14 Best Books 2022 – Non Fiksi


“Zaman edan. Terkutuklah nasibku, karena aku lahir untuk meluruskanmu.” – Willaim Shakespeare, Hamlet, Babak I Adegan V

Sudah akhir tahun lagi, dan bacaan tetap konstan di angka 100-an. Untuk non fiksi berjumlah 33 buku. Karena pengalaman pula, maka banyak buku bagus tersaji. Dari tips-tips menulis sampai tips-tips santuy para penulis. Dari tipikal sifat-sifat manusia kita sampai sufi modern. Dari ringkasan para filsuf. Dari petunjuk investasi sampai politik garis keras. Dari sejarah Diponegoro sampai curahan amarah dari Rusia. Berikut daftar buku non-fiksi terbaik yang kubaca tahun 2022 versi LBP – Lazione Budy Poncowirejo:

#14. Pengantar Ilmu Antropologi by Koentjaraningrat (GPU) – 1979

Daftar pertama adalah buku lokal.

Kepentingan antropologi sebagai ilmu bantu dalam penelitian. Buku non fiksi yang bergizi, saking bergizinya saya sampai sepintas membandingkannya dengan Sapiens. Namun ternyata setelah ditelaah lebih lanjut, tidak. Sapiens dibawakan dengan fun dan sangat luar biasa. Buku ini lebih banyak teori-nya, rerata dinukil dari buku-buku sebelumnya, buku-buku antropologi lama, teori yang sudah ada disusun dan dijadikan acuan. Sedang Sapiens malah banyak yang mengandalkan spekulasi, banyak yang berdasar pemikiran, dan ‘sejarah’ manusianya tampak fiksi. Maka, hanya beberapa yang laik disandingkan.

“Makhluk manusia berevolusi dalam jangka waktu kurang-lebih empat juta tahun lamanya.”

#13. Menyingkap Rahasia Akhirat by Al Ghazali (Pustaka Sufi) – 2003

Buku agama, bersafari kea lam lain.

Luar biasa. Karena ini hal yang baru, saya terpesona. Alam akhirat yang misterius itu dijelaskan dengan gamblang, bagaimana kehidupan setelah kematian. Dari mulai detik-detik kematian, hingga putusan akhir penghakiman pada-Nya. Ini versi Islam, artinya segalanya bersumber pada Al Quran dan Hadist sehingga, diluar itu tak disinggung sama sekali.

“Tak ada yang bisa menyingkap rahasia-rahasia akhirat kecuali orang yang menguasai ilmu-ilmu keakhiratan.”

#12. Melihat Pengarang tidak Bekerja by Mahfud Ikhwan (Diva Press) – 2022

Berikutnya penulis yang sudah sangat akrab. Sangat produktif.

Menurutku buku ini setara bagusnya dengan Cerita, Bualan, Kebenaran. Tips-tips menulis yang dibalut bukan tips menulis. Nyaman dan terasa sangat masuk akal. Jelas lebih keren dari Menumis itu Gampang yang bertema umum. Poinnya sama, Cak Mahfud bercerita kesehariannya. Buku ini terasa lebih asyik sebab bahasannya fokus ke proses kreatif, yang setelah ditelaah, tak kreatif juga, tak banyak nasehat, atau petuah membumbung. Benar-benar cerita bagaimana ketahananan menulis buku itu perlu, pengalaman dari Penulis pemenang DKJ dan KSK. Dua penghargaan sastra paling bergengsi tanah air. Walau judulnya provokatif, bagaimana penulis menganggur, percayalah, itu hanya jeda. Judulnya biar tampak eksotik. Itu hanya masa santuy, sejatinya menulis memang kudu tahan banting, konsistensi, dan dipaksa. Maka tata kelola waktu juga sebuah kunci, dan buku ini jelas patut dipertimbangkan jadi rujukan proses mencipta karya. Seperti yang dulu pernah kubilang di ulasan buku Mario Vargas Llosa dalam Matinya Seorang Penulis Besar (sudah diterjemahkan oleh Shira Media), bahwa buku-buku dibalik karya sangat patut dicetak sebanyak mungkin agar pembaca tak meraba ngasal. Setidaknya kita tahu, buku-buku itu diterbitkan penuh pengorbanan, tak sim salabim mengada.

#11. Manusia Indonesia by Mochtar Lubis (Gunung Agung) – 1977

Berikutnya, buku lokal lagi, yang begitu keras menghantam manusia Indonesia.

#10. Sufi Sufi Diaspora by Jamal Malik & John Hinnels (Mizan) – 2015

Dan buku-buku tasawuf selalu muncul. Yang ini sufi modern.

#9. Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia by Dr. P.A. Van der Weij (GPU) – 1972

Begitu juga buku-buku filsuf.

Bagus. Seolah kita mendapat ringkasan pemikiran para filsuf terkenal. Beberapa sudah kubaca, beberapa sebagian kecilnya baru tahu. Namun pemikiran mereka ternyata sebagian tumpang tindih dan saling silang, seperti arti filsafat sendiri yang definisinya memang mengalami tafsir bebas, maka wajar para filsuf jua menyampaikan pemikiran itu dengan liar. Intinya, ini tentang ultim. Makna hidup manusia, kita dihadirkan di bumi ini ngapain, mau ke mana, tujuan apa – atau dalam satu kalimat singkat: Kita dilahirkan sebenarnya buat apa sih? Nah, terpecah dalam tiga garis besar: Ilmu pengetahuan, Agama, dan Filsafat. Filsafat ada di tengah-tengah, dijepit dengan ilmu reliji yang bilang dengan mantab: setelah kematian ada kehidupan, dan ilmu pengetahuan yang sebagian bilang: hidup ya saat ini, saat mati, maka selesai sudah. Kalian tak ‘kan menemukan jawaban terbuka di buku ini, sebab filsafat memang menawarkan jawaban luas dan tafsir bebas.

“Hidup bahagia adalah hidup menurut keutamaan dan hidup berkeutamaan terdiri dari usaha tak henti-hentinya untuk mewujudkan kemungkinan-kemungkinan manusiawi kita yang positif.”

#8. Rich Dad’s Guide to Investing by Robert T. Kiyosaki (GPU) – 2002

Buku finansial yang wow.

Buku yang luar biasa, salah satu non fiksi terbaik tahun ini yang kunikmati. Benar-benar nampol abiiizzz… membuka mata, membuka hati, membuka wawasan tentang finansial. Buku bukan sekadar tentang investasi, tapi berisi petunjuk-petunjuk jitu, formula-formula ampuh. Membuncah, banyak sekali tipsnya. Sebagian besar buku investasi ditulis untuk orang-orang yang berada di luar dunia investasi. Buku ini ditulis untuk mereka yang ingin berinvestasi dari sisi dalam. Dibuat untuk mengubah sudut pandang orang, dari sudut pandang kekurangan uang ke sudut pandang menciptakan dunia yang kelebihan uang. “Kebanyakan orang bukan investor, kebanyakan orang adalah spekulan atau penjudi. Kebanyakan orang punya mentalitas ‘beli’, simpan, dan berdoa saja semoga harga naik’…”

David Faust, penulis The Limits of Scientific Reasoning, “Penilaian manusia jauh lebih terbatas darupada yang kita kira.”

#7. The Art of Novel by Milan Kundera (Jalasutra) – 2002

Akhirnya rasa penasaran itu terpuas.

Kundera menulis dengan semangat merayakan lelucon. Dari judul-judulnya sudah terlihat. Harus membaca buku-bukunya dulu untuk bisa menikmati secara maksimal buku ini. Saya baru membaca empat: Pesta Remeh Temeh, Kitab Lupa dan Gelak Tawa, Identitas, dan Kealpaan. Dan itu tak cukup. Selain mengupas novel-novelnya, kita juga diajak bersafari ke novel-novel hebat sebelumnya. “Kita sering mendengar trinitas suci novel modern: Proust (belum baca), Joyce (Ulysses belum baca), Kafka (sudah baca). Menurut saya, trinitas itu tak ada. Kafka memberikan orientas baru, yaitu orientas post-Proustian. Caranya memahami diri sungguh-sungguh mengejutkan.” Ya, ketiganya sangat dominan dikupas, ditambah Cervantes (belum kubaca), Schweik (sudah kubaca), hingga Balzac. Sayangnya, hanya sebagian kecil yang kunikmati. Ada tiga kebijakan utama yang wajib dikembangkan manusia: toleransi, humor, dan imajinasi.

“…Tapi jika masa depan bukan suatu nilai bagi saya, lalu untuk apa saya bekerja? Untuk Tuhan? Negara? Masyarakat? Diri sendiri? Jawaban saya yang edan dan tulus adalah: saya bekerja bukan untuk apa-apa, melainkan buat warisan turunan Cervantes.”

#6. Enough by John. C. Bogle (Literati) – 2011

Investasi. Sebuah kata yang sering kita dengar. Butuh perjuangan untuk merealisasikannya. Butuh konsistensi, apalagi buat buruh, di mana gaji ketika turun gegas dialokasikan ke kebutuhan apa saja. Buat kebutuhan sehari-hari, bayar cicilan, memenuhi hobi, tabungan, dan investasi. Buku ini tak membahas tata kelola investasi, tapi langsung ke pokok-pokok pentingnya. Ditulis langsung oleh seorang founder Reksadana terbesar di dunia, asli dari negeri kapitalis Amerika. Dan memang terbaca sungguh beda, misalnya hanya membahas dasarnya saja, atau orang Indonesia sekalipun pengalaman. Ini buku sungguh-sungguh bervitamin. Sekalipun saya sudah terjun dan menekuni saham, apa yang ditulis melalangbuana hebat ke teori finansial dan tepekur telaahnya.

“Ya, tetapi saya memiliki sesuatu yang tidak akan pernah ia miliki… rasa cukup.”

#5. Mengarang Novel Itu Gampang by Arswendo Atmowiloto (GPU) – 1984

Luar biasa. Ini seolah menampar wajah para penulis yang masih gamang. Dibuat dengan model tanya jawab, saat-saat membacanya mencipta kalimat ‘iya ya, iya ya… terasa mudah, terasa gampang’. Sesuatu yang malah sangat amat menohok keragu-raguan. So far, buku motivasi menulis terbaik yang pernah kubaca. Ga kebanyakan teori, ga kebanyakan motode, cas cis cus, gegas tulis. Rasanya, akan malu bila kita yang manggut-manggut tak mempraktekkan gayanya. Ini buku kedua beliau yang kubaca, dan memang legend almarhum abah Arswendo ini. Salut.
“Siapa yang melarang? Kau menjadi pengarang, berarti kau membuat sendiri, mencipta sendiri.”4. A Room of One’s Own by Virginia Woolf (Jalan Baru) – 2020

#4. A Room of One’s Own by Virginia Woolf (Jalan Baru) – 2020

Luar biasa. Buku yang (rasanya) sulit dipahami, terutama saat awal mula. Namun setelah berhalaman-halaman yang melelahkan, kita akhirnya diajak memasuki maksud utama sang penulis. Lima bab awal, seolah esai ini berputar-putar tak keruan, curhat panjang lebar kehidupan, mengelilingi dunia pustaka di London, sulit dicerna mau ke arah mana. Dan bab penutup, bab Enam menjelaskan segalanya. Gamblang, bahwa untuk menjadi penulis, Virginia Woolf mensyaratkan dua: Jika kau ingin menulis fiksi atau puisi perlu memiliki uang lima ratus pound per tahun dan kamar beserta kuncinya tergantung di pintu. Lima ratus pound setahun berarti kekuatan untuk merenung bahwa kunci yang tergantung di pintu berarti kekuatan untuk berpikir mandiri, tetap saja kau dapat mengatakan bahwa pikiran harus naik di atas hal-hal seperti itu; dan bahwa penyair yang hebat seringkali adalah orang-orang miskin.

“Buku catatanku sendiri berisi coret-coretan liar yang kontradiktif. Catatan itu menyedihkan, membingungkan, memalukan. Kebenaran telah mengalir di jari-jariku. Setiap tetes alirannya telah lenyap.”

#3. Notes From Underground by Fyodor Dostoevsky (KPG) – 1979

Kita kadang-kadang memilih suatu omong kosong karena oleh kebodohan kita, kita mengira omong kosong itu jalan yang paling mudah untuk memperoleh sesuatu keuntungan. Catatan yang luar biasa. Melimpah penuh amarah, sekaligus ketakutan. Seolah benar-benar tulisan refleks curahan hati. Seorang penulis jenius curhat, hasilnya menakjubkan di satu sisi, mengerikan di sisi lain. Kata-kata kritik biasanya mengcuat di puncak, tapi kali ini justru memerlihatkan betapa muak ia, yang mengaku cerdik, terhimpit di tengah masyarakat yang bebal dan menyebalkan.

“Angan-angan biasanya bisa terasa manis dan hidup sekali setelah kita mengalami suatu masa sia-sia, mereka datang bersama penyesalan dan air mata, dan kutukan dan keharuan.”

2. Kuasa Ramalan Jilid 1 by Peter Carey (KPG) – 2011

Sengaja saya hanya baca jilid 1 tahun ini, sebab kuyakin jilid 2 bakalan meledak. Nantikan bulan depan.

Game of Thrones (GOT), adalah kata pertama yang terlintas setelah ussai membacanya. Ini seperti novel rekaan GRR Martin. Bedanya setting Jawa, dan ini nyata. Wow, setelah baca GOT saya berkomentar, susah juga hidup di masa itu. Gerak apapun terasa salah. Mau bela kerajaan manapun tetap akan sulit bertahan, semua akan serba salah. Semua punya ambisi, dan harapannya masing-masing. Perang di mana-mana, dan nyawa begitu murahnya. Di Kuasa Ramalan, konfliks terjadi di banyak arah. Mau para penjajahnya sendiri, Belanda Inggris Prancis yang mempunyai tanah rampasan, berniat memetik sebesar-besarnya keuntungan di Negara kita. Pun, kerajaan Jawa yang saling curiga dan tak saling dukung. Sultan dan Sunan tak bisa bersatu, apalagi pasca Perjanjian Giyanti, Jawa mudah diadu domba, dan ini jelas menguntungkan pendatang.

“Engkau sendiri hanya sarana, namun tidak lama, untuk disejajarkan dengan leluhur.”

#1. How the World Works by Noam Chomsky (Bentang Pustaka) – 2016

Juara tahun ini adalah novel berat, politik kiri yang sangat kritis dan memuat amarah Amerika.

Lega. Itulah perasaanku setelah bertahun-tahun coba menyelesaikan baca buku ini. Kubeli tahun 2015, sempat menggebu membaca di awal. Down di tengah jalan,. Tahun 2016 sempat pula coba kulanjutkan, dan kembali tertunda. Dan begitulah, tertimbun buku-buku lain. Terlupakan. Memang bukan buku yang santuy, bahasannya berat. Politik, dan begitu kritisnya banyak ungkapan-ungkapan yang bikin pemerintah panas.

“Ada kasus yang sangat solid untuk didakwa setiap presiden Amerika sejak Perang Dunia Kedua bertanggung jawab atas berbagai peristiwa berdarah di seantero dunia. Mereka semua merupakan penjahat perang atau setidaknya dalam kejahatan perang yang serius.”

Karawang, 301222 – Rossana Casale – Just Friends

Terima kasih untuk semua penjual buku, kalian luar biasa.

Menyibak Kegelapan untuk ke Tempat Terang


Ketika Lampu Berwarna Merah by Hamsad Rangkuti

“Semak menjalar disepuh cahaya bulan menjadi keperakan.”

Transmigrasi jadi tempelan cerita. Waduk Gajah Mungkur di Desa Karanglo, Wonogiri, bagaimana terbentuknya. Di tempat pertemuan kedua sungai itu akan dibangun waduk raksasa Gajah Mungkur. Air akan melenyapkan semua kenangan mereka. Jelas ini sejarah, diselipkan dalam kisah kepiluan warga Jakarta yang terpinggirkan di gubuk-gubuk kumuh sepanjang rel kereta api. Lalu dikemas drama keluarga. Jadilah Ketika Lampu Berwarna Merah. Saat mobil berhenti, mungkin membuat kesal karena perjalanan tertunda. Tetapi bagi anak-anak, ketika lampu berwarna merah satu harapan baru telah tiba. Dengan bekal kasihan, pengemis melakukan pekerjaannya. Meminta-minta di sepanjang jalan saat warna rambu lalu lintas berwarna merah. Dengan pusat kasihan anak lelaki berkaki buntung. Menggendongnya, mengetuk hati para sopir. “Itu sekolah yang dapat dari kebiasaan kita. Kita tidak akan bisa pergi dari situ. Dunia kita adalah dunia orang minta-minta.”

Kartijo adalah warga Wonogiri yang akan melakukan program pemerintah, transmigrasi ke Sumatra. Sebuah konvoi membawa mereka ke Desa Sitiung, Sumatra Barat. Desanya akan dibumihanguskan, dikeduk dijadikan Waduk raksasa. Kartijo masih berdiri di atas tanah pematang di antara rumput berduri, di hari-hari akhir di tanah kelahiran. Semua warga diberi kompensasi, ada yang bertahan di sekitarnya dengan membeli tanah dan rumah baru, ada yang hijrah, jauh ke tanah seberang. “Mengapa tiba-tiba menjadi emosional melihat itu semua pada hari-hari belakangan ini, ketika pamong menyuruh mereka meninggalkan desa itu.”

Kenangan masa lalu akan dipersatukannya dengan harapan masa datang. Istrinya Surtini sedih sebab salah satu anaknya Basri minggat ke ibukota, gara-gara terpesona Monas. “Barangkali aku akan menceritakannya kepadamu di bagian selanjutnya cerita ini, yaitu tentang terciptanya kehidupan lain ketika lampu berwarna merah.”

Basri menjalani profesi ngemis. Gabung sama anak-anak terlantar lainnya. Pipin yang buntung menjadi pahlawan mereka sebab jadi modal utama. Maka sore itu Pipin janji akan mentraktir semua anak-anak. Ada yang pengen telur goreng, ayam bakar, hingga ikan. Pipin sendiri ingin martabak. Maka malam itu jadi pesta anak-anak. Untuk mendapatkan martabak sendiri ada drama, sebab para pemabuk memborong, dan menunda lama kedatangan makanan. “Bir dengan martabak yang panas adalah sesuatu yang nikmat!”

Malam itu ada banyak hal terjadi seolah tumbukan batu. Pesta miras yang rusush. Para pemusik dapat melihat bagaimana para penjoget berlarian dan hiruk pikuk. Semuanya tampak seperti sampah yang diterbangkan angin. Digerebek polisi. Pelacuran yang terjadi di pinggir jalan dan tembakan nyasar ke penonton saat terjadi pembekukan penjahat. Karena mereka adalah sumber kegaduhan di daerah-daerah pemukiman. “Demikianlah segalanya berputar-putar sehingga memberi kehidupan bagi orang yang sempat menyentuhnya.”

Sementara ibu Pipin sakit keras, terbaring di gubuk pinggir rel. malam itu ternyata jadi malam terakhirnya. Para tetangga gelandangan solidaritas. Mencarikan teman yang paham pengobatan, mencari orang sekitar yang dikenal. Lucunya, jenazah malah dijadikan modal memeras orang kaya. Diletakkan di depan gerbang toko, pura-pura tidur di sekitar, dan saat tuan rumah tahu ada gelandangan mati, ia meminta rekan gelandangan, yang sudah stand by di situ, untuk menyingkirkannya, sebab malesi urusan sama polisi. Begitulah, mereka paginya memeras orang-orang kaya. “Panas pergi telah masuk di antara pelepah pohon pisang.”

Kembali ke Kartijo, yang galau. Keberangkatan ke Sumatra tinggal menghitung hari, dan anaknya masih belum juga jelas titik temunya. Daripada menyesal suatu hari Basri pulang kampung dan tak menemukan mereka, ia nekad ke Jakarta naik bus. Rencanaya, warga termasuk istrinya berangkat naik kereta ke Jakarta sore itu, dan ia ke Jakarta naik bus mencari anaknya, janjian bertemu di Pelabuhan Tanjung Priok sorenya untuk ke tanah seberang. “Tidak pernah alam mau akrab dengan manusia. Karena alam itu tahu, manusia yang merusaknya…”

Dalam bus, Kartijo berkenalan dengan seorang sopir baik hati Sutrisno. Awalnya basa basi, lalu menjurus lebih dalam masalah keseharian, dan apa niat yang membawa mereka ke Jakarta. Sutrisno adalah sopir orang kaya raya, pejabat yang baru saja berduka. Bosnya meninggal karena kekenyangan, padahal baru juga melakukan kunjungan ke daerah-daerah yang wargany kelaparan. Maka untuk membungkam alasan kematian (paling gampang karena jantung), ia diberi cuti panjang dan uang. Ironis bukan? “Saya hanya seorang sopir. Mungkin kalau saya di atas sopir, mungkin saya tidak sebaik ini. orang akan berubah kalau status sosialnya berubah.”

Ia kini dalam perjalanan, dan setelah mendengar penjelasan teman seperjalanan, ia berjanji akan membantu. Sungguh karakter baik hati dan tidak sombong. Benar-benar sopir berbudi, membantu tak hanya mencari Basri, tapi juga secara dramatis menyongsong harapan keluarga ini.

Dengan petunjuk minim, Basri mengemis di perempatan. Di Jakarta banyak sekali lampu merah. Oh Basri suka Monas, dikerucutkan lampu merah dekat area tersebut. Dan waktu yang mepet sebab mau tak mau sore itu ke Pelabuhan, apakah keluarga ini berhasil disatukan?

Saya besar di era akhir Orde Baru. Program transmigrasi tak kurasakan dalam hiruk pikuk berita. Seolah jadi rempah masa lalu, hanya sesekali kubaca di Koran, kulihat di tv, atau dalams ebuah novel yang pernah kubaca di Perpus. Dalam garis singkatnya, transmigrasi bisa jadi niat baik dan luhur. Pemerintah telah mengubah strategi program transmigrasi dengan dua hal yang sangat ideal untuk masa depan bangsa. Penyebaran penduduk ke tempat kosong di luar pulau Jawa, dan pemenuhan kebutuhan tenaga kerja yang dibutuhkan di sana. Pemerataan, tak hanya penduduk, tapi juga teknologi.

Ini adalah buku pertama Hamsad Rangkuti yang kubaca, bagus sekali. Temanya mungkin sederhana, tapi sangat menyentuh. Mewakili lapisan masyarakat bawah. Memupuk kebaikan, menjadikan pelajaran moral. Novel ini merupakan cerita bersambung di Koran Kompas tahun 1981 dan merupakan salah satu pemenang sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ, 1981). Buku-buku beliau rasanya hanya masalah waktu untuk berjejer di perpus keluarga. Mungkin endingnya yang kurang jleb, tapi jelas niat dan prosesnya sangat luhur. Recommended!

Ketika Lampu Berwarna Merah | by Hamsad Rangkuti | Penyunting Kenedi Nurhan | Penyelaras akhir RN | Tata sampul Joni Ariadinata | Lukisan karya Tarman, Ekspresi (2010), acrylic on canvas, 290 cm x 170 cm | Tata isi Violeta | Pracetak Antini, Dwi, Wardi | Cetakan pertama, Mei 2016 | Penerbit Diva Press | 228 hlm; 14 x 20 cm | ISBN 979-602-391-148-6 | Skor: 4.5/5

Karawang, 291222 – Michael Buble – Cry Me a River

Thx to Rusa Merah, Jkt

Holy Spider: Keyakinan Moral dapat Menulikan Orang dari Kebenaran

“Setiap orang akan bertemu dengan apa yang ingin ia hindari.”

Luar biasa. Menyeramkan. Film ini banyak membahas iman dan prahara, dan efek salah langkah memilih jalan keimanan. Serial killer berdasarkan kisah nyata tahun 2000 s.d. 2001. Apapun alasannya, bagiku membunuh orang lain adalah salah. Apalagi ini di era millennium, di mana era keterbukaan, ada hukum yang mengatur, yang sejatinya manusia juga harus bisa berpikir terbuka, tidak berpandangan sempit. Keyakinan moral dapat menulikan orang dari kebenaran selain kebenarannya sendiri. Melakukan tindak kejahatan, sekalipun massa mendukung, sekalipun lingkungan meneriakan semangat, tetap saja salah, dan penjahat harus dihukum. Jihad bisa dilakukan dengan cara tak seperti itu. Kamu bukan Tuhan, kamu tidak bisa menentukan hasil suatu kejadian. Yang penting jalan itu bukan cara melenyapkan nyawa seseorang. Masih banyak ladang pahala yang bisa dilakukan. Ketika membunuh sebagai pembenaran untuk menghilangkan perilaku amoral masyarakat, jelas ada lubang dalam argumen ini.

Guncangan demi guncangan kisah ini memberi efek ngeri dan ngilu. Kenapa cerita pembunuhan selalu menarik dalam sinema? Karena kita dibuat penasaran kelanjutannya. Ada rasa tanya yang menggelitik. Tiada yang lebih nikmat ketimbang menyelam ke dalam tokoh ganda yang dipermukaan tampak seperti wujud tunggal. Ini bukan cerita detektif, di mana sang jagoan mencari penjahat (dengan identitas tersembunyi). Bukan, sang penjahat sudah ditampakkan di layar sedari mula, kita hanya penasaran apakah kejahatannya akan dibalas setimpal, ataukah sang protagonist akhirnya terjerebab pula? Dan bagaimana konspirasi hukuman maksimal coba diapungkan. Semua termakjub dalam rangkaian panjang dalam semarak debu malam di jalanan kota suci Mashhad.

Dibuka dengan adegan perempuan yang sudah berkeluarga, meninggalkan anaknya di rumah di malam hari untuk cari uang dengan mejeng di jalanan menjajakan diri. Datang pria hidung belang menyewanya beberapa jam, wik wik hingga usai, lalu kembali mejeng. Disewa lagi, melakukan asusila di mobil, dibayar separo, mejeng lagi. Lantas, muncul konsumen bermotor (tanpa helm) yang berniat menyewanya. Sempat terjadi komunikasi, ada uangnya tidak? Lalu dengan keraguan ikut, dan deeees… terjadilah pembunuhan pertama.

Dengan cerdas karakter mula (seolah karakter utama), ditampilkan dengan penuh simpati, ibu-ibu ekonomi bawah, bertahan hidup dengan menjajakan diri, lalu gegas dimatikan. Rasa sedih sudah berhasil dibangun bahkan sebelum sepuluh menit film berjalan. Selanjutnya kita berfokus pada sang pembunuh. Pria pekerja bangunan Saeed (Mehdi Bajestani), tukang batu yang pernah menjalankan wajib militer di masa perang Iran. Pria tampak soleh dengan ibadah agama kuat yang sudah punya istri Fatima (Forouzan Jamshidnejad) dan tiga orang anak, pria sulungnya akan menjadi sorotan, terutama di akhir. Betapa pengaruh ayah begitu besar. Saeed berdalih bahwa ia memiliki kewajiban membersihkan jalanan kota suci. Demi junjungan kenegaraan Iran Mohammad Reza Pahlavi Arymehr, demi menegakkan kalimat Allah.

Korban terus berjatuhan, polanya sama. Menjemput wanita penjaja seks, mengajaknya ke rumah yang sedang kosong di lantai atas, mengunci pintunya, lalu saat sang korban lengah bersiap melayani, Saeed membunuhnya. Bisa dengan jerat, cekik langsung, tusukan pisau, hingga martil. Mengerikan, sungguh mengerikan. Membunuh itu mudah, durasi semuanya tak lebih dari dua jam sampai mayat korban dibuang.

Sementara itu, seorang jurnalis senior, wanita pemberani Rahimi (Zar Amir Ebrahimi) tiba di kota. Ia mendapat beberapa perilaku diskiminasi, seperti menginap sendiri di hotel hampir ditolak sebab wanita sendiri tak etis. Tak memakai jilbab, apalagi ia merokok, dan berani melawan, persamaan gender diperjuang. Ia sedang melakukan riset untuk tulisan, menemui polisi, dan dengan entengnya polisi bilang, pembunuh akan melakukan kesalahan suatu hari, santai saja. Tak di Iran, tak di Zimbabwe, tak di Wakanda, polisi tampak menyebalkan. Ia sempat ditelepon keluarga untuk tak bertindak melebihi batas, keselamatannya yang utama.

Titik terang penyelidikan, akhirnya terlihat saat ia menemui kepala redaksi Sharifi (Arash Ashtiani), yang bilang bahwa sang pembunuh selalu meneleponnya setelah melakukan aksi. Menjabarkan detail lokasi mayat, dan menyatakan perang melawan budaya amoral. Membersihkan jalanan dari penyakit masyarakat. Apakah sudah lapor polisi? Untuk apa? Polisi justru berterima kasih, penyakit masyarakat diberantas. Korannya laris, dan upaya pencegahan belum maksimal, sementara berita pembunuhan itu ternyata setiap hari dinikmati sang pembunuh.

Seolah tanpa banyak tindakan dari penegak hukum, korban terus bergelimpangan. Tidak, meninggalkan kota itu tanpa solusi tindakan solutif adalah bodoh, tetapi tinggal di situpun tanpa ketegasan juga tidak bijak. Untuk kematian-kematian lain yang dia anggap seharusnya bisa dia dicegah. Rahimi harus melakukan tindakan. Tindakan ekstrem dengan berpura menjajakan diri di pinggir jalan, memancing pelaku, demi mengetahui identitas diri, melacaknya. Pertaruhan yang luar biasa berani, menantang maut, tensi film menuju puncak, menegangkan sekali, melalui deru samudera darah yang berdebur, dan akhirnya ombak itu meledak di akhir.

Kebetulan kemarin film ini masuk 15 besar Oscars film asing, bersanding dengan Decision to Leave dan Joyland. Amat pantas. Cuma yang agak mengherankan, film ini mewakili Denmark. Bukan Iran sebagai setting utama cerita, atau area Timur Tengah dengan bahasa ibu Persia. Kemungkinan menang mungkin jauh, tapi seandainya masuk lima besar sudah sangat amat keren. Yah, setidaknya saya dapat satu cicilan tonton ulas.

Selama di penjara, rasanya jengah melihat sang pembunuh ditampilkan bak pahlawan. Pongah seperti ayam jago seraya melintasi pekarangan menuju rumah. Narapidana lain mendukungnya, demo massal meneriakan yel-yel dukungan, sampai Pak Haji yang melakukan kunjungan khusus, mencoba melakukan lobi. Oalah, Pak Haji tampaknya tidak membayangkan sama sekali kecamuk yang diciptakan kata-katanya. Seolah-olah penting. Apalagi saat sidang muncul ide gila, ada keheningan sesudah si pengacara berhenti bicara alibi kegilaan.

Hati-hati. Dukungan meluas dengan berjalannya waktu. Tindakan berlebih warga terhadap keluarga, anak dan istri sah-sah saja, memberi makan, memberi buah-buahan, mendukung secara moril keluarga ini, ingat mereka tak tahu menahu ayah/suami mereka pembunuh. Namun saya tak yakin semua itu demi kemanusiaan, jelas di layar tergambar, semua demi mendukung tindakan ‘kepahlawanan’ Saeed. Sedih, tapi itulah kenyataannya.

Dan yang paling mengerikan, ini kisah nyata. Bagaimana bisa pembunuh serial bisa didukung oleh massa? Total 16 orang korban, sungguh mencengangkan, perburuan itu berlarut. Sebagai veteran perang, yang bisa jadi, merindu kekerasan, iri sama pasukan yang pulang dengan cacat fisik atau masuk dalam kotak peti, mengambil jalan membunuh orang bermoral buruk tetaplah salah, ini negeri hukum. Bagaimana ia ingin berjihad, bagaimana ia ingin menegakkan kalimat Tuhan. Tidak, bukan dengan jalan seperti ini. Masih banyak sekali jalan jihad yang lurus terbentang, bukan dengan sekalian melakukan kejahatan kemanusiaan. Kamu berbakti pada orang tua, ibadah rutin dan rajin pada Allah, menuntut ilmu, sedikit contoh di antara jihad zaman modern. Saat kebimbangan muncul, seharusnya tepekur dan belajar pada orang bijak, guru yang benar. Pilihlah jalan tengah di antara jalan-jalan yang ada, dan jauhi simpangan-simpangan meragukan.

Hidup merupakan sesuatu yang serius, padu, dan berat. Saeed cuma monster, dia bisa dikalahkan, bisa dimatikan, tapi pikiran pembenaran jalan sesat itu, membunuh orang dengan sadisnya, sangat menakutkan.

Harapan berjaya, lantas seketika lunglai. Maka adegan jelang ending itu melegakan. Damba dan ngeri bertabrakan begitu dahsyat. Hang on!

Holy Spider | 2022 | Denmark | Directed by Ali Abbasi | Screenplay Ali Abbasi | Cast Zar amir Ebrahimi, Mehdi Bajestani, Forouzan Jamshidnejad, Sara Fazliat | Skor: 4.5/5

Karawang, 271222 – Rossana Casale – Just Friends

Thx recomendasi Lee

Menanamkan Keikhlasan dalam Ibadah


Jejak Sufi Modern by Abu Jafar Alqalami

“Jika orang sudah mempercayakan nasibnya kepada Allah, yakin kalau Allah mengurusi hidupnya dan yakin Allah akan menerima amal perbuatannya, maka itulah yang disebut tawakaltu alallah.” – Kiai Badrun

Lucu. Mungkin tak seberat buku-buku sufi kebanyakan, mungkin pula dan sak-klek sama aturan Islam yang kaku. Ini malah jadi sejenis diskusi, seorang awam agama, bertanya kepada pendiri pondok pesantren. Rasanya tepat, sebab biar ahlinya yang menjawab. Maka kiai Badrun memberi petuah-petuah hidup, yang mungkin bagi kita sudah umum (atau malah usang). Dasar agama, tuntunannya, hingga rasa syukur. Yang menarik, diskusi itu mengalir nyaman, dan apa adanya. “Hujan sudah reda, kita jalan lagi.”

Lasirun merasakan kehampaan hidup, dan melalui Kiai salaf, kiai Badrun mereka berdiskusi masalah kehidupan. Panjang kali lebar. Menemukan kedamaian, menemukan banyak jawaban. Dan Lasirun lantas memutuskan ingin jadi sufi.

Sayangnya, salah kaprah sebab menolak duniawi. Istrinya sampai frustasi, sebab Lasirun tak mau bekerja. Tak mau menghidupi keluarga. Isinya hanya ibadah saja. Bahkan, setelah menelantarkan keluarga, dapat pengembalian utang dari teman, dibelikan kambing lantas ia sumbangkan demi umat. Bayangkan, keluarga berhari-hari tak dikasih makan, saat ada rejeki mendadak, disumbangkan semuanya. Istrinya yang gedek, lalu melaporkan pada sang kiai.

Terjadilah diskusi lagi, Lasirun yang memang madep manteb ikut kata kiai akhirnya bisa dicerahkan. Namun beberapa hari kemudian, salah gaul lagi. Temannya yang juga suka ngaji, mengajak Sandrimo dan nantinya beberapa teman lain untuk diskusi dengan Kiai. Polanya berulang, galau, bimbang, lantas mencari jawab sama ahlinya.

Dan begitulah, buku ini akan terus berkutat dalam dialog-dialog sederhana tapi begitu jitu mengena. Dibawakan dengan santai, sehingga nyaman untuk kalangan umum. Catatan di bawah ini adalah kutipan langsung, sebagian besar dari buku. Karena bagus dan laik dibagikan, saya ketik ulang. Semoga bermanfaat.

Banyak aliran sufi, tapi tetap harus mengacu pada dua hal. Apapun itu. Contoh tarikat Syaziliyah, Samaniyah, dan tarikat Haji Paloppo dari Bugis. Sebenarnya tasawuf itu tidak mempunyai aturan tertentu selain ibadah berdasarkan al Quran dan Hadis. Sekali lagi saya katakan bahwa tasawuf itu semacam filsafat Islam. “…tarikat itu merupakan jalan untuk mengalamkan ilmu syariat…”

Ilmu hakikat berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu kebenaran. Hakikat adalah suasana kejiwaan seorang saalik (sufi) ketika mencapai suatu tujuan hatinya. Salat secara tak langsung adalah dialog dengan Tuhan, tapi jangan disalah-artikan. Yang dimaksud adalah dialog batin, seolah-oalh hati kita berdialog denganNya.

Ia bagaikan orang haus yang minum air laut, semakin banyak kitab salaf dibaca, ia merasa semakin kerdil dan semakin dungu. Ia baru menyadari, betapa ilmu itu tiada habisnya jika dipelajari. Apalagi ilmu agama, terus digali, sekain dalam, semakin tak ada habis-habisnya. Zuhud adalah sikap menjauhi kemewahan duniawi. “Kalau semua orang membenci dunia, apa jadinya Islam. Nabi dulu tidak begitu. Tidak benci harta, tetapi juga tidak tergila. Sekadar secukupnya saja. Nabi tidak meninggalkan perkawinan, tidak membenci wanita, tidak mengabaikan kewajiban sebagai suami.”

Menjadi sufi yang modern artinya menyeimbangkan antara kepentingan dunia dan akhirat. Jika saat rejeki sempit tidak mengeluh, jika dalam keadaan kaya tidak lupa diri. Uang bagaikan madu lebah, segala macam semut dan kumbang datang menghirup manisnya. “Semua anak Adam memang mendambakan bahagia, Cak.”

Dalam sebuah kisah, seseorang bertanya kepada Yahya bin Khalid al Barmaksy tentang bahagia. Bahwa bahagia itu adalah sentosa perangainya, kuat ingatan, bijaksana akal, tenang dan sabar dalam menempuh cita-cita, maksud dan tujuan. Kalau menurut Ibnu Khaldun, bahagia itu tunduk dan patuh mengikuti garis ketentuan Allah dan perikemanusiaan. Menurut imam Ghazali bahagia dan kenikmati sejati adalah jika bisa mengingat Allah.

Allah membagi akal dalam tiga bagian, pertama ialah ma’rifatnya dengan Allah, kedua taatnya bagi Allah dan ketiga baik pula kesabarannya dalam menghadapi dan menerima takdir Allah. Sebab mengingat Allah itu mencakup keseluruhan kepentingan. Sebab mengingat Allah itu mencakup keseluruhan kepentingan.

Hawa nafsu cenderung memerintahkan kita untuk melamun dan panjang angan-angan. Sedangkan akal memerintahkan kita untuk berpikir dan mempertimbangkan. “Nafsu itu jangan kau bunuh, sebab jika dibunuh, ya kita tidak punya iradah. Tidak punya kemauan beribadah. Hanya saja, nafsu itu harus dijinakkan. Jangan dibiarkan.

Cara yang dapat dipaksa untuk menjinakkan hawa nafsu ada tiga. Pertama, mengekang keinginan. Kuda Binal akan menjadi lemah jika dikurangi makanannya. Kedua dibebani dengan beribadah. Sebab kuda pun jika ditambah bebannya dan dikurangi makannya akan tunduk dan menurut. Lalu ketiga, berdoa dan memohon pertolongan Allah.

Karena wasiat Allah hanya diberikan kepada orang-orang takwa. Takwa out merupakan tujuan akhir.

Takwa mengandung tiga pengertian:

#1. Dan hanya kepada Allah kamu harus bertakwa. (QS. Al Baqarah 41).

#2. Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari saat itu kamu sekalian dikembalikan kepada Allah (QS Al Baqarah 281).

#3. Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benarnya takwa kepadaNya… (QS Ali Imron 103).

Takwa juga mengandung makna taat dan takut. Menurut al Ghazali, takwa adalah menjauhi segala yang halal secara berlebihan. Bertakwa kepada Allah hendaknya mampu menjaga lima anggota tubuh, mata, telinga, hati, lidah, dan perut. Agar anggota tubuh tidak melakukan perbuatan mudharat. Agar tidak selalu ingin berbuat maksiat.

Yang dikhawatirkan mendatangkan mudharat agama itu dua macam. Pertama, perbuatan maksiat dan seuatu yang nyata haram. Kedua sesuatu yang dihalalkan tetapi melampaui batas. Berlebih-lebihan. Perbuatan yang seperti ini akan menyeret seseorang kepada sesuatu yang haram dan maksiat. Sebab ada dorongan nafsu yang kuat. “… Jika kalian mendengar orang misuh, lalu kok asyik didengarkan, maka kalian juga dianggap berbuat misuh.” Pilihlah jalan tengah di antara jalan-jalan yang ada, dan jauhi simpangan-simpangan meragukan.

Dari sekian anggota tubuh yang paling usil dan paling banyak menimbulkan kerusakan adalah mulut. Tapi, bagiku sangat sulit meninggalkan sepatah kata yang tidak perlu. “Wahai lisan, jika engkau berbuat baik, maka kami pun menjadi baik. Jika engkau berbuat jahat, kamipun terpaksa berbuat jahat pula…”

Syair Ibnu Mubarak Ra. Berbunti demikian, “Ingatlah! Jaga mulutmu, sesungguhnya mulut itu mempercepat kematian. Dan lisan merupakan cermin hati seseorang yang bisa menunjukkan kadar akalnya.”

Seseorang tidak dapat terlepas dari dua hal dalam berbicara, ucapan yang diharamkan dan yang mubah, keduanya mengandung keburukan. Hati dan kalbu itu pusat segala-galanya. Sabda Nabi, Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan kulitmu, melainkan melihat batinmu.” Bukan pusat perhatian, tapi pusat penilaian.

Sabda Nabi SAW, “Sesungguhnya dalam jasad manusia terdapat segumpal darah yang jika keadaannya baik, maka baik pula seluruh anggotanya. Jika keadaannya rusak, maka rusak pula seluruh anggota badannya.”

Hati merupakan objek bisikan dan desas-desus yang sukar ditahan. Sukar pula dijaga. Setiap detik hati berjalan dengan segala rencananya. Sedangkan hawa nafsu cepat sekali menyambut dan menurutinya.

Malaikat mendorong untuk berbuat baik, sedang setan selalu menghalang-halanginya dan mengajak keburukan. Mereka saling membisikkan kepentingan masing-masing.

Perut itu ibarat mata air dan merupakan sumber tenaga bagi seluruh tubuh. Allah tidak akan menerima ibadah salat seseorang yang di dalam perutnya penuh makanan haram.

Dampak buruk dari makanan dan minuman secara berlebihan ialah dapat menimbulkan kebimbangan. Daruquthni berkata, “Jika engkau menginginkan di antara kebutuhan dunia dan akhirat, jangan makan dulu sebelum tercapai maksud itu. Sebab, makan menjadi pikiran lesu.”

Ada empat keburukan yang berpangkal dari hati: khayalan, seakan-akan panjang usia. Kedua, serba terburu-buru tanpa pertimbangan. Ketiga iri dan dengki pada orang lain, keempat, tekabur atau sombong.

Serendah-rendahnya penyakit hati, seremeh-remehnya penyakit hati ialah hati yang keras, yaitu yang tidak mau menerima nasihat. Sedangkan penyakit hati yang besar dan buruk adalah kufur. Ingat, iblis dilaknat Allah karena takabut, enggan menghormati Adam AS.

Pokok dari ibadah itu wara’ yang artinya teliti dan hati-hati dalam segala sesuatu, setiap kepentingan dilakukan dengan secukupnya: tidak berkurang dan tak berlebih-lebihan. Hadis Qudsi tentang kebesaran dan keagungan adalah kain Allah. Artinya kebesaran dan keagungan merupakan sifat tertentu yang hanya dimiliki Allah. Tidak brhak manusia memilikinya. Artinya, manusia tidak berhak untuk sombong.

Rejeki ada empat macam: rejeki yang dijamin, rejeki yang dibagi, rejeki yang dimiliki, dan rejeki yang dijanjikan Allah. Memang manusia tidak ada jalan (asal) yang tetap dalam mencari rejeki. Karena manusia tidak tahu jalan atau asal rejekinya, manusia hanya mampu melaksanakan ikhtiar (usaha), manusia tak tahu bentuk rejeki yang didapatkan.

Tawakal berarti percaya kepada Allah, dan hanya kepadaNya kita mengharap sesuatu. Tawakal memelihara hati nyang hanya ditujukan kepada Allah. Karena itu menentukan sesuatu yang buruk dan yang baik hendaknya bergantung padaNya. Bahagia yang langgeng itu ada, tetapi ibarat mutiara. Cara mendapatkan mutiara yang baik harus menyelam ke dasar laut. Kalau sudah mendapatkan kerang, lalu dibuka dan didalamnya mutiara, begitulah mendapat bahagia yang langgeng, dan itu susah.

Iman, Islam, ihsan adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Jadi mengimani saja tanpa berbuat atau mengerjakan amalan-amalan, ya tidak boleh. Kalau begitu untuk apa agama. Lagipula, tak mungkin orang menemukan tuhannya tanpa agama. “Hidup bahagia dan tidak terlalu banyak menanggung bahaya adalah hidup yang mempunyai prasangka baik, artinya mempunyai pengharapan baik, cita-cita baik, angan-angan teguh, jangan memikirkan sesuatu sebelum terjadi…”

Puisi ciptaan Al Kathal, penyair Nasrani di zama Khilafah Bani Umaiyah: “Manusia itu semuanya cinta umur panjang / Padahal tidaklah kulihat umur panjang hanya menambah tolol belaka / Kalau engkau hendak membanggakan harta benda / tidaklah ada harta benda yang melebihi amal shalih.”

Yang dimaksud membaca adalah berpikir, mengkaji, menyelidiki terus-menerus ayat-ayat . adapun ayat Allah bukan hanya Al Quran, tapi juga tanda-tanda di sekitar ini. termasuk diri kita sendiri.

Pada akhirnya, ujung cerita adalah membahas mati. Kematian iradat adalah kematian kemauan dari dunia yang tak berguna. Yaitu mengambil yang perlu saja. Siapa yang takut menghadapi kematian berarti takut menempuh kesempurnaan. Maka banyak kiai salaf bilang, mati adalah kesempurnaan hidup. Dengan mati, orang akan sampai puncak ketinggiannya.

Mengingat kematian menurut ulama salaf justru melapangkan pikiran. Di saat sempit, di saat sedih, jika ingat mati maka hati jadi lapamh. Kehidupan ini hanyalah palsu saja, hakekat hidup yang sebenarnya adalah kematian. Kematian selamanya tetap menjadi suatu misteri.

Ada tiga jenis manusia ketika mati. Pertama, memikirkan bahwa kematian seperti suatu zaman bahagia, hidup ini pelepasan perbudakan, menganggap hidup hanya sejekap. Kedua, mereka yang sempit pandangannya. Perjalanan hidup penuh kedengkian, kotor, yang telah tenggelam duniai. Ketiga, golongan yang di antara keduanya. Orang yang tahu tipu daya duniawi, tapi masih suka duniawi. Tak mampu menahan hawa nafsu.

Kata ‘shufi’ di seluruh buku sudah saya sesuai jadi ‘sufi’ dan ‘tasauf’ menjadi ‘tasawuf’ di catatan ini. Sayangnya, banyak typo. Mungkin karena dicetak indie, tapi tetap saja editor dan prof-reader harus ada. Saking banyaknya, bisa jadi tiap lembar ketemu. Termasuk salah cetak, ada dua halaman penuh isinya dua layer saling timpa sehingga dobel tulisan.

Buku sufi yang santuy, sederhana, tapi dikemas meriah. Saya suka.

Jejak Sufi Modern | by Abu Jafar Alqalami | Editor Drs. Bambang Marhiyanto | Setting dan Lay out Fajar Jaya Mitra Pressindo | Desain sampul Wawan Kurniawan | Pencetak dan Penerbit Jawara Surabaya | Cetakan 1, 2000 | Skor: 4/5

Karawang, 121222 – 231222 – Barry Manilow – Can’t Smile Without You

Thx to Ade Buku, Bandung

Desis Kata Kata

Seekor ular berdesis desis di kepala / Membisikkan sebaris kata kata / PAda sepasang telinga yang terkulai / Dan mata berat terkantuk kantuk / Was wis wus, was wis wus.” – 5 Desember 2012

Salah satu hal yg kusuka adalah membaca karya acak tak kukenal. Dan Paling senang menemukan hal keren tak terduga, ini salah satu buku puisi yg menyenangkan itu.
Nyaman di tiap belitannya.

Buku puisi lagi, beruntun saya ulas buku puisi. Sebuah kebetulan saja. Buku puisi cepat selesai dibaca, sebab tak ada kesinambungan narasi dari awal tengah akhir. Sepenggalan saja sehingga cepat dicerna, cepat pula dilupa. Tema utama sejatinya adalah perjuangan perempuan, bagaimana dahulu kala Kartini, Dewi Sartika, dan pahlawan perempuan lain mengabdikan diri dalam perjuangan persamaan hak. Menyinggung pula cara berpakaian. Zaman berubah tapi kelakuan purba sama. Lantas di zaman millennium ini, banyak perempuan yang menggadaikan kemerdekaannya demi materi.

Menyentil banyak profesi dari pelacur, pemain film, hingga pelayan klub malam. Ingatlah selalu perjuangan para pahlawan eahai kaum hawa. Dibawakan dengan banyak simbolis. Jelas, ini lebih baik dari Jari Tengah yang kemarin saya tuntaskan. Enak dibaca, tak vulgar sekalipun beberapa yang dikupas adalah nafsu.

PSK: “Di taman kota / Dua tubuh berpagut / Berbagi pesing” – 2011

Ditulis rentang waktu dua tahun 2011 – 2012 dan terbit tahun berikutnya. Tahun di mana saya menapaki perjalanan langkah baru kehidupan. Langkah menembuh jenjang perkawinan. Dari penilaian saya yang awam syair, beberapa memang tampak biasa, atau terlampau biasa.

Hujan Pagi Hari: “ SapaMu lembut / lewat hujan yang tercurah / sepagi ini. sejuk menyelusup / dis etiap ruang rumahku / di ruang batinku // Tuhan / terkantuk-kantuk aku / mengeja pesanMu – Februari 2012

Ini yang lumayan Ok.

Bulan di Permukaan Kolam: “BErkaca bersama bayang bulan / Yang jatuh di permukaan kolam / Sebentar goyang / Dimainkan riak air / Lalu diam” – 5 Desember 2012

Susah memang mencipta puisi berkualitas konsisten. Yang hebat, buku 70 halaman ini dibuka dua pengantar, bukan sembarangan orang, dan satu kata penutup. Entah apakah mentor komunitas atau teman, atau mungkin lingkar pertautan sastra, yang jelas tak sembarangan, kumpulan puisi bisa mendatangkan esai pakar.

Kata pengantar oleh dua orang, pertama dari Tandi Skober. Mengupas isi puisi dari sisi feminism dan ingatan yang tertanam abadi. “Saya sependapat dengan diri saya bahwa sajak kudu memberi sesuatu, memetaforaisme dab bersifat heriditas fungsional.” Hani meyakini bahwa kumpulan ingatan adalah harta waktu tak berbentuk.

Kedua dari Maman S Mahayani, tentang suara hati. Mengutip Arminj Pane dan bagaimana Puisi adalah kata hati yang terdalam, suara jiwa dari sukma nun jauh di sana. Semecam ejawantah zaman Romantisme Eropa, “Puisi adalah limpahan perasaan yang meluap yang timbul dari renungan dalam ketenangan…”

Kata penutup oleh Dr. Asep Salahudin, MA tampak menggebu. Sebuah esai yang bernas, saya kutip salah satu paragrafnya, “Bukankah “keasadaran”, sejatinya merupakan tema yang mendominasi risalah kenabian, ilham para penyair, menjadi perhatian utama dalam refelski kaum filsuf dan sesuatu dicari peziarah ruhani (suluk) yang tanpa tepi. Kesadaran yang dijangkarkan dalam haluan ketuhanan (Nabi), akal budi (Descartes), moralitas (Kant), “ada” (Heideger), cinta kasih (Levinas), kuasa (Nietzsche), kebersamaan (Martin Buber), keterlemparan (Sartre), perbuatan nyata (Marx), absurditas (Camus), kemenyatuan Ilahiah (Ibnu Arabi), hulul (al-Hallaj), mabuk asmara (Adawiyah), marifat (Dzun Nur al-Mishri), atau manunggaling Kaulo Gusti (Syekh Siti Jenar).”

Yang jelas, dari pandangan ketiga pakar puisi tersebut, sepakat bahwa puisi pembuka Celanamu adalah yang terbaik. Saya kutip penuh:

Celanamu: “Maaf sayang, terpaksa aku rogoh / saku celanamu, biarkan tanganku menari / di dalamnya, sebab tak ada beras / untuk ditanak. Tak ada ongkos sekolah anak. / bah! Tak ada pula uang di sana. Bagaimana / kalau aku gadaikan saja isi celanamu?” – 2011

Tampak nakal, tampak simbolis. Mencari uang, menemukan ketiadaan, dan karena tak menemukan yang dicari, maka berniat menggadaikan isinya. Ironi, lucu, memikat. Buku kesekian fiksi lokal yang berhasil saya tamatkan di bulan ini demi 14 besar terbaik.

Buku kumpulan puisi memang layak dipajang di rak perpus keluarga, sebab suatu saat bila ingin mengenang bacaan, dengan mudah dibuka dan dinikmati kembali, termasuk Desis Kata Kata. Well, sungguh jarang saya menikmati penyair perempuan. Heni, bisa jadi pembuka kran itu. Moga diberi umur panjang, agar bisa mencipta karya-karya lainnya. Dan moga diberi umur panjang untuk bisa menikmati buku-buku puisi penyair perempuan.

Mendesiskan kata-kata.

Desis Kata Kata, Sepilihan Sajak 2011-2012 | by Heni Hendrayani | Komunitas SLS | Komunitas Sastra Lingkar Selatan, Bandung | Gambar kulit muka Foto Iqlima Diwanti Attarian | Desain sampul dan tata letak Irman Nugraha | Nomor: 02/KSLS-P/2013 | Cetakan pertama: 17 Februari 2013 | Skor: 4/5

Karawang, 16122 – Benny Goodman & His Orchestra – King Porter Stomp

Thx to Ade Buku, Bandung

Pak Janggut

“Akan jadi sarang kutu saja janggut itu, menambah-nambah kerja awak.”

Suka sama kesedehanaannya. Suka sama polanya yang mengalir lancar, beberapa mengundang tawa, beberapa getir. Bagaimana manusia zaman dulu mendapati nama panggilan. Orang berjanggut panjang, Pak Janggut. Orang berbadan kurus, Si Kerempeng. Orang berbadan gemuk, Bu Pan. Orang suka ceramah, Pak Ustadz, dst. Nama-nama yang didapat dari orang-orang sekitar, dari pergaulan, dari dampak sosial. Umum, dan sangat membumi. Untuk itulah, saya suka. Seri satra Nostalgia.

Nama aslinya Pak Daud, perantau sejak muda, dan saat senja ia menepi ke kampung halaman. Awalnya tak memiliki janggut, tapi karena tiap kenduri melihat orang-orang berjanggut diperlakukan istimewa sama tuan rumah, karena dituakan, karena dihormati, ia pun memeliharanya. Malahan jadi ikon, janggutnya lebar dan panjang. Dan begitulah, akhirnya warga memanggilnya Pak Janggut.
Istrinya Nyonya Fatimah menemani di hari tua, dipanggil Bu Rubu, saat makin tua jadi Nek Rubu. Sebab suatu ketika ada gerhana matahari yang menghebohkan warga, semua teriak dan kabur, dan berhamburan keluar rumah. Hanya rumah Pak Janggut gemetar ketakutan di dalam, Bu Fatimah yang panik kabur keluar rumah, berhamburan. Beberapa orang di jalan diseruduk, ia merubu hilir merubu mudik, ke mana ia akan lari, ia tak tahu. Kabar itu menyebar, dan sejak itulah ia dipanggil Bu Rubu.

Kisah sesungguhnya trejadi pada suatu siang, saat keduanya sedang menikmati hari, Pak Janggut yang giginya tinggal sebiji disuguhi sayur petai. Komplainlah ia, sebab gmana makannya. Komplain itu ditanggapi dengan gurau marah, zaman muda ia suka petai. Ih sekarang beda soal Rubu. Pak Janggut lantas pergi ke sawah, dan di sinilah petaka datang.
Ia jalan terus sampai ke tengah sawah, dan mendengar kodok-kodok bernyanyi. Karena masih marah, suara itu dianggap menyinggung. Dianggap mengejek, diambilnya batu, dilemparinya kodok-kodok jahanam itu. Apes, ia malah kena kencing segingga terjerebab sehingga basah sudah pakaiannya. Karena basah dan kena lumpur, ia pun berinisiatif melepas pakaian, hanya tinggal celana dalamnya. Lantas menjemur, sembari menanti kering, ia membakar api. Sejenis api unggun biar selain kena angin juga dipanasi, sekalian menghangatkan badan.

Di dangau-dangau itulah, api yang semula kecil, membesar, janggutnya terbakar. Kesal, dan lapar, ia tetap memutuskan melanjutkan ngambeknya. Lantas ia santuy dekat api, rebahan yang melalaikan. Saat tertidur itulah api menyambar pula ranting dan benda kering lainnya, mencipta api besar, kebakaran. Haha, apes.

Sementara itu dari pusat desa melihat api berkobar di dangau, heboh. Bergegas datang, warga berbondong-bondong memadamkannya. Yang tersisa dari kebakaran itu adalah pakaian Pak Janggut, dan salah satu warga mengetahui identitasnya. Mereka mengira Pak Janggut adalah korban, binasa oleh api, sehingga mereka menuju ke rumahnya, Nek Rubu yang tak tahu apa-apa heran, banyak orang ke rumah, dan setelah mendengar penjelasan kemungkinan Pak Janggut tewas dilalap api.

Padahal Pak Janggut yang terbangun, saat ramai menyaksi warga memadamkan api, sembunyi. Takut di-massa. Ia lantas mengendap-endap pergi, karena hanya memakai cangcut, ia lalu berinisiatif ke rumah saudaranya untuk pinjam baju.
Naas, di situ dikira maling. Gelap-gelap, mengendap. Kentongan segera dipukul bertalu, dan warga kembali mengerumun menangkapnya. Menggelandangnya, dan butuh waktu untuk kembali menjelaskan duduk masalah. Saat semua dijelaskan, tertawalah semuanya. Ini berpangkal dari sayur petai! Hehe…

Ini jelas masuk cerita komedi. Setelah kejadian itu, ada kasus unik lainnya, misal gigi tunggal-nya yang mencoba memecah petai lantas tanggal, sementara ada maling bernama tunggal yang sembunyi di balai, mengira ia ketahuan. Lantas kabur, dan Pak Janggut heran.

Begitulah, cerita rakyat dengan kearifan loka. Diterbitkan di masa Kolonial dengan segala kesederhanaan. Kentongan misalnya, untuk memanggil warga dan memberitahu ada bencana. Atau ketika Pak Janggut memutuskan memelihara janggut agar tampak bijaksana demi makanan, dst. Di zaman now jelas hal-hal itu tak ada, serba instan.

Ini adalah terbitan Balai Pustaka, jadul. Bagus untuk nostalgia, bacaan tipis dan memberi petuah tanpa menggurui. Membumi, dan jenis buku-buku yang dipajang di rak perpustakaan sekolah. Dibaca cepat, diselesaian instan. Tak masalah, saya akan membacai semua jenis buku, dan beberapa bacaan sejenis terbitan BP sudah tersedia. Pak Janggut yang malang, Pak Janggut yang kocak.

Aman Datuk Majoindo lahir di Supayang, Solok, Sumatra Barat. Lulusan Sekolah Raja di Bukittinggi, HIS di Solok dan mendapat diploma Klien Ambtenaar. Tahun 1919 menjadi guru di Padang, dan tahun 1920 – 1932 bekerja di Balai Pustaka. Meninggal di Sirukan, Solok, Sumatra Barat.

Pak Janggut | by Aman Dt. Majoindo | Penerbit Balai Pustaka | BP No. 1310 | Cetakan pertama – 1938 | Cetakan ketujuh – 2007 | viii, 68 hlm., 21 cm: Seri BP No. 1310 | ISBN 979-666-202-7 | Tat letak Sakun | Desain sampul Arditya | Skor: 3.5/5

Karawang, 201222 – Andre Previn, Herb Ellis, Ray Brown, Shelly Manne – I Know Oh So Well

Thx to Ade Buku, Bdg

Egoisme Bertopeng Adat, Budaya, Hukum, Agama, dan Semua yang Muluk Lainnya

Persiden by Wisran Hadi

“Sepertinya pada setiap pojok kehidupan kita ada misteri. Dan kita tidak dapat memecahkannya sendiri-sendiri. Kukira itulah sebabnya Rangkayo tidak dapat menjawab secara pasti apa yang kau tanyakan.”

Macam-macam cara orang mencoba mencari jalan keluar dari hukum dan peraturan. Kenapa kesalahan orang lain tampak begitu besarnya, sedang kesalahan sendiri selalu ditutup-tutupi? Kenapa mereka tak menyalahkan diri sendiri, bahwa semua itu akibat orang-orang tua membuat jarak dengan orang muda.

Persiden adalah tempat segalanya. Dan dimula kita disuguhi sudut-sudut lain tempat itu. Seperti rumah warisan yang tua yang juga pusat segalanya (bagi keluarga), persiden menua dihajar perkembangan zaman, dan juga semua penghuninya. Antara Saraung dan Persiden seperti kehidupan hitam putih. Selalu berkerlap-kerlip dalam diri orang-orang muda di sana. Satunya surau penuh pengajian, satunya tempat dugem. Sarauang adalah benteng kedua setelah Rumah Bagonjong. Hitam putih yang jelas bukan? Namun bagaimana kalau dari surau itulah muncul kasih terlarang?

Luar biasa. Menggetarkan. Butuh waktu lama untuk loading masuk ke cerita sebab awal mulanya agak boring. Mencerita keadaan Persiden dan sekitar. Pengantar yang nyaris membuat pesimis. Untuk kubaca cepat, tiga hari 3, 4, 5 Dec 2022 selesai. Jadi mood untuk terus berada di pusaran kisah terjaga. Konfliks keluarga, sebuah keluarga ternama menemui titik kehancuran sebab antar saudara terjadi gap. Empat lelaki dan satu perempuan, saat salah satunya punya anak, semuanya seharusnya memiliki rasa kuat saudara, saling mengingatkan, saling melindungi, sebab otomatis keempatnya jadi paman. Namun sayang, keponakan tersayang terlahir dari perbuatan zina. Malati, anak solehan yang jadi juara pertama mengaji itu hamil di luar nikah, kasih terlarang dengan guru ngajinya. Melahirkan tersembunyi, lalu keluarga ini ribut. Persoalan Malati telah melanggar dua hal penting, adat dan agama. “Globalisasi hanya boleh berlaku dalam dunia ekonomi dan politik, tapi tidak dalam budaya dan agama.”

Begitu pula endingnya, butuh loading lagi untuk masuk ke pengandaian yang acap kali disampaikan, tak sekali dua kali tapi berulang. Ibarat lubang cacing, tindakan apa yang mungkin kita ambil ke masa depan, kita tak bisa memilih lebih dari satu, jadi pengandaian. Umpamanya mengambil keputusan ini, akibatnya ini. jika memutuskan itu maka konsekuensinya itu, dst. Bikin kzl, tapi memang kehidupan kan seperti itu. Selalu bisa mengandai.

Mereka hanya kakak beradik lima orang. Empat laki-laki dan seorang perempuan. Keempat laki-laki begitu akrab, bercanda, berdebat, dan berdiskusi tentang persoalan. Namun keempatnya tidak bisa berbuat apa-apa di Rumah Bagonjong beserta segala persoalan yang terjadi di sana.

Banyak hal lantas dikupas. Bagaimana kehidupan dan masalah masing-masing orang. Si sulung Pa Tandang yang gagal mengkoordinasi adik-adiknya. Seorang realistis, tak percaya hal-hal gaib, pikiran selalu mencoba rasional. Kenapa agenda yang dibuat Pa Tandang menjadi begitu luas, rumit, dan sulit untuk dilaksanakan? “Bagiku, saudaraku adalah mereka yang mau seia sekata denganku. Yang mematuhi ketentuan yang kita sepakati bersama…”

Pa Rarau yang merantau, coba melupakan keruwetan di kampung halaman. Pulang sesekali untuk ikut rembug, berkali-kali pula tak membuahkan hasil. Ia dipanggil, diajak diksusi, lantas tindakan apa yang pantas diambil. Namun sayang, masa-masa mudik yang seharusnya berharga untuk nostalgia, malah dibumbui masalah pelik. Pa Minke yang galau akibat keuangan yang kurang Pa Ragih yang juga galu akibat pilihan dan beban hidup yang meningkat.

Dan pusatnya ada di Ci Inah yang menggadaikan rumah warisan demi menjadi anggota DPRD. Memiliki anak perempuan satu-satunya, yang cerdas tapi melakukan kesalahan sehingga memiliki anak di luar nikah. Dan segalanya meliar, seolah semua ingin memberi jalan yang baik dan bijak.

Dengan budaya Minangkabau yang kental, sisi adat sejatinya paling kental. Sekalipun, sindiran terhadap pemerintah juga sesekali muncul. Kalau mau jadi pegawai negeri yang penting adalah ketrampilan, bukan ijazah. Tidak sulit untuk jadi pegawai negeri. Menjadi orang yang dapat bekerja sendiri, mandiri, dan tidak bergantung pada orang lain, itu yang sulit.

Dan juga agama, Islam sebagai kepercayaan mayoritas melarang zina. Agama mengajarkan bahwa seorang ayah bertanggung jawab kepada anak-anak dan istrinya sampai ke akhirat, tetapi bukan kepada dik atau kakak. Maka, saat perselisihan dengan saudara, ada sisi ajar, tak perlulah terlalu dalam. Yang utama dalam kepelikan ini adalah anak istri.

Kisahnya sendiri berlarut, pencarian Malati, pencarian anak Malati, pencarian suaminya (kalau sudah nikah siri), dan pencarian lainnya. Seolah melawan tembok, hampa. Seperti yang telah disepakati, semua persoalan ini ditutup. “Kita bisa jadi gila dengan main kucing-kucingan seperti ini.”

Ada bagian yang begitu menyentuh, sekaligus bikin geger dan geram. Bagaimana ada anak ngaji yang cantik, menjadi pacar seorang anak Persiden. Remaja alim yang naas, meninggal dunia tertabrak kendaraan. Saat di kamar mayat, geger sebab dia memakai kalung salib! Pihak keluarga ingin memakamkan dengn tata cara Islam, sementara jamaat Kristen yang mengklaim bahwa ia adalah umatnya meminta dikremasi di Gereja. Mungin pertikaian di depan pintu kamar mayat itu akan merebak menjadi pertikaian antaragama, pertikaian yang sangat sensitive, rawan, dan sulit untuk diredam dalam waktu yang singkat.

Kritik sosial juga diapungkan, bagaimana zaman sekarang tayangan tv banyak merusak. Cerita sinetron hanya impian-impian orang miskin terhadap kehidupan yang mewah dan kaya. Kehidupan orang-orang superkaya yang sudah kalau balau rujukan adat, agama, dan budayanya. Cerita sinetron secara perlahan dan pasti adalah cerita yang membakar-bakar nafsu agar orang berbuat zina.

Pertentangan antar golongan tampak dengan jelasnya. Anak-anak Persiden berbadan kurun karena kurang makan, anak Pila kurus karena kecanduan obat terlarang. Anak-anak Persiden berani dan suka berkelahi, anak Pila tidak mau bertarung. Mereka lebih suka membayar anak-anak Persiden untuk keamanan dirinya. “Dosa? Abang, abang. Dimana-mana dosa tersedia. Tinggal lagi pada orangnya. Sekarang semua orang bebas memilih. Juga memilih mau berdosa atau tidak. Ah, itu, kan, bahasa kita sewaktu mengaji di surau.”

Dibuat dengan pola unik, dimana berulang kali pencerita menyebut Bung seolah pambaca adalah pendengar. Ia bercerita, mengurai masalah, bernarasi panjang lebar, dan kita diposisikan sebagai pengdengar, pengamat, serta penganalisis. Padahal ini adalah media buku, kita hanyalah pembaca. Namun tidak, kalian tak akan turut pusing, duduk dan simaklah. Sekalipun pilihan-pilihannya sulit, sejatinya semuanya ini menggelinding nyaman, seperti kehidupan ini, waktu akan terus bergerak, suka tak suka, pahit manis, segalanya dilintas sang waktu.

Jadi sejatinya, mengapa mereka getol menolong Malati? Apakah demi adat? Ataukah agama? Kedua pertanyaan itu juga sulit untuk tidak ditanyakan karena kebenaran yang mereka pertahankan punya kepentingan sendiri-sendiri.

Pada akhirnya semua kembali ke pribadi masing-masing. Apakah sejatinya tujuan hidup ini. mengapa begitu egois memertahankan pendirian, sementara sisi luar begitu keras menentang. “Rakus, kita berantakan karena masing-masing kita rakus, rakus dengan segalanya.”

Sebagai novel unggulan DKJ 2010, Persiden kurasa sangat pantas. Menghibur, sangat menyenangkan. Dan novel menyenangkan, perlu mikir. Kita disuguhi banyak sekali masalah sekalipun kutatnya jelas konfliks keluarga, tapi jalan keluar itu sungguh-sungguh rumit. Buku pertama beliau yang kubaca, dan jelas masuk daftar penulis yang buku-bukunya wajib antisipasi.

Persiden | by Wisran Hadi | Cetakan pertama, Mei 2013 | Penyunting Dhewiberta | Perancang sampul Fahmi Ilmansyah | Pemeriksa aksara Intan Ren, Neneng | Penata aksara Supardi | Penerbit Bentang | xvi + 380 hlm; 20.5 cm | ISBN 978-602-8811-39-2 | Skor: 4.5/5

Karawang, 201222 – Dee – Firasat

Thx to Anita Damayanti, Jkt

Z z z

Avatar: The Way of Water by James Cameron

“Ini bukan skuat, ini keluarga.”

Sesudah segala prestasi yang Avatar capai, sejatinya mereka perlu arah baru. Teknologi berkaitan dengan fakta-fakta, sedangkan moralitas menyangkut nilai-nilai. Kedua hal itu tidak sama, dan tidak tumbuh bersama. Tapi ya bukan seperti ini Om Cameron, bukan menggunakan pengulangan formula simbah yang usang.

Ya ampun Avatar. Z z z… tiga belas tahun menanti dan hanya menghasilkan cerita buruk. Buruk sekali. Selama ini ngapain aja? Fokus kembangin teknologi hingga lupa bahwa cerita itu nomor satu! Tiga jam yang sungguh-sungguh melelahkan. Terasa disiksa. Sebab telepon genggam saya sembunyikan dalam tas, agar fokus. Dan sedang tak memakai jam tangan, saya berulang-ulang tanya waktu sama Angga Em, temanku yang duduk di samping. Benar-benar terasa lama, plotnya lambat, sungguh tersiksa. Amburadul dari sisi cerita, terlalu sekali. Ini sudah sesi dekade ketiga abad 21, tema belas dendam masih saja dianut. Ditampilkan dengan begitu monoton, buruk, sampai-sampai ketika seorang karakter mati, tak ada rasa sedih. Sudah terlambat untuk menautkan emosi, jalinan kisahnya sungguh riskan, seperti tautan kepada hewan-hewan fantasi. Rapuh.

Kisah langsung berlanjut dari Avatar (2009), bagaimana Jake Sully (Sam Worthington) sebagai Avatar bertahan di planet Pandora, hidup bersama pasangan Neytiri (Zoe Saldana) dan memiliki 4 anak: Neteyam, Lo’ak, Tuk, dan putri angkat Kiri. Satu lagi anak manusia yang terlahir di Pandora ikut diasuh, Spider sehingga sepanjang film di tanah biru mengenakan topeng kaca. Ia dipanggil si Monyet, tampak tampil beda sendiri. Manusia di antara makhluk biru. Begitulah, makanya jadi manusia jangan rasis dah.

Kedamaian yang diimpikan tentu tak kan bertahan selamanya, dan saat mata menengadah ke langit menyaksikan cahaya datang, saat itu manusia langit datang untuk kembali melakukan invasi. Kali ini ada teknologi di mana avatar bisa dimplan jadi klona, ingatan manusia ditanam dalam kepala avatar, namanya Quaritch. Salah satu yang berhasil adalah musuh lama, Kolonel Miles (Stephen Lang) yang kembali, memiliki misi balas dendam. Pantang mundur sebelum misi tuntas. Mungkin salah satu adegan haru, saat ia meremas tengkoraknya sendiri.

Dikarenakan teknologi makin canggih, dan Spider yang tertangkap akan memberitahu keberadaan Jake, serta mengancam kaum Omaticaya maka keluarga Jake memutuskan hijrah. Hijrah ke terbang jauh, di negeri laut Metkayina yang ada di sisi Timur Pandora. Makhluk air berwarna hijau. Dan begitulah, orang hutan ini beradaptasi dengan lingkungan air. Yang pertama terbayang adalah, bangsa Eropa melakukan perjalanan jauh ke tanah Amerika. Dua kaum bertemu, dua ras bersatu. Pengandaian sejenis itulah.

Tinggal tunggu masa, pasukan Miles datang bersama misi perburuan otak ikan raksasa. Apakah kali ini Miles berhasil membalas? Ataukah Jake dan kawanan barunya mampu bertahan dari gempuran? Well, silakan buktikan sendiri kehebohannya. Saya sih nonton di 2D jadi sensasi nyolok mata, terjun ke laut tanpa basah, hingga magic sinema (katanya), tak terlalu berasa.

Saya sudah tidur dua jam sebelum kick-off agar dapat kesegaran, agar feel dapat, agar fresh menyelam. Nyatanya malah booring. Bikin kembali ngantuk. Sudah sengaja cuti demi menuntaskan misi penantian 13 tahun, biar nonton di hari pertama, nulis ulasan di mula rilis, hasilnya meh.

Beberapa yang patut disayangkan. === mungkin ada spoiler ===

#1. Tidak ada sentuhan humor. Apapun genre-nya sentuhan humor itu penting. Masa tiga jam, hambar sekali. Ada dua scene selipan lumayan, itu cuma bikin senyum dua detik masing-masing. Adegan si bungsu yang kembali ditangkap ikat (penonton lain sih yang ketawa), dan pertama kali mereka tiga di komuni laut, muncul cewek seksi yang menggoda (penonton lain juga sih yang terkikik).

#2. Misi utama balas dendam. Ya ampun, manusia sudah bisa klona, teknologi sudah secanggih itu, membuat pangkalan di planet lain, mencipta robot-robot tempur, pesawat melawan gravitasi, hingga kemampuan penaklukan. Masak misi utama film ini balas dendam, dengan duel satu versus satu di ujung. Alamak, basi sekali. Bisa ga sih lebih berbobot?

#3. Manusia jahat dan bodoh. Manusia di sini ini adalah bandit-bandit angkasa yang kasar dan bermulut besar, dan itu memberi aroganisme. Ok-lah banyak orang jahat di luar sana. Namun lihatlah para penakluk ini, manusia-manusia pilihan yang bisa menginvasi semesta, tapi logikanya bodoh. Ada kesempatan banyak sekali tembak mati makhluk baik biru atau hijau, tak dilakukan. Hello, kalian itu penjajah, bukan tamu apel malam Minggu. Sandera berulang kali dilakukan, mengancam, ngobrol dengan teriakan untuk negosiasi, hingga maaf – adegan buruk tangkap ulang lalu ikat itu. Konyol.

Mereka yang menobatkan diri sebagai makhluk unggul, yang mabuk dengan hiperbola makhluk kesadaran, terbius masalah kemajuan teknologi, keabadian, penemuan genetika dan teperdaya mitos, yang lantas menghidupkan mesin-mesin genosida, pemusnahan massal suatu makhluk, sekalipun di planet lain. Namun, menganalisis peluang saja masih kalah lebih pintar Danny Siregar menebak pertandingan bola.

#4. Spider dimunculkan, ditangkap, takluk. Memberi bantuan untuk ayahnya, guna membalas dendam lagi seri tiga? Mungkin. Sebagai ‘anak pengganti’ dan si pembeda. Namun fungsi membantu penelusuran tampak useless. Misi mencari Jake, ya ampun.

#5. Pengulangan. Ok-lah Avatar pertama tuh bagus dari banyak sisi. Termasuk cerita. Ada misi baik di sana, menyampaikan dampak buruk perang. Bahwa kolonialisme itu buruk, perang itu tak patut terjadi, hingga pidato perdamaian, kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa. Dan itu diulang + balas dendam itu tadi.

#6. Tak ada epic war. Film perang tapi tak war yang menarik. Yang datang kapal penangkap ikan, yang dilawan sepasukan kaum pribumi. Yang perang? Sekeluarga Jake versus sebagian kecil karakter. Yang jadi pertanyaan, kemana perginya kaum hijau? Dimula keputusan perang padahal menggelora, rajanya teriak lawan! Ini bukan skuat, ini keluarga. Lantas saat perang, senyap. Yang ada hanya keluarga Jake dan drama konyol penyanderaan. Dua kali. Setelah sedekade ini kita disuguhi film perang superhero berkelas dari Marvel, lihat pertarungan akhir film seperti lihat cekcok dua teman lama saling pukul manja. Blas ga ada serunya.

#7. Template remaja yang sahabatan, dihianati, lalu dengan bijak melakukan pembelaan terhadap pelaku bully seolah tak masalah berarti. Alamak, itu plot klise jadul sekali. Mungkin karena Cameron sudah tua, sehingga alur sejenis masih dipakai. Sungguh usang, bagaimana Neteyam yang dijorokin ke masalah lantas menganggap itu kejadian biasa. Dia masih remaja, tmpak angkuh dan keras kepala, dan fakta bahwa ayahnya pemimpin pasukan, status yang membuat tuan rumah sekalipun terpaksa menghormatinya. Namun seketika luruh dan merendah hati. Dasar sutradara tua.

Masih banyak hal yang bisa dijabarkan sisi negatif film ini, tapi tujuh kurasa cukup untuk semua saga, raksasa film belasan tahun penantian.

Biar imbang saya tulis sisi positifnya juga, mungkin yang utama adalah memanjakan mata saat pergulatan dalam air. Bahkan air laut sekalipun lebih tembus pandang daripada udara di tempat lain mana pun. Orang bisa terapung di air dan memandangi dasarnya yang jauh, dan dengan jelas melihat ikan-ikan antah, yang entah mengapa selalu disertai ikan-ikan flasfish mungil. Bercahaya, berbaris, bercanda.

Makhluk Pandora yang fantastis, hingga penuturan bak dongeng anak-anak. Bila Angkatan Perang wakil Bumi merupakan ujung tombak Kolonialisme, dan mengambil otak ikan sebagai berlian adalah misinya, maka makhluk-makhluk Pandora adalah bentuk imajinasinya. Melalangbuana, berdesis menggelitik mata. Kamu tidak bisa membuat telur dadar tanpa memecah kulit telurnya maka kamu tak bisa mengambil otak ikan tanpa membunuhnya. Ah, kejam nan satir.

Kiri. Cantek dan pencuri hati. Dia tahu dirinya cantik dan bahwa penonton pasti menganggapnya cantik. Maka pembuat film-pun sejatinya juga menempatkannya di posisi cantik. Sayang sekali, keistimewaan dalam air itu tak tereksplore maksimal. Dirinya adalah anomali, maka semua penonton menebak mau dibawa ke arah mana kekuatan istimewa itu. Sayang, malah sekadar penyelamat di ujung kisah. Tak meledak, tak berteriak. Melayang, terbang dalam air, itu saja.

Penamaan karakter yang unik bisa jadi nilai lebih lainnya, sampai hal-hal imaji menggelitik, seolah kita mendengarkan kakek bercerita. Sah-sah saja, dan itu menjadi salah satu daya dorong yang Ok. Kurasa Avatar 2 tak akan bisa melebihi angka penjualan tiket Avatar 1. Ingat, sebagus apapun promosi, kualitas film sangat menentukan jua. Promosi rekomendasi dari tulisan ke tulisan, mulut ke mulut, teman ke teman sangat efektif. Dan itu begitu menentukan angka akhir box office. Sangat disayangkan.

Terakhir, memang penilaian akhir setiap orang berbeda-beda tergantung banyak faktor. Bisa selera (saya punya teman, asal film ada ledakan akan dinilai bagus), bisa genre (saya punya teman asal filmnya merenung akan dibilang wow), bisa pula hal remeh temeh seperti pemandangan indah sekali (kasih dia 11 bintang dari 10, Stephen!), walaupun dari segi cerita ambyar berkeping. Maka dari itulah, saya tak akan menganggap pemuja pemandangan eksotik sinema menyambut Avatar 2 dengan pujian lebai seperti anjing yang melompat kegirangan menyambar makanan. Oh, dan ekornya bergoyang.

Avatar: The Way of Water | 2022 | USA | Directed by James Cameron | Screenplay James Cameron, Josh Friedman, Amanda Silver, Shane Salerno, Rick Jaffa | Cast Sam Worthington, Zoe Saldana, Sigourney Weaver, Kate Winslet, Stephen Lang, Vin Diesel, Michelle Yeoh | Skor: 3/5

Karawang, 161222 – Cab Calloway & His Cotton Club Orchestra – Minnie the Moocher

Kutonton dengan teman kerja 14.12.22. Thx to Rani. Skom, Abay Maulana, Icha Rechiana, Leni Cantik, dan Angga Em.

Malam yang Gerimis dan Sedikit Dingin


Jari Tengah by Alfian Dippahatang


“Kamis yang manis / di tengah gerimis malam, / tubuh ini masih pelan kau patuk. // aku sudah jadi mangsa / untukmu hilangkan lapar. // tetapi kau, // ular yang lamban / membuatku meringis di puncak // bisamu agak bening // – kukeluarkan dengan / jari tengah dari // lubang hidupku / tempatmu mencicipi harta / melebihi emas, // tertimbun / ribuan tahun dalam tanah. – Jari Tengah

Cuma kumpulan puisi berisi 50 halaman yang so so. Apa yang bisa diharapkan dari liukan kata yang mendeiskripsikan hubungan badan? Di kamar, berdua telanjang, bercumbu, bercinta, dan jalinan asmara samar dan ragu para pemuda. Walaupun dibalut dengan kata-kata manis dan bumbu penyedap yang mengulali, tetap saja isinya zina. Mau dibungkus dengan mahligai puitik yang coba mengadu harapan dan kecemasan, tetap saja hubungan ini tak serta merta dibenarkan. Tepat rasanya, siapa yang pernah bilang dulu, bahwa sastra memang mendewasa dengan iringan usia. Pengalaman akan menempa, pergolakan batik yang tua akan lebih terasa mengena. Saya merasakan, ini pengalaman cinta Penyair yang hijau sehingga cinta cumbu terasa nikmat seolah petuah mantra, “nih, aku bisa berzina, nih aku bisa menaklukan seorang perempuan.” Yang jadi tanya, siapakah dia? Kekasih? Teman tapi mesra? Pelacur? Ataukah wanita cinta satu malam? Atau lainnya? Tak disebutkan. Bahwa ia berhasil menggaet celana dalam perempuan, memasukkan jarinya ke vagina. Bahwa ia berhasil melepas kait HB dan mencucup isinya. Bahwa ia berhasil menidurinya di kamar hotel. Adalah fakta di buku tipis ini.

Buku setipis ini, dibaca cepat dan gegas. Tak berasa. Mungkin karena memang puisi bukan genre saya, dan kelemahan umum puisi adalah narasinya kurang. Belum dibangun bentuknya, terlanjur tutup. Jangan salah, beberapa maestro puisi yang pernah kubaca, bangunan narasinya baguuss baguuuuus. Beberapa bikin takjub. Nah, feel itu tidak kudapatkan. Narasinya malah vulgar, walaupun tak semuanya. Kubaca lirih dan kencang pun rasanya sama. Memang biasa saja.

Yah, maklumi saja. Masih labil usianya. Masih menggebu merintis sensasi pengalaman seks.

Jari Tengah II pembuka contohnya: “Kau nikmati / dada erika yang menonjol / seperti menyeruput air kelapa muda // di siang terik…”

Renung: “tanganmu pernah berkelana ke celana dalamnya. / kau bangkitkan raksasa yang mampu merusak / dan memperbaiki dunia…”

Siaga: “… di kamar yang pernah membuatmu sama-sama telanjang / saat rembang petang, kini membangun kesunyianmu…”

Seumpama Buah: “… kau labuhkan bibirmu / ke lehernya. / kau menggigit tubuhnya seumpama buah. // kau raba dan menusuk / kelaminnya dengan hari tengah…”

Dan seterusnya. Masih banyak dan dominan. Apakah hal seperti ini dilarang? Oh tentu tidak. Sah dan bebas. Hanya tak nyaman saja. Hanya tak bagus saja. Belajar dari penyair besar, Joko Pinurbo contohnya, dalam satu satu bukunya “Malam ini Aku Tidur di Matamu”, di puisi berjudul “Gadis Malam di Tembok Kota”, saya kutip sebagian: “Ini musim behari. Kupu-kupu berhamburan liar / mencecar bunga-bunga layu yang bersolek / di bawah cahaya merkuri. Dan bila situasi politik / memungkinkan, tentu akan semakin banyak / yang gencar bercinta tanpa merasa perlu was-was / akan ditahan dan diamankan // “Merapatlah ke gigil tubuhku, Penyair. / Ledakkan puisimu di nyeri dadaku.” / “Tapi aku ini bukan binatang jalang, Kitty. / Aku tak pandai meradang, menerjang.”

Lihat, eksotik sekali bukan. Sama-sama menggambarkan percintaan, tapi jelas jauh sekali gap kualitas penyampaiannya. Memang butuh jam terbang untuk ‘bercinta’. Dan Jari Tengah hanya bermain aman.

Kubeli buku ini karena masuk nominasi Kusala Satra Khatulistiwa (KSK) 2021 saja. Beli paket Basa Basi dapat tiga buku. Revolusi Nuklir, kumpulan cerpen lumayan bagus. Enak dan nyaman. Jalan Malam, kumpulan puisi bagus banget. Apalagi narasinya baik, dalam artian reliji menggetarkan. Perenungan hidup, hingga filsafat. Benar-benar bermakna. Jelas dari ketiganya Jari Tengah kalah segalanya.

Tak mengapa, memang paket ini membonuskan diri. Hadiah kerja.

Jari Tengah, kumpualn puisi | by Alfian Dippahatang | Editor Arco Transept | Pemeriksa aksara Daruz Armedian | Tata sampul Mita | Tata isi @kulikata_ | Pracetak Kiki | Cetakan pertama, Juli 2020 | Penerbit Basabasi | x + 52 halaman, 12 x 19 cm | ISBN 978-623-7290-89-6 | Skor: 2.5/5

Karawang, 131222 – Dee – Cicak di Dinding

Thx to Intan CP & Basabasi Store

Laut Sudah Tidak Kelihatan Lagi


1Q84 Jilid 2 by Haruki Murakami

“Baiklah kalau begitu, sampai jumpa entah di mana.” ucap Tamaru. / “Sampai jumpa entah dimana…” ulang Aomame secara refleks.

Dunia nyata yang menuh robekan, ketidaksesuaian, dan antiklimaks. Karena ini buku 2, endingnya masih menggantung. Masih tanda tanya besar. Seperti buku satu yang bernarasi dengan sudut bergantian: Tengo dan Aomame, di 1Q84 jilid 2 kita diajak berpetualang langsung lanjut, bulannya maju ke xx. Keputusan besar Aomame yang mendapat tugas membunuh sang iman akhirnya dilakukan, Tengo yang krisis identitas, mencari jawab sejatinya apakah anak kandung, sehingga kunjungan ke bapaknya di wisma panti jompo, akhirnya menemui titik temu. Masalahnya, kedua kejadian besar itu dipenggal di akhir. Misteri kepompong udara yang muncul, serta pencarian lubang cacing di tangga darurat di tol Metropolitan menjadi kejutan fantastis. Aomame si keren seperti biasa. “1Q84, aku sedang hidup pada tahun yang disebut 1Q84, bukan tahun 1984 yang sesungguhnya.”

Sebenarnya polanya masih sama, atau bisa dibilang miriplah. Sudut pandang bergantian. Lalu tingkah dan pemikiran mereka dikupas seluas-luasnya. Karena ini lanjutan, apa yang didapat tak banyak kejutan, kecuali tiga hal. Pertama, membuka misteri identitas Orang Kecil. Dohta lahir dari kepompong udara, dan rembulan bertambah menjadi dua. Dan 1984 berubah menjadi 1Q84. Dunia lama telah sirna, tak bisa kembali ke situ lagi. “Itu Dohta-mu. Dan kamu disebut Maza. Dohta bertugas sebagai wakil Maza.”

Dengan keren, disertai halilintar yang merobek langit, kita jadi tahu bagaimana proses kepompong udara bermetamorfosis. Kalau halilintar menggelegar terus seperti ini, tidakkah langit koyak-monyak? Bukankah koyakkan itu tidak bisa lagi diperbaiki oleh siapa pun?

Kedua, perjalanan ke panti jompo dengan lanskap cerita ‘mampir’ ke kota Kucing. Tak lama setelah masuk panti jompo khusus untuk penderita demensia di Chikura. Hanya dua kali Tengo pernah menjenguk ayahnya. Dan perjalanan itu Luar biasa, menakutkan, begidik. Sensasi tersesat seorang pejalan di dunia mistik. Walau itu merupakan cerita Penulis Jerman, Tengo dengan memposisikan perjalanan kereta seolah simpang lintas masa. Saya hanya dibuat merasa aneh-aneh oleh rasa takut.

Sebuah perjalanan reliji, pamit sama ayahnya yang sudah renta. Saya pernah membaca cerpen ini di buku ‘Kota Kucing’ dari penerbit Indie. Ternyata dinukil dari Novel ini. dan sempat pula kubacakan di kantor saat Inspirasi Pagi. “Sini peluk aku. Kita berdua harus ke kota kucing sekali lagi.”

Ketiga, penelusuran Aomame ke jalan tol di tangga darurat. Sebagai adegan pembuka, jadi ending yang sungguh-sungguh mengejutkan. Tak menyangka, setelah lari dari kejaran para palayan Orang Besar, menginap di hotel, menyepi, lantas merenungi kehidupan, sisian dunia antara. Ia melakukan tindakan radikal di tempat segalanya bermula. Shock, sungguh terkejut saya atas pilihan tindakan itu.

Ingat di tengah kisah Murakami membuat paragraf panjang ini, “Tidak seperti dalam film. Dalam film, orang bunuh diri begitu saja. Tanpa kesakitan. Mati dengan gampang. Tapi dalam kenyataan, tidak seperti itu. Gagal mati, berbaring terus di tempat tidur sambil ngompol dan sebagainya selama 10 tahun.”

Suka sekali, akhirnya hubungan Fuka-Eri dan Tengo berlanjut. Tindakan malam menggelegar itu patut dimaklumi, udara dingin dan suasana panas. Apalagi ternyata Fuka-Eri bukanlah sosok sembarangan. Tengo dan Fuka-Eri seperti Sonny dan Cher, duo tanpa tanding. The beat goes on. “Uang tak masalah,” kata Fuka-Eri. / “Lalu apa masalahnya?” Tengo mencoba bertanya.

Begitupula keputusan kepergian pacar Tengo, sangat natural. Istri orang dan seolah menemukan tombol klik tobat, pergi menatap masa depan yang lebih pasti. Sah-sah saja. Orang-orang yang hidup di dunia itu, dan waktu yang mengalir di sana.

Yang disayangkan adalah adegan di taman malam yang harusnya menjadi pertemuan membuncah, setelah perpisahan 20 tahun. Sayang sekali, menyedihkan akhirnya. Jadi ingat video klip lagu ‘Jika’ di mana Melly Goeslow dan Ari Lasso berdendang sepanjang lagu, dan akhirnya tak bertatap muka. Gemas, sedih, sangat menyedihkan. Ada yang mengucapkan salam perpisahan sebelum pergi, ada yang tiba-tiba lenyap pada suatu hari tanpa pamit. Huhuhu… (nangis). Selama 20 tahun ini, Tengo hidup bersama kenangan tentang sentuhan tangan gadis itu. Dia pasti bisa melanjutkan hidup bersama kehangatan ini.

Sebenarnya rasa simpati kita pada Aomame memang perlu dipertanya, ia adalah penjahat yang kebetulan diambil sudut pandangnya. Meski Aomame membunuh orang demi kebaikan dan keyakinan, pembunuhan tetaplah pembunuhan. Menurut hukum, tak perlu dipertanyakan lagi, Aomame adalah penjahat. Aomame berada di pihak yang ditangkap, sedangkan Ayumi berada di pihak yang menangkap. Keadaan seperti itu membingungkan Aomame, dan kebingungan bukan hal yang diinginkannya. “Saat senjata api diurus, diserahterimakan atau dibawa. Pada dasarnya harus dilakukan tanpa diisi sebutir peluru pun, kecuali dalam keadaan darurat… senjata api dibuat dengan tujuan membunuh atau melukai orang. Harus hati-hati lebih dari apa pun. Tidak ada kata yang terlalu hati-hati untuk senjata api…”

Carl Jung pernah bilang begini dalam salah satu bukunya, “Sejauh mana kita adalah entitas yang positif, sejah itulah menjadi manusia yang baik, berkemampuan tinggi, dan sempurna, semakin jelas kehendak bayangan untuk menjadi gelap, jahat, dan menghancurkan. Saat manusia hendak menjadi sempurna melebihi kepasitas dirinya sendiri, bayangan turun ke neraka dan menjadi setan. Karena bagi manusia, menjadi sesuatu yang lebih tinggi daripada dirinya sendiri sama berdosanya dengan menjadi sesuatu yang lebih rendah daripada dirinya sendiri.”

Bahaya imaji, melamun di tengah kegalauan memang berbahaya. “Berarti aku sedang berada dalam cerita yang digulirkan Tengo, batin Aomame. Bisa juga ditafsirkan aku berada di dalam tubuhnya. Aomame menyadari itu. Bisa dikatakan aku sedang berada di dalam tempat suci itu.”

Oh satu lagi. Keempat, bulan terbelah menjadi dua di tahun 1Q84. Mengingatkan pada kisah Nabi Muhammad yang termakjub dalam Quran.  Alqamar ayat 1: “Saat (hari kiamat) semakin dekat, bulan pun terbelah.” Di negeri imaji Murakami, bulan menjadi dua.

Mulai dibaca 14.04.22 jam 23:15, selesai baca 29.10.22 jam 13:20. Memang dibaca santuy. Pernah kubaca di Masjid Depok saat jadi sopir. Pernah kubaca di Blok H, pernah pula kubaca saat istirahat kerja. Paling dominan memang di rumah, depan perpus keluarga dengan kopi dan jazz merajalela.

Tak sabar menikmati buku 3. Januari depan? Gass…!

1Q84 Jilid 2 | by Haruki Murakami | Diterjemahkan dari 1Q84 Book 2 | Copyright 2009 | Originally published in Japan by Shinchosha Publishing Co., Ltd., Tokyo | KPG 59 16 01183 | Penerbit KPG, Mei 2013 | Cetakan kelima, Juli 2019 | Penerjemah Ribeka Ota | Penyunting Arif Bagus Prasetyo | Perancang sampul Andrey Pratama | Penataletak Dadang Kusmana | vi + 452 hlm.; 13.5 cm x 20 cm | ISBN 978-602-424-006-6 | Skor: 5/5

Karawang, 091222 – Gerry Mulligan – Capricious

Thx to Gramedia World Karawang