Aftersun: Separo Kenangan, Separo Ilusi


“Saat kamu berusia 11 tahun, menurutmu apa yang akan kamu lakukan sekarang?”

Apakah arti semua itu? Apakah perjalanan film berakhir dalam paradoks? Tak terjelaskan makna berikutnya, setelah Calum berbalik, keluar dari pintu itu. Biar penonton sendiri yang menerka apa yang terjadi. Kemungkinan-kemungkinan apa sajakah yang dimiliki manusia ketika terjebak dalam dunia yang telah ada ini?

Ya ampun cantik sekali Aftersun. Salah satu terfavorit tahun ini. Hubungan ayah anak yang hangat. Liburan berdua bersama ayah, manjadikan mereka makin dekat. Ayah yang frustasi, mempelajari Tai Chi, mencoba refreshing dengan anaknya. Ayah depresi yang tak menyangka menyentuh usia 30 tahun. Anak, yang cerdas, kritis, mencoba menikmati hari, sementara waktu jauh dari ibunya. Ini adalah momen indah di ulang tahun ayahnya, jadi harus dimanfaatkan dengan baik. Jadikan kesenangan adalah motor serta norma dari seluruh acara ini, itulah kehidupan kita. Liburannya jauh, mencapai Turki di sebuah resort sederhana. Dan begitulah, hubungan hangat anak-ayah ini dikupas mendalam. Indah, dan seperti kenangan indah lainnya, akan mengulik otak kita di kemudian hari.

Sophie Peterson (diperankan dengan imut sekali oleh Frankie Corio), berusia 11 tahun. Melakukan rekaman di kamar hotel saat liburan bersama ayahnya, Calum Peterson (diperankan dengan hebat oleh Paul Mescal) yang ditanya, ‘apa yang akan dilakukan ayah saat berusia 11 tahun?’. Lalu adegan ditarik ke awal.

Pembuka cerita yang wow. Sophie dengan kameranya. Saat mengintip lewat televisi yang menayangkannya, kita merasa seakan kita telah menemukan area abu-abu kenangan berselimut kabut, separo kenangan, separo ilusi.

Dalam perjalanan bus, seorang pemandu wisata mengumumkan dengan mik yang mendengking. Kota diplesetkan Calum dan ditertawakan Sophie, sebuah permulaan manis. Namun saat sampai hotel di Turki, ternyata pesan kamar dobel bed yang didapat single bed. Calum meminta tambahan, kasur kecil disediakan di sampingnya. Hotel murah yang mengganggu, termasuk saat ada perbaikan bangunan yang sungguh tak nyaman, suara denging palu para tukang.

Dari sinilah mereka lantas saling mengisi. Calum mencoba menyenangkan anaknya. Sophie mencoba menyenangkan ayahnya. Ini momen mereka, yang kelak akan dikenang. Banyak hal lantas bersinggungan. Misal, kacamata mahal untuk menyelam Sophie jatuh. Ayahnya dengan gesture diam sebenarnya marah, itu kacamata mahal. Sophie-pun tahu, ia ga enak ati. Menempatkan diri juga penting baginya.

Lalu saat melihat para remaja kasmaran, berciuman di kolam, mabuk, kebebasan. Bahkan gelang kuning yang dipakai orang lain, sebuah privilege. Karena mereka menyalakan musik terlalu nyaring dan tertawa-tawa terlalu sering. Menimbulkan gejolak Sophie, ia menjadi penasaran, dan mengamati. Sebuah pengalaman baru untuk anak seusia itu. Kesempatan itu muncul saat remaja cowok main gim arcade balap, lalu Sophie join in. Michael mengakrabkan diri, dan akhirnya mereka menjalin komunikasi lebih lanjut.

Gaya rambut dikucir kelabang satu ekor itu sungguh memikat. Cantik, cantik sekali. Dalam sebuah adegan sendu, malam ayahnya membelai rambutnya. Sophie tiduran di pahanya, mereka bercerita tentang rumah. Sophie merasa bahagia di Skotlandia, itu untuk saat ini. nanti, kelak suatu hari kamu akan memiliki kesempatan lain. Mau ke manapun yang kamu mau, mau sama siapapun yang kamu suka. Ditutup dengan kecupan hangat seorang ayah ke pipi putrinya. Hiks, sedih. Mereka mengobrol hal-hal sepele, tapi rasanya mereka mengobrol topik penting.

Ini bisa berarti Aftersun bukan mempelajari realitas melainkan eksistensi. Dan eksistensi bukan apa yang terjadi, eksistensi adalah dunia kemungkinan-kemungkinan manusia, manusia bisa jadi apa saja, ia mampu melakukan apapun yang ia inginkan.

Atau saat acara karaoke malam, sejatinya Sophie ingin mereka duet ke panggung bernyanyi bersama. Namun ayahnya tak setuju, maka Sophie menyanyi lagu Losing my Religion-nya R.E.M sendiri, yang terdengar kacau. Makin kacau, seusai nyanyi ayahnya bilang, ‘kalau mau les nyanyi aku bayari’, yang wajar sekali dijawab ketus. ‘suaraku jelex ya?’. Engga, maksudnya semua orang bisa belajar. Weleh, kamu miskin! Momen sedih, yang menampar kita. Refleksi mengubah esensinya, yang secara esensial mengandung pertanyaan, ia bersifat hipotesis.

Momen penting lainnya saat mereka ke toko karpet. Harganya sungguh sangat mahal, rasanya tak worth it untuk dibeli. Lihat ekspresi Calum saat mendengar nominal, weleh-weleh, cuma bisa bilang thanks. Namun harus kita maklumi, mengapa ia akhirnya kembali ke sana sendirian, membelinya. Sambil terduduk lemas menyandarkan diri. Terpuruk dalam ketidakberdayaan, demi putrinya, demi harga dirinya. Lantas meniduri karpetnya dengan helaan napas lega. Sesuatu yang tak terjangkau, tapi dijangkau. Karpet itu memberi tanda gairah, sesuatu tak dimilikinya. Setiap karpet memiliki ceritanya masing-masing. Hidup ini singkat, makanya tak perlulah merindukan sesuatu yang tak dimiliki. Sungguh pas ia berkorban, nekat membelikannya untuk Sophie. Karpet itu kelak akan menyelimutinya. Bahwa mereka pernah melakukan liburan bersama, masa-masa istimewa. Kalau kalian jeli, karpetnya sendiri ada di eksekusi jelang ending jadi tampak sungguh penting sebab saat Sophie dewasa (Celia Rowlson-Hall), karpet itu tersedia, dan terasa hampa memenuhi relung kamar Sophie tanpa kehadiran ayahnya. Benda khusus dan kontingen. Kontingen adalah lawan untuk niscaya atau mutlak perlu. Berarti bisa ada tapi bisa juga tidak ada. Di sini ia menjadi saksi, dan itu bagus.

Lalu adegan saat layar dipecah dua, dipisahkan tembok. Ayahnya membuka perban tangan kanannya, Sophie membaca buku di kamar lain. Terjadi dialog panjang. Dan ayahnya menjelaskan beberapa hal bagi anak-anak susah dimengerti.

Satu lagi yang menurutku brilian, yang terbaik malah menurutku, adalah adegan endingnya. “I don’t dance” itu memenuhi ekspektasi secara keseluruhan. Berlarian bersama, masuk ke ruang dansa, dank arena mala mini malam terakhir, Calum mengekspresikan segalanya. Berjoget lepas, Sophie sendiri awalnya canggung, lantas mengikuti setelah ditarik, dan dalam hiruk pikuk suara musik, Sophie memeluk ayahnya dengan erat dan hangat. Saat itulah kita dilempar ke perpisahan di bandara, “I love you”, dan begitulah Sophie melambaikan tangan perpisahan dan tersenyum, semua kekhawatiran kita pun sirna (sesaat). Calum meninggalkan liburan, meninggalkan kehampaan, kesedihan mendalam. Ia kembali memeluk keterasingan.

Kusaksikan tiga kali saking istimewanya. Terakhir malam minggu kemarin, kita nonton ulang. Ciprut makin suka. Hanya sayangnya, rating remaja. Ada tiga adegan ciuman, karena Ciprut masih 8 tahun, setiap di adegan itu aku tutup layarnya. Ketika kutanya adegan favoritnya, ia menjawab saat di atas kapal seusai melakukan penyelaman, ia melakukan rekaman, dan berbicara pada kamera sendiri. Betapa serunya menyelam. Ada gurita di atas rambutku! Dan ditutup dengan sorotan kamera ke lautan, ombaknya mengelabui. Tempo-tempo yang kontras begitu seolah tak penting dalam semua keremehtemehannya yang dahsyat.

Saat pertama nobar, Ciprut nanya mulu. “Itu ngapain Yah?” / “Makan.” / “Kok makan aja adegannya lama.” / “Ya seperti itulah.”

Berikutnya, “Itu apa sih Yah?” /” Langit.” / “Ngapain lihat langit?” / “Menikmati hidup.”

Dan berikutnya, “Mereka ngapain Yah?” / “duduk-duduk saja di pantai.” / “Menikmati suasana.”

Yang tiga kali nonton, dan tiga kali komen sama adalah saat akan tidur, saat adegan kamera menjauh perlahan dari pintu hotel, pelan sekali, dan komennya sama, “Itu adegan apa sih, pintu kamar saja disorot lama sekali.”

Begitulah, anak kecil masih awam. Polos sekali celetukannya. Selesai nonton bareng, bilang ke ibunya. “Bunda, aku pengen liburan sekolah nanti jalan-jalan sama ayah. Ke hotel, ke kolam renang, ke pantai.” Hehehe… aku langsung mengiyakan dari kamar seberang. Nanti libur sekolah kita jalan-jalan, motivasi utamaku adalah rasa takut akan penyesalan. Aku khawatir bila aku tidak melakukannya, suatu hari kelak aku akan menolah ke belakang dan bertanya-tanya, Bagaimana seandainya aku tak benar-benar melakukan vakansi berdua sama anak? Minggu lalu memang ada acara 1 hari bersama ayah dari sekolah, tapi malah berakhir apes. Satu plastik baju yang buat renang + sabun mandi tertinggal di aula. Sudah hubungi panitia dan wahana renang, tidak ditemukan. Momen ini akan tersimpan lama di kepala Ciprut, dan aku. Aku Cuma bilang ke dia, “Ambil kenangannya, ambil pelajarannya. Benda bisa dibeli, tapi waktu bersama tidak.” Hiks, hari ini, lima puluh tahun kemudian pernyataanku akankan terkenang? Atau sekadar ilusi?

Begitulah. Jelas ini film istimewa. Setelah nonton aku juga berpesan pada Ciprut, bila nanti kamu dewasa dan ingin bercerita apapun padaku, aku dengan senang hati akan menyediakan waktu. Apapun. Seperti yang dibilang Sophie, tidak akan narkoba, mabuk, atau nakal. Nah, kita tak tahu masa depan seperti apa, andai kamu nanti butuh teman, dan perlu tempat berbicara, ayah dengan senang hati mendengarkan. Ciprut memberikan jawaban ‘hhhmmm…’ yang bermakna ganda. Kamu harus menjaga pintumu tetap terbuka agar aku bisa masuk. Tapi, itu berarti kamu juga bisa membiarkan aku pergi.

Mungkin film ini timing nontonnya pas jadi begitu personal. Contoh lainnya lagi, Ciprut setelah tahu Calum ulangtahun usia 11 tahun malah dimarahi ibunya, lalu saat bilang ke ayahnya, malah diajak ke toko mainan. Langsung ia bertanya ke aku, well, apa ya? Karena jika aku bisa menjalani kehidupanku lagi, aku akan melakukan berbagai hal dengan cara berbeda. 11 tahun, itu berarti tahun 1994, masa Piala Dunia Amerika, di mana ulanthaunku saat berumur sebelas tahun? Angka-angkanya takkan berkedip-kedip di depan mataku. Aku lupa, hanya saat piala dunia, aku nonton tv di rumah tetangga ramai-ramai. Atau masa cinta monyet di SD. Menoleh ke belakang sana, aku bisa melihat betapa dungunya diriku karena tergila sama teman sekolah sampai namanya kutulis di buku tulis. Tetapi ketika itu aku masih kecil, dan tergila-gila setengah mati kurasa wajar.

Lewat tengah malam Minggu, pas nobar Aftersun

Ini adalah film dan naskah debut Wells, sangat bagus. Catat saja, bakalan kuikuti. Mengingatkanku pada Get Out yang juga debut, langsung menghentak. Sayang di Oscars hanya satu kategori. Wells menulis dan membuat film dengan semangat merayakan kesenduan, dengan sukses mengeksplorasi eksistensi.

Aftersun | 2022 | Skotlandia | Directed by Charlotte Wells | Screenplay Charlotte Wells | Cast Paul Mercal, Frankie Corio, Celia Rowlson-Hall | Skor: 5/5

Karawang, 300123 – Blur – Tender

Film pembuka Oscars yang powerfull. Aftersun mengirim Paul Mercal ke Oscars. Peluangnya mungkin kecil untuk menang best actor. Namun aku menyakini, Aftersun akan Berjaya di BAFTA.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s