“Tidak ada yang akan memberimu kesempatan kedua kalinya, mengerti?”
Permulaan film Indonesia banget. Menang lotere besar, foya-foya, traktir sana-sini, alkoholik akut, dan dalam sekejap jatuh miskin hingga jadi gelandang. Kegilaan dari tindakan yang tanpa berpikir. To Leslie mengambil potret itu, gelandangan bertahan hitup dari satu emperen toko ke penampungan, dari satu rumah teman ke rumah anak, begitulah, akibat salah kelola keuangan. Kesempatan satu seumur hidup, mendapat durian runtuh, bukannya mewujudkan mimpi memiliki kedai makanan buat menunjang hidup, malah dihambur-hamburkan. Untungnya, Tuhan selalu bersama hambanya yang berusaha. Dan begitulah, selalu, selalu ada manusia baik di sekitar kita yang ikut mengangkat dari kubangan. Dalam film ini, malaikat kebaikan itu sungguh luar biasa. Tak pamrih, serta kebal akan cemooh. Endingnya hangat, dan terlalu manis untuk menjadi nyata.
Jadi Leslie ‘Lee’ Rowlands adalah orangtua tunggal untuk anak lelaki James (Owen Teague). Dalam adegan pembuka singkat, Lee yang dapat 190 ribu dollar langsung jatuh miskin. Diusir dari kontrakan, dan kini ditangani anaknya. Numbang tidur di apartemen anaknya, bukannya tobat, malah menjadi-jadi. Minum alcohol sudah jadi kebiasan, dan candunya akut, sehingga membuat marah James, sebab minum-munim di apartemen tetangga, bayangkan saja, emak lu teler di seberang rumah, memalukan. Kesabaran James habis, ia dengan berat hati mengusir ibunya.
Sempat mengubungi neneknya, James akhirnya meminta tolong sobat ibunya Nancy (Alison Janney) dan pacarnya Dutch (Stephen Root). Di situpun, Lee tetap berulah. Mabuk dan lupa waktu di bar. Sehingga menguncinya, Lee teler di luar motel, dan saat paginya ia diusir sama pemilik Sweeney (Marc Maron). Kabur dan melupakan koper berisi surat dan barang-barang penting yang tersisa. Di bar pun, sama temannya Pete berakhir buruk.
Nah, di sinilah muncul malaikat kebaikan. Kembali ke motel, mencari koper malah ditawari kerjaan oleh pemiliknya. Tampak Royal (Andre Royo), partner Sweeney menanggapi dingin, sampah masyarakat ini apa yang bisa diharapkan? Lagi-lagi, Lee berulah. Menjadi tukang bersih-bersih hotel, meminta uang muka, padahal sudah diberi kesempatan dan tempat bernaung saja seharusnya syukur. Dan benar saja feeling Royal, Lee tetap pada kebiasaanya: mabuk, menghamburkan uang, kerja ga bener, bangun kesiangan, tak bersih membersihkan kamar, dst.
Dalam situasi mabuk, Lee malah keluyuran sampai ke rumah lamanya. Mengetuk pintu rumah tempat dulu ia tinggal, disambut anak kecil, lalu keluarga penghuninya. Tentu saja kelakuan buruk ini menakuti penghuni baru, Lee sudah terusir, dan ia tak memiliki hak. Betapa seperti orang gila, ia bilang dulu pernah tinggal di situ dan betapa hangannya suasana masa lalu. Dan kepada siapa tuan rumah ini menghubungi orang gila ini? kepada bosnya Sweeney lah ia kembali.
Begitulah, film ini akan berkutat di situ saja. Hubungan timbal bali, pergi pulang ke motel, dan dengan jitu kita akhirnya diberi tahu alasan kenapa Sweeney negitu baik. Ada masa lalu yang perlu diperbaiki, ia duda yang kecewa akan kehidupan masa lalunya, ia harus memperbaiki masa itu, ia menemukan Lee, dan kita pasti maklum betapa sabarnya ia.
Kita juga diajak menyelami pasang surut emosi Leslie. Dari perayu alkoholik yang ditolak pengujung bar lain, lalu berbalik mendapat atensi lebih dan mendapai kepecayaan kembali saat berhasil memikat pengujung lain, justru saat ia tak mencari, dan manusia. Ah manusia, saat mendapat kesempatan, dan kepercayaan tinggi, ia mengolahnya dengan brilian. Kesempatan itu tak disia-siakan, saat ia tertidur di kedai es krim bobrok di seberang motel, seolah mendapat momen ‘eureka’, ia gegas menyampaikan ide-idenya di pagi yang cerah itu, takut ide tersebut kabur, dan akhirnya kita mendapati buah dari kesabaran, dan kerja keras. Hidup hanya sekali, jangan sia-siakan orang baik- di sekeliling kita. To Leslie memberi ending yang semanis-manisnya, seindah-indahnya, seadil-adilnya, bagi alkoholik yang tak menyerah akan nasib. Untung Tuhan mahabaik.
Hubungan ibu-putranya sebenarnya potensial digali, tapi film malah mengusik fokus pada upaya Leslie bertahan hidup sebagai gelandangan. Walau sudah ditingkat parah, dimana kesempatan sudah diberi ia malah kembali memilih jalur buruk, ternyata di suatu titik, ia malah tobat saat luapan minuman memabukkan itu dihidangkan. Momen saat ia mendapati ‘ding’ bangun tidur, dengan sorot matahari pagi, di sela-sela atap bolong, seolah memang gambaran cahaya kebaikan dari langit. Dilukis dengan pesona bergaris, oh cahaya itu bergaris, dan menamparnya untuk bangkit. Dan betapa beruntungnya, ia menemukan seseorang yang tepat. Hidup ini, kalau sudah dapat klik dengan seseorang, dan saling mengisinya, sungguh, amat-sangat nikmat. Orang klik, sabar, belas kasih tak bertepi, support tanpa ampun! Jangan sia-siakan. Itulah yang membuat kita semua takjub sama Sweeney, dipandang baik dari segi manapun akibat penebusan dosa, dan ternyata ia juga memiliki insting yang tajam.
Karena memang berbujet rendah, film ya berkutat di kota itu-itu juga. Aktornya juga itu-itu juga, hanya mengembangkan cerita, bertahan untuk tetap menarik. Secara sosial penduduk ini, yang kita saksikan, adalah lingkaran hubung manusia untuk bertahan hidup, mereka seolah membangun istana, mereka seolah akan hidup kekal, dan makan seolah mereka akan segera meninggal dunia. Tidak-tidak, hakikatnya memang sebagai warga kita harus peduli, saling menolong, karena kalau tidak, hubungan sosial apa yang bisa diharapkan?
Sebagai gelandangan, ia bertahan hidup dengan menempel pada belas kasih sesama. Di era modern ini, apalagi di Amerika, kemiskinan memang tidak akan membunuh siapapun, tetapi ia menjadi teman tidur yang menyebalkan. Hari ini bisa, esok bagaimana? Saat dapat uang, ya ampun malah beli miras. Kzl ga sih? Namun saya pernah dengar, Orang yang pernah menjadi peminum, akan minum lagi. Dan kekesalan kita seolah patut dimaklumi. Setelah lebih dari separo film akhirnya kita bisa mengambil hipotesis tunggal: Leslie adalah pemabuk berat, dan hanya dia sendiri yang bisa menghentikannya. Adalah dorongan dari dalam, bukan anaknya, bukan sobatnya, bukan pula malaikatnya, dan wuuuzz…. Terbukti. Minuman itu tak disentuhnya walau sudah dibayar. Tergeletak di atas meja bak sebuah bukti forensik di pengadilan dunia yang sungguh penting. Dan menemui fakta itu, siapapun: baik Sweeney, Royal, pemilik bar, dan tentu saja penonton merasakan perasaan lega kolektif. Akhirnya, inilah titik balik itu.
Banyak hal yang dapat Leslie sesali dalam hidup, dan kukira semua orang bisa mengatakan hal yang sama. Ia membalas penyesalan itu dengan hantaman balik yang begitu keras.
To Leslie seolah adalah perlambang, untuk menikmati hidup tak perlu pangkat, tak perlu uang melimpah. Rasa syukur dan berbagi dengan orang-orang tak mampu, hidup itu sendiri adalah rasa syukur yang melimpah. Tak harus jadi bos pemberi kerja atau dermawan bak malaikat untuk melakukannya, kalian juga bisa. Dari hal-hal kecil, berbagi rezeki di sekitar, membantu apa yang bisa dibantu si sekitar, melakukan kebaikan-kebaikan kecil di sekitar. Ada banyak ‘Leslie’ di sekitar. Jadi kapan menerapkannya? Ya, sekarang.
Mendapat satu-satunya nominasi Best Actress untuk Andrea, kurasa 99% film ini akan kalah. Memang kedigdayaan di film ini patut dicungi jempol, seolah Andrea menanggung beban segalanya. Dominan, dan full peran protagonist diemban sendirian. Sayangnya, tetap secara akting Michelle Yeoh misalnya, yang sudah kutonton, tetap kalah kelas. Yeoh membagi peran secara seimbang dengan aktor lain, tapi porsinya tetap nyaman dan wah. Andrea terus menerus menanggungnya, dan kurasa berat untuk mendapat piala. Untuk sebuah film kecil, bujet rendah, dan debut pula, kurasa sudah sangat hebat bisa mengirim wakil di ajang tertinggi. Patut dinanti film-film berikutnya Morris, konsisten di genre art saja, suatu saat kesempatan itu pasti datang. Goodluck.
To Leslie | 2022 | USA | Directed by Michael Morris | Screenplay Ryan Binaco | Cast Andrea Riseborough, Andre Royo, Owen Teague | skor: 4/5
“Saat aku tiada… saat aku tiada. Terpujilah Tuhan terus menerus. Aku terbang menjauh…”
Rock n roll. Takdir telah memilihnya sebagai tokoh protagonis dalam tragedi ini dan bahwa dia tidak punya pilihan selain menggenggam pedang dan menghunusnya. Pil-pil itu hanya sarana, konser melelahkan itu hanya panggung sandiwara, dan alur emosi yang timbul tenggelam, bagai roda pedati yang konstan. Sang megabintang tutup usia tersebab apa? Kebenaran sejati adalah sejarah seharusnya hanya berisi anekdot-anekdot berita yang terperangkap di dalamnya. Elvis belajar untuk lebih kesepian daripada yang bisa dirasakan manusia. Di Graceland malam datang tanpa diselingi senja, dan sebelum hujan turun, cahaya matahari bagai cahaya mutiara.
Filmnya terlalu hingar bingar, tapi tak mengapa sebab secara cerita bagus. Dengan cerdas film mengambil sudut pandang orang lain, manajernya. Hampir semua orang tahu kisah hidup Elvis sehingga dengan cara apa lagi mau dibuat? Nasehat bijak dalam karya selalu sama: jangan ikuti garis buku tulis, maka ambillah sudut lainnya. Dan begitulah, kita diajak bertamsya dalam narasi sang kolonel. Ada yang sebut dia tamak, jahat, dan begitu memeras, tapi dengan dalih sebagai penemu sang mega bintang, bisakah itu dianggap sepadan?
Kisahnya sendiri tipikal film biografi, hanya bedanya tak aktor utama yang mengungkap, narasinya benar-benar dari sisi luar. Dibuka dengan pengakuan Kolonel Tom Parker (Tom Hanks) yang terbaring di rumah sakit tahun 1997. Sang kolonel memang impulsif seperti manajer ambisius pada umumnya. Ia lalu menarik garis cerita awal mula menemukan talenta muda Elvis Presley (Austin Butler). Menjadi penyanyi kedua setelah penyanyi country dalam Hank Show, Elvis memang tampak memikat. Di sebuat pesta karnaval rakyat, Kolonel menawari Elvis kekayaan, ketenaran, dan begitulah Sang Kolonel lalu menjadi manajernya.
Penampilan unik, dengan goyang menggoda membuat penonton, terutama kaum hawa menjerit-jerit, sakaw, memasuki dimensi mistik seolah mengalami trance. Ekspresi penonton menggila ini secara instan menarik banyak fans, menjadikannya penyanyi dengan penampilan dinanti. Bahwa yang mulanya jadi penyanyi pendukung Hank Show, ia kini naik pangkat jadi penyanyi utama. Semua juga berkat sang manajer.
Sang ayah, jadi bos (yang dengan jelas tampak hanya jadi kroco), sebab semua keputusan dikontrol oleh sang kolonel. Rumah mewah, mobil cantik, kemapanan finansial yang yang diharap semua terwujud dengan instan. Luar biasa. Intinya, Elvis jadi fenomena budaya tahun 1950-an.
Namun tak semua setuju. Karena gaya nyanyinya yang dinilai eksposif, bergoyang tak sopan, Senator Mississippi dan kroninya berusaha mencekalnya. Dalam persidangan tertutup, muncullah keputusan itu. Pemerintah mengirimnya ke Jerman untuk wajib militer. Dan begitulah, dunia memang selalu tak bisa sepakat 100%. Jelas, bagian ini langsung mengingatkanku akan fenomena Inul Daratista di awal 2000-an yang heboh dengan goyang gergajinya. Dicekal Raja Dangdut, dibumbui banyak penonton. Kesamaan dengan taraf yang berbeda, tentunya.
Sekembali dari Jerman, Elvis berpacaran dengan Priscilla (Olivia DeJonge) anak pilot angkatan udara. Mereka menikah dan dikaruniai anak perempuan Lisa Marie. Elvis juga main film, banyak dan kelas B. Beberapa bahkan merugi, seolah memang mengejar kuantiti.
Dan semakin tinggi karier seseorang semakin kancang angin menempa. Gaya hidupnya yang mewah, kebutuhan hidup yang tinggi, sehingga menuntutnya kerja lebih keras, konser lebih sering, nilai kontrak yang lebih tinggi. Dan ini jadi pisau bermata dua, ia memang mendapat kontrak ekslusif di Hotel Internasional, Las Vegas. Namun sekaligus memenjaranya.
Dalam sebuah adegan emosional, di mana Elvis sudah muak akan ‘penjara ini’ ia memecat Kolonel dengan lantang dan menghantam di atas panggung. Keputusan yang ternyata malah jadi boomerang, sebab utangnya sudah menggunung, ditotal mencapai 8 juta! Maka, mau gmana lagi? Elvis terus harus manggung di hotel.
Ditambah berita pembunuhan terhadap tokoh-tokoh terkenal Martin Luther Kings Jr. sampai Robert Kennedy. Konser-konser ke luar negeri sungguh riskan, safety first jadi isu paling penting untuk melindunginya. Ini makin menjadikannya paranoid. Entah sampai kapan akan seperti itu. Di hotel itulah ia akhirnya sampai pada suatu titik di mana menyanyi merupakan sesuatu yang wajar dan tak terelakkan. Ini adalah generasi setelah perang. Hiburan sangat penting.
Hingga di sebuah bandara bertemu anak dan mantan istrinya, pamit yang bisa berarti dua hal. Pamit tur sekalipun pamit pada orang-orang terkasih. Dia gemetar di kursi penunpang seolah memikirkan dirinya akan luluh dalam sejarah. Ditampilkan dengan dramatis, dan mendayu. Mantan isti yang mengasihimu, Priscilla, yang menciummu dengan kata-kata. Lisa Marie menghangatkannya. Lalu ending yang sangat-sangat bagus sebab disajikan dengan potongan nyata. Bukan barang baru, potongan adegan diambil dari tokoh asli, tapi untuk Elvis semakin mantab. Sebuah cara menutup layar yang gemilang. Maka saya tidak tahu apakah harus merasa sedih atau terhibur, disatupadukan dengan luar biasa.
Kematian Elvis sendiri secara umum disebutkan karena jantung yang berhenti berdetak karena aktivitas tak normal atau over menenggak obat. Namun di sini, secara terbuka bisa jadi karena tekanan berat dari bos-nya yang mencipta depresi. Mati muda saat di puncak. Film ini seolah meluruskan dan terasa sifat memihak Elvis dan fans. Seolah ada noda historis yang harus dihapuskan, perhitungan yang belum tuntas. Baz Luhrmann mencipta cerita dari sisi lain, dan itu sah saja. Dengan mengambil sudut pandang sang manajer, yang disinyalir sebagai seorang pendosa, ia hanya ingin dimengerti, sebab dimengerti rasanya seperti dimaafkan. Manusia baru kelihatan sifat aslinya kalau sedang sakit dan terluka.
Bagaimana di Oscars? Jelas saya tak menjago Austin. Sampai saat ini sudah empat aktor kusaksikan, belum bisa menentukan pilihan. Kita tunggu The Whale dulu. Untuk best picture juga rasanya tidak akan. Tinggal di sisi teknis, kemungkinan besar di sound satau make up. Jadi hanya satu atau dua sahaja yang dapat, itu sudah sangat bagus.
Elvis | 2022 | USA | Directed by Baz Luhrmann | Screenplay Baz Luhrmann, Jeremy Dones | Cast Austin Butler, Tom Hanks, Olivia DeJonge | Skor: 4/5
“Pergilah kasih, kejarlah keinginanmuuuuu. Selagi masih ada waktuuuu…”
Luar biasa. Menyenangkan, melelahkan, tapi seru. Seru sekali. Inilah pertama kalinya saya melakukan pendakian gunung setelah menikah. Mungkin hanya ke Loji, sebuah lereng gunung Sangga Buana, Karawang. Namun berjalan atau hiking selama dua jam tetaplah menantang. Loji hanya 2 jam bersepeda motor dari rumah, tapi rasanya jauh. Dan inilah petualangan kita, berempat pada Sabtu, 18 Februari 2023 bertepatan dengan perayaan Isra’ Mi’raj selama delapan jam yang tak terlupakan.
Dimulai dengan usulan M Iqbal, peserta pertama, ia pernah dua kali ke Curug Penganten mengajak beberapa teman kerja yang mau ikut hiking. Mulanya ada lima orang yang bersedia, tapi saat hari H hanya tiga yang siap berangkat, satu orang secara dramatis menyusul, yang membuat keberangkatan mundur hampir dua jam. Iqbal, yang optimis jadi, awalnya mengusulkan berangkat Jumat sore sepulang kerja, menginap semalam, lalu Sabtu siang turun. Namun karena ini pertama, kita berangkat Sabtu pagi saja. Dan itupun tak selancar yang diperkira. Lalu grup WA dibuat untuk komunikasi.
Saya, peserta kedua, harus antar anak les renang jam 8, artinya rencana mula pagi start point pupus. Jam 8:30 kumpul di rumahku, Iqbal tepat waktu, dank arena saya belum mandi, saya buatkan Indomie buat waktu meunggu. Leni Marlina, peserta ketiga pun datang jam 9. Nah, saat siap-siap berangkat, tiba-tiba muncul pemberitahuan Babeh Boy, peserta keempat, bahwa acara antar mamihnya ke Telaga Sari sudah selesai, mau menyusul. Makanya kita tunggu saja. Sambil ngopi dan ngobrol haha hihi. Ternyata persiapannya pun tak matang. Topi misalnya, hanya Iqbal yang bawa. Leni tidak, saya yang lupa taruh mencari sampai njelimet, dan akhirnya pakai peci saja. Saya baru tahu harus pakai sepatu, oh kenapa? Rutenya terjal, kalau sandal bakal jebol. Lalu makanan, juga tak disiapkan. Saya masih belum nggeh, kenapa persiapannya banyak? Ternyata saya salah tangkap, kukira dua jam perjalanan itu, hanya rumah dekat Galuh Mas ke Loji, lalu dari tempat parkir ke curug jalan bentar. Mana malamnya main futsal dua jam, cedera pula. Tidak, dari titik mula ke curug itu dua jam! Artinya 4 jam total awal, 4 jam total akhir. Yang artinya lagi, acara ulang tahun teman Calista sore itu bakalan ke skip. Bahkan nantinya, malam yang harusnya ada pengajian di Masjid kompleks, saya tak hadir. Badan sakit semua, gegas istirahat.
Jam 09:50 akhirnya Babeh kabari sudah di depan gerbang perumahan. Dan begitulah, perjalanan Tour de Loji dimulai.
Bersepeda motor, saya dan Iqbal, Leni dan Babeh. Mengambil rute tikus, masuk ke gerbang kawasan industry KIIC, lalu sampai mentok kawasan baru, lupa namanya, yang jelas mentok saja jalan baru itu, ada PT Softex-nya. Belok ke kanan, tembus di jalur arah Loji. Menyingkat banyak waktu, dari yang seharusnya via jalur biasa. Memutar kali malang. Perjalanannya sendiri begitu lancar, mungkin karena Iqbal dan Babeh yang nge-gas dan pernah ke sana. Sempat mampir Indomart untuk beli perbekalan: air mineral, kacang, kuaci, kopi, biscuit. Jam 12:00 sampai di tempat wisata Grand Canyon. Titik mula pendakian. Sinyal HP hilang. Dan nantinya, sampai pulang jam 19:15 sinyal baru nyala.
Sempat berpikir untuk Salat Dhuhur dulu, tapi belum wayahnya. Ada mushola dan toilet di area parkir. Mau usul menunggu, tapi akan buang wkatu. Maka langsung saja hiking ke Curug Penganten dilakukan. Harga tiket 15 ribu per orang. Naik dari yang sebelumnya 10 ribu. Permulaannya santuy, haha hihi, rutenya masih mudah, disemen, hanya selokan kecil, dan masih ramai, berpapasan dengan pendaki lain yang turun, berpapasan dengan penduduk lokal yang bawa kayu gede dipanggul, padi diangkat, atau sesama pendaki yang juga berangkat. Saling sapa, dan salam itu perlu. Untuk memecah keheningan, kita mengobrol, bernyanyi, atau sekadar bercanda. Masih segar, cuacanya pun tak panas, padahal tengah hari. Komposisi utamanya adalah: Iqbal, Leni, saya, Babeh. Dua orang pengalaman ditaruh depan belakang.
Mulanya, setiap ada sungai kecil, foto-foto, jaga pakaian agar tak kotor, takut basah sepatunya, cari rute kering, tak mau terjun ke air. Atau saat ketemu, rute naik, dan agak becek, sepatu atau celana diusahakan tak basah atau kotor. Saya sendiri belum mengira seperti apa jalan yang akan ditapaki. Ini seperti Petualangan Marlino (plesetan Petualangan Sherina). “Kesasar ga ya?”
Saat sampai di gubuk pertama yang ditemukan, ada setumpuk kayu dengan ukuran pas buat teman hiking, tiga orang mengambilnya (hanya Babeh yang tak pakai tongkat, padahal yang paling tua). Setelah menyebrang tiga empat sungai, akhirnya kita sampai di gubuk warung pertama. Hufh, rasanya lama sekali. Waktu sudah menunjukkan pukul 13:00 dan bahkan belum separo-nya. Kebanyakan istirahat, kebanyakan ketawa ketiwinya.
Babeh, sok akrab dengan penjualnya, meminta durian. Iqbal dengan santuy ikut minum air putih dari teko. Leni, foto-foto dan mengakrabkan diri. Hanya saya yang kelelahan, minum mulu, ngemil mulu. Sempat selfie, ya ampun wajahnya sudah penuh keringat. Mau pesan kopi, tapi masih terlalu dini, nanti saja pas pulang. Iqbal beli coca-cola 7 ribu.
Dan akhirnya saya keluarkan kaca mata, dan kupakai, biar pemandangan lebih jelas terlihat. Setelah 15 menit istirahat, kita lanjutkan perjalanan. Oiya, Babeh yang sok akrab itu dengan santuy meninggalkan jaketnya di gubuk tersebut, gerah. Sementara kita bertiga memasukkan jaket ke tas masing-masing.
Rute berikutnya ternyata lebih banyak melihat sawah. Banyak petani sedang istirahat, memetik padi (dengan mesin), atau sekadar lewat membawa cangkul. Sementara terdengar deru sepeda motor! Gilax, ada konvoi 4-5 motor mendaki gunung. Motor trail yang menderu untuk rute terjal dan sulit, dan mereka berhasil sampai ke sana. Jos tenan.
Gubuk kedua tak jauh dari gubuk pertama, makanya tak mampir. Malah ada gubuk kosong pinggir aliran kecil air, saya yang hanya makan mie, kelaparan, istirahat lama di situ. Biscuit langsung ludes, kacang atom satu bungkus juga, minuman dalam tumbler juga. Diingatkan Iqbal, jangan boros-boros, ini baru separo perjalanan. Yah, mau gmana lagi, laper berat!
Saat kembali berjalan, komposisi sempat diubah Babeh dan Iqbal, dan benar saja. Kesasar. Babeh dengan pedenya maju terus, ada tikungan, Iqbal sempat teriak salah jalan, tapi jalan terus, sampai beberapa petani yang sedang duduk di gubuk jauh, teriak, “Mau ke mana A?” ke curug, salah jalan. Itu arah bukit x. Dan memang di depan ada bukit tinggi sekali. Putar arah, dan komposisi kembali seperti semula, Iqbal di depan.
Gubuk ketiga, atau terakhir akhirnya ditemukan. Di situ ramai sekali, titik puncak para pemotor, orang mandi, ada mushola dan toilet, ada yang santuy bakar-bakar, atau sekadar ngobrol. Iqbal bilang, ini gubuk terakhir, selanjutnya hanya hutan dan aliran sungai yang ada. Yang jualan ternyata sedang tutup, makanya tidak mampir, hanya kasih salam ke sesama pendaki. Lanjut perjalanan. Menyeberangi sungai, dan begitulah kesunyian menyambut kita.
Memasuki hutan, jalan mulai terjal mendaki. Tak ada sawah lagi, naik turun bukit, sungai berulang kali disebrangi, benar-benar sepi. Desir angin yang menemani, taka da pendaki lain lagi, ini benar-benar rute senyap, kecuali donimasi suara air beriak. Batu-batupun masih berlumut, artinya jarang orang ke situ. Saya dua kali terjatuh, kaki kiri kepentok batu, lecet. Kedua, jempol kanan kesandung, memar, kaca mata jatuh. Sempat kesakitan, duduk dulu di batu besar. Iqbal dan Babeh menyemangati, bentar lagi sampai.
Sempat berpapasan dengan pendaki lain yang mendirikan tenda. Mereka sedang santuy duduk-duduk di atas batu sangat lebar, sepertinya ada yang lagi makan dan juga ngerokok. Handphone Babeh jatuh dari tas, resletingnya rusak. Untung di tanah kering, untuk ketahuan. HP langsung dimasukkan ke tasku, ingat Mamih, nanti pulang kalau tak bawa HP bakalan kena omel.
Jelang garis finish, rute tampak menakutkan. Dimulai dengan temuan ular, diusir Iqbal. Lalu ada tulisan, “awas jurang”, ya ampun, serem sekali, tinggi, tanahnya miring, di bawahnya sungai berisik. Tak lama kemudian, ketemu tulisan lagi, “awas licin”. Nah ini yang serem, batu gede banyak, licin, dan harus agak melompat! Bawahnya aliran sungai. Berpegangan pada dinding bukit, beberapa batang pohon menjulur, atau merangkak dari satu batu ke batu lain, dan ingat sekali lagi batu-batu itu licin!
Akhirnya Curug Penganten itu ditemukan. Sekitar jam 14:15. Jadi total perjalanan 2 jam 15 menit. Hufh… air terjunnya kecil, dibanding Cigentis misalkan. Jangan bandingkan Grojogan Sewu, jauh sekali. Tak ada tulisan penanda ini area Penganten, taka da pula spot-spot selfie. Dan bayanganku bahwa kita akan bertemu dengan pendaki lain, ramai tak terlihat nyata. Hanya kita berempat! Ya ampun, sepi amat. Memang tak banyak yang berwisata ke sini, selain rute agak susah dan jauh, Curugnya sendiri muram. Bukan suara burung yang terdengar, bukan pula desir angin sejuk, tapi benar-benar suara gerojokan yang monoton, dan hanya sesekali suara tenggoret yang memekak-kan telinga. Pantas sepi.
Saya yang pertama terjun mandi. Setelah sepatu dan pakaian tanggal, menyisakan celana pendek, langsung saja byuuur. Wah, batu-batunya licin, bukti sekali lagi, tempat ini jarang dijamah. Iqbal menyusul mandi, selalu mengingatkan, “jangan ke tengah, dalam.” Lalu Babeh turut serta. Begitulah bertiga, di tengah hari, kedinginan. Sementara Leni tak turut serta, lagi dapat. Ia buka HP, foto-foto, makan, dan mengagumi keindahan alam.
Kuaci dibuka, kacang dinikmati, kopi dihabiskan. Tak lama, jam 15 kurang, saya baru teringat belum Dhuhur, segera mentas. Cari batu besar, menjalankan ibadah. Jam 15:00 sudah siap-siap semua balik, dan saya lagi-lagi teringat, saya bawa dua buku: novel anak Mission Monster dan buku puisi Tagore: Burung-burung Nyasar. Karena waktu tipis, saya baca puisi saja. Sekitar sepuluh halaman, kubacakan lantang. Tentang cinta yang patah, tentang kemahaluasan semesta, tentang kunang-kunang yang mengejek cahaya bintang, tentang angin yang membelai rambut, dan yang paling kuingat, “Bunga malam yang terlambat bangun ketika pagi menciumnya. Dia menggigil lalu mendesah dan jatuh ke tanah”- 269.
Pengen lebih lama, pengen lebih khusuk, pengen memeluk kesunyian ini. sayang realitas kembali menyapa. Ada rintik air, tipis tapi mengkhawatirkan. Iqbal berulang kali bilang Ayo. Dan kalau cuaca buruk, sungai akan meluap, dan kita akan terjebak! Jam 15:10 kita beranjak turun.
Seperti saat akan sampai tadi, permulaan turun buruk. Susah sekali di batu-batu terjal nan licin. Nah, kali ini giliran Iqbal yang salah rute. Ketika di persimpang sungai, yang seharunya menyeberang, ia malah mandaki. Sebuah bukit curam dengan kemiringan signifikan, untungnya langsung tersadar. Ini bukan hutan yang sama. Setelah bermenit-menit terjal, kita kembali turun, dan menyesuaikan rute kembali. Hutan yang sama, sebenarnya spot foto malahan bagus-bagus, tapi karena gerimis menyapa, pada takut keluarkan HP. Setelah hutan, tak terasa akan sampai gubuk tiga. Saya ambil video, tebak lagu-lagu, sampai tawa-tawa merdeka. Anehnya, saya lagi-da-lagi menyanyikan lirik yang sama: “Pergilah kasih, kejarlah keinginanmu. Selagi masih ada waktu… jangan hiraukan diriku, aku rela berpisah demi untuk dirimu… ”
Dan benar saja, kekhawatiran itu terjadi. Di gubuk tiga, hujan tiba-tiba menghajar. Babeh yang lagi di toilet diteriakin gegas, Iqbal dan Leni langsung membungkus HP dan didorong ke dalam tas. Saya langsung memakai jaket, mengencangkan resleting. Wah gmana ini? jalan terus, kita harus sampai gubuk satu sebelum gelap.
Mulai dari sinilah ketegangan merambati. Hujannya lebaaaat sekali. Sawah-sawah tergenang, jalan yang seharusnya jadi penanda perjalanan, malah dipenuhi air, sehingga mirip jalan kaki di selokan. Guntur juga berulang kali memekik, dan kilat menyapa dulu yang mencipta iqtigfar. Iqbal sebagai leader gerak cepat, dan bahkan berulang kali menambah gap waktu dengan kita, tapi setiap nemu tempat sulit, ia menunggu. Begitu terus. Saat akhirnya sampai di gubuk 1, hujan makin menggila.
Babeh mengambil kembali jaketnya, Leni membeli Aqua (5 ribu). Saya kembali meyakinkan bahwa HP dibungkus plastik. Saya bungkus dobel, saya masukkan ke bungkus kacang, saya masukkan kembali ke plastic besar. Buku-buku sudah basah, uang, pensil, tiket, semuanya basah. Namun tetap saja jejalkan semua ke satu plastik.
Waktu menunjukkan pukul 16:30, masih sangat jauh dari kata selesai. Kalau merujuk waktu berangkat, masih butuh 1,5 jam untuk sampai Grand Canyon, artinya Magrib, itupun kalau lancar. Diskusi kembali terjadi, gmana ini? Air mata langit lagi gila-gilanya, kalau tak gegas, dan air meluap sungai, dipastikan tak bisa pulang, harus menginap. Bapak penjaga gubuk 1 membantu kita, memberikan jaket plastik, untuk perempuan saja. Leni gegas pakai, dan dengan mengucap doa, kita lanjutkan perjalanan kembali.
Dari sini tak banyak yang bicara, benar-benar terdiam semua, fokus pada jalan. Tampak di belakang, Bapak penjaga gubuk pun pulang. Alhamdullah ada warga lokal. Lalu tampak lagi, orang lain dengan memakai daun pisang juga seperjalanan. Sungai sudah sampai sepaha, berulang kali kita menyeberangi dengan was-was. Dan benar kata Pak Endang, saat sulit seperti ini ada seekor burung (kalau tak salah prenjak/burung cit) yang memandu. Burung-burung itu ngoceh menjadi pemandu kita, terbang dari satu pohon ke pohon lain mendahului, aneh juga kalau dipikir-pikir. Hujan lagi gila-gilanya, ada burung yang ikut, ini burung untuk cuaca cerah lho. Tapi saat itu memang tak terpikir sampai ke situ.
Hanya sesekali saja bilang, masih lama ga? Sudah dekat. Bisa jadi diucap sepuluh menit sekali. Babeh pakai acar kepleset, baju Leni sempat terjatuh. Dan yang utama sekali, air sungai meluap tinggi. Saat di persimpang sungai, warga lokal 1 menyeberangi, air sudah sepinggang, kita berempat hanya berdiri menatap air yang bergolak, gmana ini? “Bal, ini serius harus menyeberang?” Warga lokal 2 yang ada di belakang kita memberi opsi lain, ke atas saja, tak perlu menyebrang, aliran deras. Ok, si Bapak akhirnya yang nge-lead jalan. Rutenya memutar, naik bukit dulu, lalu turun lagi, dan tetap di pinggir sungai. Saat akhirnya kembali lagi di persimpang, kita tetap harus menyeberang sungai, ini jalan satu-satunya, kecuali kembali naik bukit lagi (dan itu tampak menakutkan sebab bukitnya tinggi sekali). Akhirnya kita paksa turun ke sungai. Air sudah setinggi perutku. Huhu, pengen nangis. Golak air tampak menyeramkan, kita harus menginjak batu-batu besar yang tak kelihatan, dan hati-hati sama batang pohon yang hanyut.
Semua berpegangan tangan. Dua kali kepleset, sebab batu yang kuinjak di hulu, tak pas. Ditarik Babeh, “Pak injak batunya, ke kiri (hilir)”. Sempat pula si Bapak teriak, “Awas kayu”, untungnya tahu, pegangan tangan sempat kulepas, membiarkan kayu hanyut dulu. Lalu setelah beberapa detik yang menegangkan, kita semua berhasil melewatinya.
Apakah akan ada penyeberangan lagi? kalau dari rute sebelumnya, satu lagi! “Ya ampun Bal, tak mungkin bisa.” Bisa jadi beberapa menit lagi air sudah setinggi dada. Dan itu menakutkan! Saat akhirnya ketemu rute itu saya geleng-geleng kepala. Riaknya menyeramkan. Dan untungnya, si Bapak warga lokal menunjuk bukit lagi. Ada jalan lain, yang walaupun sekali lagi naik turun tinggi, rasanya lebih aman. Bapak yang nge-lead sisa petualangan. Rutenya licin, memang jalannya sempit, dan bukan jalur utama. Leni, yang jalan kedua, lebih banyak diam. Tak bercanda, tak bicara, bahkan sekalipun ditanya, ia tetap diam fokus jalan.
Setelah beberapa kali kepleset, setelah mengerahkan sisa-sisa tenaga, setelah gigil yang menerpa, kulit jari tangan mengerut, Alhamdulillah terdengar suara motor di bawah. Artinya sudah dekat sama Grand Canyon. Betapa leganya, saat kaki menginjak garis finish. Ada penjual di sana, menyapa, cuaca buruk berani sekali mendaki. Hufh… ya mana kita tahu cuaca bakal segila ini. Begitulah, kita berhasil duduk santuy di tikar parkiran jam 17:30. Hal pertama yang kulakukan adalah sujud syukur, salat Asar.
Total perjalanan balik dua jam, 15 menit.
Sementara menunggu pop mie dihidangkan kita saling bercerita. Kali ini nadanya sungguh-sungguh ceria. “Kalau kita terlampat sedikit saja turun, kita bakal menginap, tak tahu deh, apa yang terjadi.” – Iqbal. “Aku tuh pengen ketawa mulu tadi sebenarnya. Pak Tebe nyanyi lagu sama. Hahaha, aku tak banyak bicara untuk menghemat energi.” – Leni. “Aku sih bukan mengkhawatirkan Leni, apalagi Babeh. Aku tuh mengkhawatirkan Pak Tebe.” – Leni lagi. “Aku membayangkan Mamih (Rani Skom) ikut, bakalan tak bisa turun. Baru gih gubuk 1 minta pulang.” – Babeh.
Saat pop mie tersaji, hujan sudah berkurang intensitasnya, hanya gerimis. Dan saya dengan malu-malu bilang, “Aku mengkhawatirkan aku sendiri.” Haha…
Sinyal HP masih belum ketemu. Jam 18:00 kita pulang. Parkir dua motor 10 ribu. Dan perjalanan pulang tampak lebih tergesa. Ingin segera rebahan. Sempat khawatir karena setelah nengok belakang, Motor Leni tak tampak lama. Kita putar bali, ternyata mereka pakai jas hujan.
Beberapa titik banjir, menggenangi jalanan. Bukti bahwa hujantadi sungguh lebat. Dan sembari jalan bersisian, kiat bersekapat, langsung pulang, tanpa titik kumpul lagi. Rencana nge-bakso batal. Kapan-kapan saja. Di perjalanan balik ini ada sisi menarik. Jalan yang sempit, ada Fortuner yang menjengkelkan. Tak mau mengalah pada kita pengendara motor. Jalannya kencang, di tengah pula, hanya minggir kiri, saat ada kendaraan lawan arah datang. Begitu terus, bikin jengkel. Kuamati plat B, nomor cantik. Hufh, akhirnya punya pengalaman jelek sama pengendara Fortuner.
Sampai di rumah jam 19:15. Beli es teh dingin, melepaskan dahaga. Rasanya sungguh nikmat. Iqbal sendiri masih bermotor sejam lagi ke Telaga Sari. Leni dan Babeh hanya berselang 15 menit memberi kabar di grup WA sudah sampai rumah. Sebelum kaki menginjak rumah, ada 6 misscol dari May, mengkawatirkanku. WA marah, tak ada kabar dan sinyal. Ya gmana mau bisa jawab telepon, sinyal saja tak ditemukan.
Ia sedang pengajian di masjid, di rumah sepi. Saya hanya menjawab, saya tak ikut pengajian, lelah sekali. Mau langsung istirahat. Dan entah sampai jam berapa acaranya, saya tak melihat anak-istri pulang, saya tertidur pulas saat streaming Liga Inggris bahkan belum separo babak.
Karawang, 210223 – Skeeter Davis – Here’s the Answer (ditulis jam 17:45 sd 18:45. Dua ribu depalan ratus kata).
*) Thx to Muhammad Iqbal, Leni Marlina, Babeh Boy. Petualangan berikutnya, setelah Lebaran. Loji lagi dengan rute lain? Atau yang lebih jauh? Yang jelas nabung dulu.
**) Tiket masuk 15k, parkir 5k, bensin +/- 30k. Makan minum + snack menyesuaikan. Liburan murah nan seru. Ayoo hiking lagi.
Kubaca dalam beberapa kali kesempatan, tapi hanya dua yang terkesan. Pertama pada malam saat hujan, seusai Isya saya santuy sama teh hangat, Hermione sedang main sama stiker dan tempelan gunting, May sedang menonton bulu tangkis di HP. Malam tengah pakan 01.02.23 itu tampak seperti malam ideal, keluarga kecil dengan kehangatan penuh. Musik mengalun tenang, saya pilih kumpulan jazz. Hujan di luar juga tak gemuruh. Dan buku puisi ini menyapa. Waktu baca kedua yang terngiang, tentu saja saat melakukan pendakian ke Curug Penganten, Loji, Karawang pada 18.02.23. Bersama Babeh Boy, Leni Marlina, dan M Iqbal. Berempat melakukan hiking, perjalanan Karawang kota ke Loji dua jam bermotor. Dari titik Grand Canyon ke titik curug dua jam. Jam 15:00 saatnya balik, saya sempatkan lima menit berpuisi di bawah air tejun, berdeklamasi dengan riang 8-10 lembar sebelum pulang. Syahdu, nyaman, seru. Nah, selain kedua waktu itu hanya selembar-dua-lembar saja sesekali waktu di tengah kesibukan.
Apa yang bisa saya ulas? Tak banyak, buku puisi tuh susah dijelaskan. Nyaman, tapi karena narasi acak, susah ditelaah dan ditelusur. Maka, saya hanya menyarankan, baca saja, nikmati saat ini, lupakan masa lalu, tak perlu khawatir masa depan. Membaca puisi, adalah menikmati masa di titik sekarang, di tempat sekarang. Kita hidup di dunia saat kta mencintainya. Bacalah dengan pelan, lirih, tapi tak boleh dalam hati. Dan nama besar Tagore rasanya adalah jaminan.
Saya ketik ulang sahaja beberap yang tampak bagus. Enjoy it!
Burung-burung nyasar musim panas singgah di jendelaku ‘tuk bernyanyi dan terbang kembali / Dan dedaunan kuning musim gugur, yang tak punya tembang, menggelepar dan luruh bersama desah.
Kebenaran dalam pakaiannya merasakan fakta-fakta terlalu ketat. / Dalam fiksi bergerak dengan mudah.
Terdapat lubang-lubang dalam kehidupan yang dilewati musik sedih kematian.
Yang besar berjalan dengan yang Kecil tanpa takut, Yang Menengah berdiri menjauh.
Dunia telah mencium jiwaku dengan kesaktiannya, meminta dibalas dengan lagu-lagu.
“Cerdik pandai mengatakan bahwa cahaya-cahayamu suatu hari akan tidak ada lagi.” kata kunang-kunang kepada bintang-bintang. / Bintang-bintang tidak menjawab.
Pujian membuat aku malu, karena diam-diam aku menghendakinya.
Gadis, kesederhanaanmu, seperti kebiruan danau, mengungkapkan kedalaman kebenaran.
Asap menyombongkan kepada langit, dan Abu kepada bumi, bahwa mereka bersaudara dengan api.
Ketika semua dawai kehidupanku telah dilaraskan, Tuanku, maka pada setiap sentuhanmu terdengan musik cinta.
Balok yang terbakar meletup menyala dan berteriak, – “Inilah bungaku, inilah kematianku.”
Dengan menyentuh engkau bisa membunuh, dengan menjauhkan engkau bisa memiliki.
Air dalam sebuah bejana berkilat-kilat, air di laut itu gelap. / Kebenaran kecil memiliki kata-kata yang terang; kebenaran besar memiliki kebisuan besar.
Wanita, engkau telah mengelilingi hati dunia dengan kedalaman airmatamu seperti laut mengelilingi bumi.
Jalan merasa kesepian dalam keramaiannya, karena ia tidak dicintai.
Yang berakhir dengan keletihan adalah kematian, tetapi akhir yang sempurna adalah dalam ketakberakhiran.
Helai rumput itu setara dengan dunia besar di mana ia tumbuh.
Biarkan ini menjadi kata terakhirku, bahwa aku percaya pada cintamu.
Tagore memang jaminan, dan buku puisi ini makin memantabkan. Orang hebat dengan banyak karya, cerpen, novel, puisi, sudah kubaca. Untuk buku ini, saya tak bisa banyak komentar, secara umum puisi susah dijelaskan. Jadi Burung-Burung Nyasar, memang nyaman dan enak dinikmati, tapi susah dijelaskan. Koleksi Tagore berikutnya. Thx Bentang.
Burung-Burung Nyasar | by Rabundranath Tagore | Pertama terbit 1916 | Diterjemahkan dari Stray Birds | Rupa & Co, New Delhi, 2002 | YBB. 166.03 | Cetakan pertama, Februari 2003 | Penerjemah Hartono Hadikusumo | Penyunting Rh. Widada | Perancang sampul Si Ong | Gambar sampul Alfi dan Budi Swiss | Pemeriksa aksara Trie Hartini | Penata aksara Ari Y.A | Penerbit Bentang Budaya | ISBN 979-3062-60-6 | Skor: 4/5
“Dia berjalan di pantai Laut Aegea, dia salam mengira bahwa bisikan ombak yang menerjang pantai nan haus, adalah para penonton antusias yang berkumpul untuk mendengarkan lagunya yang megah.”
Apa enaknya melihat kehidupan dari sudut pandang keledai. Ya ampun, keledai jalan-jalan, kunyah wortel bermenit-menit, menatap di cermin, dst. Ini adalah film dengan tempo sungguh lambat, cerita biasa, dan akhir yang yah begitu aja. Uuntungnya durasi hanya 1.5 jam jadi tak terlalu merugi. Jelas ini adalah film terlemah Oscars 2023 yang kutonton. Maksud hati menyampaikan majas personifikasi, memanusikan binatang, tapi kita malah dijebak dalam kelambanan. Dalam pelajaran IPA zaman saya SD, makhluk hidup terdiri atas tiga jenis: manusia, hewan, dan tumbuhan. EO bukan manusia, bukan pula tumbuhan, tetapi barangkali sekaligus keduanya.
EO adalah film tentang keledai bernama EO yang terlahir di lingkaran sirkus, dilatih dan untuk dipertunjukan. Lalu muncullah demo yang menuntut aturan untuk tak melakukan kekejaman terhadap binatang, setelh itu ia menjadi binatang kesayangan keluarga. Diperlakukan dengan sangat baik, diberi makan cukup. Namun ketika ditinggalkan sendiri, ia memutuskan berpetualang. Dan inilah kisah utama EO, keledai menyaksi kehidupan.
Ke hutan, melihat serigala dibunuh. Ke kota ditangkap dan dimasukkan kandang, bersama binatang-binatang lain yang mengenaskan. Keluar, ditangkap lagi untuk dijual dijadikan makanan, dalam perjalanan truk, sopirnya digosok, dan ia dilepaskan. Di pinggir lapangan, menyaksikan pertandingan sepak bola, dalam adu pinalti, dianggap sebagai pahlawan sebab tendangan 12 pas itu gagal. Dibawa ke pesta, merumput di luar, eh apes sekali, muncul supporter lawan yang kalah, lalu ia dibantai. Dipukul dan dianiaya sampai babak belur, dengan penggambaran melalui robot tertatih.
Namun perjalanannya berlanjut, ia bisa pulih, lantas ia seolah mengikuti arus, dan begitulah, pada akhirnya ia terabaikan. Seperti pada umumnya, ia tetaplah keledai, tak seperti kuda yang tampak dijaga benar, atau sapi yang bisa dimanfaatkan lebih. Ya, ia seekor keledai yang berhasil jalan-jalan, dari Polandia, Prancis, Italia.
Sejujurnya kelambanan itu mencipta bosan. Kukira bakal ada sesuatu yang menghentak, yang membuat pukau penonton sehingga layak masuk Oscars. Nyatanya tidak, kita hanya disuguhi si keledai diam yang sering kali diambil gambar jarak dekat. Ada wortel kalung dirantai lehernya, ia makan. Ada cermin di emperen toko, ia tatap, ada orang pesta, ya ia hanya menatap doang, lalu melakukan laiknya keledai, makan rumput. Begitulah, sepanjang film tak ada ledakan. Hanya kelambanan, dari satu kandang ke kandang lain, dari satu hutan ke bukit lain, dari satu truk ke kendaraan lain, begitu terus sampai akhirnya film ditutup.
Kutonton sepulang kerja pada Rabu (15/2/23) sampai selespas magrib, suguhannya sangat tenang. Benar-benar pias tak terkira. Maksudnya jelas baik, bahwa film ini dibuat dari para pecinta binatang, ditulis bersama sang istri, dan memang tak ada satupun binatang tersakiti sepanjang pembuatan film. Menggunakan enam keledai berbeda dalam prosesnya. Namun kembali lagi, kita mendapati cerita yang terlampau sederhana. Entah mengapa, film selamban ini bisa lolos lima besar.
Pada menonton pertama, kita banyak menemukan keanehan yang bahkan sampai akhir tidak mendapat penjelasan. Hal ini bisa saja berubah pada kesempatan menonton kedua, ketiga, dan seterusnya, sehingga yang awalnya tampak sebagai keanehan, pada akhirnua dapat dipahami. Namun ini keledai, dan apa yang mau dibedah? Apa yang mau dinikmati kesayuan mata binatang ini? Kesedihan nasib? Binatang punya perasaan? Jerzy Skolimowski hendak memberi tempat terhormat pada binatang, khususnya keledai. Memberinya dunia bernama mimpi.
Tidak, jelas tak akan kutonton lagi. Kalau keanehan itu berisi twist tak terjelaskan, atau telaah pesan tersirat sih, bisa saja menarik minat menonton ulang, untuk EO rasanya tak kuasa untuk lebih jauh. Cukup. Cukup jelas, ini tak akan menang Oscars.
EO adalah keledai kedua yang mengenaskan yang kusaksikan tahun setelah The Banshees of Inisherin, Oh Jenny yang malang. Di The Banshees jelas sekali perannya, menjadi binatang peliharaan kesayangan, menjadi pemicu ending fantastis, intinya perannya krusial. Sementara dalam EO sebagai tokoh utama, ia tampil monoton, road movie tak pernah semembosankan ini. EO malah mengingatkan saya pada buku Sheila Burnford di mana anjing itu melakukan perjalanan jauh, jauh sekali melintasi kota dan hutan. Memang media film dan buku sangat berbeda, dalam sastra kita memiliki ruang yang begitu luasnya dalam berimajinasi, dalam film selain durasi, kita terpetakan visual gerak yang lebih nyata, sehingga imaji itu tak kan seliar dalam kepala.
EO bisa jadi menghadirkan pertanyaan-pertanyaan filosofis yang hanya untuk mengembalikannya lagi pada keserbasamaran. Keledai yang berpikir.
EO | 2022 | Polandia | Directed by Jerzy Skolimowski | Screenplay Jerzy Skolimowski, Ewa Piaskowska | Cast Keledai | Skor: 3/5
Karawang, 170223 – Katie Melua – Crawling Up a Hill
Puss: Dan bagaimanapun, saya adalah seekor kucing. Saya memiliki Sembilan nyawa.” / Dokter: “Dan sudah berapa kali kamu mati?” / Puss: “Eeh… saya tidak tahu.”
Kaget juga. 30 menit pertama pintar sekali yang bikin, membuat resah jagoan. Legenda Digdaya pun takut mati. Animasinya bening banget, terutama hutannya. Tak menyangka dibalik hutan kegelapan, malah menyesatkan. Nonton sebelum diumumkan nominasi Oscars, dengan harapan biasa saja. Nonton sama anak istri, menghabiskan malam minggu bersama. Dan ternyata bagus. Menyenangkan sekali melihat sang kucing ketakutan. Sang kucing memiliki Sembilan nyawa dan selama ini tak takut akan kematian. Ia mengira memiliki kehidupan tak berhingga dengan cara menyeluruh, sempurna, dan serentak, tak terkalahkan. Namun, setelah aksi heroik mengalahkan monster penuh gaya dan jumawa disaksikan warga, ia tertimpa lonceng dengan keras. Apesnya, menurut sang dokter, ini adalah nyawa ke delapan yang melayang (kedelapannya dimunculkan adegan potongan lucu), yang berarti kini tinggal satu lagi. Vonis mengerikan, tak terbayang ia akan ke alam baka.
Premisnya sejenis itulah, dan kita diajak melalangbuana dalam aksi hati-hati. Petualang meraih bintang jatuh yang mungkin bisa memberinya nyawa+++ lagi.
Setelah terancam sama musuh berat Serigala berkerudung hitam yang misterius, Puss terluka gores kawan-kawan, dan bukannya melawan balik saat tersudut di kamar mandi, ia realistis memilih kabur lewat saluran pembuangan. Mencari perlindungan, menanggalkan jubah, pedang, dan kenangan akan kehebatannya, dikubur pula harapan itu.
Lalu menjalani masa pensiun dengan di rumah singgah kucing Mama Luna. Bergabung dengan kucing-kucing peliharaan, menjadi jinak dan manis, hal yang tak terbayangkan. Memanjangkan jenggot, menua dalam ketenangan. Sesudah segala petualangan yang dicapai, Puss (disuarakan oleh Antonio Banderas) seperti perlu arah baru. Pensiun? Si Puss belajar untuk lebih kesepian daripada yang bisa dirasakan manusia. Tolstoy pernah bilang, “Hal paling tidak diharapkan yang menimpa kita adalah usia tua.”
Waktu melesat dan muncullah Goldilock dan tiga beruang yang memburu Puss. Sampai di depan rumah Mama Luna, mereka menemukan “makam” Puss. Puss sendiri akhirnya mendengar perbincangan mereka tentang bintang jatuh yang bisa mengabulkan segala keinginan. Dan begitulah Puss tergerak.
Tak dinyana di rumah singgah itu, ia menemukan seekor anjing yang menyamar. Perrito bisa bicara, dan begitulah. Saat dalam pelacakan peta, dan Puss tahu pemberi asa itu ada, ia lalu keluar kandang. Menggali jubahnya, melakukan perjalanan bersama si anjing. Pensiun? Oh tidak. Takdir telah memilihnya sebagai sag jagoan terpilih dalam perjalanan ini dan bahwa dia tidak punya pilihan selain menggenggam pedang dan menghunusnya. Puss meninggalkan rumah singgah sebagai kucing tangguh dengan harapan tinggi.
Petualangan mengarah ke Jack Horner yang perkasa. Koki gendut yang jahat, pengoleksi artefak benda-bend ajaib. Dalam prosesnya malah ketemu kucing betina Kitty Softpaws (Salma Hayek Pinault), mantannya yang juga mengejar bintang jatuh. Makin banyak pengelana yang memperbutkan.
Ketiganya lalu mengarah ke hutan kegelapan yang sungguh berwarna, di dalamnya segala kemungkinan terjadi. Puss dan sekutu, Horner dan pasukan, dan Goldilock bersama beruangnya. Kegermelapan di hutan gelap itulah bagian terbaiknya, riuh, tumpang tindih, lenyap, campur aduk. Kepada siapa akhirnya harapan itu mewujud?
Endingnya adalah pelayaran ke Far Far Away, tempatnya bermula ini franchis. Setelah segala keruwetan adu tangkas rebutan, kita disuguhi akhir yang menggelitik. Saya sudah tonton tiga Shrek, bagus-bagus. Puss awal belum, langsung ke film ini. Bagus dari berbagai sudut. Animasi indah, fresh, lucu untuk semua usia, tanpa menghilangkan keimutan si kucing. Layak masuk Oscars. Peluang menang? Berat, lawannya berat-berat.
Kartun Dreamworks memang sudah setara Disney. Sejak kehebohan Shrek kita disuguhi animasi berkelas. Bukan dominasi Disney + Pixar lagi. Walau sesekali kita disuguhi yang biasa, francis ini terbilang sukses. Sebuah spin-off sudah lebih dari satu, dan percayalah Tha Last Wish bukanlah the last one.
Puss in Boots: The Last Wish | 2022 | USA | Directed by Joel Crawford | Screenplay Paul Fisher, Tommy Swerdlow | Cast Antonio Banderas, Salma Hayek Pinault, Florence Pugh Olivia Colman | Skor: 4/5
Karawang, 140223 – Louis Armstrong – On the Sunny Side of the Street
Pewawancara: “Apakah kau merindukan film tanpa suara?” / Jack: “Tidak, kita seharusnya tidak menghalangi kemajuan.”
Film yang gaduh. Dari satu pesta ke pesta lain, dari kehingarbingaran di lokasi syuting ke premier film. Kegaduhan di setiap menitnya. Inilah tajuk utama Babylon: era mula peralihan perfilman Hollywood, dari film bisu ke bersuara, dan seperti kehidupan ini, siapa yang gagal beradaptasi akan tersingkir. Para aktor yang jaya dalam film bisu, ternyata beberapa memiliki suara bebek. Dan Babylon mengangkat isu itu dengan gemilang.
Kisahnya tentang Manuel “Manny” Torres (Diego Calva), sopir yang mengantar gajah ke pesta para selebritas Hollywood tahun 1927. Pesta gila-gilaan dengan banyak artis terkenal. Salah satuny Jack Conrad (Brad Pitt) yang merupakan artor termahal, dengan gaya pertente. Lalu muncullah warga jelata dengan mobil kebut, menabrak patung dan tak peduli. Disambut dan diajak pesta narkoba. Nah, dalam pesta itu, seorang artis yang seharusnya besok pagi syuting malah tewas overdosis. Dan karena kesamaan fisik, Nellie LaRoy (Margot Robbie) ditunjuk datang ke lokasi syuting. Tiket yang ditunjukkan pada Manny, dan Manny secara spontan bilang cinta. Sayangnya, dibalas asap knalpot. Manny sendiri akhirnya menjadi asisten dan sopir Jack.
Di hari yang sama, di dua lokasi syuting yang berbeda. Jack dengan epiknya akting dalam cerita pertarungan di gurun, melibatkan banyak cameo dan tentu saja biaya besar. Apes, sepuluh kamera rusak akibat kebrutalan syuting. Manny diperintahkan gegas ambil ke tukang sewa, sebelum matahari tenggelam adegan final harus berhasil diambil. Di kantor sewa, setelah ngebut malah diminta menunggu sebab kamera type yang dimaksud lagi disewa studio lain. Jelang senja, akhirnya dapat. Hanya dengan kebut war-biasa yang bisa menyelamatkan momen, dan itu dengan mobil ambulance! Secara dramatis, adegan ciuman berlatar senja berhasil. Manny jadi pahlawan.
Sementara di studio lain, Nelly melakukan debutnya. Dengan latar bar, beberapa lelaki mengoceh, lalu terdiam, saat Nelly masuk. Memporakporandakan bar dengan gemilang. Seketika, film sukses dan ia jadi artis terkenal. Judul film baru muncul setelah setengah jam berjalan.
Itulah masa akhir film bisu. Setahun berselang, penonton mulai dijejali film bersuara. Keduanya mencoba beradaptasi. Di sinilah kehebatan film ini. Pengambilan gambar adegan Nelly yang menggoda, hanya untuk bilang, “Hello perkuliahan”. Pengaturan posisi, nada suara, mik, hingga property kudu pas. Berulang-ulang, menjengkelkan. “Cobalah untuk lebih monoton.” Apesnya, salah satu pekerja yang harus mendekam di ruang tertutup, kepanasan. Tiap berapa lama keluar ruangan, dan karena adegan yang diharap tak dapat juga, ia akhirnya tewas kehabisan oksigen. Bertepatan setelah sukses pengambilan gambar. Ironis. “Tak ada yang nyaman di sini.”
Sementara Jack mencoba memperbaiki keadaan. Sebagai manusia bergaji tertinggi, aktor kesayangan studio, ia mulai adaptasi. Sayangnya setelah beberapa tahun, film-filmnya rontok. Bahkan salah satu adegan ciuman yang menjadi daya tariknya, dalam bioskop yang riuh, menjadi tertawaan. Sedih, menyedihkan. Nantinya kita tahu, deraan tekan mencipta depresi akut dan ia melakukan tindakan ekstrem.
Sementara Manny naik pangkat, jadi kepala studio Kinescope. Perjalanan kariernya tampak gemilang. Menjadi mapan karena memang terampil, dan kerja kerasnya layak dihormati. Bersama pemain jazz Sidney Palmer (Jovan Adepo) yang keling menapaki Hollywood dengan kepala mendongak.
Nah, konfliks berat akhirnya dicipta saat Nellie yang memalukan di pesta akhirnya terdepak dari jajaran perfilman. Kebiasaan mabuk, judi, dan madatnya kambuh, hingga berhutang 850 dollar yang harus dibayar dalam dua hari, kalau tidak ia bakal mampus. Kemana lagi ia meminta tolong kalau bukan ke Manny, teman masa susahnya dulu. Manny yang masih cinta, lantas berupaya.
Coba dibantu, diminta tidur di rumahnya. Dicarikan utangan, atau bagaimana biar tertutup. Salah satu rekannya besoknya berhasil membawa tas penuh uang, leganya minta ampun. Padahal, uang itu tak seperti yang dikira. Dan tahukah kalian siapa bos yang ditemui? Spider-man tua! Haha, kejutan menyenangkan menyaksi ia berbedak lalu mengajak anjangsana ke bawah tanah, dan berakhir semrawut. Berhasilkan mereka melarikan diri, ke Meksiko lebih aman?
Durasinya melelahkan, tiga jam yang sejatinya banyak bisa dipangkas. Untung nonton di HP, yang dipangkas di bioskop pastinya tiga adegan annoying, tapi tarian vulgar tanpa BH. Permulaan film bagus, endingnya luar biasa. Ringkasan keajaiban sinema. Sayang pertengahan buruk. Tiga adegan itu: pertama saat Nelly marah pada ayahnya, dan menantang duel dengan ular berderik di gurun. Buruk sekali, konyol dan begitu mengganggu. Kedua, adegan karpet mahal. Dibeli di tanah jauh, lantas dalam tata krama jamuan makan malam malah dimuntahi, mual. Satu lagi, saat duo kita diajak ke bawah tanah untuk menyaksi pertunjukan aneh, makan tikus hidup-hidup. Ya ampun, ketiganya ga guna.
Nama penulis naskah sandiwara terkenal Hendrik Ibsen disebut dan dimaki. Nama penulis sekaligus penyair Yeats juga disinggung, jangan tanya Shakespeare. Dan tentu saja, film ini melakukan tribute ke banyak film-filam terkenal lainnya. Dari kutipan, “Hasta la Vista” sampai “singing in the rain.” Terutama eksekusi endingnya yang wow. Cara menutup layar yang sangat keren. Sempurna. Saat Manny duduk menyaksi film tahun 1950-an yang penuh warna, lalu meneteskan air mata. Film-film dari masa-ke-masa ditampilkan, dari abad 19 hingga menyentuh tahun 2009, tahun Avatar mengguncang dunia.
Saya lebih bersimpati pada karakter Sidney Palmer. Sayangnya hanya tokoh sampingan. Sebagai penikmat jazz, ia mewakili penyampaian tema diksriminasi dengan jitu. Peniup trumpeter yang menanjak, menghibur penonton. Dalam sebuah adegan mengharu, ia diminta memakai krim wajah, sungguh berat, tapi show tetap harus jalan. Secara close up, kita menyaksi kesedihan matanya, bergelora memainkan alat musik, teriris menangis dalam kepedihan. Miris.
Prediksinya jelas, film ini unggul secara skoring. Cerita biasa, sangat biasa. Pitt bahkan sudah mulai membosankan, aktingnya kok mirip terus seperti Letnan Aldo Raine di Inglourious Basterds. Cara ngomong songong, bibir dimonyongkan, dan intonasi diolah berat. Terjebak dalam karakter itukah? Nah, di bagian skoring yang sungguh mewah sekali. Jazz di mana-mana, dan menghentak meriah setiap menitnya. Kostum menurutku biasa saja, akan berat melawan film glamour lainnya.
Bagian saat Manny mengajak keluarganya ke gerbang Kinescope sungguh menyenangkan. Kebanggan pernah menjadi bagian perjalanan sinema yang kini makin megah. Dengan cerdik, kamera menyorot para penonton berbagai pose dari makan popcorn, ciuman, pose tegang, santai, dan utamanya Manny yang terharu biru dengan lelehan air mata. Dalam pengejaran kenikmatan menyaksi film dan terutama dalam menentukan apa yang membahagiakan manusia, kita harus menempuh suatu jalan pajang dengan pelbagai tahapan.
Dan satu paragraf penutup ini saya dedikasikan untuk jazz, corak khas Babylon yang walaupun hanya item penopang, sejatinya malah jadi keunggulan utama. Semoga nanti menang skoring.
Hakikat segala hakikat hidup ini apa sih? Setiap manusia memiliki jawabannya sendiri. Filsuf akan menjelaskan panjang lebar tafsirnya. Sufi akan menerangkan dalam kedamaian kesederhanaan hidup dan balasannya di kehidupan setelah ketiadaan. Hidup dalam ketenangan dan kesederhanaan secara penuh dengan sedikit makan dan minum, banyak berdzikir dan beribadah, seraya penuh rasa kepasrahan kepada Tuhan. Seorang musisi akan memuja melodinya. Seorang penulis akan menekuri abjad. Seorang aktor menganggap set syuting adalah keajaiban. Variasi makhluk akan pilihan dan konsekuensi. Ambil contoh Haruki Murakami yang punya ribuan piringan hitam lagu-lagu jazz dari berbagai era, dan karena saya menyukainya, saya juga mendengarkannya, terutama tiga tahun terakhir. Buku, jazz, kopi. Sebagai teman baca, atau hanya sembari kerja santuy sama iringan teduh. Lika-liku kehidupan memang sukar diramalkan dan tentang pertanyaan antah surantah menuju ke mana kita atau suatu takdir yang buta serta penuh tingkah mengatur segala-galanya. Kalau saya menyebut buku adalah teman paling menyenangkan, maka musik adalah kawan lainnya lagi setelah kopi dan tentunya limpahan waktu luang. Dan di sini, di Babylon musik (lebih spesifik kita sebut jazz) itu penuh hingga meluap-luap. Itulah mengapa saya menaruh simpati pada Palmer, saat dia dengan bimbang menerima krim, lantas di atas panggung dengan passion tak terbantah, membuka mulut dan meniup “terompet”-nya. Indah, menggelitik telinga laksana musik surga.
Babylon | 2022 | USA | Directed by Damien Chazelle | Screenplay Damien Chazelle | Cast Brad Pitt, Margot Robbie, Diego Calva, Jean Smart Jovan Adepo | Skor: 4/5
Mengerikan, tapi tampak rasional. Lima puluh tahun lagi saat kita sudah diganti generasi berikutnya, apa yang kita tinggalkan? Teman-teman yang baik? Oh itu hanya lingkar dalam lingkungan. Beberapa abad yang akan datang, kita tak akan dikenang jika hanya jadi manusia biasa. Ngopi mulu, ngobrol hal-hal unfaedah. Di sini, kita mengambil contoh musisi. Abad 17 kita mengenal Mozart, dan itu akibat karyanya yang abadi. Maka pemikiran liar inilah yang menjadi picu perpecahan persahabatan dua orang. Jati diri kehidupan, apakah warisan karya yang monumental atau sekadar gelak tawa dengan teman dan keluarga terkasih? Di pulau terpencil tahun 1923, dengan setting minimalis dan konfliks kutat sederhana lelaku keseharian, kita menjadi saksi remuk redam kebimbangan. Warga dan kesunyian yang tertinggal. Kejam, sunyi, dan sekali lagi, mengerikan. Apakah sepadan, meninggalkan teman karib demi mengejar impian yang tersisa? Mengggapai impian tidaklah sungguh-sungguh manusiawi karena memilih kejar impian dengan tepat tergantung pada suatu pendapat tepat mengenai keselarasan hakiki antara impian-impian tersebut. Ah, Colm yang malang, memikirkan hakikat kesunyian, kesunyian yang lebih pekat dari hutan, kesunyian tak tertembus.
Kisahnya berkutat di pulau fiktif Inisherin di Irlandia pada masa perang saudara tahun 1922-1922. Perang bersumber dari konfliks antara merdeka atau tetap bergabung dengan Inggris. Dibuka dengan kunjungan Padraic Suilleabhain (Colin Farrell) ke rumah sahabat karib Colm Doherty (Brendan Gleeson). Setelah mengetuk pintu dan menanti beberapa saat tak ditanggapi, ia mengintip dari jendela, tampak Colm terdiam saja, melamun dalam gelap. Aneh, ajakan Pad untuk ngebir seperti hari-hari biasa ke pub tak ditanggapi. Maka iapun ke pub sendiri. Curhat ke orang-orang sekitar bahwa sahabatnya berubah.
Jawaban muncul tak lama kemudian, bahwa Colm seolah menemukan tombol klik dari malaikat, bahwa ia sedang merenungkan kehidupan. Hidup yang hanya sebentar ini, kalau tak dimanfaatkan akan tergerus. Makanya harus buang kegiatan yang tak produktif semisal duduk-duduk ngobrol kagak jelas sama teman minuman memabukkan. Itulah mengapa, mulai saat itu Colm tak mau menemui sahabat karibnya. Ia mau fokus mencipta karya, dengan panutan Mozart, maka ia berusaha mencipta lagu lalu memainkannya di pub. Ah itu bisa dilakukan nanti, tapi sampai kapan? Hidup terasa masih panjang, mereka masih muda. Oh, tak sesederhana itu kawanku Prad.
Perubahan yang tak bisa diterima, ia tak mau menerima kehilangan sahabat karibnya. Sayang, ia tak paham, tak mengerti konsekuensi kenekadannya. Maka di puncak kemarahan Colm mengultimatum, bila mereka kembali komunikasi. Ia akan memotong jarinya. Satu demi satu. Camkan! Sesuatu yang sungguh mengejutkan. Tak hanya Prad, tapi juga semua pengunjung pub, dan karena ini area terpencil dan tak luas, hampir semua gosip didengar semua orang, yang berarti ikrar itu diketahui semua orang.
Sementara itu, muncul anak muda aneh penggugup Dominic (Kerry Keoghan) yang mencoba mendekati Prad. Seolah menjadi sahabat pengganti, ngomongin kakaknya Siobhan Suilleabhain (Kerry Condor) mulu. Namun karena merasa Dom tak cerdas dan tak setara, ditanggapi sambil lalu. Percobaan Dom mendekati Prad ternyata memiliki misi terselubung sebab sejatinya ia jatuh hati sama kakaknya yang cerdas, yang seorang kutu buku akut, melajang di usia sangat matang. Dikira tak laku, padahal tentu saja ia high quality jomblo. Sangat selektif, bisa jadi ia satu-satunya karakter normal dan benar di film ini
Sementara itu, di kota ada polisi nyebelin Garda Peadar (Garry Lydon) yang merupakan ayah Dom. Suka sekali bergosip, setiap membeli sesuatu di sana menyebar kabar, yang diterima dengan senang hati sama penjualnya yang memang biang julid. Tampak aneh nan mengesalkan contoh paling nyata, saat surat buat Siob dari kota utama sudah dalam kondisi dibuka ketika diberikan kepadanya. Surat undangan untuk bekerja di perpustakaan. Sebuah profesi idaman kutu buku. Awalnya mantab sekali ia takkan pergi (jelas demi sang adik), tapi setelah bermenit-menit durasi berjalan, betapa mengesalkan keadaan dan orang-orang di lingkungannya, ia goyah juga.
Sementara itu, dua karakter utama kita memiliki dua hewan peliharaan kesayangan. Prad memiliki keledai Jenny yang sangat disayanginya, sering kali dibawa masuk ke dalam rumah, dielus-elus, dikasih makan, diajak ngobrol yang ditegur dan dikeluhkan kakaknya, rumah kotor woy. Colm memiliki anjing kesayangan, menemaninya berlatih musik, makan, menatap perapian. Dua peliharaan yang akan memicu keputusan penting persahabatan mereka di eksekusi ending.
Mengapa? Sebab satu jari Colm akhirnya benar-benar dipotong dan dilempar ke pintu rumah Prad karena komunikasi terlarang itu terjadi. Lalu apakah masih bisa bermusik dengan Sembilan jari? Masih. Ikrar itu tetap dipegang, kakaknya lantas melarang dengan sangat keras ia berkomunikasi, apapun alasannya. Namun sampai kapan? Dan jari-jari itu akhirnya menggelepar di antara kesunyian pulau yang adem nan tenang itu. Mempergunakan pertentangan-pertentangan yang seolah melawan pemikiran, tapi akhirnya diperdamaikan dalam sintetis.
Luar biasa, saya sukaaa sekali. Film dengan pace begitu lambat, berjalan dengan nyaman. Secara cerita sangat kuat, akting apalagi. Sempurna. Judul film sendiri tampak eksotik nan membingungkan. Apa artinya ya? Terjawab dalam diskusi kakak-adik dengan kemarahan. The Banshees (bena si) adalah “wanita peri” dalam bahasa kuno Irlandia, peri pengkabar kematian. Di sini kita menemui karakter aneh yang tampak menakutkan. Awalnya kukira orang gila, nenek-nenek yang muncul di sembarang tempat saat momen-momen menakutkan. Dipanggil “hantu” oleh warga. Di pinggir jalan, disapa malah cuma menyeringai, atau saat ia jalan, Prad langsung ngumpet sebab takut, eh malah muncul di hadapannya. Muncul pula di puncak tebing saat sang kakak melampaikan tangan perpisahan, atau saat di toko, bisa-bisanya ia duduk di samping pintu yang saat dibuka Prad, mengagetkan, dan utamanya saat akhirnya ia memberi kabar buruk, salah satu dari keluargamu akan mati, semoga saja bisa dicegah. Menakutkan, hanya sesekali muncul, tapi begitu sukses mencipta cekam. Apakah The Banshees itu dia yang dimaksud? Bisa ya, tapi bisa pula ditafsir tidak sebab memang maknanya tersirat.
Banyak scene tenang yang nyaman, tak ada riak yang mengganggu sehingga setelah ditampar dialog-dialog filosofis, kita diajak merenungkannya. Saya catat ada empat adegan sunyi yang dimaksud. Pertama, saat akhirnya mereka berdua bertemu dalam kelegaan, di hamparan pantai menatap laut. Di tanah seberang sedang perang dan kita malah mencipta perang sendiri, bersama sang anjing yang seolah bisa mendengarkan percakapan, mereka memutuskan mau dibawa ke mana ikatan pertemanan ini? Kedua, saat perjelasan di luar pub, duduk berdua bagaimana Colm dengan tenang menjelaskan mengapa ia menjauh. Dengan latar laut, Colm bilang, “kamu rasa begitu?” lalu ditinggal pergi, Prad bengong dengan rasa kebingungan seolah ditampar sahabat karibnya. Ketiga saat Prad duduk minum bir sendirian menatap laut, setelah ditinggalkan Dom. Pengakuan jahat bahwa orang yang paling baik pun melakukan kehobongan demi memenuhi egoism. Terakhir, dan ini yang terbaik. Saat sang kakak, sui kutu buku itu dalam kebimbangan. Ia hanya menatap hambaran daratan hijau pulau itu, dengan hembusan angin membelai riak air. Angin sejuk yang seolah mencerahkan pikirannya, ia sedang di atas kebimbangan besar. Menerima tawaran Perpus yang artinya memenuhi kehendak bebas pergi ke tenah seberang, atau demi adiknya, tetap bertahan untuk turut jadi gila. Adegan itu ditutup dengan kemantaban saat muncul Dom, yang dengan gugup bilang apakah ada peluang di hatinya? Lihat senyum terselubung Siobhan, itu adalah jawaban keras untuk perkataan polisi: ia perawan tua tak laku! Hahahaha… kalau sampai Kerry dan Barry menang Oscars, dari dialog mendebarkan bersetting “lautan hijau” inilah sumbernya. Teduh. Amazing!
Prediksiku di Oscars, film ini takkan hampa. Terlalu bagus kalau sampai gagal, terutama di kategori akting. Bisalah, dua atau minimal satu, prediksiku di supporting: untuk Mad “Eye” Moody? Untuk kategori puncak, sangat amat layak. Semoga saja. Ini adalah film Oscars ketiga yang kunilai sempurna lima bintang.
Pertanyaan besar dalam hidup ini, masih jadi misteri: manusia diciptakan untuk apa? Agama sudah memberi jawaban: untuk ibadah. Sains menjawab banyak hal lebih liar, salah satu yang kuingat perkataan Plato: “makna ultim keberadaan manusia mula-mula terletak dalam kehidupan yang berkaitan erat dengan yang baik, benar, dan indah.” Nah, di The Banshees, itu tak cukup. Terutama berbuat baik, menghabiskan waktu dengan teman-teman, sebab semua akan nihil juga kalau tanpa warisan. Colm memaknai, ia ingin dikenang maka hanya tiga yang secara spesifik dipersyarat: puisi, musik. Dan karena ia pemain biola maka ia ingin mengerahkan sisa waktu hidupnya dengan merenung dan menggubah lagu.
Musik memang salah satu sarana ampuh untuk menampilkan emosi serta ekstasis supra-indiividual yang melenyapkan keinginan serta gairah manusia. The Banshees of Inisherin menempatkannya di situasi yang menyakitkan, tapi ternyata malah bikin nyaman, demi itulah jari-jari itu harus dilemparkan.
The Banshees of Inisherin | 2022 | Rep. Irlandia | Directed by Martin McDonagh | Screenplay Martin McDonagh | Cast Colin Farrell, Brendan Gleeson, Kerry Condor, Barry Keoghan | Skor: 5/5
Karawang, 100223 –Dinah Washington – Mad About the Boy
“Katakan ini kepada mereka: Dirikan salat! Dirikan salat!” – Siti
Novel dibuka dengan kutipan berikut: “Katakan kepadaku menjadi binatang apa kau ingin kuubah dengan sihirku?” – Hikayat Seribu Satu Malam, Kisah Fakir Kedua. Sebuah peringatan bahwa para binatang ini akan berseteru dan berpikir, berupaya mengubah dirinya menjadi makhluk lain.
Cinta, pengorbanan, ketololan. Hewan-hewan yang berpikir, dan bagaimana secara simbolis membentuk semesta kehidupan singgung dengan makhluk lain. Demikianlah O, monyet merana dan melamun itu memandang rona kehidupan. Bukankah manusia juga? Setiap yang bernyawa akan mati, jadi apa bedanya?
Sejujurnya, cerita dengan pola sejenis ini kurang suka. Banyak buku masterpieces berpola normal, tak seperti ini. Di mana, berisi hanya penggalan-penggalan paragraph, hanya satu sampai sepuluh lalu diputus tanda baca strip (“-“). Polanya acak, tapi tetap saja tak suka. Memang lebih enak menulis seperti ini, pecah-pecah seenaknya, tapi tentu saja untuk novel panjang, rasanya tak nyaman. Pola yang sama dengan Seperti Dendam, Rindu Harus dibayar Lunas.
Kisahnya mengambil banyak sekali sudut pandang, banyak karakter (sangat amat banyak), banyak pola dan acak. Dari monyet, anjing, manusia, babi, ular, burung, tikus, burung kakaktua, revolver hingga kaleng sarden. Bukan hal baru, dan itu sah-sah saja, menjadikan mereka berpikir. Dengan tokoh utama O, monyet betina yang menginginkan Kaisar Dangdut menjadi kekasihnya, plot acak digulirkan. Di Rawa Kalong, tempat banyak monyet liar bersemayam, kita diajak berkenalan dengan Entang Kosasih yang bermimpi menjadi manusia. Untuk menjadi manusia ia lantas berperilaku laiknya kita. Berjalan dengan dua kaki, mengamati kehidupan mereka, hingga pola pikirnya.
Tersebat legenda Armo Gundul yang dituturkan monyet tua, bahwa di masa lalu tersebutlah Armo yang bersatu dengan manusia dan dalam pertarungan epic melawan dukun jahat, ia tewas menjadi manusia. Hikayat itu mematik Entang, dan begitulah, ia selalu berusaha menemukan jalan. Kekasihnya, O selalu mendukungnya, betapa jatuh hati sama impian, dan kemustahilan pikiran.
Duo polisi problematic Joni Simbolon dan Sobar yang kini ditugaskan di Rawa Kalong untuk mengamati preman jahat Toni Bagong yang kwain dengan Dara, apesnya Dara adalah selingkuhan Sobar, menjadi titik mula niat Entang. Dalam sebuah adegan surealis ular sanca menerkam bocah bernama Uyung yang buang hajat di sungai, jangkok di tempat baru berbilik, dan apesnya dekat sarang ular. Pertarungan penyelamatan yang aneh sekali, ular tersebut bernama Boboh ditembak pakai revolver. Walau tak selamat, Joni melupakan senjatanya, yang ternyata diambil oleh Entang. Jadilah momen lucu, monyet pedang revolver dan bingung cara menggunakannya.
Melalui pengamatan, dan bidikan sisa pelor. Justru si Joni tertembak peluru terakhir. Menewaskannya seketika. Berikutnya malah monyet vs manusia adu tembak, dank arena pelor revolver monyet habis tentu saja sang polisi menang. Di sinilah mula, Entang menghilang. Mayatnya tak ditemukan, ia diperkira telah menjadi manusia.
O setelah bertemu tikus dengan cenayang menilah masa depan bernama Manikmaya menyarankan untuk ke pasar, O melakukan perjalanan menemukan kekasih, menjadikannya monyet topeng keliling dengan tuan Betalumur, pemabuk frustasi yang tinggal di kontrakan tak terurus bertetangga dengan pasangan pemulung Ma Kungkung dan Mat Angin. Walaupun jarang dikasih makan, tak terurus, O sudah tapa brata siap bersusah dan prihatin demi menjadi manusia dan bertemu kembali dengan Entang Kokasih yang menjadi Kaisar Dangdut terkenal.
Lagu-lagunya banyak memengaruhi pendengar, main film, lagunya berselulubung dakwah, dan saking terkenalnya, menjadi ikon masa kini. Kaisar sendiri punya banyak problem. Pengamen jalanan yang jatuh hati sama guru karate Rosalina yang menyelamatkannya dari hantaman preman, saat uang kosnya nunggak, ia memberanikan diri ke kos penyelamatnya, ia jatuh hati.
Ia merangkak karier dari bawah, ikut audisi, dan perjalanan itu ditemani kekasihnya Rosalina. Berjanji setia, saat nanti sukses tak akan lupa. Sayang Rosalina dikisahkan tewas kena bacok preman yang dulu dihajarnya. Maka saat di puncak karier, oleh managernya, Mama Inang, kehidupan asmara Kaisar hampa.
Dan di sinilah titik temu itu, O dan pemilik barunya pengamen waria Mimi Jamilah mengirim surat untuk bertemu pujaan hatinya. Sempat terbesit ide gila macam apa ini, bertemu penggemar seekor monyet? Namun begitulah, akhirnya keinginan O terkabul, berhasil bertemu Entang Kokasih, kekasihnya. Apakah benar itu kekasihnya yang punya mimpi gila itu?
Waktu berjalan, sang Kaisar pernah suatu ketika, ia main telepon gadis di mana nomornya banyak kita temui di Koran. Telepon penyedot pulsa, cabul, seenaknya, hingga sang pria lupa waktu. Kaisar dengan nama samara Romeo, terpikat oleh gadis telepon, Kamelia. Dan begitulah, waktu menuaikan mereka untuk kopi darat.
Kehidupan O dari Betalumur yang menghilang suatu hari pun berlanjut ke pemilik baru, dan dari pemilik baru Mimi itu ia dijual ke sirkus monyet dengan bergepok-gepok uang. Awalnya tak mau jual, tapi suatu malam kekasih lamanya Bruno tiba-tiba datang, mengetuk pintunya, meminta tempat berteduh, dan besoknya akan mudik sebab ibunya sakit keras, tak punya. Begitulah, ketololan cinta, sudah tahu ditipu, tapi tetap membantu. Berhasil mendapatkan sepuluh gepok uang, dan O berpindah tangan. Namun tak lama, ia kembali. Gara-gara uang yang beredar palsu.
Menjelang akhir, kita malah menjauh dari arus utama. Kembali ke kehidupa Betalumur yang penuh lumpur. Awal mula bagaimana ia ,emjadi begajul. Masa muda, kena apes saat join sama bos Kosim yang dalam penggerebekan polisi ditemukan sekarung ganja di mobilnya. Dalam pelarian jatuh hati sama gadis yang tak sengaja ditemuinya di kamar mandi. Dalam posisi telanjang, sang gadis melindunginya dari kejar duo polisi. Begitulah cara jatuh hati yang absurd. Anehnya saat ia berhasil kabur ke Cibatu, ia kembali ke area tempat gadis itu tinggal tak ada yang tahu. Memedi? Hantu bugil? Hehe… Begitulah, sampai akhirnya menemukannya kembali di tempat ibadah.
Kisah sempalan lagi masih sangat banyak. Kirik versus Rudi Gudel yang merupakan dendam tersendiri sebab kawannya dibunuh angjing. Masa lalu Jarwo Edan yang jatuh hati sama gadis vila yang memberinya anjing kecil diberi nama sama, Wulandari yang lalu langsung disantap, dan setiap anjing yang datang diberi nama sama.
Belum sempalan cinta Kaisar Dangdut yang terpesona biduan cantik bersuara bagus, yang rencana dibuatkan lagu duet. Berlatih bersama dalam kamar hotel, mengundang nafsu. Yang mulanya sempat membuat hati Kaisar berdesir, lantas ambyar seketika saat tahu sang biduan Elis Listyawati terkapar di kasur berbalut handuk dengan sang anggota dewan tertidur telanjang.
Sempalan kehidupan Rini Juwita yang memiliki dua anak mendamba pelihara anjing malah lucu nan menohok. Bukan alur coba memeliharanya yang aneh, melawan preman yang coba membunuh Kirik, menawari uang pembebasan dengan dua pasukan kesulitan ekonomi. Bukan, kalau alur itu sudah banyak di sini. yang kumaksud lucu adalah cara temu dengan jodohnya Marko. Hari anniversary kocok dadu! Hehe, kenapa ga kepikiran ya, cara kopi darat dengan aneh seperti ini sungguh menantang, absurd, lucu. Lima cewek, lima cowok, tak saling kenal. Kencan singkat di bar. Dan karena tak tahu cara menentukan pasangan, mereka mengandalkan dadu. Siapa sangka, hanya mereka yang berlanjut hingga menikah. ”Bagaimana kalau kita lempar dadu?”
Sempalan mengharukan terjadi saat penikahan wanita gila dengan seorang guru ngaji yang luar biasa setia. Kiai Sobirin yang patah hati menjaga hati untuk kekasihnya yang mengalami kawin paksa. Sri Astuti dinikahkan dengan duda kaya pilihan orangtua. Dan siapa sangka setelah lama berselang, cinta mereka yang rasanya mustahil disatukan, suatu hari menjadi kenyataan! Romansa langka, nan luar biasa. “Tidak pernah. Aku telah berjanji untuk terus mengaji. Kepada kekasihku.”
Kisah masa lalu Dara dan akhir perjalanannya hidupnya juga luar biasa. Dendam sama polisi sebab ayahnya dibunuh dan dibuang di sungai, saat era Soeharto runtuh, ia merayakan dengan berenang di tempat ditemukannya. Dan akhir yang aneh pula, saat kekasih hati yang membunuh bayinya malah menemuinya, berjanji akan siap berkorban apapun, termasuk pembuktian terjun ke sungai demi jadi ikan?
Endingnya sendiri dibuat dengan tertutup. Semua terjawab. Tak ada rasa penasaran atas nasib semua karakter. Sekalipun kita tahu, Entang ditembak, O dikubur, Betalumur di tempat sampah, Kirik hidup tenang, sampai pertemuan tanda tanya Romeo dan gadis penerima telepon. Ending sempurna untuk O, ending yang mungkin perlu juru tafsir, tapi rasanya tak perlu. Ini adalah novel bebas, ejawantah evolusi: ikan, kera, manusia.
Pernah baca tiga tahun lalu, lupa tak kuulas. Maka kubaca ulang dalam tiga hari ini (selesai 7/2/23), gegas sebelum kukembalikan ke teman besok. Mungkin bagi awam susah dicerna menikmati bacaan hewan dan benda mati yang berkomunikasi, tapi bagiku tidak. Mengalir lancar dan tanpa kerut kening. Malah kutemukan beberapa kelemahan, selain pola pecah-pecah yang tak nyaman, yang kurang adalah hampir semua karakter mudah berkata kotor, kasar, dan sifatnya mirip, kalau tak mau dibilang sama. Sefasih itu misuh-misuh, dan terbaca sama. Mau cewek/cowok, mau polisi/penjahat, mau binatang apapun, kok sifatnya sama. Bukankah seharusnya setiap individu itu unik?
Untuk cerita bagus, terbesit juga bikin cerita fabel dengan pola pikir manusia, dibuat acak, dibuat rumit, tapi harus tetap nyaman, dalam artian dibuat umum saja di mana tiap bab mengalir, bolehlah didesain dengan kutipan tiap pembukanya macam Inkheart, yang jelas novel jenis pecahan bagiku kurang Ok. Acaknya boleh, polanya tidak banget. Fabel rumit tapi nyaman? Banyak. Banyak sekali. Animal Farm contohnya, dan di sini juga dikutip. Atau Alice in Wonderland, atau The Call of the Wild, dst.
Tanpa telaah lebih lanjut, kita bisa simpulkan Kaisar Dangdut adalah metafora Raja Dangdut kita. Film, lagu-lagu pesan moral agama, anti judi miras, narkoba, hingga banyak yang enak-enak kenapa dilarang. Tanpa telaah lebih jauh, ini cerita bebas tentang teori evolusi, tentang reinkarnasi, hingga keagungan cinta yang patut dipisuhi. Menyenangkan, sekaligus sedih. Para karakter yang terpenjara asmara, lalu dengan marah menghantam balik dunia yang laknat. “Demi cinta, demi kebahagiaan, kita mungkin harus berkorban.”
Kuharap Bung Eka kembali menulis novel tebal dengan pola senormal Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau. Keduanya sangat amat nyaman, sangat amat keren, luar biasa menghentak. Ingat, novel ini dirilis 2016 dan kini sudah tujuh tahun berselang, beliau tak gegas menulis cerita panjang lagi? eka adalah merek dagang sastra kita, karya-karyanya selalu kita nanti.
So far, saat ini menurutku beliau adalah salah dua Penulis kita, wakil Indonesia yang layak maju ke kancah dunia dalam perebutan Nobel Sastra. Panjang umur Bung Eka, suatu hari nanti semoga saja namamu disebut di Stockholm, Swedia. Tepuk tangan untuk kebesaran O.
O | by Eka Kurniawan | GM 616202008 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | Penyelia naskah Mirna Yulistianti | Desain sampul & ilustrasi Eka Kurniawan | Proof Reader Angka, Sasa | Setting Fitri Yuniar | Jakarta, Maret 2016 | Cetakan kedua, Juni 2016 | ISBN 978-602-03-2559-0 | Skoe: 4.5/5
Karawang, 070223 – Louis Armstrong – Blueberry Hill
Thx to Ahmad Sokhibi, Untuk pinjamannya. O dan The World until Yesterday done. Goodluck untuk petualangan barunya di KFC.
“Tampaknya agama memenuhi suatun kebutuhan universal manusia, atau setidaknya timbul dari satu bagian kodrat manusia yang kita semua miliki. Bila memang begitu, kebutuhan apa itu, atau bagian kodrat manusia yang mana? dan apa sebenarnya definisi “agama”?”
Buku yang melelahkan. Tebal, lebar, non fiksi. Dan utamanya, cara bercerita yang berbelit-belit, seperti membaca laporan ilmiah. Ini memang buku laporan perjalanan selama di Papua, meneliti kehidupan di sana. Makanya, apa yang dilakukan adalah laporan kehidupan sehari-hari. Benar-benar dibuat runut dan mengikuti masa. Sempat terlunta-lunta belum separo buku, diletakkan lelah di rak berbulan-bulan. Dan kembali kupaksa gegas baca sebulan terakhir sebab harus dikembalikan. Berat dipermulaan, lelah di tengah, tapi saat mencapai bagian singgung tentang agama, buku ini menyala menarik sampai jelang akhir. bagian akhir kembali ke dasarnya, laporan kegiatan. Untuk buku non fiksi, bolehlah seperti ini. memang bervitamin, bagus sih untuk penelitiannya, langsung ke tempatnya asli, bukan dari hasil baca. Sebuah upaya riset yang patut dihargai, hanya sayangnya tak semulus narasi indah. Ingat, saya benar-benar terpesona Sapiens yang tebal dan luar biasa melelahkan. Kuncinya memang narasi. Dan The World Until Yestersay, sukses di gizi bukunya, tapi kurang berhasil dalam membangun narasi menarik.
Terbagi dalam lima bagian: Membagi Latar dengan Membagi Ruang, Damai dan Perang, Muda dan Tua, Bahaya dan Tanggapan, dan Agama, Bahasa, dan Kesehatan. Dengan pembuka dan penutup di dua bandara, di Papua dan Amerika, kisah panjang memenuhi 11 bab ini akhirnya kembali ke pribadi masing-masing untuk tarikan kesimpulan. “Orang di masa saja pada dasarnya sama.”
Baik, saya ulas per bagian sedikit. Pertama tentang tata ruang kehidupan. Bagaimana setiap daerah menjalani kehidupannya dengan cara berbeda. Lawan, kawan, dan orang asing. Bagaimana mereka awalnya adalah kaum berburu dan meramu, lalu menetap dalam pertanian dan kebun, lantas mencari sekutu dan mencoba bertahan hidup dari serangan klan/suku sebelah.
Bagian dua tentangDamai dan Perang. Ini tindak lanjut dari kehidupan bertani, menetap. Saat terjadi singgung negative, terjadi perkelahian sampai menyeret anggota keluarga atau suku lain dan akhirnya berperang. Perang tradisional dengan alat minimalis. Panah beracun, tombak, kapak, dst. Nah, bagian ini mengupas panjang lebar secara sistematis. Termasuk tata kelola peradilan. Di mana hukum yang belaku dipegang tetua adat, atau orang yang dihormati.
Ada kasus kecelakaan, di era modern ini ganti rugi bisa berupa materiil, yang jumlahnya disepakati. Atau bila rusuh sampai melibat anggota lainnya, bisa saling membalas dendam. Namun untuk kata ‘perang’ bisa berbagai pendapat, melibat antar suku hanya puluhan sampai ratusan saja, tidak seperti perang antar Negara misalnya yang bisa menimbulkan korban ribuan. Memang apa plus minusnya membentuk Negara, atau ada instansi yang menangungi. Gesekan bisa diminimalkan, tapi tetap harus ikut aturan yang ada.
Bagian tiga tentang Muda dan Tua. Masalah perawatan dari anak sampai tua, di setiap daerah tentu juga beda-beda. Menyapih contohnya, atau memberi asi secara eksklusif, dan seterusnya. Kemudian berbalik memperlakukan orang tua, seorang lansia patutnya dihormati dan diberdayakan sesuai pengalamannya. Aturan masyarakat memang mengikat dan itu juga menentukan nasib mereka. Dengan kematian orang-orang tua maka mati pula ingatan akan masa, terkubur dalam sejarah, entah berapa hal bisa diselamatkan untuk generasi berikut.
Bagian keempat, Bahaya dan Tantangan. Mulai bagian ini buku mulai menarik. Bagaimana orang-orang bertahan hidup dari gempuran alam. Ada adegan menarik, yang menurutku terbaik. Saat kecelakaan kapal di lautan. Jared sudah merasa ada yang tak beres, maka saat kapal akan karam, pikiran pertama seharusnya adalah bagaimana selamat. Namun malah pikiran macam-macam lain, dokumen penting yang disimpan dalam plastis dan tas harus selamat, sebab passport misalnya, kalau sampai hilang, ia harus mengurus jauh ke Jakarta. Dua ribu kilometer dari Papua, yang tentu saja rumit dan melelahkan. Respons penumpang lain yang dari berbagai suku juga menarik ditelaah, saat ada kapal lewat dan akan menyelamatkan, hanya muat sedikit, ada yang memaksa minta didahulukan, dan malah karam lagi. dan butuh kesabaran untuk menanti kapal lainnya, atau bantuan hadir. Dan anehnya, saat kapal lain tiba, mereka masih negosiasi nilai nominal yang harus dibayar bila mereka berhasil dibawa kembali ke darat! Hehe…
Begitu pula, bagian saat berteduh di bawah pohon. Orang-orang Papua sudah mengenal alam, dan saat cuaca buruk mereka tak akan mau berteduh di sana, bahaya kesambar petir, pohon tumbang, hingga celaka sejenisnya. Mereka sudah pengalaman menghadapi itu, makanya tahu. Di sini Jared menyebut teori paranoia konstruktif, semacam feeling.
Bahaya lainnya jelas dari binatang buas, hati-hati. Serangan singa, macan, atau sejenisnya masih ada. Namun ada satu hal unik, serangan manusia dengan tanda sebatang kayu yang ditancapkan di tanah, yang berarti tanah tersebut sudah diklaim, yang artinya tidak boleh sembarangan dijelajah. Hehe, aneh tapi nyata. Seolah memiliki sejengkal tanah semudah itu, hutan perawan ditemukan, diklaim, dan kalian diusir, kalau berani sentuh kita war!!! Hahaha, asem tenan.
Bagian lima yang luar biasa membahas Agama, Bahasa, dan Kesehatan. bagian agama sungguh tampak membara. Pertanyaan-pertanyaan tentang agama dan difinisi yang sebenarnya. Mungkin karena Jared yang berpikiran terbuka, atas didikan liberal Amerika, maka lebih condong ke sains, maka kepercayaan masih bukan hal utama dalam menjalani peradaban.
Dia mengklaim bahwa agama lebih pas sebagai pereda kecemasan. Sebuah pertanyaan besar apa yang terjadi setelah kita mati? Maka agama memberi jawab aka nada pembalasan, maka kalian harus berbuat baik agar di kehidupan selanjutnya ke surga. Berpatok pada tiga agama besar: Yahudi, Kristen, dan Islam. Maka agama mempunyai peran penting untuk komitmen, itulah mengapa agama mengalami perubahan fungsi, ia menjadi pegangan kuat banyak umat sebab tak kasat mata. “Agen-agen supranatural tidak hanya mengganjar orang-orang baik yang mematuhi aturan dan menghukum para pelaku kejahatan dan penaggar aturan, melainkan juga bisa dibujuk melalui doa, sumbangan, dan pengorbanan untuk ikut campur secara menguntungkan bagi manusia yang mengajukan permohonan.”
Bagian bahasa juga lumayan bagus, multi bahasa di masa sekarang hal wajar. Dan sejatinya perlu diletari keanekaragaman bahasa daerah. Saat ini ada sekitar 7000 bahasa yang ada yang banyak yang terancam punah, sebab banyak Negara mempunyai bahasa persatuan, dan memaksa anak cucu untuk mempelajarinya, maka bahasa daerah dikesampingkan, semakin ke sini semakin terdesak, sampai-sampai perlu mengultimatum pelestarian, seperti pelestarian binatang langka.
Bab garam, gula, lemak, dan pemalas sungguh menempar kita. Bagaimana kombinasi itu menjadi maut untuk era modern di dunia yang sudah malas ini. penyakit tak menular itu mencakup hitertensi, obesitas. Yang efek panjangnya bisa mengakibat kebutaan, amputasi, hingga stroke dan jantung. Pembunuh yang diproduksi lewat gula (dari berbagai produk dan turunannya), garam yang terlampau banyak dikonsumsi, dan lemak dari junk food salah satunya. Luar biasa, kita tak bisa abai akan hal ini. Ini benar-benar sudah di tahap serius sebab di Negara yang sudah menyentuh westerisasi, sudah jadi isu global yang tak main-main. WEIRD (Western, educated, industrial, rich, democratic – Barat, berpendidikan, industrial, kaya, demokratik).
Bagian akhir buku ini seperti nasehat, dan menurutku ok saja. Sekalipun dalam pengambilan keputusan pilihan hidup kembali ke kita lagi. dan seperti buku-buku non fiksi lainnya, daftar pustaka buku ini dapat dan panjang. Sebuah rekomendasi lanjutan untuk dijadikan acuan baca.
Dunia Hingga Kemarin | by Jared Diamond | Diterjemahkan dari The World until Yesterday | KPG 591500989 | Copyright 2012 | Penerbit KPG | Cetakan pertama, Juni 2015 | Penerjemah Damaring Tyas Wulandari Palar | Penyunting Andya Primanda | Penata;etak Dadang Kusmana | Perancang sampul Boy Bayu Anggara | x + 604 hlm.; 15 cm x 23 cm | ISBN 978-979-91-0875-3 | Skor: 4.5/5
Dipersembahkan kepada Meg Taylor.
Karawang, 030223 – Bran Van 3000 – Drinking in L.A. (Aftersun ost)
Thx to Ahmad Sokhibi.
Buku ini tukar pinjam lama, bersama O (Eka Kurniawan). Kibi pinjam Dunia Kafka (Haruki Murakami). Kukejari baca ulas sebab Kibi akan resign 8 Feb 2023. Terima kasih banyak teman. Goodluck and goodbye.