Tiba Sebelum Berangkat – Faisal Oddang

Tiba Sebelum Berangkat – Faisal Oddang

Perjuangan untuk siapa? Kau mau bilang untuk rakyat. Rakyat yang mana? Bilang saja kau hanya berjuang untuk kelompokmu.”

Novel yang tipis, dibaca cepat, dinikmati sambil lalu di akhir pekan ketika menjadi sopir keluarga beli perlengkapan bangunan dan dituntaskan malam pasca Lazio menumbangkan Genoah empat gol. Walau berisi 200 halaman, front-nya lebih lebar, babnya pendek-pendek, serta tak perlu berkerut kening tiap lembarnya. Memang sedari awal, kita sudah dibuat mual. Kalimat pembukanya sadis. “Saat penisnya ditindih kaki kursi, Mapata teringat kata-kata Sukeri, ada setan perempuan dalam tubuhmu…” Vulgar, keras, ganas atau dalam satu kata: brutal. Seusai prolog, seolah mengujar ini orang jagoan banget. Lidah dipotong, kemaluan ditindih, tubuh disiksa, makanan minim, dan tak ada kakus dalam ruang penyekapan. Dia berusaha membayangkan yang melewati kerongkongannya adalah sekerat roti, dia membayangkan semua makanan enak. Padahal sedang mengunyah tahi kering. Mengingat Laut Bercerita yang jua berisi drama penculikan. Ekspektasi drop, palingan gitu. Tunggu dulu… ada nilai lebih ternyata. Lidah hanya untuk menyampaikan kata-kata, sedangkan kebenaran bisa disampaikan dengan banyak cara, dan kebenaran tidak terbatas pada kata-kata. “Kita dihukum atas kesalahan orang lain, dan kebenaran tidak pernah berpihak pada kaum yang lemah seperti bissu.”

Tidak ada ketakutan yang bisa mengalahkan keberanian dari Dewata Sewwae, dia mengirim keberanian setiap bissu butuh. Mapata alias Laela adalah korban penculikan, drama ini awalnya memberi kabar bahwa Pata terlibat organisasi terlarang – nantinya kita tahu ada sindikat penjualan organ tubuh, atas nama agama. Dipanggil bencong, disebut sebagai penyakit masyarakat. Penculiknya Ali Baba dan Sumiharjo, tergambar sadis dan tak berperikemanusiaan. Yang dia pikir keren karena dari luar negeri, telah menemukan bahwa kemungkinan meninggal orang yang kesepian jauh lebih tinggi ketimbang orang yang selalu merasakan kesenangan. Berbagai ancaman terhadap dirinya gagal, Pata baru menyerah saat yang diancam adalah istri anaknya: Batari dan Walida. Dengan lembaran kertas, karena sekarang Pata sudah tak berlidah, ia diminta menuliskan kisah, menuturkan masa lalunya. Masa lalu yang panjang nan berliku. Kata-kata memiliki topeng, jika tidak kau buka topengnya dengan pengetahuan yang mendalam maka tidak akan kau mengerti wajah yang sesungguhnya.

Kau boleh percaya pencuri, tapi jangan sekali-kali percaya pada pemegang kekuasaan. Dengan setting Sulawesi Selatan, di masa pasca kemerdekaan, kemelut Negara disajikan dengan sisian sejarah. Bagaimana perseteruan tentara DI/TII melawan tentara Jawa atas nama Republik Indonesia. Pasukan gerilya, atau gurilla melawan penguasa. Perang saudara yang menyeret budaya lokal, perjuangan pendirian Negara Islam sampai seteru antar golongan. Semua yang terlibat perang adalah pengacau. Hidup rakyat sangat tersiksa, konon kata orang-orang jika tentara Jawa datang mereka harus pura-pura membenci gurilla dan jika tentara gurilla muncul maka berhamburanlah makian kepada tentara Jawa.

Mereka tidak akan melakukannya tanpa bantuan kalian.” | “Kami tidak akan melakukannya tanpa permintaan mereka.” Lihatlah, keduanya tak mau disalahkan. Keduanya merasa benar. Mereka tidak mungkin tidak baca kamus sehingga tidak tahu bahwa radikal itu berarti maju dalam pikiran atau bertindak atau memahami sesuatu dengan mendasar.

Dalam buku-buku sejarah yang disampaikan di sekolah-sekolah – tentunya dengan sudut pandang Pemerintah Pusat, Kahar Muzakkar, Andi Aziz dkk adalah pemberontak, melakukan perlawanan, membentuk pasukan demi kedaulatan baru. Kita tahu ada banyak cerita menarik terkait budaya lokal dengan ilmu kebal dan kepercayaan kuno di dalamnya. Ada tiga tingkatan dalam penguasaan ilmu kebatinan, dan saba’-saba’ atau baca-baca atau mantra-mantra berada di tingkatan yang paling rendah disusul ilmu dengan gau-gaukeng atau lakuan, seperti melipat ujung lidah ke langit-langit mulut untuk menjadi kebal dan tahan bacok dengan menahan nafas dan menyimpannya di bagian tubuh tertentu. Napas kita, seperti yang pernah saya katakan merupakn awal dan juga akhir segalanya, kau hanya perlu memahami napasmu. Penyampaian para sesepuh itu tampak nyata dan bagus banget. Menjadi toboto tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang, karena hal itu, saya merasa sebagai orang terpilih dan karena menjadi orang terpilih maka tidak saya sia-siakan kesempatan ini maka saya rela tinggal bersama Puang dalam hitungan waktu yang cukup lama, barangkali tiga atau lima tahun.

Nah, di sinilah letak kisah Mapata. Ia adalah anak pejuang. Ayahnya mati terpenggal selepas pasukan gerilya menyerah dan hidup dalam masyarakat, ayahnya mati karena dendam para korban. Awalnya kita diberitahu Sukeri-lah pelakunya, lawan politik yang malah akhirnya menikahi ibu Pata. Sukeri, simpatisan partai dan banyak kenal dengan polisi juga tentara dan pejabat – tiga jenis kenalan yang selalu dibanggakannya yang justru menjijikan bagi saya. Selepas nikah, kita masih dibeberkan kisah pilu, pelecehan seksual yang menghantui remaja. Bagaimana lelaki dewasa melakukan tindakan jahat terhadap anak tirinya. Selepas kematian Sukeri – dibunuh oleh dendam, sang ibu kabur, dan Pata mengabdi pada Puang Matua Rusmi untuk menjadi toboto.

Dari Bissu Rusmi inilah, kita lalu diajak mundur lagi di era 1950an. Tanggal 15 Agustus 1950 Indonesia resmi menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dari sanalah awal perpisahan Puang Matua Rusming dengan Andi Upe. Pasangan kekasih homo ini, ada di beda kubu. Andi bergabung dengan pasukan gerilya, Rusmi bersama tetua adat. Penyerbuan di rumah arajang itu ditampilkan dengan sangat keren. Para manusia kebal itu tak semua tahan sabetan senjata. Rumah yang disucikan dibakar, mayat-mayat bergelimpangan. Sesuatu mendesak-desak di dadanya, dia telah merasa telah kehilangan segalanya, teman-temannya, rumah arajang, juga baru saja kehilangan lelaki, kekasih yang dicintainya.

Rusmi melakukan balas dendam. Merelakan tidak sama dengan melupakan. Judul buku diambil dari sini. Ilmu kebatinannya bisa memprediksi dengan detail mengagumkan, apa yang akan terjadi besok malam. Saat pasukan gerilya turun gunung untuk mengambil pangan, Rusmi menghabisi mereka semua. Kejadian itu sudah ada di bayangnya, ada dalam pikiran, seolah melihat rekaman dalam otak. Ia sudah tiba di waktu itu sebelum misi dimulai. Good! “Hidup ini Nak adalah perang melawan masa lalu dan pertaruhan untuk mengalahkan masa depan.” Bahkan saya tahu apa yang akan kamu ucapkan, satu hari yang akan datang. Saya tidak akan berangkat sebelum sampai di tempat tujuan, saya tidak akan bertarung sebelum selamat lebih awal. Kau tunduk para perintah, bukan hati nuranimu. Apa gunanya hidup? Jagoan betul.

Selanjutnya segalanya memang merumit. Rusmi merekrut Pata, menjadikannya bissu. Bahasa komunikasi bissu dengan Dewata Sewwae adalah basa to rilangi – bahasa orang langit. Merebut perjakanya, menghantar sukma dan lelaku prihatin demi ilmunya turun. Ada wahyu yang disampaikan, ada hal-hal gaib yang menyeru. Beda tipis sama pelecehan seksual, atau penyimpangan? Adakah perempuan yang ingin mengambil lelaki sisa lelaki? Pata sendiri menyimpan dendam kesumat, mengincar ilmu kebal dan kanuragan sehingga rela diperbudak. Cerita sampingan, Batari teman sekolahnya, ponakan Rusmi menggoda, mencinta dan menolongnya untuk kembali normal. Apa bedanya menggesekkan alat kelamin kita dengan berjabat tangan? Sama-sama kulit ketemu kulit, daging ketemu daging. “Kami tidak pernah benar-benar menjadi kanak-kanak jika tidak pernah menjadi memalukan.” Pata yang tak nafsu perempuan, dibubuhi hasrat birahi, digodai lantas menyeruak cinta. Sampai akhirnya, mereka kabur. Kawin lari, nama barunya sebagai bissu, Laela dipakai sebagai nama usaha salon-nya yang perlahan namun pasti tenar, sekaligus tumbuh isu nada miring.

Dan jadilah detail masa lalu itu dirajut dengan drama penculikan di awal. Ada shocking twist sebenarnya, tapi Bung Faisal sudah terpeleset saat jelang akhir. Sehingga sudah tak menarik lagi, siapa selamat, siapa tewas dan nasib sudah pasrah padaNya. Tak ada kesempatan kedua!

Ada sentilan bagus terkait kepercayaan. “Karena agama-agama tersebut memiliki penganut terbanyak? Serendah itu ukuran eksistensi agama?” Saya tidak menyakiti orang lain, saya tidak terima agama saya dijadikan jalan untuk kepentingan kelompok dan pribadi, bukan untuk kemaslahatan umat. Masih sangat relavan dengan sekarang kan?!

Mencoba filsuf. Semua yang diturunkan di dunia ini memiliki nama di langit, ketika tercipta di bumi manusia kemudian memberi nama baru. Lelaki hanya punya tiga bekal hidup di dunia, yang pertama ujung lidah untuk tutur kata kepada sesama, ujung kemaluan untuk kemampuan keturunan dan ujung badik untuk menegakkan harga diri. Jangan kau sekali-kali sembarangan dengan kata-katamu, Pata. Satu per satu dari diri kita akan hilang perlahan dan satu-satunya yang bisa kita jadikan alasan untuk kuat menghadapinya hanya satu kenyataan bahwa kita memang tidak pernah memiliki apa-apa, bahkan ketika bercermin, seseorang di dalam cermin itu juga bukan milik kita.

Ada bagian yang menggugah. Malam Jumat terakhir di bulan terakhir tahun itu. Malam yang konon keramat menurut yang dipercayai sebagian orang Bugis. Tubuhmu adalah batang sungai, sungai yang tak akan pernah kering sekalipun semua sungai di muka bumi ini tidak lagi berair. Sungai yang tak akan kering sekalipun dunia hancur. Tubuhmu mengalirkan susu dan madu, tubuhmu ini sungai Laban yang dijanjikan surga.

Saya menuliskan bagian-bagian yang bagi saya paling terkesan. Bagian yang susah dilupakan. Bapak harus sadar, bapak bisa merenggut kebebasan saya, merenggut lidah dan suara saya, bahkan mungkin merenggut keluarga saya. Tetapi satu yang tak bisa bapak ambil sebelum saya mati. Hanya satu. Tidak akan pernah ada yang bisa mengambil ingatan orang lain. Cerita melalui secarik kertas yang disampaikan sebenarnya menjanjikan kejutan-kejutan bagus, sayangnya gebrakan meja akan kemarahan fakta itu memang sudah terlanjur tenggelam.

Kovernya bagus. Teramat bagus. Dicetak dengan kertas luks menyolok mata karena blink-blink seolah buku remaja dan ketebalan yang mewah – penerbit Indi mana mau pilih kertas kover semahal ini, judul dan nama Penulis dibuat timbul menimbul kesan ini buku untuk kolektor. Ilustrasinya juga mantab jiwa, adegan-adegan potongan cerita dalam sepuluh kotak jeruji. Ada kucing, dan lelehan air mata. Sebagai naskah yang kalah dalam Dewan Kesenian Jakarta tahun 2016, Tiba Sebelum memang tampil dengan lebih rapi. Editing-nya bagus, nyaris tak kutemui typo. Sekali lagi Para editor Penerbit Major Gramedia melakukan tugasnya dengan sangat baik.

Perpaduan politik, sejarah, drama cinta, agama, persamaan gender, budaya, adat istiadat sampai kearifan lokal. Banyak hal ditawarkan. Tema yang disampaikan besar, seperti orientasi seks yang menyimpang. Dalam kaca mata umum, jelas hubungan sesama jenis adalah salah dan wajib dipersalahkan. Di sini, detail ini mengambil sudut pandang pelaku langsung, atas nama kepercayaan.

Jelas novel ini masuk sebagai Kuda hitam Kusala Sastra Khatulistiwa 2018. 1/3 pertama benar-benar membosankan, cenderung menjijikan dengan penjelasan detail penyekapan. Ngapain menjelaskan proses eek, buang air seni dalam satu plastik tanpa cebok, nyeni atau mencoba membual mual pembaca? Hal-hal yang bisa kita skip tanpa harus merinci, apalagi disampaikan dengan biasa, tak tertarik, tak menarik. 1/3 kedua bagus banget, dongeng dalam ilusi dimana kisah ditarik ke belakang. Mengenang ke era-era gelap, darah muda Puang, masa remaja Mapata sampai kisah-kisah mistis yang rasanya tabu dibicarakan secara umum. Mungkin karena kita suka menelusur sejarah, menyelipkan fiksi dalam sisian kenyataan, maka bagian ketika sang protagonis menuturkan cerita masa lalunya jadi begitu hidup dan asyik diikuti. Bagian terbaik, bagian yang sempat membuatku membuncah lagi, bagian yang membuatku kembali yakin bakalan seru. Sayangnya, 1/3 akhir kembali drop. Eksekusinya melemah, bahkan kemarahan di kalimat akhir yang sejatinya menggelora tak sanggup menyelamatkan kisah. Kalau saya bisa yakin, Muslihat Musang Emas masuk lima besar maka saya juga bisa yakin Tiba Sebelum akan rontok dini. Hanya keajaiban yang membuat novel ini juara, see

Faisal Oddang baru saja merayakan ulang tahun yang ke 24. Ya Allah semuda ini sudah bikin karya yang bersaing dalam Kusala Sastra! Percobaan-percobaan tahun mendatang akan menempa kualitas. Masamu masih sangat panjang. “Bersiaplah sekarang, kau akan melewati prosesi panjang sebelum irreba sebagai bissu.” Sebelum melangkah jauh, rasanya wajib dicoba karya lamanya: Rain & Tears.

Tiba Sebelum Berangkat | Oleh Faisal Oddang | KPG 59 18 01412 | Cetakan pertama, April 2018 | Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia | Penyunting Chistina M. Udiani | Perancang sampul & Penataletak Leopord Adi Surya | vi + 216 hlm.; 13,5 x 20 cm | ISBN 978-602-424-351-7 | Skor: 3.5/5

Karawang, 240918 – Sherina Munaf – Ada

7 komentar di “Tiba Sebelum Berangkat – Faisal Oddang

  1. Ping balik: Kusala Sastra Khatulistiwa 2018: Antara Musang Atau Kura-Kura | Lazione Budy

  2. Ping balik: Sang Raja – Iksaka Banu | Lazione Budy

  3. Ping balik: Gentayangan – Intan Paramaditha | Lazione Budy

  4. Ping balik: Buku Yang Saya Baca 2018 | Lazione Budy

  5. Ping balik: Bertarung Dalam Sarung – Alfian Dippahatang | Lazione Budy

  6. Ping balik: Bugiali – Arianto Adipurwanto | Lazione Budy

  7. Ping balik: Rekayasa Buah: Mengapa Aku Bilang Buku ini Jeleq | Lazione Budy

Tinggalkan komentar