The Good Earth #28

image

Jika ada buku yang yang membuatku menyesal karena gagal beli satu seri penuh, mungkin inilah bukunya. Di tahun 2008 saat di Lippo Cikarang sedang ada diskon, ada trilogi Wang karya Pearl S Buck. Saya coba dulu seri pertama ternyata keren betul, lalu saya cari lagi di sana sudah tak ada. Tujuh tahun berselang saya belum dapat melahap ‘Wang si Macan’ dan ‘Runtuhnya Dinasti Wang’.
Saat membicarakan trilogi Wang hal pertama yang terbesit tentu saja kutipan terkenal dari Cina: ‘Generasi pertama membangun, generasi kedua di puncak dan generasi ketiga meruntuhkan’. Review ke 28 ini tentang keluarga Wang Lung yang membangun dinasti. Dari seorang kere menjadi seorang konglomerat. Dituturkan dengan runut dan enak sekali, detailnya sungguh mengagumkan. Cerita ditulis bagus, seolah-olah Pearl S. Buck mendongeng langsung kepada kita.
Kisah dibuka dengan perkawinan yang ala kadarnya seorang pemuda kere Wang Lung. Berdiskusi di awal musim semi dengan ayahnya tentang calon istrinya yang akan diambil dari budak keluarga kaya. “Jangan budak yang terlalu muda, dan terutama sekali, jangan yang cantik. Dan apa yang bisa kita perbuat dengan perempuan cantik? Kita mesti dapat perempuan yang mau mengatur rumah, dapat memberi keturunan dan mau bekerja di sawah, dan apa perempuan cantik mau berbuat seperti itu? Ia Cuma memikirkan pakaian bagus dan merawat mukanya saja! Tidak, tidak boleh ada perempuan cantik di rumah ini. Kita petani. Lagi pula, mana ada budak cantik yang masih perawan di rumah orang kaya seperti itu? Lebih baik menikahlah dengan perempuan jelek yang masih perawan daripada dengan perempuan cantik yang sudah tidak perawan lagi.”
Doa sang ayah terkabul. Wang Lung mendapatkan budak yang pandai memasak, berbadan kekar, siap melakukan perintah, siap membantu di sawah dan O-lan wanita tersebut memang kurang cantik. Di kuil dihadapan Dewa Ladang mereka menikah dengan sangat sederhana. Dari situlah Dinasti Wang dimulai. Berikutnya adalah kisah tentang kerja keras, kerja cerdas dan hidup prihatin penuh perjuangan. Anak pertama lahir, dan jadi penyemangat mereka. Seorang laki-laki yang dirayakan dengan suka cita. Disusul anak-anak yang lain. Poin penting dalam perjalanan menuju sukses mereka adalah berhasil membeli tanah milik keluarga Hwang yang menghasilkan tanaman yang berkualitas. Dari zaman baheula sampai modern, bisnis tanah dan properti sungguh sangat menjanjikan.
Selama separuh awal buku ini, kisah sukses Wang dari jelata menjadi orang kaya baru disajikan dengan logika yang pas. Memang tak ada yang mustahil, kurasa apa yang dilakukan keluarga Wang ini bukan angan-angan kosong. Dan orang kaya biasanya aneh-aneh kan. Wang mulai berlagak juga. Salah dua karakter menyebalkan dalam buku ini adalah Lotus dan Cuckoo. Duh pengen tak tendang. Wang makin kaya makin begaya. Separuh akhirnya adalah foya-foya bagaimana menggunakan uang dengan lebih bijak. Namun memang Wang tak bijak amat. Lupa daratan.
Dalam tiga puluh empat bab yang sangat panjang itu kita disuguhi metamorfosa seorang Wang. coba buka halaman awal dan akhir, sungguh njomplang sekali. Ending-nya sungguh hebat. “Tenanglah ayah, yakinlah. Tanah ini tak akan dijual.” Namun di atas kepala orang tua itu keduanya bertukar pandang dan tersenyum.
Catatan menarik dari kisah Wang adalah, jangan ngoyo mencari materi seolah-olah duit adalah segalanya. Jangan diperbudak dengan materi. Oh hal semacam ini tentunya sudah kalian pahami dengan teori seru Mario Teguh Golden Way ya. Maksud saya, bahwa materi tak dibawa mati. Bahwa 80% kerja keras kita cari duit toh akan dinikmati generasi selanjutnya. Anak-cucu kita sejatinya diberi bekal akhlak mulia ketimbang setumpuk uang. Ayo ngaji mumpung Ramadan!
The Good Earth | by Pearl S. Buck | copyright 1932, renewed 1959 | Bumi Yang Subur | alih bahasa Irina M Susetyo | GM 402 08.054 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | cetakan kelima: Oktober 2008 | 512 hlm; 20 cm | ISBN-10: 979-22-4105-1 | ISBN-13: 978-979-22-4105-1 | Skor: 5/5
Karawang, 290615 – all hail Holden Vitamin Coulfield
#28 #Juni2015 #30HariMenulis #ReviewBuku