
“Apa yang diberikan dunia fotografi bagi hidup Anda?” / “Kepuasan, uang dan kebebasan.”
Novel remaja lagi, hufh… sekalipun kubaca saat remaja, buku sejenis ini takkan kusuka. Banyak hal tak relate, terlalu lebai, terlalu lo gue end, terlalu sinetron. Atau malah persis sinetron, plot, karakter, cara penyampaian. Sungguh tak enak dibaca. Cari duit segampang itu, cari pacar seindah itu, cari penyakit sesederhana itu. Sekalipun buku remaja, banyak hal tak pantas disebarkan ke remaja, persis sinetron kita kan. Sayangnya, hal-hal buruk sejenis ini laku, cerita tak mendidik yang meracuni generasi muda. Miris.
Kisahnya tentang tiga saudara dalam keluarga Wibowo. Semua problematik. Masalah orang kaya, tak akan kalian temui masalah cara bertahan hidup dengan makan sehari-hari, tak kalian dapati bagaimana cara bayar biaya pendidikan, atau rumah sakit. Enggak ada, adanya masalah hubungan antar manusia, itupun yang dimata jelata tampak tak perlu. Cinta yang putus, pilihan pasangan, kehidupan selebrita yang hura-hura, dst.
Rachel adalah designer ternama, rancangan bajunya dipakai banyak nama ternama. Dipakai para pesohor, maka muncul isu kedekatan dengan model muda yang sedang naik daun Alvino Vivaldi. Isu itu tak diiyakan tak pula ditolak, mungkin semacam mumpung tenang dan diberitakan, sehingga kesempatan diliput media.
Alexie Wibowo alias Lexie adalah sang adik yang punya masalah di masa lalu. Pergaulan bebas, nge-drug hingga hubungan seks telah menciptanya error. Kini ia bertobat. Dan dengan mudahnya ditawari menjadi artis. Manager Bugi, melihat peluang itu. Berwajah tamvan, tampak bersahaja. Dan buruknya cerita, dengan sekejap sukses menjadi model dan bintang film. Majalah remaja banyak pampang wajahnya di halaman fashion dan cober. Sosok unik pun sering penuhi profil majalah. Dipuja puji fans, dikasih review positif, singkatnya ternama dengan hebat dalam tempo sesingkat-singkatnya. Image Lexie simple, cool, dan misterius. Nicholas Saputra? Lewaaat… Padahal dalam dialog mula ditawari artis, ia menolak. Dan saat mengiyakan, seolah magnet rejeki, segalanya nempel seketika.
Paxie adalah saudara lainnya yang sebenarnya agak lurus, tapi menemukan pasangan bermasalah Sheria yang mengidap kanker. Manager marketing yang meluangkan banyak waktu untuk pacarnya, mengorbankan banyak hal demi cinta. Dalam sebuah adegan dramatis ala sinetron jam utama di tv lokal, pernikahan absurd disajikan berlembar-lembar. Kejadian hanya satu dari sejuta ini, sungguh aneh sekalipun niatnya drama air mata. Nyatanya tak mencipta sama sekali titik air di pipi. Lebai, atau mungkin cara penyampaiannya yang amburadul.
Terlalu banyak lemah yang bisa dikupas. Cerita buruk, cara bercerita buruk, pola cerita buruk. Dialog gaul yang tak nyaman, pilihan kata ala kadarnya, editingnya juga buruk. Sekali lihat, tanpa banyak telaah langsung ketemu typo, tak perlu jadi editor handal untuk untuk seketika menemukan, tak perlu menjadi pembaca profesional untuk mendapati bahwa kualitas tata bahasa jelek.
Menggampangkan kehidupan mungkin paling pas untuk merangkum hal-hal di sini. Perjalanan Jakarta ke Bandung misalnya, ada kalimat terlontar yang bikin kzl. “Bandung-Jakarta kurang dari 2 jam! Gue nggak ngerasa buang waktu untuk itu!” Hanya orang sombong yang ngomong gitu, atau orang yang sok berkorban, seolah tak mengapa jalan sejauh itu demi cinta.
Atau kalimat, “Agama, bahasa non satra, logika, hidup dan pergaulan.” Yang secara langsung bilang, bahasa sastra itu tak perlu. Yang umum dan tak nyeni sahaja. Apakah ini relate dengan cara penyampaian kisah secara keseluruhan? Ya, saya melihat pandangan penulis ini dituangkan dengan cara bercerita, apa adanya dan (maaf) ga bisa menarik emosi pembaca.
Pemilihan nama karakter lebih ajaib lagi, seolah ini di negeri antah, bukan Indonesia, padahal nyata-nyata kejadian di Jakarta, Bandung sekitarnya. Deka, Deva, Viandra, Lingga, Vino, Rachel, Paxie, Lexie, Sheira, Diar, Leonard adalah pilihan nama yang tak bijak. Terlihat alay kan? Walaupun ada nama-nama Wisnu, Budi, Gita, Gunawan, Rendra, Yogi, hingga Shinta tapi tak memberi peran signifikan. Bahkan salah satunya mati tragis sepintas lewat dalam sehalaman, seolah tak penting. Sedih sih.. hiks.
Kalimat ceplas-ceplos juga banyak didapati, seenaknya sendiri. Misal, “Percuma lo sempat hidup di Aussie! Pikiran lo kayak orang Kubu!” Sejatinya, mau tinggal di manapun, etiket pergaulan ada dan kurasa tergantung lingkungan. Ingat, pelajaran dasar etika moral, attitude yang utama. Apapun profesinya, dari manapun asalnya, lulusan dari manapun, singkatnya sehebat apapun, kalau tak punya attitude baik ya percuma. Jadi bukan Aussie-nya bukan pula Kubu-nya, tapi hatinya.
Terakhir, mungkin buku sejenis ini masih laku untuk kalangan alay. Buktinya sinetron kita sekalipun dicaci maki, tetap laku. Sekalipun dibahas sampai berbusa-busa efeknya buruk, tetap diproduksi. Begitu pula buku remaja dengan kelemahan seperti ini, tetap laku dan dibaca.
Saya tak membeli buku ini, ini adalah bonus beli buku fantasi dari teman facebook. Yang namanya bonus, ya terima saja. Dan benar saja, amburadul. Tetap kubaca, tetap kuulas, tapi sayangnya negatif. Saya tak mau mengulas kebohongan, apa adanya, bahwa buku remaja dengan plot buruk seperti jelas tak rekomendasi. Mending baca buku remaja ‘genre’ yang lebih baik. Maafkan daku…
Kalau kata temanku, Jemy K buku jenis seperti ini layak dilempar ke tempat sampah. Teman sekosku dulu ini berpendapat, buku buruk sejatinya akan memberi pengalaman buruk sama pembacanya, jadi saat kalian mendapati alangkah baiknya langsung dibuang. Saya kurang sependapat, bukan karena kualitasnya, sayang saja melempar karya ke bak sampah, siapa tahu pembaca lain punya sudut pandang lain, dan menemukan sesuatu yang baik, walaupun sulit.
Tiga | by regagalih.pHe | Editor Husein S | Desain Cover Ega Positive Thinking | Layout Hush | Cetakan I, 2010 | Penerbit LadangIde | 145 x 210 mm, 160 halaman | ISBN 978-602-97180-1-0 | Skor: 1.5/5
Dedicated to Imanuel Rafael Trisno Sakti Herwanto
Karawang, 250622 – Westlife – Beautiful in White
Thx to Agus Ora, Jakarta
#30HariMenulis #ReviewBuku #25 #Juni2022