My Best Friend Forever #23

image

Ketika mendengar kata best friend forever (BFF) hal pertama yang terlintas dalam benakku adalah persahabatan Spongebob dan Patrick. Dalam sebuah seri, Spongebob berangkat kerja ke Krasty Krab, ketemu Patrick di jalan dan ditanya, “apa yang kamu lakukan saat aku bekerja?”, Patrick dengan polos menjawab, “menunggumu pulang….”

Buku ke 23 yang akan saya review ga ada sangkut paut-nya dengan serial di dasar laut tersebut. Adalah novel ke-2 Sherina Salsabila, buku keluaran Paci (Penulis Anak Cerdas Indonesia). Saya menjadi first reader di awal tahun 2013. Sempat berjanji pada Sher akan membuat ulasannya, namun saat itu saya lagi down sehingga rencana me-review-nya nyaris terlupa. Kemarin saat membuka-buka rak, saya teringat lagi. Saat ini beberapa kali masih kontak dengan Sher yang kini memasuki bangku SMU. Betapa waktu berjalan cepat.

Di cover pembuka ada tulisan pink “To: Om Budi & Bunda Mey, semoga senang membaca karyaku 🙂 – Sherina”. Sebuah tanda tangan tertanggal 10 Februari 2013, sabaris kalimat yang sejatinya memberi semangat kepadaku, bukan sebaliknya. Di kata pengantar nama saya juga kembali disebut, kini dalam cetakan: “… juga buat Om Lazione Budiyanto yang suatu hari nanti ingin punya akan perempuan kecil seperti aku, yang selalu memberi motivasi terbaik untukku.” Sejujurnya Sher, bukan saya yang memberi motivasi ke kamu, tapi saya-lah yang kamu beri motivasi yang saat itu kami dalam posisi terpuruk. Dan kini dua tahun lebih berselang, putri keduaku bernama Hermione, kelak mudah-mudahan doa itu terkabul, bisa secantik dan secerdas Sher. Ke depannya Sher, kalau boleh minta tolong ‘selipkan kalimat penyemangat buat Hermione – Sherina Kecilku’ di buku terbarumu.

Kisah dimulai langsung tanpa daftar isi, namun tiap bab-nya ada judul. Di pembuka Sepucuk Surat Untuk Fatia. Pagi yang mendung, Fatia mendapat surat tanpa nama pengirim di amplop. Segera dibuka dan dibacanya, ternyata dari Kenzia sahabatnya yang kini di Belanda. Menanyakan kabar dan kesibukan. Dari sepucuk surat itulah cerita ini akan digulirkan, ditarik mundur. Kenangan-kenangan semasa mereka bersama di sekolah Cendrawasih.

Tokoh utama Fatia, panggilannya Fat – duh gemuk dong – orangnya supel dan (sepertinya) yang paling cerdas. Kedua Kenzia, anak orang kaya. Anak tunggal, ayahnya kerja di bank swasta ibunya lawyer, liburan kemarin dia ke Bali. Ketiga Shania, anak baru pindahan dari Sumatra. Dirinya terpaksa pindah sekolah gara-gara orang tuanya mendapat tugas di ibu kota. Keempat, Misca teman sebangku Shania. Mereka berempat mendapat julukan ‘4 Sekawan’. Kisah novel ini menceritakan hiruk-pikuk mereka di SMP Cendrawasih. Begitulah hari-hari indah di sekolah. Masa paling indah bersama teman-teman terbaik. Ada audisi penulis, ada kegiatan Osis, ada kegiatan baksi sosial dan seterusnya.

Konflik itu muncul juga, saat pemilihan ketua Osis ada yang pingsan. Kenzia tak sadarkan diri, segera dibawa ke ruang UKS – ada yang masih ingat kepanjangannya apa? – mulai saat itu Kenzia sering sakit. Teman-temannya ikut sedih. Namun ternyata ada yang tak beres, saat Fatia secara tak sengaja membaca buku bersampul hitam sebuah fakta menarik terbongkar. Fatia yang terkejut menceritakan pada kak Farah, kakaknya yang kini kuliah. Fakta apakah gerangan? Akankah persahabatan mereka tetap utuh saat satu demi satu kenyataan buruk menghampiri. Sisi negatif tiap karakter terkuak, dan Sherina dengan sukses bisa membuat pembaca tetap terpaku sampai halaman terakhir.

Secara keseluruhan, masa itu udah lewat. Saya membacanya dari sisi seorang anak sekolah dengan segala keceriaan mereka. Hebat ya anak zaman sekarang, SD-SMP udah punya karya. Saya dulu saat seusia Sher, yang ada dalam benak ketika pulang sekolah hanya mengejar layang-layang putus, memancing di sungai, berburu burung di sawah, atau sekedar main kelereng di halaman belakang rumah. Apalagi Sher udah bisa bikin plot yang baik, konflik yang bagus, menyimpan kejutan dan eksekusi ending yang pas. Di usia 12 tahun sudah bisa membuat cerita tentang histrionic personality disorder. Ckckck… seusia itu tahuku malah brambang goreng. Sampai saat ini saya belum bertanya lagi ke Sher udah berapa buku yang ditulis. Namun novel keduanya ini termasuk sukses menghantarkan saya menikmati lembar-demi-lembar mengarungi dunia anak. Saya yakin dalam 5 atau 10 tahun lagi, nama Sherina Salsabila akan tercetak di sampul buku yang dibicarakan banyak orang karena ceritanya yang istimewa. Or is it just me?

My Best Friend Forever | oleh Sherina Salsabila | Penerbit Zettu | PACI: Penulis Anak Cerdas Indonesia | Cetakan I, 2013, 14×21 cm: 120 halaman | ISBN: 978-602-7735-45-3 | Skor: 3/5
Karawang, 230615 – Midnight midweek

#23 #Juni2015 #30HariMenulis #ReviewBuku

The Five People You Meet In Heaven #22

Featured image

Ini adalah novel Mitch Albom pertama yang saya baca, sekitar empat tahun yang lalu saat mencari kado ulang tahun Winda, ponakan saya yang berusia lima tahun. Mampir sebentar di bagian buku dan menemukan novel yang katanya mirip dengan Rembulan Tenggelam Di Wajahmu. Karena saya juga sudah baca karya Tere Liye tersebut. Jelas sekali benang merah-nya sama, ini terinspirasi atau menjiplak?

Lima Orang Yang Kamu Temui Di Surga, kisah diceritakan setelah kematian, lebih tepatnya sesaat setelah sekarat. Anehnya dalam Bahasa Indonesia malah diterjemahkan menjadi Meniti Bianglala, jauh dari arti judul aslinya. Kisah tentang Eddie yang dibuka dengan menit-menit menuju ajal. Kisah yang bermula dari akhir, istilah death is the only beginning.. disajikan dengan khidmat. Eddie lelaki tua, meninggal di tempat kerja Ruby Pier, taman hiburan di tepi samudra besar yang kelabu. Eddie adalah maintenance, tugasnya ‘memelihara’ wahana hiburan agar bisa tetap aman. Sapaannya ‘Eddie Maintenance’, hari itu adalah ulang tahunnya yang ke 83. Terlalu tua untuk seorang pekerja, seminggu sebelum kematiannya dia di-diagnosa dokter, sakit ruam saraf. Dan kematiannya dihitung mundur, takdir-lah yang menghantar wahana Freddy’s Free Fall macet, dan kata ‘mundur..’ menjadi penutup kehidupan di dunia ini.

Kemudian kisah ditarik ke belakang, sama seperti Rembulan, kisahnya mundur lalu menelusuri perjalan hidup. Eddie lalu dihantar ke dunia ‘antara’ dan menemui lima orang yang terkait masa lalunya. Kalau Rembulan berkisah tentang Ray yang menuntut jawab tentang hidup, di sini Eddie diberi jawaban yang semasa hidupnya adalah misteri. Orang pertama yang ditemuinya adalah orang ‘asing’ baginya. Manusia biru yang tak dikenal, jadi kenapa harus menemuinya? Ternyata Albom menarik benang keterkaitan. Orang biru tersebut meninggal karena ‘ulah’ Eddie. Joseph Corvelzchik kisahnya dituturkan sepintas, “jadi kau mengeri sekarang? Mengapa kita ada di sini? Ini bukan surgamu, ini surgaku”. Pelajara pertama, “Tidak ada kehidupan yang sia-sia. Satu-satunya waktu yang kita sia-siakan adalah waktu yang kita habiskan dengan mengira kita hanya sendirian.”

Berikutnya Eddie bertemu dengan Kapten Michael. Atasannya saat pergi berperang ke Filipina. Eddie bertanya-tanya ada kaitannya apa dengan sang kapten? Sebuah misteri yang tak Eddie tahu saat hidup dikuak, kenyataan yang menyakitkan tersebut membuat Eddie marah besar. Namun dibaliknya ada pelajaran penting, “aku bayangkan seperti Alkitab, seperti yang terjadi pada Adam dan Hawa. Malam pertama Adam di bumi ketika dia berbaring untuk tidur. Dia berfikir, dia tidak pernah tahu apakah ‘tidur’ itu? Matanya terpejam dan dia mengira dia meninggalkan dunia. Tapi ternyata tidak, dia bangun keesokan harinya di depannya terbentang dunia baru yang masih murni menunggunya. Tapi dia memiliki yang lain, dia memiliki hari kemarin.” Sesuatu yang tak ditemuinya di surga.

“Pengorbanan,” kata Kapten. “Kau membuat pengorbanan. Aku membuat pengorbanan. Kita semua membuat pengorbanan. Tapi kau merasa marah atas pengorbanan yang kau berikan. Kau selalu memikirkan apa yang telah kau korbankan” (halaman 97).

Orang ketiga, keempat dan kelima dituturkan dengan lebih menyentuh. Apalagi pas bagian istrinya, itu sungguh mengharukan. Kata-kata, “per l’amaro e il dolce” – “untuk kepahitan dan kemanisan” menjadi perjalanan yang romantis. Sampai masalah dengan ayahnya ditelusuri, “Kau menemui kedamaian setelah kau berdamai dengan dirimu sendiri.”

Ending-nya sendiri terasa manis, saling kait kehidupan disampaikan di epilog dengan pas. Bahwa setiap kehidupan mempengaruhi kehidupan berikutnya. Dan kehidupan berikutnya itu mempengaruhi kehidupan berikutnya lagi. Dan bahwa dunia ini penuh kisah-kisah kehidupan, dan semua kisah kehidupan itu adalah satu.

Oiya satu lagi yang membuat Meniti Bianglala sama dengan Rembulan adalah tokoh utamanya tak memiliki keturunan. Jadi apakah ini sebuah kebetulan?

The Five People You Meet In Heaven | by Mitch Albom | copyright 2003 | alih Bahasa Andang H Sutopo | Meniti Bianglala | G 402 01 11 0044 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | cetakan keenam: Desember 2012 | 208 hlm; 20 cm | ISBN: 978-979-22-7002-0 | Skor: 4/5

Karawang, 230615 – Audit lancar

#22 #Juni2015 #30HariMenulis #ReviewBuku