Enough: Cukup itu $1 Lebih Banyak Dari yang Dibutuhkan

Enough by John C. Bogle

“Bahaya yang kita hadapi kini, di mana dunia usaha telah menjadi hanya semacam buih dalam arus deras spekulasi, menyiratkan bahwa kapitalisme tidak berjalan sehat.”

Investasi. Sebuah kata yang sering kita dengar. Butuh perjuangan untuk merealisasikannya. Butuh konsistensi, apalagi buat buruh, di mana gaji ketika turun gegas dialokasikan ke kebutuhan apa saja. Buat kebutuhan sehari-hari, bayar cicilan, memenuhi hobi, tabungan, dan investasi. Buku ini tak membahas tata kelola investasi, tapi langsung ke pokok-pokok pentingnya. Ditulis langsung oleh seorang founder Reksadana terbesar di dunia, asli dari negeri kapitalis Amerika. Dan memang terbaca sungguh beda, misalnya hanya membahas dasarnya saja, atau orang Indonesia sekalipun pengalaman. Ini buku sungguh-sungguh bervitamin. Sekalipun saya sudah terjun dan menekuni saham, apa yang ditulis melalangbuana hebat ke teori finansial dan tepekur telaahnya.

Terbagi dalam empat bagian, Uang, Bisnis, Kehidupan, dan Kesimpulan. Pembukanya sudah sangat eksotik dengan mencerita pertemuan Kurt Vonnegut dan Joseph Heller di sebuah pesta di aman tuan rumah mereka menghasilkan lebih banyak uang dari seluruh royalti novel terkenal Catch-22 yang laris, dan direspons dengan bijak, “Ya, tetapi saya memiliki sesuatu yang tidak akan pernah ia miliki… rasa cukup.”

Nah, apakah cukup itu? Sebelum menjawabnya kita diputar ke masa lalu sang Penulis. Merasa benar-benar diberkahi oleh panduan ajaib dari gen penabung Skotlandia, kompensasi berlimpah, kecenderungan untuk menabung berapa pun sisa tiap tahunnya. Keajaiban matematis dari bunga majemuk bebas pajak. Pengetahuan bahwa dalam berinvestasi biaya benar-benar berpengaruh besar, dan kecukupan akal sehat untuk berfokus pada alokasi asset yang berimbang. Walau berasal dari keluarga berada, John harus tetap bekerja di sela kuliahnya yang kudu dari beasiswa. Berjuang untuk bertahan. Lantas lulus magna cum laude bidang Ekonomi di Princetown.

Dirinya pernah dipecat oleh korporasi yang dibuatnya sendiri. Lantas mencipta Vanguard sebuah badan organisasi reksadana terbesar di dunia. Ia mencerita bagaimana sejarah hidupnya. Luar biasa hebat. Salut sekali. Segalanya taka da yang serta merta. Seeperti anggapan, misal: Kebanyakan dari kegiatan yang menghasilkan uang memuat dampak-dampak antisosial. “Uang tak punya nurani”, tetapi jangan biarkan hal itu menggiring Anda untuk melakukan hal yang sama, juga jangan biarkan uang mengubah sikap dan karakter Anda. Maka karakter itu penting.

William Penn pernah bilang, “Kita melewati dunia ini hanya sekali, jadi lakukan sekarang kebajikan apa pun yang bisa Anda lakukan, dan tunjukkan sekarang kebajikan apa pun yang bisa Anda tunjukkan, karena kita tidak akan melewatinya lagi.” Ini jadi pijakan untuk membalas budi, jangan sekadar hidup, tapi hiduplah untuk membantu sesama.

Saat membahas investasi, seperti yang kita tahu ada dua jenis: spekulasi dan benar-benar investasi ia sependapat dengan Keynes bahwa investasi, merupakan peramalan atas hasil prospektif suatu aset selama rentang hidupnya. Sedang spekulasi merupakan kegiatan meramal pasar. Spekulasi adalah sebaliknya, spekulasi itu sarat dengan transaksi jangka pendek, bukan kepemilikan jangka panjang. Pasar saham merupakan pengalihan besar dari kegiatan berinvestasi.

Jadi, spekulasi bukan saja permainan pecundang, ini adalah permainan di mana hasilnya tidak bisa dipastikan dengan cara apapun. Hukum probabilitas tidak berlaku pada pasar finansial kita. Tidak ada alasan untuk berharap hanya karena suatu hal belum pernah terjadi sebelumnya, maka di masa mendatang hal itu tidak akan terjadi. Secara metaforis, kenyataan bahwa selama ini manusia hanya pernah melihat angsa putih, bukan berarti tidak ada angsa hitam sama sekali.

Kehidupan memang sarat angsa hitam, terutama dalam pasar finansial.

Segala kemungkinan yang pernah terjadi dalam sejarah akan terulang, saya mohon dengan amat sangat: jangan pernah beranggapan demikian. Minsky mengamati bahwa sistem finansial mudah sekali mengamali inovasi.

Apa yang harus dilakukan dalam dunia investasi yang sarat dengan spekulasi kelangkaan, keekstreman, dan juga prediktabilitas yang berlaku surut? Peter Bernstein memberi saran, “Dalam investasi, kura-kura cenderung lebih sering menang daripada kelinci selama silih bergantian siklus paar… bertaruh dalam masa depan yang tidak pasti itu jauh lebuh buruk daripada berjudi, karena setidaknya, dalam ajang judi Anda mengetahui kemungkinan menang-kalahnya. Sebagian besar keputusan dalam hidup yang termotivasi oleh keserakahan hanya akan berakhir menyedihkan.

Maka dengan pede beliau bilang, “Saya bahkan tidak mengenal seseorang yang kenal orang yang bisa melakukan market timing dengan hasil yang konsisten, gemilang, dan berulang-ulang.” Lihat, orang yang sangat pengalaman di dunia finansial saja bilang seperti itu. Peluang dan resiko akan datang silih berganti. Satu berbanding 4.096? apakah ini pertaruhan yang layak?

Kekacauan yang terjadi sekarang ini merupakan harga yang harus kita bayar karena membiarkan keseimbangan tersebut terlepas begitu saja.

Paul Samuelson seorang peraih nobel Ekonomi, tahun 2005 di usia 91 tahun, menyebut reksadana indeks pertama setara dengan penemuan roda dan huruf. Dan Bogle memberi sarannya. Pertama, amati baik-baik sebelum terjun. Kedua, jangan terjun hingga dana tersebut telah menghasilkan rekam jejak aktual 10 tahun. Dan yang paling penting, ingat nasehat Warren Buffett, Peramal dari Omaha, “orang bijak melakukan di awal, orang bodoh melakukannya di akhir.” atau ingat, “ada tiga i dalam setiap siklus, innovator, imitator, dan idiot.”

Harga-harga komoditi seluruhnya merupakan berdasar mekanisme permintaan dan penawaran. Makanya, komoditi merupakan spekulasi, dan merupakan spekulasi peringkat. Sebaliknya, saham dan obligasi bisa ditentukan berdasar tingkat pengembalian internal mereka – deviden, pertumbuhan penerimaan, serta kupon bunga. Itulah mengapa salam dan obligasi dianggap investasi.

Sejarah pasar saham akan berulang, padahal jauh di dalam lubuk hati, kita menyadari bahwa satu-satunya teropong yang bisa dipercaya untuk melihat masa depan pasar bukanlah riwayat sejarah, melainkan sumber pengembalian saham. Yang mengherankan, tetapi sudah menjadi hal biasa, kebijakan ini mendorong perusahaan untuk meningkatkan ekspektasi masa depan mereka dengan setiap penambahan pengembalian di masa lalu, amat berlawanan dengan yang terjadi sebenarnya. Tetapi lagi-lagi, mereka tidak kritis dalam melihat fatamorgana ini..

Kinsley, “Kapitalisme modern memiliki dua bagian: ada bisnis, dan ada keungan. Bisnis berarti menyewakan mobil untuk Anda ke bandara, keungan itu hal lain.”

Bill George, “Kepercayaan adalah segalanya, karena kesuksesan tergantung pada rasa percaya konsumen terhadap produk yang dibeli, percaya karyawan terhadap pimpinannya, percaya investor terhadap pihak yang menggunakan dana mereka dan percaya masyarakat terhadap kapitalisme… jika Anda tidak memiliki integritas, tidak ada yang mempercayai Anda, dan memang seharusnya tidak.”

Benjamin Graham, “Pemegang saham adalah raja. Sebagai mayoritas mereka dapat merekrut dan memecat manajemen perusahaan, serta menundukkannya untuk memenuhi kehendak mereka.” Praktiknya, “pemegang saham benar-benar hanyut… mereka tidak menunjukkan kecerdasan maupun kewaspadaan… dan menggunakan suara layaknya kerbau dicucuk hidungnya atas rekomendasi manajemen, tanpa memandang betapa buruknya manajemen.”

Ingatlah kata kunci ini, objektif dan tidak bias.

Dalam indsutri ini kita cenderung mendefinisikan kesuksesan dalam bentuk dollar yang dikelola, aliran kas, pangsa pasar, dan jumlah rekening baru. Justru kesuksesan harus didefinisikan dalam hal kualitas layanan, dan memberikan investor porsi yang layak dari pengembalian berapa pun yang dihasilkan pasar finansial kita. Etika yang baik adalah urusan yang baik.

Pokoknya setiap orang yang menjadi tempat bergantungnya pekerjaan Anda. Memang kecil kelihatannya, tapi sentuhan manusiawi ini dalam perusahaan yang kini tumbuh besar akan, saya yakin, membantu dalam memelihara warisan yang saya ciptakan.

Dunia ini terlalu memiliki banyak permintaan dibanding sumber dayanya jika hanya untuk dihabiskan pada hal-hal yang kurang bermakna dan sementara. Goethe mengidentifikasi keberanian: “Apakah engkau sungguh-sungguh? Tengoklah sebentar. Apa pun, atau impian apa pun, yang bisa kaulakukan, mulailah; karena di dalam keberaniantersimpan kejeniusan, kekuatan, dan keajaiban.”

Di kala seseorang mulai berkomitmen, maka kecermatan akan mengikutinya pula. Apabila suatu pekerjaan ingin diselesaikan, lakukan dengan benar. Komitmen dan keberanian, keduanya adalah hal yang benar-benar penting, hal bisa dijadikan ukuran kehidupan, hal yang dapat memberikan kecermatan dalam hidup.

Kehadiran Wikipedia dan Google yang menunggu untuk melayani kita di dalam jaringan hanya dengan sekali klik, kita semakin dikelilingi oleh informasi, tetapi semakin terputus dari pengetahuan. Fakta (atau lebih seringnya factoid, atau fakta semu) ada di mana-mana. Akan tetapi, kearifan – jenis kearifan yang menjamur di era Founding Fathers Amerika – sudah semakin langka.

Kata wirausahawan (entrepreneur) sudah jamak dikaitkan dengan mereka yang termotivasi untuk menciptakan usaha baru demi meraup kekayaan pribadi atau bahkan keserakahan. Seorang wirausahawan sepatutnya menghadirkan sesuatu yang jauh lebih penting ketimbang uang. Bagi Franklin, mendapatkan uang itu dianggap sebagai jalan menuju tujuan, bukan tujuan itu sendiri.

Kesuksesan bisa diukur dari kontribusi kita untuk membangun dunia yang lebih baik, dalam membantu sesama, dan membesarkan anak-anak kita menjadi insan manusia yang penuh kasih dan kebaikan. Pendek kata, kesuksesan diukur bukan dari apa yang kita dapatkan bagi diri sendiri, tapi apa yang kita berikan terhadap masyarakat luas.

Artikel di majalah American Psycologist, ternyata bukan uang yang menentukan kebahagiaan kita, melainkan adanya kombinasi dari berbagai atribut ini, (1) otomoni, taraf di mana kita memiliki kemampuan untuk mengendalikan hidup kita diri sendiri, “untuk mandiri”; (2) memelihara hubungan (maintaining connectiveness) dengan orang lain, dalam bentuk kasih sayang keluarga, bersenang-senang bersama teman dan rekan kerja, dan keterbukaan dengan siapa pun yang kita temui di berbagai aspek kehidupan; (3) menyalurkan kompetensi, dengan mempergunakan talenta yang dianugerahkan Tuhan dan berasal dari motivasi diri, terinspirasi dan berupaya untuk belajar.

Jadi apa kesimpulan cukup? John D. Rockefellar ketika ditanya arti cukup, ia menjawab, “Sedikit lebih banyak lagi.” bagi  Bogle, cukup itu $1 lebih banyak dari yang dibutuhkan.

Salah satu buku non fiksi tentang finansial terbaik yang pernah kubaca. Nasehatnya sungguh-sungguh aduhai. Beruntung saya mendapat buku ini secara diskon, tak sengaja, tak tahu tentang apa. Hanya terbitan Lentera Hati sedang banyak dijual, salah satunya pemicunya biografi Osama bin Laden, dan ini buntutnya. Sangat memikat, dan perlu.

Catatan ini saya tutup dengan kutipan puisi dari T.S. Eliot dalam The Rock (1934):

Ke manakah kehidupan yang hilang dalam hidup? / Ke manakah kearifan yang hilang dalam pengetahuan? / ke manakah pengetahuan yang hilang dalam informasi? / Siklus surgawi dalam dua puluh abad / Menggiring kita menjauhi Tuhan dan mendekati debu.

Enough | by John C. Bogle | Diterjemahkan dari Enough | Terbitan John Wiley & Sons, Inc., | Copyright 2009 | Penerbit Lentara Hati | Cetakan I, Juli 2011 | Penerjemah Devri Barnadiputera | Editor Hendrina Perdana Sari | Proofreader Tutut M. Lestari | Lay out Rizal Rabas | Desainer sampul Haviz M. Nugroho | 374 + xiv hlm.; 11.5 x 17.5 cm | ISBN 978-602-8740-19-7 | Skor: 5/5

Karawang, 290722 – Ariyo Wahab – Sepenuh Hati

Thx to Justin Book Second, Tangerang

Mencipta Surga yang Memenjara

Miss Peregrine’s Home for Peculiar Children by Ransom Riggs

“Aku memberitahukan semua ini padamu karena kau berhak tahu.”

Mengejutkanku, foto-foto yang ditampilkan adalah asli. Sedari mula, kukira ini menjadi penunjang cerita, khas buku-buku lain. Ternyata, kita lebih cocoknya menyebut: foto-foto itulah yang menjadi dasar cerita. Kata-kata dicipta untuk menunjangnya. Penggambaran cerita, jelas dikembangkan dari sebaran frame. Dengan terang sang penulis bilang, ada ribuan foto lain yang tak bisa masuk, kudu selektif. Dan dengan ending menggantung, foto-foto yang tak ditampilkan kemungkinan muncul di Hollow City.

Ide mencipta surga yang terpenjara, tampak menarik. Memerangkap ruang dan waktu, melakukan kegiatan di saat yang sama, dengan suasana sama. Unik, sangat menarik. Rasanya seolah-olah ada yang memencet tombol ‘reset’ pada seisi kota, dan esoknya diulang. “Kenapa orang-orang sanggup menjalani hari yang sama berulang kali selama berpuluh-puluh tahun tanpa menjadi gila. Ya di sini memang indah dan kehidupan pun terasa nyaman, tapi kalau setiap hari selalu persis sama dan anak-anak ini tak bisa pergi, berati tempat ini bukan sekadar surga, tetapi juga semacam penjara.”

Kisahnya tentang Jacob Portman, yang di sela sekolahnya menjalankan magang di toko milik orangtuanya. Ayahnya sedang menulis buku tentang fauna burung, “Mengungkit-ungkit tentang proyek-proyek bukunya yang baru setengah jadi adalah masalah sensitif.” Dan ibunya yang sibuk berbisnis sering mengesampingkannya. Hanya kakek Abe Portman yang begitu dekat, kakeknya yang sudah pikun sering merancau tentang fantasi masa lalu. Lolos dari kamp konsentrasi NAZI, lalu hidup tenteram di Wales. Hingga akhirnya terbang ke Amerika. Rancauannya sama, sebuah periode hidup di sebuah pulau di Britania. Yang ukurannya tak lebih dari sebutir pasir di peta, terlindung pegunungan-pegunungan berkabut. Bagaimana masa remajanya berwarna. Cairn, semacam piramida dari batu-batu kasar, salah satu makam Neolithik yang menjadi asal muasal Cairnholm.

Suatu sore, kakeknya telepon Jacob di toko, ia dalam ancaman dan meminta tolong. Keadaan darurat ini, memaksanya pulang cepat untuk memastikan kondisinya. Dan benar saja, ada makhluk mengerikan membunuh kakeknya di hutan. “Aku ingin pura-pura tak peduli tentang ucapan terakhir kakekku, tapi kenyataannya aku peduli.” Sang kakek meninggalkan barang-barang warisan yang aneh, salah satunya perintah ditaruh di buku puisi Ralph Waldo Emerson. Perintah aneh untuk ke pulau masa lalunya. “Temukan burung itu. Dalam loop. Pada sisi lain makam pria tua, 3 September 1940.”

Dengan dalih untuk mengobati sakitnya, setelah konsul ke psikolog Dr. Golan. Akhirnya Jacob dianjurkan menghabiskan masa liburnya untuk menjelajah kastil di pulau tersebut. Bersosialisasi bisa membantu penyembuhannya. Ditemani sang ayah untuk meneliti burung, mereka ke pulau terpencil dengan akses luar terbatas. Listrik sudah padam saat jam sepuluh, sinyal HP tidak ada, dan segala keterbatasannya. Jalanan-jalanan dengan pondok-pondok kusam artistik yang berjajar hingga ke kejauhan sana, bersambung dengan padang-padang hijau yang dijahit jadi satu oleh tembok-tembok karang berliku-liku, sementara awan-awan berarak-arak.

Dan misi ke kastil itupun dilakukan. Awalnya, Jacob kecewa sebab kastil itu kotor dan tak banyak yang bisa diharapkan untuk diteliti. Tidak terlalu sulit membayangkan tempat ini mengandung sihir. Namun di hari kedua, segalanya berubah. Jacob masuk ke lantai atas, membuka dokumen-dokumen, menemukan hal-hal jadul di dalamnya, lalu sebuah peti yang sudah dibuka, diputuskan buka paksa dengan dijatuhkan, tembus ke lantai basement. Di sinilah segala kegilaan fantasi dimulai. “Aku tahu kedengarannya gila, namun banyak hal yang lebih gila ternyata benar.”

Ada remaja yang melihatnya, saat meneliti di dasar. Ia kejar, dan wuuuzzz… melewati rawa hutan. Rawa-rawa merupakan jalan masuk ke dunia dewa-dewa, tempat yang sempurna untuk memberikan persembahan paling berharga: diri mereka sendiri. Keluar darinya, dunia tak sama lagi. Ia nantinya tahu, ia ada di tahun 1940. Dan dari gadis yang dikejar bernama Emma Bloom, lalu malah menahannya itulah, ia tahu ia terjebak di ruang dan waktu. Ia dikira makhluk wight. Dibawa ke kastil, diperkenalkan dengan teman-teman lainnya. Dan terutama Miss Peregrine, dang pengasuh panti.

Mereka mencipta dunia tertahan di tanggal 3 September 1940. Akan berulang setiap hari, dan seolah abadi. Dulu kakeknya memutuskan pergi, maka ia menua dan mati. Mereka adalah manusia istimewa, memiliki keunikan/keanehan masing-masing, di sini disebut peculiar. Dan tahulah, Jacob ternyata diwarisi kekuatan kakeknya, bisa melihat monster. Hingga akhirnya, para monster itu menyerang kastil.

Dulu pas nonton filmnya di Pasific Place Mal, penasaran sekali sama buku ini. butuh waktu lima tahun untuk memenuhi hasrat. Kutonton berdua sama Topan, teman kerja PPIC yang sekarang sudah pindah kerja. Salah satu yang mencipta penasaran adalah lagu Orchestra Flight of the Bumblebees. Di sini ada, baik, esok kucari lagunya.

Foto-foto yang ditampilkan menarik. Tampak editan, yang nyatanya asli seolah sihir. Dari perempuan melayang, gadis karet yang bisa menekuk badan, kilat besar, santaklaus tatapan kosong di pesta natal, sopir bus sekolah yang seram, hingga si kembar berbaju putih berangkulan. Ini menjadi dasar untuk mencipta nama-nama karakter. Berikut beberapa anak istimewa: Emma dengan tangan yang mengeluarkan api, Millard yang tak terlihat, Horace bisa meramal masa depan, Olive mengambang di udara sehingga perlu diikat, Claire makan dengan mulut di belakang kepala, Enoch bisa mencipta makhluk dari benda mati, Bronwyn punya kekuatan besar, hingga Fiona bisa menumbuhkan flora dalam waktu singkat. Jangan lupakan juga Jacob, sang protagonist bisa melihat monster. Dan sang pengasuh panti Miss Alma Lefay Peregrine yang bisa memerangkap waktu. Bisa mengubah diri jadi burung elang. Variant hebat ini juga ada di daerah lain, dan mereka saling mengirim kabar. Jadi di tempat lain, ada juga kehidupan yang diabadikan.

Nah, antagonisnya adalah para pemburu peculiar. Mereka memangsa, menangkapinya. Membunuh. Monster yang dilihat Jacob, yang membunuh kakeknya adalah wight. Mereka melacak anak-anak istimewa ini. Maka saat menemukan loop, mereka menghancurkan kastil, menangkap Alma, dan endingnya menggantung. Bagus sekali, dengan latar laut perahu berlayar, siap membalas ke kota Hollow.

Kuselesaikan baca hanya dalam sehari, kurang dari 24 jam. Dari 15.07.22 jam 20:00 di malam Sabtu yang gerimis sampai kutuntaskan esoknya sebab libur, dan tak ada acara ke manapun. Di taman Perumahan, hujan berlindung di gazebo sampai tengah hari, dilanjutkan ke gazebo taman kota Galuh Mas sampai selepas duhur, lantas ke Masjid belakang Festive Walk hingga sore. Sebelum adzan Magrib, jam 16:30 saya tuntaskan di halte Galuh Mas saat perjalanan pulang jalan kaki. Hebat, 500 halaman tuntas seketika. Memang buku bagus, awalnya tak kuniatkan usai di bulan ini, icip saja. Sempat lama mengendap di rak meja kerja, 2020. Akhirnya malah gegas beres. Buku yang ok, selalu mencipta penasaran tiap lembarnya. Buku ringan dan menarik. Selalu tertarik sama buku fantasi anak, apalagi seliar dan seimajinatif ini. Dan sebuah kebetulan, hari ini saya dapat edisi sekuel Hollow City. Asyik… bisa langsung kulanjutkan Agustus ini.

Rumah Miss Peregrine untuk Anak-anak Aneh | by Ransom Riggs | Diterjemahkan dari Miss Peregrine’s Home For Peculiar Children | Copyright 2011 | First Published in English by Quirk Books, Philadelphia, Pennsylvania, USA | GM 616185023 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Alih bahasa Tanti Lesmana | Desain sampul Eduard Iwan Mangopang | Jakarta, 2016 | 544 hlm; 20 cm | ISBN 978-602-03-3388-5 | Skor: 5/5

Karawang, 280722 – Stan Getz – The Girl From Ipanema

Thx to Ora Danta, Jakarta

Everything Everywhere All at Once: Adegan Batu, Diakui Kasih Segala-galanya tentang Segala-galanya

“Just be a rock.”

Ya ampun, ga jelas. Gegayaan. Dengan kostum bervariasi, dimensi berbagai lorong, sampai monster-monsteran. Tak ada nada khawatir di sana. Tautan emosi penonton lepas. Hype-nya ketinggian. Terasa biasa saja, apalagi endingnya, yah gitu doang. Happily ever after, setelah porak poranda penuh intrik dan ketegangan, akhirnya hanya adegan bahagia di hari cerah dan mereka-pun berciuman. Meh. Template kisah fantasi sejenis ini sudah sangat banyak dicipta, sudah bosan. Hanya satu adegan yang benar-benar membuatku histeris, dialog diam dua batu dengan jurang menganga di bawahnya, matahari menyinari mereka, memoles kebimbangan, dan dalam diam mereka cerewet. Namun, sayangnya, itupun dirusak. Saat akhirnya mereka bergerak, bukan digerakkan. Hukum Newton ditentang. Hufh…

Kisahnya tentang keluarga China yang hidup di Amerika, pasangan Evelyn Wang (Michelle Yeoh) dan Waymond Wang (Ke Huy Quan) sedang mempersiapkan pesta tahun baru Imlek, semua pelanggan usaha penatu mereka undang. Sebelum pesta mereka bersama sang ayah Gong Gong (James Hong) di atas kursi roda ke kantor pajak Internal Revenue Service (IRS), guna pelaporan keuangan. Oleh auditornya Deirdre Beaubeirdre (Jamie Lee Curtis) mengindikasikan ada dana menyeleweng, sekalipun kecil, seperti karaoke atau hobi biasa yang menguntungkan. Kertas-kertas itu bagi auditor bisa bermakna dan sungguh bersuara. Maka mereka tetap harus mempertanggungjawabkan.

Gong Gong yang sangat tradisional, merasa keluarga ini terlalu bebas. Sering mengeluhkan banyak hal, dan saat kita diajak ke masa lalu, tahulah bahwa dulu Waymond pernah ditolak olehnya, disepelekan. Namun Evelyn tetap memilihnya sebagai pasangan. Naasnya, pergaulan anaknya sudah terpengaruh gaya Barat, putri satu-satunya Joy Wang (Stephanie Hsu) malah berpenampilan radikal dengan memilih pasangan lesbi Becky. Fakta ini tentu saja coba disembunyikan, agar Gong Gong tak shock.

Kembali ke kantor pajak, saat mereka di lift berangkat, Raymond menjelma seolah agen Men in Black. Dengan gerak cepat, cctv ditutup payung, ia memberi pesan intruksi, membisikannya pada sang istri. Perintah aneh, dengan earphone portable, dan selembar kertas tentang potensi segala dunia lain. Lalu saat akan pulang, aksi sesungguhnya terjadi. Dengan tas pinggang, Raymond mencipta kegaduhan, para pengaman gedung dibantai. Dalam keterdesakan, perintah Raymond malah terasa masuk akal. Everlyn dimintai tolong untuk memasuki dimensi antah, melihat potensi opsi hidup dirinya di masa lain, dirinya yang lain terbentang, lalu ia bisa menjelma, ia diminta menyelamatkan semesta dari kebengisan Jobu Tupaki. Sejenak timbul jeda yang tidak nyaman, tapi tindakan harus diambil. Mulai dari menit itulah, segalnya menggila. Amburadul, babak belur, porak poranda, hhmm… apa lagi ya untuk menggambarkannya. Intinya, layar dipenuhi segala hal tak teratur. Kita dijejali, potongan adegan seolah memasuki lorong, menjadi Evelyn yang lain, Raymond yang kain, Joy yang lain, dst. Segala-galanya ambyar.  

Apakah saya sudah bosan sama action gegayaan seperti itu? Yang utama selalu, bagiku adalah cerita. Buat apa film penuh gaya, pakai alat bantu tarung berlebih, berbaju badut, hingga mata palsu ketiga, kalau ujungnya cuma untuk berkunjung damai, dan segalanya baik-baik saja. Semuanya tak masalah. Template sejenis ini, di mana sang tokoh diajak menjelajah ke dimensi tak berbatas, berpetualang penuh nafsu fantasi, lalu pulang, dan tak apa-apa. Seolah kita terbangun dari mimpi. Mimpi sereal apapun, oh itu  hanya imaji.

Ada ironi saat Evelyn merasakan getar gairah mengaliri punggungnya, tahu kemungkinan lain di semesta lain, ia bisa jadi apa saja. Ia tersenyum, dan juga sedih. Sama saja, saya membayangkan, andai dulu saya mengejar Sherina Munaf membabi buta, salah satu jiwa saya di semesta lain, ada yang nyangkut sukses menjadikannya pasangan. Liar? Tidak juga. Sudah umum. Apakah ini ide baru? Jelas tidak. Malah terlihat klise dan usang. Modifikasi gentayangan di universe kalau ujung-ujungnya kosong, kurang menarik.

Untuk berpindah semesta, syaratnya terlampau sederhana, dan bisa dilakukan tergesa. Kurang renungan, dan terlalu mudah. Tak ada adegan moksa yang syahdu, tapa brata dengan lapis adegan jiwa terbelas misalnya. Atau aturan garis singgung yang mencipta khawatir. Di sini tak ada, A24 malah mencipta action dengan konveti ditebar sepanjang menit. Dengan alat, konsentrasi, klik, memasuki lorong, wuuuuzz… seolah film sci-fi. Tidak, saya tak terlalu nyaman melompat-lompat secepat itu. Berkali-kali saya menguap mengintip HP guna lihat jam, terasa sangat lama. Begitu pula, kakek-kakek di sampingku. Main HP mulu saking bosannya, dan bahkan dia pergi sebelum film berakhir. Permainan dimensi lain itu identik yang gelap-gelap, malah kita tak disuguhi deraan pikiran-pikiran gelap.

Kita maklumi betapa Evelyn khawatir, saat di kantor pajak suaminya akan merusak dengan melawan. Sayangnya emosi Evelyn tak berhasil menautkannya ke penonton. Memang orang harus hidup tenang dan stabil, membahayakan nyawa dengan main pukul tidak akan menyelesaikan masalah. Namun, saat segalanya berantakan, dan harus ada yang membereskan. Ia juga bisa silat, mencuri ilmu Evelyn yang lain. Hufh, ending saat meminta tas pinggang, itu jelas kita maklumi, tapi tak melegakan.

Adegan batu yang sunyi itu sejatinya sangat menghibur. Dua manusia potensi jadi benda mati, dan saling menasehati. Diakui kasih segala-galanya tentang segala-galanya. Krik… krik… krik… Beberapa detik membuatku menganga melihatnya, lain-lainnya terlupakan. Secara fisik dan temporal di dalam enklave-enklave dimensi seperti inilah, yang amat sangat keren. Sayangnya tak lama, sebab kita kembali ke hingar bingar taburan konveti.

Kusaksikan senin malam 4 Juli 2022 bersama May, yang saat akan mulai kujanjikan, kubisikkan “Ini film bagus, Bersiaplah.” Ternyata setelah usai komen kita tooossss, dia juga tak suka. Harapannya ketinggian, komennya: drama keluarga biasa, malah muter-muter dan akhirnya bahagia. Biasa banget. So, lihatlah. Ini dari kacamata awam, istriku bukan movie freak. Hanya nonton saat diajak, dan sepakat film so so. Hufh… jadinya nyesel ‘kan skip Broker.

Suddenly, everything. Sempat digadang-gadang jadi madness sesungguhnya ketimbang film Madness in Universe lainnya. Ternyata sama saja, gegayaan doang.

Everything Everywhere All at Once | 2022 | Directed by Daniel Scheinert, Dan Kwan | Screenplay Daniel Scheinert, Dan Kwan | Cast Michelle Yeoh, Stephanie Hsu, James Hong, Ke Huy Quan, Kamie Lee Curtis | Skor: 3/5

Karawang, 270722 – Etta James – At Last

Pertobatan

Kubah by Ahmad Tohari

“Ketika kau merasa berada dalam pikiran yang amat gelap, ketika kau merasa benar-benar tak berdaya, sesungguhnya ada tangan-tangan terjulur kepadamu…”

Novel pertama Ahmad Tohari yang kubaca. Lurus-lurus saja, dalam artian tokoh utama keluar dari penjara, menemukan jalan terang, lantas menikmati hari tua dalam ibadat. Hitam putih-nya jelas. Pemerintah sebagai badan yang memerangi PKI, menyapu semua hal yang bersinggungan, sang tokoh salah satu yang kena sapuan, selepas dibersihkan, ia kembali ke masyarakat, sempat bimbang dan galau, tapi nyatanya, ia disucikan. Segalanya terang benderang.

Kisahnya tentang Karman, yang dipenjara selama 12 tahun di Pulau Buru karena bersinggungan dengan partai Komunis. Ia kini bebas, menemukan dunia merdeka, dunia yang telah lama ditinggalkannya. Pada hari pertama dinyatakan menjadi orang bebas, Karman malah merasa dirinya tak berarti apa-apa, hina-dina. Ia tak serta merta bisa beradaptasi. Keluarganya kini memiliki kehidupan keluarga sendiri. Istrinya Marni telah menikah lagi. Maka ia di tengah kebimbangan. Saat sampai di kampung halaman Pagetan, ia ragu apakah bisa kembali diterima? “Sangat jelas terasakan ada garis pemisah yang tajam antara dirinya dan alam sekitar. Ia merasa tidak menjadi bagian dari bumi dan lingkungan yang sedang dipijaknya.”

Kisah lalu flashback ke masa lalunya, di masa kecil sebagai  anak dari keluarga miskin. Sekolah hanya sampai SMP dan bekerja sebagai pembantu di keluarga kaya Haji Bakir. Di sinilah ia bergolak, Pak Haji punya anak cantik sekali, Rifah. Ia jatuh hati, tapi kemiskinan mencipta ragu, apakah pantas, apakah bisa? “Sungguh dunia, seluruhnya, telah membelakangiku.”

Petaka tiba saat ia berkenalan dengan Partai Komunis lewat agennya, Kawan Margo. Pelan nan pasti ideology merah merasukinya, meyakinkannya. Karman memang didorong untuk membuang jauh semua kepercayaan atas segala sesuatu yang tidak membenda. Ajaran partainya mengatakan, apa yang tidak membenda sama dengan omong kosong. Bagaimana kaum miskin tertindas, bagaimana para jutawan semena-mena. Hal ini tentu juga disangkutkan dengan nasibnya sendiri. Cintanya yang kandas, memandang materi sebagai pertimbangan utama. Ia sesat, dan mendalami PKI, yang jua meninggalkan ibadah salatnya. Karman menjadi sekretaris dan mendedikasikan hidupnya untuk partai. Hingga akhirnya, sesuai sejarah tahun 1965, komunis digulung.

Kenapa saya bilang ini novel hitam putih, sebab jelas yang baik selalu diselamatkan, yang jahat terlunta-lunta. Baik-buruk juga dilihat dari sudut umum. Artinya, komunis itu jahat, makanya saat mereka dihilangkan, pemerintah seolah melakukan hal yang benar. Makanya, setelah Karman tobat, ia mendapat hidayah. Termasuk setelah berbagai kegalauan, ia mendapatkan hal-hal yang diharapkan. Istri, pertobatan, hingga kesempatan kedua. Sangat jelas, dan begitu memihak sisi malaikat.

Lihat bagian ini, “Kini satu-satunya taruhan yang menyebabkan dia masih ingin hidup, yakni harapan bisa hidup kembali bersama istri dan anak-anaknya, telah runtuh. Karman merasa dirinya benar-benar sudah selesai, tamat, hilang.” Bagian yang menjadikan sungguh segala kebaikan akan menuai kebaikan, sungguh pertobatan akan diterima dan segalanya akan indah pada masanya. Dan yang pasti, sikap putus asa tidak pernah menjadi jawaban yang benar.

Termasuk saat sakit, bagaimana setelah terpuruk dan lalu terlihat tanda sembuh. Ia meminta rokok. Bila orang sakit sudah ingin merokok itulah pertanda baik. Dan seperti semua harapan manusia, pada dasarnya manusia sebelum datang kematian, setiap orang akan mengalami satu di antara tiga cobaan: sulit mendapat rezeki, kesehatan yang buruk, dan hilangnya orang-orang terdekat. “… Untuk mendasari upaya penyembuhan jiwamu, kau harus memulai dari kepercayaan. Ya kepercayaan.”

Tuhan semesta alam, selalu memberi kesempatan bagi mereka yang mau bertobat. Bahwa ia mengatur segalanya, ada kekuatan besar yang berkuasa atas dirimu. Kekuatan itu mengatasi apa saja yang ada padamu. Pokoknya kau hanya memiliki kekuasaan yang kecil atas dirimu sendiri. “… Rasanya saya sudah kehilangan tujuan. Kehilangan segala-galanya. Hidup saya terasa sangat enteng. Dan kosong.”

Novel ini juara tahun 1981 dari Yayasan Buku Utama Kementerian P & K. Jelas, di masa itu hal-hal yang terasa mendukung program pemerintah, didukung. Era tak seterbuka sekarang, maka provokasi dari satra dirasa juga efektif. Ini termasuk buku-buku mula yang berani membahas tragedi 1965. Dan karena terasa sekali memihak pemerintah, partai yang terpinggirkan seolah isinya buruk semua.

Setelah Kubah, saya baca Di Kaki Bukit Cibalak. Malah terasa feel-nya. Bagaimana politik di desa memberi dampak serta pemecahannya yang bagus. Berikutnya, di rak saya ada Lingkar Tanah Lingkar Luar. Total punya tiga buku itu. Mungkin tak sampai membuatku jadi fans Ahmad Tohari, tapi jelas buku-bukunya laik dikoleksi. Termasuk yang fenomenal, Sang Penari.

Kubah | by Ahmad Tohari | GM 40101120067 | Penerbit Gramedia | Desain sampul Eduard Iwan Mangopang | Jakarta, 1995 | ISBN 9789792287745 | 216 hlm; 20 cm | Cetakan keenam, September 2017 | Skor: 4/5

Karawang, 150722 – 260722 – John Coltrane – Ruby my Dear

Thx to Gramedia World Karawang

Decision to Leave: Dalam Diam, Suara-Suara itu Meraung dan Bahasa Cinta Melolong

Di sebuah kota yang selalu diselimuti kabut…

Kalau saya membuka ulasan The Batman dengan kalimat, “Di sebuah kota yang selalu ditempa hujan…” Maka Decision to Leave kubuka dengan kalimat yang hampir serupa. Sesedikit mungkin tahu alurnya, semakin aduhai. Sedikitnya ada sepuluh kali saya bilang, “anjir keren keren, anjir keren keren, anjir keren keren.” Diolah berulang seolah mantra. Rumit, benangnya membelit hati.

===tulisan ini mungkin mengandung spoiler===

Jelas ini drama berkelas. Suka sekali adegan berlapis saat pengungkapan. Suka sekali bagaimana penjelasan bahasa cinta, tanpa kata cinta. Meskipun belum pernah cinta disebut-sebut di antara mereka. Tetapi keputusan melindungi itu seakan melemaskan lidah mereka. Suka sekali sama kegugupan diramu bahagia, saat ketemu tak sengaja di pasar ikan. Memandangi mereka secara bergantian sementara mereka berbicara, seakan mendengarkan dengan matanya. Saling tersenyum dan berbicara selagi masing-masing bersaing mengulur basa-basi normal sebab pasangan mereka ada di samping, sebelum akhirnya mengedip kode manja. Suka sekali bagaimana sang nenek memanggil Siri untuk menyenandungkan Kabut. Ah kabut, aduh kabut. Sejatinya apa sih warna kabut? Dan seribu satu kata suka sekali lainnya. Jelas, Decision adalah film terbaik 2022, sejauh ini.

Seorang pria ditemukan mati di hutan, polisi detektif Hae-jun (Park Hae-il) ditugaskan menyelidiki langsung. Di TKP, tampak meyakinkan ini bunuh diri, seorang hobi mendaki gunung, menjatuhkan diri dari bukit, apalagi ditemukan surat wasiat pamitnya. Sang istri korban Seo-rae (Tang Wei), seorang perawat saat kejadian secara meyakinkan di jam kematian sedang bertugas merawat lansia di panti jompo. Lapisan pertama tata cara deduksi, jelas tak mungkin manusia ada di dua tempat berbeda. Ia adalah warga China yang bermigrasi ke Korea. Izin tinggal sempat bermasalah. Namun berkat kejelian, ia berhasil bertahan.

Tersebab ia-lah orang terdekat korban. Ia dipanggil dan interogasi tertutup dilakukan, dengan kata-kata saling lempar, yang kita tahu ada aura saling jaga. Makanan mewah disajikan, dan es krim meleleh. Jangankan es krim, batu saja akan meleleh di dalam mulut perempuan secantik itu. Lalu terungkap ada masalah di keluarga ini, ada KDRT maka kita semua jadi perlu tahu seberapa parah luka di pahanya. Perlu memanggil polisi perempuan untuk mengecek? Oh tak perlu. Berikutnya keduanya diam lagi, saling tatap di kursi masing-masing. Dalam diam, suara-suara itu meraung dan bahasa cinta melolong. Betapa singgung kedekatan bisa menimbulkan asmara. Karena sering bertemu, ada riak di sana. Terlalu riskan, polisi berselingkuh dengan tersangka utama pembunuhan. Padahal Hae-jun memiliki kehidupan keluarga harmonis. Istri cantik yang se-frekuensi. “Harus tetap bercinta rutin, bahkan saat saling ngambek.” Perselingkuhan itu, jelas memberi pengaruh kuat keputusan akhir, dan juga riskan untuk kehidupan utama sang detektif. Terlalu besar pertaruhannya.

Pantas sekali menang Best Director di Cannes, yang mencipta decak kagum tentu saja adegan lapis kayak wafer, tempel-tempelan. Tak hanya sekali, beberapa kali muncul tumpang tindih. Sang pria, seorang suami yang tampak setia dan bersahaja, mencintai perempuan lain dengan penuh pengorbanan, bagaimana saat di puncak bukit melihat tindakan bayang, dorongan maut penuh kengerian. Setelah Hae-jun membaca sekilas-sekilas isi HP temuan itu lantas memahami semuanya, dia duduk gemetaran, tidak berani menyentuh bayangan surealis yang muncul karena takut melihatnya akan meledak di depan wajahnya, seperti bom rakitan sendiri. Angka di HP tercetak menjadi realita, mencipta pengungkapan tak terbantahkan. Terasa kabur fakta pahit itu, mencipta aroma kebingungan oh mengapa, seolah tak mampu meresapi lingkungan sekeliling.

Kukira saat tahu kebenaran akan mengambil sikap tegas, nyatanya logika kalah sama perasaan cinta. Saat perpisahan, dan ciuman di tengah dinginnya salju, ada getar gairah mengaliri, dan itu sungguh keputusan sulit. Usaha melindungi membutuhkan usaha yang cakap. Begitulah bila manusia mengecap kenikmatan terlarang. Dia membela tersangka habis-habisan sampai ke titik liur terakhir, tetapi sekaligus mengakui dia sangat mencintai istrinya.

Kata kabut disebut berulang, baik dalam bentuk puisi atau syair lagu. Lagu utama kisah ini, menjadi lagu wajib sang nenek yang ditanamkan Seo-rae. Banyak adegan kelabu memang di kota berkabut. Kabut tipis yang datang dan seolah tak mau pergi. Malam, saat menampilkan lanskap kota yang kosong diselimuti warna kelabu melankolis, bertabur titik-titik lampu kuning yang mengambang di udara seperti air mata. Kelabu seperi malam tak berawan. Jadi benarkan warna kabut itu kelabu?

Karena ini drama percintaan, adegan romantis melimpah ruah. Sekalipun thriller juga dominan, sejatinya ini tentang asmara hitam. Salah satu adegan bagus tersaji saat hujan, sepayung berdua, saling tatap di tepian gong, menyampaikan pendapat secara tersirat. Menikmati keheningan sarat rasa malu yang diperpanjang oleh raut senyum saling silang. Hanya selingan suara hantaman air hujan yang mengiringi. Sungguh ironi, adegan romantis sama pasangan resmi, di tengah-tengah kebahagiaan bagaimana suami-istri ini mengakali penuaan dengan daging kura-kura dan ikan, yang meranum setelah dipelihara begitu cermat. Dibaliknya, ada perempuan lain yang tak kalah intens. Hal-hal seperti itu meresahkan. Menclok sana-sini.

Mereka mengecap ribuan kesenangan yang menggoda, menemukan dunia alter baginya, dan menyelaminya dengan nikmat, seperti ikan tua berenang-renang di tengah cahaya matahari. Maka setelah memutuskan jaga jarak, lantas bertemu kembali, ada nuansa kenang. Hingga akhirnya kata ‘sebuah kebetulan’ yang janggal disampaikan, bagaimana sekali lagi kematian mengenaskan terjadi. Kejahatan kedua, menimbulkan kebimbangan lagi, dan ibaratnya, saat itu situasinya seperti tupai yang tersesat di hutan besi. Fatal, bingung, serba salah, dan kali ini keputusan berat kudu diambil. Hae-jun gemetar saking marah. Seo-rae gemetar saking syahdunya.

Ada kutipan menarik dari Konfusius, Orang baik memilih gunung, orang jahat memilih pantai. Seolah hanya selingan, maknanya benar-benar diterapkan. Pantai pun menjadi kata yang ditakuti di antara mereka, sayangnya dia suka pantai. Sebuah tanda kematian, dan mereka pun coba berpaling ke perbukitan. Namun tak semudah itu. Bunuh diri, gunung, pantai, dan mengapa memilih menikah sama orang yang penuh masalah. Manusia dari zaman batu sampai era modern selalu butuh pengakuan. Maka jawaban bahwa orang berbudi sepertimu sulit dijangkau malah menambah sesak di dada. Ahh… pantai. Terasa ngeri saat airnya menggeluguk di kaki berselimut pasir, dan perlahan tapi pasti semakin naik.

Sebenarnya tata kelola Decision bukan barang baru, film detektif dengan pengungkapan bagus seperti ini pernah kujumpai di Sherlock Holmes-nya Robert Downey Jr., ada slow-mo penuh penjelasan deduksi. Bukan barang baru juga, kebimbangan keputusan selingkuh orang kuasa sama orang lemah, yang bukan korban tapi malah penjahatnya. Soundtrack keren, juga banyak kita temui di film-film daun yang lebih aduhai. Namun mengapa, saya tetap terpesona saat hal-hal yang umum itu dirajut dan ditampilkan di layar? Bisa jadi kita haus film festival tayang di layar lebar, film bagus di tengah kemonotonan, sudah jenuh sama deretan film mainstream yang mengalir tiada henti. Ya gitu-gitu saja, ya biasa-biasa saja. Makanya, saat tahu bakal tayang di CGV langsung kuantisipasi, film festival Eropa muncul di Karawang lho. Langka. Dan benar saja, cuma seminggu tepat tayang, hari ini sudah turun layar.

Memutuskan cuti untuk Memutuskan Pergi. Kutonton Senin (18.07.22) di show pertama jam 11:15, jalan kaki dari rumah. Nonton sendirian, tak ada kawan sama sekali di bioskop. Kedua kalinya saya nonton sendiri seolah bioskop pribadi, yang pertama The Green Book. Sempat kukira batal, sebab sampai jam 11:30 belum juga nyala layarnya sekadar trailer atau iklan-iklan. Keluar lagi, minta tolong Pak Satpam, dan setelah kembali masuk, menanti lagi jam 11:45 akhirnya proyektor menyala. Terlambat 30 menit hufh…, tak mengapa, daripada batal. Resiko film daun di kota penuh daging. Cuti untuk merenung di bioskop itu, terbayar lunas.

Orang baik punya bakat alami untuk tahu bagaimana melaksanakan hal yang benar. Namun baik saja tak cukup di kota kabut, mungkin di kota kita juga. Sehebat apapun, manusia memang tempatnya berbuat salah. Dan saat kita menyadarinya, waktu sudah pudar seperti segenggam daun-daun layu.

Decision to Leave | Year 2022 | Directed by Park Chan-wook | Screenplay Park Chan-wook, Seo kyeong Jeong | Cast Tang Wei, Park Hae-il, Go Kyung-Pyo | Skor: 5/5

Karawang, 220722 – Jo Stafford – You Belong to Me

Neraca Kebenaran

“Saya tidak tahu apakah saya harus berdoa qunut pada salat subuh atau tidak, juga membaca Bismillah terdengar atau tidak? Sekarang berijtihadlah dengan diri sendiri. Amati para imam (manzhab), siapa diantara mereka yang menurutmu lebih utama, juga yang fatwa-fatwanya lebih pas dengan hatimu. Sebagaimana kamu sakit dan harus ke dokter, karena saking banyaknya dokter di kampungmu… maka begitulah kamu berijtihad dalam beragama. Siapa yang paling mendominasi dalam sangkaan Anda sebagai yang paling utama, maka ikutilah dia.”

Buku tipis, dicetak mungil. Bagus sekali, saya menemukan cara pandang baru terhadap Al-Qur’an. Makin tertancap yakin. Banyak hal memang tak bisa dilogika, maka terjadilah percakapan antara si Fulan (F) dengan Al Ghazali (G). Fulan dari sekte Syi’ah Batiniyyah. Diungkapkan dengan segala kelemahan dan kelebihannya, mencipta pesona dan sesuai tujuannya, agar kita bisa mengambil manfaat dari dialog-dialog ini dengan merenungkan hal-hal yang lebih tinggi daripada sekadar meluruskan manzhab Ta’limiyyah.

Parameter-parameter timbangan Al-Qur’an pada dasarnya ada tiga: parameter ta’adul (ekuilibrium), talazum (ekuivalensi), dan ta’anud (kontradiksi). Ditambah parameter ekuilibrium yang dipetakan menjadi tiga, akbar (besar), awsat (tengah atau medium), dan asgar (kecil), jadi kalau dihitung semua ada 5 parameter. “Dan jangalah kamu tergesa-gesa dengan Al-Qur’an sebelum disempurnakan pewahyuannya kepadamu, dan katakanlah: Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu pengetahuan.” (QS. Taha: 114)

Ketika si Fulan semakin paham, ia malah mendukung beberapa argument Ghazali. “Saya tahu sekarang, mengapa orang-orang berbeda pendapat. Mereka tidak mencerdasi kerumitan-kerumitan ini sebagaimana Anda mencerdasinya, sehingga ada yang salah dan ada yang benar.”

Maka dijawab dengan bijak, “Seyogyanya kita tidak mengingkari, dalil-dalil Al-Qur’an, meskipun kita melihat sisi-sisi keraguan pada premisnya, sebab dalil-dalil tersebut, memberikan api penerangan tersendiri bagi orang-orang yang mengakui. Anda bisa belajar menimbang yang betul dan memenuhi syarat. Maka setiap kali ada permasalahan, Anda bisa menimbangnya dengan parameter, lalu mencerdasi syarat-syaratnya dengan pemikiran yang jernih dan jerih payah yang cukup, maka pikiran Anda akan terbuka.”

Lalu Fulan melanjutkan, “Seorang imam yang bisa dianut haruslah memiliki mukjizat atau berargumentasi dengan nass (teks suci) yang turun temurun dari nenek moyangnya. Lalu dimanakah teks suci dan mukjizat Anda?”

Dijawab, “Ketahuilah bahwa orang yang bisa disebut ‘iman’ adalah orang yang belajar dari Allah dengan perantara Jibril. Ini jelas tidak bisa kuklaim untuk diriku. Tapi saat ada yang bilang, ‘Saya hapal Al-Qur’an’ ada tiga orang, mana yang paling kamu percaya? “Buktinya saya akan membaca Al-Qur’an tanpa mushaf.” Saya pikir Anda tahu pasti mana di antara bukti-bukti itu yang paling jelas bagimu, dan mana yang paling bisa dibenarkan.”

Manusia terdiri atas tiga kelompok: pertama, awam, kalangan bodoh yang selamat penghuni surga. Kedua, khawwas (elit), kalangan intelegensia. Dari kalangan inilah muncul kelompok ketiga yaitu pakar debat dan korius yang mengorek-orek kerancuan paham dalam Al-Qur’an untuk menyalakan fitnah. “Agama memiliki susul (wilayah prinsipil, dasar) dan furu (wilayah sub divisi, cabang), dan friksi perbedaan sama-sama ada dalam keduanya…”

Manusia tidak dibebani untuk salat dengan baju suci, melainkan memakai baju yang mereka sangka suci. Manusia tidak dibebani salat menghadap ke kiblat, tapi dibebani untuk salat yang disangka menghadap kiblat dengan pedoman gunung, bintang, matahari.

Kebanyakan penghuni surga adalah orang bodoh, sementara surga-surga illiyyin diperuntukkan untuk para cendekia. Sementara orang-orang yang suka mendebat ayat-ayat Allah, mereka menghuni neraka dan Allah bertindak dengan kekuatan bagi orang yang tidak bisa ditindak Al-Qur’an.

Buku mungil yang nyaman dan layak dikoleksi. Karena sistem dialog maka, muncul perdebatan dan pelurusan. Penyampaiannya juga harus mudah dipahami orang awam. Jika yang satu mampu meragukan (dan melemahkan) argumentasi yang lain maka konsklusinya harus ia terima. Yang diajarkan di sini, bagaimana cara menimbang hal rasional dengan bersandar pada manqul (tekstual) agar ujaran yang ada menjadi mudah diterima. Penalaran dan analogi. Dan terpenting, bila masih ragu juga, nasehatnya jelas. “Ambillah ilmu pengetahuan dari orang yang melalangbuana, mengenal dan meneliti. Serahlah diri Anda pada orang pakar.”

Neraca Kebenaran | by Al-Gazali | Penerbit Pustaka Sufi | Alih bahasa Kamran As’ad Irsyady | Penyunting Sabrur R. Soenardi, Pahrurroji M. Bukhori | Desain sampul A. Sobirin | Tata letak Ataya | Pracetak Abdullah, Rudi Parlin | Cetakan pertama, Januari 2003 | Pencetak Futuh Printika | xvi + 120; 12×18 cm | ISBN 979-97400-0-2 | Skor: 4/5

Karawang, 050722 – 150722 – 210722 – Maroon 5 – Sugar

Thx to Ade Buku, Bandung

Ada Hantu di Rumahku

Mr. Midnight #10 by James Lee

“Orangtuaku membawaku ke pemakaman tapi aku terpisah dan tersesat. Mereka pasti mencemaskanku…”

Khas R.L. Stine. Seolah bagian dari kasih horror remaja karya Stine, terutama Goosebumps. Templatenya sama, mengambil sudut pandang orang pertama, para remaja/anak-anak ini dihantui. Karena ini buku pertama James Lee yang kubaca, jadi sempat menebak hantu-nya mungkin hanya pengalihan isu, atau pemancing saja. Ternyata, beneran ada. Dan fun, jangan berharap horror penuh darah dan menakutkan, ini sekadar kisah hura-hura. Seperti rangkaian buku Goosebumps, memang terbuka untuk dikoleksi. Kalau dapat ya, diambil, kalau tak nemu tak mengapa.

Terdiri dua cerita.

#1. Siapa Penghuni Lain Rumah Kami?

Samantha Ming Yan dan adiknya Ashley mendapati kejanggalan di rumahnya. Saat Sam sedang ngumpul sama teman-teman untuk merayakan ulang tahun Katherine, Samantha baru teringat bahwa alamat tempat acara ditulis di kertas dekat telepon rumah. Maka, ia pun menghubunginya.  Bukan ibunya yang angkat, suara mendesah mengeja namanya, saaa… maaaan… tha… lalu ditutup. Saat dihubungi lagi, tak diangkat. Maka, saat sisa hari dengan muram mengikuti acara ulang tahun kawannya. Kawan-kawannya Erma, Cyril, Jet menenangkannya.

Ketika pulang, adiknya Ashley juga bercerita hal yang sama. Saat menelpon, hanya suara gemerisik dan mendesah. Ada hantu di rumah ini? keadaan makin gawat, saat kamar Samantha berantakan, dari jauh lampunya nyala, padahal ketika keluar kamar selalu dimatikan. Saat sampai rumah, lampu sudah padam.

Ditambah, banyak makanan di kulkas hilang, terutama daging. Jelas, ada orang asing yang masuk ke rumah ini. Maka, suatu ketika saat Samantha pulang drai lomba basket, mengambil jalur cepat melewati kuburan saat senja, ia melihat ada yang mengejarnya, entah anjing atau serigala, ia mendapat trauma ketakutan. Benarkan ada hantu yang meneror rumah ini?

Dia diberi nama William. Hhmmm… gitu ya, dinamai penghuni lainnya.

#2. Hantu Sekolah Kami

Tim Hantu yang terdiri dari Diyanah Atiqah, Serene Siow, Gukkan dan aku sang pencerita: Khairi. Suatu ketika mendapati hantu gadis di sekolah. Cantik sih, tapi bikin gidik sebab bisa menembus tembok. Mereka yang mencari hantu, saat bertemu beneran malah takut. Lalu ditemukan kasus pencurian. Komputer, sepeda, dan lainnya di sekolah hilang.

Anehnya, barang-barang itu ada di rumah Khairi. Jelas ia panik, kasus pencurian konsekuensinya berat. Merasa tak mengambil, mereka gegas ingin mengembalikan barang-barang tanpa ketahuan. Namun tiba-tiba muncullah si hantu gadis. Ialah pelakunya, dan ternyata ia ingin berteman.

Menyamar jadi adiknya, ikut sekolah. Ia di dunia hantu kzl sebab diperlakukan bak budak oleh sang master. Ia mengancam, menyuruh-nyuruh. Saat kenyamanan tercipta. Si gadis diberi nama Michelle Girl, menjuarai segala lomba olahraga, dari lari, lompat, hingga segala hal mustahil lainnya, sang master muncul. Ia menuntut balik, ancamannya mengerikan. Berhasilkah?

Buku yang lumayan, karena sudah tahu ini buku remaja, maka saya menempatkan diri di posisi remaja. Mengalir saja, dan berhasil. Terlepas kekurangan ini itu, plotnya yang sederhana, kejanggalan hantu sekolah, hingga bagaimana musuh utama manusia serigala terlampau mudah dikalahkan, apa yang disampaikan langsung in. Tak perlu membelit panjang lebar, langsung ke inti-intinya. Unsur humor juga kental, dihadirkan oleh kawan kocak Jet. Unsur drama juga muncul, bagaimana portal secara dramatis dibuka dan mereka melompat. Uniknya, karakter hantu/makhluk itu, keduanya diberi nama langsung oleh mereka. Jadi seolah mencomot langsung dari udara, nama yang terlintas, dan itulah namanya, seperti memberi nama binatang peliharaan.

Diterbitkan oleh penerbit Genera, baru dengar. Cara cetaknya mirip dengan karya R.L. Stine. Bahkan dibagian akhir, diberi sinopsis atau potongan adegan satu bab penuh buku berikutnya, yang berarti buku ke #11.

Kalau kalian suka Goosebumps, saya jamin kalian juga suka Mr. Midnight. Horror remaja dengan kaget-kagetan setiap ganti bab. Dan beruntung, saya dapat seri kesatu sampai lima bulan ini. langsung satu bundel. Mari kita nikmati…

Mr. Midnight #10 | Who Else Living in Our House?; Our School Ghost | by James Lee | Terbitann Angsama Book, Singapura, 2004 | Copyright 2004 by Flame Of The Forest Publishing Pte Ltd | Penerjemah Yohanes | Penyunting Anisa Ami | Proof reader Tim | Layouter D.A. Muharam | Desaigner Mangoteen Designs | Penerbit Genera Publishing, 2010 | ISBN 978-602-9395-09-9 | Skor: 3.5/5

Karawang, 190722 – Eagles – Hotel California

Thx to Ade Buku, Bandung

Pengelana Galau

In a Strange Room by Damon Galgut

“Berenang, tidur, merokok. Orang-orang yang datang kemari bersamanya tidak memercayainya keberuntungan mereka. Bagi mereka inilah Afrika sebenarnya, mereka datang dari Eropa untuk mencari tempat seperti ini, bukan liburan mahal seperti yang diperlihatkan di Air Terjun Victoria, atau hal berbahaya dan menakutkan yang mencoba menyakiti mereka di kereta. Di tempat ini, setiap orang berada di tengah alam semesta sekaligus di waktu bersamaan tidak berada di mana-mana. mungkin ini yang disebut pemenuhan spiritual, mereka sedang berada dalam pengalaman spiritual.”

Dibagi dalam tiga bagian, perjalanan di tiga benua. Afrika sebagai home town sang penulis, ke Eropa ke tempat kenalan saat petualang, dan terakhir ke Asia, tepatnya Bombay, India. Secara umum, kisahnya acak, seenaknya bagaimana menyampaikan kisah, tak fokus ke mana arah mau dibawa cerita, makanya terbaca aneh, atau inti cerita mau ngapain jadinya tak jelas. Terlalu lama berkeliling tanpa menetap di suatu tenpat telah membuatnya jauh dari dunia nyata, bahkan ketika sejarah digoreskan di mana-mana. “Aku sudah minum dua gelas kopi hari ini. aku tidak minum lebih dari dua gelas kopi tiap dua belas jam.”

Pertama, berjudul Si Pengikut, kita diajak ke Eropa. Sang Penulis, dengan mengambil nama depan saja Damon berkelana. Mulai dari Inggris, Prancis, Italia, Yunani, Turki, sekarang kembali ke Yunani. Di sinilah Damon berpapasan dengan Reiner, yang satu ke kota Mycenae, yang satunya ke Sparta. Awalnya sekadar sapa, lalu satunya berbalik. Perkenalan dengan pemuda aneh nan merdeka ini mengubah banyak hal. Merasa senasib dan sama-sama suka penjelajahan mereka berkenalan lantas berteman. Di ruang yang aneh, di mana keduanya seolah kekasih, jatuh hati, dan janji temu lagi suatu hari.

Lalu Reiner berkunjung ke Afrika Selatan, main ke rumah Damon. Permintaan aneh, hanya berdasar alamat tak mau dijemput di bandara, ia menelusur jalanan. Menginap, berjalan-jalan, mencari jejak, kegiatan apapun, menikmati hari. Awalnya menyenangkan. Kunjungan sahabat lama, jalan-jalan ke Lesotho, lintas kota, lintas Negara. Lalu hubungan mereka merenggang. Setelah naik turun bukit, menyaksi bukit, pemandangan alam Afrika menakjubkan, mereka mengalami selisih paham. Jadi pada titik perjalanan ini, ada saat-saat bersatu dan ada saat-saat berseteru.

Reiner yang kaya, memback-up semua keperluan akomodasi Damon, bagaimana bayarnya? Suatu saat nanti saja, tak perlu dipikirkan. Namun biaya tanggung itu mencipta perasaan tak enak Damon, ia merasa beban. Merasa tak punya suara, saat terjadi debat arah jalan, hingga perasaan muak didominasi. Konfliks kecil, riak besar. Membiarkkan dendam kesumat atas pembunuhan putrinya. Tak sesuatu pun bisa membahanbakari keinginan membalas dendam sehebat kesedihan mendalam.

Kedua, dilabeli Si Pencinta, kita diajak berkenalan dengan rombongan turis dari Eropa. Jerome, Alice, Christian, Roderigo, dkk. Mereka dalam perjalanan kota-kota, jalan-jalan tanpa tujuan jelas. Satu kaki terayun melewati kaki lain, setiap tapak kaki tertanam dan bergerak ke depan. Jalan kaki memiliki ritme yang bisa membuatmu melayang. Sebagai tuan rumah benua, walaupun bukan hanya Afrika Selatan, Damon malah merasa jadi beban. Kali ini bukan masalah keuangan, tapi malah hal-hal dasar. Dari visa, hingga kegamangan pilihan. berkutat di Benua Hitam Tanzania, Kenya, Zanzibar, Zimbabwe, hingga Malawi.

Dalam sebuah dramatisasi adegan, mengejar bus setelah melakukan penyogokan di perbatasan karena tak punya visa, teman-teman yang dikejar itu malah berikutnya ditinggal, setelah janjian akan bertemu kembali di Inggris. Secara tiba-tiba memutuskan pulang setelah berkenalan dengan orang yang kebetulan mau ke Afrika Selatan.

Inti cerita kedua, bukan di situ, tapi malah petualangan di Eropa. Main ke rumah Jerome, disambut dengan sangat hangat oleh keluarga temannya. Lalu saat temannya wajib militer, ia ke Negara lain. Pengelanaan yang umum, hingga akhirnya menerima kabar menyedihkan. “Aku kemari untuk merenung.”

Ketiga, kita bersama Anna, teman sekaligus pacar temannya. Ke India, menelusur budaya. Banyak area kumuh, banyak kunjungan ke tempat-tempat eksotik. Sayangnya bagian terakhir ini, Damon mendapati teman perjalanan bermasalah. Sakaw narkoba, punya pacar cewek, hingga niatannya bunuh diri. Memiliki penyakit mental yang ke mana-mana bawa obat. Tujuan utama ke India untuk healing, malah ambyar. Hufh… Yang pada akhirnya obat itu malah ditelan bersamaan membuat repot semua orang. Di setiap keberangkatan, jauh di lubuk hati terdalam, seperti titik hitam, muncul ketakutan akan kematian.

Sekarat, diselamatkan malah marah-marah. Menghubungi keluarga di Cape Town untuk menjemputnya, hingga keputusan-keputusan konyol lainnya. Dunia hitam di tanah orang, merepotkan, mengesalkan. Apakah bisa selamat, Anna?

Kisah dibuku ini langsung mengingatkanku pada film The Man with the Answers. Lelaki galau melakukan perjalanan laut, berkenalan dengan lelaki tamvan tapi tampak nakal. Awalnya pasif saja, tapi setelah turun dari kapal, berkendara mobil tua, mereka malah saling mengisi dan menjaga. Di Jerman segalanya berakhir. Nah, bagian pertama buku ini mirip sekali. Namun di The Man with the Answers jelas motif dan plotnya, apa yang akan diraih di kota tujuan. Sementara In a Strange Room, mau apa dan ngapainnya tak jelas. Mau merenung di tempat terpencil? Mau menyatu dengan alam? Atau mencari jati diri? Jelas dengan alasan itu kurang kuat, ditambah, Damon tak terlalu mempermasalahkan uang, artinya ia kaya, tak terlalu takut duitnya habis, tak detail penjelasan bagaimana ia bertahan hidup dengan uang seadanya, walau seringkali bikin tenda untuk menghemat, seringkali pula menginap di hotel. Ini jelas buku orang jalan-jalan saja. Dan kisah sejenis ini, kurang konfliks, kurang menarik. Malah tampak konyol, saat di India bersama teman wanitanya, hambar.

Saya membeli buku ini karena berlabel Nominator The Man Booker Prize 2010 untuk novel The Good Doctor, bukan buku ini. yah, seperti Eka Kurniawan untuk Lelaki Harimau, bukan O. kurang lebih seperti itulah, mungkin saya akan terpukau sama The Good Doctor, dan merasa standar untuk O. Mari kita buru…

In a Strange Room | by Damon Galgut | Copyright 2010 | Published by Atlantic Books Ltd. | Alih bahasa Yuliany dan Shandy T | 188102536 | ISBN 978-979-27-8972-0 | Penerbit Elex Media Komputindo | Cetakan pertama, 2010 | Skor: 3.5/5

Karawang, 140722 – Manhattan Transfer – Birdland

Thx to Ade Buku, Bandung

Fantasi yang Sama, Aturan yang Sama, Petualangan Berbeda

The Emerald Atlas by John Stephens

“Sayangku, begitu kau masuk selku, aku melihat bahwa buku itu telah menyentuhmu. Itu hanya bisa terjadi jika kau dan adik-adikmu adalah anak-anak yang selama ini kutunggu-tunggu. Dan kaulah orangnya, dari semua anak, aku tidak salah membaca pertanda.”

Ini buku trilogi, buku duanya sudah saya punya. Untuk buku satu ini lumayan bagus, dimana sihir dan aturan main manusia abadi tampak menarik. Di dunia fana ini, fantasi manusia melalangbuana hingga tak berbatas. Maka kehidupan khayal penyihir abadi, permainan waktu, bisa acak nan non linier, sehingga makna dan arti hidup itu sendiri jadi rancu. Dengan bantuan buku album foto, tiga saudara terpilih masuk ke dimensi waktu, mundur di zaman orangtuanya masih muda, dan bertemu lawan berat, menyelamatkan masa. Karena ini berseri, saya bisa simpulkan endingnya ketiganya selamat, sekalipun sekarat.

Kisahnya dibuka dengan pilu, Kate si sulung diminta ibunya untuk menjaga kedua adiknya: Michael dan Emma. Kedua orangtuanya pamit, di malam Natal. Bukan pamit biasa, mereka menghilang. Anak sekecil itu mendapat tanggung jawab besar. Kate satu-satunya anak yang memiliki kenangan sungguhan tentang ayah dan ibu mereka.

Mereka lalu tinggal Tinggal bersama Wanita Angsa. Lalu di panti asuhan. Panti Edgar Allan Poe untuk anak-anak yatin piatu harapan dan tidak dapat disembuhkan. Jauh dari kasih sayang orangtua, dan durasinya lama. Selama sepuluh tahun, Kate mempertahankan keluarganya sendirian dan tekanan itu nyaris membuatnya runtuh. Waktu melesat dan mereka kini remaja. Mendapat kunjungan aneh, yang mengarah pada sebuah kastil tua. Lalu mereka ke sana, diperkenalkan dengan Abraham dan diingatkan agar jangan nakal.

Lantas sebuah keajaiban terjadi, sebuah album foto tua dibuka dan wuuuuuzzzz…. Mereka bertiga masuk ke masa foto itu dibuat. Ketakutan yang dirasakannya ketika pertama kali melihat rumah ini terasa menyelubungi jantungnya seperti besi dingin. Bukan sembarang foto, mereka ternyata terperangkap dalam perseteruan masa lalu. Kate menduga dia sedang berhalusinasi. “Ada tempat-tempat di dunia ini yang berbeda dari semua yang lain. Hampir seperti negeri yang terpisah..”

Dengan penyihir Dr Stanislaus Pym, mengarah pada percarian buku tua. Buku Permulaan yang disimpan di kota mati. Para penyihir menciptakan tiga buku tebal yang mereka namai Buku-Buku Permulaan. Mereka menguburnya di ruang penyimpanan rahasia di bawah kota. “Bayangkan sesuatu yang begitu menakutkan dan dahsyat sehingga harus dikubur dan disingkirkan dari hadapan manusia.” Segalanya hening dan diam. Oh, keheningan yang terjadi sungguh mencekam.

Mereka dalam kejaran penyihir jahat yang juga menginginkan Buku Permulaan. Sang Countess punya rencana busuk khas penjahat, dan itu membuat gemetar mereka, bahkan hanya dengan memikirkannya. Dengan pasukan mengerikan, di mana makhluk itu abadi, tak bisa mati, tapi jiwanya sudah terjual. “Orang bilang jeritan mourn cadi adalah jeritan jiwa mereka yang dihancurkan, lagi dan lagi, untuk selama-lamanya. Satu sudah menakutkan, tapi seribu secara bersama-sama dalam peperangan?”

Buku itu ada di sebuah tempat dalam tanah, dan kini harus ditemukan. Calmartia, kota mati. Kota kuno kurcaci. “Buku ini dikubur di bawah kota kurcaci! Di ruang rahasia yang dibangun kurcaci! Buku ini miliki kamu kurcaci! Titik! Tamat! Habis perkara!”

Lalu keajaiban demi kejaiban terjadi. Pelarian, pencarian buku, hingga Fanta mengejutkan dimana mereka berhasil menembus waktu bertemu ibu mereka yang masih muda. Ditambah, Emma yang jatuh hati sama seorang petualang. Kembali ke Baltimore.

Kisah ini semakin mendekati akhir semakin mendebarkan. Ada yang terluka parah, “Seharusnya kita tidak meninggalkannya!” Emma melepaskan diri dari cengkeraman Kate, dan dia menangis karena frustasi serta malu. “Dia sudah membantu kita, dan kita melarikan diri seperti pengecut.”

Ada yang memberontak, ada yang berkorban. Namun sayangnya, endingnya di air terjun saat kapal itu bergerak, agak rusak. Dari danau Champlain, air mengalir membentuk sungai dan lantas di air terjun secara dramatis terselamatkan. Seolah mengampangkan eksekusi akhir, dan segalanya baik-baik saja. Harusnya bisa lebih pilu, bisa lebih sedih.

Temanya terlalu umum. Khas superhero yang memberi wejangan dan hikmah tersirat. “Sangat berani. Sangat mulia.” Begitu juga tentang ramalan, seperti dalam Harry Potter yang meramal lawan Lord Voldermort suatu saat terlahir akhir Juli. Ah, umum sekali. Ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan: ramalan dan segala yang berkaitan dengannya.

Juga permainan waktu. Kita sudah menemukan kisah sejenis di banyak kisah fantasi. Hanyapola dan tata caranya saja yang dirubah. “Atlas mengizinkan penggunaan penghentian wkatu. Untuk bergerak melintasi peta dunia…”

Lalu tentang manusia terpilih. Seperti Potter yang mendapat julukan The Chosen One. Di sini sama saja. “Kau dan adik-adikmu adalah tiga orang terpilih, dan Atlas sudah menandaimu sebagai miliknya… Atlas bagaikan lautan luas berisi ilmu dahsyat. Beberapa tetes darinya sekarang mengalir dalam pembuluh darahmu…”

Dengan pola yang sama, aturan yang sama, bagaimana bisa buku fiksi tentang sihir masih bisa laku? Yup, selama kehidupan ini ada kisah-kisah modifikasi akan selalu dibuat. Kulihat, The Atlas Emerald banyak sekali meniru aturan Harry Potter. Masalahnya, Potter sendiri juga sama saja banyak mengambil mitologi dan bukan barang baru. Anak yatim piatu, dititipkan, buku sihir, permainan waktu, makhluk ajaib, hingga orang kepercayaan yang banyak membantu. Begitulah, tak mengapa. Buku dua mungkin sama saja, menempel aturan tersebut, yang jelas petualangannya berbeda. Dan itulah mengapa, buku-buku sejenis masih layak dibaca dan koleksi. Jadi, mari kita lihat seberapa menggairahkan Buku Api.

Buku 1: Buku-buku Permulaan | by John Stephens | Diterjemahkan dari The Emerald Atlas | Copuright 2011 | Writers House | LLC and Maxima Creative Agency | Alih bahasa Poppy Damayanti Chusfani | GM 322 01 11 0019 | Desain dan ilustrasi cover eMTe | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Juli 2011 | 480 hlm; 20 cm | ISBN 978-979-22-7405-9 | Skor: 4/5

Untuk Orangtuaku

Karawang, 030522 – 130722 – Image Dragon – Believer

Thx to Ade Buku, Bandung

Dua Drama Mendebarkan di Atas Kapal

“Aku memahami pokok-pokok, bahaya dan kerasnya serangan dan pertahanan, teknik berpikir bergerak ke depan, perencanaan, dan serangan balik. Dan aku mampu mengenali kepribadian dan gaya masing-masing…”

Menakjubkan. Bagaimana bisa dua buah cerita pendek, tapi tak terlalu pendek, bernarasi di atas kapal. Polanya sama, bertemu orang asing, lalu bercerita. Dua drama yang menakjubkan. Untuk buku ini, kekuatan cerita yang utama. Menegangkan, bahkan hanya dari dua orang duduk ngobrol kita turut khawatir dan ketakutan. Yang pertama, curhat dokter yang ketakutan sebab menyimpan rahasia gelap. Kedua, curhat mantan tahanan Nazi yang jenius aneh, sebab dalam penjara secara tak sengaja menanamkan buku catur di otaknya. Keduanya sungguh brilian cara penyampaiannya, cara menyelesaikan masalahnya, cara mengakhiri cerita.

Amok secara hebat menelusur masa lalu sang dokter yang terasing, bagaimana masa lalu menciptanya jadi segila saat ini. The Royal Game juga sama, secara hebat menelusur sang dojter yang terasing, bagaimana masa lalu menciptanya jadi sejenius saat ini. Keduanya ditempa kesepian, keterasingan, dipaksa keadaan. Dan keduanya menjadi tokoh sentral yang bercerita pada sang aku, sang aku menjadi pendengar yang sangat baik, lantas menjadi penulis kisah yang brilian.

#1. Amok

Dinarasikan oleh penumpang tak bernama, sang penulis yang naik kapal dari India. Tiket sudah habis, tapi kalau ada kapal dari Hindia Timur nanti dikabari. Dan benar saja, ada tiket murah menuju Eropa, seadanya. Ga masalah, sebab ia memang ingin gegas mudik. Selama perjalanan kapal India ke Eropa itulah ia berkenalan dengan orang aneh di dek gelap.

Setiap tengah malam, ia ngopi menikmati kesunyian, memandang cakrawala. Lalu secara tak sengaja bersinggungan dengan orang aneh, yang mabuk dan waspada. Kesamaan sepi dan nasib menyatukan mereka, lalu ia pun menjadi pendengar kisah menakjubkan tentang cinta yang kandas dan rahasia besar.

Seorang dokter Belanda yang ditugaskan di Pulau Jawa, keterasingan dan beban hidup yang ditimpakan membuatnya kesepian. “Dalam keterasingan yang bagai neraka ini. Ah, hutan, keterasingan, ketenangan, saya bermimpi!” Keseharian melayani masyarakat, pernah membantu anak walikota yang kakinya terluka, terkenal baik hati dan suka menolong. Hingga pada suatu hari muncullah tamu agung, seorang istri pejabat Belanda yang galau. Awalnya ngaku sakit kecil, “Bukan hal serius, hanya hal-hal kecil, masalah perempuan… pusing-pusing, pingsan.”

Keluhan sakitnya, tak secara langsung disampaikan. Secara tersirat meminta tolong, tapi sang dokter memberi bayaran berat, yang ditolak, tarik ulur itu menghasilkan putusan memalukan. “Ada percikan hasrat dalam diriku mengatakan: jangan terlalu cepat! Ciptakan kesulitan. Buatlah dia mengemis!”

Sang dokter yang kesepian, hasrat seks-nya yang selama ini tersalur dengan penduduk lokal yang pasrah dan dingin, kini mengingin perlawanan. Dan cintanya terhalang tembok besar. “Saya sangat lemah terhadap wanita dengan sikap dingin dan angkuh.”

Suami pejabat itu akan turun dari kapal hari Sabtu, maka mereka yang kembali bertemu di pesta jamuan malam tampak canggung, dan sayangnya takdir yang menyentuh mereka adalah putusan hitam. “Bila Anda telah kehilangan segalanya, Anda berjuang mati-matian untuk yang terakhir yang tersisa, dan yang terakhir adalah warisannya kepada saya, kewajiban saya untuk menjaga rahasianya.”

Dan di sinilah, di atas kapal perjalanan jauh ini sang dokter memiliki misi menjaga warisan rahasia itu. Di Napoli, segalanyanya ditutup. Pilu, sedih, tragis.

#2. The Royal Game

Bertema catur, duo jenius beradu di atas kapal. Yang pertama adalah juara dunia yang ditemukan secara tak sengaja oleh bapak pendeta di Yugoslavia. Anak yatim piatu bernama Mirko Czentovic yang tinggal di gereja menjadi anak asuh. Tumbuh buta huruf, tak mengenal sekolah, seolah tanpa harapan. Namun suatu malam saat sang pendeta main catur melawan si polisi, ada panggilan tugas mendadak yang memaksa permainan dihentikan. Pak polisi yang mengamati bocah yang penasaran melihat papan catur, mengajaknya melanjutkan main, dan si bocah menang. Menantang berulang, menang terus, besoknya bapak angkatnya penasaran dan saat bertanding si bocah menang berulang kali. Hingga akhirnya mencipta kegemparan, jenius catur ditemukan. Hingga ia mendapat gelar juara dunia. Yang kedua adalah penumpang asing, yang secara tak sengaja turut serta pusaran permainan.

Nah, dalam perjalanan kapal uap dari New York ke Buenos Aires. Si aku (lagi-lagi mengambil sudut pandang penulis) penasaran, sebab di kapal ada juara catur, ia coba memancingnya. Menantang main catur sama sobatnya McConnor di area merokok, lalu menggoda temannya untuk menantang sang juara dunia. Promotornya memiliki banyak syarat, salah satunya ada uang yang dipertaruhkan, dua ratus lima puluh dollar dalam satu permainan. Tak masalah, Czentovic melawan semua penonton, artinya boleh membantu memberi saran, dan pertandingan dilakukan jam 3 sore.

Seperti dugaan, McConnor kalah. Dan menantang tanding ulang, dan saat di tengah permainan, McConnor diberi nasehat orang asing. Penonton di belakangnya nyeletuk, kasih nasehat, beri saran tiap langkah, dan hasil seri sepertinya sudah cukup. Benar saja, semua intruksi diikuti, sampai membuat jenius kita kewalahan, hingga meminta seri. Pikirannya yang cepat harus menghitung semua pergerakan lawannya mungkin terlebih dahulu.

Besok, juara dunia yang penasaran malah gantian meminta tanding lagi. Di jam yang sama, dan kali ini sang aku meminta bantuan orang asing tersebut, dan tahulah kita semua masa lalu Dr. B. Bagaimana ia mendapat ilham catur, di penjara, introgasi, frustasi, dan dalam keterasingan, ia mendapat ilham. “Dan dengan empat atau lima benda-benda yang bisu: meja, tempat tidur, jendela, wastafel. Kauhidup seperti penyelam di lautan hitam dalam keheningan… ketiadaan di mana-mana.”

Buku yang diambilnya, diselundupkannya adalah buku catur, dank arena dalam penjara tak bisa ngapa-ngapain, ia lalu memelajari catur dengan luar biasa intens, menciptanya jadi manusia super. “Aku bermain ‘buta’ menggunakan istilah teknis. Catur memiliki efek mengagumkan karena energi intelektual yang dikumpulkan dalam bidang sempit yang dibatasi. Aku memikirkan kemustahilan yang aneh: ingin bermain catur melawan diriku sendiri.”

Singkat cerita, besoknya ia maju dan meminta jangan terlalu berharap banyak, ia mengingatkan sang aku untuk menegurnya, bila meminta tanding ulang, ingat ini hanya satu laga. Duo jenius berhadapan, siapa menang?

“’Kau bermimpi’, aku berkata pada diriku sendiri. ‘Kau bermimpi’ apapun yang kau lakukan, jangan buka matamu! Membiarkannya pergi, mimpi ini. atau kau akan melihat kamar yang terkutuk di sekitarmu lagi: kursi, wastafel, meja, dan wallpaper dengan pola selalu sama. Kau bermimpi, pergilah dari mimpi!”

Ini adalah buku Stefan Zweig pertama yang kubaca. Bagus banget, dua cerpen (atau bisa disebut juga novela) yang kusikat dalam dua kali kesempatan duduk. Malam Minggu (09/07/22) dan Minggu paginya di suasana Adha. Ada biografi singkat sang penulis di halaman belakang, perjalanan hidupnya yang membenci Nazi, dan bagaimana ia mengungsi ke Inggris lantas ke benua Amerika dan memutuskan bunuh diri, bergitu juga istrinya. The Royal Game adalah karya terakhirnya, dan malah menjadi buku perdananya yang kulahap. Di rak ada buku satu lagi karya beliau. Tak sabar rasanya, apa kekejar bulan Juli ini juga?

The Royal Game and other stories | by Stefan Zweig | Penerjemah Maria Vregina & Aprilla Rizqi Parwidanti | Editor Wayan Darmaputra | Penyelaras akhir Naufil Istikhari KR & Wahyudi Kaha | Perancang sampul dan lukisan Anzi Matta | Penata letak Mawaidi D. Mas | Penebit Papyrus, 2017 | Cetakan pertama, 2017 | vii + 239 hal; 13 x 19 cm | ISBN 979-602-19513-9-2 | Skor: 5/5

Karawang, 110722 – Caro Emerald – Back it Up

Thx to Warung Sastra