
“Seperti ada belut di mulutku.”
Bagus. Cerpen yang bagus itu, memberi efek kejut di akhir. Dengan keterbatasan kata-kata, prosedur cerita berkaidah benar kudu dicipta. Karena saya sudah membaca buku Franz Kafka, Herman Hesse hingga Jack Kerouac, apa yang dicerita langsung klik. Dan sebagian cerpen di sini memenuhi harap, saya bilang sebagian sebab hanya beberapa yang laik disandingkan dengan alur cerpen Alice Munro. Cerpen-cerpen Alice sudah saya jadikan acuan cerpen berkualitas. Cerita Tuan yang Paling Mulia misalkan, kita baru tahu motif Pak Joachim dengan anjingnya pada halaman terakhir, setelah diajak berputar panjang kali lebar, ternyata itu to maksudnya. Cerita utama, Aliansi Monyet Putih juga menyimpan kejutnya, bagaimana kekecewaan dan harapan disandingkan, lalu mengapa seorang WNI yang migrasi itu berada di sana, bagus.
Sayangnya sebagian memang biasa saja, Pada Suatu Hari misalnya, itu sekadar pesan antar dengan nilai lebih. Cerita biasa, hanya penyampaiannya yang bagus. Atau yang lebih biasa lagi Peniup Harmonika, itu teman curhat dengan gaya. Menyebut nama-nama keren dengan fasih, tak serta merta kita turut menjadi keren. Dan selanjutnya, dan sebagainya..
#1. Bulan Lemon
Dua sahabat bertemu kembali untuk berpisah. Judi jadi acuan untuk merekatkan pesahabatan. Setelah tiga kali ujian ilmu mesin gagal, mereka memutuskan udar rasa.
“Ternyata kamu pejudi sampai ke darah, ya.”
#2. Tuan yang Paling Mulia
Cerpen ini saya bacakan untuk Inspirasi Pagi di kantor pada #JumatBerkah 17 Juni 2022 kemarin. Isinya yang mencerahkan, betapa syukur kita tinggal di Indonesia yang dilmpahi mentari sepanjang tahun, uang sumbangan yang untuk warga, bukan ke binatang peliharaan, hingga betapa baiknya warga kita kepada pengemis, ‘keramahtamahan dalam menyumbang’ menjadikan pengemis subur di Negara kita.
Joachim sebatang kara, mengandalkan uang dinas dari pemerintah. Bersama anjingnya Tuan, mereka berencana menghabiskan musim panas istimewa di tanggal 31 Juli jam 12 sampai 14 siang. Tak punya duit, mengemis tak berhasil, bagaimana caranya, oh tenang, seorang kere tahu caranya.
“Kemarin-kemarin aku tidak terlalu beruntung. Dan hari ini, aku hanya akan berjalan-jalan dengan Tuan, sebab keberuntungan kami sudah di depan mata.”
#3. Peniup Harmonika
Kakak kelas yang berkelas, tapi memilih jalan yang keras. Peniup harmonika itu sejatinya penulis, juga melukis, penyanyi, pemasak, dan kemampuan berbicara mengulang-alik fakta sebagai bakat natural. Dengan referensi sastra dan musik/film berkualitas, dia memeluk hangat persahabatan.
“Seperti apa musik paling baik?” / “Seperti remix gilamu terhadap Man with the Harmonica-nya Ennio Morricone?”
#4. Jalan Menuju Rumah
Sandang, pangan, papan. Cerpen ini menyoroti bagian akhir, di manapun berada, papan sangat penting, ini para kere yang memimpikan tempat tinggal. Apalagi warga imigran, dengan latar yang berbeda, dengan pendapatan tak tetap, sekalipun demi cinta yang membuncah, rasanya pencarian rumah adalah takdir penting layaknya: rejeki, jodoh, dan mati.
“Hanya ada satu rumus untuk mendapatkan rumah, rumusnya adalah tanpa rumus.”
#5. Kunci Kecilnya Sudah Hilang
Vulgar tapi tersirat. Tetangga kontrakan yang saling bantu dan sapa, lantas jatuh cinta, dan menyerahkan hal-hal yang berharga: waktu, tenaga, dan pelukan bermakna. Kekasih? Rasanya butuh alibi kuat untuk dideklamasikan. Druv dan Sarah, hanyalah satu kepingan asmara masa muda yang melintasi zaman.
“Aku sekarang mengerti, mengapa kamu menjadi dokter.” / “Mengapa?” / “Karena kau bersemangat dengan orang sakit.”
#6. Aliansi Monyet Putih
Dengan pembuka balap mobil di jalan tol, Volker dan Marquiz kini dalam perjalanan ke Perpustakaan Wojewodzka i Miejska Biblioteka di kota Danzig. Kita diajak mengarungi masa lalubya, WNI yang bermigrasi ke Jerman. Alasan mengapa ia ke sana menjadi bumbu penutup, dan perkumpulan ini memang perlu dikaji ulang. Marquiz, bernama asli Sumartono Hidayat, dan itulah mengapa ia terasa asing di sekumpulan warga kulit putih.
“Saya orang Jawa.” / “Ah, menarik. Apakah cerita itu benar?”
#7. Lelaki yang Menabur Rempah
Ini tentang Karl Heidrich yang jatuh hati sama segala yang oriental. Orang cerdas yang berprestasi, tapi dipaksa menyingkir dari jawara karena keadaan. Memang, di manapun berada diskriminasi masih ada, sekalipun terselubung di negara maju. Orang keturunan Arab misalnya, menang lomba kaligrafi, pasti ada saja yang menuding sebab ia sudah dididik sedari kecil untuk itu, dan menulis kaligrafi laiknya makan sehari-hari. Padahal tak bisa pukul rata, kita harus lebih melihat lebih dekat orang sekitar.
“Sekarang namanya sumbangan, dulu upeti, dulunya lagi mungkin rampasan.”
#8. Pada Suatu Hari, Ombak, dan Camar
Isoman dengan penjelasan tak terbuka. Pos ninja dan penyuplaian kebutuhan dasar orang yang positif Covid-19. Ingat, kebutuhan dasar. Makan, obat, dan sejenisnya. Tentunya yang legal. Bagaimana kalau Heinrich memesan grass. Ada bonus di sana.
“Kata bersetubuh, menjadi satu tubuh dalam bahasa Indonesia, adalah terjemahan paling menarik dari sekian banyak kata di dunia untuk hubungan badan dan menurutku itu konsep yang tepat tinimbang misalnya bercinta.”
#9. Doktor Kafkaesque
Kamila dan keseharian kerjanya. Ia mengingat pada suatu ketika sakit dan dirawat, ingatan akan cerita pendek Kafka, bagaimana Gregor Samsa menjadi kecoak saat bangun tidur. Ingatan samar-samar dan tautan yang berputar.
“Saat itu aku terdiam. Seperti ada air mancur di otakku, tiba-tiba aku teringat juga satu-satunya novel Kafka yang kubaca selesai, Amerika, yang justru tidak selesai ditulis Kafka…”
#10. Bayi Cokelat
Ini tentang gosip kehidupan pekerja dengan berbagai macam bahasan. Dari latar kehidupan rekan kerja kita hingga gosip pasangan. Sama, di manapun. Saat si A tidak ada, kita membicarakannya. Saat si B tidak ada, kita membicarakannya dengan si A di antaranya. Saat si C tidak ada kita membicarakannya dengan A, dan B juga. Begitu juga, saat saya tak ada, A sampai C juga pasti membicarakanku. Kutat lingkar omong-omong.
“Tetapi Natalie pendiam itu tampak selalu mengamati, lho. Matanya seperti rubah yang menelisik ayam-ayam.”
Karena ini diterbitkan di Penerbit Major, editingnya bagus. Enak dibaca, dan hanya ditemukan typo tak lebih dari sepuluh. Salah duanya di halaman 113: ‘ketika ketika’ dan ‘memceramahi’ itu terjadi dalam satu baris. Memang penting sekali peran editor, kerasa banget. Misalnya, beberapa hari yang lalu saya baca buku penerbit antah surantah, editingnya carut marut. Bukan sekadar typo, tapi ditemui banyak sekali kosakata tak beraturan. Seolah cetak biru dari penulis, dicek cepat atau malah tak sepenuhnya dicek. Dan jangan lupakan peran proof reader, tak semua penerbit memilikinya. Gramedia dan grup pastinya ada, pengalaman penting, tapi pijakan dasar bahasa juga sangat diperlukan.
Terakhir, buku ini rerata dicerita di Jerman. Dan wajar sahaja, Mbak Akmal memang menempuh pendidikan di sana. Ia sudah familiar sama situasi sekitar. Yang idenya berasal ketika pengarang berada di tempat yang diceritakan. Seorang pengarang memilih cerita, apa yang dikuasai. Apa yang dimengerti. Apa yang dialami. Demikian juga dalam pemilihan lokasi. Pilihan tempat yang kalian kenal betul. Lokasi, yang kamu perlukan adalah kamu mengenalnya. Walaupun orang Indonesia, setting jauh dari rumah seperti ini sah dan menarik, selama mengalami sendiri, tak ngawang-awang atau sekadar fantasi. Jelas Penulis melakukan beberapa kegiatan dalam goresannya, dengan modifikasi tentunya. Memberikan saling pengertian antar karakter juga terasa, turut serta pula cinta yang nyaman dan rasa simpati. Makanya, cerita yang baik adalah yang berhasil menautkan emosi pembaca. Dan itu didapat dengan mencerita sekitar, bukan di masa depan yang masih diraba, bukan tempat antah surantah, yang hanya dengar dari orang lain, atau dapat dari omongan orang lain. Akan terasa aneh malah kalau Ramayda Akmal bercerita betapa indahnya pulau Kreta misalnya, padahal belum ke sana. Oh, saya sudah baca bukunya Haruki Murakami lho… oh tetap beda bos. Kalau untuk selingan kisah bisa, tapi untuk setting utama tak bisa.
Ini buku ketiga Ramayda Akmal yang kubaca setelah Tango dan Jatisaba, bagus semua. Namun sayangnya semakin ke sini skornya menurun. Dari 5, 4.5, kini 4. Mungkin butuh ledakan sekali lagi untuk kembali ke puncak, bukan malah mengikuti curva. Semoga…
Aliansi Monyet Putih | by Ramayda Akmal | GM 622202008 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Editor Teguh Afandi | Desain cover Orkha Creative | Desai nisi Ayu Lestari | Cetakan pertama, Mei 2022 | ISBN 978-602-06-6063-9 | ISBN DIGITAL 978-602-06-6064-6 | Skor: 4/5
Karawang, 270622 – Barbara Lica – Coffee Shop
Thx to Dojo Buku, Jakarta
#30HariMenulis #ReviewBuku #27 #Juni2022