
“Dia merasa takut sekaligus bergairah.”
Buku tipis yang dibaca kilat, dua hari di sela tumpukan. Cerita lumayan bagus, tentang china di masa lalu. Pria kaya memiliki empat istri. Mengambil sudut pandang istri terakhir, kita lalu diajak mengikuti seteru dalam lingkar rumah tersebut. Bagaimana sebuah sumur, dari generasi sebelumnya menjadi saksi tempat bunuh diri istri yang selingkuh. Maka sebagai istri termuda dan tercerdas, sebab ia seorang mahasiswa yang tiba-tiba miskin, pemikirannya lebih bijak dan terbuka. Melawan hal-hal yang harus dilawan, bersekutu dengan hal-hal yang sejatiny perlu untuk diajak kompromi. Maka jadilah, kisah dalam lingkar keluarga Chen.
Teratai, berusia Sembilan belas tahun saat dibawa Chen Zuoqian untuk dijadikan istri keempat. Ia ditaruh di bangsal belakang, malam itu ia diantar pakai tandu, dan disambut Walet, calon pelayannya. Sayang permulaan buruk, Walet tak mengira Teratai adalah calon bosnya. Terjadi salah komunikasi, sekaligus sekam masalah. Baju Teratai yang dijemur bahkan suatu saat diludahi.
Istri pertama, Sukacita adalah yang kuasa. Memiliki putra, yang belajar di seberang negeri. Feipu berusia tak jauh beda sama Teratai. Makanya klop banyak hal. Memainkan seruling dengan anggun. Menautkannya. Bahkan, Teratai yang juga memiliki seruling, warisan ayahnya yang ternyata ketika dicari hilang, akhirnya memutuskan belajar darinya. Pertemuan, perkelanan dengan sahabatnya, menjadikan mereka dekat. Sangat dekat.
Istri kedua, Mega tampak sangat ramah. Ia menyambut Teratai dengan senyum dan memberi banyak bantuan. Ramah dan sungguh hangat. Memilki putri kecil, dari luar tampak cocok jadi sekutu. Membantunya, mengajaknya mengenal warga rumah. Dan seterusnya. Namun ternyata tak semanis itu.
Seruling Teratai yang hilang, tertuduh Walet. Maka Teratai mengobrak abrik tasnya. Meyakini dicuri, tapi tak menemukannya. Teratai justru menemukan boneka tusuk, betapa terkejutnya. Apalagi, boneka itu bernama dirinya. Walet diinterogasi, siapa yang menyuruhnya memantrai buruk? Awalnya dikira Walet, tapi karena tertulis nama Teratai dan Walet buta huruf, jelas ini salah satu istri suaminya. Disebutkan satu per satu para istri, dan kepada Mega, ia mengangguk. Duh, tak sangka jadinya malah musuh dalam selimut. Sejak itulah mereka bermusuhan.
Istri ketiga, Karang yang paling pendiam. Pandai bernyayi, cantik, dan sangat ideal. Ia menutup diri dengan banyak orang, beberapa kali sakit, dan memiliki dokter khusus untuk menanganinya. Maka kedekatan itu mencipta api asmara. Dalam permainan mahyong, Teratai tahu bahwa mereka selingkuh. Terlihat dari kaki-kaki membelit, dan tatapan kasih di antaranya. Sungguh berbahaya, tapi Teratai diam. Karang jadi sekutunya, menjadikannya sahabat. Karang memiliki putra yang tangguh.
Dari Karang, ia tahu betapa busuknya Mega. Mereka memiliki anak hampir bersamaan, bersaing ketat, siapa memiliki putra, siapa duluan, siapa yang akan lebih dicintai suami. Persaingan buruk dengan menaruh obat di makanan, sampai memainkan para pelayan masing-masing. Duh!
Sementara pelayan Teratai, Walet yang juga bermasalah makin runyam, saat ada kasus Kertas Toilet berbentuk wajahnya. Teratai yang marah besar mengancam akan memecatnya, atau kalau tidak, dipersilakan makan kertasnya! Kotor dan sungguh menjijikan. Kejam, sangat tidak manusiawi. Walet yang ketakutan, akhirnya nekad memakan kertas kontaminasi tersebut, mengakibatkan demam esoknya, dan dibawa ke rumah sakit, dan tak lama berselang mati. Kalau zaman sekarang jelas ini pembunuhan, dan Teratai bisa dipidanakan. Namun tidak, kasus ini dengan mudah ditutup, ini hanya pembunuhan pelayan. Teratai hanya dipersalahkan, dimarahi, dan dianggap gila.
Sampai akhirnya terjadi tragedy. Saat hujan salju terjadi, saat di puncak kemarahan menjelma angkuh, dan penyelewengan tak terhindarkan. Legenda istri yang bunuh diri terjun ke sumur akhirnya kembali ada. Mengapa?
Ini bisa dibilang novelet. Tipis dan langsung ke inti-inti permasalahan. Dengan cerdas kisah langsung menempatkan Teratai ke masalah. Datang disambut muak pelayannya, mencipta permusuhan bahkan belum dua puluh halaman. Lalu satu per satu karakter dikupas. Memainkan cinta dan nafsu beriringan. Sejatinya, saya sudah curiga. Saat disebut istri yang bunuh diri menerjunkan diri ke sumur, saya sudah wanti-wanti ini pembunuhan. Kenapa? Kejadian berulang, dan tampak tak normal rasanya, hidup di kemewahan di masa itu, sampai frustasi. Sekalipun Teratai juga merasakan hawa itu, sekalipun Teratai terasa diguna-guna, hingga berulang kali tertarik dan melongok ke sumur, jelas secara nalar, ia yang paling cerdas akan melawan, akan mengikuti logika paling dasar, bertahan hidup. Makanya, akan tampak beda bila pembunuhan, dan desas-desus yang dilempar ke umum tampak seperti bunuh diri. Hhmm… menyakitkan, pahit, tapi memang seperti itulah keadaannya.
Sempat berharap ada kasih diantara Teratai dan Feipu, mereka tampak cocok. Music, pintar, saling menggoda, hingga janji temu. Merajuk, sampai hal-hal sepele seperti hadiah kecil yang memikat. Memainkan hati, yang jadi masalah, beranikah Teratai bermain api dengan anak tirinya? Atau beranikah sang mahasiswa dan temannya menanggung resiko? Seolah memang hidup tak adil ya? Kasih tak sampai, aroma cinta hitam yang temanya terus ada.
Ini adalah buku Su tong pertama yang kubaca, pemenang Man Booker Asian Literary Prize untuk bukunya The Boat to Redemtion tahun 2009. Tahun 2011 dinominasilkan Man Booker International, kalah sama Istana Mimpi-nya Ismail Kadare (sudah diterjemahkan Serambi). Percobaan pertama yang sukses. Sejatinya, tanpa melihat judul, tanpa melihat penulis, tanpa tahu tentang apa, kalau novel terjemahan Serambi Ilmu Semesta tuh layak dikoleksi dan diulas. Jaminan kualitas. So far, bagus-bagus semua.
Persaingan Para Istri | Diterjemahkan dari Raise the Red Lantern | by Su Tong | 1990 | Judul asli Da hong denglong gaogao gua | Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Michael S. Duke | Harper Perennial, New York, 2004 | Penerjemah Indonesia Rahmani Astuti | Penyunting Anton Kurnia | Pemeriksa aksara Dian Pranasari | Pewajah isi Eri Ambardi | Desain sampul Altha Rivan | ajbookdesign | Penerbit Serambis Ilmu Semesta | Cetakan I: November 2011 | ISBN 978-979-024-375-0 | Skor: 4/5
Karawang, 300123 – Queen & David Bowie – Under Pressure
Thx to Kang Dede Hidayat, Bandung