One Day: Peristiwa yang Telah Dinanti-nantikan dan Dimatangkan oleh Waktu Kini jadi Sebuah Takdir

“Beritahu aku, Sherina, apakah kau pernah punya seorang loyalis kasih sefantastis aku?”LBP

Maka, aku membuka mulutku dan meniup terompetku. Nadanya syahdu dan menelisik telinga, membuat Sherina terpental di dunia pararel hilang kesadaran, lantas ia membalas cintaku. Keberuntungan tak akan bertahan selamanya. Bagaimana kalau kamu dikasih kesempatan sehari untuk menghabiskan waktu bersama orang terkasih yang sejatinya jauh diluar jangkauan? Bagaimana rasanya menikmati masa-masa itu, impian liar yang terpendam diwujudkan dalam waktu 24 jam. Katakanlah, Sherina hilang ingatan, dan hilang kewarasan sehingga mencintaiku untuk waktu tertentu. Lantas saat ia balik ingatan dan juga warasnya, segalanya normal lagi sehingga ia kembali ke suaminya. Namun jelas sehari itu akan sangat amat special. Patut diperhitungkan, dunia fantasi percintaan akan selalu laku diolah. Latarnya saja digubah, proses mencintanya disetting, manusianya yang kreatif. One Day memang menawarkan kisah picisan, tapi tetap saja nikmat untuk diikuti, apalagi tokohnya yang culun yang lantas diwujudkan impiannya. Kita diberi kesempatan menyaksi orang aneh ini bahagia, walau sesaat.

Denchai (Chantavit Dhanasevi), seorang IT yang culun abis. Ia memang bagus dalam kinerja kerja, tapi sosialnya terbelenggu. Freak menghadapi rekan-rekan, apalagi cewek, apalagi cewek cantik yang diam-diam ia kagumi. Adalah Nui (Nittha Jirayungyurn) pusat segala cinta di kantor itu. Ia adalah semesta damba, yang dicintai di balik punggung. Sang IT mengistimewakannya, membantu ekstra bukan hanya masalah informasi teknologi, tapi juga dukungan segalanya yang bisa dikeranhkan. Lagu-lagu jadul ia masukkan winamp, sebagai playlist menemai orang terkasih. Ia hapal kebiasaan selama di kantor, ia bahkan tahu ada tanda lahir di tubuhnya. Pengagum luar biasa obsesif.

Sayangnya, Nui adalah kekasih gelap sang bos. Menjadi wanita simpanan, menjadi Sephia-nya. Ia mau dimadu, dijanjikan dinikahi suatu hari kelak. Perselingkuhan itu pahit baginya, tapi tetap saja dijalani. Cantik sih tapi pelakor.

Suatu hari mereka melakukan rekreasi kantor ke Jepang, di sebuah pegunungan Hokkaido yang merupakan tempat libur impian Nui sebab di sana ada festival tahunan, yang fotonya dipajang di atas meja kerja. Ia menanti hari itu dengan antusias. Sayangnya hari itu tak berjalan mulus. Bosnya memilih bersama istrinya, dan ia tak mungkin menceraikan istrinya sebab sedang mengandung. Hatinya luluh, pikirannya lantak. Rasanya langit runtuh. Ia berniat bunuh diri.

Untung ada si freak yang memerhatikan, mengikuti perjalanan di tengah salju, menolongnya di dinginnya badai. Nui, menurut diagnose dokter mengalami sakit hilang ingatan selama sehari. Ia akan pulih otomatis saat mentari esok muncul. Maka saat terbangun dan Denchai adalah manusia pertama yang dilihat, ia memodifikasi fakta. Mengaku pacarnya, mengaku kekasih istimewa. Nui seolah tak percaya, ia menelpon ibunya, karena nama bosnya yang disodorkan Denchai, segala semesta mendukung drama sandiwara ini. Ia mengangguk, tetapi ekspresi keraguan di wajahnya tidak menghilang. Peristiwa yang telah dinanti-nantikan dan dimatangkan oleh waktu kini jadi sebuah takdir. Hello polisi, ada seorang IT meniru pacarnya Nui untuk mencuri momen! Keraguan menjadi bahan bakar pengembaraan.

Luar biasanya, Nui hanya diberi waktu beberapa jam dan sukses benar-benar jatuh hati. Dan sang pejantan jadi tangguh benaran. Cinta tak berkurang karena rekayasa dan tak bertambah karena luluhnya kekasih. Cinta yang Nui alami bukanlah hasil usaha tangan manusia, melainkan diciptakan oleh aktifitas Tuhan.

Endingnya memikat, kalian yang benar-benar mencinta pasti akan melakukan pengorbanan yang sama. Kebahagiaan orang terkasih ada di posisi tertinggi, yang mulia cinta, aku menghamba. Tertanda IT culun. Sebagaimana kalian para pujangga, seorang IT juga selalu lebih senang bergaul dengan benda-benda mati daripada makhluk hidup.

Denchai adalah seorang loyalis sejati pada cinta dan kenangan. Itu terlalu melankolis, terlalu culun untuk laki-laki, tentu saja tak baik. Budak cinta tak harus seaneh itu. Konsep-konsep tentang mencintai seperti itu tidak dapat dijejalkan ke dalam telinga-telinga orang normal. Malah bikin muak bahkan marah. Perilaku damba sejenis itu adalah maklumat sahaya. Bro, kamu tuh lelaki! Cinta dikambinghitamkan sebagai sumber inspirasi.

Akhir yang pantas untuk keduanya. Tentu saja mereka tidak bersulang untuk sebuah perpisahan. Namun aku memberi tepuk tangan meriah untuk keberanian mengambil keputusan pergi. Selamat Boy, kamu lolos.

One Day | 2016 | Thailand | Directed by Banjong Pisanthanakun | Screenplay Banjong Pisanthanakun, Chantavit Dhanasevi, Nontra Kumwong | Cast |Chantavit Dhanasevi, Nittha Jieayungyurn, Theerapat Sajakul  Skor: 4/5

Karawang, 210921 – Billie Holiday – Fine and Mellow

Recommended by Lee, Thx.

My Heart Can’t Beat Unless You Tell It To: Apa yang Hendak Kau Perbuat, Perbuatlah dengan Segera


Terlihat seperti rumah.”

Mencintai dan membenci merupakan inti dari kehidupan itu sendiri. Dan keberlangsungan kehidupan itu adalah sarana, berikut semua berkat dan kepedihan. Mereka yang memiliki kodrat hidup normal menjalani selaras dengan masyarakat, mereka yang menyimpang dengan darah sebagai konsumsi adalah benalu keluarga. Untuk hidup ia mengambil kehidupan. Kematian seolah menjadi sebuah hadiah. Cerita para pembunuh yang membunuh untuk mengambil darahnya, dikonsumsi oleh adik mereka yang sakit dan gila. Mengerikan dan benar-benar sadis. Mencari korban, mengajaknya jalan, dibunuh, lantas darahnya diambil. Keluarga aneh dan kejam sekali. Bagaimana kalau pada akhirnya dibunuh adalah teman dekatnya? Tentu saja konflik batin diapungkan. Lantas sampai kapan keadaan ini akan berlangsung? Ini situasi abnormal, ini jelas melenceng kaidah kemanusiaan. Ini cerita untuk orang gila, darah dimana-mana, kriminal terjadi di sekitar kita.

Kisahnya tentang kegalauan Dwight (Patrick Fugit). Ia tampak ragu dalam melakukan kejahatan. Pembukanya, ia menghampiri gelandangan yang mengorek sampah di tengah malam, dengan mobilnya menawarkan bantuan, sebuah rumah singgah yang nyaman. Saat sampai di depan rumah, sang gelandangan kaget, karena rumah singgahnya bagus, dan sebelum menyadari keadaan, ia langsung dibunuh. Di rumah sudah menunggu kakaknya Jessie (Ingrid Sophie Schram) yang dengan sigap mengambil darah korban, lalu diberikan ke adik mereka Thomas (Owen Campbell) yang sakit keras. Mayat dikubur di belakang rumah. Pembuka yang sungguh mengerikan. Thomas menderita kelainan jiwa, kurus kering, mata cekung, memelas, dan haus darah. Ia adalah sejenis vampire, hanya bisa hidup dengan darah. Dalam satu kata, ia adalah: monster.

Jessie adalah karyawati sebuah rumah makan. Dalam rutinitas normal ia adalah perempuan biasa yang tersenyum pada pelanggan, memberikan pelayan sewajarnya. Masyarakat kebanyakan. Dwight berada di tengah-tengah keadaan, mau terus membantu monster berbentuk adik mereka atau kabur saja meninggalkan segala kegilaan ini. Jessie selalu menyemangati, ia terus berjuang dan sekaligus terus membunuh orang lain. Prinsipnya memang mereka mencari mangsa orang-orang yang dianggap penyakit masyarakat: gelandangan, pelacur, imigran gelap, orang-orang hopeless.

Belakangan kita ketahui bahwa ada hubungan istimewa antara Dwight dan calon korban, yang penjaja seks. Yang sering mendapat waktunya, sebagai teman tidur dan teman curhat. Bahkan ia merencanakan kabur sahaja, bersama pergi jauh ke pesisir pantai memulai hidup baru. Poster pantai sampai disimpan dan sering ditatap untuk menyatukan impian guna mewujud. Namun naas.

Jessie yang sudah mengamati sang PSK, akhirnya melaksanakan hajatnya. Kekasih singkat Dwight tersebut sudah jadi mayat, lihat betapa hidup begitu keras dan kejam. Nyawa hanya mainan, setiap saat orang jahat di sekitar bisa saja mengancam dan memutus kehidupan.

Kengerian monster ini menjadi berulang dan bertele, sampai kapan mereka akan menyupai adiknya dengan darah segar? Sampai kapan nurani mereka dihempaskan? Sampai akhirnya suatu sore, Thomas menyapa tetangga dan mengajaknya mampir. Melihat keanehan rumah dan perabot, menyaksi kekejaman, dan akhirnya hal-hal yang seharusnya selesai sedari mula, sampai juga di garis finish. Siapa yang betahhan?

Temanya agak absurd. Manusia mengkonsumsi darah manusia? Gila. Mungkin tata cara memilih korban bisa jadi misi membersihkan penyakit masyarakat. Masyarakat yang heterogen tentu segaris lurus dengan permasalahan yang ditemukan. Begitu pula penyakit masyarakat, di kota manapun akan selalu ada. Gelandangan bisa jadi masalah serius, persoalan mencerminkan problema sosial yang besar yang dapat ditemui dalam pergaulan hidup kota. Gelandangan adalah orang-orang yang kehidupannya mengembara dan tidak mempunyai tempat tinggal tertentu. Maka di sini jadi target utama.

Lalu tentang prostitusi. Pelacuran menurut Barners & Teeters merupakan penyakit sosial tertua yang terus ada dari masa ke masa. Di sini ada hukum permintaan dan penawaran yang didorong oleh faktor-faktor lingkungan sehingga terbentuk ‘pasar’. Pelacuran sulit diberantas, tapi harus ada usaha penanggulangan dalam arti sekurang-kurangnya menekan atau mengurangi meningkatnya jumlah. Ada di posisi kedua untuk dikedepankan.

Imigran gelap, di Negara manapun laju pertambahan penduduk kota menukik naik dengan tajam. Untuk mengurai kepadatan tersebut, salah satunya jelas kedatangan warga asing. Apalagi WNA yang akan menambah budaya baru. Berbagai solusi dicoba untuk menyaring dan mengembalikan ke daerah asal. Namun lihatlah, urbanisasi terus menjamur. Ada di posisi ketiga. Dst… bisa jadi My Heart tentang psikopat monster yang haus darah, tapi di sisi lain ada tujuan ‘mulia’. Memberantas penyakit masyarakat dengan jitu. Haha, ngeri ‘bukan?

Judul filmnya sendiri adalah sebuah video musikal dengan judul lagu “I am Controlled by Your Love” yang dibawakan Helene Smith, di mana ada lirik berbunyi seperti itu. Untuk menghilangkan penat, mereka berkaraoke dan lagu ini adalah lagi favorit bersama. Lihatlah, siapapun kalian, musik bisa jadi obat tenang yang mujarab. Setidaknya sementara waktu melupakan kegetiran.

Apa yang hendak kau perbuat, perbuatlah dengan segera. Sebenarnya tindakan Dwight sangat bisa kita maklumi. Sang imigran yang ditangkap, memelas untuk tetap bertahan hidup. Ia tak lantas membunuhnya, mengurungnya, memberi waktu dalam kebimbangan. Begitu pula saat ia mengutarkan niat kabur ke pesisir, jelas ada kemuakan di sana, impiannya hidup normal serasa sudah di ubun-ubun. Maka endingnya sudah sangat pas, dunia jungkir balik ini harus diakhiri. Suara debur ombak iru jelas terdengar merdu setelah satu setengah jam disuguhi kekerasan dan darah. Desir angin yang membelai Dwight turut serta meluar layar, menyejukkan penonton. Saya merasakan kedamaian pula.

Sungguh melelahkan jalan ceroboh menuju kehancuran, sungguh sepi rawa-rawa yang kita jalani. Desahan yang penuh penderitaan dan kehilangan.

My Heart Can’t Beat Unless You Tell It To | Year 2021 | USA | Directed by Jonathan Cuartas | Screenplay Jonathan Cuartas | Cast Patrick Fugit, Owen Campbell, Ingrid Sophie Schram | Skor: 4/5

Karawang, 210921 – Vour – Girl On The Ledge

(review) Still Alice: It Blew My Mind Away

Spoiler Alert – Tulisan ini mungkin mengandung spoiler.

Berdasarkan novel karya Lisa Genova. Di ulang tahunnya yang ke 50 tahun, Alice Howland (Julianne Moore) mempunyai keluarga yang sempurna. Mempunyai suami yang care, punya 3 orang anak yang sukses dan karir yang Ok sebagai professor di Universitas Colombia. Saat perayaan ultahnya, putri bungsunya Lydia Howland (Kristen Stewart) tidak bisa dating karena ada audisi di luar kota. Acara tetap meriah, suaminya John Howland (Alec Baldwin) sampai memuji Alice terlihat masih muda seperti baru 40 tahun. Anna Howland-Jones (Kate Boswoth) datang bersama suaminya Charlie Howland-Jones (Shane McRae). Melengkapi pesta, anak keduanya yang baru saja putus cinta, Tom Howland (Hunter Parrish). Gambaran keluarga yang sempurna tersaji di awal cerita yang menyedihkan ini.

Sampai pada suatu hari saat Alice sedang olahraga lari di kampusnya dia lupa jalan. Muter-muter sampai akhirnya dia sadar ada yang tak beres di kepalanya. Lalau Alice konsul ke dokter Benjamin (Stephen Kunken). Selama sebulan lebih dia inten ke sana, hasilnya dia di-diagnosa sakit Azheimer tingkat dini. Penyakit yang sebenarnya jarang dialami manusia usia di bawah 65 tahun. Sebagai seorang pengajar, memori jelas sangat penting. Pantas saja saat dia mengisi kuliah, beberapa kata dia lost. Panik, sampai dia menangis, mending kena kanker ketimbang azheimer. Penyakit ini adalah turunan secara genetik. Setelah ditelusuri ternyata turunan dari ayahnya. Takut penyakit ini akan turun ke anaknya, maka seluruh keluarga dikumpulkan.

Disampaikannya berita ini, semua seakan tak percaya. Ibunya yang cerdas dan sehat secara fisik malah kena sakit azhiemer. Disampaikan pula bahwa semua anaknya diminta untuk cek, untuk mengetahui kemungkinan menurun. Di saat bersamaan Anna positif hamil, dari usg anaknya kembar. Setelah beberapa lama, saat Alice pulang mengajar dia mendapat telpon. Anna memberitahunya, dia positif sementara dua adiknya negative. Kalut, Alice meminta maaf.

Semakin hari ingatan Alice semakin menurun. Main game cari kata di android dia sering gagal. Data pribadinya dia tulis di HP seperti tanggal lahir, tempat tinggal, sampai apa saja yang harus dilakukan. Dia lalu membuat video apa yang harus dilakukannya ketika ingatannya benar-benar kritis. Video berisi intruksi buatnya sendiri untuk ‘bunuh diri’. “Hi Alice, I’m you… And I have something very important to say to you.. hufh”. Di simpan di laptop dengan nama folder butterfly, kenapa kupu-kupu, karena kupu-kupu adalah binatang yang hidup hanya sebulan. Rapuh, namun sangat bermanfaat buat alam. Dia simpan obat di laci paling atas, di bawah lampu biru untuk meminum semuanya lalu berbaringlah. Instruksi yang serem. Dia hidup dari memori HP dan laptop. Dr. Benjamin memintanya untuk mengisi pidato di acara khusus untuk memberi semangat para penderita Azheimer. Pidato yang keren sekali dibawakan oleh Moore. “losing my bearings, losing objects, sleep, but mostly losing memories…”. Seandainya dia menang best actress, scene inilah sebabnya. Natural, rapuh dan menggugah.

Sampai menit film mendekati akhir kita disuguhkan sebuah fakta bahwa betapa memori benar-benar sangat penting. Ditampilkan dengan brilian oleh Moore. Bayangkan, sampai kata-kata saja lupa. Perjuangan melawan kelemahan diri sendiri. Ending-nya sendiri sangat ciamik nan puitis, saat Lydia sang bungsu yang sering berontak malah menjadi anak yang paling berbakti dengan memutuskan pulang untuk merawat Alice. Namun bagaimana akhirnya? Apakah si kembar anak Anna akan kena penyakit juga? Apakah pilihan hidup Alice saat memorinya makin terbatas saat membuka folder butterfly dilaksanakannya? Ataukah John menyerah menghadapi istri yang pikun? See, Saving your memories!

Awalnya saya mendukung Pike untuk best actress, namun setelah semalam menonton ini film saya menjatuhkan pilihan ke Moore. Sungguh memikat, dia menampilkan pesona kerapuhan menghadapi penyakit dengan penuh penjiwaan seakan-akan Moore adalah Alice. Setelah saya perhatikan, ternyata genre film favorite saya selain fantasi adalah drama keluarga. Tahun lalu saya terpesona, August: Osage County dengan akting mantab Meryl dan Julia. Tahun ini saya terpesona sama Moore dan Kristen dengan chemistry yang pas. Tahun lalu Meryl dan Julia gagal menang, tahun ini, please…. kasih Oscar ke Moore. Setidaknya kita akan selalu ingat Moore pernah menang best actress setelah gagal terus. Untuk mengingatkan kita bahwa dia pernah kehilangan ingatan, masih seorang Alice. Still Alice! It blew my mind away…

 Still Alice | Director: Richard Glatzer, Wash Westmoreland | Screenplay: Richard Glatzer, Wash Westmoreland | Cast: Julianne Moore, Alec Baldwin, Kristen Stewart, Kate Bosworth | Skor: 4/5

Karawang, 200215

(Review) Miss Meadows: Miss It!

Featured image

“Toodle-oo!” Punctuated by the catchphrase. Jangan muntah setiap dengar kata ini, Seakan-akan jadi sebuah mantra doa penutup melakukan seuatu.

Daya jual film ini jelas adalah seorang Katie Holmes. Itu juga yang membuatku memutuskan menikmatinya. Film dibuka dengan manis, terlalu manis bahkan. Miss Meadows (Katie Holmes) sedang pulang dari mengajar SD dengan berjalan kaki, menikmati sore yang cerah sambil bersenandung lalu baca buku. Dia baru saja pindahan. Burung berkicau menyambutnya, beberapa kijang jinak berlarian kecil. Terlihat sempurna untuk sebuah komplek perumahan untuk dihuni. Sampai akhirnya dia disapa oleh seorang bapak-bapak, dari dalam mobil lelaki tersebut menggodanya untuk mengajaknya makan malam bersama. Dengan sopan Miss Meadows menolak, dikeluarkannya sepucuk senjata dan memaksa dia untuk masuk ke mobil. Dengan senyum Miss Meadows mengambil tas jinjingnya dan menembak lelaki yang berniat jahat tersebut. Miss Meadows bukan guru SD biasa, oh jelas saya sudah tahu. Dari trailer, poster film saja sudah terlihat jelas Holmes menodongkan senjata sambal tersenyum. Dan ternyata poster film tersebut dibuat dari adegan pembuka.

Lalu film melambat. Pengenalan karakter lain, dari tetangganya yang memuji kecantikan Miss Meadows, ibunya yang perhatian (walau hanya dikenalkan lewat telpon) selalu jadi tempat curhat, sampai lingkungan sekolahnya yang welcome. Terlihat menarik. Suatu hari Miss Meadows melihat katak di tengah jalan mau menyebrang, dia menghentikan mobilnya lalu menyapa katak tersebut dan membantunya melewati jalan. Dari sini saya sempat berharap film ini akan memberi twist, dengan bisa berbahasa binatang, misalnya. Atau pas ada burung-burung berkicau di taman rumahnya Miss Meadows menyapanya. Namun ternyata ga ada dalam skenario dia bisa Bahasa binatang. Hufh… kembali ke sapa katak tadi, dia dihampiri polisi muda, seorang Sheriff (karakter tanpa nama, diperankan oleh James Badge Dale) kenapa berhenti di tengah jalan. Dari sapaannya terlihat sang sheriff jatuh hati, lalu diam-diam mencatat nopol mobilnya.

Suatu siang, sang sheriff sudah nongkrong di depan sekolah, tempat kerja Miss Meadows. Wah ceritanya polisi jatuh hati dan berjuang demi cinta. Gayung bersambut, mereka jalan untuk pendekatan sampai akhirnya saling mencinta. Tenang saja, walau ada adegan dewasanya tapi dibuat seaman mungkin untuk ditonton remaja, ga vulgar. Miss Meadows hamil, dan mereka memutuskan akan menikah. Saya sempat berharap akan ada konflik berat, sheriff-nya kabur misalnya. Namun ga kudapatkan. Salah seorang muridnya bernama Heather (Ava Kolker) sudah men-slot dia akan menjadi pagar ayu pembawa bunga di pesta pernikahannya. Sampai di 2/3 film saya ga menemukan konflik berarti. Walau ada juga adegan Miss Meadows membantai perampok toko, tapi sekali lagi dibuat soft. Batin saya ini film apaan sih!? Datar sekali, sampai akhirnya menjelang hari H pernikahan Miss Meadows tak hadir karena ada suatu sebab. Curiga ada yang menghalanginya, sang sheriff bak pahlawan mencoba menyelamatkan sang putri. Ada apa gerangan?

Miss Meadows memegang senjata untuk melindungi dirinya dari ancaman bahaya yang mungkin datang. Saya sih nangkap pesan moralnya itu saja. Holmes di sini juga sudah mulai terlihat kerutan di wajah, walau masih manis tapi umur tak bisa bohong. Ibu Suri Cruise ini tampil ala kadarnya, yah seperti biasa tak akan kamu temui dia bad-ass dalam adegan action yang menyala-nyala. Oiya, producer film ini ya Katie Holmes sendiri. Wah enak juga ya, actor membiayai film dengan bintang utama dirinya sendiri. Overall, Miss Meadows sesuai prediksi. Manis gula tanpa kopi. Biasa banget. Bisa kalian lupakan, miss it! “Toodle-oo!”

Miss Meadows | Director: Karen Leigh Hopkins | Screenplay: Karen Leigh Hopkins | Star: Katie Holmes, James Badge Dale, Callan Mulvey | Skor: 2/5

Karawang, 120215

Wild: To Let It Be

Featured image

Saya memutuskan menonton film ini karena Reesee Witherspoon dinominasikan best actress. Dah hanya itu saja, terlepas segala review film ini bagus buruknya. Saya sendiri kurang minat film yang mengandalkan pemandangan alam sebagai daya jual. Sempat kepikir ini akan seperti 127 Hours yang predictable tapi malah lebih buruk ternyata. Dengan embel-embel ‘berdasarkan kisah nyata’ dan ‘dari orang yang menyutradarai Dallas Bayers Club’ film ini terasa catchy. Dari awal saya sudah set ekspektasi serendah mungkin.

Cheryl Strayed (Reesee Witherspoon) adalah seorang wanita berusia 26 tahun yang sedang galau karena masalah hidup yang sedang menerpanya mulai dari cerai, pecandu narkoba sampai urusan rumit saudaranya. Lalu dia memutuskan untuk berpetualang seorang diri hiking. Kisahnya sendiri sederhana, menyatu dengan alam dengan mendaki gunung lewati lembah di sungai mengalir indah ke samudra dengan atap langit yang menemani. Ga ada kejutan, ga ada drama dan tanpa konflik cerita yang kuat. Cheryl berjalan dari Mojave ke Bridge of God, dari California sampai Oregon. Jarak yang ditempuhnya sekitar 1.000 mil dengan melewati padang, salju, hutan sampai jalanan lengang. Selama 3 bulan seorang diri Cheryl berusaha melepas bayangan masa lalunya. Perjalanan ini bisa jadi seperti sebuah perjalan spiritual baginya. Setelah hiking dia akhirnya menemukan pencerahan dan semangat hidup yang baru. Sederhana kan kelihatanya.

Saya sempat ketiduran saat menikmatinya, lalu saya rewind untuk melanjutkannya sembari berharap ada sesuatu yang wah, namun sayang harapan itu tak ada. Reesee memang tampil bagus, layaknya ini panggung tunggal untuknya. Tapi sampai dinominasikan best actress sebenarnya kurang. Sekedar bagus ga istimewa. Termasuk Laura Dern yang juga dinominasikan best supporting stress, ah biasa banget. Berdasarkan buku karya Cheryl sendiri berjudul Wild: From Lost to Found on the Pacific Crest Trail, film ini memang jualan utamanya pemandangan indah selama perjalanan. Bagi saya tak lebih. Honestly, I’m lonelier in my life than I am out here.

Wild | Director: Jean Mark Valle | Screenplay: Nick Hornby | Cast: Reesee Wintherspoon. Laura Dern | Skor: 2/5

(review) American Sniper: Don’t Pick It Up

Jelek. Itu yang terlintas di benak saat akhirnya muncul catatan ending. Bagaimana bisa film seburuk ini ditempatkan nominasi Oscar? Saya berani bertaruh, Cooper ga ada menang best actor.

Dari adegan pembuka saja, saya langsung memberi nilai negative. Seorang anak kecil yang akan melempar granat mortir kea rah pasukan tank, ditembak jatuh oleh sniper. Lalu sang ibu berpekik dan melanjutkan usaha si anak, ditembak juga. Adegan pembuka yang mewakili isi keseluruhan cerita. Ada aturan tak tertulis dalam cerita yang saya nikmati, salah satunya jangan memperlihatkan secara implisit pembunuhan anak-anak dan wanita. Di mataku, rate film American Sniper langsung jatuh.

Chris Kyle (Bradley Cooper) adalah seorang sniper kelas wahid. Bertugas di Timur Tengah untuk melindungi pasukan Amerika dalam operasi militer di sana (dalam film ini di sebut Tur). Saking hebatnya menembak, teman-teman yang bertugas denganya merasa aman. Jadi saat konvoi pasukan untuk menyisir sebuah daerah, Kyle ada di atas gedung untuk mengamati lokasi sekitar perjalanan.

Kyle mendaftar di militer, seperti biasa adegan awal ya pasukan latihan militer yang keras. Berguling di pantai, lari penuh keringat, push up sampai latihan menembak. Kyle berkenalan dengan Tara Renae (Sienna Miller) di sebuah pub. Awalnya Tara menolak berkenalan dengan laki-laki lain, yang terlihat melepas cincin nikah/tunangannya. Lalu datang Kyle, mereka cocok. Sampai akhirnya menikah dan punya anak. Lalu cerita berkutat dari keluarga dan tur ke Timur Tengahnya. Gitu terus berulang-ulang sampai akhir.

Dalam sebuah tur, teman Kyle sesama sniper terluka bagian mata, dia tertembak sniper lawan. Ini sebuah penghinaan untuk seorang penembak, Kyle dan kawan-kawan marah besar dan bersiap membalas dendam. Lalu dalam adegan yang dibuat secara dramatis, sang sniper lawan dalam sasaran Kyle namun daya jangkaunya melebihi batas. Di satu sisi, instruksi dari bos agar menahan tembakan dahulu sebab kalau sniper lawan jatuh maka tempat persembunyian mereka otomatis diserang. Saat dilemma itulah, Kyle harus memutuskan, menarik trigger saat ada kesempatan atau menunggu sang bos memberi perintah. Sampai akhirnya sebuah angin ribut datang tiba-tiba, benar-benar film ala India yang dramatis.

Dalam sebuah adegan Kyle sekeluarga sedang di tempat umum, bertemu dengan eks pasukan yang pernah diselamatkan Kyle dan menganggap Kyle adalah hero. Di sinilah menurut saya, film ini berlebihan. More war propaganda ala Amerika. Kyle dianggap pahlawan di sana, sehingga tak heran dalam sepekan film ini berhasil tembus 100 juta. Angka yang luar biasa untuk sebuah film biopic. Film ini memang berdasarkan kisah nyata, benar-benar feel Oscar dapat. Salah satu kata yang mengena sekali adalah: I’m willing to meet my creator and ask for every shot that I took. Sebuah pekerjaan yang berat.

Secara keseluruhan film ini jelek. Mengagung-agungkan Amerika seolah mereka punya kuasa penuh dalam perang Irak. Mereka jagoan dan setiap tentara yang tewas dalam perang adalah pahlawan. Lalu apakah Kyle akhirnya juga tewas dalam perang?

Ini film Eastwood, tapi ga semua filmnya bagus kan. Kecuali kalau kamu fan beratnya, silakan. Namun nasehat saya buat kalian yang gat ahu Eastwood, hanya satu: Don’t waste your time or money!

American Sniper | Director: Clint Eastwood | Story: John Hall | Cast: Bradley Cooper, Sienna Miller, Kyle Gallner, Cole Konis | Skor: 1.5/5

Karawang, 280115