The Boy In The Striped Pyjamas #12

Featured image

Selesai membaca buku ini saya merinding. Sebuah buku tentang anak-anak yang ‘terjebak’ di tempat yang salah, namun buku ini jelas bukan untuk anak-anak. Kisahnya mengalir dengan tenang, sesekali ada kemarahan mencuat sampai akhirnya aliran itu tiba pada tebing curam yang mengakibatkan pembaca trenyuh. Mungkin ini salah satu novel terbaik tentang Perang dunia Kedua yang pernah kubaca. Tanpa banyak nasehat betapa perang itu kejam, tanpa ribuan senjata mengacung, tanpa adegan bombastis di medan laga. Dari sudut pandang Bruno, anak SD yang belum paham maksud kejadian di sekelilingnya. Kita diajak berpetualang di kam konsentrasi NAZI.

Cerita dibuka dengan perpisahan. Bruno kaget ketika pulang sekolah, kamarnya diacak-acak. Barang dan mainannya sudah dipak rapi. Ibunya lalu bertutur bahwa mereka akan pindahan. Ayahnya mendapat ‘promosi’ jabatan sehingga mengharuskan mereka pindah dari kota Berlin.

“Seberapa jauh tempat itu?” Tanyanya. “Pekerjaan baru itu maksudku. Apa lebih jauh dari dua kilometer? Lalu bagaimana dengan Karl, Daniel, dan Martin? Bagaimana mereka bisa tahu di mana aku tinggal kalua kami ingin melakukan sesuatu bersama?” (halaman 15).

Betapa polosnya anak-anak. Bruno yang betah di Berlin tentu saja kecewa berat mereka harus pindah. Teman-teman akrab, suasana yang menyenangkan, dan rencana-rencana besar mereka berantakan. Bahkan Bruno tak sempat berpamitan dengan mereka. Keadaan makin tak menyenangkan saat mereka tiba di rumah baru. Sempit, terpencil dan tentu saja asing. “kupikir ini ide yang salah.” Namun keputusan sudah diambil.

Bruno lalu curhat sama pelayan Maria yang selalu memanggil Master Bruno. Namun dia bisa apa. Tempat baru bernama Out-With tersebut benar-benar payah. Bruno yang suka petualangan merasa kesepian. Gretel, kakaknya walau mengeluhkan juga, mencoba berfikir positif. Walau dia awalnya juga sebal. Out-With berarti muak. Kelak kita tahu, maksud dari pembicaraan Bruno dan Gretel di halaman terakhir.

Bab 7 Ibu Ingin Dipuji atas Sesuatu yang Tidak Dilakukannya adalah bagian terbaik dari novel ini. Betapa talenta-talenta besar disia-siakan. Betapa lemah kita menghadapi kenyataan. Betapa pengecutnya kita menatap kebenaran. Bagian ini sempat membuatku menitikan air mata, dan makin deras saat adegan klimak. Kejutannya disimpan sampai benar-benar terakhir. Saya sendiri awalnya tak terlalu paham, arah plot ini. Namun di awal bab Rencana Petualangan Terakhir saya langsung curiga. Wah, jangan-jangan… Dan benar saja, ini bukan buku untuk anak-anak. Seperti yang disampaikan di back-cover yang biasanya berisi sinopsis di buku ini tidak ada. John malah memberi kita kata-kata tanpa arti.

“Membosankan? Putraku menganggap pelajaran sejarah membosankan? Biar kuberitahu, Bruno.  Sejarahlah yang telah membawa kita sampai ke saat sekarang ini. Kalau bukan karena sejarah, tak satupun dari kita akan duduk di depan meja ini sekarang. Kita pasti akan duduk-duduk nyaman di depan meja makan rumah kita di Berlin. Di sini kita sedang mengoreksi sejarah.”

Sejarah. Oh perjalanan kelam abad 20 itu mudah-mudahan takkan terulang lagi di belahan bumi manapun.

The Boy In The Striped Pyjamas | by John Boyne | copyright 2006 | alih bahasa: Rosemary Kesauli | GM 402 07.047 | Penerbit Gramedia Pustaka Utama | cetakan pertama, Juli 2007 | ISBN-10: 979-22-2982-5 | ISBN-13: 978-979-22-2982-0 | Skor: 4/5

Karawang, 120615 – sometimes…

#12 #Juni2015 #30HariMenulis #ReviewBuku