Pada suatu hari kami sempat mengaso di tepi sebuah danau kecil. di tempat itu Si Sayang membuang kotoran. Si Manis berdiri di belakangnya dengan lidah terjulur. Semula kupikir, ia juga bakal melakukan hal yang sama. Namun, aku keliru, sangat keliru. Begitu bulat-bulatan kotoran keluar dari pantat Si Sayang, Si Manis langsung melahapnya dengan rakus. Seakan belum puas, begitu gundukan di rumput habis, ia menjilati dubur kembarannya itu. | “Loki Tua,” kataku gemetar, “Ini hanya kebetulan bukan?” | “Kebetulan apanya? Aku melatih mereka,” kata Loki Tua, terkekeh.
Catatan akhir tahun 2016, awalnya mau buat tulisan tentang Sherina yang tahun ini kembali lebih sering menghantui telingaku sampai membuat Rani Skom, Yuli, Hermione dan May ikut berdendang riang. Atau tentang Lazio yang begitu menjanjikan di awal musim sampai akhirnya kembali ke papan tengah. Atau review daftar buku yang kusantap sepanjang 12 bulan terakhir. Atau seperti yang terlihat di berbagai beranda sosial media teman-teman, daftar 10 film terbaik. Daftar 10 gol terbaik. Daftar 10 resep bumbu makanan cepat saji. Bla bla bla… Namun tak dinyana, saya malah lagi-lagi mengulas buku. Kalau sampai sebuah buku bisa menyingkirkan begitu banyak kemungkinan yang ingin kuceritai harusnya buku itu istimewa. Dan yah, sayangnya tepat. Inilah novel lokal terbaik terbitan 2016. Saya sampai menjulukinya Game of Throne-nya Indonesia. Babad tanah Jawa? Ah itu gacoan bung Yusi belaka.
Salah satu cerpennya ‘Dari Dapur Bu Sewon’ pernah kubacakan dalam ruang Inspirasi Pagi NICI dan membuat terpingkal seisi ruangan. Dikiranya saya mengadakan stand up comedy. Namun memang cara bertutur bung Yusi sangat bagus, tak lazim, lucu dan sungguh-sungguh menghibur. Sempat saya mau membacakan kisah ‘Sengatan Gwen’ namun saya menariknya karena ada banyak adegan tak pantas kubacakan di depan orang nomor satu Perusahaan. Malah-malah bisa jadi bukan Inspirasi Pagi jadinya pencabulan kata pagi.
Hebat adalah kata pertama yang keluar dari mulutku ketika akhirnya kisah panjang ini berakhir. Hebat sekali bung Yusi menyusun cerita. Ini semacam memasang dua kepingan akhir dari dua cerpen yang tahun lalu saya baca di kumpulan cerita pendek karyanya, Rumah Kopi Singa Tertawa. Dalam cerpen itu sempat kukira mereka bertiga adalah pelarian, seorang utusan (resmi) Raja. Di mana Sungu Lembu, Raden Mandasia dan Loki Tua harus menyeberangi gurun untuk sampai di kerajaan Gerbang Agung lalu mereka menyatakan tujuan bertemu Putri Tabassum. Dua cerpen itu kini menemui kisah lengkapnya, dan hanya tinggal waktu nama bung Yusi akan mendunia layaknya bung Eka Kurniawan. Rasanya kisah epic seperti ini hanya muncul dalam 5-6 tahun tahun sekali.
Kisahnya sangat panjang. Berliku hingga melelahkan, beberapa bagian menegangkan – dalam arti sesungguhnya. Dengan sudut pandang orang pertama, sang pencerita Sungu Lembu adalah seorang penuh dendam kepada raja Gilingwesi, Watugunung. Dirinya terdampar bersama salah satu putra sang raja, Raden Mandasia yang gemar mencuri daging sapi. Cara mencurinya aneh sekali. Dia menguliti sapi di tempat, mengambil dagingnya dan meninggalkan uang di sana. Kebiasaan unik itu naas pada suatu malam. Saat itu mereka sedang di negeri asing jauh dari kampung halaman. Mereka kepergok dan tertangkap.
Saat siuman bukan hukuman yang mereka peroleh. Karena ternyata yang menghajar mereka adalah pasukan Raja Watugunung yang sudah mereka tunggui. Sungu Lembu lalu mempunyai kesempatan bertatap musuhnya ketika malam itu ada latih tanding dengan Pasukan Berkuda, sempat membuat ciut nyali ketika melihat kehebatan bertarung sang raja yang bisa melolosi baju musuh dalam sekejap mata tanpa melukai. Semacam sihir? Bukan tentunya. Seperti gerakan dalam kitiran bambu yang balingnya terlihat seakan diam padahal putarannya kencang. Segitu hebatnya sang raja. Mitos berujar kekuatan yang ia peroleh berkat bersekutu dengan dua jenis makhluk halus: yang asli terlahir sebagai makhluk halus yang tinggal di sebuah dunia yang senantiasa seperti malam cerah di bawah sinar bulan dengan taburan bintang-bintang dan yang kedua adalah makhluk halus jadi-jadian yang berasal dari manusia yang telah meninggal. Yang pasti Watugunung mendapatkan kekuatan, kesaktian, atau apa pun yang hebat-hebat lainnya mula-mula dengan memikirkan bagaimana ia mendapatkan semua itu lalu diikuti latihan yang tekun dan keras, sangat keras mungkin, bukan cara yang lain, terlebih jika cara itu adalah bersekutu dengan makhluk-makhluk ganjil.
Lalu kisah ditarik jauh ke belakang. Awal pertemuannya dengan Raden Mandasia di rumah judi Nyai Manggis. Lalu kisah ditarik lagi ke belakang tentang masa lalu sang pemilik rumah judi dan kisah masa lalu Sungu Lembu pun dipaparkan. Bagaimana kerajaan Banjaran Waru takluk tanpa perlawanan. Bagaimana perlawanan demi perlawanan disusun. Sampai akhirnya Raden Mandasia dan Sungu Lembu mengemban misi ke barat.
Misinya terdengar mustahil. Sang pangeran ingin ke Gerbang Agung untuk meminta Putri Tabbasum mau dipersunting ayahnya guna mencegah perang. Gilingwesi adalah kerajaan besar di tanah Padi namun Gerbang Agung adalah legenda besar di ujung dunia. Apa daya, setelah mengirim dua utusan dalam dua terakhir tanpa kabar. Kini Raden Mandasia sendiri yang membawa pesan.
Dengan menumpang kapal milik saudara sepupunya, Wulu Banyak mereka berlayar. Kisah pelayarannya sendiri dibuat sangat mempesona. Sempat berganti nahkoda dari Wimba ke Nedzar. Pertaruhan di lautan sungguh seru, adu pedang dalam kisah The Treasure Island terlihat seperti seorang amatir. Mungkin ide memasukkan sang pembawa wahyu dan anak Tuhan dalam pusaran kapal hanya candaan bung Yusi akan keEsaan yang maha kuasa namun penggalan kisah itu dipaparkan dengan alur menggelitik jadi jangan terlalu dibawa hati. Sebagian orang yang fatatik bisa jadi marah besar, namun siapa peduli? Toh buku ini sendiri terdiri dari puluhan kata ‘anjing’ dan makian berbagai jenis dari yang syahdu sampai yang kelas pekerja kasar. Mungkin suatu hari saya akan menanyakan langsung ke bung Yusi ada berapa tepatnya.
Ketika akhirnya perjalanan tak memungkinkan terus lewat laut, mereka menyasar darat setelah diperkenalan dengan sang juru masak Loki Tua. Bersama dua anjingnya yang aneh mereka bergerak Si Sayang dan Si Manis. Nah dua cerpen itu dirajut di sini. Lalu jahitannya menyambung ke awal kisah pencurian daging sapi yang apes itu. Dengan ribuan pasukan terbaik, dengan ribuan pasukan tambahan Pasukan Berkuda berhasilkah Raja Watunung menaklukkan kerajaan Gerbang Agung? Berhasilkah Sungu Lembu membalaskan dendamnya?
Saya tak tahu siapa yang akhirnya memenangkan penghargaan Kusala Satra Khatulistiwa tahun ini. Terakhir saya lihat buku ini masuk dalam daftar kandidat. Apalah itu, yang pasti buku ini memenangkan hatiku. Suatu hari – bila diberi kesempatan – saya ingin duduk semeja dengan bung Yusi berdiskusi, wawancara untuk blog ini bagaimana ia bisa mencipta karya yang tak biasa. Mungkin bukan dengan segelas dua gelas kahwa, namun kopi pahit rasanya sama nikmatnya.
Mengutip kata-kata Nagasawa-san dalam novel Norwegian wood karya Haruki Murakami bahwa ia tak pernah mau mengambil buku karya pengarang yang belum 30 tahun meninggal dunia. “Aku hanya percaya pada buku-buku seperti itu,” katanya. “Bukan berati aku tak percaya pada sastra modern. Aku hanya tak mau menghabiskan waktuku yang berharga sia-sia membaca buku karya orang yang belum dibabtis oleh waktu. Hidup ini pendek.”
Saya sempat setuju dengan Nagasawa-san, namun tak sepenuhnya. Selalu ada pengecualian, dan Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi tentu salah satunya.
Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi | sebuah dongeng karya Yusi Avianto Pareamon | hak cipta Yusi Avianto Pareamon, 2016 | Cetakan pertama, Maret 2016 | Penata artistik dan penyelaras bahasa Ardi Yunanto | Penata tipografi dan ilustrator ikon Cecil Mariani | Pelukis sampul Hartanto ‘Kebo’ Utomo | 13,8 x 20,3; 450 halaman | ISBN 978-979-1079-52-5 | Penerbit Banana | untuk Kawan-Kawanku | Skor: 5/5
Karawang, 311216 – Ari Lasso – Mengejar Matahari
Waah.. Sebagus itukah? Akan saya masukkan dalam daftar bacaan saya! X)
SukaSuka
Ping balik: Best 100 Novels | Lazione Budy
Ping balik: Best 100 Novels of All Time v.2 | Lazione Budy
Ping balik: Pulang – Leila S. Chudori | Lazione Budy
Ping balik: Sayangku… Darahku… | Lazione Budy
Ping balik: “Saya Sudah Mencoba Menjalani Hidupku Sebaik Mungkin…” | Lazione Budy
Ping balik: Rekayasa Buah: Mengapa Aku Bilang Buku ini Jeleq | Lazione Budy
Ping balik: Muslihat Musang Emas by Yusi Avianto Pareanom | Lazione Budy
Ping balik: 9 Buku Baru – THR 2016 | Lazione Budy
Ping balik: Dawuk – Mahfud Ikhwan | Lazione Budy