Mrs. Dalloway #16

“Aku merasa kasihan pada orang-orang yang terobsesi pada pesta.”

Njelimet, novel tak biasa. Tak ada bab, tak ada keterangan tambahan, ndelujur saja dari awal hingga garis finish. Melelahkan memang, tapi seringkali buku yang ditantang mikir, melelahkan, tak biasa, adalah buku yang ok. Mrs. Dalloway jelas tak sekadar ok, ini novel memberi nuansa imaji tersendiri. Pembaca diajak jalan-jalan ke pesta, yang pestanya bahkan masih dalam rancangan, rancang bangun itu lantas diputar ke masa lalu sang penyelenggar. Hari-hari indah dengan mantan kekasih, harapan-harapan yang kandas, hingga semacam penyesalan kesalahan memilih pasangan hidup. Lingkar kawan memang sangat penting mencipta nasib, dan nasib dibentuk dari nukilan-nukilan kejadian sehari-hari.

Ini tentang Mrs. Dalloway yang galau. Clarissa yang terlalu mikiran banyak hal. Ia sedang berencana mengadakan pesta, pikirannya meliar. Lantaran telah hidup lama di Westminster, lebih dari dua puluh tahun, Clarissa selalu (mencoba) memandang segala sesuatu dengan positif. Ia baru saja memasuki umurnya yang kelima puluh dua tahun. Bulan demi bulan itu belum tersentuh.

Setting-nya Inggris pasca Perang Dunia Pertama, dan sejatinya hanya sehari. Pagi hingga malam pesta, tapi karena ini tentang pikiran-pikiran, sehari itu bisa jadi dua ratus halaman penjabaran. Bagaimana ia membeli keperluan masakan ke pasar, mengamati taman, berjumpa bu-ibu lainnya, bahkan sekadar pesawat terbang lewat saja, menuangkannya sedemikian rupa. Mobil dengan tirai yang tersingkap di jalan Piccadilly, masih saja diamati meski sudah nyaris tak terlihat. Ini relate sama esai-nya yang lalu kubaca, sang penulis suka mengamati kegiatan di jalanan, di esai sebuah taksi dengan pasangan yang sepakat berjumpa dan gegas, di sini sebuah mobil yang melintas. Mobil itu telah pergi, tapi ia meninggalkan riak kecil yang mengalir melalui pertokoan sarung tangan, topi dan perlenglapan jahit di kedua sisi jalanan Bond. Seperti itulah kehidupan sehari-harinya.

Yang namanya pikiran, bisa tak terbatas yang sekaligus malah bisa jadi pemikiran kepincangan-kepincangan jiwa manusia. Masa lalunya dengan Peter mendominasi. Masa muda, siapa sih yang tak rindu? Ia sama sekali tak pernah berkomentar tentang cara berjalannya dunia. Ia merasa masih terlalu muda untuk berkomentar. Masa depan perabadan berada di tangan generasi muda seperti itu, generasi muda seperti dirinya dahulu. Akankah ia melihat Peter kembali dan berikir bahwa ia juga telah menua?

Beda sama masa tua, melihat ke depan terkadang pesimis. Berbagai masalah dan kegelisahan terkumpul di sana, dalam kegelapan, kerumunan bersama dalam kelam. Ia membenci saat keraguan datang ke dalam hidupnya. Keraguan itu datang dari suatu tempat yang hanya diketahui Surga, atau saat ia merasakannya, keraguan itu telah dikirim oleh alam yang selalu bijaksana.

Sahabatnya Sally, rencana tak diundang. Sebab masa lalunya retak. Semua itu hanyalah latar belakang untuk bayangan masa lalunya tentang Sally. Sahabat di masa lalu bisa jadi bermusuhan di masa kini, hal yang wajar. Namun nantinya Sally malah datang. Sally Parker adalah seorang tokoh, seorang seniman sejati. Sally Parker berpikir tentang hal-hal yang dianggap tak lazim dipikirikan oleh orang lain. Sally yang gila, yang berani serta romantis.

Ada tiga perasaan besar yang membuatnya menangis, yaitu pemahaman, kedermawanan yang mulia, dan akhirnya seolah hasil dari perasaan yang lainnya dan tak tertahankan, kebahagiaan yang sempurna. Manusia tidak memiliki kebaikan maupun kepercayaan, ataupun kemurahan hati melampaui apa yang menjadi penolong untuk meningkatan kesenangan hidup mereka saat ini.

Clarissa juga galau tentang status, suaminya masih pejabat biasa, menurutnya. Padahal sudah masuk lingkaran pemerintahan. Richard Dalloway hingga kini masih belum masuk dalam kabinet. Apakah itu berarti ia belum sukses?

Godaan akan selalu menghampiri manusia, baik di tengah panasanya pasir-pasir di India, lumpur dan rawa-rawa di Afrika, London, di mana pun. Godaan itu akan membuat manusia jatuh dari keyakinan yang benar dalam dirinya. Clarissa mengingatnya dan merasakan ketidakpuasan dalam hidupnya saat ini, tidak mengenal banyak orang, dan juga tidak dikenali banyak orang.

Bagaimana pestanya nanti, seru atau tidak juga memenuhi pikiran. Maka saat ada yang membicarakan kematian, ia kesal. Dengan semua gelar yang dimilikinya, membuat lawan bicaranya merasa tak nyaman bicara dengannya. Ilmunya tinggi, sikapnya malu-malu, dan kepolosannya menyatu dengan keangkuhan.

Menurut saya sejatinya, kekuatan kekecewaan akan pasangan hidup dominan di sini. Apalagi berulangkali Clarissa mengingat mantan kekasihnya. Bagaimana Peter telah jatuh cinta dengan penuh gairah pada Clarissa, ditolak, lalu pergi ke India. Di sana ia malah mengalami kemalangan, terjatuh drai kuda. Kalau orang sekarang mungkin akan bilang kurang syukur, tapi taraf syukur dan sejahtera tiap manusia beda-beda memang. Benarkah seseorang tidak bisa jatuh cinta dua kali, katanya.

Sebagai cetakan pertama, saya maklumi banyak typo ditemukan. Kualitas terjemahan sih Ok, tak banyak keluhan, dialih bahasakan ramai-ramai. Saya sudah lelah rebutan terjemahan Jalasutra yang itu, makanya pas lihat di beranda sosmed ada versi lain, gresh, fresh, langsung saya ambil. Dan walaupun gegas ingin kutuntaskan, aktualnya tak bisa. Ini jenis buku yang kudu dinikmati pelan, dan syahdu, tak bisa tergesa, apalagi kejar kuantitas. Tidak, benar-benar harus duduk nyaman dan aman dari ganguan eksternal.

Hati-hati apa yang kamu harapan, di sini bisa jadi hati-hati apa yang kamu tulis. Ada kalimat panjang berbunyi: “Semua bunga kecil berwarna merah dan kuning keluar dari rerumputan seperti lampu yang melayang katanya, ia juga mengocah, tertawa, dan mengada-ada cerita. Seketika ia berkata, “Sekarang aku akan mengakhiri hidup,” saat mereka sedang berdiri di dekat sungai. Sebuah cenayang kehidupan Woolf? Ada satu hal yang penting terkait dengan pembicaraan ini, bahwa kematian adalah tantangan. Kematian adalah usaha untuk berkomunikasi. “Bila ini waktuku untuk mati, maka aku akan mati dengan bahagia.”

Kritik pernikahan juga disajikan. Seperti katanya, “Setiap orang merelakan sesuatu ketika mereka menikah.” Perempuan yang menikah berarti melepaskan kebebasan. Padahal, lelaki saja saja. Banyak hal sama-sama dikorbankan demi kebersamaan. Clarissa selalu mengatakan bahwa orang yang paling cakap adalah orang yang mampu mengubah suatu hal menjadi menyakitkan. Wah, berat.

Woolf juga menuangkan banyak referensi buku-buku lama. Menurutnya Shakespeare membenci manusia. Septimus sudah berhasil mengungkapkan pesan yang tersembunyi di balik kata-kata indah. Pesan rahasia yang berisi kebencian, dendam dan keputusasaan. Dante dan Aeschylus sama saja. Impian masa tua disampaikan, “Bila ia pensiun nanti, itulah yang akan dilakukannya, menulis buku.”

Dan kembali lagi, kebaikan itu penting, attitude sangat penting. Di pesta atau di sebuah jamuan sederhana, menghormati tuan rumah sangatlah perlu. Apapun yang disajikan, siapapun yang bersama. Sebab segalanya relatif. Apalah artinya otak yang pandai bila dibandingkan dengan hati yang baik?

Mrs. Dalloway | by Virginia Woolf | Diterjemahkan dari Mrs. Dalloway | CRW Publishing Limited, London 2003 | Alih bahasa Fela, Liliani, Sanila, Kenanga | Penyunting Nina Artanti R. | Desain sampul Sugeng D.T.  | Tata letak Ardian Fatkhan | Penerbit Narasi | 2022, iv + 252 hlm; 13×19 cm | ISBN 978-623-7586-66-1 | Cetakan pertama, 2022 | Skor: 5/5

Karawang, 160622 – Betty Carter – Ego

Thx to Joeragan Kemon, Yogyakarta

#30HariMenulis #ReviewBuku #16 #Juni2022