi pencerahan beberapa lembar bagaimana puisi harus disikapi. Walaupun sudah baca beberapa kutipan dan ulasan puisi, tetap saja isinya memberi wawasan kepada kita, bagaimana harus bersikap. Aku sendiri sudah mengikrarkan, mulai tahun ini membaca minimal 12 buku puisi. Sejauh ini baru dapat separuh +, melihat isi rak, aku optimis gegayuhan itu bakal terwujud. Dan, mungkin buku ini salah satu yang terbaik tahun.

Jalan Malam terbagi dalam lima, rata-rata benar-benar bagus. Kata-kata dipilih dengan jitu untuk menyampaikan maksud. Temanya beragam, ditulis merentang jauh setak tahun 1980-an hingga 2010-an. Dan yang ditampilkan menghanyutkan.sana Puisi Rumah Kecil misalnya, diambil sudut pandang seisi rumah dan karena syukur yang baik, tak mengapa rumah kecil asal ada kebersamaan. Di puisi RIndu Ibu misalnya, bikin nangis dan gegas ku telpon video call orang-orang rumah di seberang sana.

Atau tentang ziarah yang dilakukan di berbagai daerah ke tokoh-tokoh penting, syahdu dan melibatkan hati. Ziarah tak sekadar tabor bunga dan untaian doa, itu adalah perjalanan spiritual bagi peziarah. Apa-apa yang sudah terjadi di masa lampau bisa dipetik hikmahnya. Nah, apa itu hikmah, ada penjelasan panjang lebar di belakang, aku kutip sebagian di bagian bawah.

Bagian pertama ada enam puisi. Aku ambil beberapa yang kusukai. Pertemuan: bila sepasang kupu-kupu saling / berkejaran di antara bunga-bunga / bertanya lagikah kita / apa itu cinta.

Bagian kedua ada 28 puisi. Wasilah Kekasih: Tersebab engkau cahaya / Barangkali aku tak pernah mampu / Melukiskan puisi untukmu.

Rumah Kecil Untuk Orang Kecil: “Janglah ayah berpusing dengan rumah? / bukankah rumah kita ada di dalam hati / tatkala ayah da ibu selalu hadir / hati senantiasa berdesir / oleh kasih sayang yang abadi mengalir”

Jarak Kau Aku Sedemikian Dekatnya: Di atas kecantikanmu / Di bawah kecantikanmu / Di kanan kiri kecantikanmu / Kemana pun menghadap: kecantianmu

Hari ini Adalah Puisi Indah: Lalu berlalu aku menuju kran air / Kubasuh wajahku dalam urutan wudlu / Kusahadatkan hatiku agar kembali segar / Yang menyaksikan bahwa hari ini adalah puisi indah

Rindu Ibu: Ibu, / di pintu, di ramadhan ini / di pagi di saat subuh berganti mentari / kutelponkan ungkapan ampun nurani kepadamu / batu-batu kali batu-batu hati terkikis / tersedu airmata rindu

Bagian ketiga terdiri sebelas puisi. Anak Batu: Mengapa dia disapa “Anak Batu”? / Apa karena berumah di pegunungan batu / Yang dipanggang matahari dan cinta / Yang kepayang, lalu sujud di sajadah tanah dan sabda.

Sajak untuk Gus Jadul: Terbuat dari apakah hati lelaki yang / Meradang dengan tinju dan lemparan batu? / Terbalut dengan apakah hati lelaki yang / Merangsek dan merusak rumahmu?

Resonansi: Setiap hal di semesta ini, ada / getarannya, adaauranya, ada / gerakannya, sekalipun penuh lembut / sekalipun ada yang penuh kalut

Bagian keempat ada sebelas puisi. Menjelang Subuh Itu: pada akhirnya / di akar kepala itu / kembali ke dalam tanah / berumah di dalam tanah.

Jum’at Call dari Gus Mus: galilah tanahmu hingga matair / untuk airmata takjub kalbu kau aku / serupa musa di bukit tursina // membaca semesta yang maha / ulurkan tangan dengan cinta /senyum sang nabi menafasi hari

Hamba Membaca: Hamba membaca diri / hamba mengenali / alamat hyang abadi

Bagian Lima ada empat puisi. Cerita Mbah Basyir: di bawah pohon jati sampai akhir nanti / hamba berkawan sunyi

Syekh Siti Jenar: banjir bandang yang / menenggelamkan aku / ke dalam samudera makrifat cinta / sekaligus hujatan sepanjang usia

Jalan Malam: aku tak ingin pulang ke yogya karena / aku tidak akan pergipergi lagi / aku mau menjagamu sepanjang waktu

Kubaca selama dua hari, Sabtu-Minggu, 16-17 Oktober 2021 selaing seling dengan buku lain. Memang paling nyaman baca setumpuk buku dalam waktu bersamaan, gantian. Sebab aura dan feel-nya akan campur aduk, setiap penulis punya gaya dan caranya sendiri dalam bercerita, Jalan Malam di hari pertama dapat dua bagian, satu bagian lagi Minggu pagi, sisanya Minggu malam. Nyaman baik dibaca nyaring atau dalam hati.

Di akhir buku, ada kata penutup yang menjelaskan panjang lebar hikmah puisi. Tulisan bagus yang harus kalian baca snediri. Aku hanya mengutip sebagian kecil sahaja. Enam paragraf berikut aku ketik ulang.

“Pembicaraan tentang puisi, pertama-tama dan terutama adalah memperlakukan puisi sebagai puisi… dengan cara mengungkapkan ciri-ciri kualitatif.” Demikian Maman S Mahayana mengutip Cleath Brooks dan Robert Penn Warren (Understanding Poets, 1967). “Teks puisi menjadi pilihan karena relatif bebas dari latar belakang sejarah, biografi, dan tradisi kesusastraan.”

Jika berorentasi fisik dan duniawi, maka samalah pula dalam menilai apapun, termasuk menilai puisi… sebuah penilaian mestilah objektif, ada bukti fisik, dan bukti fisik puisi tentukah bahasa puisi.

Pencapaian keindahan (estetika) tertinggi dalam pandang keruharian Islam ialah hikmah, sebagaimana Sabda Nabi SAW. Sejumlah puisi mengandung hikmah; hikmah adalah onta orang beriman yang hilang, apalagi dia menemukan kembali, dia memiliki kebenaran terbaiknya. (al-Hujwiri melalui Hadi W.M.; 1985: 31)

Hikmah itu merupakan ‘onta’ (kendaraan) “orang beriman” yang “hilang”, karenanya “harus dicari” sehingga dia menemukan bukan sembarangan “kebenaran”, melainkan “kebenaran terbaiknya”.

Sebagai penyair bahwa realitas alam semesta dan manusia adalah lambang, yang harus dimaknai secara ilahiah.
Muhammad Iqbal, penyair profentik dari Pakistan bilang, “Suara seruling yang indah itu bukanlah karena mutu bamboo dari seruling itu, tetapi disebabkan oleh keindahan yang bergetar sedari hati ruhani si peniupnya.”

Senang rasanya bisa menikmati puisi. Banyak puisi yang kurang Ok (atau akunya yang belum bisa menikmatinya?), trial berkali-kali.

Beberapa kali bisa mendapatkan buku baik,tapi seringnya tidak. Nah, Jalan Malam ini dengan pede kubilang bagus, sebab feel-nya dapet. Bisa membuat terbawa, dan berhasil menautkan emosi pembaca. Senyam-senyum sendiri, sedih, atau mendapat anggukan kepala. Sebagai tambahan, puisi juga enak juga menyentuh agama. Sisi reliji memang jarang kudapati di puisi, makanya bagian-bagian sembah sujud kusuka.

Ziarah juga ada porsinya. Kukira puisi memang bisa untuk sisi apapun, menembus batas bahasan. Segalanya…

Jalan Malam | Oleh Abdul Wachid B.S. | Penyunting Arco Transept | Pemeriksa aksara | Daruz Armedian | Tat sampul Mita Indriani | Tata isi @kulikata_ | Lukisan Cover Widya Prana Rini | Pracetak Kiki | Cetakan pertama, April 2021 | Penerbit Basabasi | vi + 142 halaman; 12 x 19 cm | ISBN 978-623-305-209-2 | Skor: 4/5

Karawang, 191021 – David Sanborn – The Dream

Thx to Intan P. Thx to Basabasi Store.

Dari Tour de France Hingga Hemingway


Revolusi Nuklir oleh Eko Darmoko

“Di dunia ini terlalu banyak serba kemungkinan, dan kita dipaksa untuk meneruskan hidup.”

Lelah, tapi puas. 22 cerpen dalam buku kecil 200 halaman. Sebagian sudah diterbitkan di media, sebagian besarnya belum. Semua yang berkisah di masa depan tampak kurang, atau kalau mau jujur tampak aneh. Burung besi berkisah, pohon android, dst. Semua yang dikisahkan di perjalanan gunung, tampak nostalgia. Ibadah puisi di Rinjani, petualang sekual Apocalyto, dst. Semua yang dikisahkan secara flashback tampak nyata, atau nyata yang dimodifikasi. Telinga putus, pacar yang hamil berencana memberi kejutan yang malah mengejutkan, hotel Kurt Cobain, dst.

Yang bagus menurutku adalah bagian-bagian yang sederhana. Malaikat pencabut nyawa yang mengambil kembarannya, itu kisah mudah dicerna, walau memilukan tapi malah terasa emosional. Atau pencabut nyawa yang diusir oleh PSK, klenik yang membuncah kan masih banyak berlaku di msyarakat. Atau Ayam Kampus yang mengambil keset kampus, tenang, diam, dan malah langsung in kan? Tak perlu muluk-muluk untuk berfantasinya. Kabar dari Brescia misal, itu malah tampak angun tentang kangen, dan bila menyangkut kangen, hal-hal bisa jadi menyentuh. Kapir lebih sederhana lagi, kunjungan ke rumah sahabatnya yang alim dan tatoan, dengan sambutan kontra akan kebiasaan. Lihatlah, mending cerita tuh yang umum sahaja. Yang penting kisahnya bagus, dituturkan dengan bagus, pembaca akan tertaut secara emosi.

Aku biasanya membahas satu persatu cerpen dalam buku kumpulan cerpen, tapi karena sedang suasana males seharis Magrib ini, dan cuaca Karawang yang biasanya panas malah diguyur hujan sebagai penanda untuk ngopi santuy, yo wes bahas singkat saja tiap cerpennya dalam satu kalimat, dimaktub dalam satu paragraf.

Nuklir yang merasai, proyek rahasia bocor dan diledakkan. Pendaki yang becinta di tanah seberang berujar, “aku lebih suka Frida Kahlo ketimbang Gabriel Garcia Marquez.” Silampukau mengoceh kepada burung-burung di pohon masa depan. Penasehat yang membunuh. Mel Gibson kelolotan celeng setan. Oh, mungkinkah teori hubungan biologis dikalahkan bayang-bayang kenangan? Keset, saksi bisu orang-orang terpelajar yang kurang ajar. Slamet yang malang. Sergapan kepiting gaib. The persistence of Memory. Nenek mendapat kunjungan istimewa. Roh korban pembunuhan dan pemerkosaan yang mencinta sahabatnya. Gadis panggilan, gadis penolong. “Kau harus ke Nordlingen!” Mabuk dan bisnis saling silang. Don Juan Dul Koplo. Begal pensiun. Kangen dua insan di kapal yang sama, pacar di Bresia mati, pacar di Jawa Timur bertahan. Dua orang sebatang kara disatukan, lalu dipilukan. Sejarah Tuhan mampir di dua rumah. Gairah membunuh penulis kalem, jangankan membunuhnya, menangkap bayangannya saja pun rasanya mustahil. Namanya Gregor Samsa, tapi orangtuanya tak tahu Franz Kafka, kok bisa?

“Ia tak ingin diganggu ketika sedang menulis. Bahkan Tuhan pun akan dibunuh jika sudah menggangu jam menulisnya.” Kalau diminta memilih yang terbaik, saya pilih yang ini. kutipan itu kunukil di cerpen ‘Wabah Bekicot’, penulis yang sedang bergairah akan dibunuh, tapi akhir yang aneh ditampilkan, dan kutipan ini mewakili isinya. Mungkin tertebak, tapi aku memang tak menebak sebab ngalir sahaja. Bagusnya, saat penulis sedang on high, dan produktif rasanya memang segala yang mengganggu laik dimusnahkan. Dunia koma, dan ketikan berkejaran.

Prediksiku, buku ini rasanya sulit juara, bahkan rasanya tak akan masuk daftar pendek. Temanya beragam, nan simpang siur. Ngoceh bebas ke mana-mana boleh saja, benang merahnya malah ngundet. Tagline, cerpen-cerpen dari masa depan hanya ditampilkan di awal buku, dan itu justru melegakan. Buku ini buku kelima yang kuterima, tapi malah jadi buku ketujuh yang selesai kubaca. Jujur saja, awal-awalnya boring. Makanya aku bilang, untung saja tema masa depan itu hanya di mula. Sulit sekali menulis masa depan, kata Niels Bohr, “Prediksi itu sulit sekali, terutama bila menyangkut masa depan.” Menulislah ke masa lalu, karena selalu aktual. Apa-apa yang sudah terjadi akan lebih mudah ditulis, dan dikisahkan, begitu pula dipahami pembaca. Tak ngawang-awang. Makanya cerpen-cerpen awal di buku ini kurang OK, sampai akhirnya kembali membumi.

Secara keseluruhan bagus, tak bosenin. Ditulis di banyak tempat, sejatinya jelas sebagian pengalaman pribadi. Tanpa mengenal secara personal, aku tahu Bung Eko suka mendaki gunung, buku-buku klasik, dan suka berpetualang. Seperti yang kubilang, buku yang berhasil adalah buku yang bisa membangkitakn emosi pembaca, melibatkannya, mengajaknya petualang. Revolusi Nuklir jelas melesat tinggi menembus awan, dengan congak dan percaya diri, setiap waktu siap meledakkan kalian.

Kita semua bosan acara tv, mengeluhkan cuaca panas, kesal sama tetangga yang cerewet, muak sama trending topic murahan. Singkatnya segala yang serba cepat tak otomatis nyaman. Kita semua merindukan suasana klasik sederhana tanpa gadget. Namun kita selalu memegang HP, menatap layar seolah semua yang muncul di sana penting. Lantas, apakah ini saat yang pas untuk revolusi?

Revolusi Nuklir | oleh Eko Darmoko | Editor Muhmmad Aswar | Pemeriksa Aksara Daruz Armedian | Tata sampul HOOK STUDIO | Tata isi @kulikata_ | Pracetak Kiki | Cetakan pertama, Juni 2021 | Penerbit Basabasi | iv + 200 hlmn; 12 x 19 cm | ISBN 978-623-305-218-4 | Skor: 4/5

Karawang, 191021 – Earl Klugh – Midnight in San Juan

Tujuh sudah, tiga otw

Thx to Intan P; thx to Basabasi Store.

Orang-orang di Masa Lalu yang Telah Meninggalkan Cerita ke Masa Mendatang


Segala yang Diisap Langit oleh Pinto Anugrah

“Tatapanmu, tatapan pesimis dan penuh amarah! Tidak baik memelihara tatapan seperti itu! Setan-setan akan senang di dalamnya, mereka akan berpesta pora di matamu!”

Ringkas nan memikat. Hanya seratusan halaman, kubaca sekali duduk selama satu setengah jam pada Sabtu, 16 Oktober 2021 selepas Subuh. Langsung ke poin-poin apa yang hendak dituturkan. Tentang Islamisasi di tanah Sumatra di masa Tuanku Imam Bonjol. Mengambil sudut pandang sebuah keluarga lokal yang kalah dan tersingkir. Segalanya jelas, tapi akan mencipta keberpihakan abu-abu.

Kisahnya di daerah Batang Ka, negeri di tenggara Gunung Marapi, Sumatra. Dibuka dengan pasangan suami istri yang absurd. Bungi Rabiah mendamba anak perempuan sebagai penerus sebagai pelanjut lambang kebesaran dari Rumah Gadang Rangkayo, suaminya Tuanku Tan Amo yang gila perempuan sudah punya banyak istri, Bungo Rabiah sebagai istri kelima. Memang ingin dimadu sama bangsawan. Terjadi kesepakatan di antara mereka, bagaimana masa depan generasi ini harus diselamatkan.

Rabiah memiliki hubungan gelap dengan saudara kandungnya Magek Takangkang/Datuk Raja Malik, satu ibu beda bapak. Dorongan yang begitu besar dari dirinya untuk tetap menjaga kemurnian darah keturunan Rangkayo. Ia tak mau darah keturunan Rangkayo ternoda dengan darah-darah yang lain. Mereka memiliki anak Karengkang Gadang yang bandelnya minta ampun, sejak tahu hamil, Rabiah langsung mencari suami, seolah asal ambil, ia menikah dengan pekerja kasar saat Magek Takangkang sedang dalam perjalanan bisnisnya. Pilihan langsung jatuh kepada Gaek Binga, bujang lapuk yang bekerja sebagai pemecah bukit pada tambang-tambang emas di tanahnya. Sudah bisa ditebak, pernikahan ini kandas dengan mudah, memang hanya untuk status sahaja. Rabiah lalu menikah lagi dengan Tan Amo, seperti yang terlihat di adegan pembuka.

Karengkang Gadang tukang mabuk dan judi. Hidupnya kacau, sakaw karena narkoba dan nyaris mati. Tan Amo mabuk perempuan, menggoda sana-sini walau sudah punya banyak istri. Kesamaan keduanya adalah judi, ia sering kali memertaruhkan banyak harta, termasuk perkebunan. Suatu hari desa mereka kena serang. Seranganya yang memporakporandakan wilayah sekitar itu kini menyambangi mereka. Satu lagi, Jintan Itam yang merupakan anak pungut yang dibesarkan seolah anak sendiri, mengabdi tanpa pamrih. Ia mewarnai kekacauan keadaan dengan pelayanan memuaskan.

Pasukan putih, tanpa menyebut secara terbuka ini adalah pasukan Tuanku Imam Bonjol yang terkenal itu, kita tahu ini adalah Jihad penyebaran agama Islam. Mereka juga memakai sebutan Tuanku untuk orang-orang terhormat bagi mereka. Nah, di sinilah dilema muncul. Magek kini jadi bagian dari pasukan ini, Magek Takangkang, Datuk Raja Malik yang mengganti nama Kasim Raja Malik, ia menjadi panglima yang paling depan mengangkat pedang dan menderap kuda. Pilihan bagi yang kalah perang hanya dua: mengikuti ajaran baru, atau mati. Ia tak pandang bulu meratakan daerah manapun.

Sebagian warga yang sudah tahu, memilih kabur. Yang bertahan luluh lantak, adegan keluarga Bungo ini ditaruh di ujung kisah. Drama memilukan, tak perlu kita tanya apakah Sang Kasim tega membinasakan keluarganya demi agama baru ini? Ataukah hatinya tetap tersentuh. Jangankan keluarganya, pusaka pribadinya yang mencipta dosa sahaja ia siap musnahkan. Dunia memang seperti itu, penuh dengan makhluk serba unik dan aneh. Kalau sudah ngomongin prinsip hidup, segalanya memang bisa diterjang, segalanya diisap langit!

Tanpa perlu turut mendukung pihak manapun, pembunuhan adalah salah. Apalagi pembunuhan dengan membabi buta, dengan bengis dan amarah memuncak. “Kau! Kelompokmu! Tuanku-tuanku kau itu! Hanya orang-orang kalah pada kehidupan, lalu melarikan diri kepada Tuhan!”

Tanpa bermaksud mendukung atau menhujat pihak manapun, selingkuh adalah salah, hubungan incen juga salah, judi, mabuk, narkoba jelas salah. Lantas bagaimana kita menempatkan diri? Dunia memang seperti itu, mau zaman dulu dan sekarang sama saja, hanya teknologinya saja yang berubah. Kalau mau objektif, semua karakter ini pendosa, dan saat bertaubat, ia memilih jalan yang keras, dan yah, salah juga mengangkat pedang. Kalau zaman sekarang, menyandang bom untuk menegakkan bendera agama dengan meledakkan diskotik misalkan, tetap saja salah. “Atas nama agama, katanya!”

Perjuangan melawan semacam kutukan juga terlihat di sini. Rabiah! Ingat, kau adalah keturunan ketujuh dan kutukan kepunahan pada keturunan ketujuh akan menghantuimu. Munculnya karakter minor yang ternyata memiliki peran penting dirasa pas. “Apakah orang-orang mencatat apa-apa yang pernah terjadi pada masa lampau kita, Jintan?” Maka akhir yang manis dengan api berkobar sudah sungguh pas.

Overall ceritanya bagus, tak njelimet, jadi sungguh enak dilahap. Benar-benar clir semuanya, apa yang mau disampaikan juga jelas, silsilah di halaman depan mungkin agak membantu, tapi untuk kisah seratusan halaman, rasanya tak diperlukan. Mungkin salah satu saran, jangan terlalu sering menggunakan tanda perintah (!) terutama untuk kalimat langsung. Mungkin maksudnya marah, atau meminta, atau memerintah, tapi tetap kubaca jadi kurang nyaman. Atau semuanya berakhiran dengan tanda itu dan tanda tanya (?)? contoh kalimat-kalimat langsung yang sebenarnya bisa dengan tanda titik (.), atau ada yang salah dengan tanda ini. (1) “Memang kita tidak akan mengerti, jika mengerti berarti kita selamat di ambang zaman ini!”; (2) “Sebentar lagi kita akan punah! Semuanya akan habis! Saya lebih peduli akan hal itu. Saya dan Rumah Gadang ini, tidak ingin hilang begitu saja, makanya perlu ada yang mencacat! Perlu dicatat!” (3) “Saya telah memilih jalan ini, Tuanku! Maka, saya pun akan berjuang sampai titik darah penghabisan, Tuanku!”; dst…

Prediksiku, buku ini laik masuk lima besar. Kisahnya sudah sangat pas, tak perlu bertele-tele, langsung ‘masuk’ ke intinya. Kursi goyang yang mewarnai kenyamanan hidup hanya selingan bab mula, masa kolonial yang keras bahkan tak disebut dan tak dikhawatirkan. Pasukan Padri, pasukan lokal yang perkasa malah justru yang mencipta khawatir. Rasanya banyak hal yang disampaikan, dan memang sepantasnya tak disampaikan sebab bersisian sejarah. Lihat, cerita bagus tak harus njelimet dan melingkar mumet bikin pusing pembaca, inti cerita yang utama.

Aku tutup catatan ini dengan kutipan dari Matthew Pearl, penulis The Dante Club ketika diwawancarai terkait cerita fiksinya yang bersetting sejarah Amerika, ia menjawab; “Saat Anda menulis fiksi sejarah, Anda harus tahu detail-detail tokohnya: makanan apa yang mereka santap ketika sarapan, apa jenis topi yang mereka kenakan, bagaimana cara mereka beruluk salam ketika saling bertemu di jalan.”

Segala yang Diisap Langit sukses menerjemahkannya.

Segala yang Diisap Langit | oleh Pinto Anugrah | Cetakan pertama, Agustus 2021 | Penyunting Dhewiberta Hardjono | Perancang sampul Bella Ansori | Pemeriksa aksara Yusnida, Nurani | Penata aksara Labusian | Penerbit Bentang | vi + 138 hlm.; 20.5 cm | ISBN 978-602-291-842-4 | ISBN 978-602-291-843-1 (EPUB) | ISBN 978-602-291-844-8 (PDF) | Skor: 4/5

Terima kasih untuk istri tercinta, Welly Zein

Karawang, 181021 – Fourplay (feat. El Debarge) – After the Dance

*Enam sudah, empat gegas.

**Thx to Titus, Karawang. Thx to Stanbuku, Yogyakarta.

***Judul catatan kuambil dari ucapan terima kasih penulis di halaman awal berbunyi: “Dan, terima kasih untuk orang-orang di masa lalu yang telah meninggalkan cerita ke masa mendatang.”

Tidak Ada yang Lebih Menyenangkan Daripada Kopi di Pagi Hari


Lotre dan Cerita-cerita Lainnya by Shirley Jackson


“Aku merasa terjebak, tinggi di atas gedung tua dengan api; rasanya seperti mimpi buruk. Dan di kota yang asing.”

#1. Percakapan

Kunjungan Nyonya Arnold ke Dokter Murphy. Konsultasi tentang kekhawatiran suaminya tahu, ia khawatir. Ketakutan menjadi gila, semua orang berbeda dan berkepribadian unik hingga isu global.


“Saya ingin Anda mengendalikan diri. Di dunia yang membingungkan seperti dunia kita saat ini, keterasingan dari kenyataan sering –“ / “Membingungkan. Keterasingan. Kenyataan. Kenyataan.”

#2. Elizabeth

Cerpen kedua yang sangat panjang. Melelahkan tutur bahasanya, intinya adalah Elizabeth Style yang bekerja dengan Robert Shax bertahun-tahun penuh perjuangan membangun penerbitan buku, lebih pasnya sebagai agen sastra. Suatu hari ada anak baru, Nona Hill Dephne yang aneh dan mencurigakan, atau malah tampak annoying sebab seenaknya sendiri saat ditinggal sendiri di kantor. Salah satunya berani meminjam buku-buku di meja kerjanya tanpa izin! Sombong sekali kau Nak. Lalu Elizabeth yang kesal lalu mengambil tindakan.


“Saya rasa dia tidak akan mengatakannya, ketika saya melihat bagaimana kau langsung bersikap seolah-olah kau akan terus berada di sini.”

#3. Firma Lama yang Bagus

Kunjungan Nyonya Friedman kepada Nyonya Concord dan putri tertuanya, Helen. Memilih dan memilah tembakau, lalu bergosip ria. Menanyakan kabar putranya yang di Angkatan Darat, Bob Friedman dan Charlie menjadi bahan utama, dan penuh gaya bahwa sebelum masuk tentara Charlie kuliah hukum. Khas gosip ibu-ibu yang membanggakan anak, menanbah-nambahkan detail.


“Firma lama yang bagus, kakek Tuan Concord dulunya adalah seorang partner.”

#4. Sang Boneka

Kunjungan nyonya Wilkins dan Nyonya Straw ke restoran elit. Semua pelayan siap melayani dengan hormat. Mengatur jarak duduk, membicarakan menu makanan yang lezat, kaserol udang, ayam goreng, dst. Dan pemandangan indah di sekitar. Lalu pembicaraan tentang surat dari Walter. Dan akhirnya sampai kepada omongan tamu restoran yang lain. Ada gadis lugu bergaun hijau, disebutnya mirip monyet dan tampak norak, padahal ia makan sama pemuda tampan, dan sang boneka. Lantas sudut berganti ke meja mereka bertiga, tahu apa yang mereka bicarakan? Hahaha…


“Aku suka melihat tempat yang menyajikan makanan enak dan bersih.”

#5. Tujuh Jenis Ambiguitas

Tuan Harris, pemilik sekaligus pelayan toko buku tua, suatu hari kedatangan sepasang bapak-ibu dan pemuda delapan belas tahun (mereka tak saling kenal dan sesama tamu), berbincang literatur dan yang utama ingin belanja buku banyak, sangat banyak. Beberapa koleksi. Meminta rekomendasi, termasuk beberapa karya Dickens, Bronte bersaudara, Mark Twain, dst. Dan sampailah pada buku berjudul Tujuh Jenis Ambiguitas. Sang pria besar terkesan kepada sang pemuda, buku-buku klasik berbobot tahu dan sudah dilahap!


“Perhatikan anak tangga paling bawah.”

#6. Berdansalah denganku di Irlandia

Nyonya Archer muda, Kathy Valentine, dan Nyonya Corn sambil menimang bayi, mereka bergosip. Lalu bel rumah berbunyi, ternyata tamu pria tua yang menawarkan barang tali sepatu berharga satu quarter, ia tinggal di blok seberang, sempat akan ditolak tapi terbesit rasa kasihan, maka dibelinya. Sekadar sopan santun. Namun tak sampai di situ aja, sang tamu dipersilakan masuk, disajikan minuman, makanan. Dan jamuan mendadak-pun tersaji, pria bernama John O’Flaherty, orang Irlandia. Dan nama penyair Irlandia disebut Yeats, karyanya dalam puisi, I am Of Ireland dibacakan, salah satu kutipannya,


“Come out of Charity, come dance with me in Irlandia”

#7. Tentu Saja

Nyonya Tylor yang memperhatikan tetangga, sebuah mobil van berhenti dan anak sekitar empat tahun turun. Disusul perempuan muda. Mereka sedang pindahan, tetangga baru. Nyonya Tylor bersama anaknya Carol bersapa. Mereka bernama Nyonya Harris dan James Junior. Sopan-santun, saling mengakrabkan. Hobi, kegiatan rutin, profesi suami, dst. Rasanya banyak hal bertolak belakang, yang satu suka nonton bioskop, yang satu suka radio, sementara yang lainnya justru kesal sama suara radio keras, dan larangan anaknya nonton film. Oh, awal yang tak bagus. Walau senyum, tapi jelas masam. Ah basa-basi, rasanya memang perlu?


“Tentu saja.”

#8. Tiang Garam

Sepasang suami-istri dalam perjalanan kereta dari New Hampshire ke New York. Muncul lagu lawas di sana, lagu soundtrack film. Lagu yang terdengar akrab, tapi lupa judulnya. Lagu yang rasanya bisa dinyanyikan, tapi liriknya agak terlupa. Brad dan Margaret melakukan liburannya melihat-lihat kota. Berbelanja, makan di restoran, dst. Karena sang istri suka belanja lama, sang suami tak mau menemani. Pengalaman buruk muncul, saat ditemukan mayat dan polisi dipanggil. Lalu Margaret ada rasa semacam phopia terhadap orang-orang, kerumunan, takut akan hal-hal janggal di tengah kota. Ia pun menelpon Brad dari telpon umum untuk menjemputnya.


“Aku merasa terjebak, tinggi di atas gedung tua dengan api, rasanya seperti mimpi buruk. Dan di kota yang asing.”

#9. Pria dengan Sepatu Besarnya

Nyonya Hart, calon ibu muda yang menanti buah hati pertamanya. Nyonya Anderson, pembantunya yang datang dan melayani tiap pagi, sang pembantu suka mengeluh, kerjanya kurang bersih, dan beberapa complain disajikan. Awalnya dirasa mungkin butuh keakraban di antara mereka, tapi ternyata bukan hanya dimula, setelah sebulan lebih, ketidaknyamanan kecil itu benar adanya. Mereka bercerita, bergosip tentang keluarga, kegiatan favorit, dan akhirnya sampai pada Bill, suami Hart. Dikompori sama pembantunya, dipanasi betapa pasangan muda harus lebih saling peduli, tak boleh cuek gitu, dst. Jangan-jangan suami Anda selingkuh?!


“Saya rasa orang tak perlu membicarakan orang lain, maksud saya, menurut saya tidak adil untuk mengatakan hal-hal yang Anda tidak bisa tahu dengan pasti.”

#10. Gigi

Aku merasa aneh.” Clara Spencer bilang ke suaminya. Apakah ini efek obat bius untuk mengobati giginya? Cobalah tidur dalam bus perjalanan ke New York ini, saran suaminya. Ini bukan perjalanan pertamanya ke sana, tapi ia merasa ada kejanggalan. Teman duduknya adalah pemuda bernama Jim, sopan dan mengajaknya ngobrol, ngopi. Ia berasal dari jauh, lebih jauh dari Samarkand. Saat sampai di klinik, hasil x-ray bilang geraham bawah harus dicabut, hal yang harusnya ia lakukan jauh hari. Proses cabut gigi yang dirasa biasa menjelma ketakutan, samar tapi ini kan hanya gigi!


“Ini hanya sakit gigi. Tidak ada yang serius dengan sakit gigi.”

#11. Surat dari Jimmy

Surat dari Jimmy yang tak pernah dibuka, langsung diposkan lagi, dikirim balik. Suaminya selalu begitu, istrinya sempat meminta untuk membacanya. Namun rasanya tak akan. Tak akan pernah. Oh benarkah? Sepadankah?


“Konyol sekali menyimpan dendam terhadao surat. Melawan Jimmy, baiklah. Tetapi tidak membaca surat karena dendam itu konyol.”

#12. Lotre

Di alun-alun yang panas pada 27 Juni, sebuah desa kecil sekiatr tiga ratus warga. Mereka berkumpul, berpesta menyelenggarakan lotre. Kepala pos, Tuan Graves meletakkan kotak berkaki tiga di tengah-tengah. Tuan Summers mengaduk-aduk kertas di dalamnya, Tuan Martin dna putranya Baxter memegang kotaknya. Ritual rutin memilih secarik keras lalu Tuan Summers mengambil satu, setelah para keluarga atau perwakilannya memasukkan kertasnya. Tradisi ini sering ribut, beberapa kali bahkan ia disumpah tak curang, dan memang kali ini sangat kacau.


Ini tidak adil, ini tidak benar,” teriak Nyonya Hutchincon, lalu mereka menyerbunya.


Ini adalah buku pertama dari Shirley Jackson (1916 – 1965) yang kubaca. Lahir di San Francisco, California, USA. Penulis dengan genre horror dan misteri. Lulusan Syracuse University New York dan aktif di jurnal sastra kampus. Bertemu dengan calon suaminya Stanley Edgar Hyman, dan setelah lulus keduanya berkarier di The New Yorker. Shirley menjadi penulis fiksi, suaminya contributor ‘Talk of the Town’.


Karya Shirley yang terkenal, The Road Through the Wall (1948), Hangsman (1951), The Bird’s Nest (1954), The Sundial (1958), The Haunting of Hill House (1959), dan We Have Always Libed in the Castle (1962). Lottery sudah diadaptasi tiga kali ke layar lebar, dan paling terkenal rilis tahun 1969.


Terlihat banyak sekali cerpen yang diambil dari pengalaman pribadi. Sebagai seorang ibu, Shirley jelas suka bergosip dengan tetangga, ada banyak adegan di sini. Sebagai seorang agen penerbit ia tentu saja berpengalaman menghadapi staf nakal, di sini dikisahkan panjang sekali. Sebagai seorang istri, ia menyampaikan pengalaman perjalanan ke New York baik saat bersama suami atau sendiri naik bus, ada di sini. Sebagai warga Negara yang baik, ia tentu menyambut tetangga baru, di sini ada lebih dari dua kali. Sebagai manusia biasa, ia tentu beberapa kali ke dokter, ada beberapa pula. Hampir semua mengambil sudut pandang seorang wanita, seorang IRT, seorang pekerja kantor, seorang istri yang baik, dst. Jelas ini adalah pengalaman sendiri dengan bumbu imaji. Semuanya adalah kejadian sehari-hari, wajar, biasa, sangat sederhana. Nah, inilah hebatnya, kisah biasa kalau dicerita dengan bagus akan luar biasa. Di sinilah pengalaman (menulis dan membaca) itu penting sekali. Mencipta cerita bagus tak seperti lotre yang bisa diambil acak dan asal, harus dilatih dan ditempa panjang. Shirley Jackson tentu saja melakukannya.


Lotre; dan Cerita-Cerita Lainnya | by Shirley Jackson | Diterjemahkan dari The Lottery and Other Stories | Terbitan Farrar, Straus and Giroux, 2005 | Penerjemah Laura Harsoyo | Penyunting Nasrina Lubis | Tata sampul Airarumi | Tata isi Vitrya | Pracetak Wardi | Cetakan pertama, 2021 | Penerbit Noktah | 196 hlmn; 13 x 19 cm | ISBN 978-623-6175-08-8 | Skor: 4/5


Untuk ibu dan ayahku


Karawang, 280721 – 060921 – Earl Klugh – Midnight in San Juan


Thx to Diva Press

Kritikus Adinan #29


Apakah ini kesalahan saya?” / “Apakah itu bukan kesalahanmu?”

Pengantarnya adalah curhat, Pengarang dan Obsesinya. Senang banget paragraf akhirnya. “Setelah saya berkenalan dengan sastra asing, tahulah saya bahwa salah satu epigram novel Ernest Hemingway, The Sun Also Rises diambil dari salah satu kitab suci, juga mempertanyakan mengapa laut tidak pernah penuh. Itulah obsesi pengarang, yaitu serangkaian pertanyaan yang terus-menerus mendorong pengarang untuk menulis.”

#1. Krematorium Itu Untukku

Pembukanya keren sekali, penguburan yang absurd dibuat salah tempat dan menjadi pengandaian perjalanan manusia yang fana ini.tien bilang penguburan ayah Corrie akan dilakukan jam sepuluh, dan si Aku sudah menunggu lama tak kunjung datang.
Dan akhir yang sedih disajikan, lewat pertanyaan kepada anak-anak yang mencoba memberi petunjuk di tanah asing untuk jalan melintas agar dekat. Maya dan nyata tampak kabur sebab pembakaran mayat itu sejatinya bukan hanya untuk ayah Corrie.

Lho Tien, mengapa kamu sekarang mendadak ubanan? Mengapa kamu sekarang mendadak kelihatan tua sekali?”

#2. Penyair Besar, Penyair Kecil

Riwayat penulis/penyair memang berbeda-beda, pengalaman dan perjalanan hidup manusia. Ada yang sukses, banyak yang gagal. Termasuk penyair, bagaimana mencipta karya, mencoba mempublikasikannya, hingga efeknya apakah jadi terkenal atau tenggelam. Kali ini pertemuan dua penyair besar dan kecil, yang saling silang memberi petuah. Namun saat penyair besar mendengar pembacaan sajak, ia memberi banyak koreksi atau beberapa kutipan dari beberapa sajak terkenal yang dicatut.

Indah. Sajakku ini sangat indah. Ketika kukirimkan ke Horison, ditolak. Semua orang-orang Horison rupanya goblok…”

#3. Sahabat Saya Bruce

Bruce Allender yang aneh, sahabat saya. Mahasiswa yang tak menggunakan asrama selama kuliah, tapi justru menyewa rumah dengan biaya mahal. Sahabat perempuannya Milann yang awalnya dikira kekasih, tenyata hanya teman. Dan dalam perjalanan, justru Milann jatuh hati padaku. Namun tak segamblang itu, sebab mereka berdua menghilang.

Rupanya dia jatuh cinta padamu. Beberapa hari yang lalu dia mengajak saya berenang di sini, dan dia menanyakan bermacam-macam hal mengenai kau.”

#4. Kritikus Adinan

Mirip The Trial-nya Franz Kafka. Warga yang tak bersalah, tak tahu kenapa dipanggil ke Pengadilan, mengikuti prosesnya dengan absurd, seolah segalanya menentang dan mengoloknya. Keadaan yang dikira sederhana menjelma pelik.

Kritikus Adinan adalah namanya, ia mendapat undangan ke pengadilan. Sebagai orang yang mencoba selalu mencoba berbuat benar, ia berangkat di pagi hari yang ditentukan. Lalu segalanya berjalan dengan sangat aneh, semakin dalam semakin aneh, dan terlampau aneh untuk ditelaah. Karena itu, Kritikus Adinan melepaskan niatnya untuk menyadap kata-kata dari dalam.

Baru sekali inilah ada cecak masuk ke laci ini.”

#5. Secarik Kertas

Prajurit rendahan dipanggil langsung jenderal untuk menghadap. Prajurit yang katanya setia, terpercaya, dan cakap itu lalu ditanya ‘Untuk apakah kau ikut perang?” Ia tak tahu alasan sebenarnya perang, ia hanya melakukan tugas dan mencari pekerjaan di zaman sekarang sulit. Lalu sang Jenderal memberi tugas dengan secarik kertas. Tugas yang mengantar kepada kematian.

Dia menganggap saya kebal peluru.”

#6. Laki-laki Setengah Umur

Ini semacam renungan hidup, menikmati masa yang sudah lewat, dan berjalan menyaksi keadaan sekeliling. Melihat orang menangis, menyaksi rumah yang mirip dengan miliknya, melihat orang buta, perempuan kurus, dan seterusnya. Janggal dan ganjil semua dialognya.

Tunggu, Laki-laki setengah umur, omongan saya belum selesai.”

#7. Laki-laki Lain

Perbandingan suami-istri. Saling silang melihat perubahan dari awal menikah dan kini sudah menua. Seolah mendengar dan memahami, tapi nyatanya tak sejelas itu, ini pembunuhan, ini adalah tikaman pisau, yang tak disangka.

Bodoh benar, kau. Kau tadi berusaha mengingat-ingat rupa saya, dan inilah hadiahnya.”

#8. Dua Laki-laki

Ini bisa jadi yang terbaik kedua setelah cerpen yang ada di judul buku. Perjalan kereta api menuju kota K yang akan turun di Kota M, kejadian di luar menjadi absurd sebab dengan persepsi berbeda dua laki-laki: Laki-laki Berbaju Hitam dan Laki-laki Berbaju Putih. Mereka menyaksikan mobil dan pesawat yang dianggap sedang ditumpangi presiden. Lalu saat kecelakaan terjadi, apakah benar presiden mati? Fakta atau fiksi jadi kabur, tak mungkin kan presiden ada dua bersamaan dalam kendaraan yang berbeda?

Siapakah yang naik pesawat terbang?”

#8. Salipan

Salipan si kutu buku, ia mencium kertas dan menikmati baunya. Sang pemilik toko buku sudah kenal dekat, maka ia kenal pula pengarang Tontowi. Ini tentang selingkuh dan akibat pikat setelahnya. Antara Tontowi, Salipan, dan istri Salipan. Gemuruh air, asap rokok, dan kepul yang menggelegar.

Saya tahu apa yang ada di dalam.”

#10. Bambang Subali Budiman

Ini perjalanan dari Krian ke Trowulan. Saat menginap, namanya tercantum dengan gelar ganda: doktorandus ekonomi sarjana hukum. Perjalanan orang penting ini menjadi tak mudah tercerna sebab frasa tumpang tindih. Sentilan, lebih gampang cari dokter umum daripada tukang tambal ban membuat kita berkerut benarkan lulusan kedokteran di Indonesia sudah melimpah? Tulisan dibuat tahun 1979 di Bloomington.

Janganlah mengingat-ingat saya pada hal yang bukan-bukan. Menakutkan. Usahakanlah supaya saya melupakannya.”

#11. Senapan

Lelaki tua mendapat tamu seorang serdadu, satu-satunya anak lelakinya pergi berperang dan dianggap mati. Maka ini seperti pengobat rindu. Dan bergulirnya waktu, lelaki tua mencintai senapan yang dibawa sang serdadu, bahkan ia menginginkannya melebihi apapun. Tanah akan saya jual sekarang juga, dengan harga berapa saja, untuk membeli senapan.

Lihatlah betapa pandir wajah Laki-laki Tua, dan betapa canggung gerakan-gerakannya.”

#12. Tiga Laki-laki Terhormat

Suami yang marah sepulang kerja melihat istri tampak bermalas-malasan di rumah. Namun sejatinya itu hanya pemicu sampingan, pertengkaran sejatinya adalah sebab tak punya anak dan saling tuduh mandul. Sampai sumpah serapah kematian yang benar terjadi, sang suami mati dan ia menyandang status janda. Lantas ketika ia benar-benar mengandung, anak siapakah dia? Tiga lelaki terhormat memperdebat dan mengklaim, dengan hati bangga sekaligus kecut takut ketahuan istri sahnya.

Berdebatlah terus.”

#13. Potret itu, Gelas itu, Pakaian itu

Dan manakah anak perempuan yang memotret dahulu?” Perempuan yang mengundang lelaki di malam hari lewat jendela yang dibuka, lantas memastikan tak ada yang melihat, dan lampu dalam kamar yang remang. Mereka menyaksi beberapa benda. Potret, gelas, pakaian. Makna apa yang terkandung?

Bagi dia, laki-laki tidak bisa bebas dari perempuan, dan perempuan pada dasarnya adalah beban. Eva sengaja diciptakan Tuhan untuk menemani Adam, tapi sekaligus untuk melancarkan wahyu-wahyu setan…”

#14. Pengarang Rasman

Pengarang Rasman meninggal mendadak, padahal ia sehat wal afiat. Seorang yang rendah hati, saat ia menghadiri acara pembukaan di kebun sama walikota, ia tak mau duduk di depan. Kata-katanya sering dikutip dan ditelaah wartawan. Seperti kalimat, “Maaf, saya tidak memiliki pendapat.” Bisa diartikan banyak hal. Maka saat ia ditunjuk juri dan memiliki kekebasan menentukan, ia pasif saja. Wong kalem tenan.

Ketahuilah, masalah kebun kacang hanya masalah permukaan…”

#15. Manusia yang Berdosa

Gumirin dan malaikat maut berdiskusi. Kematian istrinya Jumirah membuatnya luluh lantak, ia mencintainya sepenuh hati. Ia tak cantik, pincang, miskin, dan setelah menikah tahulah ia bahwa istrinya mandul. Yah, Gumirin juga, masing-masing mereka tak beruntung. Maka dipersatukan mencipta hal lain. Ini kisah semaksimaldih maksimal.

Dengan mendadak kamu mengunjungi saya, Malaikat. Apa sebenarnya dosa saya? Sejak kecil saya selalu berusaha berbuat baik.”

Ini adalah buku kedua Bung Budi Darma yang kubaca setelah Rafillus yang absurd itu. Langsung jadi penulis idola, tampak unik dan luar biasa aneh. Kumpulan cerpen ini sama absurd-nya dengan Rafillus, tokoh-tokohnya tak biasa. Nama-nama juga nyeleneh. Dilengkapi ilustrasi ciamik di tiap cerita, rasanya memang pantas kukasih nilai sempurna.
Rasanya buku-buku Bung Budi Darma hanya masalah waktu untuk dikoleksi, salah satu penulis besar tanah air.

Apalagi kabar terbaru buku Orang-Orang Bloomington kini sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Penguins. Orang Indonesia pertama yang berhasil melakukannya. Kritikus Adinan rasanya hanya masalah waktu pula untuk mensejajarkan diri.

Kritikus Adinan | by Budi Darma | Cetakan pertama, Mei 2017 | Penyunting Adham T. Fusama | Ilustrasi isi Agung Budi | Perancang & ilustrasi sampul Nocturvis | Pemeriksa aksara Pritameani | Penata aksara Martin Buczer | Penerbit Bentang | Pernah terbit dengan judul Laki-laki Lain dalam Secarik Surat pada 2008 | xiv + 274 hlm.; 20.5 cm | ISBN 978-602-291-389-4 | Skor: 5/5

Karawang, 290721 – Linkin Park – Numb

#30HariMenulis #ReviewBuku #29 #Juli2021

Pasar #18

“Kekayaan, kedudukan, kekuasaan, kepandaian, dapat mematikan rasa. Mati rasa berarti hilang kemanusiaan kita. Hidup ialah bagaimana kita merasakan sesuatu. Bukan bagaimana kita memiliki kemewahan, kekuasaan, kekayaan.”

Novel dengan penggambaran detail mengagumkan. Mencerita apa adanya keadaan pasar dan par penghuninya. Sejatinya setting hanya satu tempat dari mula sampai jelang akhir. Pasar dan situasi yang ada. Orang-orangnya juga itu-itu saja, berkutat melelahkan. Pada dasarnya menggambarkan sifat manusia yang mengingin nyaman, ketika terusik maka ia marah, dan saat keinginan-keinginan tak terkabul, jadi petaka. Minim konflik tapi sungguh menohok saat masalah itu dilemparkan ke pembaca.

Kisah utamanya hanya ada empat karakter yang dominan. Pak Mantri sebagai tokoh sentral yang bertugas menjaga pasar pemerintah. Pasanya ada di Gemolong, yang setahu ada di Sragen, tapi entah apakah setting di kota lain mengingat sang Penulis lahir di Yogyakarta. Kedua adalah tukang karcis, bawahan Pak Mantri yang tiap hari menarik uang ke para pedagang. Ketiga adalah Siti Zaitun, petugas bank yang kantornya bersebelahan sama kantor pasar. Keempat adalah antagonis kaya bernama Kasan Ngali. Ia memiliki rumah besar yang dekat pasar, ia banyak melancarkan aksi jahat.

Ya sudah, kekuatan cerita berkutat di situ saja sampai akhir. pak Mantri yang sudah sepuh jelas adalah generasi kolot yang berpikir secara tradisional dalam memecahkan masalah. Ia memiliki pagupon dengan burung merpati banyak sekali, sering mengganggu orang-orang baik penjual maupun orang sekadar lewat. Nah kasus pertama dikemukakan, merpati itu dianggap sungguh bikin sial. Sering mengambil makanan para penjual, tainya sembarangan, berisik, dst. Maka suatu pagi saat ditemukan seekor sekarat, marahlah Pak Mantri yang meminta Paijo mengusut siapa yang membunuh, meminta tolong Siti menyembuhkan. Haha.. padahal keduanya biasa saja, atau malah lega, keinginannya diwakilkan seseorang.

Berjalannya waktu malah makin banyak yang dibunuh, puncaknya orang-orang pasar pindah ke rumah Kasan Ngali, rumahnya dibuka untuk umum, tanpa dipungut bayaran, Paijo yang meminta karcis sering kali zonk, para pedagang banyak yang menolak bayar. Seteru itu sudah ada lama, tapi kali ini benar-benar ditabuh.

Siti Zaitun seorang muda yang mengeluhkan keadaan di desa sepi. Bank sepi, tak banyak yang menabung mengancam masa depannya di sana, sejatinya ia biasa saja, malah syukur dipindahkan ke kota sebab desa tampak tak menarik bagi darah muda. Apalagi tetangganya si tua yang banyak komplain.

Paijo adalah susunan terendah dalam karta ini, ia hanya pesuruh. Ia manut saja ditendang ke kanan ya ayoo, disepak ke kiri yo monggo. Perannya banyak disepelekan. Sebagai kaki tangan Pak Mantri ia memang seolah tak punya suara. Pagi sudah rapi-rapi, kadang bakar telo atau pohon di kumpulan daun yang menggunung setelah disapu. Ia sering kali pula menjadi pelampiasan amarah atasannya, nasib jadi pasukan.

Kasan Ngali adalah manusia tamak, bermasalah sejak dalam pikiran. Duda, dengan mantan istri berjajar. Ia membuka rumahnya untuk pasar jelas bukan murni kemanusiaan. Ia memiliki misi mempersunting Siti Zaitun yang polos. Tahu bank sepi, ia menabung banyak. Untuk menarik perhatian ia beli mobil dengan disopiri, walau mobil bekas. Seolah menjadi malaikat kebajikan, ia membebaskan tempatnya buat jualan, membagi-bagikan uang seolah uang tinggal metik dari dahan. Bahkan saat ada misi membunuh merpati, ia dengan arogan membeli setiap merpati yang berhasil ditangkap saat Pak Mantri akhirnya melepas siapa yang mau, lalu dilepas lagi, dengan memberi tanda bahwa merpati itu miliknya. Aksi paling menjijikan menurutku adalah saat memberi hadiah ke Siti Zaitun, ‘memaksa’ untuk dijadikan istri. Bagi Kasan Ngali satu jalan tertutup bukan berarti hilangnya jalan lain. Akal pedagang itu lebih banyak dari jumlah jalan ke Bank. Tak tahu diri, dan fakta uang tak bisa membeli segalanya diapungkan dengan sangat gemilang.

Begitulah, waktu bergulir dengan tenang. Minum teh dengan dengkur merpati, cahaya mentari menerobos jendela memercik ke tempat kita santai. Dunia yang damai itu pada akhirnya menjadi tujuan Pak Mantri, seolah ada sebuah klik. Ia melepas segalanya, ikhlas dan penuh kerelaan tak ada sebersit materi yang perlu diganduli. “Kalau macan mati meninggalkan belang, Pak Mantri mati meninggalkan tembang.”

Paijo yang pegawai rendahan seolah dijadikan titik baik untuk naik derajat. Hanya Paijo sungguh-sungguh terhina, emngutuki diri sendiri, tertawa ialah pernyataan kemarahannya yng terpendam. Ia menapaki banyak sekali pelajaran hidup. Dari Kasan kita belajar, menyombongkan kekayaan, satu dari sekian macam perbuatan yang tak patut dikerjakan. Menyombongkan kepandaian, menyombongkan kesaktian, menyombongkan pangkat, menyombongkan kekayaan.

Kritik sosial juga banyak ditemukan. Salah satu yang kusuka adalah seolah ini penggambaran politik. Sebab orang itu kalau sudah berpolitik lain soalnya. Yang benar bisa salah, yang salah bisa jadi benar. Dunia yang dipolitikkan ialah dunia yang dibolakbalik. Hati pembaca turut dibolak-balik merasakan sensasi kesedihan sesering tertawa lepas akan situasi yang dicipta.

Pak Mantri sebagai seorang priyayi pada suatu kesempatan diminta tolong membuat gubahan tulisan. Merasa tersanjung dan dibutuhkan. Namun ada kalanya ia kesulitan saat akan menulis surat complain ke polisi. Susahnya menulis, tak semudah mencangkul. Sebentar ia merenung-renungkan nasib mereka yang mengajar orang untuk menulis, para guru itu… kalimat pertama ialah yang sukar. Sesudah yang pertama meski akan berjalan dengan sendirinya…

Ada satu kalimat yang absud nan menawan. “Ia memegangi mulutnya, seolah takut akan keluar kata-kata yang tak pada tempatnya.” Membayangkan kalimat itu terbesit kejanggalan. Mulut ditutup takut kata-kata keluar. Bukankah otak yang menyusuh untuk bicara atau diam?

Teori kehidupan banyak sekali diapungkan. Salah satu yang asyik mungkin saat menyinggung nafsu. Kuntowijoyo ini mirip sufi ya. “Kita punya tiga macam nafsu. Nafsu amarah ialah yang membuatmu angkara, mendorong kepada perbuatan jahat. Nafsu lawamah ialah memberi pertimbanga, berada di tengah-tengah, bergoyang seperti timbangan. Dan nafsu mutmainah ialah yang menuntunmu ke kebaikan…”

Filsafat kehidupan tentu saja ada. Apa itu bahagia? “Soalnya ialah bagaimana kamu merasakan, bukan bagaimana sebenarnya yang terjadi. Rasa ialah kunci dari kebahagiaan.” Nah, intinya ada di rasa. Di situlah titik paling vital yang menjadi kunci kehidupan.

Dan karena ini mengenai Jawa dan budayanya. Nasehat untuk selalu, “Ingatlah bahwa kau orang Jawa, ketika engkau gembira, ingatlah pada suatu kali kau akan mendapat kesusahan. Apalagi menertawakan nasib buruk orang lain.” Menjadi poin kesekian yang laik dibagikan. Udar-udar roso, saling menghormati dan tenggang rasa.

Kuntowijoyo lahir di Yogyakarta, 18 September 1943. Lulusan UGM fakultas sastra tahun 1969 lalu mengabdi di almamaternya. Tahun 1973 mendapat tugas belajar di Universitas Connecticut, USA dan memperoleh gelar M.A setahun berselang, sementara gelar Ph.D-nya diperoleh di Universitas Columbia dalam studi sejarah tahun 1980. Nama besarnya sudah melegenda, banyak bukunya tersebar di media sosial yang membuatku penasaran. Namun setelah baca esai Mahfud Ikhwan-lah saya benar-benar memutuskan menikmati karyanya. Pasar adalah novel pertama Kuntowijoyo yang selesai kubaca.

Buku ini kudapat dari giveaway Twitter @akudodo, kuselesaikan baca saat Isoman tiga minggu bersama buku-buku lainnya. Terima kasih.

Pasar | by Kuntowijoyo | Cetakan pertama, Maret 1995 dan kedua, November 2002 diterbitkan oleh Bentang | Cetakan ketiga, 2016 diterbitkan oleh Mataangin | Desain sampul Buldanul Khuri | Ilustrasi cover Anugerah Eko T. | Tata letak Erwan Supriyono | Penerbit MataAngin | ISBN 978-979-9471-26-0 | Skor: 5/5

Karawang, 180721 – The Cranberries – Loud and Clear

 #30HariMenulis #ReviewBuku #18 #Juli2021

#Februari2021 Baca

Sekolah ke luar daerah kemudian mencipta rutinitas baru, dan menempatkan rutinitas lama sebagai nostalgia.”Mahfud Ikhwan dalam ‘Menumis itu Gampang, Menulis Tidak’

Bulan kedua tahun ini kulalui dengan 10 buku lagi. Berjalan dengan tenang dan semestinya. Biografi Bung Karno yang sudah sangat lama kuinginkan akhirnya kuselesiakan, buku terbaru Cak Mahfud berisi kumpulan esai di kolom Mojok, White Tiger yang diadaptasi film, kumpulan artikel Anton Kurnia di berbagai media, hingga cerita filsafat dengan fun. Buku kedua Schimmel yang biasa saja hingga cerita tentang Papua. Mari kita amati.

#1. Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Cindy Adams

Buku legendaris yang banyak dijadikan acuan tentang riwayat Bapak Pendiri Bangsa. Terutama adegan pasca proklamasi yang legendaris itu, akhirnya kulahap dengan tenang dan antusias, pesan sate!

Bagian istri-istri juga mengungkap banyak hal, ternyata sebelum sama Inggit beliau sudah menikah dengan putri Pak Cokro. Bagaimana proses menikah lagi sama Fatmawati yang sesak, ia tak mau dimadu, dan walaupun sudah memberinya anak yang diidam-idamkan, ia menikah lagi dan lagi. salah satu pengakuan yang agak mengejutkan (bagiku) adalah posisi saat ia masih menjadi suami orang, tapi jatuh ke pelukan istri orang lain. Inilah Bung Karno, apa adanya.

Sudah menjadi pembawaanku untuk mencoba tetap gembira menghadapi keadaan apa pun.”

#2. Menumis itu Gampang, Menulis Tidak Mahfud Ikhwan

Banyak hal mewakili pengalamanku sendiri, otomatis banyak hal pula menjadikannya ironi hidup. Sepakbola, buku, Muhammadyah, resign di tahun 2009, males keluar rumah (apapun modanya), kopi melimpah dst. Lazio, Chelsea, La Coruna rasanya hanya tim gurem yang tak ada apa-apanya dalam sejarah Eropa dibanding gelimangbgelar AC Milan, Liverpool, dan eehhheemmm Madrid. Saya benar-benar mencintai bola lebih belakangan, baru di Piala Dunia 1998 kala Italia bersama aksi Vieri-nya. Sepakat sekali segala apa yang dikisah panjang lebar dalam ‘Menunggu”, yang menyata bahwa kecintaan pada permainan ini sungguh absurd.

Walau terkesan sombong, seperti yang terlihat dalam wawancara di Youtube, “saya punya buku baru lagi…” atau ketika mengunggah gambar di sosmed saat membubuhkan untuk momen pra-pesan. Keterangan yang tertera, ‘resiko penulis produktif’ bagiku, Cak Mahfud adalah pribadi rendah hati. Dalam esai yang diproduksi untuk kolom Mojok selama 2020 ini, kita bisa mengenal Sang Penulis, sebagian besar lucu, sebagian besarnya lagi ngomong ngalor ngidul nostalgia masa lalu. Apa yang disampaikan adalah hal-hal umum, kegiatan sehari-hari, hal-hal yang biasa kita hadapi. Tak ada yang muluk-muluk, ngawang-ngawang, atau seperti yang sering disebut sama beliau, “tak rumit dan tidak ngakik-ngakik”.

Menyukai sepakbola, seperti benang yang susah payah dirajut dan kemudian dibongkar, adalah rasa sakit dan sulit yang dinikmati, kebahagiaan yang fana dan dengan cepat memudar, dan ia lakukan berulang-ulang. Dan saya kira karena itulah, saya tak membutuhkan rasa sakit yang lain.”

#3. Mencari Setangkai Daun SurgaAnton Kurnia

Kumpulan artikel dengan banyak tema. Dari sastra sampai olahraga, dari filsafat sampai ke sejarah, dari ilmu sosial sampai politik. Benar-benar paket komplit. Tulisan singkat-singkat, tiga empat halaman jadi bisa dibaca santai. Hanya beberapa yang lebih panjang, dan tulisan singkat seperti ini terasa kurang dalam. Namun cukup bervitamin, karena memang isinya diambil dari tulisan di media massa, kita menempatkan diri pada pembaca umum.

Tugas seorang penulis adalah menyuarakan pembelaan terhadap mereka yang tertindas di bagian dunia mana pun, itu tercermin dalam karya-karyanya.Nadine Goldminer

#4. White Tiger Aravind Adiga

Drama India yang menyentuh. Terasa berat menyongsong kisah pilu, tapi terasa tak adil. Betapa kehidupan fana ini menjelma emosional saat kita menyaksi, menjadi saksi kisah perjalananan yang tak adil. Sopir miskin yang diangkat, sedikit diangkat derajatnya malah menjadi pembunuh sukses secara finansial, menjadi monster keluarga setelah disekolahkan, bisa baca tulis. Menjelma macan panas, mencaplok mangsa apa saja yang ada. Dan tak tersentuh hukum, bahkan menyuap hukum untuk memuluskan rencana-rencana bisnis. Lantas apa bedanya ia dengan para koruptor yang di cerita muak? Orang-orang datang dan pergi. Pekerja yang baik tidak pernah menetap.

Kau bagaikan harimau putih di tengah hutan.”

#5. Tanah TabuAnindita S. Thayf

Dari novel pemenang DKJ tahun 2008, kisah tentang tanah Papua (lagi). Mendayu-dayu dalam balutan kritik sosial, bagaimana tanah kaya raya ini menempa kemiskinan dalam kesederhanaan.

Kisahnya tentang Leksi, anak asli Papua yang ditemani binatang peliharaannya dalam mengarungi rutinitas. Pum, si anjing tua yang sudah menemani generasi lama, seolah bisa berpikir. Kwee, si babi yang menyaksi banyak peristiwa penting keluarga ini. Keduanya lucu, dan menggemaskan kecuali endingnya. Hiks, fufufu… “Keberanian itu hal biasa. Ketabahan itu hal biasa. Tapi kepahlawanan memiliki unsur filosofis di dalamnya.” (Segala-galanya Ambyar, Mark Manson). Dan Aku, si Leksi kecil, menjadi tumpuan harap keluarga. Setiap berganti sudut pandang, akan ada nama mereka cetak tebal di tengah. Selain sudut mereka, narasi mengalir dari sisi pencerita terutama saat masa lalu, jadi mengalir dinamis, banyak di Aku, tapi sejatinya tak ada yang dominan. Mace, ibunya dan Mabel neneknya. Para perempuan, di mana lelaki saat diperlukan? Simak saja, mungkin akan jadi novel tema feminism tapi tak sepenuhnya. Dan karena kisah utamanya adalah tentang Leksi, maka kita akan melihat banyak hal tentangnya dari masa lalu orangtua hingga masa kini sebagai harapan keluarga, terutama pendidikan setinggi-tingginya. “Berjanjilah kepadaku untuk rajin bersekolah hingga kau kelak menjadi anak pintar yang akan membanggakan Mace dan Mabel-mu…” Leksi-ku sayang. Leksi-ku tercinta.

“… Tidak diperjualbelikan. Tanah kami keramat, Nak. Tabu. Diciptakan yang Mahakuasa khusus untuk kita, tahukah kau kenapa? Sebab dia tahu kita bisa diandalkan untuk menjaganya.”

#6. Pribadi MempersonaLa Rose

Ini adalah buku pertama La Rose yang say abaca, dan lumayan bagus. Nasehat dan tutur bahasanya enak, benar-benar dari orang yang pengalaman dan pandai merangkai kata. Bulan lalu say abaca satu lagi, Pendeta Yonas juga bagus. Penulis generasi orangtua kita, yang sukses memberi petuah. Sesungguhnya setiap orang adalah pribadi mempesona. Setiap orang, seperti mutiara punya pesona dalam dirinya.

Pesonanya adalah cahaya mutiara kepribadiannya. Akan tetapi banyak orang tak sadar akan pesonanya yang tak memancar! Seperti mutiara, ia terpendam dalam ‘lumpur kehidupan’ yang bernama kesibukan sehari-hari, ketidakpedulian pada lingkungan, ketidakpedulian pada kekasih, juga ketidakpedulian pada diri sendiri. Atau seperti mutiara ia lupa mengasah dirinya.

Adaptasi itu sangat penting. Saya menyadari perubahan drastis dari lajang ke menikah. Kebebasan seolah dibelenggu. Dan mereka yang sukar menyesuaikan diri adalah orang-orang yang mudah sekali menjadi tidak bahagia. “Kepatuhan” adalah unsur yang paling utama dari pengikut yang baik.

#7. Rahasia Nama-nama IslamAnnemarie Schimmel

Buku yang umum sekali, karena buku ini sebenarnya diperuntukkan untuk Orang Barat yang mendalami Asia, atau Timur Dekat mereka menyebutnya. Makanya sangat biasa saat kubaca, sangat umum dan akrab.

Memberi nama seorang anak dengan orang suci lokal adalah kebiasaan yang menyebar di semua agama, contoh orang Muslim yang sangat terkenal yang menjadi anak Raja akbar Salim, yang kemudian menjadi raja bergelar Jahangir…

#8. Lockwood and Co.Jonathan Stoud

Kisahnya mengambil sudut pandang Lucy Carlyle, ia menjadi penyelidik paranormal sejak kecil. Punya pendengaran tajam akan keberadaan makhluk halus. Dalam kisah ini ada dua tingkat: tingkat satu adalah makhluk lemah yang mudah diabaikan, cere, Cuma pengganggu iseng. Jenisnya: Cold Maiden, Gibbering Mist, Grey Hazel, Lurker, Raw Bone, dll. Tingkat Dua berbahaya, ia bisa membunuhmu bisa saat penanggulangan salah. Jenisnya: Dark Spectre, Changer, Phantasm, Poltergeist, Screaming Spirit, dll. Tingkat Tiga adalah legenda, sejauh ini belum ada, hanya kabar kabur bahwa Marissa Fittes pernah menaklukkannya.

Orang bilang Marissa Fittes bercakap-cakap dengan hantu-hantu Tipe Tiga di masa lalu, dan bisa mempelajari banyak hal. Tapi itu kekuatan langka, dan hantu-hantu semacam itu juga langka. Kita semua harus puas dengan informasi remeh apa pun yang bisa kita dapatkan…”

#9. The Joy Luck ClubAmy Tan

Joy Luck Club adalah suatu ide yang diingat ibuku dari masa perkawinan pertamanya di Kweilin, sebelum masuknya Jepang. Kami orang-orang yang beruntung. Lalu kami mengobrol sepanjang malam sampai pagi, menceritakan kisah-kisah yang menyenangkan di masa lalu, dan di masa yang akan datang.

Karena perempuan adalah yin, kegelapan yang tersembunyi, tempat nafsu yang tak terkendali bersarang. Dan laki-laki adalah yang, kebenaran yang bersinar, menerangi pikiran kita.”

#10. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer Jujun S. Suriasumantri

Makin pandai seseorang dalam bidang keilmuan maka harus makin luhur landasan moralnya. Ilmu pengetahuan tidak bisa disangkal merupakan agama yang paling efektif karena ini adalah agama pertama yang mampu berevolusi dan memperbaiki dirinya sendiri. Buku ini diterbitkan agar masyarakat lebih mencintai filsafat. Kubaca santai sejak bulan September tahun lalu, setelah dengan terjal mencoba tuntaskan, akhirnya selesai juga. Sempat menghantuiku berbulan-bulan, sebab saat itu menemukan pengetahuan yang tak lazim tentang filsafat. Jelas buku ini memesona sekali, terutama separuh awal, tema serius disampaikan fun, dengan gambar-gambar lucu dan potongan kutip filsuf dari berbagai era. Sempat pula kubilang, wow. Ini ditulis oleh Penulis lokal, penuh gaya dan akrobat kata yang disodorkan luar biasa nyaman. Belajar filsafat tak melulu pening.

Maka kata Einstein: “Ilmu tanpa agama adalah buta, agama tanpa ilmu adalah lumpuh… mengapa ilmu yang sangat indah ini, yang menghemat kerja dan membikin hidup lebih mudah, hanya membawa kebahagiaan yang sedikit kepada kita?”

Karawang, 230321 – 090421 – Ebiet G. Ade – Kupu-kupu Kertas