Pengantar Ilmu Antropologi

“Makhluk manusia berevolusi dalam jangka waktu kurang-lebih empat juta tahun lamanya.”

Kepentingan antropologi sebagai ilmu bantu dalam penelitian. Buku non fiksi yang bergizi, saking bergizinya saya sampai sepintas membandingkannya dengan Sapiens. Namun ternyata setelah ditelaah lebih lanjut, tidak. Sapiens dibawakan dengan fun dan sangat luar biasa. Buku ini lebih banyak teori-nya, rerata dinukil dari buku-buku sebelumnya, buku-buku antropologi lama, teori yang sudah ada disusun dan dijadikan acuan. Sedang Sapiens malah banyak yang mengandalkan spekulasi, banyak yang berdasar pemikiran, dan ‘sejarah’ manusianya tampak fiksi. Maka, hanya beberapa yang laik disandingkan.

Banyak ilmu baru kudapat, misal tentang naluri manusia. Manusia memang tak banyak dipimpin oleh nalurinya dalam hidup. Paling sedikit ada tujuh naluri manuasia: 1) dorongan untuk bertahan hidup. 2) dorongan seks. 3) dorongan untuk usaha mencari makan. 4) dorongan untuk begaul atau berinteraksi dengan sesama manusia. 5) dorongan untuk meniru tingkah-laku sesamanya. 6) dorongan untuk berbakti. 7) dorongan akan keindahan, dalam arti keindahan bentuk warna, suara, gerak.

Atau tentang sel organisme. Pada makhluk yang organismanya kompleks seperti kera atau manusia, jumlah selnya mencapai sampai sepuluh trilyun banyaknya, dan bentuk serta macam dari ke 10 (pangkat 13) sel itu berbeda menurut fungsi dan tugasnya masing-masing dalam organisme. Seluruh tubuh organisme baru akan timbul dari zygote, dengan proses yang disebut mitosis. Termasuk ilmu turunannya tentang genetik. Walau dasarnya saja. Percabangan itu terjadi karena beberapa proses evolusi yang menurut analisa para ahli biologi dapat dibagi ke dalam tiga golongam: (1) proses mutasi; (2) proses seleksi dan adaptasi; (3) proses menghilangnya gen secara kebetulan (random genetic drift).

Suatu ras baru dengan ciri-ciri baru telah ‘bercabang’ daru suatu ras yang lama. Dari ciri-ciri ayah dan ibu yang kebetulan dibawa oleh sel-sel seks tadi, juga tidak semua akan tampak dalam organisme yang baru melainkan hanya ciri-ciri pada gen yang kuaym atau dominan, yang akan tampak, sedangkan ciri-ciri pada gen yang tidak kuat, atau resesif, tidak tampak pada organisme yang baru.

Kebetulan kemarin saya baca sejarah bumi menurut Al Quran, jadi bisa saya sandingkan merunut ilmu pengetahuan. Menurut ahli geologi, bumi telah berkali-kali mengalami zaman ekspansi lapisan-lapisan es.

Indonesia tentu saja juga disebut. Kita punya museum fosil di Trinil. Pada tahun 1898 seorang dokter Belanda, Eugene Du Bois telah mendapatkan di lembah Sungai Bengawan Solo sekelompok tengkorak atas, rahang bawah, dan sebuah tualng paha yang lantas fosil itu diberi nama Pithecanthropus Erectus (manusia kera yang berjalan tegak), yang menganggapnya contoh nenek moyang manusia zaman sekarang.

Ahli paleoantropologi Indonesia, Teuku Jacob meneliti 14 fosil tersebut sebelum Perang Dunia Kedua, dan menyebutnya Pichecanthropus Soloensis. Teuku Jacob menyebut kedua unsur dalam kehidupan manusia, yaitu akal dan bahasa merupakan landasan memungkinkan kebudayaan berevolusi.

Kapasitas otak yang unggul berupa akal menyebabkan ia dapat mengembangkan sistem pengetahuan yang menjadi dasar dari kemampuannya membuat bermacam-macam alat hidup seperti senjata, alat-alat produksi, alat-alat berlindung, alat-alat transportasi dan sebagainya serta sumber-sumber energi yang lainnya.

Tentang ingatan dan kenangan yang samar. Unsur-unsur pengetahuan tadi sebenarnya tidak hilang lenyap begitu saja, melainkan hanya terdesak masuk ke dalam bagian dari jiwa manusia yang dalam ilmu psikologi disebut alam bawah sadar (sub-conscious). Dalam alam bawah sadar manusia banyak pengetahuan indiividu larut dan terpecah-pecah menjadi bagian-bagian yang seringkali tercampur satu sama lain dengan tak teratur.

Budaya Timur dan Barat yang bersinggungan. Kepribadian Timur mementingkan kehidupan rohani, mistik, pikiran prelogis, keramah-tamahan, dan kehidupan kolektif. Sedang Barat, mementingkan kehidupan material, logis, hubungan berdasarkan azas-guna, dan individualism. Ada tujuh unsur kebudayaan: bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencarian hidup, sistem reliji, dan kesenian.

H. Spencer menyatakan azas egoism atau azas ‘mendahulukan kepentingan diri sendiri atas kepentingan orang lain’, mutlak perlu bagi jenis-jenis makhluk untuk dapat bertahan dalam alam yang kejam.

Kelakuan binatang dan kelakuan manusia yang prosesnya telah direncanakan dalam gen-nya dan merupakan milik dirinya tanpa belajar, seperti refleks, kelakuan naluri, dan kelakuakn membabi buta, tetap disebut kelakuan (behavior). Sedang tingkah laku yang tak terencana dalam gen-nya tapi harus dijadikan milik dirinya dengan balajar, disebut tindakan atau tingkah-laku (action).

Antropologi yang luas, juga menyinggung tema pergaulan dalam sosial. Tiap individu masyakarat ada dua macam kedudukan, kedudukan yang dapat diperoleh dengan sendirinya (kedudukan tergariskan; ascribed status), dan kedudukan yang hanya dapat diperoleh dengan usaha (kedudukan diusahakan; achieved status). Pemerincian dari tema budaya dan pola sosial ke dalam gagasan dan tindakan.

Dan juga segala tindakan atas efek lanjut pemikiran. Hampir seluruh tindakan manusia adalah ‘kebudayaan’ karena hanya amat sedikit tindakan manusia dalam rangka kehdiupan masyarakat yang tak perlu dibiasakan dengan belajar, yaitu tindakan refleks, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan apabila dengan membabi buta.

E Durkheim beranggapan bahwa aktivitas-aktivitas dan proses-proses rohaniah seperti penagkapan pengalaman, rasa, sensasi, kemauan, keinginan, dan lainya terjadi dalam organisma fisik dari manusia dan khususnya berpangkal di otak dan sistem syaraf. Juga berpendapat bahwa pikiran kolektif apabila suatu kompleks terbentuk dan menjadi mantab, maka seluruh konpleks itu berada di luar diri si individu, sebab keseluruhan pikiran kolektif serta gagasan-gagasan yang merupakan unsur-unsurnya tersimpan dalam bahasa, jadi kalau individu meninggal maka pikiran itu tetap hidup dimiliki manusia berikutnya.

Kebudayaan rupa-rupanya hanya ada pada makhluk manusia, bahwa kebudayaan mula-mula hanya merupakan satu aspek dari proses evolusi, lalu menyebabkan ia dapat lepas dari alam kehidupan makhluk primate lain.

Individu tidak dapat menyesuaikan kepribadiannya dengan lingkungan sosial sekitarnya akan menjadi kaku dalam pergaulan, dan codong untuk senantiasa menghindari norma-norma dan aturan masyarakat, menghindari konfliks, individu seperti ini disebut deviants.

Teknologi muncul dalam cara-cara manusia melaksanakan mata pencaharian hidupnya dalam cara-cara ia mengorganisasi masyarakat, dalam cara-cara ia mengekspesikan rasa keindahan dalam memproduksi hasil-hasil kesenianannya. Makanan dibagi empat golongan: makanan dalam arti khusus (food), minuman (bevegages), bumbu-bumbuan (spices), dan bahan yang dipakai untuk kenikmatan saja seprti tembakau, madat dan sebagainya (stimulants).

Benar-benar buku non fiksi yang kompleks pembahasannya. Ilmunya melebar ke mana-mana. karena itu, saya sampai harus memilah mana yang wajib masuk memori jangka panjang, mana yang masuk sebentar lalu dilupakan. Ingat, ini buku pengantar. Bayangkan, jika masuk ke intinya. Bakalan jauh lebih rumit dan mendalam. Termasuk menyinggung agama, reliji. Topik yang gaib. Reliji, masalah mengapa manusia percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib yang dianggap lebih tinggi daripadanya, dan mengapa manusia itu melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beraneka ragam untuk berkomunikasi dan mencari hubungan dengan kekuatan-kekuatan tadi.

Apapun itu, bersyuku saya berhasil menamatkan buku bagus dan rekomendasi ini. buku-buku Koentjaraningrat rasanya laik dikejar dan dinikmati. Ini sekadar permulaan… dan saya suka buku-buku jadul.

Pengantar Ilmu Antropologi | by Koentjaraningrat | AB-028-A-6-86 | Copyright 1979 | Cetakan keenam, Juni 1986 | Penerbit Angkasa Baru | Setting BOSTONICA | Layout A. Sungguh | Cover diambil dari majalah Swiss Air | Dicetak oleh Radar Jay Offset, Jakarta | Skor: 4/5

Karawang, 200222 – 110322 – 140422 – 310522 – Karrin Allyson – All or Nothing at All

Thx to Ade Buku, Bandung

*) catatan ini kutulis dan edit sampai empat kali sebelum akhirnya hari ini berhasil pos di blog.

The Bookseller of Kabul

“… Jika panci mendidih tanpa tutupnya, apa pun bisa masuk kedalamnya. Sampah, tanah, debu, serangga, daun tua. Begitulah kehidupan yang dialami keluarga Saliqa. Tanpa tutup. Segala macam kotoran menimpa mereka…” – Sultan

Apa yang pertama terlintas saat Negara Afganistan disebut? Perang? Islam? Osama bin Laden? Atau Negara Islam yang tata kelolanya semrawut? Saya lebih ingat bagian terakhir ini. Sebuah kudeta tahun 1970-an mengubah Negara ini. Lebih tepatnya Zahir Shahm raja yang memerintah selama empat puluh tahun yang boleh dikatakan aman dan damai, didepak tahun 1973. Lalu serangan Uni Soviet selama sedekade, lantas perang saudara, dan Taliban mencipta kekeruhan politik, hingga akhirnya perang tak kunjung usai, dari satu kekuasaan ke kuasaan lain. Saat ada pengumuman perang telah usai. Itu hanyalah perang baru yang akan dimulai – perang yang melindas semua keceriaan. Bahkan hingga kini, terbaru tahun lalu saat Amerika pergi, berita mancanegara bersliweran kepanikan warga, pembersihan politik, hingga kekhawatiran krisis terjadi.

Buku ini ditulis tahun 2002 oleh wartawan Norwegia yang bertugas di sana. Asne sampai tinggal bersama keluarga sang sudagar buku, Sultan Khan bersama kedua istri dan anaknya yang banyak, bersama saudara-saudaranya, hingga mencatat kegiatan dan budaya lokal yang kental. Seperti pengakuannya, “Aku telah menuliskan hal-hal yang kulihat dan kudengar, dan telah berusaha mengumpulkan ksan-kesanku tentang musim semi di Kabul, tentang mereka yang berusaha menepis musim dingn, tumbuh dan berkembang, dan yang terpaksa – meminjam istilah Leila- “menelan debu”.” Ini bisa jadi reportase, tapi malah menjadi novel yang bisa dibubuhi berdasar kisah nyata. Ini adalah buku mungil 400 halaman yang nyaman, dan cepat kelar dilahap. Kubaca dalam tiga hari 19 sd. 21 Mei kemarin.

Kisahnya berkutat di keluarga sang saudagar. Dengan cerdas dibuka dengan keputusan poligami. Keputusan yang akan mematik kebencian pembaca. Sultan yang sudah separuh baya memutuskan mengambil istri lagi, ada tiga kandidat istri muda. Istri pertama dan saudara-saudara tak banyak komentar, atau sejatinya tak setuju, tapi tak berani melawan. Sultan lalu memilih Sonya remaja 16 tahun itu untuk jadi istri barunya. Dari keluarga miskin, derajatnya terangkat. Sharifa, istri pertama kesal, selama ini telah berjuang bersama, memang apa yang salah? Memang apa yang kurang? Namun akhirnya terpaksa menerima kenyataan pahit. Saat sendiri, ia bukan merindukan Sultan, tapi dia meindukan kehidupan yang pernah dijalaninya sebagai istri saudagar buku, disegani dan dihormati, ibu anak-anaknya, yang diistimewakan.

Pembuka yang bagus, sebab memaparkan kepahitan hidup. Dan buku ini akan terus berkutat di area situ, ini Negara Islam yang berkecamuk, maka gambaran sehari-hari mencipta imaji di sana. Selanjutnya kita diajak ke masa lalu sang sudagar, nikah terlambat, kuliah demi masa depan, kecintaannya pada buku otomatis membuatnya dikelilingi bau buku, dan ide bisnisnya jalan. Membeli buku dan segala hal di perpustakaan semurah mungkin lalu menjualnya. Memang dirintis dari kecil, tapi keberaniannya memulai dari sekolah itulah yang membuatnya berbeda.

Bisnis bukunya luar bias pasang surut, pernah dibakar semua buku oleh Taliban sebab buku bergambar dilarang, diobrak-abrik juga pernah bila buku bertema politik, ideologi yang berbahaya, atau yang sekadar menyerempet seksualitas. Bahkan ia pernah dipenjara beberapa bulan. Selama dua puluh tahun ia berkutat di sana, dan karena kecintaannya ia bertahan.

Lalu buku ini mengupas kehidupan seluruh anggota keluarganya. Karakternya banyak. Dari Mansur, Sonya, Sharifa, Shabnam, Bibi Gul, Leila, Bulbula, Iqbal, Aimal, sampai Fazil. Dari para keponakan yang mencari jodoh. Putra sulungnya Mansur yang dilematis, melanjutkan usaha perbukuan, tapi kepincut wanita, dan panggilan hati pada aliran Ali. “Kau akan jadi pengusaha. Tempat yang paling baik untuk belajar adalah di toko.”

Lalu kasus pencurian kartupos oleh tukang kayu Jalaluddin, yang ketahuan, diinterogasi, lantas diajukan ke pengadilan, dan berakhir tragis. Ayahnya Faiz sampai memukulinya, keluarga mengucilkannya. Ia tulang punggung penghasil, dan malah seperti itu diperlakukan. Mencuri memang salah, tapi mengapa tak melihat konteks pelaku dan motifnya. Hiks, “Ayah bisa berkata begitu karena perut ayah kenyang,” teriak Mansur. “Aku menangis kalau memikirkan anak-anaknya yang kurus kering itu. Keluarganya sudah habis.”

Atau bagian saat seorang ibu Feroza yang keras dan tegas sama anaknya, menjadi agar anaknya tetap lurus butuh perjuangan ekstra. Hingga kisah cinta yang patah untuk Leila. Leila juga ingin muda dan tak terjamah.

Buku ini secara umum malah kental bumbu drama, bukan di perbukuannya, tema sangat erat dengan romansa percintaan. Hubungan-hubungan yang terputus, sebab menikah bukan karena dengan sang kekasih, tetapi dengan yang dipilihkan keluarga. Terutama mempelai perempuan, digambarkan sungguh lemah, suaranya tak didengar. Ada dua pasangan yang berlainan nasib. Prinsip sangatlah aib mencintai seseorang yang tak mungkin dimiliki. Pertama Shakila yang mengidamkan pernikahan ideal dengan Mahmoud, tapi kandas dan menikah dengan duda beranak banyak, Wakil. Awalnya meragukan, tapi malah berakhir bahagia. Jika bekerja bisa membuat Shakila bahagia, dia tak keberatan. Selain itu, tentu saja, mengurus anak-anak dan rumah. Syarat umum bukan? Kewajiban wanita adalah mengurus keluarga, menyediakan makanan dan pakaian, dan jika ada wanita terpaksa harus keluar rumah, mereka harus menutup seluruh tubuhnya sesuai hukum syariat.

Kedua Leila muda yang memimpikan menjadi pengajar, syarat menjadi guru banyak dan sulit. Tesnya bertahap dan sungguh meragukan, dasar rekomendasi itu penting, kekuatan orang dalam di manapun memang berlaku. Lantas, kisahnya cintanya yang luput, Karim yang diidamkan, malah saudaranya yang diajukan. Karim sudah berulang kali mengirim surat cinta, mengirim salam, dan bahkan berhasil menanyakan langsung cintanya. Dalam hati Leila bahagia, menerima, dan harapannya membumbung. Namun bukan ia yang menentukan pilihan, keluarganya yang memutuskan. Jangan bayangkan, kenapa tak protes ya. Dunia di sana tak sebebas Indonesia masa kini, kita bebas mementukan pasangan hidup, kita memiliki suara.

Beberapa pandangan yang bikin terenyuh adalah “Harga seorang mempelai wanita diperhitungkan menurut usia, kecantikan dan ketrampilan, serta status keluarganya.” Ini bisa jadi juga umum di sini. Namun lanjutannya bikin sedih. “Nilai pengantin perempuan adalah kegadisannya, nilai seorang istri adalah jumlah putra yang dilahirkan. Pengantin harus tampil artifisial, seperti boneka. Kata untuk boneka dan pengantin adalah kata yang sama.”

Setelah melahap buku ini, apa yang dirasakan? Tambah syukur jelas. Indonesia yang tampak compang-camping jelas jauh lebih bagus. Kita Negara dengan berbagai berbedaan, kemajemukan itu kudu dilihat secara objektif. Dan bisa dipaksakan ke satu arah atau agama atau budaya, rasanya justru berbahaya. Afganistan berantakan karena pemaksaan. Janji-janji politik radikal tak laik diterima begitu saja. Memang Indonesia saat ini bobrok di birokasi, walaupun berdasar Pancasila, di mana sila kelimanya berujar keadilan sosial, faktanya jauh sekali. Dan memang sulit diterapkan, apakah mau rakyat penyamarataan kekayaan? Tentu kalangan kaya raya tidak ‘kan. Apapun dasar Negara, kedamaian adalah tujuan utama. Bisa makan minum cukup, nyaman beribadah, hingga memiliki harapan dan rasa optimistis untuk anak, patut digenggam erat.

Pandangan di sana tentang perempuan juga sangat disayangkan. Pernikahan itu sakral, tapi lapisannya ternyata banyak berbentur materi. Menyerahkan anak perempuan begitu saja menyiratkan bahwa anak itu tidak ada harganya, menyiratkan bahwa orangtuanya senang bisa menyingkirkannya. Pernikahan adalah hal yang amat serius. Baju pengantin harus hijau, warna lambang kebahagiaan dan Islam. Perkawinan ibarat kematian kecil. Keluarga pengantin perempuan berdukacita, selama berhari-hari setelah upacara perkawinan sekan perkawinan itu upacara pemakaman.

Taliban menganggap debat sebagai sesuatu yang haram dan kebimbangan sebagai dosa. Segala sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan Al-Quran dianggap tidak perlu, bahkan berbahaya. Patung-patung Buddha raksasa di Bamiyan diledakkan. Semuanya berumur hampir dua ribu tahun dan merupakan peninggalan sejarah kebudayaan Afganistan yang terbesar.

Dunia literasi memang mengagumkan, terlepas dari keputusan-keputusan kontroversi Sultan, ia telah menempatkan diri dengan sebijak mungkin. Tidak banyak hal yang bisa memikat hati Sultan selain menemukan buku berharga di pasar yang berdebu dan membelinya dengan harga sangat murah. Buku sejarah yang tidak berisi ideologi, kecuali sedikit nasionalisme yang wajar. Kasus pencurian contohnya, bikin gereget sebab uang ditempatkan di atasnya, sisi kemanusiaannya hilang. Bagi Sultan, bekerja adalah pekerjaan terpenting dalam hidup.

Kutipan penyair favorit Fedusi,Untuk bisa berhasil, kadang kita harus menjadi serigala dan kadang domba.” Terlihat ia sering kali pelit, atau dalam kacamatanya hemat. Dia mengikuti nasihat Nabi Muhammad Saw. dalam hal memberikan sedekah yang ditafsirnya sebagai berikut: Pertama-tama urus dirimu sendiri, lalu keluarga terdekat, lalu kerabat, lalu tetangga, dan yang terakhir orang miskin yang tidak dikenal.

Suka bagian saat ia berburu buku. Lahore adalah pusat kebudayaan dan kesenian Pakista, sebuah kota yang sibuk, membingungkan, dan tercemar. Menuju Lahore, kota tempat beumpulnya percetakan, penjilidan buku, dan penerbitan. Atau saat menemukan buku langka, yang dijual murah sama penjual buku bekas sebab tak paham literasi. Matanya berkedip jika tawaran yang diterimanya bagus sekali dan bibirnya agak gemetar. Segala hal menarik minatnya: mitos dan cerita lama, puisi lama, novel, biografi, buku politik mutahir, dan juga aneka kamus dan eksiklopedia. Hehe, bukankah kita juga begitu. Saat ini berburu buku bisa terjadi secara daring, sosmed Facebook mempertemukan penjual dan pembeli, dan luar biasa riuh.

Catatan ini saya tutup dengan tiga hal. Pertama sebuah puisi Rumi yang dikutip Mansur, ia galau akan dosa dan pengampunan berbunyi, “Sang air berkata kepada sosok kotor, “Kemarilah.” / Si kotor berkata, “Aku malu sekali.” / Sang air menjawab, “Bagaimana mungkin rasa malumu bisa dicuci tanpa aku?”” Mansur yang malu, dan berdosa. Satu lagi, juga dari Rumi. Sultan memang liberal, tapi dia menerapkan kekuasaan patriarkat. Bukankah itu kontradiksi? Rumi berkata, “Ego adalah cadar antara manusia dan Tuhan.”  Ketiga adalah sebuah harapan, ah asa itu diapungkan, entah kapan. Saat buku ditulis tahun 2002, dan kini 2022 Afganistan masih ditengah kebimbangan. Harapan itu berbunyi, “Afganistan akan menjadi Negara modern. Pada suatu pagi pada bulan April, ketika mantan raja Zahir menginjakan kaki di tanah Afganistan, sete;ah 30 tahun hidup dalam pengasingan…”

Semoga sang “Raja Zahir”, juru selamat itu suatu hari akan tiba…

Saudagar Buku dari Kabul | by Asne Seierstad | Diterjemahkan dari The Bookseller of Kabul | Terbitan Leonhardt & Hoier | Penerjemah Sofia Mansoor | Penyunting Pangestuningsih | Copyright 2002 | Penerbit Qanita | Cetakan I, Januari 2005 | Desain dan ilustrasi ampul 9 Nyawa | 456 h.; 17.5 cm | ISBN 979-3269-28-6 | Skor: 4/5

Untuk Orangtuaku

Karawang, 300522 – Tasya Kamila – Ketupat Lebaran

Thx to Azi Mut Book, Bandung

The Spellman Files

“Kita semua tahu bahwa petunjuk akan selalu ada kalau kita membruunya.”

Novel keluarga yang sungguh absurd. Keluarga detektif, semuanya berbakat dan memang hebat dalam investigasi, luar biasa mencengangkan. Sebab jalinan kisahnya rumit, awalnya. Penuh tanda tanya, penyelidikan satu ditumpuk ke penyelidikan lain, kasus satu belum tuntas muncul kasus lainnya, dan itu sungguh menyenangkan. Keluarga Spellman dan ketiga anaknya yang cekatan, tapi selalu ada pengeculian. Anak nomor pertama malah tumbuh sempurna, tak seperti yang lain yang rumit dan berkutat di bisnis penyelidikan, ia malah tumbuh hebat dan lurus-lurus saja menjadi pengacara dengan gaji besar. Ah, keluarga yang kompleks.

Spellman Investigations. Keluarga Spellman terdiri atas ayah ibu Albert dan Olivia, keduanya menggeluti bisnis investigasi, semacam detektif swasta. Marcus Godfrey, nama samaran yang digunakan ayah. Mereka disewa untuk kasus apapun, selama jadi cuan akan diambil. Anak pertama David menjadi pengacara sukses, benar-benar lambang kesempurnaan, anak kebanggaan. Sekolah hukumlah yang menghancurkan kesabaran David yang dahulu seluas samudra. Sering kena negosiasi dengan di bungsu.

Kedua, Isabela (dipanggilnya Izzy), sudut pandang novel ini. Ia jadi cewek penuh masalah, menjadi karyawan untuk keluarganya sendiri, dan karena mereka keluarga detektif, privasi jadi sangat sulit didapat. “Ayolah, jangan gunakan kata ‘judes’, Mom pantas mengatakannya.” Kata ibunya yang sering komplain. Mungkin adalah kalimat paling masuk akal untuk mendeskripsikan Izzy. “Kebenaran tentang kehidupanku justru lebih aneh daripada karangan mana pun.”

Anak ketiga Rae, lahir tanpa direncana, makanya jarak usinya sangat jauh. Malah jadi banyak pemicu kisah, ia jadi anak emas, dan ternyata tumbuh dengan kecerdasan hebat. Makanan manis, sering ‘memeras’ abangnya. Mengagumi Izzy, bagaimana saat kakaknya pulang kemalaman, pintu dikunci, dan ia tidur di teras. Paginya Rae memergoki, justru Rae mengikuti jejaknya. So sweet, dasar anak kecil. Namun besarnya malah sering cek-cok.

Satu lagi keluarga Spellman yang turut serta, adalah sang paman Ray. Bermasalah terus, dari alcohol, judi, seks, hingga keuangan. Ia menjadi penyeimbang kisah. Sempat divonis berumur pendek saat kena kanker, padahal ia hidup sehat. Olahraga rutin, segar, dan sangat menjaga makanan. Namun berhasil sembuh, dan istrinya malah meninggalkan. Sejak itulah, saudara ayahnya ini bermasalah. Sering hilang entah ke mana, sering ditemukan di sembarang tempat.

Buku dicerita dengan runut, hanya awal mula saja yang flash back. Izzy tumbuh kembang dicerita panjang lebar. Prolog-nya Izzy dikejar mobil misterius, bak Fast and Furious, lantas berhenti dan meminta cukup sudah. Mom dan Dad-lah yang mengejar, lantas bab berganti, kita diajak duduk di kantor polisi dengan petugas Inspektur Stone melakukan wawancara. Dari sinilah, pijakan kisah dimula.

Izzy punya 8 mantan kekasih, nah nomor 9 ini istimewa sebab seorang dokter gigi tampan yang ketemu di lapangan tenis. Bersama sobatnya Petra, mereka menyusun rencana bagaimana seolah-olah Izzy berkenalan tak sengaja. Berdandan bak guru SD, lantas mengirim Petra ke ruang bedah gigi, dengan rekaman terselip. “Aku memaksan Petra membawa alat rekam ke dalam ruang periksa, supaya aku bisa mendengarkan seluruh kejadian tanpa hrsu mengrusi ingatan Petra yang payah.” Apakah berhasil? Jelas, sebab ia akan jadi mantan 9, artinya sang dokter Daniel Catillo, DDS, jadian.

Keluarga ini sudah salah memulai, dan sandiwara saat Daniel berkunjung malah berakhir berantakan. Ini adalah kunjungan balik setelah ia makan masakan di apartemennya. Enak? Tentu saja berbohong. Tapi, karena Izzy sudah mengarang seluruh riwayat hidup, berbohong tentang masakan Daniel adalah hal sepele. Sama-sama suka serial Get Smart. “Aku tidak yakin serial komedi dari tiga puluh lima tahun yang lalu bisa menjadi landasan yang cukup kuat untuk membangun sebuah hubungan.”

Terang saja, segalanya berantakan. Bagi keluarga Castillo, cinta berarti kepercayaan dan kehormatan; bagi keluarga Spellman, definisinya jauh lebih berantakan. Kata ayahnya, “Jatuh cinta pada seorang dokter tampan adalah, sejujurnaya, sedikit klise untukmu.”

Izzy yang marah, lantas meminta resign. Jelas ditolak, mau kerja apa? Dia sudah menggeluti karier ini sepanjang hidup. Ia memaksa, orangtuanya lantas memberi syarat. Memecahkan kasus yang tak terpecahkan belasan tahun. Kasus hilangnya Andrew Snow di perkemahan tahun 1995.

Beberapa orang, ketika mereka tersesat, akan terus berjalan, mereka mengira akan dapat menemukan jalan pulang, alih-alih, mereka makin tersesat. Dalam proses penyelidikan kasus Snow sendiri muncul banyak kejanggalan sejak awal mula. Semua deskripsi yang didapatkan bersifat samar-samar dan tergali dari kenangan yang telah berlubang-lubang. “Setiap orang memiliki sudut pandang yang berbeda-beda, kadang-kadang, seseorang mengingat sesuatu yang tidak diingat lagi oleh orang lain.”

Martin, kakaknya contohnya. Ia menjawab dengan gugup. Padahal ia pengacara, da nada uang sepuluh ribu dollar menguap, jelas janggal. Setiap wawancara mentok, ia sedang berjuang mengarang jawaban yang masuk akal, mereka-reka kebohongan di depan mata Izzy. Martin Snow menyembunyikan sesuatu. Orang yang menyimpan rahasia akan selalu mengalihkan perhatian orang lain darinya. Dia akan berusahan supaya dirinya tidak terlihat mencolok. Maka saat ia meminta kasus dihentikan dengan ancaman akan membawa kasus ini di hukum, Izzy dengan lantang meyakini, ancamannya hanya gertak sambal.

Dengan prinsip bahwa, setelah kasus ini selesai, semuanya akan kembali normal. Izzy menolak mundur, bahkan saat orangtuanya meminta berhenti, ia bisa pergi bebas. Well, apa yang sudah dimulai, bakal ia selesiakan.

Berhasilkah ia menuntaskan kasus berat ini?

Ini adalah buku terbitan Atria keempat yang kuselesaikan baca tahun ini. Rencana sebulan sekali, so far lancar dan nyaman saja. Bulan ini The Princess Frog sudah bab-bab akhir. Penerbit Atria adalah grup Serambi, ia dicipta untuk genre remaja, maka saat menikmati The Spellman Files saya menempatkan diri sesuai umur. Dan berhasil menebak plotnya. Sudah saya yakini, takkan bakal ada kasus pembunuhan, tak akan kudapati kasus pelecehan eksplisit, dan takkan kutemui kata-kata senonoh atau kasar. Walaupun kasusnya berat, orang hilang belasan tahun, jelas kemungkinan pembunuhan, oh tak semuanya. Atau penculikan, sudah seminggu tak ketemu. Eh ternyata… begitu juga sang alkoholik yang menghilang, tak ada tembakan atau tikaman. Ini Atria, dan saya nyaman dengannya.

Banyak adegan kebut-kebutan. Mengemudi secara agresif namun tetap aman. Jangan pernah maju lebih dari dua mobil di belakang subjek. Lampu sein dipecahkan. Gula-gula memenuhi lembar, sebab Rae suka sekali manakan manis. Namanya yang mirip dengan Ray, keduanya bak dua magnet sama ujung. Berantem mulu, dan malah jadi ending paling haru, saat Ray di kamar, Rae malah berenang. Kontradiksi kabar, dan itu bagus sekali.

Ada beberapa orang yang memang tidak bisa ditanganinya, meskipun dia memiliki rencana yang sempurna. Benarkah Andrew Snow sudah direlakan pergi? Ataukah ada skenario buruk dibaliknya? Kalian harus membacanya. Salah satu terbitan Atria terbaik.

Ini adalah buku debut Lisa Lutz, dan dengan bangga ia mempresentasikannya. Di awal sudah lucu, di akhir ada beberapa paragraph ucapan terima kasih yang menyentuh. Seolah perasaan lega, debut bukunya akhirnya terlahir. Salut, mantab. Kutunggu karya-karya lainnya Lisa.

Berkas-berkas Keluarga Spellman | by Lisa Lutz | Diterjemahkan dari Spellman Files | Terbitan Simon & Schuster, Inc., New York | Penerbit Atria | Penerjemah Berliani M. Nugrahani | Pewajah isi ilovemama-house | Cetakan I, Maret 2008 | ISBN 978-979-141191792 | Skor: 4.5/5

Untuk David Klane

Karawang, 280522 – Eagles – Hotel California

Thx to Ade Buku, Bandung

Menjalankan Wejangan Ray Bradbury #88

Setengah bulan tanpa mencatat di blog. Dan perjalanan masih sangat panjang. Sejatinya selain ketiga item ini, saya saat ini sedang gaaas baca novel-novel klasik, jadi makin padat bacaan setiap hari. Menarik bukan? Memang sedang sakaw saya, sedang panas-panasnya.

Hari 73

#1. Cerpen: Ahem (Ibrahim Samu’il)

#2. Esai: Perempuan, Rokok, dan Maskulinitas (Diah D. Yanti)

#3. Puisi: Catullus 1

Hari 74

#1. Cerpen: Karma (Khushwant Singh)

#2. Esai: Celakanya, Sudah Perempuan Perokok Pula! (Retno D. Suyoko)

#3. Puisi: Catullus 2

Hari 75

#1. Cerpen: Lagu Kebangsaan (Zakaria Tamer)

#2. Esai: Perempuan Juga (Berhak) Merokok (Astrid Reza)

#3. Puisi: Catullus 3

Hari 76

#1. Cerpen: Lengan Baju yang Basah (Mohammed Al-Asfar)

#2. Esai: Perempuan Perokok = Perempuan Nakal (Cynthia Lilipaly-Piga)

#3. Puisi: Catullus 5

Hari 77

#1. Cerpen: Kawan Ibuku (Nura Amin)

#2. Esai: Pelekatan Modernisasi dan Pelupaan Tradisi (Des Christy)

#3. Puisi: Catullus 7

Hari 78

#1. Cerpen: Ular Berbisa (Tahar Ben Jelloun)

#2. Esai: Racun-racun di Pikiran Kita (Anis Mahesaayu)

#3. Puisi: Catullus 8

Hari 79

#1. Cerpen: Rumah susun di Jalan Nakshabandi (Alifa Rifaat)

#2. Esai: Bogor dan Kawasan Transpotasi Runyam (Bonchie Yoska)

#3. Puisi: Catullus 11

Hari 80

#1 Cerpen: Penangkapan Seorang Sinterklas (Jose Eduardo Agualusa)

#2. Esai: Perempuan Perkasa di Pabrik Rokok (Natalia)

#3. Puisi: Catullus 34

Hari 81

#1. Cerpen: Perempuan Ayahku (Nadine Goldime)

#2. Esai: Yang Lebih Berbahaya dari Dilarang Merokok! (Cicilia Dwiki Wulandari)

#3. Puisi: Catullus 36

Hari 82

#1. Cerpen: Aib Seorang Veteran (Henri Lopes)

#2. Esai: Rokok, Antara Legal dan Ilegal (Indreyani)

#3. Puisi: Catullus 40

Hari 83

#1. Cerpen: Gonggong (Patrice Nganang)

#2. Esai: Tuan Bloomberg dan Kaki Tangannya (Kartika Dwiarini)

#3. Puisi: Catullus 43

Hari 84

#1. Cerpen: Batu Ibu (Ben Okri)

#2. Esai: Tembakau dalam Bingkai Kebajikan yang Menindas (Naning Suprawati)

#3. Puisi: Catullus 51

Hari 85

#1. Cerpen: Anak Perempuan (Erskine Caldwell)

#2. Esai: Dari Hellenisme sampai Kartini: Penyejagatan dan Keneranian Perempuan (Nurul Aini)

#3. Puisi: Catullus 52

Hari 86

#1. Cerpen: Mengapa Kalian Tidak Berdansa? (Raymond Carver)

#2. Esai: Keberanian Perempuan (Nurul Aini)

#3. Puisi: Catullus 58

Hari 87

#1. Cerpen: Bila Dara Jatuh Cinta (Ernest Hemingway)

#2. Esai: Pengetahuan Lokal, Kuasa Global (Nurul Aini)

#3. Puisi: Catullus 68a

Hari 88

#1. Cerpen: Tamu Pernikahan (O. Henry)

#2. Esai: Pengetahuan Lokal, Kuasa Global (Putri Prasetyaningrum)

#3. Puisi: Catullus 70

Karawang, 270522 – Hoobastank –The Reason

The Buried Giant

“Master Wistan, aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kau dan Lord Brennus, tapi misimu membinasakan Querig si naga buas, aku mohon, jangan biarkan perhatianmu teralihkan dari tugas itu. Ada waktu untuk membalas dendam nanti.” – Beatrice

Buku pembunuh naga dimana naganya tidak muncul-muncul bahkan hingga halaman 400 hari 480! Ada tiga konfliks utama sejatinya, dijabarkan dengan sabar dan telaten. Buku bagus memang harus sabar, tak tergesa. Pertama, pasangan tua yang ingin mengunjungi anak mereka di desa seberang, untuk bisa mencapainya butuh waktu lama, tak memiliki kuda, hanya jalan kaki. Warga Briton yang sudah damai dengan warga tetangga. Kedua, seorang kesatria yang diberi mandat membunuh naga betina tua, ia adalah seorang Saxon. Kedua desa sejatinya sudah berdamai tapi percikan amarah masih kadang muncul. Dan ketiga kesatria tua yang menjadi kepercayaan Raja Arthur yang juga mendapat tugas membunuh naga yang sama. Karena ini buku sastra, jangan harap mudah dicerna, bahasanya berpanjang-panjang, meluik-liuk tak tentu arah, sampai akhirnya setiap karakter menemukan titik akhir takdir cerita.

Kisahnya bersetting era setelah Raja Arthur, ada naga betina Querig yang menyebarkan kabut menyebab kenangan-kenangan manusia terenggut. Memori manusia menjadi jangka pendek, banyak hal terlupa. Pasangan tua Axl dan Betrice sepertinya dulu punya anak yang ada di seberang desa, maka mereka berinisiatif mengunjunginya. “Setidaknya kau melihatnya, Putri, sekalipun itu di dalam mimpi. Seperti apa rupanya?” Seorang pengelana di masa itu, seringkali menyadari ia berada di lanskap tanpa penanda, pemandangannya nyaris identik ke arah mana pun ia berpaling.

Untuk berkunjung dari desa ke desa mereka banyak berkorban, mereka jalan kaki, naiki gunung turuni lembah, menghadang bahaya. Rencananya mampir ke dua desa dulu, untuk bermalam dan sekalian menyapa teman, berobat. Beatrice yang sudah tua, sering sakit. Axl, tampak sangat mencinta sang istri, menjaga membantu banyak hal, memanggilnya dengan sebutan Putri. “Kami hanya dua pengelana yang tersesat, kedinginan dan lelah, pakaian kami basa karena air dungai tempat kami diserang baru saja oleh peri-peri yang bisa…”

Di perjalanan saat hujan, ada sebuah kuil tua, reruntuhan terbengkalai. Niat berteduh, malah bertemu dengan ibu tua yang membawa kelinci dengan pisau ditempatkan di leher. Satu lagi seorang lelaki yang bercerita, ia adalah tukang perahu yang menyeberangkan para pengelana. Dalam tradisi, bila ada penyeberang berpasangan, setiap pasangan sebelum diseberangkan akan ditanya terpisah terkait masa paling indah selama bersama. Bila jawaban tak sama, diberangkatkan terpisah, dan ternyata ibu itu adalah ‘salah satu korban’, ia mengganggu kehidupan tukang perahu yang lagi berlibur. Absurd? Ya, dan ini baru permulaan. Nantinya malah jadi eksekusi kunci.

Di desa pertama, sedang ada kekacauan. Makhluk orge sedang menyerang, ada yang tewas, ada yang terluka parah. Kesatria bernama Winstan menjadi penyelamat, dan remaja bernama Edwin yang terluka berhasil diselamatkan. Malam yang aneh itu menghasilkan kesepatakan, mereka berdua akan berangkat bersama melanjutkan perjalanan, setidaknya hingga desa setengah hari perjalanan.

Di jembatan yang dijaga pasukan Briton yang mengabdi pada Lord Brennus, mereka bersepakat bersandiwara agar identitas kesatria tak diketahui. Pasangan itu mengaku sebagai petani biasa, dua orang itu adalah kakak beradik yang dijaminkan seorang penghutang, mereka gagap dan bisu. Awalnya curiga, dan tampak aneh. Para penjaga sedang menanti kesatria berbahaya. Namun mereka lolos juga. Tentang identitas asli Master Wistan sebagai kesatria Saxon dari timur?

Di tengah jalan ketemu kesatria tua Sir Gawain dan kudanya Horace, saling sapa dan betapa terkejutnya Gawain bahwa kesatria Winstan sejatinya mendapat tugas membunuh naga. Padahal tugas itu adalah miliknya, perintahnya langsung dari pamannya Raja Arthur yang termasyur. Maka disepakati mereka berangkat bareng.

Celakanya, ada prajurit Briton yang curiga saat di jembatan menyusul dan menemuinya. Pertarungan terjadi, dan segalanya dengan mudah ditebak. Seorang kesatria melawan prajurit kecil. Di pertempuran tidak ada waktu untuk bertukar informasi dengan cermat. Setelahnya mereka berpecah jalan, tapi akhirnya takdir menemukan akhir yang pilu di ujung bukit, bagiamana segala yang mengalir dalam waktu, tak bisa dihentikan. Bagaimana ingatan yang kembali, tak selalu baik untuk semua orang. “Bukankah kau sendiri yang mengatakannya, Putri? Kehidupan kita bersama itu seperti dongeng dengan akhir yang bahagia, tidak peduli ke mana cerita itu akan berbelok sebelumnya.”

The Buried Gaint, yang terkubur. Kata itu muncul saat pasangan tua baru memulai perjalan. “Itu jalan setapak melewati tempat di raksasa dikubur. Untuk orang yang tidak mengetahuinya, itu hanya bukit biasa, tapi aku akan memberimu tanda, dan ketika kau melihatku, kau harus keluar dari jalan setapak itu dan memutari ujung bukit sampai kita bertemu di jalan setapak yang sama keluar dari tempat itu.” Tak dijelaskan kuburan siapa, dan mengapa menjadi ikonik.

Napas Querig-lah yang memenuhi negeri ini dan merampas ingatan. Pas tahu sang naga merenggut ingatan, dan nantinya bila nagnya dibunuh ingatan akan kembali, saya bisa menyimpulkan dua hal. Pertama, jelas naga akan mati. Kedua, efeknya. Dan karena ini buku sastra, efeknya akan buruk. Ingat, sifat ingatan yang liar tak serta merta positif. Banyak kenangan buruk yang juga bakal kembali, atau kenangan pahit yang menyasar pasangan, atau kenangan tentang keluarga yang sejatinya lebih pantas dilupa, malah justru pertama hadir. Dengan kabut ini mengadang kita, kenangan apa pun adalah harta berharga dan kita sebaiknya menyimpannya dengan baik. Apakah terbukti? Kalian harus baca sendiri! Ketika pengelana membicarakan kenangan mereka yang paling berharga, tidak mungkin bagi mereka untuk menutupi kebenaran. “Jika naga betina itu benar-benar dibinasakan, dan kabut ini mulai memudar, Axl, apakah kau pernah takut pada apa yang kemudian akan terungkap untuk kita?”

Ini adalah novel ketiga Pemenang Nobel Sastra 2017 ini setelah Never Let Me Go yang luar biasa (membingungkan tentang klona), dan An Artist yang hebat sekali. Ketiganya bagus, bagus banget. Jelas menjadi penulis favorit. Makanya pas tahu buku ini diskon, langsung kuangkut. Buku apapun dari Kazuo Ishiguro, apalagi pasca menang Nobel Sastra, bakalan laku. Diburu, dan layak koleksi. Tiga buku terlalu sedikit, yakinlah bakal banyak buntutnya. Saya menyelesaikan baca buku ini secara kilat, saat libur lima hari. 12-13 Mei cuti, melahap The Belly of Paris (Emile Zola), Mrs Dalloway (Virginia Woolf) dan dari 14 sampai 16 Mei baca ini. Lima hari, tiga buku bagus. Alhamdulillah…

Dan berdolah kawan-kawan. “… Jika kita berdoa pada-Nya, berdoalah dan meminta pada-Nya untuk mengingat setidaknya beberapa hal yang paling berharga untuk kita, siapa tahu, Dia mungkin mendengar dan mengambulkan keinginan kita.”

Yang Terkubur | by Kazuo Ishiguro | Diterjemahkan dari The Buried Giant | Copyright 2014 | GM 619186019 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Alih bahasa Ariyantri E. Tarman | Editor Primadonna Angela | Desain sampul R. Hakim | Cetakan pertama, September 2019 | ISBN 9786020630557 | ISBN DIGITAL 9786020630564 | 482 hlm: 20 cm | Skor: 5/5

Deborah Rogers: 1938 – 2014

Karawang, 180522 – Eagles – Hotel California

Thx to Haritson, Yogyakarta

The Road

Kau sudah tahu semua cerita tentang aku. Kau ada di sana. // Kau punya cerita yang di dalamnya aku tak tahu. // Maksudmu seperti mimpi-mimpi? // Seperti mimpi-mimpi. Atau cuma hal-hal yang kaupikirkan.

Bagaimana yang tidak akan pernah ada berbeda dari tidak pernah ada? Buku tanpa tanda petik. Semua, baik kalimat langsung atau sebuah kata yang perlu kutip, tak ada tanda petiknya. Benar-benar ya, mana ceritanya juga antah pula. Sejatinya, setelah menyelesaikan baca, inti kisah tak rumit amat. Duo ayah anak yang melakukan perjalanan dari kota ke kota, bergerak terus untuk mencari perlindungan berujung di pantai di zaman masa depan yang kelam. Itu saja, dari awal sampai akhirnya terjadi tragedi itu, segalanya dicerita datar. Tak ada yang perlu diperdebat lebih, selain kenapa ini terjadi. Jadi pertanyaan filosofisnya, mengapa bumi bisa sedemikian mengerikan. Ini jelas penggambaran hitam, mengerikan kurang pas, hhmm… porak poranda mungkin lebih pas. Sebuah masa suram dunia yang kita tinggali.

Nasihat-nasihat secara tak langsung juga sejatinya disampaikan. Secara tersirat, seperti kata Papanya, Ingat, hal-hal yang kaumasukkan ke dalam kepalamu tersimpan di sana selamanya. Bukankah manusia adalah gudangnya kenangan? Bukankah memori adalah hal yang begitu berharga, di manapun, di masa kapanpun. Atau Kau lupa apa yang ingin kauingat dan kau ingat apa yang ingin kaulupakan. Ya, dasarnya ingatan itu abstrak, tapi masih bisa diolah. Dialog ini disampaikan sambil lalu, saat di depan api unggun atau saat dalam perjalanan mendorong kereta belanja atau saat dalam bungker kegelapan. Sang Papa mencoba berpikir tapi pikirannya kacau. Ada saat-saat ketika ia duduk memperhatikan anak itu tidur yang membuatnya mulai terisak tak terkendali.

Di sini tak ada nama karakter, hanya dipanggil Papa dan Anak. Mereka adalah pengelana, dengan kereta dorong belanja yang ada di supermarket yang menampung peralatan ala kadar, makanan dan minuman yang ala kadar pula, menjelajah kota-kota, menghindari manusia lain, bersembunyi dari kawanan lain, sebab bakal dijarah, atau direbut apa yang mereka bawa. Tak ada kata egois di sini, kalau mau bertahan hidup, tanggungjawab ada di diri kalian sendiri. Sayangnya, manusia dalam keadaan mendesak seperti ini, segala hal bakal dilakukan demi sesuap nasi. Menjadi brutal, menjadi menusia seutuhnya.

Mereka berjalan menuju Selatan, menuju pantai. Berpacu dengan kegelapan. Dari satu tempat ke tempat lain, tiap bertemu dengan orang lain, waspada. Bertemu dengan orang lapar sungguh berbahaya bukan? Nekad! Membayangkan melihat manusia lain, berdiri dengan pakaian compang-camping, hilang pada matahari acuh tak acuh yang sama. Waspada? Dan alasan waspada ini nantinya sungguh sangat beralasan. Sepeti kata Papanya, Kita harus terus berpindah-pindah. Kita harus terus mengarah ke selatan. Menemukan bukit, membuat api unggun, membuat tenda darurat, menemukan  rumah kosong, menemukan bensin, api, makanan sisa, hingga hal-hal pokok cara survive di kejamnya dunia. Tidur sedikit dan tidak lelap. Bermimpi berjalan di hutan berbunga tempat burung-burung terbang di depan mereka. Matahari yang menyengat, hujan yang mendera, salju yang ganas di dinginnya cuaca. Hidup di alam liar.

Kita tak diberitahu mengapa bumi bisa sehancur itu, apakah karena perang? Wabah? Sebuah serangan zombie? Invasi alien? Entah, tak dicerita. Hanya tahu, keduanya sudah di sana, masa-masa awal bencana tak dikisah. Judulnya udah pas, ini memang novel Jalan, sebab ya kisahnya di jalanan. Ada masa mereka menemukan bungker berisi banyak makanan, minuman, kotak P3K, hingga segala alat untuk bertahan, tapi mereka harus bergerak, dan ini sungguh sulit. Yah, kembali ke jalanan.

Tema kesepian, kesunyian, dan keterasingan menjadi bumbu utama. Hari-hari terlepas tak dihitung dan tak berkalender. Jelas, manusia adalah makhluk sosial yang perlu bersinggungan dengan orang lain, di sini menjadi sangat nyata dan betapa pentingnya mengenal tetangga. Menjadi sulit saat, segalanya tak berjalan mulus, kendala mengapung, hingga hal-hal dasar kebutuhan manusia disampaikan. Makan, tempat tinggal, pakaian. Dan dimana peran agama?

Pertanyaannya, bila kalian ada di posisi itu apakah kalain tetap orang baik-baik? Kebaikan akan menemukan  anak kecil itu. Senantiasa begitu. Akan terjadi lagi. Percaya saja sama ilmu tabur-tuai, sebab kalimat ini menjelma nyata, siapa yang akan menemukannya kalau ia tersesat? Siapa yang menemukan anak kecil itu? Pada akhirnya menjadi boomerang, segala tindakan dan ucapan kita berbalik ke kita.

Ini adalah novel kedua Cormac McCarthy yang kubaca, ketakjuban dalam No Country for Old Men berlanjut. Namun bagiku novel berkover orange itu jauh lebih bagus, lebih kuat, dan ceritanya lebih mudah masuk. Konfliks juga jelas, penyelesaian lebih ciamik. Dalam The Road, kita disuguhi berbagai macam pengandaian, hal-hal yang masih abu-abu, seolah puisi yang perlu tafsir lebih lanjut.

Kututup dengan kalimat panjang sang Papa yang memberi petuah ke anaknya, dan rasanya pantas kubagikan ke semua pembaca, bahwa ketika mimpi-mimpimu adalah dunia yang tak pernah ada atau dunia yang tidak akan pernah ada dan kau gembira lagi, maka kau akan menyerah. Paham? Dan kau tidak boleh menyerah. Takkan kubiarkan.

Jadi, katakan kepada kami, menuju ke mana dunia ini?

Jalan | by Cormac McCarthy | Diterjemahkan dari The Road | Copyright M-71, Ltd.2006 | Alih bahasa Sonya Sondakh | Ilustrasi dan desain sampul Satya Utama Jadi | GM 402 09.006 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Cetakan pertama, Januari 2009 | 264 hlm; 20 cm | ISBN-10: 979-22-4316-X | ISBN-13: 978-979-22-4316-1 | Skor: 4.5/5

Buku ini dipersembahkan kepada John Francis McCarthy

Karawang, 250522 – The Best Vocal Jazz Relaxing Singing with Swing

Thx to William Loew, Medan

#April2022 Baca

April ini bertepatan dengan bulan puasa, dibaca disela ngaji yang sukses khatam 30 juzz, disela sahur yang mengantuk, disela tidur siang kala istirahat kerja, disela tarawih yang begitu panjang. Alhamdulillah, masih dapat 8 buku. Rerata buku agama sebenarnya, sayang tidak sampai tuntas jelang libur panjang. Bulan Mei ini paling beberapa buku agama tuntas.

Semangat tetap membara, hanya pembagian bacanya saja yang perlu diatur ulang. Benar-benar hebat rasanya hidup di serba instan ini kita masih sempatkan membaca buku, dan antrian sangat panjang.

#1. The Emerald Atlas by John Stephens

Ini buku trilogy, buku duanya sudah saya punya. Lumayan bagus, sihir dan aturan main manusia abadi tampak selalu menarik. Di dunia fana ini, fantasi manusia melalangbuana hingga tak berbatas. Maka kehidupan khayal penyihir abadi, permainan waktu, bisa acak nan non linier, sehingga makna dan arti hidup itu sendiri jadi rancu. Dengan bantuan buku album foto, tiga saudara terpilih masuk ke dimensi waktu, mundur di zaman orangtuanya masih muda, dan bertemu lawan berat, menyelamatkan masa. Karena ini berseri, saya bisa simpulkan ketiganya selamat, sekalipun sekarat.

#2. Kemerosotan Ummat Islam dan Upaya Pembangkitannya by Abul A’la Maududi

Bagus banget. Pandangan ulama di Pakistan akan kemrosotan moral muslim, tak hanya di negerinya tapi secara keseluruhan. Dunia saat ini terlampau menggampangkan, tata kelola moral jadi abu-abu. Islam sebagai agama pedoman hidup hadir, sangat relevan di semua zaman, termasuk zaman digital, zaman kita. Upaya pembangkitan, harus ada kerjasama semua pihak. Hal-hal yang jelas dilarang agama, tak perlu toleransi lagi. LGBT contohnya, jelas itu maksiat dan tak ada ampun. Kebangkitan Islam, kudu orang Islam yang menggerakkan, ya kita. Ya kalian juga.

#3. Permata Lembah Hijau by Ike Soepomo

Dua cerpen yang pernah dimuat di majalah Femina ini temanya memang cinta yang remuk. Dibaca saat ini terasa lebai, pasangan yang sudah tak mencinta, lantas kabur ke rumah orangtuanya di desa untuk menenangkan diri. Satu lagi suami yang baik hati dan tak sombong tiba-tiba runtuh sebab mengalami kecelakaan, tragedy yang merenggut semangat hidupnya. Masih enak dibaca sekalipun sudah sulit dilogika di era sekarang, tapi bukankah cinta adalah tema abadi, hanya templatenya saja yang dimodifikasi.

#4. Manusia Indonesia by Mochtar Lubis

Bagus sekali, semua ceramah tentang karakter manusia Indonesia dilontarkan, rerata sifat negative, yang sejatinya banyak benarnya. Ada sifat positif tapi tak dominan. Mengundang reaksi banyak kalangan, dari kanan atau kiri, Mochtar Lubis kena kritik. Di era itu, tahun 1970-an untuk berbalas reaksi harus lewat Koran, dan sungguh aduhai. Bayangkan, menanti terbit bisa seminggu dua minggu, lantas menunggu tanggapan lagi, menunggu lagi. Manusia Indonesia kudu punya sabar berlebih…

#5. The Spellman Files by Lisa Lutz

Hahaha, ada-ada saja. Keluarga detektif yang kocak. Ayah ibu punya biro jasa penyelidikan, si sulung yang malas dan kesal terpaksa ikut kerja usaha keluarga, nomor dua jadi punya pemikiran beda, mengambil kuliah bergengsi, kerja di biro hukum yang ada uang melimpah. Satu lagi si bungsu yang kelahirannya tak diharapkan hidup di tengah-tengahnya, istilahnya ia memiliki kemampuan negosiasi berkat tempaan waktu dan lingkungan. Lantas, ada yang jatuh hati. Kali ini seorang dokter gigi, kebohongan dirancang, dan saat si sulung ingin keluar dari bisnis ini, ia mendapat tugas terakhir yang sulit, sebuah investigasi kasus lama yang sudah beku itu, kini harus dipecahkan.

#6. Sufi Sufi Diaspora by (editor) Jamal Malik & John Hinnels

Melalangbuana ke Barat untuk menikmati perkembangan terbaru sufisme. Luar biasa, sekalipun minoritas mereka bertahan dan berkembang. Di era modern dengan segala kemudahannya, kita diajak mengenal era-era awal abad 20 hingga buku ini diterbitkan tahun 2000-an. Paling banyak disinggung di Amerika dan Inggris, dan mengingat dua Negara besar ini, rasanya dahsyat tasawuf berhasil berkembang di sana, bahkan akhir-akhir ini makin diterima, kita semua butuh ketenangan batin.

#7. Mata Penuh Darah by Faisal Oddang dkk.

Kumpulan cerpen yang diterbitkan untuk merayakan 10 tahun penerbit Shira Media, dari berbagai penulis, dan karena nama Faisal Oddang dipajang, ia adalah penulis paling sukses dan menjual. Sayangnya banyak bagian cerita menulik masa depan yang gelap, tak bisa diterima, hanya memprediksi, beberapa bahkan ada yang luar biasa buruk. Hufh…

#8. Etika-etika Dasar by Franz Magnis-suseno

Ini adalah yang sudah disahkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebagai bahan ajar, artinya sudah diterapkan kurikulum untuk dijadikan pegangan anak sekolah. Terasa memang isinya baku dan umum, hanya bagian-bagian kecil yang berani. Di akhir bab kita diajak menjawab beberapa pertanyaan, seolah quiz/tes pengetahuan seberapa paham kita. Lumayan, walau tak wow, mungkin di buku lain lebih bisa menikmati. Terima kasih.

Karawang, 240522 – Eagle – Hotel California

Menjalankan Wejangan Ray Bradbury #72

Liburan dan masih mengejar komitmen, saat santuy tetap menjalankan wejangan. Berat, selama di kampung halaman seminggu penuh, menyediakan waktu barang 15-20 menit. Membawa tiga buku untuk menjadi teman. Makanya dominan tiga penulis untuk catatan ini sebab dibaca dari buku yang sama, rekapnya sih setelah sampai kembali di Karawang. Hanya memastikan kepada kalian, saya masih bertahan program ini. Seribu hari masih sangat jauh, tetap semangat…

Hari 61

#1. Cerpen: Tak Kunjung Kembali (Frederick Forsyth)

#2. Esai: Hanya Penulis (Mahfud Ikhwan)

#3. Puisi: Ode untuk Kota Kelahiran (Yopi Setia Umbara)

Hari 62

#1. Cerpen: Tak Ada Ular di Irlandia (Frederick Forsyth)

#2. Esai: Penulis? Oh, yang di Percetakan (Mahfud Ikhwan)

#3. Puisi: Ode untuk Terminal dalam Hujan (Yopi Setia Umbara)

Hari 63

#1. Cerpen: Sang Kaisar (Frederick Forsyth)

#2. Esai: Alasan untuk Tidak Menulis (Mahfud Ikhwan)

#3. Puisi: Ode untuk Stasiun Kereta Kelas Tiga (Yopi Setia Umbara)

Hari 64

#1. Cerpen: Ada Hari-hari… (Frederick Forsyth)

#2. Esai: Pengarang dan Kemelut (Mahfud Ikhwan)

#3. Puisi: Ode untuk Sebotol Bir (Yopi Setia Umbara)

Hari 65

#1. Cerpen: Uang Pemerasan (Frederick Forsyth)

#2. Esai: Bahasa Indonesia dan Persoalannya – bagi Seorang Pengarang Jawa (Mahfud Ikhwan)

#3. Puisi: Ode untuk Sebuah Kursi (Yopi Setia Umbara)

Hari 66

#1. Cerpen: Dipergunakan sebagai Bukti (Frederick Forsyth)

#2. Esai: Pulang, Pola, Mood (Mahfud Ikhwan)

#3. Puisi: Ode untuk Secangkir Kopi (Yopi Setia Umbara)

Hari 67

#1. Cerpen: Hak Istimewa (Frederick Forsyth)

#2. Esai: Buku Baru (Mahfud Ikhwan)

#3. Puisi: Di Astana Gede (Yopi Setia Umbara)

Hari 68

#1 Cerpen: Tugas (Frederick Forsyth)

#2. Esai: Melihat Pengarang tidak Bekerja (Mahfud Ikhwan)

#3. Puisi: Di Sungai Cikaengan (Yopi Setia Umbara)

Hari 69

#1. Cerpen: Seorang yang Hati-hati (Frederick Forsyth)

#2. Esai: Tentang Menulis Populer (Mahfud Ikhwan)

#3. Puisi: Sepasang Ciuman dalam Hujan (Yopi Setia Umbara)

Hari 70

#1. Cerpen: Praktek Lancung (Frederick Forsyth)

#2. Esai: Penulis dan Tidurnya (Mahfud Ikhwan)

#3. Puisi: Di Bordes Harina (Yopi Setia Umbara)

Hari 71

#1. Cerpen: Corrie (Alice Munro)

#2. Esai: Sastra adalah.. Yang Gelap-Gelap Gitu, ‘Kan? (Mahfud Ikhwan)

#3. Puisi: Di Teluk Batukaras (Yopi Setia Umbara)

Hari 72

#1. Cerpen: Kereta (Alice Munro)

#2. Esai: Duaribu Duapuluh (Mahfud Ikhwan)

#3. Puisi: Di Lembah Lembang (Yopi Setia Umbara)

Karawang, 110522 – Billie Holiday – Me, My Self, and I

Sastra adalah… Yang Gelap-Gelap Gitu, ‘Kan?

“Jika Anda seorang pengarang, dan tak menemukan ungkapan-ungkapan yang pas untuk menjelaskan perasaan yang rumit dan intim dan dalam dari tokoh-tokoh yang ingin Anda ceritakan dalam bahasa Indonesia, maka boleh jadi Anda akan lari mencari pertolongan kepada bahasa yang Anda alami sehari-hari atau kepada bahasa yang Anda anggap lebih kompleks berdasar kecenderungan bacaan Anda…”

Menurutku buku ini setara bagusnya dengan Cerita, Bualan, Kebenaran. Tips-tips menulis yang dibalut bukan tips menulis. Nyaman dan terasa sangat masuk akal. Jelas lebih keren dari Menumis itu Gampang yang bertema umum. Poinnya sama, Cak Mahfud bercerita kesehariannya. Buku ini terasa lebih asyik sebab bahasannya fokus ke proses kreatif, yang setelah ditelaah, tak kreatif juga, tak banyak nasehat, atau petuah membumbung. Benar-benar cerita bagaimana ketahananan menulis buku itu perlu, pengalaman dari Penulis pemenang DKJ dan KSK. Dua penghargaan sastra paling bergengsi tanah air. Walau judulnya provokatif, bagaimana penulis menganggur, percayalah, itu hanya jeda. Judulnya biar tampak eksotik. Itu hanya masa santuy, sejatinya menulis memang kudu tahan banting, konsistensi, dan dipaksa. Maka tata kelola waktu juga sebuah kunci, dan buku ini jelas patut dipertimbangkan jadi rujukan proses mencipta karya. Seperti yang dulu pernah kubilang di ulasan buku Mario Vargas Llosa dalam Matinya Seorang Penulis Besar (sudah diterjemahkan oleh Shira Media), bahwa buku-buku dibalik karya sangat patut dicetak sebanyak mungkin agar pembaca tak meraba ngasal. Setidaknya kita tahu, buku-buku itu diterbitkan penuh pengorbanan, tak sim salabim mengada.

#1. Hanya Penulis

Sosial media, atau di sini Facebook telah mengikat kita dalam pergaulan instan. Bisa saling mengenal secara daring orang-orang asing, serta para idola yang dulu rasanya tak terjangkau. Dibuka dengan sebuah kotak pesan masuk yang menanyakan pendapat kontribusi penulis di masa pandemi. Dan dijawab dengan apa adanya, mungkin benar kurang memuaskan, tapi ini benar-benar real. Kenapa, sebab “jangan memberi panggung kepada orang-orang yang tak kompeten,” adalah mutlak.

Jangan tanya tanggapan Lesti.

#2. Penulis? Oh, yang di Percetakan

Karena sudah baca dua kumpulan esai, saya jadi tahu perjalanan hidup Cak Mahfud yang lulusan pesantren, kuliah Yogya, bekerja di Jakarta, lantas menyepi menekuri tulisan dengan serius kembali ke Yogya. Maka saat baca judulnya, jelas ini adalah lontaran tanya dari rekan saat di Utan Kayu. Penjelasan bagaimana ia ‘tak menyangka’ jadi penulis suatu hari kelak tampak seolah hanya mengikuti arus kehidupan. Dan penulis yang dikenali sekaligus tak dikenali, kocak juga kontribusinya, saat truk-truk bahan bangunan yang bising di balik tembok tempat tinggalnya dan ia bergeming, tak turun tangan. Tak mengapa, saya sama saja kalau di posisi itu.

#3. Alasan untuk Tidak Menulis

Sudah menulis dari era mesin tik, dan bagaimana cerpen pembuka Belajar Mencintai Kambing berproses. Sibuk jadi semacam kelakar saat ditanyakan pada Penulis. Hingga bagaimana tatapan pada Ayu Utami di meja kafe seberang dengan laptopnya, sepuluh tahun kemudian, beliau punya karya setara bagusnya. Sejatinya, penundaan menunaikan tugas (di sini menulis) adalah hal wajar bagi manusia. Termasuk alibi, kalau punya komputer, kalau punya laptop kualitas bagus, kalau punya tempat nyaman menulis, serta kalau kalau yang lain.

Penutupnya bagus, langsung kena jap. “… semakin cepat capek dan diserang pegal-pegal. Saya pasti akan jauh lebih sigap dan lebih cepat menyelesaikan tulisan ini jika saya masih seumur para penulis muda yang sore itu saya temui.” Hahaha…

#4. Pengarang dan Kemelut

Mengandaikan masa hidup di era lama, tak hanya cocok untuk para penulis. Bayangkan, kalau kamu buruh di masa kemerdekaan, apakah mungkin sudah bergabung angkat senjata? Atau bayangkan hidup di masa ’65, mungkin kamu buruh yang keciduk karena ikut coblos Merah. Nah, di sini membayangkan bagaimana kalau penulis hidup di masa itu? Bakalan angkat senjata? Bakalan turut serta disingkirkan? Chairil Anwar memang penyair terbesar kita, dan bagaimana ia berumur muda banyak memberi warna kebangkitan Indonesia.

#5. Bahasa Indonesia dan Persoalannya – bagi Seorang Pengarang Jawa

Ini menyenggol Azhari Aiyup si penulis Kura-kura Berjanggut yang fenomenal itu. Bagaimana cerpennya terbit di Kompas dan mencipta iri Cak Mahfud, terutama gaya bahasa, pilihan diksi, hingga keluwesan bercerita yang bagus, seorang Aceh yang mahir berbahasa Indonesia.

Dan bagaimana kehidupan sehari-hari mempengaruhi kehidupan sosial kita, terutama bahasa. Jadi seperti apakah bahasa Indonesia yang baik dan benar itu. Lebih nyaman memang memilih “percampuran” bahasa ibu dan bahasa Indonesia, dan itu sangat wajar. Bukankah malah tampak aneh, orang Jawa dengan fasih bercerita tentang kehidupan suku Dani?

#6. Pulang, Pola, Mood

Pulang kampung adalah jeda dari kesibukan. Menikmati waktu dengan keluarga, menelusuri kenangan, ngopi sama rekan main kelereng, hingga ketawa-ketiwi sama teman-teman lama yang tak merantau. Begitu pula penulis, mudik adalah masa kosong dari mengetik kata-kata, refreshing-kan pikiran, mengisi ulang ide-ide. Masalahnya, mood-nya tak kunjung kembali saat telah kembali ke kota tempat kita mencari uang.

“Jadi, sekali lagi, mood itu eksis. Ia bukan mitos. Ia ada, dan beberapa orang betul-betul memerlukannya untuk mencipta. Ia, membentuk sejenis pola bagi orang-orang tertentu…”

#7. Buku Baru

Buku debut Ulid bersampul kuning yang terkenal itu, disambut dengan sederhana oleh penulisnya. Bersepeda Wymcicle AC Milan santuy ke tempat kelahirannya, mengambil 25 eksemplar, merayakan dengan mampir ke tempat teman, meminta meresensinya, dan setelah lama berselang itulah satu-satunya resensi. Hiks, si sulung yang malang katanya. Namun lihatlah, setelah belasan tahun, buku itu justru kembali nge-hits efek ketenaran.

“Semua istimewa pada masing-masing tempatnya.”

#8. Melihat Pengarang tidak Bekerja

Ini hanya curhat masa tak mood menulis. Klontang-klantung, ngopi sama teman, haha hihi lupa waktu, menunda nulis, buka sosmed yang menghamburkan waktu banyak, menunda lagi nulis untuk mencari makan, kembali membuat kopi, dst. Hal-hal wajar yang memengaruhi kreativitas, yang terasa tak wajar adalah, saat penulis tak bekerja, malah jadi tulisan. Ironi di atas ironi kata Spongebob.

“Dengan malas ia bangun dan mematikan lampu… dan dengan malas ia akhirnya memutuskan bangun.”

#9. Tentang Menulis Populer

Ini mungkin yang paling bagus, tulisan populer itu yang bagaimana? Pertama mendengarnya, jelas buku-buku buruk Tere Liye. Laris manis, penulisnya baper, ngudi-udi di sosial media demi mendongkrak penjualan. Kita harus sepakat di awal, bahwa buku-buku Tere jelex, tapi sayangnya laris manis, dikutip para abege, dan beberapa berhasil diadaptasi film. Itulah tulisan populer, menurutku.

Cak Mahfud menjabarkan panjang lebar, dimula dalam seminar yang diadakan para pelajar, yang lantas membedahnya. Benarkah tulisan populer itu mudah? Beliau menjawab, dalam jenis tulisan apa pun, menulis populer haruslah didasari oleh kemampuan teknis yang lebih dari sekadar memadai, malahan lebih lihai, dengan kemampuan menyampaikan ide dan gagasan atau cerita kepada pembaca di atas rata-rata. Jangan dikata lagi isi yang disampaikan. Terlihat Cak Mahfud sering kali curhat terkait seminar/bedah buku yang diisinya. Saya sendiri dua kali ikut, dan seru. Cuma satu pertanyaanku waktu itu, nulis cerpen sudah, esai sudah, novel sudah, kapan nulis puisi? Cuma dijawab tawa, dan bilang ‘endak… endak...’ sambil terus mengelak.

“… sengaja atau tidak, para penulis pop ini kemudian menyepakati, dalam banyak kesempatan mungkin malah memanfaatkan, pandangan bahwa yang populer adalah dangkal dan gampangan…”

#10. Penulis dan Tidurnya

“Terlambat karena kita tidak bisa mengatasi kenapa kita terlambat jauh lebih tidak menyenangkan dibanding terlambat karena kita lali atau disebabkan melakukan hal lain…”

Ceritanya, beliau lagi nostalgia bagaimana mencipta tidur yang nyaman. Memiliki kamar pribadi tentu saja sebuah kenyamanan, atau malah sebuah kemewahan bagi kita kebanyakan (keluarga Rafathar jelas tak dihitung). Tidur di masjid sesuatu yang lumrah, tidur di pos ronda wah ekstrem, tidur cepat dengan niat agar esok bisa bugar dan siap menulis, sungguh utopia. Saya sendiri sering kali tidur larut kala hari libur, dan bangun subuh setelahnya. Rasanya, sayang sekali akhir pekan tak memeluk buku lebih lama. Sebuah kerugian bagi pecinta buku bangun kesiangan di hari libur.

#11. Sastra adalah.. Yang Gelap-Gelap Gitu, ‘Kan?

Sampai sekarang, definisi sastra masih simpang siur dan mengundang pendapat beragam. Teori sastra di buku Welleck dan Warren yang kebetulan sudah kubaca, juga menimbulkan banyak tafsir. Maka kalau dalam seminar ada yang berpendapat Satra itu gelap, wajar. Apalagi deretan contoh yang disajikan mayoritas mengiyakan. Satu paragraph yang mengutar menyelamatkan seseorang yang menganggap KKN Desa Penari sebagai sastra, bisa jadi benar. Namun kita tak tahu, seratus tahun lagi, buku dari sensasi twit ini bisa jadi berbelok nyastra. Merefleksikan kehidupan, menggetarkan hati pembaca… nah… ‘kan.

“Saya menjawab bukan untuk membuatnya mengerti, tapi untuk membuatnya diam.”

#12. Duaribu Duapuluh

Pandemi dan orang-orang yang bertahan hidup sampai sekarang. Saya, dan kalian yang membaca blog ini, saya ucapkan selamat. “Hidup hanya menunda kekalahan,” kata Chairil Anwar, dan ya 2020 memang tahun tak wajar.

Suka sekali sekali penutup bab, sekaligus buku ini tentang Jimmy Glass yang menyelamatkan Carlisle United tahun 1999 dari degradasi dari divisi empat Liga Inggris. Kiper cadangan yang mencetak gol dramatis, yang mendadak jadi pahlawan, lantas pensiun dini 27 tahun sebab tak ada yang memakai jasanya. Baru tahu, dan kalian harus tahu. Tipis memang, pahlawan dan pecundang.

Kubaca selama libur Lebaran saat mudik ke Solo kemarin, kutuntaskan setelah kembali tiba di Karawang. Selang seling sama buku kumpulan cerpen Frederick Forsyth: No Comebacks. Jelas pilihan bagus, keduanya saling melengkapi, esai dan cerpen, dan sebuah buku tipis kumpulan puisi dalam sepekan, langsung kelar.

Selamat ulang tahun Mahfud Ikhwan, 42 tahun. Buku-buku barumu selalu kunanti.

Melihat Pengarang Tidak Bekerja | by Mahfud Ikhwan | Ilustrator Alfin Rizal | Tata Sampul alfin Rizal | Tata Isi Vitrya | Pracetak Antini, Dwi, Wardi | Cetakan pertama, Maret 2022 | Penerbit Diva Press | 128 hlm; 13 x 19 cm | ISBN 978-623-293-651-5 | Skor: 4.5/5

Karawang, 090522 – Patrice Rushen – Forget Me Nots

Thx to Gramedia Karawang