
“Dalam dunia cewek, selain anak, yang bikin mereka terkagum-kagim sampe sirik adalah berlian. Siapa coba yang bisa nahan diri nggak pengen ngeliat cincin lima karat dari jarak pandang sedekat mungkin?”
Sungguh terlalu. Cerita cinta dengan banyak hal menyedihkan. Genre chicklit yang disampaikan dengan begitu hhmmm… apa ya pasnya? Aneh? Kurang pas. Dungu? Juga kurang pas. Klise, hampir pas. Mungkin kata “malesi” lebih klik. Sedari awal, dengan sangat mudah sudah dapat diprediksi, dua sahabat itu bakalan bersatu. Kita tahu kata-kata hati keduanya, kita bisa menerka dengan mudah, tindakan apa yang akan dilakukan. Bahkan ketika salah satunya dilamar orang lain, dan diterima. Bahkan saat satunya lagi dikenalkan temannya teman dan begitu anggun mencinta. Malesi sekali mengikuti perjalanan orang-orang dewasa ini yang tak dewasa. Seks bebas, dan pikiranya tak bebas. Terbelenggu gaya hidup, terikat pikiran mengapa, bagaimana, dan andai saja. Kalian sudah tak remaja lagi woy! Hufh… “Dari tujuh dosa paling mematikan, dia memang paling lemah sana nafsu.”
Kehidupan Jakarta, kota terbesar Indonesia ini mencipta perilaku masyarakatnya cenderung mengkhawatirkan hal-hal yang sepele. Tak ada kekhawatiran makan apa besok? Tak ada konfliks bertahan hidup. Dua orang sahabat sejak kecil, keduanya: cakep, ekonomi cukup (bolehlah dibilang mapan), stylist, hingga sudah memiliki kendaraan yang nyaman. Sandang, pangan, papannya sudah tercukupi. Ketamvanan dan kecantekan pun menunjang. Lalu apa lagi? Tentu saja mengkhawatirkan cinta. Ah, asmara di kota besar. Bagaimana kalau cowok ini tak sepenuhnya cinta aku, padahal ia pacarku? Bagaimana kalau cewek ini akan menaiki jenjang pernikahan, dia kan sahabat baikku dan aku tak rela? Bagaimana kalau dua hati yang sudah nyaman diretakkan lalu coba disulam ulang? Pillow Talk adalah novel dengan kebebasan berpikir, kebebasan logika, hingga nalar tercecer. Sungguh tak cocok untuk kaum konvesional, tak pas untuk jelata, dan makanya itu tak relate ke banyak hal.
Emi adalah perempuan karier yang memiliki toko fashion online inimurah.com, bersama temannya Ajeng mengembangkannya menjadi brand yang laris. Dalam pembuka kita tahu Emi yang kini memasuki usia krusial penentuan menikah atau tetap melajang, dilamar oleh pria dewasa, pria matang 40-an yang kaya, mapan, tajir, Jawa. Emi dilamar di tempat tidur, dan dengan berlian mahal dikenakan untuk persetujuan ikat. “Siapa lagi coba yang punya stok cinta dan perhatian sebesar Dimas?”
Kabar gembira ini jelas harus diumumkan ke seantero raya. Pertama, sahabat karibnya sejak kecil, Jo. Pria mapan lainnya yang kerja kantoran, sebagai marketing sukses. Pria yang sudah jadi temannya sejak kecil, teman sekolah, dan teman ke mana saja. Jo digambarkan tamvan dan sikpek sehingga dengan mudah menggaet perempuan.
Karena sudut pandang bergantian antara mereka berdua, maka kita bisa tahu isi hatinya. Kita tahu Jo tak setuju sebab hati kecilnya tak rela. Emi sekalipun bahagia akan melanjutkan kehidupan di jenjang baru sebagai istri, kita tahu hati kecilnya ragu dan cintanya tertambat di Jo. Maka sebagai teman curhat, kata-kata yang keluar tak seperti kedalaman hati. “Dia cantik banget kalo diam dan cerdas banget kalo dah angkat bicara.”
Dengan pembuka seperti itu, kita dengan mudah menebak mereka akan bersatu. Entah bagaimana kendalanya, entah rintangan jenis apa yang menghalangi, entah bahaya apa yang akan dicipta. Klise dan begitu terterka?
Lantas Emi diundang ke pernikahan saudara Dimas, bertemu keluarga besarnya yang adigung adiguna adiluhung menjunjung tinggi adat Jawa. Emi yang gugup, khawatir melakukan hal-hal salah atau memalukan, dibantu Ajeng, dan diyakinkan hatinya, ia bisa. Dan duuuer… saat bertemu dengan calon mertua, segala-galanya berantakan. Konyol, dan begitu memalukan. “Ibu-ibu Jawa seneng banget sama calon mantu yang sopan santun.”
Sementara Jo yang nganggur cinta alias jomblo diperkenalkan teman Ajeng, yang seorang pengusaha kue. Feli yang cantik, memikat, penguasaha. Perkenalan lewat comblang itu sukses. Dalam artian mereka sama-sama tertarik, janjian makan malam, nge-date nonton bioskop (walaupun sudah di depan loket akhirnya batal), hingga akhirnya jadian. Singkatnya, hanya beberapa kali bertemu mereka kiss-kiss dan menyatakan cinta. Dan sekali lagi karena kita bisa tahu isi hatinya, kita dengan mudah bahwa cinta ini abu-abu. “Obat patah hati dari cewek, ya cewek juga toh?”
Dan benar saja, sebuah hadiah dari kantor karena prestasi memikat Jo yaitu jalan-jalan ke Bali menjadi titik balik semuanya. Bos Pak Ethan yang baik hati dan tidak sombong. Jo yang masih lajang bukannya mengajak Feli untuk liburan, tapi malah mengajak Emi sebagai teman kamar hotel. Sekalipun dibumbui Ethan tertarik sama Emi, dengan goda dan rayuan rancu. Sekalipun beberapa kali keraguan itu tampak. Apa yang terjadi di kamar berdua laki-laki dan perempuan, saling cinta dan sungguh dekat menghabis malam? Main monopoli? Gim Candy Crush Saga? Atau malah catur? Hehe… Sederhana, mudah ditebak, dan saking klisenya alur itu sudah tampak sedari mula. Sayangnya, penulis tak melakukan perlawanan. Mengikuti alur tebak, dan begitulah.
Untuk novel dewasa, banyak hal lebai dan disampaikan dengan rasa terganggu. Kenapa saya bisa bilang begitu, yak arena saya sudah di tahap itu. Seperti perkataan ini, “Cinta itu kan Cuma cinta – nggak ada kekuatan ato sesuatu yang hebat terkandung di dalamnya.” Atau rasa rindu. “Satu, kangen kamu. Dua, kangen kamu. Tiga, kangen kamu.” Atau perasaan lebai ini, “Kalau aku ngelupain kamu aku juga lupa caranya bahagia.” Mereka tidak anak remaja, tapi ya gmana mau mengontrol diri, mengontrol emosi sendiri saja lemah.
Ini memang kisah orang kaya, orang tamvan, orang-orang kota. Sampai muncul perkataan yang rasanya berlebihan. “Ogah, gue alergi debu.” Sekali lagi, memang bukan genre-ku. Memang bukan dalam jangkau seleraku. Inilah efeknya menikmati bacaan dengan rasa terpaksa. Tak nyaman, ngalir dan terhanyut bikin pusing kepala. Terasa bukan di Indonesia, tapi kok ya di Jakarta. Apa sayanya saja yang kurang gaul? Sehingga kehidupan kota yang menengah atas tak terjangkau? Hiks…
Banyak lagu-lagu barat dinukil, banyak kemudahan hidup disampaikan. Cari pacar gampang, cari partner seks mudah, liburan ke Bali dapat bonus seolah, voucher tinggal gosok, banyak ungkapan lebai seolah remaja, dst. Well, realita itu memang ada, tapi tak segampang itu.
Ini adalah buku pertama Chistian Simamora pertama yang kubaca, dan sepertinya akan menjadi yang terakhir juga. Jelas bukan aku banget. Terinspirasi oleh penulis Amrik Meg Cabot yang sungguh metropolitan, bukan Murakami yang muram, isinya juga blik-blik sehingga tak cocok. Hanya nasib buruk yang akan mengantarku menikmati buku Simamora lainnya. Hanya kebetulan luar biasa, sungguh.
Pillow Talk | by Christian Simamora | Editor Gita Romadhona | Proofreader Windy Ariestanty, Resita Wahyu Febiratri | Penata letak Wahyu Suwarni | Desainer cover Jeffri Fernando | Penerbit Gagas Media | Cetakan pertama, 2010 | x + 462 hlm; 13 x 19 cm | ISBN 979-780-393-7 | Skor: 2.5/5
Untuk Pupunewe Ciwikeke
Karawang, 130123 – 170123 – Sara Lazarus – This Can’t Be Love
Thx to Nenk Tasha, Jakarta