Sang Raja – Iksaka Banu
De Kretekkoning, Sang Raja Kretek.
“Aku punya firasat buruk, sangat buruk. Dan biasanya kalau pikiranku sudah dirasuki firasat semacam ini, maka semua yang kupikirkan akan sungguh terjadi.”
10/10. Done. Sepuluh dari sepuluh kandidat Kusala Sastra Khatulistiwa 2018 kategori prosa rampung juga kubaca. Ini adalah review kesembilan, Kura-Kura Berjanggut yang istimewa menjadi ulasan penutup, nantinya. Sang Raja saya baca dalam tiga hari sejak datang hari Kamis, 27 September 2018 langsung kubaca malamnya. Kelar Sabtu kemarin. Kubaca dalam empat tempat yang bervariasi. Sebelum dan sesudah kerja di kantor, di rumah Greenvil bangun dan akan tidur, saat cuci stream kendaraan serta kutuntaskan di kursi kopi santai depan Alfamart selepasnya. Setelah merampungkan 900 halaman Kura dalam dua minggu, rasanya melahap buku-buku lain terasa lebih gampang, entah karena sayanya yang memang kejar sebelum pengumuman – 5 besar sudah muncul saat Sang Raja memasuki 200 halaman – atau memang ada rasa percaya diri berlebih atau karena antri baca yang melimpah. Atau malah karena ketiganya?
Sejatinya Sang Raja berpotensi memiliki daya ledak tinggi, siapa yang mengetahui sejarah pendirian pabrik rokok? Ga banyak. Siapa yang mau menelusur hikayat dibaliknya sampai detail? Sedikit sekali. Historical ga diajarkan di sekolah, tokoh di baliknya sangat jarang didengar, dibahas dan didiskusikan. Bung Iksaka bisa saja menjelaskan panjang lebar sejarah rokok ke publik dengan letupan-letupan kecil yang mengejutkan Pembaca, potensinya gede karena kita minim kisah rokok. Prinsipnya, semakin banyak hal seru disodorkan semakin tinggi rate dan kepuasan. Sayangnya tensi datar malah dijaga agar runut garis waktu. Sayangnya lagi buku ini mengambil sudut karakter yang agak jauh dari Sang Raja. Bukan dari keluarga, bukan orang-orang terdekat, bukan pula orang manajemen lingkaran dalam. Novel ini mengambil sudut pandang dua karyawannya. Wiro seorang pribumi dan Filip seorang Belanda. Dengan kisah merentang jauh dari tahun 1900an sampai tahun 1950an seharusnya kita bisa mendapatkan drama kualitas karena Indonesia berguncang di masa genting. “Bukan inlander, tapi Indonesier Tuan. Kita harus belajar menyebut mereka Indonesier.” Indonesia tercinta mengalami banyak goncangan.
Sebelum dimulai kita disuguhi kutipan Bung Karno dalam pidatonya di Sidang BUPKI, 1 Juni 1945. “Kita mendirikan negara Indonesia yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoessoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, semua buat semua.” Lama memandang ke arah kaca matanya. Pada saat itulah ia seperti melihat tiga buah bulatan yang terbentuk dari sepasang bingkai yang menjepit kaca, dan satu lengkungan yang menyambung kedua belah bingkai itu. maka… voila, lahir sebuah legenda. Hell yeah, nama Nitisemito disebut! Kutipan pemberi asa, berarti pra-kemerdekaan beliau kasih andil untuk Pergerakan, berarti pula Sang Raja punya intrik politik. Harapan…
Cerita dibuka dengan pemakaman sang raja kretek NV Nitisemito di Pemakaman Sedio Loehor, Bakalan Krapyak pada tanggal 7 Maret 1953. Acara duka yang melimpah, pemakaman yang luar biasa ramai, bak tokoh sejarah pergerakan perang kemerdekaan yang dikebumikan. Kita diperkenallkan dengan wartawan Bardiman Sapari, yang berencana menulis kisah hidup almarhum. Mengamati suasana duka, mencari orang yang tepat akan diminta keterangan.
Setelah berapa lama, akhirnya dia menemui Wirosoeseno dan Filipus Techterhand. Dua sahabat yang awalnya enggan diwawancarai, karena merasa hanya tahu kulit kehidupan sang legenda. Tapi dengan bujuk rayu serta memenuhi kemauan para narasumber untuk tak mencantumkan mereka dalam tulisan maka kita lalu diajak melalangbuana balik ke awal 1910an bagaimana kedua orang ini menjadi bagian dari sejarah rokok Indonesia.
Wiro terlahir dari keluarga berada, bisa sekolah di awal abad 19 di era kolonial, jelas anugerah tak terkira. “Tahu tidak kamu dari dulu Rama tidak memintamu tidak bekerja di sawah, sementara anak lain pada usia 6 tahun sudah ikut bapaknya bertani? Sama seperti simbahmu dulu. Simbah juga tidak pernah mengirim Rama dan almarhum kakak Rama ke sawah untuk mencangkul dan membajak.” Si Bungkring lahir dan besar di Sleman, Yogyakarta. Kehidupan saat itu memang sederhana, mamanggil ayah sebutan Rama, mengajar anak merokok setelah lulus sekolah, mengajak menata hidup. “Ini pemberian Pak Lurah tadi. Sekarang kau sudah besar, boleh ngeses. Semua priyayi wajib ngeses.” Zaman itu dimeriahkan acara hari lahir Ratu Belanda 31 Agustus. Tanggal istimewa yang kini terlupa.
“Banyak kata di dunia ini yang bermula dari bunyi. Tinggal bagaimana lidah setempat mengucapkannya.” Kretek itu bermula dari bunyi rokok yang terbakar bunyinya kemeretek.
Filip adalah anak pejabat Belanda yang membaur dengan bumiputra. “Aku tidak melarangmu bergaul dengan dengan mereka, para bumiputra. Tapi engkau harus pandai menempatkan diri. Jangan main-main dengan masa depan Nak.” Jatuh hati sama pegawai hotel Walini hingga menikah. Banyak suara miring, seorang Belanda menikahi warga asli, ga dijadikan gundik saja, tapi benar-benar menikahi sah secara agama dan negara. Aku mengenang peristiwa ini sebagai sebuah episode yang sangat melelahkan, mengecewakan sekaligus menantang dalam kehidupanku sebagai seorang Belanda yang tinggal di Hindia. “Maukah kau menemaniku dalam untung dan malang, dalam suka dan duka, sampai maut memisahkan kita.”
“Sudah kusiapkan dua nama indah untuknya, nama laki-laki dan perempuan. Kita lihat, mana yang akan dipilih oleh si mungil ini kelak.” Kucium perut Walini. Mereka menikah memiliki putra bernama Hans yang rupawan blesteran lokal-asing euy.
Kedua sahabat merajut kisah, menuju al-Quds – Kudus. “Sedikit kalium nitrat mungkin bisa membantu.” Adalah kalimat pertama Filip kepada Wiro saat ada lomba kreasi antar departemen. Melewati Perang Raya (Perang Dunia Pertama) yang jauh dari hingar bingar Hindia Belanda sehingga mereka netral. Tapi efeknya merentang juga karena ada wabah Flu Spanyol yang merenggut kedua orang tua Filip. Filip yang yatim piatu melanjutkan bisnis hotel keluarga di Batavia, tapi keadaan membuatnya harus banting tulang sampai akhirnya menerima tawaran bekerja pada pribumi sebagai asisten Tuan Poolman di keuangan Pabrik Tiga Bal. Pada bagian atas gerbang tertera nama pabrik, tersusun dari rangkaian besi las berwarna hitam: Sigeretten Fabriek ‘M. Nitisemito’, Koedoes.
Wiro bergabung melalui seleksi yang ketat, menyingkirkan banyak pesaing. Uniknya di era itu, tes keluar kota sampai kos dua bulan menunggu hasil. Memakai batik, jas, blangkon sampai pakaian klasik – singkirkan pakaian kebesaran tes hitam putih kalian. Sesuai surat undangan. Blangkon, jas putih, baju dalam putih, kain, dan nomor tanda pengenal di dada kiri. “Selamat pagi karyawan baru, NV Nitisemito!” Wiro yang jatuh hati sama gadis marketing Lasinah, akhirnya menikah. ‘Pabrik dibuka pukul 06:30. Tepat pukul 07:00 semua buruh yang ada di tempat ini harus sudah mulai bekerja.’ Semangat on time harusnya ditanamkan sejak dulu. “Saudara anak mantri gunung, Pak Nitisemito dan saya juga anak lurah dusun. Kita sama-sama mencari pekerjaan di luar Gupermen.” Ada kesamaan antara aku dan Nitisemito. Semangatku terpompa. Aku harus bekerja di tempat ini. Harus! Astaga, belum pernah aku menginginkan sesuatu seperti ini.
Nasilah, Sawirah, Rebi Tijem, Ngalimah, Mariah adalah istri Nitisemito. Kehidupannya yang glamour tak banyak yang terendus media. Nitisemito adalah anak seorang lurah, nama kecilnya Roesdi bin Soelaiman. Mungkin buta huruf ketika belum sukses. Kurasa demikianlah legenda bekerja, semakin kontras keadaan titik awal dan titik sukses, semakin terdengar hebat. Bahkan di buku yang katanya biografinya ini kita hanya tahu kulitnya. Menantunya M. Karmain yang punya banyak jasa sejarah pabrik malah lebih banyak diceritakan – karena memang perannya dalam menjalankanpabrik begitu dominan. Drama keluarga dengan Akoem Markoem juga lebih mengena. Semua angan itu rupanya telah terjalin rupa menjadi sejenis doa atau mantra yang semakin hari semakin ampuh karena kurapal dengan khidmat setiap detik, setiap ada kesempatan, sehingga pada waktu yang tepat menuai hasil sepadan.
Legenda Bal Tiga dikisahkan bak buku sejarah. Niti, mula-mula menjadi buruh jahit, lalu perlahan berkembang hingga memiliki rumah jahit sendiri, mempekerjakan karyawan. Lalu mencoba menjual minyak kelapa, kemudian Roesdi menjual kerbau. Akhirnya beralih menjadi juragan dokar, mengepalai 3 atau 4 sais dokar, ia sendiri kerap turun ke jalan menjadi sais. Kita terlahir sebagai pemimpin. Para sais dokar istirahat di warung, pemiliknya Nasilah, mereka menikah. Roesdi menjadi Mas Nitisemito.
Sepanjang Perang Raya sampai jelang Pamer kekuatan Jepang dan Jerman, kita terlalu menerima data mentah tanpa sentuhan emosional. Kurang drama berkelas, terlalu lempeng. Bayangkan 200 halaman yang biasa sekali. Baru saat Perang Dunia Kedua ditabuh, kisah hidup menjadi pelik. “Maka segeralah, segeralah tampak bahwa yang tertegun di tengah seperti kerbau dungu adalah kita, Bodoh betul, kita tak bisa mempertahankan netralitas. Pintu neraka bukan hanya dibuka, melainkan telah jebol selebar-lebarnya. Pemerintah Hindia Belanda.” Banyak hal penting terjadi semasa peralihan. Jepang menyerang Cina, merobohkan Singapura, menduduki Malaka dan pada akhirnya mengusir Belanda dari tanah Hindia. Bagian ini diceritakan dengan sangat bagus, ikut terhanyut dalam suasana menegangkan, era Jepang sebagai saudara Asia lebih sadis. Keras. Tak ada ampun. Novel benar-benar hidup di ¼ akhir buku, zaman bergolak sebelum dan sesudah Proklamasi. Bagaimana kelanjutan nasib negeri ini? Sudah tamatkah riwayat Nederlansche Indie alias Hindia Belanda? Apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh orang-orang Jepang ini? Apakah kita benar-benar menjadi orang merdeka? Merdeka itu seperti apa? Siapa pemimpin kita? Banyak desas-desus banyak hal terjadi menuju kemandirian. yang pesimis jua ada. “Jangan bicara begitu, kata orang Jawa tidak baik mendahului takdir.”
Bagaimana mereka merespon perang juga terlihat meyakinkan sekali. Hindia Belanda berperang dengan Jepang. Kita terima tantangan mereka. Cepat atau lambat Hindia akan terlibat, kita harus bersiap. “Meskinya kau paham, ini siklus alam belaka, upaya mencari keseimbangan kekuatan. Seperti air yang mengalir deras ke tempat curam, lalu berhenti ketika mencapai ketinggian permukaan yang setara.” Tarik ulur kebijakan, sampai akhirnya Belanda dibombardir Jerman serta Jepang merangsek maju ke Jawa. Sudah pernah dengan Ramalan Prabu Jayabaya, Raja Kediri? “… tumekaning wong kate cebol kepalang lan nuswantara bakalan kajajah saumuran wenih jagung.” Akan datang orang cebol, Nusantara akan terjajah seumur jagung.
Yang pertama mendirikan pabrik rokok satu atap semacam ini adalah Nitiseminto. Di luar sana, ada Atmowidjojo sejak 1910 membuat Goenoeng dan Kelapa. Lalu anak Atmowidjojo, Ashadi punya Delima. Sirin yang menjual rokok Garbis Manggis. Nasilah pemilik rokok Goenting Soereoe. Nadirun dengan Goenoeng Kedoe, serta Soekenah dengan Roemah Meritja. Belum lagi pengusaha Cina seperti Tjoa Khang Hay pemilik NV Moeria dengan merk Trio. Di kemudian hari kelak aku mengenang saat itu sebagai kebanggaan. Bangga bahwa sekali dalam seumur hidup di masa kolonial aku pernah bekerja di pabrik milik seorang pribumi yang dihormati banyak orang, termasuk Belanda. Puncak kejayaan Bal Tiga terjadi tahun 1938 di mana mereka bisa memproduksi sepuluh juta rokok per hari dengan jumlah karyawan menyentuh angka 10,000 pekerja.
Peristiwa sehari-hari mengalir saja walau geraknya sangat perlahan. Hampir tanpa gejolak. Jutawan yang mempekerjakan ribuan karyawan, ternyata masih harus duduk di lantai. Beruluk sembah kepada para hakim Belanda. Adalah bagian saat Niti diminta menjadi saksi dengan Filip sebagai penerjemah. Sedih juga sih.
Ada bagian saat Wiro kencan dengan Las dan temannya ikut. Tiket yang tergolong mahal. “Kalau kubelikan buku bisa dapat 5 buah buku tebal yang masih bisa kubaca hingga kau berusia 100 tahun.” | “Buku tidak bisa menyanyi dan menari.” Kencan itulah menjadi pematik untuk merajut kasih. Tapi percayalah, aku sudah mengagumimu semenjak kita berjumpa pertama kali di Yogya dulu.
Dengan percetakan fasilitas seperti yang dimiliki De Courant, mulai tahun depan Muhammadyah mampu menerbitkan buletin yang bermutu. Dengan sumbangan sebesar ini, lantas apa timbal balik
Mohammadijah untuk usaha kita? Pabrik juga menjadi identitas. Pabriknya adalah suaka sosial, tempat para petani dan buruh menghindar dari tekanan mental bekerja di pabrik Belanda. “Seharusnya Pemerintah mendukung dan memberi kesempatan pelaku industri daerah seperti kami untuk berkembang sehingga kami sanggup memberi pemasukan besar bagi kas pemerintah. Menyusahkan kami berarti menambah beban masalah pemerintah sendiri.”
Suatu peristiwa sederhana yang terjadi pada suatu titik di masa lalu ternyata sering kali punya kaitan dengan sebuah perkara besar yang berlangsung di masa berikutnya. Ia membuka dan membersihkan kaca matanya berlama-lama. Kegiatan menjengkelkan yang tampaknya selalu dilakukannya tiap mendengar orang lain bicara. Menghisap rokok dalam-dalam lalu mengeluarkan asapnya dengan keras melalui kedua hidung. Sungguh perilaku jauh dari sopan.
Siapa bisa menebak nasib? Siapa bisa mengetahui jalannya sejarah? Tak ada yang tahu, jagat semesta menyimpan misteri sejak awal penciptaan. Tetapi selalu ada tanda-tanda semacam peringatan dini yang samar, agar kita waspada. Selepas dari penjara Banceuy, Soekarno pernah beberapa kali bertemu secara rahasia di Villa Salatiga, milik Nitisemito. Pada pertemuan konon, Pak Niti menitipkan bantuan dana bagi pergerakan. Seperti pada umumnya perusahaan yang dikelola Tionghoa, mereka saling dukung. Dunia usaha sampai kapanpun akan seperti ini, kalaupun ternyata sebuah kesengajaan, tak akan bisa disalahkan. Mereka hanya mempertahankan periuk nasi.
Bayangkan saja, sekumpulan orang Belanda mencintai Nazi. betapa absurb. Paradigma selalu berubah. Engkau tidak bisa melarang orang mencintai ideologi tententu. Apalagi bila zaman di mana engkau hidup tidak lagi berpihak padamu.
Barang-barang buatan Jepang sama bagusnya dengan buatan Eropa, sementara harga jauh lebih murah. Tetapi ini soal bertahan hidup.
Apapun akan kami lakukan. Ada bagian yang kontra pernyataan. Saat Akoem meminta ide-ide kepada karyawan, ada tiga yag mencuat. Membuat radio studio, membuat promo dan membangun lagi pabrik. Kalau direncana jelas, membuat pabrik akan jauh lebih lama dan wajar jadi yang paling akhir. Bung Iksaka dengan aneh menulis: ‘…Yang belum rampung justru pembuatan pabrik.” Kata ‘justru’ kenapa dipakai kesesuatu yang wajar? Bukannya sudah jelas memang pabrik jadi paling belakang?
Kadangkala kami sering bergurau membuat teori sendiri bahwa benteng ekonomi kota ini adalah industri rokok yang menyerap begitu banyak tenaga kerja dan pada saat yang sama menghasilkan produk yang mudah diserap pasar. Zaman sekarang sama sajakan? Minggu lalu Pak Jokowi bilang, BPJS dibantu oleh penjualan rokok secara tak langsung memang mau suka atau tidak suka, produksi rokok masih sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.
Banyak hal masih relevan dengan sekarang. Jatuhnya bursa saham di New York akhir Oktober 1929, tak lama berselang malaise! Masa Depresi. Bukan hanya di Hindia saja, bacalah koran-koran itu. seluruh dunia mengalaminya. Mereka juga belum menemukan cara untuk pulih. Yang terpenting bagaimana kita terhindar dari malapetaka besar ini. Sekarang lihatlah, kejadian di Amerika banyak mempengaruhi kondisi ekomoni dunia, termasuk naik-turunnya Dolar yang selalu jadi isu panas pihak oposisi. “Ada yang haus kekuasaan di sini. Ada tukang fitnah. Ada kasak kusuk. Ada komplotan besar. Kita sedang dipecah belah. Hati-hatilah memilih teman dan membagi informasi.” Pemerintah juga sama saja. “Sebagai bukti bahwa cukai rokok sudah dibayar, pada setiap kemasan diberi segel pita. Banderol. Disitulah tertera harga akhir setelah ditambah cukai.” Sampai sekarang bea cukai menjadi kekuatan pendapatan.
Ada jatah cuti lima hari aku gunakan pulang ke Batavia. Dari dulu pun pekerja tetaplah pekerja yang butuh cuti dan istirahat untuk me time serta keluarga. Pada tahun 1933 akhirnya diberlakukan peraturan bea cukai dengan besaran angka 40%. “Dan dengan terpaksa harus kuucapkan: selamat datang walai troubadour!”
Nama pastilles itu. Djintan. D-J-I-N-T-A-N di kalangan bumiputra, Djintan itu dipanjangkan menjadi Djendral Japan Ini Nanti Tolong Anak Negeri. Sejarah nama-nama kota juga terdengar asyik. Jakarta. Ah, aneh sekali nama kota itu sekarang. Jakarta! Jakarta! Kurang berwibawa. Itu nama yang sangat tua, kita sudah menggunakannya jauh sebelum Belanda datang ke sini. “Aku ingin tinggal di sini, dan mungkin bahkan mati dan dikubur di sini.”
Novel biografi ini awalnya sangat menjanjikan. Banyak kisah ditulis dengan opening macam gini. Penuturan masa lalu yang merentang sampai titik temu ending-nya ya prolog. Sayangnya setelah dua-tiga bab, kisahnya lempeng saja. Monoton dan kaku, wajar sekali tersingkir saat pengumuman lima besar. Kisah baru benar-benar bagus saat gejolak Perang Dunia Kedua ditabuhkan. Yang sayangnya lagi, dinukil sebagian kecil. Apa karena Kudus jauh drai Yogyakarta, atau Bung Iksaka terpaku sejarah rokoknya dengan sejarah Nasional Indonesia sekedar pemanis? Walau demikian, aku masih percaya pada pepatah lama Belanda. Alles heft een reden. Semua peristiwa pasti punya alasan terjadi. Maka aku selalu berusaha tidak menyesali semua yang pernah kulakukan, dan terus melangkah. Memang hebat beliau saat menulis cerpen, tulisan panjang novel butuh kesabaran ekstrak, rajutan kisah demi bab yang melelahkan. Sang Raja memang lumayan bagus, sayangnya tak istimewa. Menjadikan Tiba Sebelum Berangkat melengkapi empat kandidat lain.
Suka tau tidak, Bal Tigalah perintis industri rokok di kota ini. Hampir semua kiat yang dilakukan Pak Niti dan Pak Karmain menjadi panduan pabrik-pabrik baru. Lihatlah iklan dan promosi mereka sekarang ini. Hampir semua pernah dilakukan Bal Tiga. Pendiri boleh tua, pengurus boleh tua, boleh melamban, untuk kemudian dipanggil Gusti, dipanggil Allah, alias mati. Tetapi Perusahaan harus selalu muda. Selalu bergerak maju. Bahkan kalau bisa, lebih cepat dibanding sebelumnya. Jadi penasaran sejarah pengambilalihan PT Djarum Super. Uang berkawan dengan uang, bukan begitu Tuan-tuan.
“Djangan loepa saja poenja nama, M. Nitisemito, gedeponeerd (terdaftar), nomor 4642.”
Sang Raja | Oleh Iksaka Banu | 59 17 01388 | Penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) | Cetakan pertama, September 2017 | Penyunting Pax Benedanto | Ide kreatif & Ilustrasi isi + sampul Handoko Hendroyono | Penata letak + Perancang sampul Teguh Tri Erdyan | vii + 383 hlm.; 14 x 21 cm | ISBN 978 – 602-424-331-9 | Skor: 3,5/5
Untuk Heska & Dyota
Karawang, 3009-021018 – Chantal Kreviazuk – Living On A Jet Plane
Ping balik: Kusala Sastra Khatulistiwa 2018: Antara Musang Atau Kura-Kura | Lazione Budy
Ping balik: Buku Yang Saya Baca 2018 | Lazione Budy