Best Films 2022

Dari pahlawan merenung sampai renungan dua orang di atas tanah gundukan. Dari perempuan pemenang lotere jatuh miskin sampai penyanyi kaya tewas muda. Dari dagis pendiam sampai remaja riang pembuat film. Kisah absurd di pulau asing sampai di negeri asing yang melakukan pembunuhan atas nama tuhan. Dari pria terjebak tinggal di kamar sampai polisi yang memutuskan tak tinggal sebab perselingkuhan. Gegap gempita perang sampai pria pencari kesunyian. Dari para perempuan ngobrol sampai ngobolnya ayah anak.

Ini adalah tahun ketujuh saya buat daftar 14 film terbaik. Masih nyaman dan konsisten. Total film rilisan 2022 yang kutonton adalah 36. Inilah film-film terbaik 2022 versi LBP (Lazione Budy Poncowirejo):

#14. The Batman by Matt Reeves

Di sebuah kota yang selalu ditempa hujan… Darah dan kata-kata pasti meluap bersamaan. Gotham yang basah dalam berkah limpahan kata-kata sang superhero seolah penyair pelamun, ia murung dan lelah. Apakah perlu kita menghitung air hujan yang diguyur langit, yang umlahnya tak terhingga, seperti penderitaan yang harus Batman pikul. Jalan yang harus ditapaki seorang pahlawan tidaklah semulus yang kita bayangkan: berliku-liku dan melewati kerasnya gunung pengorbanan.

“Ketakutan adalah alat. Saat cahaya itu menerpa langit, itu bukan sekadar panggilan. Itu peringatan.”

#13. Gold by Anthony Hayes

Minimalis fantastis. Drama antara Bagong, Petruk, dan Hawkeye. Saya suka. Keterasingan bisa mencipta halusinasi dan pemikiran liar. Temanya bisa jadi tamaknya manusia, tapi sejatinya ini masalah moral. Sejatinya dia orang baik, dia bertanggungjawab atas tugas yang diemban, potensi kabur ada, kemungkinan legowo ada, tapi sayangnya ia orang baik yang dimanfaatkan. Lihat bagian awal, saat di kereta ia memberi makanan sebagian kepada gelandangan dalam gerbong, itu saja sudah memberi gambaran betapa ia orang baik, dan sungguh apes, ia dimanfaatkan. Emas berhasil membutakan hati manusia di dunia fana ini. Manusia cenderung melakukan hal-hal yang tidak baik saat terkucil.

“Tidak ada api tanpa asap.”

#12. To Leslie by Michael Morris

Permulaan film Indonesia banget. Menang lotere besar, foya-foya, traktir sana-sini, alkoholik akut, dan dalam sekejap jatuh miskin hingga jadi gelandang. Kegilaan dari tindakan yang tanpa berpikir. To Leslie mengambil potret itu, gelandangan bertahan hitup dari satu emperen toko ke penampungan, dari satu rumah teman ke rumah anak, begitulah, akibat salah kelola keuangan. Kesempatan satu seumur hidup, mendapat durian runtuh, bukannya mewujudkan mimpi memiliki kedai makanan buat menunjang hidup, malah dihambur-hamburkan. Untungnya, Tuhan selalu bersama hambanya yang berusaha. Dan begitulah, selalu, selalu ada manusia baik di sekitar kita yang ikut mengangkat dari kubangan. Dalam film ini, malaikat kebaikan itu sungguh luar biasa. Tak pamrih, serta kebal akan cemooh. Endingnya hangat, dan terlalu manis untuk menjadi nyata.

“Tidak ada yang akan memberimu kesempatan kedua kalinya, mengerti?”

#11. Elvis by Baz Luhrmann

Rock n roll. Takdir telah memilihnya sebagai tokoh protagonis dalam tragedi ini dan bahwa dia tidak punya pilihan selain menggenggam pedang dan menghunusnya. Pil-pil itu hanya sarana, konser melelahkan itu hanya panggung sandiwara, dan alur emosi yang timbul tenggelam, bagai roda pedati yang konstan. Sang megabintang tutup usia tersebab apa? Kebenaran sejati adalah sejarah seharusnya hanya berisi anekdot-anekdot berita yang terperangkap di dalamnya. Elvis belajar untuk lebih kesepian daripada yang bisa dirasakan manusia. Di Graceland malam datang tanpa diselingi senja, dan sebelum hujan turun, cahaya matahari bagai cahaya mutiara.

“Saat aku tiada… saat aku tiada. Terpujilah Tuhan terus menerus. Aku terbang menjauh…”

#10. The Quiet Girl by Colm Bairéad

Gadis cantik yang tumbuh dalam keluarga besar, lalu dalam libur musim panasnya dititipkan ke rumah saudara jauhnya. Di desa yang sepi daerah Rinn Gaeltacht, County Waterford, sebuah rumah peternakan sapi mengelingkupi sifat pendiamnya. Ia lalu menyatu sama rutinitas keluarga ini. Setelah bermenit-menit tanpa melihat anak lain, barulah kita tahu bahwa satu-satunya anak paman bibinya itu meninggal dunia karena tenggelam, gara-gara berkejaran dengan anjing. Dan ia menjadi pelipur lara. Endingnya war-biasa… dipulangkan, dipergikan, dipelukan erat ayah.

“Hal-hal aneh kadang terjadi, bukan? Sesuatu yang enh terjadi padamu malam ini.”

#9. The Fabelmans by Steven Spielberg

“Segala hal terjadi untuk suatu alasan.”

Kisahnya tentang hikayat kaum pencipta film, merentang dari masa kecil Sammy Fabelman, remaja sampai ia sukses mencipta film yang patut dibanggakan keluarga. Lebih banyak konfliks internal bagaimana keluarga ini coba bertahan, malah sungguh dominan ibunya, Mitzi (Michelle Williams) yang sakit. Ia memiliki kesalahan, dan coba dipendam dan diurai, yang sayangnya malah makin berat. Dan begitulah, keluarga adalah kalimat, bukan kata, sehingga satu anggota luka, maka kata lainnya turut sedih.

#8. The Triangle of Sadness by Ruben Östlund

Perbincangan jelang akhir bilang, “ini tak masuk akal.” Dan dijawab ya. Seolah merangkup isi cerita film. Aneh dan unik, rasanya sang sineas bergurau saat situasi gawat. Film aneh yang mengejutkanku. Sempat mengira ini film art, di mana dominasi adegan meja dan perbincangan di atas mendominasi. Lalu berubah haluan di atas kapal mewah, dengan keaneragaman perilaku orang kaya, hingga akhirnya berubah jadi film komedi saat terdampar di pulau asing. Daya tarik film ini (ingat endingnya jadi komedi ya) terletak pada penggambarannya yang jernih dan begitu hidup. Kaget, sungguh mengagetkan Oscars menunjuknya di nominasi tertinggi. Namun, twist dan geregetnya sungguh menyenangkan, melegakan lebih tepat. Siapa sangka, dominasi orang kaya itu runtuh seketika? Hanya di sini Babu berusaha mempertahankan supremasinya. Dan tentu saja, poin ending-nya ada dua: keledai sebagai piala kepahlawanan dan penjelajahan hutan yang berakhir dengan tawa histeris. Aduhai, tak tertebak. Sebuah pulau dengan robekan realita, ketidaksesuaian, dan antiklimaks.

“Tak masuk akal, ‘kan?”. The Holy Spider by Ali Abbasi

#7. The Holy Spider by Ali Abbasi

Luar biasa. Menyeramkan. Film ini banyak membahas iman dan prahara, dan efek salah langkah memilih jalan keimanan. Serial killer berdasarkan kisah nyata tahun 2000 s.d. 2001. Apapun alasannya, bagiku membunuh orang lain adalah salah. Apalagi ini di era millennium, di mana era keterbukaan, ada hukum yang mengatur, yang sejatinya manusia juga harus bisa berpikir terbuka, tidak berpandangan sempit. Keyakinan moral dapat menulikan orang dari kebenaran selain kebenarannya sendiri. Melakukan tindak kejahatan, sekalipun massa mendukung, sekalipun lingkungan meneriakan semangat, tetap saja salah, dan penjahat harus dihukum. Jihad bisa dilakukan dengan cara tak seperti itu. Kamu bukan Tuhan, kamu tidak bisa menentukan hasil suatu kejadian. Yang penting jalan itu bukan cara melenyapkan nyawa seseorang. Masih banyak ladang pahala yang bisa dilakukan. Ketika membunuh sebagai pembenaran untuk menghilangkan perilaku amoral masyarakat, jelas ada lubang dalam argumen ini.

“Setiap orang akan bertemu dengan apa yang ingin ia hindari.”

#6. The Whale by Darren Aronofsky

Best actor locked. Film dengan setting minim. Hanya dalam satu ruangan, menampilkan pria gemuk, over gemuk duduk, hampir sepanjang film. Kenapa ada orang sanggup menjalani hari yang sama berulang kali selama bertahun-tahun tanpa menjadi gila? Lantas para tamu bergantian hadir, atau beberapa adegan bersamaan, mengunjunginya. Kekuatan film memang di cerita, jiwa-jiwa frustasi. Membedah pengalaman masa lalu, yang indah dikenang untuk menyatukan senyum, yang buruk dijadikan pemicu perbaikan kualitas hidup. The Whale hanya seminggu, dan selama seminggu yang ganjil, si pria gemuk dalam posisi di titik pengambilan keputusan terpenting dalam hidup. Sekarat, dan bisa jadi hidupnya tak kan lama lagi. Lantas saat tahu, hidupmu tinggal hitungan hari, apa yang akan kau lakukan?

“Saya perlu tahu bahwa saya telah melakukan satu hal yang benar dalam hidupku.”

#5. Decision to Leave by Park Chan-wook

Kalau saya membuka ulasan The Batman dengan kalimat, “Di sebuah kota yang selalu ditempat hujan…” Maka Decision to Leave kubuka dengan kalimat yang hampir serupa. Sesedikit mungkin tahu alurnya, semakin aduhai. Sedikitnya ada sepuluh kali saya bilang, “anjir keren keren, anjir keren keren, anjir keren keren.” Diolah berulang seolah mantra. Rumit, benangnya membelit hati.
Di sebuah kota yang selalu diselimuti kabut…4. All Quiet on the Western Front by Edward Berger

#4. All Quiet on the Western Front by Edward Berger

Epic war. Luar biasa. Salah satu film perang terbaik yang pernah kutonton. Gambaran perang yang mengerikan. Dengan setting Perang Dunia Pertama, pihak Jerman dan Prancis dalam masa menegangkan. Di tanah La Malmasion utara Prancis yang diperebutkan, drama penuh ledakan terjadi. Dengan sudut pandang pihak Jerman, kita diajak bersafari hal-hal yang terjadi di baliknya. Tata kelola perekrutan yang mengerikan, bayangkan saja, mereka anak baru lulus sekolah, tanpa pelatihan militer yang memadahi, seolah mengejar kuantiti. Dikirim untuk perang, di front terdepan pula. Maka wajar, penggambaran mula film sungguh-sungguh menegangkan. Rekrutan itu kocar-kacir, dan hingga akhir film kita turut merasakan betapa kasihan sekali jiwa-jiwa muda ini, yang seharusnya menikmati masa indah malah berperang.

“Ketika Anda kelaparan, Anda akan melakukan apapun.”

#3. The Banshees of Inisherin by Martin McDonagh

Mengerikan, tapi tampak rasional. Lima puluh tahun lagi saat kita sudah diganti generasi berikutnya, apa yang kita tinggalkan? Teman-teman yang baik? Oh itu hanya lingkar dalam lingkungan. Beberapa abad yang akan datang, kita tak akan dikenang jika hanya jadi manusia biasa. Di sini, kita mengambil contoh musisi. Abad 17 kita mengenal Mozart, dan itu akibat karyanya yang abadi. Maka pemikiran liar inilah yang menjadi picu perpecahan persahabatan dua orang. Jati diri kehidupan, apakah warisan karya yang monumental atau sekadar gelak tawa dengan teman dan keluarga terkasih? Di pulau terpencil tahun 1923, dengan minimalis dan sederhana lelaku keseharian, kita menjadi saksi remuk redam kebimbangan. Warga dan kesunyian yang tertinggal. Kejam, sunyi, mengerikan. Apakah sepadan, meninggalkan teman karib demi mengejar impian yang tersisa? Mengggapai impian tidaklah sungguh-sungguh manusiawi karena memilih impian dengan tepat tergantung pada suatu pendapat tepat mengenai keselarasan hakiki antara impian-impian tersebut. Ah, Colm yang malang, memikirkan hakikat kesunyian, kesunyian yang lebih pekat dari hutan, kesunyian tak tertembus.

“Satu lagi pria pendiam di Inisherin, astaga!”

#2. Women Talking by Sarah Polley

Luar biasa, dan ini berdasarkan kisah nyata, diinspirasi kejadian sebenarnya di sebuah koloni Manitoba, Bolivia, diadaptasi dari novel karya Miriam Toews. Setiap menitnya menegangkan, lebih dari sekadar ngobrol. Main stage-nya adalah ruang pertemuan di rumah peternakan, dengan jerami mendominasi, dengan kursi-kursi kayu seadanya. Tatanan kisah sangat kuat, sebab menentukan nasib banyak orang, nasib anak-anak generasi berikutnya. Jadi ini bukan tentang ibu-ibu ngerumpi di arisan, bukan pula ngobrol di atas meja makan, ini tentang perempuan berbicara misi penyelamatan, untuk itulah terasa sungguh menegangkan di tiap ucapannya. Turut pula ketakutan, hasil voting akan memecah belah, mereka adalah orang-orang buta huruf, dan begitulah, menit-menit mencekam di koloni asri, hamparan hijau daun sepanjang mata memandang.

“Apakah permintaan maaf yang dipaksakan itu benar?”

#1. Aftersun by Charlotte Wells

Apakah arti semua itu? Apakah perjalanan film berakhir dalam paradoks? Tak terjelaskan makna berikutnya, setelah Calum berbalik, keluar dari pintu itu. Biar penonton sendiri yang menerka apa yang terjadi. Kemungkinan-kemungkinan apa sajakah yang dimiliki manusia ketika terjebak dalam dunia yang telah ada ini?

Ya ampun cantik sekali Aftersun. Salah satu terfavorit tahun ini. Hubungan ayah anak yang hangat. Liburan berdua bersama ayah, manjadikan mereka makin dekat. Ayah yang frustasi, mempelajari Tai Chi, mencoba refreshing dengan anaknya. Ayah depresi yang tak menyangka menyentuh usia 30 tahun. Anak, yang cerdas, kritis, mencoba menikmati hari, sementara waktu jauh dari ibunya. Ini adalah momen indah di ulang tahun ayahnya, jadi harus dimanfaatkan dengan baik. Jadikan kesenangan adalah motor serta norma dari seluruh acara ini, itulah kehidupan kita. Liburannya jauh, mencapai Turki di sebuah resort sederhana. Dan begitulah, hubungan hangat anak-ayah ini dikupas mendalam. Indah, dan seperti kenangan indah lainnya, akan mengulik otak kita di kemudian hari.

“Saat kamu berusia 11 tahun, menurutmu apa yang akan kamu lakukan sekarang”

Karawang, 310323 –Arctic Monkeys – Dancing Shoes

Happy Birthday Winda Luthfi Isnaini 17 tahun.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s