The Hunt: Maka Marilah Merenungkan dengan Jernih Perasaan Setiap Orang

Lucas: “Tatap aku! Apa yang kau lihat? Apa yang kau lihat? Tak ada apa-apa. Apapun. Jangan ganggu aku.”

Di tengah-tengah perjalanan hidup ini, aku mendapati diriku di sebuah hutan lebat; aku tersesat. The Hunt adalah film untuk para penyabar dan para simpatisan kasih sayang. Ini tentang guru Taman Kanak-kanak yang kena fitnah pelecehan seksual anak. Seorang pemburu yang kena apes bertubi, sebab ia memang tak melakukannya. Senapannya menyalak balik dengan sungguh keras. Ia kena penghakiman warga. Kasus pencabulan anak jelas kasus kelas berat. Ia dikucilkan, dihujat, dihajar (dalam arti nyata), diredam lumpur terdalam. Bak pendosa dalam lapis paling hitam. Bahkan anjing keluarga bernama Fanny, teman berburunya dibunuh. Begitulah, tak di Indonesia tak di Eropa, apalagi Zimbabwe; fitnah memang luar biasa kejam gemanya.

Kisahnya bermula di bulan November yang dingin, bapak-bapak sedang lompa terjun ke danau demi kesenangan dan uang taruhan. Lucas (Mads Mikkelsen) tampak menikmati har-hari, ia duda anak satu. Anaknya Marcus (Lesse Fogelstrom)  tinggal bergantian sama mantan istrinya, ada kedekatan di antara anak-ayah ini; dalam sebuah adegan yang bisa mencipta anak sungai air mata, Marcus membela dengan membabi buta atas keyakinannya. Seorang guru TK yang dekat sama anak-anak, wajar juga dekat dengan segala lapisan warga. Apalagi ia tampan, dan hidup terasa sempurna bersama orang-orang dalam kasih, dalam rutinitas. Pedesaan Taastrup di Denmark yang tenang nan menghanyutkan. Kesenyapan jalanan di Gereja Hoje Taastrup yang dipagari pohon-pohon elm menuli. Ini rutinitas yang jamak untuk hati yang tenteram, tak heran Lucas dengan kekuatan supernya bersikukuh tetap tinggal.

Hingga suatu hari, seorang anak didik Klara (Annika Wedderkopp) bercerita kepada gurunya bahwa alat kelamin Lucas keras dan pernah memperlihatkan padanya dibeberkan. Satu klik yang mencipta gelombang kolektif, sebab dari menit inilah Hunt menjadi liar. Kasus ini menjadi besar dan semakin meluas bak api kena daun kering. Menjejakkan langkah pertama ke adegan pengungkapan, mencipta gemetar dan gelisah.

Guru-gurunya melakukan rapat, para orangtua/wali murid diajak urun rembug untuk memutuskan bahwa ini harus dibawa ke ranah hukum. Orangtua Klara, Theo (Thomas Bo Larsen) yang merupakan sahabat dekat Lucas melakukan apa-apa yang memang harus dilakukan untuk melindungi putrinya.

Marcus turut menjadi korban, ia juga dikucilkan warga akibat fitnah dosa ayahnya. Bahkan di sebuah swalayan, ia mendapat ancaman untuk disampaikan ke ayahnya agar tak berbelanja di situ lagi. nantinya Lucas kena hajar akibat nekad, tapi ia memang punya harga diri. Kaca mata boleh pecah, muka boleh berdarah, yang jelas ia wajib meninggalkan toko dengan berdiri tegak.

Lucas lalu diamankan polisi, interogasi yang menentukan besok untuk bebas atau ditahan sementara. Marcus komplain ke rumah Klara, malah dapat bogem mentah karena merasa mengintimidasi. Keadaan rumit dan runcing, pada sumbu pendek semua. Marcus mengumpat balik dengan keras, walau ekpresinya mengangguk sedih, tetapi jelas keyakinan di wajahnya tidak menghilang: ayahnya tak bersalah. Benar saja, saat kepolisian memutuskan bebas, intimidasi tak berhenti.

Fanny dibunuh setelah jendela rumahnya dilempar batu. Marcus dipindahkan ke rumah ibunya. Lucas menghadapi pengadilan sosial langsung oleh tetangga, sahabat-sahabatnya, rekan kerja, dst padahal sudah dilepas merdeka dan tak bersalah. Hingga suatu malam Natal, di Gereja Lucas nekad datang dalam misa, terjadi rusuh akibat kemarahan yang lama dipendam. Darah dan kata-kata meluap bersamaan.

Harus ada yang bertindak, harus ada yang meluruskan. Kita harus mengambil tindakan agar tidak menyesal kelak di kemudian hari, demi persahabatan, demi keadilan. Tak lain, yang berdiri tegak itu adalah ayah Klara, setelah kena damprat, ia datang langsung ke rumah Lucas, membawa makanan dan sebotol bir, dan menyajikan kata-kata maaf yang tertunda sekian lama. Saat waktu direntang setahun, kita tahu keadilan orang baik itu masih ada, setidaknya masih ada harapan. Hingga akhirnya dalam perayaan usia dewasa Marcus, ia mendapat senapan berburu dari bapaknya, senapan yang juga dari kakeknya, dan kakek buyutnya, kini ia diwarisi tradisi itu. Perasaan lega kolektif. Namun sekali lagi, benarkah hal-hal yang abu-abu itu sudah diputihkan? Setidaknya kunjungan Theo ini perlu dirayakan. Laiknya mengocok botol-botol anggur paling langka dan keras.

Apa yang bisa aku ulas? Tak banyak, tonton saja dan buktikan. Ceritanya hanya berkutat di desa asri dengan orang-orang yang semestinya damai dan saling menghormati. Pace-nya lambat, sungguh lambat, setrika bolak-balikku bahkan terasa lebih cepat dan ritmis. Menit digulirkan dengan tenang seolah aliran air dalam selokan dalam. Gaya filmnya menjulang seturut temanya, dan mengembang laiknya air pasang dan alurnya yang berpanjang-panjang menggugah penonton, mengalirkan keraguan dan kekhawatiran. Kehidupan warga yang damai, hanya sesekali muncul meriah festival: adegan di toko, adegan di Gereja, adegan di rumah Theo, adegan ‘door!’ di ujung. Apalah arti empat adegan ini jika dibanding dua jam duduk melotot. Bahkan setrika bajuku, jauh lebih panas ketimbang baku hantam yang ditawarkan. Insiden fantasi Klara sejatinya adalah picu, dan seharusnya bisa diredam saat putusan sudah dipalu. Namun itulah manusia, hukum sosial memang berbuntut panjang dan sangat keras. Ada kekesalan, ada kemarahan kolektif, bahkan setelah setahun berselang. Padahal sepanjang film kita tahu, dan yakin Lucas tak salah. Mungkin di tengah film kalian masih ragu, tapi jelas aku dengan percaya diri bilang dia orang baik. Apa buktinya? Banyak sekali, bertebaran sepanjang film. Kalau orang normal saat dipojokkan, dihujat, bahkan dipukuli para tetangga, paling mengepalkan tangan balik dan ujung bisa jadi paling pindah; atau yang keras bisa malah membalas brutal atas perlakuan tak menyenangkan. Namun tidak, Lucas adalah sosok istrimewa. Ia memperjuangkan haknya, ia meyakini bahwa apa yang benar harus dijunjung. Sebuah fakta sederhana: hidup adalah pertaruhan.

Sempat terbesit pula dalam pikiranku, andai Lucas habis sabar apakah ia akan mengangkat senjata membalas orang-orang yang menyakitinya. Sebab tampang Mads Mikkelsen memang cocok jadi penjahat, image villain Bond dalam Casino Royale selalu membekas di otakku, atau jadi pemimpin penjahat dalam Dr. Strange yang itu. Namun balik lagi, di sini ia jadi guru TK yang baik hati dan tidak sombong. Hunt mengangkat tema umat manusia, bukan seorang manusia. Bisa jadi ini kisah hidup Lucas, tapi jelas ini tentang kehidupan manusia yang beragam.

Satu klu istimewa kenapa Klara menyampai kebohongan kecil itu, kita bisa tarik kesimpulan ia jatuh hati sama Pak Lucas. Lihat, ia lebih suka diajak jalan pas pulang sekolah sama dia ketimbang misal dijemput ibunya, atau saat ia dengan hati berbunga berkunjung mengajak Fanny jalan sore, ia bahkan meyakini sosok Lucas adalah ayah ideal. Maka akibat, fatamorgana kecil saat di laut perasaan, ia tergelincir.

Bohong kalau kalian tak merasakan simpati. Kita dihadapkan keadaan sesak nan memilukan. Seandainya aku memiliki seribu lidah, aku takkan mampu melukiskan penderitaan fitnah yang luar biasa ini. Gambaran utama Lucas yang teguh, melawan balik kepahitan hidup, dan sosok anaknya yang terus meyakini ayahnya tak bersalah, membela hingga titik maksimal. Dunia Hunt adalah dunia yang mungkin kurang ideal, tapi tetap mencoba adil. Endingnya membuktikan bahwa, sehebat apapun kamu mencoba membersihkan luka-luka keadaan, kamu tak kan bisa. Ada saja orang yang akan membencimu, bahkan sekalipun kamu suci bak malaikat. Inilah strukturasi gejala sosial, ekonomi, kultural, dan politik yang kemudian membentuk kondisi modernitas dunia kita. Dengki adalah anak kandung fitnah yang kadang bertanya, “dapatkah kita hidup di suatu dunia di mana tak ada apa pun juga yang kita anggap menghakimi?” Kalian yang semestinya menjawab.

The Hunt yang luar biasa, dapat kita simpulkan bahwa simpati adalah sebuah hadiah, maka marilah merenungkan dengan jernih perasaan setiap orang.

The Hunt | Tahun 2012 | Judul asli Jagten | Denmark | Directed by Thomas Vinterberg | Screenplay Tobias Lindholm, Thomas Vinterberg | Cast Mads Mikkelsen, Alexandra Rapaport, Thomas Bo Larsen, Annika Wedderkopp | Skor: 5/5

Karawang, 140921 – Cassandra Wilson – I’ve Grown Accustomed to his Face

The Hunt masterpiece, Terima kasih referensinya Om Lee

– Buds –

Surat dari Praha: Gegap Gempita Kesetiaan

Jaya: “Saya akan mencintai dia selama-lamanya.”

Romantisme berbalut politik dan amarah yang tertahan, saat terbuka sumbat, buncahnya malah menyatukan jiwa-jiwa yang sepi. Tak ada yang bisa kita perbuat lebih selain mengikhlaskan masa lalu, kesalahan-kesalahan, egoisme masa muda, ideologi yang teguh. Sejatinya pilihan hidup yang menjadi komitmen adalah lubang cacing yang wajib dijalani tanpa sesal. Surat dari Praha mencipta kisah cinta yang sungguh sentimental. Terusir sebab mempertahankan ideologi sah-sah saja, mempertahankan cinta sejati juga sah-sah saja. Setiap pribadi adalah unik. Bukannya tak ada, manusia jenis ini langka, dan gegap gempita kesetiaan itu dipetakan dengan pas. Musik, atau di sini seni sangat dominan. Ini Praha Bung, tempat Franz Kafka lahir.

Kisahnya tentang Larasati (Julie Estelle) yang kesal sama ibunya sebab ia dalam kesulitan finansial, ditambah ia kini bercerai. Sang ibu Sulastri (Widyawati) yang terbaring sakit bersikeras cinta tak boleh terputus. Tak berselang lama setelah adegan saling ngambek itu, Bu Sulastri meninggal dunia, dalam surat wasiatnya menyatakan bahwa Larasati akan mendapat rumah warisan jika berhasil mengantar satu boks ke orang asing di Praha. Sang notaris sudah mendaku, silakan kejar, pakai tanda terima. Hufh… petualangan di negeri asing-pun dimulai.

Larasati mendarat dengan mulus di kota eksotik ini, mencari orang asing juga dengan mudahnya. Ternyata Pak Jaya (Tio Pakusadewo) adalah sarjana nuklir, menjadi seorang cleaning service di sebuah gedung teater. Ia mahir memainkan harmonika, fasih bernyanyi dengan suara merdu, ia adalah aktivis yang terasing di masa Orde Baru. Situasi pertemuan dengan Jaya tak berjalan mulus, saat tahu bahwa  ia adalah anak Sulastri, dan membawa kabar duka. Ada nada amarah dan sedih di sana, Laras diusir dari kosnya. Ia yang tak tahu sebabnya pergi dengan situasi kesal.

Cerita bagus memang mewajibkan dibuat untuk mempersulit para karakter, maka saat Laras naik taksi menuju hotel, ia kena begal. Bukan hanya di Indonesia begal taksi ternyata, di Cekoslovakia begalnya bersenjata dan lancar sekali menjalankan aksi, Laras diturunkan di tempat sepi, ditodong senjata dan semua barang diminta tak dibawa. Ia tentu saja pening lalu menghubungi polisi, diantar ke kantor kedubes Indonesia, tutup karena larut. Lantas karena tak ada lagi tempat yang laik dituju, ia kembali ke alamat di mana ia memulai, ke kos Pak Jaya.

Jaya yang frustasi mabuk berat, kaget sang gadis kembali. Karena situasi, ia diperkenankan menginap semalam. Esoknya ke kantor dubes, lagi tutup layanan karena sedang ada pergantian jabatan (ah… khas Indonesia). Yo wes, ia menelpon temannya, pinjam uang untuk ditransfer ke rekening Pak Jaya. Selama itulah mereka bedua akhirnya dipaksa mengenal lebih dekat satu sama lain.

Jaya yang keukeh menolak menerima kotak, lantas karena penasaran Laras membukanya. Betapa terharunya, isinya adalah surat Pak Jaya kepada ibunya, dibacanya curahan hati itu. Ibunya yang rapuh dan sakit, ibunya yang antusias saat menerima surat, ibunya yang dulu merupakan kekasih Jaya. Ada hubungan istimewa ternyata, Jaya marah sebab kotaknya dibuka, Laras marah sebab Jaya adalah penyebab kehidupan orangtuanya goyah. Saling marah dan menjaga jarak.

Yah, itu tak kan lama. Mudah ditebak mereka luluh akan keadaan, sama-sama terasing. Dalam adegan haru, andai ia tak ke Ceko apa yang terjadi, mungkin kamu adalah anakku. Fufufu… Laras pandai memainkan piano, piano tua dimainkan di rumah dengan meriah. Saat lagi kerja, piano di panggung berpenonton kosong, dimainkan pula. Syahdu dan merdu. Dunia tampak adem dan asri. Selamat, Julie Estelle lulus, benar-benar bernyali.

Lantas, saat masalah uang selesai. Tiket dan berkas pulang sudah beres, ia seharunsya pergi tapi tak segera pergi. Saat surat tanda terima sudah ditandatangani, ia seharusnya pergi tapi tak segera pergi. Saat semua urusan selesai, ia seharusnya pergi, dan yah memang harus pergi. Malam terakhir di Praha menjadi meriah dengan pesta, tapi terasa hati itu hambar. Bahkan menit-menit akhir jelang kepulangan ke Indonesia, masih saja labil hati yang tua ini. Surat-surat itu menjadi penghubung fisik keduanya, tapi tak serta merta langsung ke hatinya.

Ini adalah jenis drama mendayu, menjadi film yang diwakilkan ke Oscar dan terdepak. Wajah sih, sangat wajar. Tanggung kelasnya. Sekadar lumayan, terlalu formal bahasanya. Ngomong sama orang asing, bilang ‘Anda tak seharusnya bla bla bla…’ dan lucunya ditimpali pula dengan jawaban normatif yang mirip seolah tukang naskah yang menulisnya membuat makalah di kampus. Lagu-lagu almarhum Glenn Fledly menyelingkupi di banyak adegan seolah pamer keistimewaan vocal. Memang ciamik musisi ini dalam merangkai kata puitik dalam lirik.

Jaya sendiri mendaku bukan komunis, ia bertahan di Praha karena secara ideologi tak setuju dengan Orde Baru, ia dan beberapa temannya yang tetap teguh dengan apa yang dipegang dengan segala konsekuensinya. Situasi politik tahun 1966 dan setelahnya memang genting.  Ideologi merupakan kepercayaan yang dikontruksi secara sosial yang sepenuhnya diterima berdasar keyakinan belaka. Ideologi buruk macam rasisme atau seksisme langgeng lebih karena ketidaktahuan ketimbang kebencian. Apakah komunisme buruk? Belum tentu. Apakah sosialisme butuk? Belum tentu. Bahkan apakah Pancasila benar-benar baik? Juga belum tentu. Banyak faktor yang menyelingkupi. Tidak ada Negara yang sepenuhnya adil dan aman, apapun ideologi yang dipakai. Tidak ada filsafat politik yang mampu mengatasi masalah setiap orang dalam sepanjang waktu. Jangan mengharapkan kehidupan yang lebih baik. Cukup hiduplah dengan baik. Hidup dengan baik bukan berarti menolak penderitaan, yang sesungguhnya adalah menderita untuk alasan-alasan yang benar.

Kalian memiliki iman bahwa cinta adalah hal yang penting, ideologi juga hal yang penting, pekerjaan juga hal penting, pengetahuan yang didapat juga penting, dan semua hal ini adalah sesuatu yang penting. Lantas kalau semua penting, mana yang menjadi prioritas? Pengorbanan bisa jadi hal yang menjadi tema istimewa, tapi tentu saja yang paling penting dari segalanya adalah bertahan hidup.

Seperti kata Gustave Flaubert,Saat kita menemukan dunia ini terlalu buruk, kita butuh mengungsi ke dunia lain.” Sebagai eksil, Jaya bisa merasa merdeka di negeri asing. Walau pahit terpisah drai orang-orang terkasih, dan terutama jelas sekali saat mengetahui kabar kematian kedua orang tuanya. Sedo. Jadi kabar menyedihkan saat di pengasingan tanpa bisa berbuat apa-apa. Sedih sekali, tapi masa itu memang banyak terjadi.

Secara keseluruhan, sebenarnya serba nanggung. Dramanya nanggung, naskahnya nanggung, akting Estelle dan Tio bisa jadi meletup-letup luar biasa, tapi tetap saja nanggung. Bahkan malam terakhir itu kalau versi Freddy S. bisa lebih liar. Namun tidak, semua yang dipaparkan di Surat dari Praha dicipta datar, bermain aman, serta tak meledak meriah. Wajar sekali dicoret dari Oscar, film-film kita masih jauh perjalanan menuju Penghargaan Hollywood.

Surat dari Praha | Tahun 2016 | Sutradara Angga Dwi Sasongko | Naskah M Irfan Ramli | Pemain Julie Estelle, Tio Pakusadewo, Widyawati, Rio Dewanto | Skor: 3.5/5

Karawang, 080721 – Hanson – Look at You

*) Film ini kusaksikan di Mola TV, dapat paket gratis IndonesiaSehat selama PPKM, thx.

Best Films 2020

Karena aku pun menari-nari

Dan minum dan bernyanyi

Sampai sebuah tangan tak bermata

Meremukkan sayapku

William Blake, Songs of Experience “The Fly”, Stanza 1-3 (1795)

Tahun yang berat dan sungguh aneh. Pandemi berlangsung dan lama, hingga kini. Oscar mundur ke April, secara otomatis daftar terbaik mundur 2 bulan pula. Setelah kejar sana-sini, akhirnya saya susun film terbaik 2020. Tanpa film lokal sebab sepanjang diumumkan kasus pertama Corona, saya otomatis tak ke bioskop.

Dari remaja melakukan aborsi sampai jiwa yang melayang di dunia antara, dari manusia tak terlihat yang mendendam sampai wanita muda yang mendendam, dari film berisi obrolan sepanjang samudra dari Amerika ke Eropa sampai lelaki tua yang tersingkir, dari sapi istimewa yang didatangkan sampai satu malam di hotel ngegoliam, dari deklamasi puisi dalam kunjungan ke calon mertua sampai proses rekaman jazz. Inilah film-film terbaik 2020 versi LBP (Lazione Budy Poncowirejo):

#14. Never Rarely Sometimes AlwaysEliza Hittman

Inilah film sedih dengan kemuraman akut menyelingkupi, sepanjang menit, sepanjang kisah, selama satu setengah jam yang muram. Proses pendewasaan manusia. Tumbuh besar itu pasti, tapi tak otomatis menjadi dewasa. Ada yang lebih cepat terutama kaum perempuan, dan kisah dalam Never Rarely Sometimes Always menampilkan sosok remaja yang harus mengambil keputusan penting kala seharusnya masih menikmati masa-masa menyenangkan di dunia pendidikan. Hamil di luar nikah, bersama temannya berkelana ke kota asing untuk melakukan aborsi. Lihat dunia yang sesak, hal-hal yang sejatinya damai menjelma sesak dan penuh keabu-abuan. Alur berat, aborsi. Ini masalah yang mencipta gema kolektif.

Your partner has threatened or frightened you. Never? Rarely? Sometimes? Always?”

#13. Promising Young WomanEmerald Fennell

Tidak ada perselisihan tentang rasa dan merasakan. Ini adalah film komedi, tapi ternyata tawa itu pahit. Ini film thriller, tapi ketegangannya merajah mual, ini film drama romantis, ah ga juga. Adegan pembunuhannya menampar roman indah para pujangga. Ini jelas kisah yang kompleks, aduhai sampai menang Oscar. Tepuk tangan untuk kelihaian plotnya. Menakjubkan, rentetan kepedihan menguar sampai menit akhir, bahkan setelah layar ditutup saya tak tahu mau bilang apa. Tema yang ditawarkan adalah dendam yang disimpan, lalu direncana dibalaskan dengan kesabaran tinggi dan gaya jungkir balik. Endingnya mungkin membuat shock, tak selancar itu tatanan rencana yang dibuat. Menohok dengan keras para penikmat happy ending Disney. Semua itu menyembur dari kalian bagaikan sebersit api dalam kegilaan balas dendam. Dan bilamana mereka menyebut diri manusia benar, hhhmmm… bagaimana ya menyebutkan, sederhananya takdir mencoba senyum dalam, yang baik dan yang adil.

Aku memaafkanmu.”

#12. Invisible ManLeigh Whannell

Dengan hanya mengenal Elizabeth Moss, saya benar-benar menikmati segala kejutan itu. Nyaman sekali, enak sekali, tanpa kena bocoran. Ga tahu cast and crew dibaliknya selain Moss, mencipta daya ledak luar biasa. Gabungan horror untuk musuh yang tak terlihat, sci-fi untuk temuan jubah gaib-nya, sampai thriller penuh ketegangan. Setiap detik begitu berharga, setiap helaan napas menjadi begitu mencekam karena musuh tak terlihat! Bisa dimana saja, bisa di pojok ruangan mengamati kita, bisa di kolong meja, menghitung kuman di jari kaki kita, bisa juga menatap tembok, hening. Sebuah pilihan tak terduga bisa dicipta setiap saat.

He said that whatever I went, he would find me, walk right up to me, and I’m wouldn’t be able to see him.”

#11. SoulPete Docter

Kehidupan setelah kematian yang diselimuti jazz, impian yang kandas karena ‘kematian’ mendadak lalu berhasil mengelabuhi malaikat maut sehingga muncul kesempatan bangkit dari dunia antara. Tema yang sangat berat, memainkan dunia gaib, dunia antah. Disampaikan dengan fun karena warna-warni animasinya benar-benar istimewa.

A Spark isn’t a soul’s purpose. Oh, you mentor and your passions. Your ‘purpose’. Your ‘meaning of life’. So basic.”

#10. Let Them All TalkSteven Soderbergh

Dia yang tersesat dari kita, kecuali mereka yang berdiri cukup diam untuk mendengarkan. Isinya orang ngobrol di atas kapal dari awal sampai menit menyisakan belasan. Ini adalah kisah yang mengedepankan kekuatan akting dan improvisasi. Para aktor diberi keleluasaan berbicara, naskahnya hanya memberi garis besar (30%, sisanya improvisasi). Lalu membiarkan mereka berbicara sesuka dan semenarik mungkin.

Kuharap kamu tidak kecewa, yang penting kamu sudah mencoba, mencoba adalah segalanya. Jika kamu tak mencoba, kamu tak akan tahu resikonya.”

#9. The Father Florian Zeller

Pikun di usia senja, melupakan banyak hal. Orangtua yang tinggal sama anaknya di apartemen, menjadi beban karena sang anak mau melalangbuana ke negeri jauh. Nasib, ingatan menjadi hal yang sangat penting, menjaganya, membuatnya tetap hidup saat usia tak lagi muda. Dunia telah menjadi tua dalam sesaat, sekejap mata, dan kita menjelma bersamanya. Hebat sekali yang bikin cerita, kita turut menjadi seorang Anthony, turut merasa bingung dan menempatkan diri dalam kebimbangan. Kenangan, memori, pori-pori samar apa itu dunia maya yang berkelebat di kepala, di awang-awang. Tanpa ingatan, setiap malam adalah malam yang pertama, setiap pagi adalah pagi pertama, setiap sapaan dan sentuhan adalah yang pertama. Semuanya serba kejadian baru. Lantas apa itu masa lalu?

I feel as if I’m losing all my leaves.”

#8. First Cow – Kelly Reichardt

Persahabatan yang erat, setia, saling mengisi selalu mengharukan saat tertimpa masalah. Dunia dengan ringannya memberi warna pada sajian kue istimewa, membentuknya menjadi makanan idola. Dengan antrian panjang pembeli, setiap orang normal pasti bertanya apa resepnya. Rencana Plankton sudah melegenda hanya untuk mencurinya dari Tuan Crab. Namun kita tak usah berpikir panjang dan rumit akan rumusnya, duduk nikmatilah. Maka saat para pembesar memintanya menyajikan makanan khas itu dalam jamuan menyambut tamu besar, duo kita kelimpungan. Resep rahasia itu melibatkan susu haram yang ditarik di gelap malam, milik peng-order-nya sendiri! Sapu pertama selalu istimewa, selanjutnya terasa biasa.

#7. Quo Vadis, Aida?Jasmila Zbanic

Jika perang selalu menjadi anakronisme sosial, masalahnya tidak akan selesai dengan menjadikan militer dan perang sebagai kambing hitam. Manusianya yang bermasalah, ideologinya hitam. Anarki dengan obsesi membunuh. Militer pada dasarnya tetap dibawah naungan politik, dan para elit militer di kawasan perang ini terjebak dalam persaingan militer. Korbannya tetap rakyat biasa. Kita tahu apakah itu kejahatan perang, dan kita tahu itu kenyataan.

General Mladic is looking for a civilian representiative with him. Are there any volunteers?”

#6. TenetChristopher Nolan

Tenet memiliki misi sejati menyelamatkan dunia, mulia sekali Nolan, ia mencoba mencegah kiamat. Bertiga merencana, rencananya sangat sederhana, pengaturan waktunya sempurna. Sepuluh menit itu dibagi dalam dua frame: di Siberia penuh ledakan guna membatalkan kiamat, dan di yatch dimana pembunuhan harus dilakukan setelah klik, Sator tak boleh mati sebelum dapat kode. Merah maju, biru mundur, catet! Seperti dalam lukisan yang baik, latar belakang merupakan bagian yang integral dari seluruh lukisan. Maka ledakan itu terasa hambar. Opini seni gambar harusnya dilakukan sedetail mungkin. Ini gambar gerak yang melibatkan Boeing-737, Booom! Happy ending. Hiburan ‘adegan perang’ dalam film menunjukkan ambivalensi pada pesta pora pembunuhan yang mencapai puncak.

#5. Little Big WomenJoseph Chen-Chieh Hsu

Kisahnya dibuka dengan muram, saya suka. Kabar duka menyelingkupi keluarga. Ada yang meninggal dunia, seorang ayah dan suami yang bermasalah. Setelah pergi lama, ia meninggal di saat sang istri sedang akan merayakan ulang tahunnya yang ke-70. Pesta dibatalkan? Oh tentu tidak, karaoke di restoran bersama orang-orang terkasih di tengah kabar duka. Prosesi pemakaman lebih bermasalah lagi, sebab tata cara dan hubungan apa di baliknya menyeret banyak poin, menyangkut hati dan kepercayaan.

Menjadi suami istri memang harus seumur hidup.”

#4. I’m Thinking of Ending ThingsCharlie Kaufmann

Kesepian, gembira, cemas, sedih. Dunia angan dan segala yang merombaknya. Selalu menarik saat kita memperbincangkan fantasi berbalut permainan waktu, ditambah sepanjang menit puisi-puisi berserakan, lagu klasik menyelingkupi. Tak ada yang lebih menyenangkan saat segala absurditas disatukan, ditumpukkan dalam gegap dingin salju yang menggigil, lalu segalanya tak jelas atau setidaknya tak terjelaskan dengan clir, kenapa si anu berdansa, kenapa sisa minuman menumpuk, kenapa muncul bersamaan di ruang sekolah itu beberapa karakter yang saling silang, dst. Dunia sejatinya seperti itu, maya lebih masuk akal ketimbang nyata, dan segala hal yang ditampilkan seolah maya. Semakin penonton bingung, Kaufman akan semakin girang. Duduk menyaksi film-film Kaufman adalah duduk di pangkuan kemewahan.

Mungkin aku sudah tahu selama ini. Terkadang pikiran lebih mendekati kebenaran, kenyataan, daripada tindakan. Kau bisa berkata atau berbuat apa pun tapi tak bisa memalsukan pikiran.”

#3. One Night in Miami Regina King

Ini malam yang aneh. Empat lelaki dewasa di dalam kamar hotel, ngobrol sepanjang malam. Luar biasa. One Night in Miami adalah film kedua Oscar tahun ini yang kuberi lima bintang. Powerful! Mereka diskusi tentang tujuan hidup, rencana-rencana ke depan, sebagai kumpulan influencers yang harus dilakukan, dan apa yang sudah menjadi komitmen harus dilakukan sepenuh hati, tak ada jalan kembali. Merenungkan sebuah euforia. Sebagai contoh dan cermin keindahan intelektual. Senyum yang sedikit terdistorsi dari keputusasaan. Untuk menemukan kedamaian dalam kesempurnaan adalah keinginan seseorang yang mencari keunggulan; dan bukankah ketiadaan merupakan bentuk kesempurnaan?

How many roads must a man walk down before you call him a man?”

#2. Ma Rainey’s Black BottomGeorge C. Wolfe

Proses rekaman lagu Ma Rainey’s Black Bottom yang menggairahkan. Apa yang terjadi: akan, sedang, dan setelah rekaman sepanjang satu setengah jam benar-benar luar biasa. Meledak bak delapan granat yang dilempar secara serentak. Berdentum bermenit-menit bahkan setelah film usia. Sinisme, harga diri, perjuangan persamaan hak, hingga apa arti kebersamaan. Tema yang asyik dengan durasi yang pas. Setting utama hanya di studio rekaman, hanya berkutat di situ. Apa yang ditampilkan sudah cukup mewakili suara para pihak yang terlibat. Ini adalah penghormatan terakhir Chadwick Boseman, Sang Black Panther yang meninggal dunia tahun lalu.

I can smile and say yessir to whoever I please. I got my time coming to me.”

#1. The Trial of the Chicago 7Aaron Sorkin

Kita akan menemukan apa yang kita bayangkan sejak awal. Perang harus diakhiri, dan itu butuh darah pengorbanan di jalanan kota. Film yang luar biasa menghentak. Segala peluru amunisi ditembakkan secara membabibuta di gedung pengadilan. Rentetan bom diledakkan seolah tak berujung. Setiap jebakan kata bisa meledak kapan saja. Adu cerdik, adu taktik di depan Yang Mulia menjadi pertempuran akbar tujuh aktivis kemanusiaan yang memperjuangkan Anti-Perang melawan Negara yang semena-mena. Semua ini masalah kemanusiaan, harga diri diredam, dan tameng-tameng itu kena rentetan tembak membabi buta. Mereka kalah jumlah, kalah senjata, kalah pasukan, kalah sebelum berperang. Namun tidak, tidak sepenuhnya sang raksasa berhasil mencincang sepasukan jagoan kecil ini. penonton dan warga dunia menyaksikan, dan mari kita beri aplaus yang paling meriah untuk laporan akhir yang mengguncang pengadilan yang terhormat.

Those are two contradictory instructions.”

Karawang, 310521 – A.J. Croce – Which Way Steinway

Rabbit Hole: Apa Obat Trauma yang Paling Mujarab?

Somewhere out there I’m having a good time.” – Becca

Rencana mau ambil film Jennifer Lawrence yang mengantarnya menang Oscar, malah keklik ini. Salah unduh film. Namun ga masalah, ternyata bintang Kidman masih sangat cemerlang di sini. Ternyata dia masuk nominasi best actress, kalah sama Black Swan di tahun yang sama. Tahun 2010, hhmm… berarti ini pasca serangan alien yang rumit itu. Masa masih merdeka, sepuluh tahun lalu. Kisahnya tentang trauma menghadapi kematian anak, rasa kehilangan itu menghantui keluarga kecil ini dari awal menit sampai benar-benar akhir. No debate, jelas sedih sekali, cara menata kembali keadaan itu sulit, sangat sulit, berdamai dengan kenyataan pahit, dan benda-benda lama yang selalu mengingat. Rasanya memang berat sekali, dan akting pasangan Eckhart – Kidman luar biasa. Duka kedua orang tua dan kandungan kepedihan di tiap tetesnya.

Becca Corbett (Nicole Kidman) dan Howie Corbett (Aaron Eckhart) menjalani hari dengan suram, film dibuka dengan Becca menata kebun, menampakan kandang anjing yang kosong, diundang makan malam tetangganya, menolak, mungkin suatu saat nanti. Howie pulang kerja, makan pancake bersama, dan malamnya mereka istirahat dalam keheningan. Waktu sudah berjalan sekitar delapan bulan, dan duka itu masih benar-benar menggelayuti. Putra tunggal mereka, Danny meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas di depan rumah saat mengejar anjing, Tex. Becca ingin membuang segala kenang Danny, Howie ingin memiliki anak lagi, istrinya belum siap. Keluarga ini sepertinya sudah akrab dengan duka, ibu Becca, Nat (Diane Weist) juga kehilangan anaknya karena overdosis. Namun Becca menolak disamakan. Kata Virginia Woolf Aku merasa kita tak mampu melewati satu lagi periode mengerikan itu.”

Lalu mereka bergabung dengan grup sharing is caring, yang berkumpul membentuk lingkaran, duduk kemudian bercerita. Berkenalan dengan keluarga Gabby (Sandra Oh), berpasangan. Para orang terluka ini berbagi kisah pilu, kehilangan anak, dan bagaimana mengatasinya. Becca ternyata ga klop, karena ada yang cerita kematian anaknya untuk menjadi malaikat Tuhan, ia menyanggah. ‘kenapa tuhan tak menciptakan saja malaikat lain?’ maka mereka keluar.

Suatu kali Becca bertemu dengan sosok yang mencipta kesedihan. Di jalan, ia tak sengaja melihat Jason (Miles Teller) di bus sepulang sekolah. Mengikutinya, memantaunya. Untuk apa? Entahlah. Ke perpustakaan mengembalikan buku, terlambat kena denda. Dan buku itu tentang dunia Pararel, Becca berniat meminjamnya. Kegiatan memantau Jason berlangsung terus, dan akhirnya kepergok. Mereka lalu duduk di bangku taman, bertukar kata. Maaf selalu jadi kata yang sulit ketika pilu menerpa. Maaf untuk saat itu karena berkendara terlalu kencang, maaf untuk segala hal yang telah lewat. Ia kini sedang membuat komik berjudul Rabbit Hole, saat ini belum usai. Baik, Becca berniat membacanya. Janji temu dan bertukar kata dengan pelaku kecelakaan ini berjalan tanpa sepengetahuan suami. Banyak cara untuk menyembuhkan hati.

Sementara Howie tetap mengikuti terapi sharing, berlarut. Dan suatu malam, Gabby bercerita telah ditinggalkan suaminya. Tanpa sebab yang jelas, tanpa info yang jelas, kabur saja. Begitulah, duka membuat manusia bertingkah serba aneh. Maka ia menghisap ganja di parkiran, Howie lalu bergabung. Pakai narkotika, bermain fun world lempar bola, tertawa bersama, bercengkerama. Kedekatan mereka menjadi rekat dalam. Sekali lagi, banyak cara untuk menyembuhkan hati.Becca yang masih trauma belum bisa bercinta, belum siap dan belum bisa program anak. Howie yang mendamba perubahan bersikap pening juga, entah bagaimana keluar dari aliran sedih ini. Lalu ide pindah rumah muncul, harus ada sesuatu yang diubah, maka rumah dijual, meninggalkan kenangan, mendesak masa lalu ke belakang, pakaian Danny, mainan, segala barangnya disingkirkan. Trauma ini harus dilewati bersama. Apa obat trauma yang paling mujarab? Banyak hal bisa dilakukan, setiap individu pasti berbeda penanganannya, film ini menggambarkan salah satu opsi. Sepertiga akhir yang luar biasa.

Jason tiba-tiba datang ke rumah memberi buku Rabbit Hole yang sudah jadi. Howie marah karena selama ini istrinya ternyata bertemu dengannya. Sementara Becca juga marah pada suaminya karena kegiatan menghisap ganja dilakukannya. Serasa impas, serasa menyedihkan. Pencarian makna hidup yang merekat, siapa salah? Pertengkaran membutuhkan dua orang yang saling peduli. Dalam eksekusi ending yang bagus banget di mana malam itu Howie keluar rumah untuk mengikuti sharing, malah ke rumah Gabby, perselingkuhan di ambang jadi. Tampak menggoda. Sementara Becca diam-diam berkendara ke rumah Jason, sudah rapid an dandan juga, walau tak betemu langsung, Becca yang menangis sejadi-jadinya, terlelap di mobil hingga pagi menjelang. Keduanya sama, butuh pelampisan duka. Inilah kisah sedih dengan kemuraman akut menyelingkupi, sepanjang menit, sepanjang kisah, selama satu setengah jam yang muram.

Segala-galanya ambyar. Karena suram adalah koetji maka Rabbit Hole jelas sukses besar menampil. Melimpah ruah kesedihan itu, sampai luber menjurus depresi dalam. Manusia sebenarnya adalah makhluk yang diboncengi perasaan bersalah yang parah. Jason dengan tatapan duka, jelas berhasil diperankan bagus oleh Miller. Seolah memang serba salah, ilustrasi ciptanya memang memberi peranan penting akan keinginan dan khayal di dunia lain. Nicole Kidman jelas melakukan peran istri yang luar biasa, tangisnya di mobil sejatinya adaah luapan amarah dalam lelehan air mata yang menganak sungai seolah berteriak, ‘Tuhaaaan… kenapa kau ambil anakku?’ Tak kalah sangar akting Aaron Eckhart, mengimbangi kedukaan, menyelimuti kehampaan. Tak kecewa rasanya salah unduh film ini. Lubang Kelinci dengan ide kehidupan pararel, adakah jiwa kita juga ‘hidup’ dalam lingkup waktu di sisi sana? Duka juga ataukah, bahagia menggelayuti? Ending di taman usai pesta kebun itu sangat menyentuh, menatap langit biru dan bukan hanya mereka berdua yang laik bertanya, penonton juga turut mengajukan hal yang sama: ‘selanjutnya bagaimana?

Layar Rabbit Hole adalah ejawantah desahan yang penuh penderitaan dan kehilangan. Penderitaan itu semacam permainan ‘gebuki tikus tanah’ yang muncul sesekali lalu kita gebuki berturut dan semakin lama semakin cepat. Seperti itulah derita, setiap kita bisa mengatasi satu derita akan muncul derita lain, dan terkadang muncul raksasa tikus dalam artian kehilangan anggota keluarga terkasih. Hidup akan selalu bersisian dengan derita. Biarlah waktu menyembuhkan luka itu. Harapan dan kesabaran berdamai dengan keadaan. Mau gegas melakukan laiknya Howie atau tetap alon-alon, semua sama saja. Ini kisah pencarian obat duka, dan pemberian maaf atas segalanya. Mendorongmu terjatuh dalam lubang kelinci. Sabar, tawakal, iqtiar.

Hidup yang baik bukan berarti menolak penderitaan, yang sesungguhnya adalah menderita untuk alasan-alasan yang benar.

Rabbit Hole | Year 2010 | Directed by John Cameron Mitchell | Screenplay David Lindsay-Abaire | Cast Nicole Kidman, Aaron Eckhart, Dianne Weist, Miller Teller, Tammy Blanchard, Sandra Oh | Skor: 4/5

Karawang, 200520 – Bill Withers – Family Table

Jojo Rabbit: Komedi Satir di Era Nazi

Nothing makes sense anymore.” – Jojo

===tulisan ini mungkin mengandung spoilert===

Idenya gila. Kekejaman dibalut keimutan. Adegan gantung-nya terlihat walau sepintas. Kematian, ditutur bagaimanapun, tetaplah kematian. Cerita anak-anak yang dididik mencintai Nazi sejak dini, mengajarkan Swastika dengan segala keimutannya. Mencipta Hitler khayal yang menemaninya sepanjang tumbuh kembang – lalu menghilang, sehingga seolah pelindung. Setting-nya di era Perang Dunia Kedua, Nazi sedang tinggi-tingginya, sekolah di Jerman mewajibkan kurikulum itu, sampai serangan Sekutu yang mengakhiri segalanya. Film dibuka dengan manis, betapa Jojo di usia imut begitu mendewakan Hitler, ditutup dengan lebih imut lagi, Elsa dan Jojo yang ‘merdeka’ melakukan tari tik-tok artsy. Sejatinya memang ini film anti-perang, dibuat komedi, berton-ton komedi malah yang menikam. Komedi gelap. Lantas kepahlawanan jenis apa yang bisa dipeluk semua umat?

Jojo Betzler (diperankan imut sekali oleh Roman Griffin Davis) adalah remaja sepuluh tahun yang tumbuh di masa kejayaan Nazi, ia begitu mengidola Hitler yang patriotik dan keren. Dalam pendidikan yang ketat dan nasionalis, ketika Jojo membutuhkan pertolongan serta teman ngobrol, muncullah Penampakan Hitler (Taika Watiti) menjelma teman curhat, jadi supporter yang menggelorakan semangat. Bersama teman karibnya yang ndut Yoki (Archie Yates) menjalani kamp pelatihan di sekolah alam. Dikepalai pelatih yang tak kalah aneh, Kapten Klezendorf (Sam Rockwell). Di training kamp tersebut, ambisi Jojo juara sungguh tinggi. Sayangnya, jiwa pemberaninya diuji dengan bully-an tugas senior untuk membunuh kelinci, gagal. Kelembutan hatinya, tak tega sekadar mematikan binatang. Sejak itulah ia kena panggilan Jojo Rabbit.

Bully yang malah mencipta luka, ketika sang kapten menerangkan taktis melempar bom, Jojo berlari kencang lalu mengambilnya, melemparanya, kena pohon malah mbalik ke dia, dan meletus. Jojo terbangun dari pingsan di rumah sakit, ibunya Rosie (Scarlett Johansson) marah, mendatangi kantor dan ngomel berat karena insiden ini. Wajah Jojo ada bekas luka, dan ia sementara harus menggendong satu tangannya.Di rumah, kejutan kecil terjadi. Sebagai Hitler-holic betapa terkejutnya di rumahnya, ada ruang rahasia tempat sembunyi seorang gadis Yahudi Elsa Korr (Thomasin McKenzie). Membekap mulut Jojo agar tak berteriak dan melarang melaporkan temuannya. Di era itu, menyembunyikan warga Yahudi hukumannya mati. Sebuah dilema besar untuk jiwa remaja yang labil. Tentu saja ibunya tahu, karena memang ini inisiatifnya. Jojo sayang ibunya, maka seorang fanatik Hitler pun terdiam. Masing-masing dari kita, ada kalanya, suka memperdaya diri sendiri dengan percaya bahwa apa yang baik untuk kita pasti juga baik untuk semua orang. Apa yang bagus buat Jojo harusnya baik pula buat Elsa, ahh… dunia anak-anak yang polos. Tak sejernih itu Nak.

Elsa adalah putri dari teman sekolah Rosie, menjaganya, menyembunyikannya. Jojo dan penampakan Hitler yang lucu (duuh sang sutradara, kamu kocak banget aktingnya) debat keputusan apa yang pantas. Maka diputuskan menginterogasi Elsa, dari Elsa ia mulai paham dunia yang luas dengan melihatnya lebih terbuka. Marah besar pada ibunya, dan merindu ayahnya. Maka makan malam itu, Rosie pun akting sebagai ayahnya dengan kumis lebat palsu bergaya Nazi. “What did they do?” direspon tenang, “Plenty of good.” Di sinilah saya langsung ketawa serius, harusnya Scarlett menang Oscar. Kocak banget, sayangnya (spoilert… maaf) ia keburu dimatikan. Coba bisa konsisten ngelawak sampai akhir, akting ibu yang bimbang ini jauh lebih hebat dari pengacara kapitalis itu.

Free Germany” merebak, suatu hari ada inspeksi mendadak dari kapten Deertz (Stephen Merchant) ke rumahnya. Jojo yang sendirian panik, menyembunyikan surat-surat Elsa, menyembunyikan segala yang memancing kecurigaan keberadaannya. Muncul pula kapten Klezendorf di sana, Elsa yang ada di tangga dalam masalah besar. Dalam kengerian mefet itulah, ia memberanikan muncul dan memperkenalkan sebagai kakaknya. Menunjukkan Kartu Tanda Penduduk, dalam adegan dramatis ia diuji tanggal lahirnya. Elsa menjawab dengan keraguan, Klezendorf yang tahu salah, malah melindunginya dengan bilang tepat dan pasukan inspeksi-pun pergi. Serem banget ini, setidaknya Jojo dan Elsa tahu Kapten Klezendorf memiliki kebaikan di lubuk hatinya. Sebuah moralitas itu bisa diwujudkan di masa depan harus dimulai dengan sesuatu yang disebut amor fati, ‘cinta pada nasib seseorang.’ Bukan sekali, sang kapten melakukannya. Nurani akan kebaikan tergugah di masa-masa yang tak terduga. Pada akhirnya, hanya emosilah yang menggerakkan kita untuk bertindak. Ini karena tindakan adalah emosi.

Rosie yang keesokan harinya digantung (huhuhu… pengen nangis), dan pecah serangan Sekutu memporakporandakan Jerman. Dengan tank dan pasukan penuh memasuki kota. Dengan kekacauan yang tercipta, sekali lagi Klezendorf menyelamatkan nyawa Jojo yang terancam turut dibinasakan Sekutu. Setiap orang memiliki kemampuan melawan kejahatan. Pengorbanan terakhir untuk Jerman di masa depan. Jojo, remaja Nazi itu pulang dan memberitahu Elsa, Jerman sudah kalah. Ia mencinta (heleh) yang membuat murka Penampakan Hitler, lalu ditendang keluar jendela. Seperti mula, endingnya manis dengan joget artsy yang sungguh memorable. Ditutup dengan puisi Rainer Maria Rilke: Biarkan segalanya terjadi padamu; Kecantikan dan teror; Biarlah mengalir; Tiada rasa yang berakhir. Perang tidak lain adalah ujian duniawi terhadap harapan.

Sebagai film kandidat best picture, promonya paling tak gencar. Kalah gegapnya dengan unggulan seperti 1917, Parasite atau Joker jadi wajar peluangnya sangat kecil. Naskah adaptasinya memang sangat keren, saya memang menjago Gerwig, tapi Taika Waititi menang-pun saya tak akan komplain. Semua naskah adaptasi Oscar tahun ini, sejujurnya bagus. Yang disayangkan cuma Little Women dan The Irishman Film Lima Bintang itu, nirgelar Oscar. Hiks, sedih.

Menanamkan ideologis ke anak-anak menjadi tema utama kisah ini, lalu dilontarkan opsi lain. Agama ideologi, harapan dari luar dunia natural. Ideologi merupakan kepercayaan yang dikontruksi secara sosial yang sepenuhnya kita terima berdasar keyakinan belaka. Pada dasarnya perkembangan psikologi kita senantiasa berevolusi untuk menuhankan segala yang tidak kita pahami. Jojo dengan lugunya mengidola Sang Fuhrer, diterima mentah-mentah apa yang diajarkan, lalu seperti di ending, segalanya tampak kontradiksi.

Film ini jelas melebihi harap, entah kenapa cerita sebagus ini ga bisa meledak. Komedi satir tentang Nazi mungkin sudah banyak, mengambil sudut pandang anak-anak juga sudah umum (kisah sedih The Boy in the Pyjamas), begitu juga ending serangan sekutu yang mengakhirinya. Jojo Rabbit menampil kedigdayaan yang lebih luwes. Lebih nyaman, lebih hidup. Sangat komedi, tapi tak komedi.

Beberapa saat setelah Taika Waititi memenangi Oscar, tampak ia duduk dengan senyum dan meletakkan pialanya di bawah kursi depannya. Sebuah ironi sekali lagi tercipta. Jojo Rabbit adalah film sangat komedi, tapi sekaligus tak komedi. Kalian mungkin tertawa, tapi sejatinya menertawakan apa? Seperti tagline-nya jleeb banget: ‘An anti-hate satire.’

Jojo Rabbit | Year 2019 | Directed by Taika Waititi | Screenplay Taika Waititi | Novel Christine Leunens | Cast Scarlett Johansson, Roman Griffin Davis, Thomasin McKenzie, Sam Rockwell, Archie Yates, Taika Waititi | Skor: 4/5

Karawang, 120520 – Will Withers – Lovely Day

Puasa ke-19, hati yang cerah untuk jiwa yang sepi

1917: Rancang Bangun Kemegahan Sinema

Down to Gehenna, or up to the Throne, He travel the fastest who travels alone.”Rudyard Kipling

===tulisan ini mungkin mengandung spoiler==

Kisahnya di tanggal 6 April 1917, dan akan berakhir esoknya. Di ladang perang dari New Hendenburg Line ke Devon, Inggris. Dua tentara muda William Schofield (George MacKay) dan Tom Blake (Dean-Charles Chapman) diperintahkan Jenderal Erinmore (Colin Firth) untuk membawa sebuah pesan kepada Kolonel Mackenzie (Benedict Cumberbact), di battalion kedua resimen Devonshire. Surat yang berisi pembatalan serangan demi menyelamatkan nyawa 1.600 pasukan termasuk di dalamnya Joseph Blake, saudara Tom. Makin dalam maknanya, sebab melibat misi penyelamatan anggota keluarga.

Kalau dirangkum dalam satu kalimat: ‘Film tentang kirim surat, dengan berbagai kendala di perjalanan’. Tak banyak yang bisa dicerita, karena setelah menerima tugas, mereka bergegas gerak, waktu tak banyak. Namun karena blog ini mewajib ngoceh panjang kali lebar, maka ada baiknya saya ketik sahaja, beberapa detail ‘kendala’ petualangan. Yang pasti, berdua menemui berbagai masalah yang mematik peri kemanusiaan. Film jenis bom, bang, bang, wuuz…, jenis keseruan tanpa banyak cingcong dan renungan. Dalam sebuah gua bekas tempat duduk pasukan Jerman, mencipta sebuah degub bertalu-talu karena gua itu berisi bom, dan jebakan mematikan. Tikus dan segala kamuflase gelap di dalamnya. Sampai menahan napas saya ketika ledakan terjadi, seolah kisah berhenti bahkan ketika baru beberapa menit. Gilax, bahkan tikus mereka lebih besar!

Sampai pada sejenis rumah pertanian, saat mendapat susu sapi dan air bersih, sebuah pesawat Jerman tertembak dan meluncur jatuh ke arah mereka. Bayangkan, moncong pesawat mengarah kepadamu, kamu menghindar sejadi-jadinya. Dalam keadaan terluka sang pilot keluar dari pesawat yang terbakar, jiwa baik Blake malah menjadi petaka. Ketika ia mencoba menolong, justru kena tikam. Seluruh penonton turut menutup mata ngeri, seterkejut Blake yang akhirnya gugur. Rasanya pengen turutserta menjelma Schofield memberondong peluru ke sang pembunuh. Dalam adegan sunyi nan menyentuh, temannya sekarat dan ia berjanji melanjutkan misi, sobatnya pamit dalam pelukan leleh air mata.

Saat senja menjelang, Schofield mencapai jembatan roboh dekat Ecoust Saint Mein, melintasi dalam rentetan tembak. Ia mamasuki reruntuhan kota setelah berjibaku dengan sang sniper. Malam itu ia melintas dengan dingin, menemukan seorang ibu dan anaknya yang kepalaran, memberi botol susu, dan walaupun sang ibu adalah orang Jerman, pihak musuh, ia tetap menggunakan nurani. Ini bisa jadi adegan menyentuh, bagaimanapun perang bisa merenggut beberapa hal, tapi nurani, tetaplah harus ada. Adegan mengharu juga tersaji dalam tembakan suar di area no man’s land (medan di antara dua kubu).

Bagian yang mendebarkan tersaji ketika ia terjepit dalam kejaran, dan desingan peluru yang memaksanya terjun ke sungai. Menuruti aliran, menghanyutkan jiwa, lelahnya menyusup ke sumsum, seolah tulang itu turut menjerit capek. Sehingga ketika ia berhasil menepi, memasuki hutan dengan jalan gontai seolah pasrah. Pagi fajar menyingsung itu, diiringi untaian lagu pasukan D Company di Devons II, wow dikira kelar justru ia malah menemukan titik tuju. Sehingga kelesuan itu menjadi secercah semangat dan gegas mencari Kolonel Mackenzie. Agak terlambat, karena serangan sudah dimulai. Dalam deru tembakan dan serbuan, ia berlari sekuat tenaga untuk menyampaikan surat.

Banyak adegan bagus yang laik dibahas dan dibicarakan, yang pasti sinematografi juara. Sesuai prediksi, Deakin lock Oscar. Saya juga menyematkan best picture, yang sayangnya direnggut Parasite. Kalau Birdman yang menampil one take beberapa menit, dengan celana kolor bergaya ke panggung saja menang Oscar, bagaimana bisa yang sepanjang ini gagal? Akan sulit menandingi konsisten penonton menjelma mata kamera. Film yang nyaman sekali ketika dinikmati di layar lebar. Salah satu pengalaman cinema langka, di mana kita menyaksikan film dari awal sampai akhir seolah hanya satu kali pengambilan gambar. Klik, dan sepanjang 119 menit kita menyatu dengan desingan peluru, seolah kejadian ada di depan kita!

Secara cerita memang biasa, lha premis isinya cuma misi menyampaikan surat pembatalan serangan. Kalau kalian berharap ada semacam kejutan di akhir, semisal isi suratnya bersama bingkisan bunga ya ga akan nemu, atau surat 4×4, sempat ga sempat, jelas ga ada. Pesan itu hanya dibaca sekilas, lalu serangan yang terlanjur dimulai, akhirnya harus ditarik kembali, lalu mentari pagi menyoroti jiwa yang lega. Selesai. Strategi Jerman dengan pasukan yang seolah mundur, lalu menyerang balik musuh benar-benar ada, namanya Operation Alberich. Strategi itu dilakukan tanggal 9 Februari sampai 20 Maret 1917, yang juga nyata berdasarkan Kejadian Pertempuran Passchendaele atau Pertempuran Ypres III (31 Juli – 10 November 1917). Karena setting waktu di film ini justru adalah hari pertama Amerika turut Perang Dunia I.

Sam Mendes melakukan gebrakan sinema yang menakjubkan secara teknis. Sebuah achievement yang seharusnya bisa lebih dihargai di Oscar, sensasi layar lebar, senikmat Gravity yang memberi efek layang, atau Avatar yang biru membuncah memberi gambaran terbang di dalam gedung bioskop. Masterpiece visual, teknologi memang sudah sangat maju, tapi ga semua bisa semegah ‘one take’ ini. Ga usah mengerutkan kening. Ini jenis film yang memanjakan indera pengelihatan, pendengar, dan asupan pengecap. Sebuah rancang bangun Kemegahan Sinema.

I hope today would be a good day. Hope is a dangerous thing.”

1917 | Year 2019 | Directed by Sam Mendes | Screenplay Sam Mendes, Krysty Wilson-Cairns | Cast Dean-Charles Chapman, George MacKay, Daniel Mays, Colin Firth, Mark Strong, Benedict Cumberbatch | Skor: 4/5

Karawang, 050520 – Bill Withers – Family Table

*) Film ini kutonton di hari pertama tayang di Blitz Karawang bersama Titus Pradita

**) RIP Lord of Godfather of broken heart: Didi Kempot 1966-2020, Sad news. Kabar duka ini kutahui ketika mengantre di Samsat Karawang untuk ganti pelat SiBiru lewat lini masa sosmed. Tindak kundor, Legend. #Ambyar

Us: Misteri Dunia Terbalik

But the soul remains one.” – Red

Us memang sebuah penurunan dari debut hebat Get Out, tapi tetap sensasi merinding dan tahapan membuka kejut terasa sukses, bagaimana reaksi identitas utama, wow. Memang adegan slasher pembunuhannya bikin ngeri karena menampilkan darah yang banyak dan terlihat sadis, horror-nya lebih ngena tanpa hantu. Sensasi teror bayangan di cermin, oh itu kita!

Di Santa Cruz, California tahun 1986 Adelaide kecil (Madison Curry) terpisah dari orang tuanya di bazar malam, dengan baju album Thriller-nya Michael Jackson, ia berjalan mendekati pantai yang ada rumah hantu, di sana ia menatap cermin, dan bayangannya terasa hidup, bukan hanya terasa, dia keluar dari cermin! Kedua orang tuanya yang bingung, mendapati beberapa saat kemudian, Adelaide tampak linglung, ada memori yang hilang. Seolah sebagian masa-masa-nya tercerabut, kalau di Jawa semacam kena rep-rep, ada hantu nempel. Dari proses terapi, diminta segalanya harus dicerita ulang, seolah ia kena reset. Klu pertama.

Kukira Adelaide dewasa (diperankan dengan bagus banget Lupita Nyong’o) akan tumbuh error, ternyata ia bisa memiliki keluarga utuh yang bahagia. Tampak sangat bahagia, dan ideal. Di present day, ia sudah menikah dengan Gabe (Winston Duke), memiliki dua anak Zora (Shahidi Wright Joseph) dan Jason (Evan Alex), mereka sedang berlibur ke rumah pantai. Liburan bersama keluarga lain yang terdiri dari Kitty Tyler (Elizabeth Moss), Josh (Tim Heidecker), serta putri kembarnya Gwen dan Maggie. Apa yang ditampilkan di rumah berlantai satu itu, bagiku terlalu brutal. Adegan eksplisit seperti ini malah membuat skor turun.Malam itu, ada tamu tak diundang. Tampak aneh, karena ketika diusir tetap tenang menatap. Telpon polisi, pintu dikunci, tetap saja mereka berhasil masuk dan menguasai keadaan. Tamu itu semacam bayangan sang tuan rumah, dengan topeng, kata-kata serak terseret, air mata meleleh yang entah (awalnya) maksudnya apa. Mereka adalah kita, kata Jason. Ayah, ibu, dan dua anak masing-masing dinamai Red, Abraham, Pluto, dan Umbrae (diperankan sama). Seolah mereka adalah hasil-hasil pantulan cermin? Jason diminta ngumpet, Zora diminta lari yang lalu dikejar, Gabe yang sudah dihajar tongkat baseball, kesakitan mengerang. Dan inti dari semua ini, adalah Adelaide. Ia diborgol di meja, untuk diperlihat alasan sejatinya.

Dalam larinya Zora dikejar bayangnya. “Run, Rabbit, run!” Gabe diadu dalam perahu di danau, yang mana hanya satu bisa keluar hidup-hidup dari air. Jason dan bayangnya memainkan api, karena Pluto memakai selambu kepala, kita tak tahu bagaimana wajahnya hingga nantinya terbuka dalam titik seram. Memainkan trik jitu dalam lemari tertutup. Dan Red vs Adelaide-lah kisah utama Us menemui jawab. Saya fokus ke sang protagonist, nyatanya yang perlu kita khawatirkan salah sasaran.

Keluarga Tyler sendiri tragis, lalu setelahnya malah tampak chaos di seluruh kota. Tv memberitahukan bagaimana huru-hara akibat ‘bayangan cermin’ yang menguasai kota. Itulah malam cekam yang terasa sangaaat panjang. Pertanyaan utama mungkin sangat umum, siapa selamat, siapa menang? Tapi Us tak melulu soal siapa yang bisa bertahan hidup di menit akhir. karena adegan jelang eksekusi ending di pantai malah membuat pening lainnya. Semua tampak baik-baik saja? Sampai akhirnya Jason menatap ngeri, tatapan kerut yang sama kita berikan saat kredit akhir tampak di layar. Tangan-tangan berpegangan melintas batas menjadi penghubung, menjelma konduksi kemanusiaan. Lantas apa yang kita cari dalam hidup ini sesungguhnya? Hand Across America.

Saya kutip al kitab Jeremiah 11:11 yang berbunyi, “Sebab itu beginilah firman Tuhan: Sesungguhnya, Aku mendatangkan ke atas mereka malapetaka yang tidak dapat mereka hindari, dan apabila mereka berseru-seru kepada-Ku, maka Aku tidak akan mendengrkan mereka.” Di sini, Tuhan murka dan menghukum manusia karena manusia melanggar perjanjian. Orang-orang yang kehilangan imannya pada Tuhan yang spiritual, akan mencari Tuhan duniawi. “Kita terjebak di 11:11.

Harapan di Yunani dipakai Hesiodos dengan ‘ekspektasi yang menipu’. Get Out memang masterpiece horror, debut yang akan menjadi titik pijak pembanding Jordan Peele di film-film berikutnya, maka ketika Us muncul dan tak bisa bicara di Oscar, jelas sebuah penurunan. Akting Lupita Nyong’o luar biasa, memainkan mimik, logat serak tertahan dengan air mata mengalir, seolah ada makhluk asing menginggapi. Semakin baik kondisi yang kita dapatkan, semakin cemas dan putus asa diri kita.

Setelah nonton Us jadi agak takut sama gunting, pegang gunting dengan mencekam kedua lubang menjadi terasa ngilu. Apalagi pegang persis di poster, seolah akan menikam. Us mencipta keseraman pula saat bercermin, dunia bayang yang misterius itu akankah memiliki jiwa jika lubang cacing terbuka? Orientasi hidup apa sih? Hidup seimbang apa sih? Panjang umur apa sih? Masuk surga apa sih? Jangan-jangan hidup ini ada dunia pararel yang menginginkan kehidupan kita? Bayang di ‘cermin’ itu membawa gunting untuk memenggal segala asa. Twist! Salut sama ide-ide nyeleneh Jordan Peele. Untuk kali ini, agak brutal tapi secara cerita memang amazing. Muncul bebera penafsiran terkait gambaran ayat dalam al kitab. Adegan absurd yang menampil hukuman manusia, serta berbagai arti ganda yang mematik iman. Kelinci? Sebuah kajian ambisiusitas yang akan diperdebat lagi, dan lagi di kemudian hari.

Hidup yang baik bukan berarti menolak penderitaan, yang sesungguhnya adalah menderita untuk alasan-alasan yang benar. Ophelia, call the police!

Us | Year 2019 | Directed by Jordan Peele | Screenplay Jordan Peele | Cast Lupita Nyong’o, Winston Duke, Elizabeth Moss, Tim Heidecker, Shahadi Wright Joseph, Evan Alex, Yahya Abdul Mateen II, Anna Diop Madison Curry | Skor: 4/5

Karawang, 290420 – 040520 – Bill Withers – The Same Love That Made Me Laugh

Happy Birthday Meyka, Sudah tiga lima saja ya. Waktu berlari dengan liarnya.

I, Tonya: A Triple Axel Skating Movie

I, Tonya: A Triple Axel Skating Movie

Tonya Harding: America. They want someone to love, they want someone to hate.

Karena saya tak akrab sama olahraga skating, apalagi di Amerika sana. Drama bersaingan yang disajikan sungguh mendebarkan. Wow, ini kisah nyata. Sebuah sabotase, kecurangan dan upaya jahat untuk menjatuhkan lawan satu Negara demi sebuah medali di Olimpiade Skating. Ending-nya juga mengejutkan, bagaimana sifat kasar orang tua menurun sehingga coba dipoles sedemikian rupa menjadi anggun pun tak sesukses yang diharap maka jalan keras jua yang terpaksa diambil. Luar biasanya si Margor Robie yang biasanya tampil cantik dan seksi di sini dirubah menjadi kasar dan skeptis menghadapi hari. Namun tetap aktingnya masih di bawah McD dan Saoirseku tentunya.

Kisahnya dituturkan dengan cara yang sedikit unik. Bagaimana film biografi olahragawati es skater Tonya Harding (diperankan dengan keren oleh Margot Robie) dibuat bak sebuah wawancara diperankan aktor lalu narasi itu membawa kita mengikuti alur kehidupan. Tonya terlahir dari keluarga broken home, ayahnya kabur, hidup dengan ibunya Lavona (Allison Janney) yang keras, bekerja sebagai pelayan restoran. Tiap scene wawancara, si ibu pakai semacam selang oksigen yang menjuntai. Hobi minuman keras dan tak hentinya merokok, jelas ada masalah kesehatan, kebiasaan buruk, sifat yang menurun. Setiap sen yang dikeluarkan dihitung, mempertaruhkan segalanya demi masa depan sang buah hati. Mendaftarkan sekolah skating dalam keadaan ekonomi yang memprihatinkan. Hidup memang sebuah perjudian ‘kan? Tonya adalah anak ke-5 dari suami ke-4. Wuih… pernah punya 6 suami!

[[Based on irony free, wildly contradictory. Totally true interviews with Tonya Harding and Jeff Gillooly]]

Dengan setting utama di Portland, Oregon. Tonya begitu berbakat. Melakukan putaran yang sulit dan memukau penonton. Di rumah ia dibesarkan dengan disiplin, makian, sinisme dan keras. Bahkan dalam sebuah adegan Tonya dilempar pisau yang melukai tangan, dan hatinya! Sehingga memutuskan kabur. Hidup dan menikahi pacarnya Jeff Gilloony (Sebastian Stan), ia seorang montir yang awam olahraga yang digeluti pasangannya, tapi memberi dukungan penuh. Namun lepas dari ibunya yang keras, ternyata sang suami juga melakukan KDRT – kekerasan dalam rumah tangga. Semakinlah Tonya menampakkan sifat melawannya. Hubungan keluarga ini memang tak harmonis dalam segala segi. Sama ibunya retak, sama suami remuk. Padahal karir olahraganya menanjak. Tonya tampil bagus saat ada penonton mencehooh, ibunya kasih duit si peneriak. Jiah! Tonya makin sayang suami, dan hot setelah pertengkaran. Emang stress.

Dalam ranking tahun 1991 ia menjadi nomor satu di USA dan runner up international, posisi ketiga di Orlando. Di kejuaraan Albertvill, Perancis ia dikenang dalam gerakan sulit Triple Axel, menegangkan, berdebar. Dan gagal. Ia menempati urutan keempat. Tonya menyalahkan sepatu yang rusak dan diperbaiki bilahnya seada, tapi selalu ada kesempatan kedua dalam kompetisi bila kita terus bekerja keras. Namun tidak untuk hubungan rumah tangga. Ibunya memprediksi Tonya salah pilih suami, sang suami yang sebenarnya sayang juga akhirnya melakukan kesalahan fatal yang menjadikan hubungan di ujung jarum. Puncaknya pada tahun 1994 jelang kejuaraan international Olimpiade Winter 1994 di Lillehammer, Norwegia di mana seleksi ice skating yang panas antara Nancy Kerrigan (Caitlin Carver) dan Tonya. Sebuah konspirasi untuk mengintimidasi lawan sekaligus rekan senegara, konfrontasi itu menghasilkan sebuah kekerasan. Rencana hanya meneror justru menjadi tak terkendali saat sang bodyguard gendut yang gila Shawn Eckhardt (Paul Walter Hauser) melakukan melampaui imaji. Ngeri, wew dan jelas melukai sportivitas. Mereka menyebutkan ‘the incident’. Lalu bagaimana hasil olimpiade kejuaraan akbar itu? Sekali lagi, dalam olahraga ini, akankah ada kesempatan kedua?

Dengan segala hype yang ada, Margot memang masih dibawah McD. Sepakat. Ini adalah nominasi Oscar pertamanya, rasanya ia melakukan lonjakan karir yang bagus. I, Tonya adalah kandidat satu-satunya yang kirim kandidat best actress tapi ga masuk best picture. Bukan hanya menggambil peran gadis manis dan panas, Margot memberi bukti bahwa ia bisa mengubah image. Jelas suatu hari ia akan muncul lagi dalam daftar Oscar, dan menang! Suatu hari nanti…

Untuk Allison Janney yang menang Oscar supporting actress, saya kurang setuju. Aksi Laurie Metcalf sebagai ibu Saoirse lebih bagus dan meyakinkan. Keras itu tak perlu sampai melempar pisau, mendidik anak akan lebih mencekam dengan memberi aturan main yang diluar jangkau pikiran remaja ketimbang adegan tabok-tabokan. Sama-sama dari kelurga sederhana, sama-sama memerankan ibu yang kolot mencoba mengatur masa depan anaknya, keduanya memang layak dinominasikan, tapi tetap Laurie lebih memberi nyawa dan pas banget. Sayang sekali antipasti juri terhadap Lady Bird memberi 0 piala termasuk yang paling kurang prestise sekalipun. Hiks,…

Akhir kisah juga sadis, hukuman yang dijatuhkan pada Tonya membuatnya kecewa. Dan mengakhiri segalanya. Efek salah penanganan dan tekanan berlebih memang serem. Tonya yang berbakat sejatinya bisa jauh lebih hebat andai dalam jalur yang benar. Sayang sekali, keputusan-keputusan hidup yang mendorongnya menuju lorong hitam. Kalimat umpatan di ending “That’s the fucking truth” dirasa seperti sebuah kekesalan atas segala keputusan salah di masa lalu. Credit akhir yang memunculkan Tonya asli bermain es skating di kejuaran 1991, cukup memberi gambaran betapa hebatnya dia. Putaran sulit, bermain percaya diri, memukau penonton, berjoget penuh gaya. Luar biasa Indah. Diakhiri dengan standing applaus dan keceriaan bersahaja.

You skated like a graceless bull dyke. I was embarrassed for you. Sial!

I, Tonya | Year 2017 | Directed by Craig Gillespie | Screenplay Steve Rogers | Cast Margot Robbie, Sebastian Stan, Allison Janney, Julianne Nicholson, Paul Walter Hauser, Mckenna Grace | Skor: 4/5

Karawang, 180418 – Sherina Munaf – Sahabat Sepanjang Masa

Prediksiku Di Oscar 2018: #SacramentoProud

Pertama kalinya saya bisa menuntaskan tonton seluruh kandidat best picture. Pertama kalinya pula saya tak beli dvd bjgbye bye DVD player yang barusan saya service solder, karena sudah ganti HP dan unduh di LK21.org yang nyaris semua film dikejar dari sana. Thx to Rani Wulan S.Kom. Tahun ini saya akan nonton live untuk yang ke sembilan tahun beruntun. Izin cuti besok sudah kukantongi. Setelah mendapat hasil buruk hari ini, Lazioku kalah menit ke 92 dan Roma menang meyakinkan ke Naples, semoga Senin akan lebih cerah. Berikut 14 tebakanku.

#14. Animated feature filmCoco

Alasan: Tema kartun yang hebat, kehidupan setelah kematian.

Saya hanya nonton satu film dan sudah cukup yakin Pixar menang lagi. Bagian animasi memang paling mudah ditebak, dari dulu tipikal ceria anak-anak dengan tema cerita tak lazim masih sangat disukai juri Oscar.

#13. Actor in a supporting role – Woody Harrelson (Three Billboards Outside Ebbing, Missouri)

Alasan: Dengan dua wakil dari Three Billboards, rasanya kategori ini hanya untuk Woody atau Sam.

Sayang saja Ray Ramona-nya Big Sick tak masuk. Bagian saat pembacaan surat perpisahan di depan kandang kuda itu sangat menyentuh, tema kematian tapi dibawakan dengan komedi satir. Aneh sekali lima menit lalu saya ketik Sam lho, ga tahu kenapa saya malah backspace dan ganti Woody. Juri selalu suka orang-orang yang bernasib tragis. Luka bakar masih bisa diobati, tapi kematian adalah akhir dari perjalanan fana.

#12. Actor in a leading role – Gary Oldman (Darkest Hour)

Alasan: Pidato ending yang luar biasa, perubahan dratis Oldman dengan prostetik make up

Timothee Chalamet bisa langsung kita coret karena tema gay berciuman sudah tak menarik. Day-Lewis seperti sebelum-sebelumnya yang kharismatik, perpisahan manis. Denzel terlepas. Kaluuya yang pendatang baru justru tampil manis dengan senyum dan air mata di ruang karam. Namun jelas, tak terbantahkan sejarah mencatat perubahan tampilan fisik sudah sangat sering dicatat juara. Tahun ini hanya bencana besar yang bisa mengalahkan Sirius Black.

#11. Actress in a supporting rose – Laurie Metcalf (Lady Bird)

Alasan: Boyhood versi cewek, Patricia Arquette-nya tahun ini.

Senang sekali lihat Laurie mengatur Saoirse. Khas hubungan ibu-anak dimana saat dekat saling marahan, saat jauh rindu. Apalagi saat anak remaja yang beranjak dewasa, di mana banyak pilihan masa depan terbentang, sang ibu hanya menuntun. Sedih, senang, sendu, sayang.

#10. Actress in a leading role – Saoirse Ronan (Lady Bird)

Alasan: Penampilan terbaik Saoirse Ronan, kesempatan ketiga, wajib diganjar piala.

Pesaing sejatinya hanya Frances McDormand yang membara dan luar biasa. Kalau bukan fanatisme, rasanya sang ibu yang melempari kantor polisi dengan api akan menang. Namun Saoirse juga luar biasa hebat menghadapi ibu yang posesif dan ayah yang defensif. Bagian saat ia meminta nominal uang asuh itu absurd, sakit memang sekaligus menyentuh hati terdalam.

#9. Music (original song) – “This is Me” (The Greatest Showman)

Alasan: Saya sudah nonton kandidat lain, terasa biasa.

Saya belum menonton The Greatest Showman, tapi melihat pesaing lain yang biasa rasanya mending menjagokan filmnya Jackman. Apalagi film musikal punya sejarah dominan menang bagian ini. Kenapa Never Forget-nya Michelle Pfeiffer ga masuk ya?

#8. Makeup and hairstyling – Darkest Hour

Alasan: Oldman jadi ga kayak Oldman, sangat berbeda dari Black yang saya kenal

Kalau ga tahu cast sebelum menonton kalian pasti pangling. Sama seperti saat Tom Cruise ambil bagian di Tropic Thunder yang dance aneh itu. Saya terkejut saat di credit title muncul namanya. Sampai butuh tiga jam hanya untuk mendandani satu aktor? Ini gila.

#7. Visual effects – Guardians Of The Galaxy Vol. 2

Alasan: I am Groot! Hahaha.. sinar di mana-mana

Saya baru lihat Guardians dan War For. Banyaknya review negatif film sama tinggi dengan ulasan negatfi-nya. Namun kita sepakat, film ini memiliki efek visual luar biasa. Perang antar galaxy yang melelahkan, untung Mantis punya antena.

#6. Music (original score)Dunkirk

Alasan: Skor film bahkan jauh lebih bagus ketimbang ceritanya.

Sudah saya plot musim panas tahun lalu. Sudah saya prediksi, minimal masuk nominasi – terbukti ‘kan. Iringan musiknya berkejaran beriringan lari pasukan Inggris yang terdesak serangan Jerman dari udara, laut dan darat. Saingan utama The Shape of yang memang bagus menyertai makhluk air, tapi tetap komitmen jago – apakah juga terbukti?

#5. Cinematography – Blade Runner 2049

Alasan: Angka 14 adalah angka istimewa.

Sebenarnya tadi sudah ketik Mudbound, tapi berubah pikiran berkat teringat angka 14, angka spesial. Henry, Keita, Simone, dkk. Angka yang menjadi jimat Roger Deakins untuk pecah telur. Come on doa penggemar King of Highbury menyertaimu.

#4. Writing (adapted screenplay) – Mudbound

Alasan: Narasi yang hebat

Adaptasi novel memang harus seperti ini. Kenikmatan membaca berhasil dialihkan ke pendengaran. Narasinya juara, seperti menikmati novel audio. Sebenarnya suka sekali Logan, tapi sayang sekali kesempatan langka superhero masuk kategori bergengsi ini bersamaan dengan kegemaranku di seni tulis. Dosa besar kalau saya tak menjago takdir yang menyertai dalam lumpur.

#3. Writing (original screenplay) – Lady Bird

Alasan: diary, screenplay, moving picture

Ini kategori favoritku. The Big Sick bisa dicoret. The Shape yang biasa saja juga yakin bisa dihilangkan. Lady Bird yang memang jadi film istimewaku, tak mungkin tak kujago. Terlihat sekali ini adalah pengalaman hidup Greta Gerwig yang sukses diaplikasikan di layar. Three Billboards yang menang menghentak bisa saja, tapi saya akan histeris andai yang menang Get Out.

#2. Directing – Greta Gerwig (Lady Bird)

Alasan: Look like a memory, kita satu angkatan Bu.

Satu-satunya kandidat wanita, keputusan tepat memilih Saoirse di mana kisah penunjukan cast-nya berturut dengan Brooklyn. Hebat sekali, bisa menulis cerita pribadi, menuliskan naskah dan memfilmkan, serta hasilnya qualify. Ganjaran piala akan menyempurnakan itu.

#1. Best picture – Lady Bird

Alasan: For Saoirse. For Gerwig. For Sacramento

Saya akan ulasan sepintas semuanya. Skor, satu kalimat, dan pendapat singkat:

* Call Me By Your Name – 2/5 cheesy, hebat kalau kalian bisa menuntaskan tonton tanpa mengantuk. Tema homo, coming of age yang berat, dan orang asing yang berhasil mencuri hati. Jelas peluangnya paling kecil.

* Darkest Hour – 4,5/5 powerful speech, Film biografi tahun ini. Sungguh memikat, selama ini saya hanya tahu Churchill dari buku-buku – pemenang Nobel Sastra Bro, ini adalah film tentang dirinya pertama yang kutonton dan langsung memikat. Film ini lebih pada aksi tunggal Oldman, bukan milik Joe Wright.

* Dunkirk – 4/5 technical masterpiece, kejutan musim panas. Secara kulitas cerita biasa, Nolan kalau sampai menang justru ironis karena beliau terkenal sebagai master twist ending, masak di puncak pas pamer skill teknik? Lelucon tak lucu

* Get Out – 5/5 sunken place, saya akan kasih aplaus khusus kalau sampai juri Oscar berani memenangkannya. Ini jelas film yang melawan arus, ide brilian memasuki pikiran manusia dengan meletakkan penghuninya di ruang karam. Hebat, canggih, gila.

* Lady Bird – 5/5 Sayangku Saoirse, sesubjektif saya, saya tak pegang Broonklyn dua tahun lalu. Walau film itu sangat personal tapi jelas posisinya tentang cinta yang jauh akan sulit menang. Kali ini Lady Bird sangat layak, sangat pantas. Sebuah kesuksesan tersendiri biografi tak resmi diri sendiri bisa menang di piala tertinggi. #PalurProud

* Phantom Thread – 4/5 ini film Daniel Day-Lewis, bukan Paul Thomas Anderson. Mau dipegang Paul Thomas ataupun Paul Rudd tetap saja akan bagus kalau punya cast semewah Lewis. Film ngegoliam perang batin dua jam yang hanya disukai kaum snob. Jiah, saya nilai 4 bintang shob juga nih? Hiks…

* The Post – 3.5/5 Newspaper Power, sudah sangat banyak film tentang Perang Vietnam, sudah sangat banyak pula film tentang media cetak yang mengungkap fakta rahasia, tapi jelas The Post bukan yang terbaik.

* The Shape Of Water – 3/5 Beauty and the Beast in Nude Mode, 13 nominasi untuk film macam gini? Bah! Del Toro punya masterpiece Pan’s Labyrinth, jadi ini bukannya grafik naik malah drop. Cerita, akting, teknikal, semua biasa. Ampun deh, jangan hilangkan kepercayaan kami, please bapak ibu juri.

* Three Billboards Outside Ebbing, Missouri – 4/5 Membara Berkobar Terbakar, inilah favorit juri sesungguhnya. Kalau kalian jagoin film ini kalian ikuti arus aman laiknya La La Land, Spotlight, Birdman, 12 Years A Slave, Argo, The Artist, dst. Hidup tak seru da menarik kalau tak ada kejutan, dalam delapan tahun terakhir Best Picture Academy Award yang kusaksikan para juri hanya punya keberanian memilih keluar jalur rel kereta tahun lalu. Bagaimana tahun ini?

Karawang, 050318 – Sherina Munaf – Singing Pixie

Catatan tambahan: Saya ketik prediksi ini tanpa browsing, tanpa buka referensi, tanpa pembanding siapapun dari media sosial ataupun copas pendapat orang lain. Murni penilaianku dari menonton yang mungkin terdengar subjektif. Baiklah, Baby Driver ternyata belum kusebut, perkiraanku bakal menang minimal satu piala, tapi bagian editing tak kucantumkan karena mulai tahun ini saya hanya akan memilih 14 kategori.

Darkest Hour: Oldman Triumph

Winston Churchill: Nations which go down fighting rise again, and those that surrender tamely are finished.

Wow. Powerful Speech. Tak ada keraguan, Gary Oldman pasti menang best actor. Berkat Darkest Hour saya akan jagokan England juara Piala Dunia 2018. Simpati, doa, dukungan, harapan. Orator ulung, kalimat-kalimat akhir film ini sungguh menggugah. Mak jleb!

Perdana Menteri Inggris Neville Chamberlain (Ronald Pickup) mundur di bulan Mei 1940 karena kehilangan kepercayaan dalam menghadapi krisis, dan parlemen segera mencari pengganti. Krisis yang dimaksud adalah Jerman dengan Hitler-nya sedang meruntuhkan negara-negara tetangga, saat ini sedang di perbatasan Belgia dan segera merembet Perancis yang tentu saja Inggris dalam posisi tak nyaman. Welcome to War World II film! Housepainter.

Ini adalah salah satu film sejarah/biografi terbaik yang pernah dibuat. Benar-benar menghentak, memotivasi, memberikan semangat meluap. Saya jadi membayangkan suatu saat sang Proklamator Ir. Soekarno di film-kan Hollywood, pasti akan sangat heboh. Orator ulung yang tak kalah glamor dalam memicu nasionalis warga. Ataukah sudah ada yang buat?

Juru ketik cantik Elizabeth Layton (Lily James – film kedua Oscar yang kutonton setelah menggoda Baby Driver) direkrut menjadi sekretaris Winston Churchill (diperankan dengan gagah oleh Gary Oldman). Diperkenalan awal, tak berjalan lancar. Salah ketik, salah dengar, salah komunikasi ‘banyak banyak banyak…, ada berapa banyak?’ Istrinya Clemmie (Kristin Scott Thomas) menasehatinya, ‘ojo kasar-kasar lah dadi uwong. Dah tua. ‘Yes I am afraid you are.’ Telegram yang menjadikannya Perdana Menteri diterima Layton saat ia akan kabur, seorang pengantar pesan memberinya dengan cuek. Ragu, lantas berbalik, dan siap melanjutkan pekerjaan.

Sang Raja George VI (Ben Mendelsohn) mengundang Churchill ke Buckingham Palace, setelah menerima pengunduran diri Chamberlain ia menyambut dengan absurd. ‘Well even a stopped clock is right twice a day.’ Memang kalau menerima perintah Raja dan tunduk gitu harus cium tangan ya? Churchill ternyata tak sepenuhnya didukung banyak pihak, ia memang jadi pengambil kebijakan utama, tapi banyak suara sumbang dan penentang di sekitar parlemen. Di film ini jelas sekali ditunjukkan ada pertemuan tatap muka rahasia antara mantan Pendana Menteri dan sekjen luar negeri Lord Halifax (Stephen Dillane). Halifax digambarkan tak suka Churchill, menginginkan perdamaian dengan pihak Jerman, sering minta perantara Italia. Ia terus menekan Churchill, ayo bos kita gencatan senjata, tersamar tapi jelas ada aura ketakutan yang menggantung di udara. ‘Will you stop interrupting me while I am interrupting you!’ Chamberlian ternyata sakit kanker dan mengkhawatirkan akan menyaksikan Inggris jatuh di sisa hidupnya. Nantinya ia justru mendesak sang raja kembali mencopot Churchill yang dirasa tak klasify. Konflik yang memang sangat dibutuhkan film berkualitas, sampai di sini mulai bercabang rumit. Antara pendapat pribadi para oposisi, keluarga sang pejabat dan tentu saja kepentingan utama Negara yang terus terancam, didesak waktu.

Keputusan berat pertama harus diambil sang Perdana Menteri, saat ada 300,000 pasukan yang terdampar di Dunkirk dan dalam gempuran Jerman, apakah perlu mengirim pasukan penyelamat atau segera membantu negara tetangga Perancis yang mulai goyah. Rencana penyelamatan dirahasiakan, ia menuju Perancis dulu untuk diskusi kebijakan darurat. Bagian ketika ia mencoba berbicara dengan Pihak France terlihat lucux, Oldman yang coba merebut simpati terasa berlebihan. ‘Negara sahabat, kita pasti bisa melewati masa ini seperti yang sudah-sudah, apa serangan balik yang dipersiapkan, jadi apa rencanamu?’ Well, tak ada rencana! Wew pasrah gan.

Melalui siaran radio, Churchill menghimbau agar warga siap mengeratkan tangan dan siap melawan. Pertemuan dengan Perancis ada kemajuan, maka kita harus berani hadapi tirani gelap ini, bersiaplah perang demi kemenangan kita! Dengan background wilayah-wilayah runtuh dalam serangan Jerman, sungguh kalimat menggugah itu adalah ironi. Suatu ketika ia berfoto dengan dua jari membentuk V yang berarti Victory. Namun sang sekretaris menjelaskan V bisa artinya ‘up your bum’, makna negatif dan positif. Sampai sejauh mana Inggris Piala Dunia nanti?

Di Dunkirk yang darurat, butuh pertolongan, Churchill berencana mengirim 4,000 pasukan untuk melakukan evakuasi, ide itu ditentang para Lord karena seperti misi bunuh diri. Frustasi, ia meminta bantuan Amerika untuk mengirim 40 mesin penghancur. Melalui sambungan telpon jarak jauh Presiden Franklin Roosevelt tak langsung bilang tidak. Secara halus menolak karena kena aturan perang, bisa saja ia mengirim bantuan pasukan berkuda , pasukan tanpa mesin. Bah! Ngeledek ini. Ekspresi Churchill yang berang tapi tetap berkata halus sungguh mengaharu.

Sementara para Lord mendesak meminta Churchill untuk segera berunding damai saja sebelum Herr Hitler menyerang pelosok negeri. Desakan yang makin membuatnya pening, apalagi Halifax malah mengancam 24 jam lagi ia mundur kalau negosiasi tak segera diapungkan. Situasi mendesak itu mengakibat, rencana pengiriman pasukan bantuan diurungkan. ‘He mobilized the English language and send it into battle.’ Dan Churchill justru menjawabnya dengan membentuk Operasi Dinamo dengan melibatkan warga sipil dengan meminta mengirim perahu/kapal ke Dunkirk, ralat ini bukan permintaan, ini perintah! Ide yang terdengar aneh, sipil dilibatkan militer, tapi tidak. Ini jelas ide brilian. Hebat! Apa yang terjadi berikutnya kalian bisa lihat di film karya Nolan yang teknikal unsurnya luar biasa, yang entah kebetulan atau sengaja rilis bersamaan di tahun Oscar.

Belgia akhirnya menyerah. Perancis segera menyusul. Inggris ketar-ketir. Lukaku mejan, Pogba mandul, Rooney pindah. Churchill yang punya opsi menyerah atau berani melawan digdaya Jerman akhirnya menemukan jawab dari kaum jelata. ‘You can not reason with a Tiger when your head is in its mouth.’ Saat di West End, London lalu lintas macet, dan mobil terhenti, ia memutuskan kabur. Naik kereta bawah tanah, membaur dengan warga. Berdiskusi langsung. Meminta api buat rokoknya, warga yang shock karena ada orang penting di kursi kereta pada terdiam dan manut. Ia berdiri, penumpang ikut berdiri. Ia duduk, semua menunduk. Hormat. Sang Perdana Menteri menanyakan, meminta saran dan memastikan apa yang harus kalian lakukan saat ini? Tunduk ke Jerman atau terus melawan? Luar biasa, suara bulat: Lawan! Saya lebih baik mati tercekik darah di tanah merdeka ketimbang menjadi budak. Wow, para warga biasa ternyata punya jiwa ksatria ketimbang para pejabat yang kecut.

Maka saat kereta berhenti di Westminster ia berjalan ke gedung dengan kepala tegak penuh percaya diri. Mengutarkan suara rakyat, mereka para pemberani yang tak takut berperang. Maka jadilah final act, pidato beliau yang terkenal itu. Adegan akhirnya luar biasa menggugah, parlemen mengibarkan, menggelombangkan sapu tangan dan kertas-kertas bertaburan yang tentu saja sepakat bulat, Lawan!

Saya sudah prediksi pasti pidato itu akan dijadikan boom, gong penutup film. Kenapa? Ya karena saat penonton mengakhirinya aura membuncah masih sangat menempel, akan terkenang. Hebat! Joe Wright memenuhi harapan itu. sempat bilang Darkest Hour is movie of the year, sesaat setelah tulisan credit berjalan. Namun kini saya ralat, Orient Express tetap yang terbaik, sejauh ini. Hehe…

Succes is not final. Failure is not fatal. It is the courage to continue that counts.’

Epilog text kurasa tak perlu karena jelas ini film historikal yang kisahnya ada di banyak buku sejarah. Bisa jadi Dunkirk-nya Nolan adalah sekuel Darkest Hour versi popcorn. Atau The Darkest Hour adalah prekuelnya? Hahaha…

V for Victory. Koran-koran jadul yang menunjukkan keklasikannya dimunculkan, salah satunya sebuah koran terbitan Daily Express yang memuat headline ‘Change must be made quickly’. Jadi membayangkan zaman itu betapa mencekam.

Sepanjang film, raut Oldman yang kharismatik ditutupi. Ia menjadi tambun, gugup dan tertekan. Dengan cerutu dan minuman berwarna, segala yang diperbuatnya seolah menjadi sabda. Oldman mempelajari setahun terakhir sebelum mengambil peran ini. Ganjaran yang pas. Saat dia dianugerahi dalam Golden Globe, ia mengucapkan terima kasih untuk istri Gisele yang telah menjadikannya keren, serta ironi ‘I go to bed with Winston Churchilland wake up with Gary Oldman.’ Patut dinanti apa yang diucapnya Senin nanti. Komisaris Gordon, Sirius Black, George Smiley, Vladislav Dukhovich, Winston Churchill. Puncak Oldman, akhirnya Oscar!

Sepintas mengenai Churchill. Karena saya pengikut Nobel Sastra, maka beliau tentu saja akan selalu dikenang berkat kemenangannya di tahun 1953. Churchil adalah anggota partai Konservatif sebelum akhirnya pindah ke Partai Liberal. Di tahun 1931 saat partainya menang Pemilu ia tak dilibatkan Ramsay MacDonald dalam kabinet, menjadikan titik terendah karir politiknya. Ia lalu malah menulis buku History of the English Speaking Peoples, yang diterbitkan setelah Perang Dunia II. Beliau adalah penentang utama Chamberlain yang menjadi penggembira Hitler, maka ketika ia menjadi Perdana Menteri tahun 1940 ia melawan, memperkuat persenjataan. Pidato awal setelah dilantik sangat terkenal memang inspiratif, ‘Saya tidak mempunyai apa-apa untuk ditawarkan kecuali darah, kerja kuat, air mata dan peluh.’

Karena kenekadnya menentang arus, ia banyak musuh di parlemen maka tak heran kalah telak pasca perang dari Partai Buruh. Barulah tahun 1951 Churchill kembali menjadi Perdana Menteri, dua tahun berselang dapat gelar Sir dan menang Nobel Sastra. Kalimat paling fenomenalnya, yang menjadi final speech film ini akan selalu dikenang generasi ke generasi berikutnya.

Kita akan mempertahankan pulau kita, walau apapun harganya, kita akan bertempur di pantai, kita akan bertempur di tempat pendaratan, kita akan bertempur di padang dan di jalan, kita akan bertempur di bukit, kita tidak akan sekali-kali menyerah!

Darkest Hour | Year 2017 | Directed by Joe Wright | Screenplay Anthony McCarten | Cast Gary Oldman, Kristin Scott Thomas, Ben Mendelsohn, Lily James, Ronald Pickup, Joe Armstrong, Stephen Dillane | Skor: 4.5/5

Karawang, 030318 – Sherina Munaf – Lari Dari Realita