Mengarang Novel itu Gampang #26

“Siapa yang melarang? Kau menjadi pengarang, berarti kau membuat sendiri, mencipta sendiri.”

Luar biasa. Ini seolah menampar wajah para penulis yang masih gamang. Dibuat dengan model tanya jawab, saat-saat membacanya mencipta kalimat ‘iya ya, iya ya… terasa mudah, terasa gampang’. Sesuatu yang malah sangat amat menohok keragu-raguan. So far, buku motivasi menulis terbaik yang pernah kubaca. Ga kebanyakan teori, ga kebanyakan motode, cas cis cus, gegas tulis. Rasanya, akan malu bila kita yang manggut-manggut tak mempraktekkan gayanya. Ini buku kedua beliau yang kubaca, dan memang legend almarhum abah Arswendo ini. Salut.

Ini adalah sekuel dari Mengarang itu Gampang. Saya belum baca, akan kukejar cari. Kali ini fokus ke novel, di mana pengarang butuh perjuangan ekstra. Ini mengarang novel yang lebih membutuhkan napas yang panjang. Tak seperti cerpen yang spint, novel adalah bentuk lari marathon.

Sejatinya, selalu yang paling penting adalah praktek. Tak ada rumus yang paling pas bila ingin jadi penulis selain tulis! Sekarang! Keluhan utama adalah waktu, dan selalu kutemui jawabnya, waktu yang diberikan kepada semua orang sama. Mau sesibuk apapun, mau senggangur apapun, mau sejungkir balik bagaimanapun, waktu sehari adalah 24 jam.

Nasihat umum yang sekali lagi dipertegas ini. Mau kujelaskan cara mengelola waktu, rasanya kalian sudah paham teori manajemen waktu, jadi tak perlu deh. Saya ketik dan bahas bagian-bagian yang rasanya layak kutulis ulang, kubagikan kepada pembaca blog ini.

Pertama, teori menulis novel yang begitu penting adalah eksplotasi. Novel yang lebih tebal, bagaimana cara menjelaskan cerita, yaitu caranya dengan eksploitasi. Tokoh itu dikembangkan. Direntangkan, dipendekkan. “Pada saat mengetik, kamu sudah mulai dengan apa yang ‘telah selesai’ dalam kepalamu.” Ulasan, pengembangan, warna, semacam ini terjadi – diperlihatkan kepada pembaca – dari peristiwa. Ini yang memperkuat dan menjadi ikatan cerita. Titik tolak bisa dari apa saja. Dari mana saja. Yang penting eksploitasinya.

Kedua, pada dasarnya sebuah novel, adalah perkembangan karakter dari pelaku-pelakunya, perubahan, pergolakan, dan dalam rangkaian itu sebenarnya cerita sebuah novel. Itulah yang kita kenal dengan istilah, “jalannya cerita” atau “isi cerita.” Di novel kita banyak ditemui cara bercerita yang keluar konteks. Bukan sekadar bunga-bunga kata, tetapi merupakan rangkaian yang menyatu dalam kerangka besar. Ibaratnya titik-titik kecil dari sebuah gambar mosaik yang besar. Ketika kita menceritakan salah seorang tokoh, ceritanya berjalan. Rangkaian peristiwa terjalin, acuan dramatis berlangsung. Yang menggariskan dasar cerita adalah waktu.

Ketiga, latihan pengembangan kata. Praktek men-sinonim-kan kata terasa mudah, hanya sepuluh kata sepadan. Tidak mungkin tidak kautemukan. Pokoknya digali terus. Kata melihat contohnya, dengan gercep kita dapati lebih dari sepuluh sinonim. Memandang, menatap, melotot, menerawang, memfokuskan, melirik, mengedip, dst. Nah, variasi kata ini perlu agar pilihan diksinya lebih enak.

Keempat, dalam mengarang, pada dasarnya kita ini sedang mengadakan satu pembicaraan. Antara pembaca dengan pengarang. Dalam hal ini pengarang bisa berdialog langsung dengan pembaca, bisa juga melalui tokoh-tokohnya. Bisa dua-duanya sekaligus. Disesuaikan dengan keseluruhan. Akan tetapi realita bukan hanya yang berkaitan dengan tokoh-tokoh yang berdialog. Realitas itu juga merupakan realitas keseharian.

Kelima, bagaimana penggunaan dialek dalam narasi? Sebaiknya jangan, kecuali kalau pengarang memakai bentuk aku, dan dalam hal ini bercerita secara langsung kepada pembacanya, yang seusia dan sederajat. Dalam mengarang rangkaian penggambaran semua ini merupakan bagian yang direncanakan, bagian yang secara sadar diolah. Makanya, bahasa daerah/asing baiknya tak dicantumkan dalam narasi tak langsung. Bahasa Indonesia itu kaya, sebisa mungkin dipakai, terlalu cetak miring itu bikin tak nyaman pembaca. Memang paling bagus menjalani sendiri, dengan begitu perasaan itu otentik. Kamu sendiri bisa langsung merasakan. Dan menemukan ide-ide penulisan di situ. Terasa kekayaan bahasa dan warna untuk penggambarannya.

Keenam, lokasi cerita ya di sekitar kalian tinggal. Itu lebih pas dan mengena, bukan tempat jauh sekadar hasil imajinasi. Kamu akan lebih mengenal Bekasi ketimbang Belfast, kamu lebih tahu tugu Monas ketimbang Menara Eifiel, jadi pilih setting di mana kalian mengakrabinya.

Ketujuh. Karena unsur seks banyak sekali ragam dan bentuknya yang mudah sekali menyesatkan seorang pengarang. Ya, unsur seks itu makrum ada di banyak cerita. Bedanya, cara pengembangannya ekplisit atau implisit. Tak kayak stensilan yang ujug-ujug bercinta, atau menjelaskan detail adegan. Semakin indah dalam absurditas, adegan seks makin unik.

Kedelapan, unsur humor juga sangat penting. Semua novel tiba-tiba saja menjadi serius, gawat, dan berat persoalannya. Padahal kalau ada unsur humor, bisa lebih segar. Menciptakan greget hidup adalah kata lain dari memanjakan kemungkinan, menelurkan hipotesa. Humor tak melulu harus sampai ngakak, adegan-adegan standar sekitar kita justru yang paling ideal sebab akan melibatkan emosi pembaca.

Terkahir, percaya proses. Kalau sudah niat, kalau sudah ketik-ketik, kalau sudah mulai, harus diselesaikan. Pastikan ada garis finish di ujung sana. Sebab untuk dijadikan buku memang harus ada titiknya, terserah mau setebal apa, mau bergenre apa, mau ke penerbit mana, yang penting adalah jadi buku. Semua itu berproses.

Rendra tidak begitu saja muncul dengan Blues untuk Bonnie, Affandi tidak tiba-tiba saja bisa memlototkan cat langsung dari tube ke kancas,. Sardono tidak tiba-tiba saja menemukan Samgita atau Cak Rina, Arifin C. Noer tidak begitu saja menaklukkan panggung dengan segala adegan yang paling muskil, Danarto tidak begitu saja menjadi Adam Ma’rifat, Putu Wijaya tidak lahir sudah edan. Para jawara ini bergulum dalam proses, menjadi satu, mengalir, hanyut, dan mata batin yang siap dan terbuka.

Jadi siap untuk menulis novel? Gaaas… Ukurannya adalah pendekatan kreatif.

Mengarang Novel itu Gampang | by Arswendo Atmowiloto | GM 84.123 | Penerbit PT Gramedia, 1984 | Secara bersambung pernah dimuat di majalah Hai tahun 1983 | Skor: 5/5

Karawang, 260622 – Etta James – At Last

Thx to Saut, Jakarta

#30HariMenulis #ReviewBuku #26 #Juni2022